Anda di halaman 1dari 5

Modul Fiqih Kontemporer

SHALAT DI BELAKANG TV DAN RADIO


Termasuk masalah kontemporer yang sering ditanyakan pada zaman sekarang adalah
hukum bermakmum kepada imam shalat melalui radio atau televisi (TV). Hal ini semakin
banyak terjadi dalam dua kasus berikut:
1. Sebagian kaum muslimin yang mengikuti imam Masjidil Haram (Makkah dan
Madinah) melalui radio atau TV padahal dia berada di luar negeri Arab Saudi atau
berada di sana tetapi bukan di masjid, melainkan di hotel atau rumahnya.
Bagaimanakah hukumnya?
2. Sebagian kaum muslimin di negeri Barat mengadakan shalat Jum’at di rumah dengan
mengikuti imam lewat radio atau TV karena masjid sempit atau jauh sedangkan
pemerintah di sana melarang adanya jama’ah shalat di luar masjid.
Sekitar tahun 1375 H, pernah terbit sebuah kitab unik berjudul al-Iqna’ bi Shihhatis
Shalah Khalfa al-Midhya’ (Penjelasan memuaskan tentang sahnya shalat Jum’at di belakang
radio) karya Ahmad ibn Shiddiq al-Ghumari.1 Namun, kitab ini menuai banyak kritikan dari
para ulama’, di antaranya asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah
‘anil Masa’il al-Waqi’ah hlm. 317-320.
Mengingat pentingnya masalah ini dan adanya beberapa dampak hukum seputarnya,
maka kami memandang untuk membahasnya secara terperinci dalam beberapa poin
pembahasan berikut ini:
Gambaran Masalah dan Macam-Macamnya
Bermakmum kepada seorang imam lewat radio tentunya ada jarak antara imam dan
makmum yang menghalangi dari melihat imam atau mendengar suaranya secara langsung.
Masalah ini terbagi menjadi tiga keadaan:
1. Apabila imam dan makmum dalam satu masjid
Seperti kalau imam di lantai bawah sedangkan makmum di lantai atas, atau makmum di ruang
belakang masjid seperti kaum wanita. Dalam kondisi seperti ini, sepanjang pengetahuan kami
tidak ada perselisihan tentang sahnya dan bolehnya, karena para ahli fiqih menjelaskan bahwa
patokan bermakmum adalah mendengar suara imam baik secara langsung atau lewat
perantara,2 sedangkan mikrofon dan radio termasuk perantara yang sangat jelas pada zaman
sekarang.
2. Apabila imam dan makmum di luar masjid
Seperti kalau imam dalam satu ruangan, sedangkan makmum dalam ruangan lainnya. Hal ini
diperselisihkan ulama’. Sebagian ulama’ mengatakan sah dan sebagian lainnya mengatakan
tidak sah.3 Dan pendapat yang kuat bahwa hal itu tidak boleh karena terputusnya barisan
(shaf), kecuali apabila ada udzur syar’i seperti kalau ruangannya sempit dan tidak cukup bagi
para makmum.
3. Apabila imam di masjid dan makmum di luar masjid
Seperti kalau imam berada di masjid sedangkan makmum berada di rumah dan tidak melihat
imam. Dalam kondisi ini, para ‘ulama berselisih menjadi tiga pendapat:
1
Dia wafat pada tahun 1380 H sebagaimana dalam Mu’jam Mu’allifin oleh Ridha Kahhalah. Dan kitab tersebut
dicetak oleh Dar Talif di Mesir sekitar tahun 1375H.
2
Bada’i’ ush Shana’i, al-Kasani, 1/145-146; al-Kafi, Ibnu Abdil Barr, 1/212; al-Majmu’, an-Nawawi, 4/302; al-
Mughni, Ibnu Qudamah, 2/39.
3
Lihat Hasyiyah Ibni Abidin 1/587, Mughnil Muhtaj 1/25.
Wisnawati Loeis, Lc., MA. Page 1
Modul Fiqih Kontemporer

1. Tidak sah. Ini adalah pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan salah satu riwayat al-
Imam Ahmad.4 Alasannya karena tempatnya tidak satu dan shafnya tidak bersambung.
2. Sah. Ini adalah salah satu riwayat al-Imam Ahmad. Karena mengetahui shalat imam
sudah cukup menjadikan sahnya bermakmum tanpa harus satu tempat dan bersambung
barisan (shaf).5
3. Sah kecuali dalam shalat Jum’at maka tidak sah. Karena shalat Jum’at disyaratkan
harus di masjid jami’.6
Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama yang mengatakan tidak sah apabila
terhalang antara imam dan makmum kecuali apabila ada udzur seperti penuhnya masjid, maka
boleh bermakmum di luar masjid apabila shafnya bersambung, dan tidak boleh di rumah
karena shafnya tidak bersambung. Hal ini karena beberapa alasan:
1. Menampakkan syi’ar Islam merupakan perkara yang dituntut dalam agama untuk
menunjukkan persatuan kaum muslimin.
2. Pendapat yang mengatakan sah akan menjadikan manusia malas ke masjid dan
mencukupkan dengan shalat di rumah saja.
3. Bersambungnya shaf dan lurusnya shaf termasuk perkara yang dianjurkan dalam
shalat berjama’ah untuk menunjukkan kerapian dan kekuatan kaum muslimin.7
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin Rahimahullah (Asy-Syarhul Mumti’
4/229-300) berkata: “Tidak ragu lagi bahwa pendapat bolehnya shalat di belakang radio
adalah batil, karena akan mengantarkan kepada peniadaan shalat jama’ah dan shalat Jum’at,
dan tidak bersambungnya shaf shalat. Sungguh, hal ini sangat jauh dari tujuan syari’at di balik
shalat Jum’at dan jama’ah.
Pendapat ini juga memiliki dampak negatif yang sangat parah, karena nanti orang
yang malas shalat Jum’at dan jama’ah akan berkata: ‘Selagi shalat di belakang radio atau TV
adalah sah, ya kita shalat saja di rumah bersama anak atau saudara!!’
Jadi, pendapat yang kuat: Tidak sah makmum mengikuti imam di luar masjid kecuali
apabila shafnya telah bersambung, harus terpenuhi dua syarat: Mendengar takbir dan
bersambungnya shaf.”
Argumentasi Pendapat yang Membolehkan dan Bantahannya
Sebagian orang yang membolehkan shalat di belakang radio/TV berdalil dengan
beberapa argumen. Kita akan sebutkan beberapa argumen mereka beserta sanggahan
seperlunya:
1. Tidak adanya dalil tentang syarat-syarat yang dibuat para ulama’ fiqih
Mereka mengatakan: “Syarat-syarat yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih menurut empat
mazhab tersebut tidak berlandaskan dalil dari al-Qur’an atau as-Sunnah, kecuali hanya
beberapa atsar dari sebagian shahabat dan pendapat yang jauh dari toleransi Islam.8
Jawaban: Hendaknya kita tidak gegabah menuduh bahwa para ulama’ berucap tanpa
dalil, bahkan hendaknya kita berbaik sangka kepada mereka dan berterima kasih atas jerih
4
Hasyiyah Ibni Abidin 1/586, Raudhatuth Thalibin 1/364, al-Inshaf 2/295.
5
Lihat al-Mughni 2/39.
6
Hasyiyah ad-Dasuqi 1/336; al-Kafi, Ibnu Abdil Barr, 1/212.
7
Diringkas dari Ahkamus Sama’ wal Istima’ hlm. 96-98 oleh Dr. Mu’inuddin Bashri. Dan lihat pula Ahkamul
Imamah wal I’timam fish Shalat hlm. 375-390 oleh Abdul Muhsin ibn Muhammad al-Munif dan al-Qaulut
Tamam fi Masa’il I’timam hlm. 89-90 oleh Faishal ibn Bal’id.
8
Kata pengantar asy-Syaikh Abdullah al-Ghumari terhadap buku saudaranya al-Iqna’ Bi Shihhati Shalat Jum’ah
Khalfa Midhya’ hlm. ba’-jim
Wisnawati Loeis, Lc., MA. Page 2
Modul Fiqih Kontemporer

payah mereka dalam memudahkan ilmu kepada kita semua. Mereka telah meramu dalil-dalil
yang ada kemudian merapikannya secara mudah. Jadi, mereka bukan membuat perkara-
perkara yang baru dalam agama, melainkan hanya sekadar menyusun dan memudahkan.9
Ada beberapa dalil yang bisa dijadikan dalil tentang persyaratan ulama’ tersebut, di
antaranya adalah hadits:
"‫ فقولوا (ربنا لك الحمد) واذا‬.)‫ واذا قال (سمع هللا لمن حمده‬,‫ فاذ ركع فركعوا‬,‫انما جعل االمام ليؤتم به فال تختلفوا عليه‬
‫ فان اقامة الصف من حسن الصالة‬,‫ واقيموا الصف في الصالة‬,‫ واذا صلى جالسا فصلوا جلوسا اجمعون‬,‫))سجد فسجدوا‬.
“Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti maka janganlah kalian menyelisihkannya,
apabila dia ruku’ maka ruku’lah, apabila dia mengatakan: ‘Sami’allahu liman hamidah’ maka
ucapkanlah: ‘Rabbana lakal hamdu’, apabila sujud maka sujudlah, apabila duduk maka
duduklah semua, rapikanlah barisan kalian karena kerapian barisan termasuk keindahan
shalat.”10
Hal ini tidak mungkin kecuali dengan melihat imam, atau di belakangnya, dan mendengarkan
suaranya.
Kalau ada yang membantah: “Kami sependapat dengan anda dalam radio, tetapi
bagaimana dengan televisi yang mana seseorang bisa melihat gerakan imam secara langsung.”
Kami jawab: Benar, tetapi ada yang kurang yaitu terputusnya shaf karena jarak antara rumah
dan masjid sangat jauh, bahkan tidak terwujudkan jama’ah di sini.
Sungguh menarik sekali ucapan sebagian orang yang membantah shalat model ini:
“Seandainya kamu melihat mereka sedang makan di meja makan, apakah kamu merasa
kenyang bila mereka kenyang?! Ini juga sama sepertinya.”11
2. Tujuan utama Jum’atan adalah khutbah bukan lainnya
Berdasarkan firman Allah: (Qs. Al-Jumu’ah [62]: 9)
َ‫صاَل ِة ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا ِإلَ ٰى ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َذرُوا ْالبَ ْي َع ۚ ٰ َذلِ ُك ْم َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫يا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا نُو ِد‬
َّ ‫ي لِل‬
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui” (Qs. Al-Jumu’ah [62]: 9)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk segera kepada mengingat (dzikir kepada) Allah
yaitu khutbah bukan kepada shalat, karena khutbah adalah tujuan utama, sedangkan shalat
hanyalah mengikuti saja.12
Jawaban : Tidak benar kalau khutbah adalah tujuan utama Jum’atan, bahkan shalat
adalah dzikir yang paling utama, sedangkan khutbah dan syarat-syarat lainnya mengikuti
tujuan utama ini, berdasarkan firman Allah: Qs. Thaha [20]: 14
َّ ‫إنَّنِي َأنَا هَّللا ُ اَل ِإ ٰلَهَ ِإاَّل َأنَا فَا ْعبُ ْدنِي َوَأقِ ِم ال‬
‫صاَل ةَ لِ ِذ ْك ِري‬

"Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (Qs. Thaha [20]: 14)

9
Lihat asy-Syarhul Mumti’ 2/94 oleh asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin.
10
HR al-Bukhari: 722, Muslim: 412
11
Fatawa Ali Thanthawi 1/212, Darul Manarah, Jeddah, 1422 H.
12
Al-Iqna’, al-Ghumari, hlm. 8.
Wisnawati Loeis, Lc., MA. Page 3
Modul Fiqih Kontemporer

Dan di sana ada tujuan-tujuan penting lainnya dari Jum’atan seperti kaum muslimin
berkumpul bersama sehingga saling mencintai dan mengajari.13 Dan manfaat-manfaat hari
Jum’at lainnya yang banyak sekali.
3. Qiyas shalat Jum’at di belakang radio dengan shalat Ghaib untuk jenazah
Al-Ghumari berkata: “Termasuk kategori ini adalah shalat Ghaib untuk seorang mayit, di
mana si mayit meninggal dunia di timur, misalnya, sedangkan yang menshalati berada di
barat, atau sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa hadir satu tempat bukanlah suatu
syarat.”14
Jawaban: Qiyas ini tidak benar karena adanya beberapa perbedaan di antaranya:
1. Shalat Ghaib menurut pendapat yang kuat hanyalah disyari’atkan kalau memang
diketahui bahwa mayit belum dishalati, maka di sini hendaknya kaum muslimin
menshalatinya dengan shalat Ghaib.15
2. Adanya perbedaan antara dua shalat tersebut, shalat Ghaib tujuannya adalah
mendo’akan mayit, sedangkan shalat di belakang radio-TV adalah mengikuti ibadah
dari jarak jauh. Lantas, bagaimana bisa disamakan antara keduanya?!16
Dampak Negatif Shalat di Belakang Radio/TV
Bila kita renungkan bersama, pendapat yang membolehkan shalat di belakang
radio/TV sangat membawa dampak negatif yang banyak sekali, di antaranya adalah:
1. Hilangnya jama’ah shalat dan Jum’at yang konsekuensinya adalah hilangnya salah
satu syi’ar Islam yang sangat besar.
2. Tidak ada manfaatnya pembangunan masjid, karena orang akan shalat di rumah
masing-masing.
3. Hilangnya amar ma’ruf nahi munkar, karena seorang tidak bisa mengingkari orang
lain yang tidak hadir ke masjid, karena bisa jadi dia sudah shalat di rumahnya lewat
radio atau TV.
4. Hilangnya keutamaan berjalan menuju masjid dan menunggu shalat.
5. Orang yang shalat di belakang radio akan mengalami kesulitan mengikuti imam
shalatnya apabila listriknya mati.17
Kesimpulan
Dengan penjelasan di atas dapat kita ketahui bersama bahwa pendapat yang
membolehkan shalat di belakang radio atau TV adalah pendapat yang sangat jauh dari
kebenaran, apalagi setelah kita ketahui beberapa dampak negatif pendapat tersebut.
Demikianlah penjelasan yang dapat kami simpulkan seputar masalah ini. Semoga
Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita dan amal shalih. Aamiin.

13
Fatawa Arkanil Islam Ibnu Utsaimin, hlm. 388.
14
Al-Iqna’ hlm. 47.
15
Lihat Ahkamul Jana’iz hlm. 115-120 oleh al-Albani.
16
Diringkas dari Fiqhul Mustajaddat fi Babil ‘Ibadat hlm. 213-217 oleh Thahir Yusuf ash-Shiddiqi dan al-
Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 317-320 oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di.
17
Fiqhul Mustajaddat fi Babil ‘Ibadat hlm.213-217
Wisnawati Loeis, Lc., MA. Page 4
Modul Fiqih Kontemporer

Daftar Rujukan:
1. Fiqhul Mustajaddat fi Babil ‘Ibadat. Thahir ibn Yusuf ash-Shiddiqi. Dar Nafa’is,
Yordania, cet. pertama, 1425 H.
2. Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘anil Masa’il al-Waqi’ah. As-Syaikh Abdurrahman ibn Nashir
as-Sa’di. Dar Ibnul Jauzi, KSA, cet. kedua, 1420 H.
3. Ahkamus Sama’ wal Istima’. Dr. Mu’inuddin Bashri. Darul Fadhilah, KSA, cet.
pertama, 1425 H.
4. Al-Qaulut Tamam fi Masa’il I’timam. Faishal ibn Bal’id. Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet.
pertama, 1429 H.
5. Ahkamul Imamah wal I’timam fish Shalah. Abdul Muhsin ibn Muhammad al-Munif.
Tanpa nama penerbit, cet. pertama, 1407 H.

Wisnawati Loeis, Lc., MA. Page 5

Anda mungkin juga menyukai