Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SENI BUDAYA DI MANDAILING SUMATERA UTARA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seni Budaya dan Pariwisata
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah pada mata kuliah Seni Budaya dan
Pariwisata yang berjudul “Seni Budaya di Mandailing Sumatera Utara” tepat pada
waktunya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Salliyanti, M.Hum, selaku dosen
pengampu pada mata kuliah Seni Budaya dan Pariwisata, yang telah memberikan amanah
kepada kami untuk menyusun dan akan menjelaskan materi ini kepada teman-teman,
sehingga pada akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami juga
mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan. Oleh karena itu, kami memohon maaf atas kesalahan dan
ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Dan kami juga
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah
ini.

Medan, 10 April 2022

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 1

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3

BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Pergeseran Budaya Tari Tor-Tor 5
2.2 Sitogol 6
2.3 Lubuk Larangan 6

2.4 Sorik Marapi 6

2.5 Sampuraga 6

BAB III PENUTUP 1

3.1 Kesimpulan 6

3.2 Saran 6

DAFTAR PUSTAKA 1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kabupaten Mandailing Natal adalah nama sebuah wilayah di Provinsi Sumatera Utara
yang diresmikan pada 9 Maret 1999 oleh Menteri Dalam Negeri. Jauh sebelum itu,
sejarah Mandailing Natal sudah sering dibahas baik tentang kisah sebelum maupun
setelah kolonialisme di Indonesia.
Kabupaten Mandailing Natal merupakan daerah penyangga antara dua komunitas
yang berbeda sistem kekerabatannya, yaitu Batak Toba di Tapanuli Utara yang menganut
sistem Patrilineal dan Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal di Sumatera
Barat.Sebagai komunitas penyangga dua kebudayaan, masyarakat Mandailing mengalami
proses akulturasi nilai-nilai budaya dari kedua komunitas tersebut melalui kontak budaya
yang intensif. Mereka dapat memperkaya budi pekertinya antara lain berupa kepribadian
yang menonjolkan kelugasan dan ketegaran dari utara dan kecerdikan dari selatan.
Hal ini berarti sejak penggalan akhir abad ke-14, suku bangsa dan wilayah bernama
Mandailing sudah diakui. Sayangnya, selama lebih dari 5 abad, Mandailing seakan-akan
raib ditelan sejarah. Baru pada abad ke-19, ketika Belanda menguasai tanah berpotensi
sumber daya alam ini, Mandailing mencatat sejarah baru.
Terdapat beberapa versi nama Natal. Ada yang mengatakan bahwa bangsa Portugis
lah yang memberi nama ini karena ketika mereka tiba di pelabuhan di daerah pantai barat
Mandailing, mereka mendapat kesan bahwa pelabuhan alam ini mirip dengan pelabuhan
Natal di ujung selatan Benua Afrika. Adapula yang menyebutkan bahwa armada Portugis
tiba di pelabuhan ini tepat pada hari natal, sehingga mereka menamakan pelabuhan
tersebut dengan nama Natal.
Terdapat ungkapan dalam bahasa Mandailing “Natarida”, yang artinya “yang tampak
(dari kaki gunung-gunung Sprik Marapi di Mandailing). Ungkapan ini kemudian berubah
menjadi Natar. Sampai kini masih banyak orang Mandailing yang menyebut natar untuk
Natal, termasuk Batang Natar untuk Batang Natal.
Kabupaten Mandailing Natal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9
Maret 1999 di kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan. Dalam rangka mensosialisasikan
Kabupaten Mandailing Natal, Bupati Mandailing Natal, Amru Daulay, SH menetapkan
akronim nama Kabupaten Mandailing Natal sebagai Kabupaten Madina yang madani.
Ketika diresmikan, Kabupaten Mandailing Natal baru memiliki 8 Kecamatan, 7
Kelurahan dan 266 Desa. Kemudianpada tahun 2002, dilakukan pemekaran menjadi 17
Kecamatan, 322 Desa, 7 Kelurahan dan 10 unit Pemukiman Transmigrasi (UPT).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah pergeseran budaya tari Tor-Tor?
2. Apakah yang dimaksud dengan sitogol?
3. Apakah yang dimaksud dengan lubuk larangan?
4. Apakah yang dimaksud dengan sorik marapi
5. Apakah yang dimaksud dengan Sampuraga?
6. Bagaimanakah asal-usul Sampuraga?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Menjelaskan pergeseran budaya tari Tor-Tor
2. Mengetahui makna dari sitogol
3. Mengetahui makna dari lubuk larangan
4. Mengetahui makna dari sorik marapi
5. Mengetahui makna dari Sampuraga
6. Memahami bagaimana asal-usul Sampuraga
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pergeseran Budaya Tari Tor-Tor

Menurut Clifford Geertz (dalam Alam 1997: 2) budaya adalah pola-pola arti yang
terwujud sebagai simbol-simbol yang diwariskan secara historis dengan bantuan manusia
mengkomunikasikan, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap terhadap
hidup.

Berdasarkan uraian di atas, budaya dapat diartikan sebagai hal yang dapat diwariskan
dan dilestarikan sehingga nilai yang terkandung pun tetap. Namun saat ini, nilai dari bebagai
budaya mulai bergeser, tak terkecuali Tari Tor-Tor. Jika di masa lalu Tari Tor-Tor digunakan
sebagai sarana penyampaian batin kepada roh-roh leluhur maupun kepada orang yang
dihormati dalam bentuk tarian sebagai rasa hormat. Maka di masa sekarang, tarian ini
digunakan pentas seni menyambut dan menghibur tamu. Dari sisi gerakan, Tari Tor-Tor
memiliki gerakan tangan yang mengandung arti tertentu. Misalnya terdapat empat posisi
tangan, yaitu mane nea yang berarti meminta berkat dan turut menanggung beban, memasu-
masu yang berarti memberi berkat, mangido tua yang berarti meminta atau menerima berkat,
dan manomba yang berarti menyembah, meminta berkat. Ketika gerak ini dilakukan sebagai
pentas seni menyambut dan menghibur tamu, maka hilanglah makna dari posisi tangan
tersebut dan hanya menjadi gerakan tari yang bermakna estetis semata. Dalam segi musik
penggiring, gondang juga mengalami pergeseran nilai. Di masa kini, gondang tidak hanya
menjadi music penggiring tari Tor-Tor semata, namun juga digunakan untuk hal lainnya.

Sekarang ini, tari Tor-Tor tidak lagi menjadi tarian yang berhubungan dengan roh
leluhur, tetapi sudah menjadi sebuah seni budaya. Tari Tor-Tor mulai bertransformasi di ibu
kota, karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan bersama dengan Gondang Sembilang
yang merupakan musik khas batak. Dan tentu saja, tidak lagi menjadi tarian ritual, namun
menjadi tarian hiburan.

Tor-Tor batak adalah identitas seni budaya masyarakat batak yang harus dilestarikan
dan tidak lenyap oleh perkembangan zaman dan peradaban manusia. Tari Tor-tor batak
mengandung nilai etika, moral dan budi pekerti yang perlu ditanamkan kepada generasi
muda. Makna tari Tor-Tor pada zaman dahulu saat agama belum berkembang di Sumatera
Utara berbeda dengan tarian Tor-Tor saat ini. Perbedaan tersebut tidak menghilangkan
identitas dari nilai yang dikandung dalam tarian Tor-Tor. Perbedaannya hanya ada pada
tujuannya, yang dahulunya ditujukan kepada roh halus, sekarang ditujukan sebagai hiburan
tarian tradisional.

2.2 Sitogol

Ende Sitogol adalah nyanyian rakyat Mandailing yang bersifat individual dan
dinyanyikan di tempat tertentu yang biasanya tidak disaksikan oleh orang banyak. Penyajian
ende sitogol adalah penyajian music tunggal, yang menampilkan seorang musikus dalam
memainkan alat musik tertentu. Alat musik yang digunakan adalah alat music melodis yaitu
suling, yang berfungsi untuk memainkan susunan nada-nada (melodi) sebuah lagu, yang
kemudian dinyanyikan secara solo dengan tempo sedang.

Ende sitogol sangat perlu dilestarikan karena sudah mulai tertingal. Untuk itu, sangat
perlu dikembangkan dan diperkenalkan kembali pada generasi muda dengan mengadakan
pertunjukan seni Mandailing supaya tidak hilang begitu saja.

2.3 Lubuk Larangan

Lubuk larangan adalah sebuah tempat yang berada di sungai yang disepakati oleh
masyarakat bersama lembaga adat, yang mana tempat tersebut dilarang untuk mengambil
ikan dan lain-lain. Lubuk larangan yang terdapat di desa Lubuk Beringin banyak terdapat
ikan ash dataran tinggi yang hidup di sungai tersebut, seperti ikan semah, ikan garing, ikan
dalam, ikan belido, dan lain-lain.

Dalam tradisi ini, untuk panen di Lubuk Larangan waktunya telah ditentukan
bersama. Ada yang jangka waktunya selama 1 tahun, 2 tahun, bahkan lebih. Panen pun
dilakukan secara bersama oleh masyarakat, baik yang tua maupun yang muda. Meskipun
dilakukan secara bersama-sama, pelaksanaannya memiliki aturan yang telah ditentukan juga.
Masyarakat tidak ingin merusak alam yang telah mereka jaga tersebut. Masyarakat tidak
boleh memanen lebih dari 2 lampu petromaks, tidak boleh menggunakan jala yang lebar, dan
tidak boleh menabur racun.
Peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan adalah peralatan tradisional, seperti
jaring yang berukuran tiga jari. Hal ini bertujuan agar ikan-ikan kecil tidak tertangkap
sehingga memiliki kesempatan untuk tumbuh dan bertelur. Selain menggunakan jaring,
masyarakat juga menggunakan sampan untuk menangkap ikan, karena peralatan tersebut
tidak akan memberikan dampak negatif pada sungai atau ikan-ikan yang ada.

Lubuk larangan memiliki fungsi yang sangat beragam, yaitu menjaga kelestarian
hutan, air, tanah serta melestarikan adat istiadat setempat. Tradisi ini pun dapat bernilai
secara ekonomis dan menjadi perekat kebersamaan masyarakat setempat.

2.4 Sorik Marapi

Gunung sorik marapi Kabupaten Mandailing Natal merupakan salah satu gunung
berapi aktif di Sumatera Utara. Puncak yang berada pada kawasan Taman Nasional Batang
Gadis ini memiliki ketinggian 2.142 m di atas permukaan laut. Dari kaki sorik marapi
terhampar sawah dan ladang hingga ke perkampungan warga dengan deretan rumah
beratapkan ijuk dan udara yang sejuk.

Tiba di puncak gunung, terhampar pemandangan yang sangat eksotis, dengan sebuah
danau vulkanik, dan telaga kecil di sisi lainnya. Lalu sepanjang kawasan vulkanik, di atas
batu berkerikil yang khas, dapat ditemukan sebaran tanaman karamonting dengan spesies
yang berbeda dengan karamonting yang ditemukan di dataran rendan Sumatera lainnya.
Buahnya lebih kecil dan warnanya berbeda, buah ini sering dimakan anak-anak setempat dan
rasanya unik dan menyegarkan.

2.5 Sampuraga

Sumatera Utara memiliki banyak destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi para
wisatawan. Salah satunya adalah kolam air panas Sampuraga di Mandailing Natal, Sumatera
Utara. Seperti legenda Malin Kundang, Sampuraga ini konon katanya terbentuk karena
murka Tuhan kepada seorang anak terhadap ibunya. Legenda Sampuraga ini bermula dari
desa yang tepatnya di Padang Bolak.
Alkisah, seorang anak laki-laki yang bernama Sampuraga merantau dengan
meninggalkan ibunya, menuju Kerajaan Silanjang di desa Sirambas untuk mengubah nasib.
Sesampainya disana, ia ditawari pekerjaan di rumah raja. Atas ketekunan dan kejujurannya,
raja pun memodali Sampuraga untuk membuka usaha yang kemudian berjalan dengan sukses.
Raja pun terpukau dengan keuletan Sampuraga, kemudian raja menjodohkan Sampuraga
dengan puterinya. Lalu kabar gembira ini pun sampai kepada ibu Sampuraga. Dan ibunya
pun mendatangi lokasi pernikahannya. Namun, kehadiran sang ibu ditolak oleh Sampuraga,
karena ia malu. Ibunya pun sakit hati, lalu berdoa kepada Tuhan. Tak lama kemudian, langit
menghitam dan badai dahsyat pun datang. Hujan turun dengan derasnya tanpa henti. Kerajaan
Silanjang pun akhirnya musnah. Dan beberapa hari setelah hujan reda, yang tersisa di
kerajaan tersebut hanya onggokan tanah dan bebatuan kapur, dengan sumber mata air panas
di bawahnya yang terus mengalir.

Kolam air panas ini pun akhirnya dinamakan Sampuraga. Selain melihat air panas
dari balik pagar, para wisatawan juga dapat berendam atau terapi di pinggir aliran sungai
Sampuraga. Tempat ini dikelola sebagai objek wisata Sampuraga Madina yang berada di
Desa Sirambas, Kecamatan Panyabungan Barat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :

1. Tari Tor-Tor memiliki pergeseran budaya. Yang dahulunya sebagai tarian untuk
menghormati roh leluhur, sekarang menjadi tarian untuk menyambut dan menghibur
tamu.
2. Tari Tor-Tor memiliki pergeseran budaya dalam segi gerakan dan segi musik.
3. Ende Sitogol merupakan nyanyian masyarakat mandailing yang bersifat individual,
dan dinyanyikan di tempat tertentu. Nyanyian ini menggunakan alat musik suling,
kemudian dinyanyikan secara solo dengan tempo sedang.
4. Lubuk larangan adalah sebuah tempat yang dilarang untuk mengambil ikan, kecuali
pada saat panen yang waktunya telah ditentukan bersama, seperti setahun sekali, atau
dua tahun sekali. Dan pemanenannya juga dibatasi, tidak boleh melebihi 2 lampu
petromaks.
5. Sorik marapi adalah gunung berapi yang aktif di Sumatera Utara. Puncaknya berada
pada kawasan Taman Nasional Batang Gadis.
6. Sampuraga adalah kolam air panas yang berada di desa Sirambas, Kecamatan
Panyabungan Barat. Konon katanya, Sampuraga ini seperti Malin Kundang, yang
terbentuk karena murka Allah kepada Sampuraga yang telah durhaka kepada ibunya.

3.2 Saran

Disarankan kepada mahasiswa semester VI, yang sedang mengambil mata kuliah Seni
Budaya dan Pariwisata untuk benar-benar mempelajari serta memahami Seni Budaya dan
Pariwisata yang ada di Indonesia, agar dapat ikut berpartisipasi dalam pariwisata yang ada di
Indonesia. Serta kami mengajak seluruh masyarakat untuk melakukan eksplorasi mendalam
terhadap seni budaya yang sangat potensial untuk dijadikan daya tarik pariwisata Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Salliyanti. 2022. Seni Budaya dan Pariwisata, Medan: Universitas Sumatera Utara.

https://www.merdeka.com/sumut/serunya-lubuk-larangan-tradisi-unik-tangkap-ikan-sambut-
lebaran.html

https://berita.madina.go.id/sejarah-dan-budaya-mandailing-natal/

Anda mungkin juga menyukai