Anda di halaman 1dari 14

TIM AHLI CAGAR BUDAYA

KABUPATEN KONAWE SELATAN

NASKAH REKOMENDASI
PENETAPAN DAN PEMERINGKATAN

BENTENG LAPADI

SEBAGAI
BANGUNAN CAGAR BUDAYA
PERINGKAT KABUPATEN/KOTA

MARET 2023

Dokumen Nomor:001/TACB-KONSEL/III/2023
REKOMENDASI PENETAPAN STATUS CAGAR BUDAYA

Menimbang : a. bahwa Benteng Lapadi merupakan warisan budaya bersifat


bangunan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Dengan
demikian memenuhi kriteria sebagai cagar budaya;
b. bahwa penetapannya sebagai Cagar Budaya perlu segera
dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya;
c. bahwa Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Konawe Selatan telah
melakukan kajian terhadap objek pendaftaran cagar budaya
tersebut;
Mengingat : a. Pasal 1 poin 1 dan poin 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 31, Pasal 33,
Pasal 41, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 130 Tahun 2010;
b. Keputusan Bupati Konawe Selatan Nomor 420/1406 Tahun
2022 tentang Pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten
Konawe Selatan Tahun 2022.

Merekomendasikan: Benteng Lapadi sebagai Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota


dengan kriteria sebagai Bangunan Cagar Budaya.
BENTENG (TONDOWATU) LAPADI

HASIL KAJIAN

BENTENG (TONDOWATU) LAPADI

I. IDENTITAS

Cagar Budaya : Benteng (Tondowatu) Lapadi


Keletakan/Lokasi
Koordinat Astronomis : 04°21’02.01’’ LS dan 122°34’43.55’’ BT
Alamat : Windo
Desa/Kelurahan : Watumeeto
Kecamatan : Lainea
Kota : Kendari
Provinsi : Sulawesi Tenggara
Luas Lahan :-
Luas Bangunan : 72 m2

II. DESKRIPSI

Uraian:

Benteng Lapadi

Secara astronomis Benteng Lapadi berada pada koordinat 04°21’02.01’’ LS


dan 122°34’43.55’’ BT dengan ketinggian 132 mdpl, sedangkan secara
administratif beteng ini masuk dalam wilayah Desa Watumeeto, Kecamatan
Lainea, Kabupaten Konawe Selatan. Secara geografis bangunan ini berbatasan
dengan hutan dan pegunungan sisi Barat, sedangkan sisi Timur berbatasan sungai
dan perkebunan warga, sisi Selatan berbatasan dengan sungai dan perkebunan
jagung, sisi Utara berbatasan dengan hutan. Bangunan benteng ini berbentuk kotak
persegi dan secara teknologis dinding benteng terbuat dari campuran batu kali,
diperkuat dengan pasir dan tanah dengan orientasi arah hadap Utara ke Selatan.
Benteng ini juga memiliki empat anak tangga yang berada di depan pintu masuk
benteng dan memiliki satu pintu masuk yang berada di arah Selatan benteng.
Secara keseluruhan, dinding Benteng Lapadi ini memiliki ukuran tinggi 110
cm, lebar 8 m, panjang 9 m dengan ketebalan dinding 65 cm. Tinggi pintu masuk
pada benteng ini adalah 145 cm, lebar 90 cm dengan ketebalan 65 cm. Jumlah anak
tangga 4 buah dengan ukuran tinggi 35 cm dan lebar 90 cm.
Kondisi saat ini :

Kondisi benteng saat ini kurang terawat ditandai dengan adanya beberapa
kerusakan seperti runtuhnya dinding batu bangunan, beberapa bagian dinding yang
tertutup oleh lumut dan tanaman merambat lainnya seperti pepohonan yang
mengelilingi Benteng Lapadi

Latar Belakang Sejarah:


Salah satu tokoh yang menjadi simbol eksistensi perlawanan kerajaan
Konawe dalam menentang kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda pada masa
itu adalah Lapadi. Lapadi lahir pada tahun 1864 dan wafat pada tahun 1914
kemudian dimakamkan di daerah Manumohewu. Ayahnya bernama Lamanangi
dan ibunya bernama Wenggole, dimana keduanya orang tuanya tersebut merupakan
keturunan bangsawan Konawe, yakni garis keturunan Inea Sinumo dan Kapita
Taridala. Lapadi melakukan perlawanan sejak tahun 1908 sampai 1914. Sebelum
kedatangan bangsa-bangsa Barat terutama pemerintah Hindia Belanda, Lapadi telah
menunjukkan sifat kepemimpinannya atau sebagai pelindung hak-hak rakyat
konawe pada masa itu. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan. berikut ini bahwa
“pada saat pasukan atau bajak laut Tobelo yang berasal dari Ternate menyerang
daerah di sekitar Windo terutama untuk menguasai perairan di Lainea, Lapadi
bangkit memimpin tokoh-tokoh di Windo untuk menghalau serangan tersebut”
(Kadir, 1986; chalik,1985).
Pada tahun 1906 pasukan Belanda mendarat di Kendari dengan tujuan
menguasai wilayah kerajaan Konawe secara paksa. Belanda berusahan memecah
belah bangsawan Konawe dengan jalan mendirikan kerajaan Laiwoi yang
kemudian ditentang oleh daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan kerajaan
Konawe. Dalam upaya menahan laju serangan Belanda, rakyat Konawe (para
pemimpin di daerah-daerah wilayah Konawe) menetapkan basis pertahanan untuk
mempertahankan keberadaan kerajaan Konawe yang dibagi menjadi tiga wilayah
basis pertahanan yaitu:
1. Pertahanan pusat di Tongauna (Abuki) dipimpin oleh Ponggawa Watukila.
2. Pertahanan kedua di Wuura (Motaha) Laulewulu Kombomeeto.
3. Pertahanan ketiga di Windo dipimpin oleh Lapadi.
Menurut informan, pembagian wilayah basis pertahanan menjadi tiga
wilayah dilakukan tidak terlepas dari keadaan geografis wilayah itu sendiri, di mana
menurut informan tujuan pembagian basis pertahanan tersebut bahwa “Pertahanan
pertama atau pusat bertujuan untuk mempertahankan pusat kerajaan Konawe,
pertahanan kedua bertujuan untuk menahan laju pasukaan Belanda ke Andoolo dan
pertahanan ketiga yakni wilayah Windo dipilih untuk membendung arus serangan
Belanda ke arah selatan kerajaan Konawe”.
Selanjutnya dipilihnya wilayah Windo sebagai basis pertahanan ketiga
sebagai wilayah untuk mempertahankan kerajaan Konawe, tidak terlepas pula dari
berbagai pertimbangan, bahwa selain untuk menahan arus serangan Belanda ke
wilayah selatan Konawe, berdasarkan ungkapan dari informan yang menjelaskan
bahwa dipilihnya Windo sebagai basis pertahanan karena keadaan alamnya yang
sangat menudukung karena letak geografisnya yang strategis yakni, sebagian
dataranya terbilang rendah, dan sebagian lagi wilayahnya berupa gunung-gunung
yang merupakan bentang alam yang dianggap strategis sebagai wilayah pertahanan.
Adanya upaya yang dilakukan oleh pihak Belanda untuk merebut wilayah Windo,
menggambarkan bahwa dalam penentuan wilayah tersebut sebagai salah satu basis
pertahanan untuk mempertahankan keberadaan kerajaan Konawe merupakan suatu
tindakan yang sangat tepat dari pihak Windo yang dipimpin oleh Lapadi sebagai
wilayah pertahanan diri.
Windo adalah daerah yang sangat potensial baik ditinjau dari segi
tipografinya maupun dari letak wilayahnya yang sangat strategis. Hal tersebut
terbukti selama 2 tahun Belanda berusaha menguasai wilayah tersebut, namun
selalu mendapatkan perlawanan yang sengit dari pasukan Lapadi yang dibantu oleh
saudaranya bernama Lakurao, Ladana, Peekano dan Wedao serta adiknya yaitu
seorang wanita yang bernama Aliina. Perlawanan yang dilakukan Lapadi didukung
dan diuntungkan dengan letak georafis berupa bentangan alam yang dikelilingi
daerah pegunungan dan didukung oleh keberadaan benteng yang dibangun oleh
masyarakat Windo dibawah pimpinan Lapadi sehingga membuat pihak Belanda
kesulitan dalam melakukan penyerangan.
Bukti senjata Lapadi ldalam melakukan perlawanan dengan Hindia Belanda
Berupa Tombak Karada, Taawu, Perjanjian Perang antara Pihak Lapadi dan Hindia
Belanda.
Dalam lima kali serangan yang dilakukan oleh Belanda tidak ada satupun
yang berhasil menembus Benteng atau pertahanan yang berada di wilayah Windo.
Hal ini membuktikan bahwa benteng-benteng pertahanan yang disiapkan
sebelumnya oleh rakyat Windo dibawah pimpinan Lapadi, merupakan pertahanan
yang tangguh dan sulit untuk di taklukan musuh. Hal tersebut memberi gambaran
bahwa sistem defensive yang diterapkan Lapadi dalam menahan laju serangan
Belanda berfungsi dengan efektif. Dimana benteng-benteng tersebut sampai pada
masa kini masih dapat disaksikan keberadaannya sebagai bukti bahwa Windo
merupakan wilayah yang dijadikan sebagai basis pertahanan yang sangat baik.
Persiapan-persiapan yang dilakukan Lapadi sebelum berperang melawan
Belanda adalah: Membangun benteng dari batu yang berbentuk empat persegi
dengan panjang sisinya kurang lebih 15 m. Sekitar 1km dari benteng pertahanan
utama ditempatkan satu pos. Pertahanan yang akan menyergap iring-iringan musuh,
agar member kesempatan bagi pertahanan utama untuk menyiapkan diri
menghadapi serangan (Chalik,1983: 56).
Dalam mempersiapkan perlawanan, Lapadi mendirikan 1 buah benteng
pertahanan di Gunung Menggekee (Pomboraa) dan mempersiapkan persenjataan
maupun logistik. Berdasarkan kesepakatan itulah yang melahirkan hubungan antara
pejuang di daerah-daerah Konawe dalam rangka mempertahankan keberadaan
kerajaan Konawe sebagai kerajaan yang berdaulat. Salah satu hubungan kerja sama
yang dibangun daerah Windo dengan daerah-daerah sekitarnya yakni dibangunnya
hubungan kerjasama dengan daerah Tiworo. Hal tersebut sebagaimana di tuturkan
salah seorang informan bahwa “untuk memperkuat pertahanan di Windo akan
melalui Ngapa, Pamandati telah di datangkan bantuan personil dari Tiworo yang
dipimpin oleh Ladana”.
Selain itu, keberadaan Windo sebagai basis pertahanan juga didatangkan
bala bantuan yang berasal dari pusat kerajaan Konawe dan kerajaan Andoolo,
dimana penjelasan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh informan bahwa
“berdasarkan kesepakatan para bangsawan di kasipute, maka dari pusat kerajaan
dikirim bala pasukan bantuan pasukan untuk membantu Lapadi mempertahankan
daerah Windo sedangkan dari Andoolo, dikirim pula bantuan pasukan terutama
para kerabat keluarga dekat Lapadi”.
Pada tahun 1910, Lapadi ditangkap oleh pemerintah Hindia-Belanda. Ia di
penjara selama satu tahun hingga 1911, kemudian Lapadi meloloskan diri dari
penjara di Kendari. Setelah kabur dari penjara, Lapadi kembali menghimpun
pasukannya untuk melakukan perlawanan. Dalam perlawanannya ia di bantu oleh
anaknya bernama Aliyana. Dalam upaya melakukan perlawanan, Lapadi beberapa
kali melakukan pertempuran antara pasukan yang dipimpinnya dengan pasukan
marsoses Belanda pertama. Pertempuran yang terjadi di wilayah watumeeto
memakan korban dari pihak tentara Belanda KNIL. Kedua, pertempuran di daerah
Una disebut Pomboraa, upaya pasukan Marsose dan KNIL yang ingin menyerang
benteng pertahanan Lapadi di kampung Windo. Pertempuran kedua ini terjadi di
Tombangura yang menyebabkan sekitar 26 orang pasukan KNIL meninggal
sedangkan korban dari pihak pribumi sekitar 3 orang. Banyaknya korban dari
Tentara Hindia Belanda yang mengakibatkan pihak Hindia Belanda kembali
mundur dan mengatur siasat. Upaya belanda untuk menyerang Lapadi tidak sampai
disitu, Hindia Belanda mengirim mata-mata guna mengawasi dan melaporkan
kekuatan Lapadi. Seorang pribumi berhianat menunjukan benteng dan cara
menyerang pertahanan Lapadi dan pasukannya dari belakang dan memancing
pasukan Lapadi turun di Tombangura. Dengan demikian kekuatan pasukan Lapadi
berkurang. Kejadian inilah yang membuat Lapadi menyerahkan diri tahun 1911.
Menurut tradisi setempat dan penamaan ada sebuah tanjung yang diberikan
identitas dengan nama tanjung Lapadi (Pambandoko Lapadi) sebagai simbol
perlawanan Lapadi.

Analisis :

Data sejarah menunjkkan bahwa Benteng Lapadi menjadi representasi akan


adanya perlawanan pihak kerajaan Konawe di wilayah Windo, yang dipimpin oleh
Lapadi sebagai pejuang yang memimpin wilayah Windo. Dalam perjuangannya
melawan Hindia Belanda, Lapadi dianggap sebagai salah satu tokoh yang gigih
dalam mempertahankan kerajaan Konawe dari sisi wilayah Windo. Dalam lima kali
serangan yang dilakukan oleh Belanda tidak ada satupun yang berhasil menembus
Benteng atau pertahanan yang berada di wilayah Windo. Hal ini membuktikan
bahwa benteng-benteng pertahanan yang disiapkan sebelumnya oleh rakyat Windo
dibawah pimpinan Lapadi, merupakan pertahanan yang tangguh dan sulit untuk di
taklukan musuh. Hal tersebut memberi gambaran bahwa sistem defensive yang
diterapkan Lapadi dalam menahan laju serangan Belanda berfungsi dengan efektif.
Dimana benteng-benteng tersebut sampai pada masa kini masih dapat disaksikan
keberadaannya sebagai bukti bahwa Windo merupakan wilayah yang dijadikan
sebagai basis pertahanan yang sangat baik.

Status Kepemilikan dan/atau Penguasaan


Status kepemilikan dan/atau penguasaan Benteng (Tondowatu) Lapadi
adalah rumpun keluarga Lapadi.

III. KRITERIA CAGAR BUDAYA

Dasar Hukum:
Pasal 1 poin 1 dan poin 3, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 41, dan
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 130 Tahun 2010.

Alasan:
Berdasarkan hal tersebut di atas, Benteng Lapadi memenuhi kriteria sebagai
Struktur Cagar Budaya, karena:

a. Memiliki umur melebihi dari 50 tahun.


b. Mempunyai nilai sejarah khususnya sejarah perlawanan kerajaan Konawe di
wilayah Windo terhadap Hindia Belanda pada masa lalu.
c. Memperlihatkan ciri khas konstruksi Benteng yakni bercirikan benteng
Tradisional.
Pernyataan Penting:
1. Benteng Lapadi dimanfaatkan sebagai objek penelitian, karena dinilai memiliki
kandungan nilai-nilai pendidikan dalam bidang Sejarah, Arkeologi, Arsitektur
serta sebagai media edukasi nilai-nilai dan wawasan kebangsaan pada generasi
mendatang.
2. Adanya Benteng Lapadi menumbuhkan semangat patriotisme dan heroisme
kepada generasi mendatang.
3. Benteng Lapadi merupakan bukti sejarah bernilai tinggi yang penting bagi
identitas kabupten Konawe Selatan khususnya di kawasan Lainea dan
sekitarnya.
Oleh karena itu Benteng Lapadi merupakan objek tinggalan budaya bersifat
bangunan yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama dan/atau kebudayaan sehingga layak diusulkan menjadi Cagar
Budaya peringkat Kabupaten/Kota.

IV. REKOMENDASI
Berdasarkan kajian terhadap data yang tersedia saat ini, maka Tim Ahli
Cagar Budaya Kabupaten Konawe Selatan merekomendasikan kepada Bupati
Konawe Selatan untuk menetapkan status Benteng Lapadi sebagai Cagar Budaya
dengan kriteria Struktur Cagar Budaya dan peringkat kabupaten/kota.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan kajian terhadap data dan sumber sejarah yang tersedia hingga
saat ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Benteng Lapadi perlu ditetapkan statusnya sebagai Cagar Budaya oleh Bupati
Konawe Selatan, mengingat objek ini masuk dalam kategori Bangunan Cagar
Budaya.
2. Penetapan status sebagai Cagar Budaya tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal
33 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya,
dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah rekomendasi dari Tim Ahli
Cagar Budaya Kabupaten Konawe Selatan.
3. Ditetapkan peringkatnya sebagai Cagar Budaya peringkat kabupaten/kota oleh
Bupati Konawe Selatan.

Demikian hasil kajian Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Konawe Selatan
Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap objek registrasi dan pendaftaran cagar
budaya.
DAFTAR PUSTAKA
REKOMENDASI PENETAPAN
BENTENG (TONDOWATU) LAPADI
SEBAGAI BANGUNAN CAGAR BUDAYA

DISETUJUI OLEH
TIM AHLI CAGAR BUDAYA KABUPATEN KONAWE SELATAN
PROVINSI SULAWESI TENGGARA

KENDARI, MARET 2023

Nama Tanda Tangan

1. Dr. Basri Melamba, M.A.


(Ketua/Anggota)

2. Dr. Jabalnur, SH., MH


(Wakil Ketua /Anggota)
3. Hery Nopianto, S.Sos
(Sekertaris/Anggota)
4. Dr. Sarlan Adi Jaya, S.Sos., M.Si
(Anggota)
5. La Muda, S.Pd., M.Pd. (Anggota)
Lampiran :

Gambar 1. Denah Benteng Lapadi Tampak Atas


(Sumber: Tim Pendaftar, 2023)

Gambar 2. Benteng Lapadi Tampak Depan


(Sumber: Dokumentasi Tim Pendaftar, 2023)
Gambar 3 Tampak samping benteng (Tondowatu) Lapadi
(Sumber: Tim Pendaftar, 2023)

Gambar 4. Sketsa Benteng Lapadi


(Sumber: Tim Pendaftar, 2023)
Gambar 5: Peta Lokasi Benteng Lapadi
(Sumber: Tim Pendaftar, 2023)

Anda mungkin juga menyukai