Bioetik
Bioetik
Ketika berhenti di tengah perjalanan untuk beristirahat atau menunaikan salat, Rasul menganjurkan
para sahabatnya agar mengurangi muatan pada hewan pemuat dan memberinya makan. Beliau juga
memperingatkan bahwa binatang-binatang itu harus dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Suatu
ketika beliau melihat seseorang duduk di atas punggung unta di tengah-tengah pasar sambil
mengobrol dengan sesamanya. Beliau lantas menegurnya,
“Janganlah kalian jadikan punggung-pungung binatang peliharaanmu sebagai mimbar (untuk
bercakap-cakap), karena Allah membuat mereka tunduk kepadamu supaya mereka membawamu
pergi dari satu tempat ke tempat lain yang tidak dapat kamu capai kecuali dengan badan yang letih.
Allah telah menjadikan untuk kalian tanah, maka selesaikanlah segala urusan kalian di sana-bukan
di atas punggung binatang” (Riwayat Abū Dāwūd dari Abū Hurairah)
Barang siapa membunuh burung pipit tanpa alasan yang dibenarkan maka burung tersebut akan
melapor kepada Allah pada hari kiamat. la berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya Fulan telah
membunuhku dengan sia-sia. Ia tidak membunuhku untuk suatu manfaat” (Riwayat Aḥmad, an-
Nasā’i dan Ibnu Ḥibbān dari asy-Syūrāid bin Suwaid)
Nabi mengajarkan bahwa sikap dan tindakan manusia terhadap binatang akan menentukan nasib
mereka di akhirat, sebagaimana diriwayatkan dalam dua kesempatan terpisah berikut.
Seorang wanita disiksa Allah (pada hari kiamat) lantaran mengurung seekor kucing sehingga kucing
itu mati. Karena itu Allah memasukkannya ke neraka. Kucing itu dikurungnya tanpa diberi makan
dan minum, dan tidak pula dilepaskannya supaya kucing itu makan serangga-serangga bumi
(dengan sendirinya) (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari ‘Abdullāh bin ‘Umar)
Ada seorang pria yang sedang berjalan, lalu ia merasakan haus yang sangat. Kemudian ia
mendapati sebuah sumur, lalu ia mendekatinya dan minum dari air sumur tersebut. Ia pun beranjak
meninggalkan sumur, ketika tiba-tiba ia mendapati seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya
dan menjilati tanah akibat kehausan. Pria itu berkata, “Anjing ini benar-benar kehausan seperti yang
aku alami tadi.” Maka ia turun ke sumur tadi, dan diisinya sepatunya dengan air. Ia menggigit
sepatu itu dengan mulutnya hingga hausnya hilang, lalu ia menuangkan air di dalamnya ke mulut
anjing itu hingga merasa segar kembali. Anjing itu pun bersyukur kepada Allah atas bantuan pria
tadi, dan karenanya Allah mengampuni pria itu. Usai mendengar kisah ini para sahabat lalu
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan dapat pahala dengan berbuat baik kepada hewan?”
Beliau menjawab, “(Perbuatan baik) kepada setiap makhluk yang bernyawa pasti diberi pahala.”
(Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Abū Hurairah)
Rasulullah melarang manusia berlaku kejam terhadap binatang, salah satunya dengan mengadu satu
dengan lainnya. Dengan demikian, adu domba dan sabung ayam, misalnya adalah hal yang
diharamkan oleh agama. Lomba melukai hewan, misalnya pertarungan antara banteng dan matador,
adalah sama kejinya dengan mengadu hewan, dan karenanya juga diharamkan. Demikian pula
membunuh binatang untuk sekadar mencari kesenangan. Mari kita perhatikan hadis berikut.
Pada suatu hari Ibnu ‘Umar bertandang ke rumah Yaḥyā ibn Sa‘id. Di sana ia mendapati seorang
bocah yang merupakan salah satu putra Yaḥyā sedang mengikat seekor ayam dan melemparinya
dengan batu. Ibnu ‘Umar bergegas mendekati ayam itu dan melepaskan ikatannya. Beberapa saat
kemudian ia menemui Yaḥyā sambil memegang ayam dan bocah tadi. Ia berkata, “Wahai Yaḥyā,
laranglah anakmu mengikat hewan ini untuk dibunuhnya! Sungguh, aku mendengar bahwa
Rasulullah melarang para sahabat mengikat binatang atau makhluk hidup lainnya untuk tujuan
dibunuh.” (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Ibnu ‘Umar)
Bila etika menyembelih hewan sudah dijelaskan dengan cukup rinci dalam banyak hadis, tidak
demikian adanya dengan pemanfaatan hewan sebagai objek percobaan/penelitian. Untuk
mengetahui hukum hal tersebut kita memerlukan kaidah-kaidah yang ada di dalam disiplin ilmu
fikih. Fikih yang merupakan ilmu yang menuntun umat Islam dalam menentukan hukum suatu
persoalan, apakah diperbolehkan atau dilarang. Berdasarkan kajian-kajian fikih diperoleh keputusan
bahwa jika eksperimen pada hewan bertujuan memperoleh pengetahuan yang benar-benar
bermanfaat bagi kehidupan manusia dan/atau makhluk lainnya, maka eksperimen tersebut dapat
disetujui; tidak bila didasarkan pada alasan yang tidak demikian.
Terkait penggunaan hewan sebagai objek eksperimen, fikih memberi rambu-rambu sebagai berikut.
1. Menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang bersifat menyakiti, dan tindakan-
tindakan lain yang mengakibatkan kebutaan atau cacat semisalnya pada hewan, hukumnya
haram;
2. Pengujian obat-obatan kepada hewan, sebelum obat itu dinyatakan aman bagi manusia,
hukumnya boleh;
3. Menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang sembarangan dan tanpa tujuan yang
jelas hukumnya haram.
Kesetaraan banyak dibicarakan dalam Alquran antara manusia di satu pihak dan hewan di pihak lain.
Ayat di atas menjelaskan bahwa hewan juga makhluk Allah, sama dengan manusia. Walau mereka
mempunyai ciri, kekhususan, dan sistem kehidupan yang berbeda-beda, pada hakikatnya mereka
sama dengan manusia di mata Allah. Manusia diwajibkan untuk mengingat hal itu; bahwa mereka
semua adalah ummah. Ayat ini sudah sangat jauh melihat ke depan dalam implikasi moral dan
ekologi di dunia ini.
Islam tidak membenarkan manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga
maupun sebagai objek eksperimen sembarangan. Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa Sang
Pencipta telah menjadikan semua yang ada di alam, termasuk satwa, sebagai amanat yang mesti
dijaga. Konsep Islam dalam memenuhi hak-hak binatang sudah jelas, misalnya bagaimana
seharusnya manusia memperlakukan binatang yang telah membantu kehidupannya. Konsep itu
salah satunya terkandung dalam hadits-hadits berikut.
Sesungguhnya Rasulullah melihat seekor unta yang sedang terikat sambil menggendong muatan
(milik majikannya), lalu beliau bertanya, “Siapakah pemilik hewan ini? Tidakkah engkau takut
kepada Allah berkaitan dengan hewan ini? Seharusnya engkau memberinya makan atau
melepaskannya agar ia mencari makan sendiri!” (Riwayat aṭ-Ṭabrāni dari Ibnu ‘Umar)
Desain
Terdapat perbedaan mendasar antara studi observasional dengan uji klinik. Studi
observasional biasanya diterapkan dalam penelitian epidemiologi yang bersifat observasional
(misalnya desain case control, cross sectional, atau cohort). Semua uji klinik bersifat eksperimental,
artinya peneliti sengaja memberikan obat kepada subjeknya untuk mengetahui efek apa yang akan
terjadi. Di atas telah diuraikan bahwa uji klinik fase 1 dan fase 2 awal bersifat terbuka dan tidak
menggunakan pembanding. Uji klinik fase 2 akhir dan fase 3 menggunakan desain acak dan
berpembanding (randomized controlled trial, RCT). Uji klinik fase 4 bisa bersifat eksperimental
maupun observasional.61
Tergantung dari tujuan penelitian, obat pembanding bisa berupa obat standar yaitu obat
yang diketahui merupakan obat terpilih untuk penyakit yang akan diobati, atau bisa berupa plasebo
yaitu suatu bahan yang diketahui tidak mengandung khasiat apapun untuk kondisi yang diobati.
Umumnya plasebo hanya boleh digunakan untuk kondisi atau penyakit yang belum ada obatnya,
namun untuk kondisi yang ringan plasebo boleh diberikan kepada subjek penelitian untuk jangka
waktu singkat.
Penelitian epidemiologi menghadiapi masalah etik yang lebih kecil dibandingkan dengan penelitian
eksperimental, tetapi kesimpulan yang dihasilkan tidak sekokoh hasil yang diperoleh dari studi
eksperimental. Desain yang digunakan dalam uji klinik adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dari
masalah etik penelitian karena penelitian dengan desain yang buruk akan memberikan hasil yang
tidak akurat atau menyesatkan. Uji klinik yang demikian ini jelas melanggar etik karena menyia-
nyiakan pengorbanan subjek manusia yang telah ikut berpartisipasi dalam penelitian itu. Oleh
karena itu di dalam komihsi etik harus ada anggota yang memahami metodologi penelitian dengan
baik.