Anda di halaman 1dari 9

REFLEKSI MAKNA PEREMPUAN DI HARI IBU

Oleh: Linda Nur Fitria

I. Pendahuluan
Secara tradisional, status perempuan di Indonesia selalu berada dalam konteks
keluarga, yaitu sebagai ibu rumah tangga. Secara hukum (adat) dan agama, kedudukan
perempuan ditetapkan berada di bawah laki-laki. Kondisi ini tidaklah unik untuk
Indonesia, karena di banyak negara, khususnya negara-negara Asia, keadaannya juga
sama. Akan tetapi, sudah sejak Perang Dunia ke-II, kita menemukan perubahan pada
status perempuan terutama karena sistem pendidikan barat yang diajarkan melalui
sekolah. Muncul ide emansipasi, yaitu kesetaraan antara perempuan dan laki-laki secara
politik dan hukum. Meski perdebatan terus berlanjut tentang sejauh mana perempuan
dan laki-laki dapat setara dalam berbagai aspek kehidupan, kenyataan membuktikan
bahwa dalam banyak kasus, perempuan terus memperjuangkannya dan mulai
mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam banyak aspek dan kegiatan.
Sejak dahulu kaum perempuan turut berjuang dalam upaya merebut,
mempertahankan, serta mengisi kemerdekaan dan membangun peradaban masyarakat
Indonesia maupun dunia. Hal itulah yang menjadi alasan kuat Peringatan Hari Ibu (PHI)
di Indonesia yang diperingati setiap 22 Desember. Peringatan hari ibu merupakan
sebuah momentum refleksi semangat perjuangan para perempuan di masa lalu.
Perempuan selalu hadir dan berperan aktif, serta berjuang dalam berbagai peristiwa
besar di Indonesia. Keberhasilan perempuan dalam mendukung kemajuan bangsa
sangat nyata terlihat, bahkan sebelum Indonesia meraih kemerdekaan.
Peringatan Hari Ibu (PHI) yang jatuh pada 22 Desember seringkali dimaknai
oleh masyarakat sebagai mother’s day. Pergeseran makna PHI ini tidak boleh dibiarkan
begitu saja, mengingat Hari Ibu merupakan momentum pemantik semangat tidak hanya
bagi para perempuan, tapi juga masyarakat khususnya generasi muda untuk bergerak
bersama secara nyata meningkatkan kualitas hidup perempuan serta menjadi solusi
dalam menghadapi berbagai persoalan khususnya terkait perempuan.
II. Pembahasan
Sejarah Peringatan Hari Ibu

1935 1938
28 Oktober 1928 22 Desember 1928 Kongres Perempuan Kongres Perempuan
Kongres Perempuan Indonesia Ke-II dan Indonesia Ket-III dan
Sumpah Pemuda Lahirnya usulan tanggal
Indonesia Ke-I Lahirnya Deklarasi lahir Kowani Menjadi
Ibu Negara Hari Ibu

1956 1950 1946


1952
Peresmian Balai Pawai dan Rapat Kongres Wanita
Pengusulan Monumen
Srikandi Umum Indonesia

1959 1983
1973
Tanggal 22 Des ditetapkan Presiden Soeharto meresmikan
menjadi hari ibu melalui Kowani berhasil menjadi
kompleks Balai Srikandi secara
Dekrit Presiden No. 316 anggota penuh
tanggal 16 Des 1959 sebagai keseluruhan menjadi Mandala
International Council of
hari nasional yang bukan hari Bhakti Wanitatama di Jl.
Women (ICW)
libur. Laksda Adisucipto Yogyakarta

Sejak dahulu kaum perempuan bahu-membahu bersama dengan kaum laki-laki


untuk membawa bangsa Indonesia menuju pintu kemerdekaannya. Dipilihnya tanggal
22 Desember sebagai Hari Ibu bukan tanpa alasan. Hal tersebut mengacu pada hari
pertama Kongres Perempuan Indonesia, yaitu 22 Desember 1928. Kongres tersebut
menjadi tonggak awal kaum perempuan untuk kembali mengukuhkan semangat dan
tekad bersama dalam mendorong kemerdekaan Indonesia.
Kongres Perempuan Indonesia adalah suatu momentum penting dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia khususnya kaum perempuan. Bila menilik sejarahnya,
Kongres Perempuan Indonesia bangkit dari semangat RA Kartini sebagai salah satu
perempuan terkemuka dalam sejarah Indonesia. Melansir buku Kesadaran Nasional
dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Volume 1 oleh Slamet Muljana peran Kartini
adalah bangkitkan semangat agar kaum perempuan Indonesia bisa mencari
pengetahuan, mencari kepandaian yang cukup untuk mencapai derajat yang layak.
Kongres Perempuan Indonesia I terinspirasi dan terdorong oleh semangat
Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 yang lebih dikenal dengan sebutan
Sumpah Pemuda. Faktor pendorong dilaksanakannya Kongres Perempuan Indonesia I
adalah keinginan para tokoh pergerakan perempuan untuk memperjuangkan kedudukan
perempuan dalam bidang pendidikan, sosial dan kebudayaan. Kongres tersebut
merupakan hasil prakarsa 7 organisasi perempuan yakni Wanita Oetama, Wanita
Taman Siswa, Putri Indonesia (PI), Aisyiyah, Jong Islamieten Bond (JIB) bagian
perempuan, Wanita Katholik, dan Jong Java (JJ) bagian perempuan.
Kongres ini dihadiri kurang lebih 1000 orang dan kemudian menghasilkan
berbagai keputusan-keputusan yakni sebagai berikut:
1. Mendirikan badan federasi bersama Perserikatan Perkumpulan Perempuan
Indonesia (PPPI).
2. Menerbitkan surat kabar yang redaksinya dipercayakan kepada pengurus
PPPI anggota-anggota redaksi terdiri dari : Nyi Hajar Dewantara, Nn.
Hajinah, Ny. Ali Sastroamidjojo, Ismudiyati, Budiah, dan Sunaryati.
3. Mendirikan studiefonds yang akan menolong gadis-gadis tidak mampu.
4. Memperkuat pendidikan kepanduan putri.
5. Mencegah perkawinan anak-anak.
6. Mengirimkan mosi kepada pemerintah agar : (a) Secepatnya diadakan fonds
bagi janda dan anak-anak; (b) Tunjangan bersifat pensiun (onderstand)
jangan dicabut; (c) sekolah-sekolah putri diperbanyak.
7. Mengirimkan mosi kepada Raad Agama agar tiap talak dikuatkan secara
tertulis sesuai dengan peraturan agama.
Tak berhenti di situ, Kongres Perempuan Indonesia kedua dilangsungkan di
Jakarta tanggal 20-24 Juli 1935. Keputusan-keputusan dalam kongres tersebut ternyata
sangat menyentuh dalam kehidupan berorganisasi untuk perjuangan perempuan jauh ke
depan. Keputusan Kongres Perempuan Indonesia II:
1. Dibentuk badan perserikatan dengan nama "Kongres Perempuan Indonesia
" yang saat ini disebut KOWANI
2. Tiap-tiap tiga tahun sekali diadakan Kongres Perempuan
3. Pencanangan tentang kewajiban utama wanita Indonesia ialah menjadi "lbu
Bangsa" , yang berarti berusaha menumbuhkan generasi baru yang lebih
sadar akan kebangsaannya (sampai saat ini tetap diperingati setiap tanggal
22 Desember diadakan peringatan Hari Ibu).
Selain itu, kongres menetapkan pula dasar sementara Kongres Perempuan
Indonesia (KPI) yakni nasionalisme, sosialisme dan keperempuanan. Ditegaskan
bagaimanapun setiap perempuan Indonesia terutama harus menjadi perempuan bagi
negaranya.
Tiga tahun kemudian, kongres itu rutin dilaksanakan, sampai akhirnya pada
Kongres Perempuan Indonesia III ditetapkan bahwa Hari Ibu diperingati secara
nasional pada tanggal 22 Desember. Kongres ketiga ini dilaksanakan di Bandung pada
tanggal 23 - 28 Juli 1938, dan dipimpin oleh Ny Emma Puradireja. Kongres ini
membicarakan hak pilih dan dipilih bagi wanita di badan perwakilan. Dalam kongres
tersebut, disetujui RUU tentang perkawinan modern yang disusun oleh Ny. Maria Ulfah
dan disepakati tanggal lahir KPI 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Kemudian melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, Presiden Soeharto
menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional
hingga saat ini. Pada awalnya peringatan Hari Ibu adalah untuk mengenang semangat
dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Misi itulah
yang tercermin menjadi semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk
bersatu dan bekerja bersama.
Salah satu contoh saat peringatan 25 tahun Hari Ibu Di Solo, dirayakan dengan
membuat pasar amal yang hasilnya digunakan untuk membiayai Yayasan
Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu
itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi
meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan
pokok.
Pada peringatan Hari Ibu tahun 1950 an, dirayakan dengan mengadakan pawai
dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung. dan
satu sejarah penting kaum perempuan adalah untuk pertama kalinya wanita diangkat
menjadi menteri, dialah Maria Ulfah yang pada tahun 1950 diangkat sebagai Menteri
Sosial yang pertama oleh Presiden Soekarno.
Pada kongres di Bandung tahun 1952 diusulkan untuk dibuat sebuah monumen,
dan pada tahun berikutnya dibangunlah Balai Srikandi. Ketua Kongres pertama Ibu
Sukanto melakukan peletakkan batu pertama pembangunan tersebut, dan pada tahun
1956 diresmikan Balai Srikandi oleh menteri Maria Ulfah. Dan akhirnya pada tahun
1983 Presiden Soeharto meresmikan keseluruhan kompleks monumen Balai Srikandi
menjadi Mandala Bhakti Wanitatama di Jl. Laksda Adisucipto, Yogyakarta.
Kiprah kaum perempuan sebelum kemerdekaan Indonesia adalah Kongres
Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan
itu sendiri. Hingga pada tahun 1973 Kowani berhasil menjadi anggota penuh
International Council of Women (ICW) yang berperan sebagai dewan konsultatif
kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Melihat sejarah kaum perempuan (kaum Ibu) pada saat itu dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, apakah sepadan dengan peringatan Hari Ibu
saat ini yang hanya ditunjukkan dengan peran perempuan dalam ranah domestik.
Misalnya dalam sebuah keluarga pada tanggal tersebut seorang ayah dan anak-anaknya
berganti melakukan tindakan domestik seperti masak, mencuci, belanja, bersih-bersih,
dan kemudian memberikan hadiah-hadiah untuk sang ibu.
Peringatan Hari Ibu di Indonesia saat ini lebih kepada ungkapkan rasa sayang
dan terima kasih kepada para ibu, memuji keibuan para ibu. Berbagai kegiatan pada
peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, pesta kejutan bagi para
ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban
kegiatan domestik sehari-hari.
Perempuan Sebagai Aktor Strategis di dalam Pembangunan
Peran perempuan Indonesia untuk kemajuan bangsa sudah dimulai sejak
perjuangan masa penjajahan. Beberapa wanita Indonesia telah tampil dipanggung
sejarah secara perorangan dalam membela tanah air dan bangsanya, misalnya Cut Nyak
Dien (1873-1904), R.A. Kartini (1879-1904), dan Nyai Ahmad Dahlan (1872-1936).
Namun masa yang amat penting dan menjadi titik balik dari perjuangan gerakan
perempuan adalah pada tahun 1928. Saat dimana diadakan Kongres Perempuan yang
pertama di Yogyakarta, dan Soekarno yang kemudian menjadi presiden RI memberikan
kata sambutan. Pada masa revolusi fisik banyak pejuang perempuan yang bahu
membahu dengan laki-laki dalam melawan penjajah. Keterlibatan perempuan baik
dalam perjuangan fisik maupun berjuang secara aktif dalam pengurusan logistik
mampu menolong para pejuang yang terluka. Peluang dan kesempatan bagi perempuan
untuk mengembangkan potensinya dewasa ini semakin terbuka. Didukung oleh
motivasi kaum perempuan untuk bekerja, belajar dan berwirausaha seperti laki-laki
tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan semakin kuat.
Kecerdasan serta kepiawaian perempuan-perempuan Indonesia, khususnya,
tidak bisa lagi dianggap remeh karena telah turut berkontribusi terhadap pembangunan.
Dalam sebuah forum Trading Development and Gender Equality yang berlangsung di
sela Asian Development Bank Annual Meeting 2019 di Nadi, Fiji, Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Menteri PPN/
Bappenas) menyebutkan kaum perempuan adalah aset, potensi, dan investasi penting
bagi Indonesia yang dapat berkontribusi secara signifikan sesuai kapabilitas dan
kemampuannya.
Saat Indonesia mengalami krisis moneter yang berat di tahun 1998, para
perempuan menunjukan kepahlawanannya khususnya dalam sektor ekonomi, melalui
perempuan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berhasil
memulihkan ekonomi bangsa.
Selain itu perempuan telah sukses mendominasi serapan tenaga kerja di sektor
industri kreatif. Dalam Laporan Tenaga Kerja Ekonomi Kreatif, BPS dan Badan
Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyebut perempuan secara konsisten menjadi pemain
utama industri kreatif sejak 2011 hingga 2016. Persentase perempuan di sektor ini
sebesar 53,86%. Angka yang cukup mencolok bila dibandingkan dengan komposisi
industri pada umumnya, di mana pekerja perempuan hanya sekitar 37,16% dan laki-
laki sebesar 62,84%. Pada 2016, perempuan yang bekerja di sektor ekonomi kreatif
sebanyak 9,4 juta orang.
Industri ekonomi kreatif juga membuka kesempatan bagi perempuan untuk
memberdayakan diri, khususnya secara ekonomi, melalui industri film. Seperti tahun-
tahun terakhir ini, Indonesia memunculkan para pembuat film (filmmaker) perempuan,
baik sebagai sutradara, script writer, produser, hingga teknik audio video.
Dalam bidang pendidikan perempuan juga berperan penting, seperti kata
pepatah bahwa perempuan merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Perempuan sebagai ibu turut menciptakan generasi penerus bangsa yang hebat. Selain
itu banyak sekali pendidik dari kalangan perempuan dan inisiator pendidikan dari
berbagai provinsi diantaranya: Nurmawalati dari Aceh (Pendiri Taman Baca "Seribu
Bintang"), Herlita Jayadianti dari DIY (Pendiri Sekolah Gajahwong), Ni Made Laba
Dwikarini dari Bali (Pendiri Yayasan "Bali Kumara"), Masriyah dari Kalimantan
Selatan (Pendiri Sekolah Beriman), Testi Tapat dari Kalimantan Timur (Pelopor Bank
Sampah Ramah Lingkungan (RAMLI)), Empriani Maria Ina Magi dari Nusa Tenggara
Timur (Pendiri Sekolah Alam Dyatame).
Mereka telah menjadi bukti bahwa perempuan, dari manapun berada, entah dari
kota, desa, maupun pelosok terdalam Indonesia, dan dari latar belakang apapun juga
dapat bermimpi dan mewujudkannya melalui kerja keras dan sikap pantang menyerah.
Berkat perjuangan, upaya, dan langkah yang mereka gagas, akhirnya bisa dirasakan
oleh masyarakat sekitar dan mengubah hidup orang lain menjadi lebih baik.
Sedangkan dalam bidang kesehatan, menurut data Kementerian Kesehatan pada
2019, sekitar 70 persen dari 1.244.162 jumlah tenaga medis di Indonesia adalah
perempuan. Perempuan banyak menempati posisi dokter umum, ahli gizi, dokter
spesialis anak, perawat, bidan, dan bantuan tenaga medis lainnya. Meski mayoritas,
proporsi tenaga kesehatan perempuan yang mampu menempuh jenjang dokter spesialis
hanya 12.324. Proporsi ini jauh berbeda dibanding laki-laki yang mencapai 17.268
dokter yang berkesempatan melanjutkan ke jenjang berikutnya. Kita juga bisa melihat
dari 20 menteri kesehatan yang pernah dimiliki Indonesia, hanya 4 orang menteri
kesehatan berjenis kelamin perempuan.
Penilaian sosial terhadap perempuan yang mampu membangun rumah tangga
jauh lebih positif dibanding tingkatan karier maupun idealisme perempuan sebagai
tenaga medis untuk melayani masyarakat yang membutuhkan. Selain dituntut mampu
membina rumah tangga, keterampilan medis perempuan juga lebih diharapkan hadir
sebagai pendamping bagi keluarga yang memerlukan perhatian medis ketimbang di
dunia profesional.
Dominasi perempuan di sektor kesehatan yang kerap disebut feminisasi sektor
kesehatan sebenarnya memberi dampak positif. Banyak riset yang menunjukan
identitas gender berdampak terhadap pola kerja tenaga kesehatan. Salah satu riset
menyebut bahwa perempuan memiliki motivasi yang lebih bersifat altruistik (suka rela
demi kepentingan umum) dibanding laki-laki dalam menjalani atau melanjutkan
pendidikan kedokteran. Riset lain menyebut bahwa dokter perempuan lebih sering
menerapkan pendekatan multidisipliner sehingga memungkinkan terciptanya
pelayanan yang lebih paripurna bagi pasien. Selain itu, mereka juga dinilai lebih
mampu menjalin relasi dokter-pasien yang lebih erat.
Demikian juga keterlibatan perempuan pada bidang-bidang lain, termasuk
politik dan pemerintahan. Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Jusuf
Kalla pada 2014-2019, perempuan kian diberdayakan dengan ditetapkannya peraturan
mengenai kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam politik. Para perempuan
inspiratif yang lahir dari dunia politik diantaranya: Puan Maharani, Sri Mulyani, Retno
Marsudi, Ida Fauziyah, Siti Nurbaya Bakar, Khofifah Indar Parawansa, Tri
Rismaharini, dan Mooryati Soedibyo. Lahirnya tokoh-tokoh tersebut menunjukkan
bahwa perempuan juga memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki untuk berkarir
serta menyuarakan aspirasi rakyat.
Menurut penelitian Harvard Business Review bahwa kemampuan memimpin
perempuan lebih unggul dari laki-laki. Riset yang dilakukan oleh Jack Zenger dan
Joseph Folkman itu menyebut bahwa perempuan memiliki skor lebih tinggi di 17 dari
19 jenis kecakapan memimpin. Namun, perempuan kerap menilai diri mereka sendiri
lebih rendah ketimbang laki-laki. Dalam riset lanjutan, Zenger menemukan bahwa
efektivitas kepemimpinan perempuan di masa krisis pun lebih tinggi dari laki-laki. Hal
tersebut terutama terlihat di masa pandemi seperti saat ini. Berdasar riset lanjutan
Zenger, efektivitas kepemimpinan perempuan sebelum pandemi memiliki skor 53,1.
Angka tersebut lebih tinggi dibanding laki-laki dengan skor 49,8. Di masa pandemi,
efektivitas perempuan dalam memimpin naik menjadi 57,2 sementara laki-laki hanya
berada di angka 51,5. Kita bisa melihat negara-negara yang memiliki respons terbaik
dalam menghadapi pandemi COVID-19 memiliki satu kesamaan, yakni dipimpin oleh
perempuan. Mulai dari Angela Merkel di Jerman, Jacinda Ardern di Selandia Baru,
Erna Solberg di Norwegia, hingga Tsai Ing Wen di Taiwan membuktikan efektivitasnya
dalam menghadapi krisis selama pandemi.
III. Penutup
Peringatan Hari Ibu hadir melalui keputusan Kongres Perempoean Indonesia III
di Bandung pada 22 Desember 1938. Peringatan ini diharapkan menjadi momentum
bagi bangsa Indonesia untuk mengenang dan menghargai perjuangan perempuan
Indonesia dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Perempuan sebagai aktor strategis
di dalam pembangunan memiliki potensi, masa depan, dan kesempatan yang sama
dengan laki-laki. Perempuan yang terus melakukan upaya untuk meningkatkan
pendidikannya memberikan dampak yang luar biasa bagi anak-anaknya dan bagi
masyarakat, bahkan bangsa. Semangat kesetaraan gender, perjuangan, dan potensi
perempuan-perempuan Indonesia menjadi inspirasi bangsa menuju Indonesia maju.

REFERENSI
Anwar, H. (2018). Perempuan dan Politik: Keterwakilan Politik Perempuan di Lembaga
Legislatif dalam Menjalankan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Sumenep Periode 2014-2019. Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma.
Hellosehat. (n.d.). Retrieved from hellosehat.com: https://hellosehat.com/wanita/peran-tenaga-
medis-perempuan/
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2020,
Desember 11). Retrieved from kemenpppa.go.id:
https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2994/hari-ibu-bukan-mother-s-day-
saatnya-generasi-milenial-memaknai-dengan-aksi-nyata
Lan, T. J. (2015). Perempuan dan Modernisasi. Jurnal Masyarakat & Budaya, 17-28.
Safitri, D. (2022, November 15). DetikEdu. Retrieved from Detik.com:
https://www.detik.com/edu/detikpedia
Triananda, V. (2016). Analisis Partisipasi Perempuan Pada Bidang Pada Pendidikan dan
Kesehatan Terhadap Pemberantasan Kemiskinan di Jawa Timur. Malang: Universitas
Brawijaya.
Zamroni, M. (2013). Perempuan dalam Kajian Komunikasi Politik dan Gender. Jurnal
Dakwah, 103-132.

Anda mungkin juga menyukai