Anda di halaman 1dari 5

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA

PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INSTALASI RAWAT INAP


BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO
PERIODE JANUARI-DESEMBER 2010
Dian Ariyanti Ansa1), Lily Ranti Goenawi2), Heedy M.Tjitrosantoso3)
Tabel 3. Golongan Obat Antihipertensi pada Kelompok Terapi Tunggal
Golongan Obat Persentase (%)
Total
ACE-I 31,82 n= 22 (100%)
ARB 22,73
Diuretik 9,09
bloker 9,09
CCB 27,27
Tabel 4. Golongan Obat Antihipertensi pada Kelompok Terapi Kombinasi
Golongan Obat Persentase (100%)
Total
ACE-I dan CCB 21,05 n= 19 (100%)
ARB dan central agonis -2 5,26
ACE-I dan Diuretik 5,26
ARB dan CCB 21,05
ACE-I dan ARB 15,83
CCB dan Diuretik 5,26
Diuretik dan -blocker 5,26
Diuretik dan Aldoantagonis 5,26
ARB, Diuretik, Aldoantagonis 5,26
ACE-I, CCB, blocker 5,26
Diuretik, CCB, Aldo-Ant, dan Central agonis -2 5,26
ACE-I = Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ARB = Angiotensin Receptor Blocker
CCB = Calsium Chanell Blocker

Diabetes melitus (DM) termasuk salah satu penyakit degeneratif yang memerlukan penanganan seksama
(PERKENI, 2011). WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 serta paling banyak terjadi pada masyarakat urban dengan gaya hidup
yang tidak sehat. Indonesia berada diperingkat keempat jumlah penyandang DM di dunia setelah Amerika
Serikat, India, dan Cina (Hans, 2008). Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
sebaran penderita DM di Indonesia melebihi 1,5% penduduk terdapat di daerah Sumatera Utara, Jawa
Timur, dan Sulawesi Utara (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, 2007). Sekitar 90% kasus
DM termasuk dalam jenis DM tipe 2 (Wells, 2009). Lebih dari 50% penderita DM tipe 2 mengalami
hipertensi (Sweetman, 2009). Hipertensi dan DM yang terjadi secara bersamaan dapat meningkatkan risiko
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler (Sowers, 2001). Oleh karena itu, diperlukan upaya
pengelolaan antihipertensi pada pasien DM tipe 2 secara tepat sebagai suatu langkah penanganan yang
strategis dan sangat penting, dengan harapan upaya tersebut dapat menunda perkembangan terjadinya
komplikasi maupun menghambat progresifitas komplikasi yang telah terjadi (Permana, 2008).
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya DM. Hubungannya dengan DM tipe 2
sangatlah kompleks, hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin)
(Mihardja, 2009). Padahal insulin berperan meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara
ini juga mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar
gula di dalam darah juga dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008)
Pada pasien DM tipe 2, hipergilikemia sering dihubungkan dengan hiperinsulinemia, dislipidemia, dan
hipertensi yang bersama-sama mengawali terjadinya penyakit kardiovaskuler dan stroke. Pada DM tipe ini,
kadar insulin yang rendah merupakan prediposisi dari hiperinsulinemia, dimana untuk selanjutnya akan
mempengaruhi terjadinya hiperinsulinemia. Apabila hiperinsulinemia ini tidak cukup kuat untuk
mengkoreksi hiperglikemia, keadaan ini dapat dinyatakan sebagai DM tipe 2. Kadar insulin berlebih
tersebut menimbulkan peningkatan retensi natrium oleh tuybulus ginjal yang dapat menyebabkan
hipertensi. Lebih lanjut, kadar insulin yang tinggi bisa menyebabkan inisiasi aterosklerosis, yaitu dengan
stimulasi proliferasi sel-sel endotel dan sel-sel otot pembuluh darah (Masharani dan German, 2003).

Munculnya hipertensi pada diabetes disebabkan hiperglikemia pada diabetes mellitus yang dapat
meningkatkan angiostensin II sehingga dapat menyebabkan hipertensi, dengan timbulnya hipertensi dapat
menyebabkan komplikasi yang lebih lanjut seperti jantung koroner, nefropati diabetes, dan retinopati
diabetes (Novitasari et al, 2011). Diabetes mellitus tipe 2 dan hipertensi merupakan dua penyakit kronik
yang banyak ditemukan dalam masyarakat serta sering ditemukan secara bersamaan karena kedua penyakit
tersebut merupakan penyakit degeneratif, yaitu penyakit yang diakibatkan karena fungsi atau struktur dari
jaringan atau organ tubuh yang secara progesif menurun dari waktu ke waktu karena usia atau pilihan gaya
hidup. Tanpa penanganan yang adekuat keduanya akan berakhir dengan komplikasi yang sama yaitu
kematian karena kardioserebrovaskular dan gagal ginjal (Waspadji, 2010). Kadang dengan adanya
penyakit komplikasi seperti diatas dapat menimbulkan kejadian Drug Related Problems (DRPs), bisa saja
obat diabetes dapat memperburuk keadaan hipertensinya atau obat hipertensi dapat meningkatkan kadar
glukosa darah pasien.
Hipertensi pada DM tipe 2 muncul bersamaan dengan atau mungkin malah mendahului munculnya
diabetes. Hal ini disebabkan pada penderita hipertensi sering ditemukan adanya sekumpulan kelainan
lainnya seperti: obesitas sentral, dislipidemi, hiperurisemi dan hiperins ulinemia/resistensi insulin atau
yang sekarang disebut sindroma metabolik. Sehingga dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa pada
hipertensi esensial terdapat suatu keadaan resistensi insulin. Dalam penelitian ini, orang yang memiliki
riwayat hipertensi lebih berisiko terkena DM tipe-2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki
riwayat hipertensi meskipun secara statistik tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
di Amerika yang menunjukkan bahwa individu dengan hipertensi 2,5 kali lebih sering mengalami DM tipe2 dibanding normotensi (Wicaksono, 2011)
Dari segi usia, diperoleh usia terbanyak yang menderita DM tipe 2 ialah kelompok usia 45 sampai 64 tahun
sebesar 29 orang (70,73%), diikuti oleh kelompok usia 65 tahun sebesar 9 orang (21,95%), dan kelompok
usia 25-44 tahun sebesar 3 orang (7,32%). Budhiarta, dkk (2005) dalam I Nyoman Sujaya (2009)
mengemukakan bahwa di negara berkembang orang dewasa yang beresiko terkena DM tipe 2 ialah usia 46
sampai 64 tahun. DM tipe 2 umumnya terjadi pada usia diatas 40 tahun karena pada usia tersebut mulai
terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan
sel- pankreas dalam memproduksi insulin. Lebih lanjut dikatakan DM tipe 2 merupakan penyakit yang
terjadi akibat penurunan fungsi organ tubuh (degeneratif) terutama gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein sehingga kasusnya akan meningkat sejalan dengan pertambahan usia (Zahtamal et al,
2007 dalam Sujaya, 2009).
Dari hasil penelitan terlihat bahwa sebanyak 22 (53,66%) pasien menerima terapi tunggal dan 19 (46,34)
pasien mnerima terapi kombinasi. Pada kelompok terapi tunggal, golongan antihipertensi terbanyak yang
digunakan ialah golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) (31,82%), diikuti oleh
Calsium Chanell Blocker (CCB) (27,27%) dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) (22,73%). Beberapa
penelitian telah membandingkan ACE-I dengan CCB (golongan dihidropiridin) dan ditemukan bahwa
kelompok ACE-I memiliki efek perlindungan ginjal yang lebih baik dibandingkan dengan CCB (golongan
dihidropiridin). ACE-I dan ARB menjadi pilihan pertama pada pasien DM dengan hipertensi karena secara
farmakologi kedua agen ini bersifat nefroprotektor yang menyebabkan vasodilatasi pada arteriola efferent
ginjal. (Govindarajan, 2006).ACE-I memiliki manfaat dalam menghambat perkembangan DM bahkan
mencegah komplikasi DM pada pasien dengan hipertensi melalui mekanisme penghambatan RAAS
(Renin-Angiotensin-Aldosteron System) (Hansson et al, 1999).
Berdasarkan nama obat, diperoleh hasil bahwa Captopril merupakan obat antihipertensi terbanyak yang
diresepkan (27,27%), diikuti Amlodipin (22,73%), dan Valsartan (18,18%). Pada kelompok terapi
kombinasi, golongan antihipertensi yang sering digunakan yaitu kombinasi antara golongan ACE-I dan
CCB, ARB dan CCB masing-masing (21,05%), diikuti oleh kombinasi ACE-I dan ARB (15,83%).
Penambahan obat lini kedua dari golongan yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat terapi tunggal
dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah (Depkes, 2006). Obat dengan mekanisme kerja
yang berbeda dapat mengendalikan tekanan darah dengan toksisitas minimal (Darnindro, 2008). Terapi
kombinasi juga merupakan pilihan bagi pasien yang sulit mencapai sasaran tekanan darah atau pada pasien
dengan banyak indikasi yang membutuhkan beberapa antihipertensi yang berbeda (Anonim, 2008).ACE-I
dan ARB merupakan antihipertensi pilihan pertama. Golongan diuretik, -bloker, dan CCB tidak
berbahaya serta efektif untuk pengelolaan hipertensi pada pasien DM tipe 2 sehingga dapat menjadi terapi

tambahan (lini kedua) untuk mencapai sasaran tekanan darah yang diharapkan (Dipiro, 2011 dan
Govindarajan, 2006). Kombinasi antara ACE-I dan ARB dapat memberikan hasil yang lebih baik pada
pasien DM dengan hipertensi karena keduanya bekerja sama dalam menghambat sekresi dan aksi
angiotensin II secara total. ACE-I tidak menghabat produksi angiotensin II secara menyeluruh, tapi aksi
penghambatan ini akan didukung sepenuhnya oleh ARB (Arya, 2003). Berdasarkan nama obat, diperoleh
hasil bahwa kombinasi antara Captopril (golongan ACE-I) dan Amlodipin (golongan CCB), Valsartan
(golongan ARB) dan Amlodipin (golongan CCB) masing-masig (15,81%), diikuti oleh kombinasi antara
Valsartan (golongan ARB) dan Lisinopril (golongan ACE-I) (10,53%). Berdasarkan data yang ada,dapat
dilihat bahwa Dosis yang diterima oleh pasien DM tipe 2 telah sesuai dengan rentang dosis terapi.
Obat Antihipertensi pada Pasien Diabetes Mellitus
Prevalensi hipertensi (essensial) pada penderita DMT2 lebih tinggi dari orang normal. Hipertensi pada
DMT2 meningkatkan risiko kardiovaskuler, sehingga perlu penanganan khusus. Target tekanan darah pada
pengobatan hipertensi pada diabetes adalah 130 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolik.
Kelompok ACE inhibitors merupakan obat antihipertensi pilihan pada diabetes, atau pilihan lainnya
adalah ARB (angiotensin receptor blocker) Thiazid dan diuretika lainnnya, atau beta blockers kurang
begitu dianjurkan karena efeknya terhadap glikemia (Manaf, 2010). Angiotensin Converting Enzym (ACE)
inhibitor merupakan drug of choice untuk diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi. Golongan obat ini
memiliki mekanisme kerja menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya sekresi natrium dan air.
Golongan ACE inhibitor tidak menimbulkan efek samping metabolik pada penggunaan jangka panjang
yaitu tidak mengubah metabolisme karbohidrat maupun kadar lipid dan asam urat dalam plasma. Selain itu
golongan ACE inhibitor dapat mengurangi resistensi insulin, sehingga golongan ini sangat menguntungkan
bagi penderita diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi (Ganiswarna, 1995). Pemberian ACE Inhibitor,
penyekat reseptor angiotensin II, dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki
mikro albuminuria. ACE ihibitor juga dapat memperbaiki kinerja kardiovaskuler (Perkeni, 2011). Penderita
diabetes dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg selain modifikasi gaya hidup perlu segera
diberikan obat antihipertensi. dengan dosis yang tersedia, kebanyakan obat antihipertensi akan
menurunkan tekanan darah sistolik atau diastolik pada 5-10% penderita dengan hipertensi ringan atau
sedang. Karena itu bila target penurunan tekanan darah sampai <130/80 mmHg umumnya diperlukan lebih
dari satu macam obat antihipertensi, bahkan mungkin tiga atau lebih macam obat. Selanjutnya dalam
memilih obat antihipertensi, perlu dipertimbangkan efek obat terhadap berkembangnya komplikasi
mikrovaskuler dan makrovaskuler. Pada umumnya obat-obat yang dianggap sesuai untuk pengobatan awal
adalah ACE inhibitor, ARB, diuretika thiazide dosis rendah, dan betabloker
(http://www.strokebethesda.com). Pada prinsipnya pengobatan hipertensi pada diabetes melitus tidak
berbeda dengan pengobatan pada hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus. Yang perlu
mendapatkan perhatian ialah bahwa efek samping obat anti-hipertensi dapat menimbulkan gangguan
metabolik pada diabetes melitus. Oleh karena itu pengobatan harus diberikan dengan mengingat
kepentingan secara individual dan tingkat kelainan metabolik yang ada. Semua pasien dengan diabetes dan
hipertensi dapat diatasi dengan pemberian antihipertensi yang lainnya termasuk ACE Inhibitor atau ARB.
Secara farmakologi, kedua golongan obat ini memberikan nephroprotection memperlihatkan vasodilatasi
oleh karena arteriole pada ginjal. Lebih dari itu inhibitor-inhibitor ACE mempunyai pengurangan resiko
yang besar sekali ditunjukkan data pengurangan pada kedua resiko kardiovaskular (kebanyakan dengan
ACE inhibitor) dan resiko dari kelainan fungsi tubuh ginjal yang progresif (kebanyakan dengan ARBs)
pada pasien-pasien diabetes (Nafrialdi, 2007).
KESIMPULAN
1. Pola terapi antihipertensi pada pasien DM tipe 2 di Instalasi Rawat inap BLU RSUP Prof. R. D. Kandou
Manado terdiri dari terapi tunggal (53,66%) dan terapi kombinasi (46,34%).
2. Obat antihipertensi yang sering digunakan pada kelompok terapi tunggal yaitu golongan Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) (31,82%), diikuti oleh Calsium Chanell Blocker (CCB) (27,27%)
dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) (22,73%). Obat antihipertensi yang sering digunakan pada
kelompok terapi kombinasi yaitu kombinasi antara golongan ACE-I dan CCB, ARB dan CCB masingmasing (21,05%), diikuti oleh kombinasi ACE-I dan ARB (15,83%).
SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, ditinjau dari efektivitas antihipertensi dalam menurunkan
tekanan darah pada pasien DM tipe 2 di Instalasi rawat Inap BLU RSUP Prof. R. D. Kandou Manado.

2. Mengingat pentingnya upaya untuk menurunkan risiko terjadinya komplikasi pada pasien DM dengan
hipertensi, maka perlu adanya informasi secara tepat kepada masyarakat tentang penggunaan antihipertensi
dan juga menghimbau kepada masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat guna mencegah terjadinya
DM atau meghambat progresifitas komplikasi yang telah terjadi.
Dipiro, J et al. 2011. Pharmacotherapy 8th Edition. The McGrow-Hill companies, US.
Arya,SN.2015.Hypertension in Diabetic Patients-Emerging Trends. Journal, Indian Academy of Clinical
Medicine.4(2): 96-102.
http://eprints.ums.ac.id/31201/2/BAB_1.pdf

Obat hipoglikemik oral, Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5


golongan:
1) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid
2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
3) Penghambat glukoneogenesis (metformin)
4) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
5) DPP-IV inhibitor (PERKENI, 2011).
Penggunaan Insulin untuk Pengobatan DMT2
Insulin adalah hormone alami yang dikeluarkan oleh pankreas. Insulin dibutuhkan oleh sel tubuh untuk
mengubah dan menggunakan glukosa darah (gula darah), dari glukosa, sel membuat energy yang
dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya. Pasien diabetes mellitus (kencing manis) tidak memiliki
kemampuan untuk mengambil dan menggunakan gula darah, sehingga kadar gula darah meningkat. Pada
diabetes tipe I, pancreas tidak dapat memporduksi.

Modifikasi Pola Hidup dalam Penatalaksanaan Hipertensi

Modifikasi

Rekomendasi

Perkiraan penurunan
tekanan darah (mmHg)

Penurunan berat
badan

Menjaga berat badan normal (Body Mass


Index 18,5-24,9 kg/m2)

5-20 per 10 Kg
penurunan berat badan

Pola makan

Kurangi asupan
natrium

Mengkonsumsi buah-buahan, sayuran,


dan makanan rendah kadar lemak

Kurangi asupan natrium < 2,4 gram


perhari

8-14

2-8

Aktivitas fisik

Kurangi alkohol

Olahraga teratur seperti aerobik ringan


minimal 30 menit per hari

Membatasi konsumsi alkohol, pada pria


tidak lebih dari 30 ml etanol per hari dan
pada wanita tidak lebih dari 15 etanol ml
per hari

4-9

2-4

Terapi farmakologis
Ada beberapa golongan obat anti-hipertensi yaitu first line drug : diuretik, Penyekat reseptor beta
adrenergic (-blocker), Penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE inhibitor), Penghambat reseptor
angiotensin (Angiotensin-receptor blocker,ARB), antagonis kalsium, dan second line drug : penghambat
saraf adrenergik, Agonis -2 sentral dan vasodilator.
Pada prinsipnya pengobatan hipertensi pada diabetes melitus tidak berbeda dengan pengobatan pada
hipertensi pada penderita tanpa diabetes melitus.Yang perlu mendapatkan perhatian ialah bahwa efek
samping obat anti-hipertensi dapat menimbulkan gangguan metabolik pada diabetes melitus. Oleh karena
itu pengobatan harus diberikan dengan mengingat kepentingan secara individual dan tingkat kelainan
metabolik yang ada.
Semua pasien dengan diabetes dan hipertensi dapat diatasi dengan pemberian antihipertensi yang lainnya
termasuk ACE Inhibitor atau ARB. Secara farmakologi, kedua golongan obat ini memberikan
nephrotection memperlihatkan vasodilatasi oleh karena arteriole pada ginjal. Lebih dari itu inhibitorinhibitor ACE mempunyai pengurangan resiko yang besar sekali ditunjukkan data pengurangan pada
kedua resiko kardiovaskular (kebanyakan dengan ACE inhibitor) dan resiko dari kelainan fungsi tubuh
ginjal yang progresif (kebanyakan dengan ARBs) pada pasien-pasien diabetes.
Terapi obat pilihan dalam artikel ini adalah kaptopril yang merupakan golongan obat antihipertensi ACE
inhibitor. Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) memfasilitasi terbentuknya angiotensin II yang
mempunyai peran penting dalam pengaturan tekanan darah arteri. Enzim pengkonversi angiotensin (ACE)
terdistribusi dalam banyak jaringan dan terdapat dalam beberapa tipe sel yang berbeda, tetapi secara umum
ACE terletak pada sel endotelial. Oleh karena itu, produksi utama angiotensin II terletak di pembuluh
darah bukan di ginjal. Obat-obat golongan ini diindikasikan untuk hipertensi pada diabetes mellitus dan
hipertensi pada diabetes dengan nefropati. Pada beberapa pasien, obat golongan ini menyebabkan
penurunan tekanan darah yang sangat cepat.

Anda mungkin juga menyukai