Berikut ini langkah yang dapat dilakukan untuk perancangan saluran tersier yaitu
1. Menghitung Modulus Pengairan saluran beri tersier (DR ters) yang dapat
dirumuskan sebagai berikut :
DRmax
𝐷𝑅𝑡𝑒𝑟𝑠 = ×𝜂
Pada Laporan ini diperoleh DRmax dari alternative 5 adalah 1.76 l/detik/ha
.
Sehingga: 𝐷𝑅𝑡𝑒𝑟𝑠 = × 65% = 1.43 𝑙/𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘/ℎ𝑎
%
𝑄𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 = 𝑐 × 𝐷𝑅𝑡𝑒𝑟𝑠 × 𝐴
Contoh perhitungan pada ruas B5 ka (Butuh 5 kanan) ; Debit rencana pada ruas
tersebut adalah 𝑄𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 = 1 × 1.43 × 44 = 119.68𝑙/𝑠
3. Menghitung debit layanan saluran sesuai porsi lahan yang diairi, untuk lebih
mudah, debit dibagi dengan jumlah saluran tersier pengambil air dari sadap.
,
𝑄𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛𝑎𝑛 = = = 𝑙/𝑠 = 0.12𝑚3/𝑠
85
Tabel 4.1 Nilai m, n, k berdasarkan Q
debit kemiringan perbandingan faktor
kekasaaran
dalam talut b/h
k
m3/dt 1:m n
Untuk contoh perhitungan, Q=0.12m3/s < 0.15 m3/s, sehingga nilai yang
digunakan: m = 1, n = 1; dan K = 35
6. Menghitung muka air awal, untuk pertama kali dilakukan asumsi, setelah itu
ditentukan dengan menggunakan analisis “Goal Seek”(setelah data penting
tabel perhitungan selesai diisi) hingga didapat h0-h1=0, pada perhitungan sudah
didapat angka sesuai dengan ketentuan, yaitu h0 = 0.35 m(setelah di-Goal
Seek). Menghitung kecepatan air dengan menggunakan rumus Strickler.
𝑣0 = 𝑘𝑅
86
( × )× ( ) ²
𝑅= =
² ( ) ²
Dalam perhitungan dalam saluran didapat kecepatan debit sebesar 0,504 m/s
𝐴0 =
9. Menghitung h1
ℎ1 =
𝑏 = 𝑛ℎ0
(Sumber : jurnal petunjuk perencanaan irigasi)
Contoh Perhitungan:
87
Tinggi freeboard (F) disesuaikan dengan tabel berikut
Q(m3/s)
Freeboard
Min Max
0 0,5 0,4
0,5 1,5 0,5
1,5 5,0 0,6
5 10 0,75
10,0 15 0,85
15,0 >15 1
F = 0,4 m
Hasil perhitungan untuk desain saluran tersier dapat dilihat pada halaman
berikutnya. Tambahan: desain saluran pada tabel 4.1.3 merupakan saluran yang
memotong kontur, dan desain saluran tersier untuk tiap petak tersier ini
diasumsikan cukup memfasilistasi saluran tersier yang sejajar kontur.
88
Tabel 4.3 Desain Saluran Tersier
89
4.2 Perancangan Saluran Sekunder
4.2.1 Tinggi Muka Air Petak
Untuk rumus tinggi muka air yang ada pada jurnal laporan tugas besar SI-
3131 irigasi dan drainase sama persis dengan simantu.pu.go.id. berikut adalah
rumusnya: Tinggi muka air awal (P) dirumuskan sebagai:
𝑃 = 𝐴 + 𝑎 + 𝑏 + 𝑚. 𝑐 + 𝑑 + 𝑛. 𝑒 + 𝑓 + 𝑔 + ∆ℎ
Dimana :
P = tinggi muka air petak
A = elevasi (penentu) tertinggi sawah
a = lapisan air di sawah -10cm
b = kehilangan tinggi pada saluran kuarter sampai sawah -5cm
c = kehilangan tinggi di boks kuarter -5cm
d = kehilangan air pada saluran pembawa IxL
l = kemiringan saluran
L = Panjang saluran
e = kehilangan tinggi energi di box tersier 5cm/box
f = kehilangan tinggi energi di gorong-gorong -0 (asumsi 0)
g = kehilangan tinggi energi di romijin -11cm
Δh = variasi ketinggian muka air -0,15 meter
m = jumlah box quarter
n = jumlah box tersier
Contoh perhitungan :
𝑃 = 𝐴 + 𝑎 + 𝑏 + 𝑚. 𝑐 + 𝑑 + 𝑛. 𝑒 + 𝑓 + 𝑔 + ∆ℎ
𝑃 = 16.8 + 0.1 + 0.05 + 0.05 + 1.2 + 0.1 + 0 + 0.11 + 0.15 = 18.56𝑚
90
Tabel 4.4 Perhitungan Muka Air Awal
91
4.2.2 Stasioning dan Perumusan Kemiringan Aktual Saluran
Pada tahap ini, kemiringan aktual saluran sekunder dan stasioning
bangunan saluran sekunder dilakukan dengan langkah:
Luas petak tersier(Ap), Debit (Q=DR*A), Muka air di saluran sekunder P
didapat dari tabel 4.1.3 dan tabel 4.2.1. Apt adalah total luas petak layanan
bangunan; Nilai Apt adalah jumlah Ap yang mengambil air dari bangunan sadap
yang sama. Kehilangan energi di sadap (Δho) diasumsikan sangat kecil(Δho=0)
Panjang saluran sekunder(L) diperoleh dengan pengukuran jaringan desain di peta
biru.
P hulu dan P hilir adalah elevasi tanah yang ditempati jaringan. Nilai ini diperoleh
dari informasi kontur peta.
92
Tabel 4.5 Perhitungan Qr, Io dan penentuan stasioning di daerah butuh
Plot Hubungan Io dan QT untuk tiap saluran yang memiliki jalur yang
sama: Saluran Sekunder yang Cuma memiliki satu ruas dan berada di
muara tidak perlu di-plot, dan Nilai Ia(Kemiringan aktual) disamakan
dengan Io. Sehingga ada beberapa kurva Hubungan I dan QT di tiap daerah.
93
Nilai Ia ditentukan dengan persamaan yang ditunjukkan oleh trendlline.
94
Grafik 4.3 Kurva Hubungan I dan Q di daerah Tegalrejo-Dendo-Tegasrejo-
Lereng
95
Kurva seperti diatas didapat dengan cara :
1. Masukan angka-angka Io dan QT yang telah di dapat lalu plot hubungan Io dan QT
untuk tiap saluran yang memiliki jalur yang sama.
2. Saluran sekunder yang cuma memiliki satu ruas dan berada di muara tidak perlu
di-plot, dan Nilai Ia (Kemiringan aktual) disamakan dengan Io sehingga ada
beberapa kurva Hubungan I dan QT di tiap daerah.
3. Pada kurva diberi trendline power untuk menentukan hubungan matematis Ia dan
QT.
4. Nilai Ia ditentukan dengan persamaan yang ditunjukkan oleh trendlline.
5. Dengan Persamaan yang diperoleh dari kurva-kurva ini, Nilai Ia (Kemiringan
Saluran) aluran sekunder dihitung dan dimasukan pada desain saluran sekunder.
96
hingga didapat h0-h1=0, pada perhitungan sudah didapat angka
sesuai dengan ketentuan, yaitu h0 = 0.50m
Menentukan kecepatan air dengan menggunakan rumus Strickler
𝑣0 = 𝑘𝑅
Dalam perhitungan dalam saluran didapat kecepatan sebesar 0.567 m/s
Menentukan luas basah penampang saluran
𝐴0 =
ℎ1 =
97
Tabel 4.8 Desain Saluran Sekunder di Daerah Gruwahrejo-Tanggulangin
Perancangan saluran sekunder pada dasarnya melalui perhitungan yang sama seperti
perancangan saluran tersier dengan beberapa hal yang berbeda, yakni:
1. Nilai Q yang digunakan merupakan debit ruas yang telah dihitung pada tabel 4.2.2
sampai tabel 4.2.5 tabel perhitungan QT, Io, dan penentuan stasioning. Menurut
PUPR, 2016. Untuk mencari dimensi saluran menggunakan rumus-rumus seperti di
bawah ini :
98
2. Kemiringan saluran dihitung dengan rumus trendline yang diperoleh, kecuali
beberapa ruas dengan syarat berbeda. Diambil contoh perhitungan ( R B5) :
- Q = 0.29 m3 /s
- Dilihat dari tabel 4.1.1 nilai m, n, k didapatkan berdasarkan Q yaitu m=1 ; n=1;
K=35.
- Lalu ulangi langkah yang sama seperti telah dijelaskan di subab 4.1 :
99
Menentukan luas basah penampang saluran
Ao = Q/Vo
= 0.29 / 0.393
= 0.73 m2
Menurut panduan perencanaan sistem irigasi oleh Radjulaini,2009. di
dapatkan rumus :
Ao
Menentukan h1 =
mn
Didapat h1 = 0.60 m2
Goal-seek dilakukan saat h1-h0 ≠ 0 dengan mengganti nilai ho.
Lebar bawah b = nho = 1 . 0.50 = 0.50 m
100
4.2.4 Muka Air Saluran Sekunder
Penentuan muka air yang dimaksud adalah muka air aktual di saluran sekunder
dengan titik representative di bangunan saluran sekunder terhadap tinggi permukaan
laut (MSL).
1. P = tinggi muka air awal
h = tinggi air di saluran sekunder
Ia = kemiringan aktual saluran
L = panjang saluran
Kemudian Δho = kehilangan energi di sadap seperti asumsi yang sebelumnya
(Δho = 0).
Diambil contoh perhitungan bangunan B5. P = 18.56 ; h = 0.533 ; Ia = 0.0012 ;
L = 1170 m (Didapat dari tabel 4.2.1 dan tabel 4.2.6 sampai tabel 4.2.9). Muka
air rencana di saluran pada 70 % dari debit rencana (Q70%) harus sama atau
lebih tinggi dari muka air yang diperlukan. Muka air rencana adalah muka air
pada Q70% ditambah dengan variannya (0,18 x ho) atau lebih tinggi, karena
muka air tersebut dapat juga ditentukan dengan kebutuhan muka air untuk ruas-
ruas saluran hilir.
101
Rumus MAR muka air saluran sekunder digunakan pada bangunan setelah, misal
pada perhitungan Ia . L + Δho + Mar (B B4) menggunakan MAR dari B B5
seperti di atas
Mar yang diambil adalah Mar (B B4) = 21.167 m, Karena dipilih dari nilaiyang
terbesar yang menjadi Mar. Menurut PUPR,2017. Lebar alur aliran untuk debit
kecil (M.A.R = muka air rendah) dan kedalaman Alur untuk Aliran Debit Banjir
(M.A.T = muka air tinggi) Lebar palung sungai untuk aliran debit air kecil (low
flow) dan elevasi debit air banjir/air tinggi (high water) harus ditentukan
berdasarkan pertimbangan :
• Pemeliharaan alur,
• Frekuensi terjadinya banjir (elevasi muka air tinggi),
• Penggunaan alur sungai pada saat elvasi muka air tinggi (banjir).
6. STA diperoleh dari tabel stasioning sebelumnya yaitu tabel 4.2.2 sampai 4.2.5
7. Elevasi bangunan diperoleh dari elevasi bangunan (P hilir) dari tabel 4.2.2 - 4.2.5
8. Lalu plot kurva MAR dengan STA dan kurva elevasi dengan STA untuk tiap
muara saluran sekunder sampai ke bangunan primer in-take
102
Tabel 4.12 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Butuh
Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B B5 18,56 0,922596 0,09 18,65 1170 18,74775 18,74775 7680 16
B B4 19,61 0,940376 0,1422 19,7522 1200 20,0655 20,0655 6510 18
B B3 20,21 0,894036 0,1638 20,3738 2610 21,65937 21,65937 5310 18,875
B B2 20,91 0,891711 0,1746 21,0846 1230 21,69648 21,69648 2700 20,2
B B1 21,71 0,855851 0,1854 21,8954 1470 22,9344 22,9344 1470 20,5
B K3 20,07667 0 0 21,66 24,272 24,272 0 21,5
103
Tabel 4.16 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Lereng
Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B L3 8,11 0,719771 0,1098 8,2198 1000 8,842163 8,842163 13350 6,5
B L2 8,47 0,801395 0,135 8,605 2220 10,32642 10,32642 12330 6,5
B L1 8,01 0,807209 0,144 8,154 1380 9,279172 9,279172 10110 6,5
B Tg1 16,83 0,888375 0,1728 17,0028 480 17,37129 17,37129 8730 7
B TR4 22,53 0,996429 0,144 22,674 1740 24,58314 24,58314 8250 6,875
B TR3 10,61 1,027943 0,153 10,763 1110 11,99063 11,99063 6510 10,063
B TR2 12,26 1,040418 0,1584 12,4184 960 13,49476 13,49476 5400 11,75
B TR1 14,41 1,054774 0,162 14,572 2010 17,03138 17,03138 4440 14,25
B Te2 24,54 1,093077 0,1746 24,7146 1380 26,47621 26,47621 2430 17,5
B Te1 19,885 1,090063 0,1764 20,0614 1050 21,40021 21,40021 1050 19,8
B K2 23,26 0 21,5
104
B Te1 19,885 1,090063 0,1764 20,0614 1050 21,40021 21,40021 1050 19,8
B K2 23,26 0 0 0 21,5
105
Tabel 4.21 Debit Ruas Saluran Primer
No Saluran Jenis Q Ia
R K3 Primer 2,02 0,001
R K3 Primer 3,5 0,001
R K3 Primer 5,52 0,001
No Saluran Jenis Q Ia
R K3 Primer 5,52 0,001
R K2 Primer 6,19 0,001
R K2 Primer 11,7 0,001
No Saluran Jenis Q Ia
R K2 Primer 11,7 0,001
R K1 Primer 1,94 0,001
R K1 Primer 13,65 0,001
Misal: Ruas R K2 harus menyediakan air bagi Saluran Sekunder Tegal dan R K3,
sehingga Q(R K2)= Q(R K2)Supply Sekunder Tegal + Q(R K3)= 6.19 +5.52=11.70 m3/s.
Nilai m,n,K, didapat dari tabel 4.1.1, misal: pada R K2 (Q=10.87 m 3/s) m=2; n=4.2;
K=45. Langkah subbab 4.1 atau 4.2.3 digunakan kembali:
1. Menentukan kemiringan saluran. Oleh karena, saluran primer dibuat sejajar
kontur, maka kemiringan Io = 0.001
2. Menentukan muka air awal, untuk pertama kali dilakukan asumsi, setelah itu
ditentukan dengan menggunakan analisis “Goal Seek” hingga didapat h 0-h1=0
3. Menentukan kecepatan air dengan menggunakan rumus Strickler
𝑉 = 𝑘𝑅 𝐼
Rumus Strickler yang banyak digunakan pada pengaliran di saluran terbuka, juga
berlaku untuk pengaliran di pipa. Rumus tersebut mempunyai bentuk:
V = k R2/3 I1/2
106
Dengan k adalah koefisien Strickler dan R adalah jari-jari Hydraulik, yaitu
perbandingan antara luas tampang aliran A dan keliling basah P.
(Sumber: Kamiana, I Made. (2019). Buku Hidraulika: Bab 4 Aliran Seragam.)
Menentukan h1
𝐴
ℎ =
𝑚+𝑛
(Sumber: Kamiana, I Made. (2019). Buku Hidraulika: Bab 4 Aliran Seragam.)
107
4.3.2 Muka Air Saluran Primer
Langkah-langkah pengerjaan subbab ini kurang lebih sama seperti pada
subbab 4.2.4.
1. Tinggi muka air awal(P) diperoleh dari tabel muka air awal atau tabel
MAR, Elevasi dan Stasioning Saluran Sekunder. Tinggi aliran pada
saluran(h) diperoleh dari tabel sebelumnya
2. Hitung V=0.18 h kemudian jumlah kan P dan V.
3. Stasioning(STA) didapat dari pengukuran panjang saluran desain di peta
dengan titik nol di bending
4. Elevasi diperoleh dari informasi kontur peta utamanya dicari elevasi di
bangunan-bangunan
5. Ia.L+Δh0+Mar dihitung dengan ketentuan yang sama seperti pada
subbab 4.2.4
6. MAR ditentukan dengan membandingkan antara P+V dengan
Ia.L+Δh0+Mar. Nilai terbesar diambil sebagai MAR.
7. Plot MAR dan Elevasi Saluran Primer terhadap stasioning
108
4.3.3 Stasioning Keseluruhan
109
Tabel 4.25 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Tanggulangin
Bangunan MAR STA Elevasi
B Ta1 17,672 9390 13
B G2 19,967 7800 13
B G1 21,549 6150 15,75
B R2 23,206 4980 17,75
B R1 24,272 3690 19,875
B K3 25,352 2850 21,5
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4
110
B K3 25,352 2850 21,5
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4
111
B Te2 27,385 4200 17,5
B Te1 28,901 2820 19,8
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4
112
Tabel 4.32 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Tutungpait
Bangunan MAR STA Elevasi
B TP4 16,474 5070 13,5
B Tp3 19,571 3720 16
B TP2 21,087 3270 16,75
B TP1 23,212 2280 18
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4
113