Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu
“keberkahan”, al-namaa “pertumbuhan dan pekembangan”, ath-thaharatu “kesucian” dan
ash-shalahu “keberesan”. Syara‟ memakai kata tersebut untuk kedua arti ini. Pertama,
dengan zakat diharapkan akan mendatangkan kesuburan pahala, karenanya dinamakanlah
“harta yang dikeluarkan itu” dengan zakat. Kedua, zakat merupakan suatu kenyataan jiwa
yang suci dari kikir dan dosa.16 Sedangkan secara istilah, meskipun para ulama
mengemukakannya dengan redaksi yang agak bebeda antara satu dan lainnya, akan tetapi
pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat itu adalah bagian dari harta dengan persyaratan
tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang
berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula. Wahbah al-Zuhayly mengartikan
zakat secara bahasa berarti tumbuh (numuw) dan bertambah (ziyadah). Sedangkan zakat
menurut syara‟ berarti hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta.
Mazhab Maliki dalam Wahbah al-Zuhayly mendefinisikan zakat dengan
mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nisab
(batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya
(mustahiq)-nya. Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan
barang dan bukan pertanian.
Mazhab Syafi‟i dalam Wahbah al-Zuhayly zakat adalah sebuah ungkapan untuk
keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan menurut mazhab Hambali,
zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus
pula. Yang dimaksud dengan kelompok yang khusus ialah delapan kelompok yang
diisyaratkan oleh Allah swt. Mazhab Hanafi dalam Wahbah al-Zuhayly mendefinisikan
zakat dengan menjadikan sebagian harta yang khusus dari dari harta yang khusus sebagai
milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah swt. Maksud “sebagian
harta” ialah keluarnya manfaat (harta) dari orang yang memberikannya. Kata “bagian yang
khusus” ialah kadar yang wajib dikeluarkannya. Kata “harta yang khusus” ialah nisab yang
ditentukan oleh syariah. Maksud “orang yang khusus” ialah para mustahiq zakat.
Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu vertikal dan horizontal. Zakat
merupakan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah swt (Hablum- minallah;vertikal),
dan sebagai kewajiban kepada sesama manusia (Hablum-minannas; horizontal). Oleh karena
itu, pilar Islam yang ketiga ini, sangatlah penting dalam menyusun kehidupan yang humanis
dan harmonis dalam masyarakat, serta berperan sangat besar dalam kehidupan sosial.
Menurut Hasbi ash- Shiddiqi, zakat dinamakan “zakat”, dilihat dari beberapa sisi. Dari
sisi muzakki, karena zakat itu mensucikan diri dari kotoran kikir dan dosa. Selain itu, zakat ini
merupakan bukti kebenaran iman muzakki, kebenaran tunduk dan patuh serta merupakan
bukti ketaatan terhadap perintah Allah. Dari sisi harta yang dizakati, dapat menyuburkan
harta tersebut dan menyebabkan pemiliknya memperoleh pahala mengeluarkan zakat. Dari
sisi sosial, zakat akan mensucikan masayarakat dan menyuburkanya, melindungi masyarakat
dari bencana kemiskinan, kelemahan fisik maupun mental dan menghindarkan dari bencanabencana
kemasyarakatan lainya.
Sedangkan Direktorat Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama Republik Indonesia
mengartikan zakat dalam beberapa makna, kemudian menjelaskan dengan sangat rinci:
Pertama, zakat bermakna at-Thohuru, yang artinya membersihkan atau mensucikan. Makna
ini menegakan bahwa orang yang selalu menunaikan zakat karena Allah dan bukan karena
ingin dipuji manusi, Allah akan membersihkan dan mensucikan baik hartanya maupun
jiwanya. Kedua, zakat bermakna al-Barakatu, yang artinya berkah. Makna ini menegaskan
bahwa orang yang selalu membayar zakat, hartanya akan selalu dilimpahkan keberkahan oleh
Allah swt, kemudian keberkahan harta ini akan berdampak kepada keberkahan hidup.
Keberkahan ini lahir karena harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih.
Ketiga, zakat bermakna an-Numuw, yang artinya tumbuh dan berkembang. Makna ini
menegaskan bahwa orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya (dengan izin Allah) akan
selalu terus tumbuh dan berkembang. Hal ini disebabkan oleh kesucian dan keberkahan harta
yang telah ditunaikan kewajiban zakatnya. Keempat, zakat bermakna as-Sholahu, yang
artinya beres atau keberesan, yaitu bahwa orang-orang yang selalu menunaikan zakat,
hartanya akan selalu beres dan jauh dari masalah. Sedangkan orang yang selalu ditimpa
musibah seperti kebangkrutan, kecurian, kerampokan, hilang dan lain sebagainya, boleh jadi
karena mereka selalu melalaikan zakat perintah Allah swt.
Kalimat yang Berarti Zakat dalam al-Quran
Kata zakat dalam al-Quran disebutkan secara ma‟rifah sebanyak 30 kali. Delapan
kali diantaranya terdapat dalam surat Makkiyah, dan selainnya terdapat dalam surat-surat
Madaniyah. Tidak benar kata zakat terdapat bersama kata shalat sebanyak 82 kali seperti
yang dikatakan oleh pengarang Fiqhus-Sunnah dan oleh beberapa pengarang sebelumnya.
Yang benar-benar bergandengan dengan kata shalat hanyalah pada 28 tempat saja.
Az-Zarqani dalam Syarah Muwaththa‟ menerangkan bahwa zakat itu mempunyai
rukun dan syarat. Rukunnya ialah ikhlas dan syaratnya ialah sebab, cukup setahun dimiliki.
Zakat diterapkan kepada orang-orang tertentu dan dia mengandung sanksi hukum, terlepas
dari kewajiban dunia dan mempunyai pahala di akhirat dan menghasilkan suci dari kotoran
dosa. Zakat mempunyai beberapa istilah dalam al-Quran, di antaranya:
a.Zakat
Artinya: “Dirikanlah shalat dan berikanlah zakat, dan ruku‟lah bersamasama orang yang ruku‟.” (QS.
Al-Baqarah 2: 43)
b. Shadaqah
Artinya: “Segala mereka yang membendaharakan emas dan perak dan mereka
tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka gembirakanlah mereka dengan azab yang
memedihkan.” (QS. At-Taubah 9: 34)
e. ‘Afuw
Artinya: “Ambilah „afuw (zakat) dan suruhlah yang ma‟ruf dan berpalinglah
dari orang-orang yang jahil (tidak beradab).” (QS. Al-A‟raf 7: 199)
Ringkasnya istilah zakat digunakan untuk beberapa arti. Namun yang
berkembang dalam masyarakat, istilah zakat digunakan untuk sedekah wajib dan kata
shadaqah digunakan untuk sedekah sunnah.
PENJELASAN AYAT
a. Substansi Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-
tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah). Perkataan wakaf yang menjadi bahasa Indonesia, berasal
dari bahsa Arab dalam bentuk masdar atau kata yang dijadikan kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja
atau fi’il waqafa ini adakalanya memerlukan objek (muta’addi). Dalam perpustakaan sering ditemui
sinonim waqf ialah habs. Waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang bermakna menghentikan
dan menahan atau berhenti di tempat. Sedangkan menurut istilah syara, ialah menahan sesuatu benda
yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu
benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi
hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
1. Menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan
di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada
Allah SWT.
2. Menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan
bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang
dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan
orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia
sudah meninggal baik untuk dijual atau dihibahkan.
3. Menurut mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta
pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.
4. Menurut Peraturan Pemerintah/ PP No.41 tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu
tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah Dari
definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam
pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena
itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak
dapat dipindahkan, misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum,
misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
2. Rukun Wakaf
1. Wâqif (orang yang mewakafkan harta)
2. Mauqûf bîh (barang atau harta yang diwakafkan)
3. Mauqûf ‘alaih (pihak yang diberi wakaf/ peruntukkan wakaf)
4. Shîghat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta
bendanya).
3. Syarat-Syarat Wakaf
1. Selama-lamanya (tidak dibatasi dengan waktu)
2. Tunai dan tidak ada khiyar syarat
3. Hendaklah jelas kepada siapa diwakafkan.
1.Surat Ali Imran Ayat 92: Artinya: Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu
menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu
sungguh, Allah Maha Mengetahui.
Tafsir Surat Ali Imran Ayat 92 Dalam ayat ini menegaskan bahwa tidak akan meraih kebaikan
sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian infakkan,
maka sesungguhnya Allah pasti megetahuinya. Anjuran untuk bernafkah di jalan Allah SWT, apa
yang disukai. Mencampurkan yang disukai atau yang tidak disukai pun dapat ditoleransi, tetapi itu
bukan cara terbaik untuk meraih kebajikan yang sempurna.
Manfaat wakaf dalam kehidupan dapat dilihat dari segi hikmahnya. Setiap peraturan yang
disyariatkan Allah SWT kepada makhluknya baik berupa perintah atau larangan pasti mempunyai
hikmah dan ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, khususnya bagi umat Islam. Manfaat itu bisa
dirasakan ketika hidup sekarang maupun setelah di akhirat nantinya yaitu berupa pahala (didasarkan
pada janji Allah). Ibadah wakaf yang tergolong pada perbuatan sunnat ini banyak sekali hikmahnya
yang terkandung di dalam wakaf ini.
Pertama, harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak
perlu khawatir barangnya hilang atau piindah tangan, karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh
ditassarrufkan, apakah itu dalam bentuk menjual, dihibahkan, atau diwariskan.
Kedua, pahala dan keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika ia telah
meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan.
Ketiga, wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan
agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan mental spritual dana pembangunan dari segi fisik.
Wakaf disamping mempunyai nilai ibadah, sebagai tanda syukur seorang hamba atas nikmat yang
telah di anugerahkan Allah SWT, juga berfungsi sosial. Dengan wakaf, di samping dana-dana sosial
lainnya, kepincangan di antara kelompok yang tidak berada dapat dipertipis atau jurang antara si
miskin dan si kaya dapat di hilangkan terutama dalam bentuk wakaf yang dikhususkan kepada
kelompok yang tidak mampu. Dengan wakaf itu juga, penyediaan sarana dan prasarana ibadah,
pendidikan, seperti mesjid, mushalla dan gedung-gedung Pendidikan akan lebih memugkinkan
dengan menggunakan potensi wakaf yang ada.
Hikmah wakaf kata Ahmad Jarjawi, dapat membantu pihak yang miskin, baik miskin dalam artian
ekonomi maupun tenaga. Silain pihak juga bertujuan unutk meningkatkan pembangunan keagamaan.
Di samping itu hikmah lain adalah dapat membentuk jiwa sosial di tengah-tengah masyarakat. Dapat
juga mendidik manusia agar mempunyai tenggang rasa terhadap sesamanya. Dampak positif langsung
dari ibadah wakaf itu akan membentuk tali hubungan yang errat antara wakif dan maukuf ‘alaih atau
anatara si kaya dan si miskin sehingga terciptalah rasa kesetiakawanan sosial. Melalui ibadah wakaf
dua belah pihak memperoleh manfaatnya, baik bagi wakif (orang yang berwakaf) maupun bagi si
maukuf’alaih (orang yang menerima wakaf). Bagi wakif dari segi agama mendapat pahala sedangkan
maukuf’alaih terlepas dari kesulitan. Bahkan mampu menjadi sumber dana umat Islam untuk
mengembangkan dakwah Islamiyah, tentu dengan mendayagunakan harta wakaf secara optimal.
Dengan demikian dapat diketahui bila wakaf itu dijalankan atau dilakukan menurut semestinya akan
meningkatkan rasa sosial di tengah-tengah masyarakat sehingga terbentuklah atau terjalinlah
hubungan yang harmonis antara si kaya dengan si miskin. Begitu juga sebaliknya dengan si miskin
akan timbul rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki kepadanya, disamping itu
akan timbul rasa hormat kepada si kaya yang telah menolongnya.
Akhirnya timbul sinar keimanan bagi setiap individu dan terhindarlah dari segala perpecahan dan
perselisihan di antara anggota masyarakat. Memang inilah yang di harapkan dan menjadi sasaran dari
ajaran agama Islam.