Anda di halaman 1dari 7

Hewan Dalam Pandangan Islam

Ketika berhenti di tengah perjalanan untuk beristirahat atau menunaikan salat, Rasul menganjurkan
para sahabatnya agar mengurangi muatan pada hewan pemuat dan memberinya makan. Beliau juga
memperingatkan bahwa binatang-binatang itu harus dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Suatu
ketika beliau melihat seseorang duduk di atas punggung unta di tengah-tengah pasar sambil
mengobrol dengan sesamanya. Beliau lantas menegurnya,
“Janganlah kalian jadikan punggung-pungung binatang peliharaanmu sebagai mimbar (untuk
bercakap-cakap), karena Allah membuat mereka tunduk kepadamu supaya mereka membawamu
pergi dari satu tempat ke tempat lain yang tidak dapat kamu capai kecuali dengan badan yang letih.
Allah telah menjadikan untuk kalian tanah, maka selesaikanlah segala urusan kalian di sana-bukan
di atas punggung binatang” (Riwayat Abū Dāwūd dari Abū Hurairah)

Barang siapa membunuh burung pipit tanpa alasan yang dibenarkan maka burung tersebut akan
melapor kepada Allah pada hari kiamat. la berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya Fulan telah
membunuhku dengan sia-sia. Ia tidak membunuhku untuk suatu manfaat” (Riwayat Aḥmad, an-
Nasā’i dan Ibnu  Ḥibbān dari asy-Syūrāid bin Suwaid)
 
Nabi mengajarkan bahwa sikap dan tindakan manusia terhadap binatang akan menentukan nasib
mereka di akhirat, sebagaimana diriwayatkan dalam dua kesempatan terpisah berikut.
Seorang wanita disiksa Allah (pada hari kiamat) lantaran mengurung seekor kucing sehingga kucing
itu mati. Karena itu Allah memasukkannya ke neraka. Kucing itu dikurungnya tanpa diberi makan
dan minum, dan tidak pula dilepaskannya supaya kucing itu makan serangga-serangga bumi
(dengan sendirinya) (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari  ‘Abdullāh bin ‘Umar)
 
Ada seorang pria yang sedang berjalan, lalu ia merasakan haus yang sangat. Kemudian ia
mendapati sebuah sumur, lalu ia mendekatinya dan minum dari air sumur tersebut. Ia pun beranjak
meninggalkan sumur, ketika tiba-tiba ia mendapati seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya
dan menjilati tanah akibat kehausan. Pria itu berkata, “Anjing ini benar-benar kehausan seperti yang
aku alami tadi.” Maka ia turun ke sumur tadi, dan diisinya sepatunya dengan air. Ia menggigit
sepatu itu dengan mulutnya hingga hausnya hilang, lalu ia menuangkan air di dalamnya ke mulut
anjing itu hingga merasa segar kembali. Anjing itu pun bersyukur kepada Allah atas bantuan pria
tadi, dan karenanya Allah mengampuni pria itu. Usai mendengar kisah ini para sahabat lalu
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan dapat pahala dengan berbuat baik kepada hewan?”
Beliau menjawab, “(Perbuatan baik) kepada setiap makhluk yang bernyawa pasti diberi pahala.”
(Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Abū Hurairah)   
 
Rasulullah melarang manusia berlaku kejam terhadap binatang, salah satunya dengan mengadu satu
dengan lainnya. Dengan demikian, adu domba dan sabung ayam, misalnya adalah hal yang
diharamkan oleh agama. Lomba melukai hewan, misalnya pertarungan antara banteng dan matador,
adalah sama kejinya dengan mengadu hewan, dan karenanya juga diharamkan. Demikian pula
membunuh binatang untuk sekadar mencari kesenangan. Mari kita perhatikan hadis berikut.
Pada suatu hari Ibnu ‘Umar bertandang ke rumah Yaḥyā ibn Sa‘id. Di sana ia mendapati seorang
bocah yang merupakan salah satu putra Yaḥyā sedang mengikat seekor ayam dan melemparinya
dengan batu. Ibnu ‘Umar bergegas mendekati ayam itu dan melepaskan ikatannya. Beberapa saat
kemudian ia menemui Yaḥyā sambil memegang ayam dan bocah tadi. Ia berkata, “Wahai Yaḥyā,
laranglah anakmu mengikat hewan ini untuk dibunuhnya! Sungguh, aku mendengar bahwa
Rasulullah melarang para sahabat mengikat binatang atau makhluk hidup lainnya untuk tujuan
dibunuh.” (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Ibnu ‘Umar)

Bila etika menyembelih hewan sudah dijelaskan dengan cukup rinci dalam banyak hadis, tidak
demikian adanya dengan pemanfaatan hewan sebagai objek percobaan/penelitian. Untuk
mengetahui hukum hal tersebut kita memerlukan kaidah-kaidah yang  ada di dalam disiplin ilmu
fikih. Fikih yang merupakan ilmu yang menuntun umat Islam dalam menentukan hukum suatu
persoalan, apakah diperbolehkan atau dilarang. Berdasarkan kajian-kajian fikih diperoleh keputusan
bahwa jika eksperimen pada hewan bertujuan memperoleh pengetahuan yang benar-benar
bermanfaat bagi kehidupan manusia dan/atau makhluk lainnya, maka eksperimen tersebut dapat
disetujui; tidak bila didasarkan pada alasan yang tidak demikian.
Terkait penggunaan hewan sebagai objek eksperimen, fikih memberi rambu-rambu sebagai berikut.
1. Menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang bersifat menyakiti, dan tindakan-
tindakan lain yang mengakibatkan kebutaan atau cacat semisalnya pada hewan, hukumnya
haram;
2. Pengujian obat-obatan kepada hewan, sebelum obat itu dinyatakan aman bagi manusia,
hukumnya boleh;
3. Menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang sembarangan dan tanpa tujuan yang
jelas hukumnya haram.
Kesetaraan banyak dibicarakan dalam Alquran antara manusia di satu pihak dan hewan di pihak lain.
Ayat di atas menjelaskan bahwa hewan juga makhluk Allah, sama dengan manusia. Walau mereka
mempunyai ciri, kekhususan, dan sistem kehidupan yang berbeda-beda, pada hakikatnya mereka
sama dengan manusia di mata Allah. Manusia diwajibkan untuk mengingat hal itu; bahwa mereka
semua adalah ummah. Ayat ini sudah sangat jauh melihat ke depan dalam implikasi moral dan
ekologi di dunia ini.
Islam tidak membenarkan manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga
maupun sebagai objek eksperimen sembarangan. Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa Sang
Pencipta telah menjadikan semua yang ada di alam, termasuk satwa, sebagai amanat yang mesti
dijaga. Konsep Islam dalam memenuhi hak-hak binatang sudah jelas, misalnya bagaimana
seharusnya  manusia memperlakukan binatang yang telah membantu kehidupannya. Konsep itu
salah satunya terkandung dalam hadits-hadits berikut.
Sesungguhnya Rasulullah melihat seekor unta yang sedang terikat sambil menggendong muatan
(milik majikannya), lalu beliau bertanya, “Siapakah pemilik hewan ini? Tidakkah engkau takut
kepada Allah berkaitan dengan hewan ini? Seharusnya engkau memberinya makan atau
melepaskannya agar ia mencari makan sendiri!” (Riwayat aṭ-Ṭabrāni dari Ibnu ‘Umar)

CIOMS & WHO 2008


PEDOMAN 1
Pembenaran Etis dan Validitas iImiah Penelitian Epidemiologi yang Melibatkan Manusia.
 Suatu pembenaran etis penelitian epidemiologi yang melibatkan subjek manusia adalah
dalam rangka menemukan cara-cara baru untuk meningkatkan kesehatan individu,
kelompok dan populasi.
 Penelitian tersebut secara etis dapat dibenarkan hanya jika dilakukan dengan cara yang
menghormati dan melindungi, serta adil bagi subjek penelitian, dan yang secara moral dapat
diterima oleh masyarakat dimana penelitian tersebut dilakukan.
 Selain itu, karena penelitian yang tidak valid secara ilmiah adalah tidak etis dilakukan, dalam
hal ini subjek dihadapkan pada risiko tanpa kemungkinan manfaat, peneliti dan sponsor
harus memastikan bahwa penelitian yang diusulkan melibatkan subjek manusia berlaku
umum prinsip-prinsip ilmiah dan didasarkan pada pengetahuan yang memadai berdasarkan
literatur ilmiah yang bersangkutan.
PEDOMAN 5 (informed consent)
Memperoleh Persetujuan : Informasi Penting bagi Calon Subjek Penelitian
 Sebelum meminta persetujuan individu untuk berpartisipasi dalam penelitian, peneliti harus
memberikan informasi berikut ini, dalam bahasa atau bentuk lain komunikasi yang individu
dapat tersebut dapat memahami. Informasi tersebut meliputi:
1. Bahwa individu diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian, informasi berupa alasan
dalam hal mempertimbangkan individu cocok untuk penelitian, dan partisipasi yang bersifat
sukarela;
2. Bahwa individu bebas untuk menolak berpartisipasi dan akan bebas untuk menarik diri dari
penelitian setiap saat tanpa hukuman atau kehilangan manfaat yang menjadi hak atasnya;
3. Tujuan penelitian, prosedur yang harus dilakukan oleh peneliti dan subjek, dan penjelasan
tentang bagaimana penelitian berbeda dari perawatan medis rutin;
4. Untuk uji coba terkontrol, penjelasan tentang berbagai gambaran desain penelitian
(misalnya, pengacakan, double-blinded), dan bahwa subjek tidak akan menceritakan
perlakuan yang diberikan sampai penelitian telah selesai dan proses
penyamaran/pembutaan telah dibuka;
5. Durasi diharapkan partisipasi individu (termasuk jumlah dan durasi kunjungan ke pusat
penelitian dan total waktu yang terlibat) dan kemungkinan terminasi dini sidang atau
partisipasi individu di dalamnya;
6. Apakah uang atau bentuk lain dari barang-barang material akan diberikan sebagai imbalan
atas partisipasi individu;
7. Bahwa, setelah selesainya penelitian, subjek akan diberitahu tentang hasil temuan penelitian
secara umum, dan subjek individu akan diberitahu tentang temuan yang berkaitan dengan
status kesehatan tertentu mereka;
8. Bahwa subjek memiliki hak akses ke data mereka atas permintaan mereka, bahkan jika data
ini kurang utilitas klinis secara langsung
9. Resiko mendatang, rasa sakit atau ketidaknyamanan, atau ketidaknyamanan kepada individu
(atau orang lain) yang terkait dengan partisipasi dalam penelitian, termasuk risiko terhadap
kesehatan atau kesejahteraan pada pasangan subjek atau pasangan;
10. Manfaat langsung, jika ada, diharapkan dapat dihasilkan bagi subjek atas berpartisipasinya
dalam penelitian;
11. Manfaat yang diharapkan dari penelitian bagi masyarakat atau masyarakat luas, atau
kontribusi untuk pengetahuan ilmiah;
12. Apakah, kapan dan bagaimana produk atau intervensi dibuktikan oleh penelitian yang aman
dan efektif akan tersedia untuk subjek setelah mereka menyelesaikan partisipasi mereka
dalam penelitian, dan apakah mereka akan diharapkan untuk membayar bagi mereka;
13. Setiap saat tersedia intervensi alternatif atau program pengobatan;
14. Ketentuan yang akan dibuat untuk memastikan menghormati privasi subyek dan untuk
kerahasiaan catatan di mana subyek diidentifikasi;
15. Batas, hukum atau lainnya, kemampuan para peneliti untuk melindungi kerahasiaan, dan
kemungkinan konsekuensi pelanggaran kerahasiaan;
16. Kebijakan berkaitan dengan penggunaan hasil tes genetik dan informasi genetik keluarga,
dan tindakan pencegahan untuk mencegah pengungkapan hasil tes genetik subjek untuk
kerabat keluarga dekat atau orang lain (misalnya, perusahaan asuransi atau pengusaha)
tanpa persetujuan dari subjek;
17. Sponsor penelitian, afiliasi institusi dari para peneliti, dan sifat dan sumber pendanaan untuk
penelitian;
18. Penelitian mungkin menggunakan secara langsung atau sekunder, dari catatan medis subjek
dan spesimen biologi diambil dalam perjalanan perawatan klinis (Lihat juga Pedoman 4 dan
Komentar 18);
19. Apakah itu direncanakan bahwa spesimen biologi dikumpulkan dalam penelitian akan
hancur pada kesimpulan, dan, jika tidak, rincian tentang penyimpanan mereka (di mana,
bagaimana, untuk berapa lama, dan terakhir disposisi) dan penggunaan di masa depan, dan
bahwa subyek memiliki hak untuk memutuskan tentang penggunaan masa depan tersebut,
menolak penyimpanan, dan memiliki materi hancur (Lihat Komentar Pedoman 4);
20. Apakah produk komersial dapat dikembangkan dari spesimen biologi, dan apakah peserta
akan menerima uang atau manfaat lainnya dari pengembangan produk tersebut;
21. Apakah peneliti adalah melayani hanya sebagai peneliti atau baik sebagai peneliti sekaligus
dokter bagi subjek;
22. Sejauh mana tanggung jawab peneliti untuk memberikan pelayanan medis kepada peserta;
23. Pengobatan yang akan diberikan secara gratis untuk jenis cedera tertentu yang
berhubungan dengan penelitian atau komplikasi yang berhubungan dengan penelitian, sifat
dan lamanya perawatan tersebut, nama organisasi atau individu yang akan memberikan
pengobatan, dan apakah ada adalah ketidakpastian mengenai pendanaan dari pengobatan
tersebut;
24. Dengan cara apa, dan dengan apa organisasi, subjek atau keluarga subjek atau tanggungan
akan diberi kompensasi untuk kecacatan atau kematian akibat cedera tersebut (atau, jika
diindikasikan, bahwa tidak ada rencana untuk memberikan kompensasi tersebut);
25. Apakah atau tidak, di negara di mana calon subjek diundang untuk berpartisipasi dalam
penelitian, hak untuk kompensasi dijamin secara hukum;
26. Bahwa komite peninjau etik telah menyetujui atau protokol penelitian jelas
Dalam melakukan penelitian kesehatan, peneliti diharapkan memenuhi kriteria standar etik
penelitian yang pelaksanaannya terbagi menjadi tiga fase seperti berikut dibawah ini:
Sebelum Pelaksanaan Penelitian (KEPPKN):
1. Peneliti memiliki penguasaan yang baik atau kompeten dibidang topik penelitian.
2. Penelitian kesehatan yang mengikutsertakan subjek manusia harus dilaksanakan hanya oleh
orang yang berkualifikasi ilmiah dan di bawah pengawasan petugas medis yang kompeten
secara klinis. Tanggung jawab atas subjek manusia harus selalu berada pada orang yang
berkualifikasi medis dan tidak pernah pada subjek penelitian, meskipun subjek telah
memberikan izin.
3. Peneliti memahami standar etik penelitian yang mengikutsertakan subjek manusia. Peneliti
memahami deklarasi Helsinki yang memuat panduan untuk para peneliti / Ilmuwan/dokter
dalam penelitian kesehatan yang melibatkan subjek manusia dan dasar prinsip etik yaitu:
respect for persons, beneficence, dan justice.
4. Sebelumnya peneliti harus melakukan penilaian cermat mengenai risiko dan beban yang
dapat diprediksi pada subjek manusia dibandingkan dengan manfaat yang dapat terlihat bagi
subjek tersebut atau pihak lainnya.
5. Peneliti harus berupaya meminimalkan risiko dan ketidaknyamanan yang akan dialami
subjek. Peneliti harus memberikan perlindungan khusus bila penelitian itu mengikutsertakan
subjek yang rentan (vulnerable).
Perlindungan subjek yang berpartisipasi dalam penelitian, meliputi:
- penggunaan protokol penelitian sesuai kaidah ilmiah dan teknis, yang secara efektif
menempatkan kesejahteraan peserta di atas kepentingan ilmu pengetahuan dan
masyarakat.
- memiliki tugas untuk berkomunikasi dengan calon subjek atas semua informasi yang
diperlukan untuk persetujuan diinformasikan.
- melindungi kerahasiaan peserta sebagaimana diatur dalam informed consent diminimalkan /
menghindari stigma dalam masyarakat setempat
6. Peneliti harus melakukan penelitian sesuai dengan protokol yang disetujui; hanya dapat
membuat perubahan dengan persetujuan terlebih dahulu dari sponsor dan KEPK. Peneliti
juga harus melakukan penelitian dengan integritas:
7. Oleh pelatihan yang memadai, etik, dan memastikan integritas data melalui ketaatan pada
prosedur penelitian, transparan dalam identifikasi dan pengelolaan konflik kepentingan.
8. Mematuhi semua keputusan, ketentuan, dan rekomendasi KEPK.
9. Harus melaporkan ke KEPK apapun efek samping atau masalah tak terduga yang melibatkan
risiko kepada peserta, termasuk pelanggaran protokol atau keluhan dari para peserta.
10. Melanjutkan perlindungan peserta setelah penelitian selesai, seperti penyediaan pelayanan
kesehatan, komplikasi atau fasilitasi akses ke produk penelitian.
11. Bila penelitian menggunakan hewan, peneliti wajib mengetahui spesies hewan yang
digunakan, jumlah hewan yang diperlukan. Hanya hewan yang dibenarkan secara hukum
yang dapat digunakan untuk penelitian. Perlakuan yang benar yang akan diberikan kepada
hewan, mengikuti prinsip 3R termasuk pemberian anestesi untuk mengeliminasi sensibilitas
atas nyeri perlu dikuasai peneliti.
Penerapan Dalam Bioetika (sejarah manusia sebagai objek penelitian )
Dalam bidang bioetika, sangat ditekankan mengenai penghormatan kepada manusia sebagai
persona. Hal ini menjadi sangat penting karena banyak keputusan bioetis-medis yang tergantung
pada kepesonaannya. Hal ini ditambah lagi dengan terjadi kasus-kasus dalam sejarah penelitian
biomedis dimana manusia hanya dipandang sebagai alat atau sarana saja untuk mencapai tujuan,
bukan dipandang sebagai pesona.
• Pelanggaran penghormatan terhadap martabat manusia bisa terjadi dilingkungan peneliti
dan / ilmuwan yang demi gengsi supaya dicatat sebagi penemu atau orang yang pertama
bisa mengorbankan orang lain untuk mencapai cita-citanya. Beberapa kejadian besar pernah
terjadi dalam sejarah penelitian biomedis, misalnya riset yang dilakukan oleh dokter Nazi,
Tuskegee Syphilis Study, penelitian cacar oleh Edward Jenner (1749-1823), yellow fever
experiment dan sebagainya. Dalam semua kasus itu manusia hanya dipandang sebagai alat
untuk penelitian biomedis.
Skandal pelanggaran etik bukan hanya terjadi pada saat Perang Dunia II saja, tetapi
juga di negara lainnya. Contoh terkenal tentang lamban dan sulitnya masyarakat ilmiah
kesehatan sadar tentang pelanggaran etik penelitian kesehatan adalah peristiwa Tuskegee
Syphilis Study. Studi Tuskegee dilakukan oleh Tuskegee Institute di Macon Country,
Alabama, Amerika Serikat, bertujuan mempelajari perkembangan alamiah penyakit sifilis.
Sebanyak 82 persen penduduk Mason terdiri atas orang kulit hitam yang miskin sehingga
studi tidak lepas dari permasalahan konflik rasial, yang waktu itu masih sangat dominan.
Survei pendahuluan menemukan terjadinya epidemi sifilis, dimana 36 persen penduduk
menderita sifilis. Selama studi berjalan (1930-1972) pada 400 penderita sifilis dengan secara
sengaja dan terencana, sesuai protokol studi, obat yang sangat efektif (penisilin G) sengaja
tidak diberikan supaya perkembangan alamiah penyakit sifilis dapat diamati dan dipelajari.
Baru pada tahun 1972 Studi Tuskegee terbongkar oleh Jean Heller, seorang wartawati The
Associated Press dan menjadi berita utama berbagai koran di seluruh Amerika Serikat. Pada
16 November 1972, studi itu secara resrni dihentikan oleh Menteri Kesehatan Casper
Weinberger dan diselesaikan di luar sidang pengadilan dengan pembayaran kompensasi.
Saat penelitian dihentikan tercatat 28 penderita meninggal dengan penyebab langsung
karena sifilis, 100 orang penderita meninggal karena komplikasi sifilis, 40 isteri tertular sifilis,
dan 19 anak lahir cacat karena sifilis. Akhirnya pada 11 Mei 1997, Presiden Clinton secara
resmi meminta maaf untuk skandal itu.
BELMONT REPORT
- Pertama, bahwa setiap individu harus diperlakukan sebagai subjek yang otonom yang
berhak mengatur dirinya sendiri.
- Kedua, bahwa orang-orang yang berkurang otonominya harus mendapat perlindungan
khusus.
Menghormati manusia sebagai persona mencakup 2 hal penting :
1. Respect for Person : yang kita hormati manusianya
2. Respect for Autonomy : yang kita hormati keputusannya
Menurut Belmont Report menghormati manusia sebagai persona mencakup dua hal penting. Yang
pertama ditegaskan bahwa setiap individu harus diperlakukan sebagai subjek yang otonom yang
berhak mengatur dirinya sendiri. Yang kedua ditegaskan bahwa orang-orang yang berkurang
otonominya harus mendapatkan perlindungan khusus. Hal tersebut yang membedakan secara
subtansial antara respect for person (menghormati manusianya) dan respect for autonomy
(menghormati keputusannya, apapun yang diputuskan oleh seseorang harus dihormati).
Berkurangnya otonomi bisa disebabkan berbagai macam hal, misalnya karena faktor intern (sakit,
psikologis, kesadarannya berkurang, kemampuan berpikir kurang, sakit mental dan sebagainya)
ataupun karena faktor eksternal ( pembatasan oleh orang/institusi lain, keadaan alam, keadaan
sosial-ekonomi, dan sebagainya).
Orang yang berkurang kemampuan otonominya karena sebab tertentu sehingga dia tidak bisa
mengatasi ancaman yang datang masuk kedalam klasifikasi orang yang vulnerable.
Menurut belmont report, seorang yang otonom adalah orang yang mampu mempertimbangkan dan
memutuskan tujuan pribadinya serta bertindak sesuai dengan keputusan itu.
Dalam riset kesehatan dan pelayanan kesehatan, orang tidak boleh dipaksa untuk ikut ataupun tidak
ikut. Keikutsertaan seseorang dalam penelitian ataupun dalam pelayanan kesehatan harus
ditentukan sendiri oleh orang yang bersangkutan.
Prinsip Etik KEPPKN
Setelah terjadinya skandal tersebut, pada tahun 1976 Departemen Kesehatan, Pendidikan dan
Kesejahteraan Amerika Serikat melahirkan The Belmont Report yang merekomendasikan tiga prinsip
etik umum penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian. Secara
universal, ketiga prinsip tersebut telah disepakati dan diakui sebagai prinsip etik umum penelitian
kesehatan yang memiliki kekuatan moral, sehingga suatu penelitian dapat dipertanggung-jawabkan
baik menurut pandangan etik maupun hukum.
Ketiga prinsip etik dasar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip menghormati harkat martabat manusia (respect for persons).
Prinsip ini merupakan bentuk penghormatan terhadap harkat martabat manusia sebagai
pribadi (personal) yang memiliki kebebasan berkehendak atau memilih dan sekaligus
bertanggung jawab secara pribadi terhadap keputusannya sendiri. Secara mendasar prinsip
ini bertujuan untuk menghormati otonomi, yang mempersyaratkan bahwa manusia yang
mampu memahami pilihan pribadinya untuk mengambil keputusan mandiri (self-
determination), dan melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang,
mempersyaratkan bahwa manusia yang berketergantungan (dependent) atau rentan
(vulnerable) perlu diberikan perlindungan terhadap kerugian atau penyalahgunaan (harm
and abuse).
2. Prinsip berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence)
Prinsip etik berbuat baik menyangkut kewajiban membantu orang lain dilakukan dengan
mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal. Subjek manusia diikutsertakan
dalam penelitian kesehatan dimaksudkan membantu tercapainya tujuan penelitian
kesehatan yang sesuai untuk diaplikasikan kepada manusia.
Prinsip etik berbuat baik, mempersyaratkan bahwa:
- Risiko penelitian harus wajar (reasonable) dibanding manfaat yang diharapkan;
- Desain penelitian harus memenuhi persyaratan ilmiah (scientifically sound);
- Para peneliti mampu melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu menjaga kesejahteraan
subjek penelitian dan;
- Prinsip do no harm (non maleficent - tidak merugikan) yang menentang segala tindakan
dengan sengaja merugikan subjek penelitian.
- Prinsip tidak merugikan adalah jika tidak dapat melakukan hal yang bermanfaat, maka
sebaiknya jangan merugikan orang lain. Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subjek
penelitian tidak diperlakukan sebagai sarana dan memberikan perlindungan terhadap
tindakan penyalahgunaan.
3. Prinsip keadilan (justice)
Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap orang
(sebagai pribadi otonom) sama dengan moral yang benar dan layak dalam memperoleh
haknya. Prinsip etik keadilan terutama menyangkut keadilan yang merata (distributive
justice) yang mempersyaratkan pembagian seimbang (equitable), dalam hal beban dan
manfaat yang diperoleh subjek dari keikutsertaan dalam penelitian. Ini dilakukan dengan
memperhatikan distribusi usia dan gender, status ekonomi, budaya dan pertimbangan etnik.
Perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat hanya dapat dibenarkan jika didasarkan
pada perbedaan yang relevan secara moral antara orang-orang yang diikutsertakan. Salah
satu perbedaan perlakuan tersebut adalah kerentanan (vulnerability). Kerentanan adalah
ketidakmampuan untuk melindungi kepentingan diri sendiri dan kesulitan memberi
persetujuan, kurangnya kemampuan menentukan pilihan untuk memperoleh pelayanan
atau keperluan lain yang mahal, atau karena tergolong yang muda atau berkedudukan
rendah pada hirarki kelompoknya. Untuk itu, diperlukan ketentuan khusus untuk melindungi
hak dan kesejahteraan subjek yang rentan.

PRINSIP ETIK RCT


Prinsip etik lain yang juga diterapkan dalam etik uji klinik ialah prinsip Belmont yang intinya
menekankan perlu diterapkan rasa hormat terhadap subjek penelitian (respect for person), tidak
melakukan sesuatu yang merugikan subjek, memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko
(beneficence) dan keadilan (justice). Dalam melakukan uji klinik dengan desain Randomized Clinical
Trial (RCT) yang etis, juga ditekankan perlu adanya equipoise, yaitu perlunya adanya keadilan. Bila
misalnya ada suatu penelitian RCT yang membandingkan efikasi obat A versus obat B, maka
penelitian ini dianggap etis bila jumlah orang yang berpendapat bahwa obat A yang lebih baik adalah
kurang lebih sama banyaknya dengan jumlah orang lain yang berpendapat obat B lebih baik.
Bila semua orang berpendapat bahwa salah satu obat akan lebih baik dari yang lainnya, maka
penelitian ini tidak equipoise dan tidak etis untuk dikerjakan. Dengan perkataan lain, bila sebelum
suatu uji klinik dengan desain RCT dikerjakan, bila ada keraguan obat mana yang akan lebih efektif
maka penelitian ini adalah etis karena di sini terpenuhi prinsip keadilan.

Desain
Terdapat perbedaan mendasar antara studi observasional dengan uji klinik. Studi
observasional biasanya diterapkan dalam penelitian epidemiologi yang bersifat observasional
(misalnya desain case control, cross sectional, atau cohort). Semua uji klinik bersifat eksperimental,
artinya peneliti sengaja memberikan obat kepada subjeknya untuk mengetahui efek apa yang akan
terjadi. Di atas telah diuraikan bahwa uji klinik fase 1 dan fase 2 awal bersifat terbuka dan tidak
menggunakan pembanding. Uji klinik fase 2 akhir dan fase 3 menggunakan desain acak dan
berpembanding (randomized controlled trial, RCT). Uji klinik fase 4 bisa bersifat eksperimental
maupun observasional.61
Tergantung dari tujuan penelitian, obat pembanding bisa berupa obat standar yaitu obat
yang diketahui merupakan obat terpilih untuk penyakit yang akan diobati, atau bisa berupa plasebo
yaitu suatu bahan yang diketahui tidak mengandung khasiat apapun untuk kondisi yang diobati.
Umumnya plasebo hanya boleh digunakan untuk kondisi atau penyakit yang belum ada obatnya,
namun untuk kondisi yang ringan plasebo boleh diberikan kepada subjek penelitian untuk jangka
waktu singkat.
Penelitian epidemiologi menghadiapi masalah etik yang lebih kecil dibandingkan dengan penelitian
eksperimental, tetapi kesimpulan yang dihasilkan tidak sekokoh hasil yang diperoleh dari studi
eksperimental. Desain yang digunakan dalam uji klinik adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dari
masalah etik penelitian karena penelitian dengan desain yang buruk akan memberikan hasil yang
tidak akurat atau menyesatkan. Uji klinik yang demikian ini jelas melanggar etik karena menyia-
nyiakan pengorbanan subjek manusia yang telah ikut berpartisipasi dalam penelitian itu. Oleh
karena itu di dalam komihsi etik harus ada anggota yang memahami metodologi penelitian dengan
baik.

Anda mungkin juga menyukai