Anda di halaman 1dari 29

BAB IV

PERANCANGAN SALURAN BERI

4.1 Perancangan Saluran Tersier

Berikut ini langkah yang dapat dilakukan untuk perancangan saluran tersier yaitu

1. Menghitung Modulus Pengairan saluran beri tersier (DR ters) yang dapat
dirumuskan sebagai berikut :
DRmax
𝐷𝑅𝑡𝑒𝑟𝑠 = ×𝜂

(Sumber : jurnal petunjuk perencanaan irigasi)

Pada Laporan ini diperoleh DRmax dari alternative 5 adalah 1.76 l/detik/ha
.
Sehingga: 𝐷𝑅𝑡𝑒𝑟𝑠 = × 65% = 1.43 𝑙/𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘/ℎ𝑎
%

2. Menghitung debit rencana sawah yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑄𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 = 𝑐 × 𝐷𝑅𝑡𝑒𝑟𝑠 × 𝐴

(Sumber : jurnal petunjuk perencanaan irigasi)

Contoh perhitungan pada ruas B5 ka (Butuh 5 kanan) ; Debit rencana pada ruas
tersebut adalah 𝑄𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 = 1 × 1.43 × 44 = 119.68𝑙/𝑠

3. Menghitung debit layanan saluran sesuai porsi lahan yang diairi, untuk lebih
mudah, debit dibagi dengan jumlah saluran tersier pengambil air dari sadap.
,
𝑄𝑙𝑎𝑦𝑎𝑛𝑎𝑛 = = = 𝑙/𝑠 = 0.12𝑚3/𝑠

(Sumber : jurnal petunjuk perencanaan irigasi)

4. Menghitung kemiringan talud, faktor kekasaran Strickler, dan perbandingan dasar


dengan tinggi saluran, kedua nilai tersebut didapat dari tabel berikut

85
Tabel 4.1 Nilai m, n, k berdasarkan Q
debit kemiringan perbandingan faktor
kekasaaran
dalam talut b/h
k
m3/dt 1:m n

0,15 - 0,30 1,0 1,0 35


0,30 - 0,50 1,0 1,0 - 1,2 35
0,50 - 0,75 1,0 1,2 - 1,3 35
0,75 - 1,00 1,0 1,3 - 1,5 35

1,00 1,50 1,0 1,5 - 1,6 40


1,50 3,00 1,5 1,8 - 2,3 40
2,00 4,50 1,5 2,3 - 2,7 40
4,00 5,00 1,5 2,7 - 2,9 40

5,00 6,00 1,5 2,9 - 3,1 42,5


6,00 7,50 1,5 3,1 - 3,5 42,5
7,50 9,00 1,5 3,5 - 3,7 42,5
9,00 10,00 1,5 3,7 - 3,9 42,5

10,00 11,00 2,0 3,9 - 4,2 45


11,00 15,00 2,0 4,2 - 4,9 45
15,00 25,00 2,0 4,9 - 6,5 45
25,00 40,00 2,0 6,5 - 9,0 45

Untuk contoh perhitungan, Q=0.12m3/s < 0.15 m3/s, sehingga nilai yang
digunakan: m = 1, n = 1; dan K = 35

5. Menghitung kemiringan saluran(I); Kemiringan 0.001 untuk saluran sejajar


kontur dan saluran memotong kontur dihitung dengan membagi perbedaan
tinggi saluran di hulu dan hilir(Δy) dibagi dengan panjang saluran(L).

𝐼=

(Sumber : jurnal petunjuk perencanaan irigasi)

Contoh perhitungan (petak B5 ka):


∆ ,
𝐼= = = 0.0020

6. Menghitung muka air awal, untuk pertama kali dilakukan asumsi, setelah itu
ditentukan dengan menggunakan analisis “Goal Seek”(setelah data penting
tabel perhitungan selesai diisi) hingga didapat h0-h1=0, pada perhitungan sudah
didapat angka sesuai dengan ketentuan, yaitu h0 = 0.35 m(setelah di-Goal
Seek). Menghitung kecepatan air dengan menggunakan rumus Strickler.

𝑣0 = 𝑘𝑅

86
( × )× ( ) ²
𝑅= =
² ( ) ²

(Sumber : jurnal petunjuk perencanaan irigasi)

Dalam perhitungan dalam saluran didapat kecepatan debit sebesar 0,504 m/s

8. Menghitung luas basahan saluran

𝐴0 =

(Sumber : jurnal petunjuk perencanaan irigasi)

Dalam perhitungan dalam saluran didapat luas basahan 0.25 m2

9. Menghitung h1

ℎ1 =

(Sumber : jurnal petunjuk perencanaan irigasi)

Dalam perhitungan dalam saluran didapat h1 = 0.35(setelah di-Goal Seek)

.10 Menghitung dimensi saluran


Lebar bawah (b)

𝑏 = 𝑛ℎ0
(Sumber : jurnal petunjuk perencanaan irigasi)

Contoh Perhitungan:

𝑏 = 𝑛ℎ0 = 1 × 0.35 = 0.35 𝑚

87
Tinggi freeboard (F) disesuaikan dengan tabel berikut

Tabel 4.2 Nilai Freeboard

Q(m3/s)
Freeboard
Min Max
0 0,5 0,4
0,5 1,5 0,5
1,5 5,0 0,6
5 10 0,75
10,0 15 0,85
15,0 >15 1

F = 0,4 m

Tinggi saluran (H)

𝐻 = ℎ0 + 𝑓 = 0.35 + 0.40 = 0.75 𝑚

Lebar Atas (B)

𝐵 = 𝑏 + 2𝑚 ℎ1 = 0.35 + (2 × 1 × 0.35) = 1.04 𝑚

Hasil perhitungan untuk desain saluran tersier dapat dilihat pada halaman
berikutnya. Tambahan: desain saluran pada tabel 4.1.3 merupakan saluran yang
memotong kontur, dan desain saluran tersier untuk tiap petak tersier ini
diasumsikan cukup memfasilistasi saluran tersier yang sejajar kontur.

88
Tabel 4.3 Desain Saluran Tersier

89
4.2 Perancangan Saluran Sekunder
4.2.1 Tinggi Muka Air Petak
Untuk rumus tinggi muka air yang ada pada jurnal laporan tugas besar SI-
3131 irigasi dan drainase sama persis dengan simantu.pu.go.id. berikut adalah
rumusnya: Tinggi muka air awal (P) dirumuskan sebagai:

𝑃 = 𝐴 + 𝑎 + 𝑏 + 𝑚. 𝑐 + 𝑑 + 𝑛. 𝑒 + 𝑓 + 𝑔 + ∆ℎ
Dimana :
P = tinggi muka air petak
A = elevasi (penentu) tertinggi sawah
a = lapisan air di sawah -10cm
b = kehilangan tinggi pada saluran kuarter sampai sawah -5cm
c = kehilangan tinggi di boks kuarter -5cm
d = kehilangan air pada saluran pembawa IxL
l = kemiringan saluran
L = Panjang saluran
e = kehilangan tinggi energi di box tersier 5cm/box
f = kehilangan tinggi energi di gorong-gorong -0 (asumsi 0)
g = kehilangan tinggi energi di romijin -11cm
Δh = variasi ketinggian muka air -0,15 meter
m = jumlah box quarter
n = jumlah box tersier
Contoh perhitungan :
𝑃 = 𝐴 + 𝑎 + 𝑏 + 𝑚. 𝑐 + 𝑑 + 𝑛. 𝑒 + 𝑓 + 𝑔 + ∆ℎ
𝑃 = 16.8 + 0.1 + 0.05 + 0.05 + 1.2 + 0.1 + 0 + 0.11 + 0.15 = 18.56𝑚

Tambahan: Perhitungan L disederhanakan dengan mengalikan panjang


satu saluran dengan jumlah saluran(n); kemudian kehilangan air pada
saluran tersier sejajar kontur diasumsikan sangat kecil sehingga koreksi
cukup dengan pembulatan ke atas P.

90
Tabel 4.4 Perhitungan Muka Air Awal

91
4.2.2 Stasioning dan Perumusan Kemiringan Aktual Saluran
Pada tahap ini, kemiringan aktual saluran sekunder dan stasioning
bangunan saluran sekunder dilakukan dengan langkah:
 Luas petak tersier(Ap), Debit (Q=DR*A), Muka air di saluran sekunder P
didapat dari tabel 4.1.3 dan tabel 4.2.1. Apt adalah total luas petak layanan
bangunan; Nilai Apt adalah jumlah Ap yang mengambil air dari bangunan sadap
yang sama. Kehilangan energi di sadap (Δho) diasumsikan sangat kecil(Δho=0)
 Panjang saluran sekunder(L) diperoleh dengan pengukuran jaringan desain di peta
biru.
 P hulu dan P hilir adalah elevasi tanah yang ditempati jaringan. Nilai ini diperoleh
dari informasi kontur peta.

 Kemiringan saluran awal dirumuskan sebagai Io = (P hulu-P hilir) / L


 QT = Q/0.9. Besar QT didasarkan pada debit saluran dan petak yang diairi oleh
bangunan. Pada perhitungan QT, perhitungan bersifat akumulasi.
 Stasioning (STA): posisi bangunan terhadap titik tertentu. Pada tahap ini
stasioning menggunakan bangunan saluran primer sebagai titik nol dan dimensi
stasioning mengikuti panjang saluran
Contoh: Pada bangunan B B5
Luas petak layanan: 𝐴𝑝𝑡 𝐵 𝐵5 = 𝐴𝑝 𝐵5 𝑘𝑎 + 𝐵5 𝑘𝑖 = 44 + 51.3 = 95.3 ℎ𝑎

Kemiringan awal Saluran R B5: 𝐼0R B5 = = = 0,0017


. .
Debit Saluran B5 : QTR B5 = = = 0,30 m3/s
. .

Ruas R B4 menyediakan air bagi R B5 dan petak B4 ka dan B4 ki, sehingga :


QTR B4 =
. .
+ QT R B5 = + 0.30 = 0.77 m3
. .

92
Tabel 4.5 Perhitungan Qr, Io dan penentuan stasioning di daerah butuh

Tabel 4.6 Perhitungan QT, Io dan penetuan stasioning di daerah Gruwahrejo


Tanggulangin

 Plot Hubungan Io dan QT untuk tiap saluran yang memiliki jalur yang
sama: Saluran Sekunder yang Cuma memiliki satu ruas dan berada di
muara tidak perlu di-plot, dan Nilai Ia(Kemiringan aktual) disamakan
dengan Io. Sehingga ada beberapa kurva Hubungan I dan QT di tiap daerah.

 Pada kurva diberi trendline power untuk menentukan hubungan matematis


Ia dan QT.

93
 Nilai Ia ditentukan dengan persamaan yang ditunjukkan oleh trendlline.

Grafik 4.1 Kurva Hubungan I dan Q di daerah butuh

Grafik 4.2 Kurva Hubungan I dan Q di daerah Gruwahrejo - Tanggulangin

94
Grafik 4.3 Kurva Hubungan I dan Q di daerah Tegalrejo-Dendo-Tegasrejo-
Lereng

Grafik 4.4 Kurva Hubungan I dan Q di daerah Tulungpait

95
Kurva seperti diatas didapat dengan cara :

1. Masukan angka-angka Io dan QT yang telah di dapat lalu plot hubungan Io dan QT
untuk tiap saluran yang memiliki jalur yang sama.
2. Saluran sekunder yang cuma memiliki satu ruas dan berada di muara tidak perlu
di-plot, dan Nilai Ia (Kemiringan aktual) disamakan dengan Io sehingga ada
beberapa kurva Hubungan I dan QT di tiap daerah.
3. Pada kurva diberi trendline power untuk menentukan hubungan matematis Ia dan
QT.
4. Nilai Ia ditentukan dengan persamaan yang ditunjukkan oleh trendlline.
5. Dengan Persamaan yang diperoleh dari kurva-kurva ini, Nilai Ia (Kemiringan
Saluran) aluran sekunder dihitung dan dimasukan pada desain saluran sekunder.

4.2.3 Perancangan Dimensi Saluran Sekunder


Perancangan saluran sekunder pada dasarnya melalui perhitungan yang sama
seperti perancangan saluran tersier dengan beberapa hal yang berbeda, yakni:
1. Nilai Q yang digunakan merupakan debit ruas yang telah dihitung pada tabel
4.2.2 sampai tabel 4.2.5.
2. Kemiringan saluran dihitung dengan rumus trendline yang diperoleh, kecuali
beberapa ruas dengan syarat berbeda yang telah disebutkan sebelumnya
Contoh Perhitungan : R B5
 Q = 0.30 m3/s
 m, n, K didapat dari tabel 4.1.1 dengan m=1; n=1; K=35.
 Langkah-langkah perhitungan pada subbab 4.1 diulang kembali:
 Menentukan kemiringan saluran, digunakan kemiringan I = =0.00049305Q -
0.92445794.

𝐼 = 0.00049305 × 0.29−0.92445794 = 0.0016


 Menentukan muka air awal, untuk pertama kali dilakukan asumsi,
setelah itu ditentukan dengan menggunakan analisis “Goal Seek”

96
hingga didapat h0-h1=0, pada perhitungan sudah didapat angka
sesuai dengan ketentuan, yaitu h0 = 0.50m
 Menentukan kecepatan air dengan menggunakan rumus Strickler

𝑣0 = 𝑘𝑅
Dalam perhitungan dalam saluran didapat kecepatan sebesar 0.567 m/s
 Menentukan luas basah penampang saluran

𝐴0 =

Dalam perhitungan dalam saluran didapat luas basahan 0.51 m 2


 Menentukan h1

ℎ1 =

Dalam perhitungan dalam saluran didapat h1 = 0.50 m (setelah analisis


“Goal-seek”)
 Goal-seek dilakukan saat h1-h0 ≠ 0 dengan mengganti nilai ho.
 Lebar bawah 𝑏 = 𝑛ℎ0 = 1 × 0.50 = 0.50 𝑚
 Tinggi freeboard (f) sesuai tabel = 0.4 m diperoleh dari tabel 4.1.2
 Tinggi saluran 𝐻 = ℎ0 + 𝑓 = 0.50 + 0.4 = 0.90 𝑚
 Lebar Atas 𝐵 = 𝑏 + 2. 𝑚. ℎ0 = 0.50 + (2 × 1 × 0.50) = 1.51 𝑚

Tabel 4.7 Desain Saluran Sekunder di Daerah Butuh

97
Tabel 4.8 Desain Saluran Sekunder di Daerah Gruwahrejo-Tanggulangin

Tabel 4.9 Desain Saluran Sekunder di Daerah Tegalrejo-Dendo-Tegalrejo-Lereng

Perancangan saluran sekunder pada dasarnya melalui perhitungan yang sama seperti
perancangan saluran tersier dengan beberapa hal yang berbeda, yakni:
1. Nilai Q yang digunakan merupakan debit ruas yang telah dihitung pada tabel 4.2.2
sampai tabel 4.2.5 tabel perhitungan QT, Io, dan penentuan stasioning. Menurut
PUPR, 2016. Untuk mencari dimensi saluran menggunakan rumus-rumus seperti di
bawah ini :

98
2. Kemiringan saluran dihitung dengan rumus trendline yang diperoleh, kecuali
beberapa ruas dengan syarat berbeda. Diambil contoh perhitungan ( R B5) :
- Q = 0.29 m3 /s
- Dilihat dari tabel 4.1.1 nilai m, n, k didapatkan berdasarkan Q yaitu m=1 ; n=1;
K=35.
- Lalu ulangi langkah yang sama seperti telah dijelaskan di subab 4.1 :

 Menentukan kemiringan saluran, digunakan kemiringan I = 0.00049305Q -0.92445794


Yang di dapat dari kurva grafik 1.5.2 Kurva Hubungan I dan Q di daerah butuh.
I = 0.00049305Q-0.92445794 = 0.0016
 Menentukan muka air awal, untuk pertama kali dilakukan asumsi, setelah itu
ditentukan dengan menggunakan analisis Goal Seek hingga didapat h0-h1=0, pada
perhitungan sudah didapat angka sesuai dengan ketentuan, yaitu h 0 = 0.50 m
 Menentukan Kecepatan air dengan menggunakan rumus Strickler rumus kecepatan
stickler sering digunakan dalam perencanaan saluran terbuka, misalnya
perencanaan saluran irigasi
Vo = KR2/3I1/2

Untuk mendapatkan hasil R dicari dengan rumus


(n  m) xh^ 2
R =
(n  2) xhx 1  m^ 2
(1 + 1.0) x 0.50^2
= = 0.149071
(1  2) x 0.50 x 1  2^ 2
= 0.1490712/3
= 0.281144
Vo = KR2/3I1/2
Vo = 35. 0.281144 . 0.04
= 0.393 m/s

99
 Menentukan luas basah penampang saluran
Ao = Q/Vo
= 0.29 / 0.393
= 0.73 m2
 Menurut panduan perencanaan sistem irigasi oleh Radjulaini,2009. di
dapatkan rumus :

Ao
Menentukan h1 =
mn
Didapat h1 = 0.60 m2
Goal-seek dilakukan saat h1-h0 ≠ 0 dengan mengganti nilai ho.
 Lebar bawah b = nho = 1 . 0.50 = 0.50 m

Menurut Triadmodjo, 1993. Tinggi jagaan minimum untuk saluran tanah


berdasarkan tabel maka diperoleh :

Tabel 4.11 Debit aliran

 Tinggi Freeboard (f) sesuai tabel diperoleh 0.4 m


 Tinggi Saluran H = ho + F = 0.50 + 0.4 = 0.90 m
 Lebar Atas B = b + 2.m.ho = 0.50 + (2 . 1.0 . 0.50) = 1.5 m

100
4.2.4 Muka Air Saluran Sekunder
Penentuan muka air yang dimaksud adalah muka air aktual di saluran sekunder
dengan titik representative di bangunan saluran sekunder terhadap tinggi permukaan
laut (MSL).
1. P = tinggi muka air awal
h = tinggi air di saluran sekunder
Ia = kemiringan aktual saluran
L = panjang saluran
Kemudian Δho = kehilangan energi di sadap seperti asumsi yang sebelumnya
(Δho = 0).
Diambil contoh perhitungan bangunan B5. P = 18.56 ; h = 0.533 ; Ia = 0.0012 ;
L = 1170 m (Didapat dari tabel 4.2.1 dan tabel 4.2.6 sampai tabel 4.2.9). Muka
air rencana di saluran pada 70 % dari debit rencana (Q70%) harus sama atau
lebih tinggi dari muka air yang diperlukan. Muka air rencana adalah muka air
pada Q70% ditambah dengan variannya (0,18 x ho) atau lebih tinggi, karena
muka air tersebut dapat juga ditentukan dengan kebutuhan muka air untuk ruas-
ruas saluran hilir.

2. Menghitung V dengan , V = 0.18 x ho


V = 0.18 x ho
= 0.18 x 0.533 = 0.095 m
3. Menghitung P+V
P+V = 18.56 + 0.095 = 18,655 m
4. Menghitung Ia . L + Δho + Mar. Diambil contoh B B4

Ia . L + Δho + Mar = 0.0004 . 1170 + 0 + Mar B5 (18.655) = 19.123 m

101
Rumus MAR muka air saluran sekunder digunakan pada bangunan setelah, misal
pada perhitungan Ia . L + Δho + Mar (B B4) menggunakan MAR dari B B5
seperti di atas

5. Bandingkan nilai P+V dan Ia . L + Δho + Mar. Diambil contoh perhitungan B B4


P+V (B B4) = 21.167 > Ia . L + Δho + Mar (B B4) = 19.123 m

Mar yang diambil adalah Mar (B B4) = 21.167 m, Karena dipilih dari nilaiyang
terbesar yang menjadi Mar. Menurut PUPR,2017. Lebar alur aliran untuk debit
kecil (M.A.R = muka air rendah) dan kedalaman Alur untuk Aliran Debit Banjir
(M.A.T = muka air tinggi) Lebar palung sungai untuk aliran debit air kecil (low
flow) dan elevasi debit air banjir/air tinggi (high water) harus ditentukan
berdasarkan pertimbangan :
• Pemeliharaan alur,
• Frekuensi terjadinya banjir (elevasi muka air tinggi),
• Penggunaan alur sungai pada saat elvasi muka air tinggi (banjir).

6. STA diperoleh dari tabel stasioning sebelumnya yaitu tabel 4.2.2 sampai 4.2.5

7. Elevasi bangunan diperoleh dari elevasi bangunan (P hilir) dari tabel 4.2.2 - 4.2.5

8. Lalu plot kurva MAR dengan STA dan kurva elevasi dengan STA untuk tiap
muara saluran sekunder sampai ke bangunan primer in-take

102
Tabel 4.12 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Butuh
Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B B5 18,56 0,922596 0,09 18,65 1170 18,74775 18,74775 7680 16
B B4 19,61 0,940376 0,1422 19,7522 1200 20,0655 20,0655 6510 18
B B3 20,21 0,894036 0,1638 20,3738 2610 21,65937 21,65937 5310 18,875
B B2 20,91 0,891711 0,1746 21,0846 1230 21,69648 21,69648 2700 20,2
B B1 21,71 0,855851 0,1854 21,8954 1470 22,9344 22,9344 1470 20,5
B K3 20,07667 0 0 21,66 24,272 24,272 0 21,5

Tabel 4.13 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Tanggulangin


Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B Ta1 14,585 0,5932 0,1116 14,6966 1590 16,78792 16,78792 6540 13
B G2 14,59 0,802859 0,1368 14,7218 1650 16,90578 16,90578 4950 13
B G1 17,67 0,832622 0,1404 17,8104 1170 19,32043 19,32043 3300 15,75
B R2 19,41 0,932514 0,1566 19,5666 1290 21,23918 21,23918 2130 17,75
B R1 21,485 0,964641 0,162 21,647 840 22,67742 22,67742 840 19,875
B K3 21,759 21,66 24,272 24,272 0 21,5

Tabel 4.14 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Tanggul


Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B T2 10,66 0,54083 0,0756 10,7356 960 11,98179 11,98179 7110 9,5
B T1 13,86 0,715333 0,13698 13,99698 1200 15,53169 15,53169 6150 11
B G2 21,8775 0,802859 0,24786 22,12536 1650 24,19828 24,19828 4950 13
B G1 17,67 0,832622 0,26568 17,93568 1170 19,32043 19,32043 3300 15,75
B R2 58,23 0,932514 0,36108 58,59108 1290 60,05918 60,05918 2130 17,75
B R1 21,485 0,964641 0,3744 21,8594 840 22,67742 22,67742 840 19,875
B K3 21,759 24,272 0 21,5

Tabel 4.15 MAR, Elevasi, dan Stationing Saluran Sekunder Gruwahrejo


Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B Gr1 21,16 0,645175 0,1206 21,2806 1440 23,16192 23,16192 3570 17,75
B R2 58,23 0,932514 0,1566 58,3866 1290 60,05918 60,05918 2130 17,75
B R1 21,485 0,964641 0,162 21,647 840 22,67742 22,67742 840 19,875
B K3 21,759 0 21,5

103
Tabel 4.16 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Lereng
Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B L3 8,11 0,719771 0,1098 8,2198 1000 8,842163 8,842163 13350 6,5
B L2 8,47 0,801395 0,135 8,605 2220 10,32642 10,32642 12330 6,5
B L1 8,01 0,807209 0,144 8,154 1380 9,279172 9,279172 10110 6,5
B Tg1 16,83 0,888375 0,1728 17,0028 480 17,37129 17,37129 8730 7
B TR4 22,53 0,996429 0,144 22,674 1740 24,58314 24,58314 8250 6,875
B TR3 10,61 1,027943 0,153 10,763 1110 11,99063 11,99063 6510 10,063
B TR2 12,26 1,040418 0,1584 12,4184 960 13,49476 13,49476 5400 11,75
B TR1 14,41 1,054774 0,162 14,572 2010 17,03138 17,03138 4440 14,25
B Te2 24,54 1,093077 0,1746 24,7146 1380 26,47621 26,47621 2430 17,5
B Te1 19,885 1,090063 0,1764 20,0614 1050 21,40021 21,40021 1050 19,8
B K2 23,26 0 21,5

Tabel 4.17 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Tegasrejo


Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B Ts2 10,21 0,733799 0,1008 10,3108 600 10,63868 10,63868 12120 3,1
B Ts1 8,16 0,819615 0,1386 8,2986 2790 10,62028 10,62028 11520 4,25
B Tg1 16,83 0,888375 0,1728 17,0028 480 17,37129 17,37129 8730 7
B TR4 22,53 0,996429 0,144 22,674 1740 24,58314 24,58314 8250 6,875
B TR3 10,61 1,027943 0,153 10,763 1110 11,99063 11,99063 6510 10,063
B TR2 12,26 1,040418 0,1584 12,4184 960 13,49476 13,49476 5400 11,75
B TR1 14,41 1,054774 0,162 14,572 2010 17,03138 17,03138 4440 14,25
B Te2 16,36 1,093077 0,1746 16,5346 1380 18,29621 18,29621 2430 17,5
B Te1 19,885 1,090063 0,1764 20,0614 1050 21,40021 21,40021 1050 19,8
B K2 23,26 0 0 21,5

Tabel 4.18 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Dendo

Bangunan P H V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi


B D1 9,16 0,537898 0,135 9,295 1230 9,909632 9,909632 9480 6,7
B TR4 22,53 0,996429 0,144 22,674 1740 24,58314 24,58314 8250 6,875
B TR3 10,61 1,027943 0,153 10,763 1110 11,99063 11,99063 6510 10,063
B TR2 12,26 1,040418 0,1584 12,4184 960 13,49476 13,49476 5400 11,75
B TR1 14,41 1,054774 0,162 14,572 2010 17,03138 17,03138 4440 14,25
B Te2 49,08 1,093077 0,1746 49,2546 1380 51,01621 51,01621 2430 17,5

104
B Te1 19,885 1,090063 0,1764 20,0614 1050 21,40021 21,40021 1050 19,8
B K2 23,26 0 0 0 21,5

Tabel 4.19 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Tutung


Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B Tu1 17,96 0,697549 0,1062 18,0662 2640 19,77001 19,77001 5070 14,25
B Te2 24,54 1,093077 0,1746 24,7146 1380 26,47621 26,47621 2430 17,5
B Te1 19,885 1,090063 0,1764 20,0614 1050 21,40021 21,40021 1050 19,8
B K2 23,26 0 0 21,5

Tabel 4.20 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Sekunder Tutungpait


Bangunan P h V P+V L Ia.L+h0+Mar MAR STA Elevasi
B TP4 16,41 0,360521 0,063 16,473 1350 19,00514 19,00514 4260 13,5
B Tp3 17,76 0,641424 0,1116 17,8716 450 18,48089 18,48089 2910 16
B TP2 18,86 0,721008 0,1242 18,9842 990 20,38428 20,38428 2460 16,75
B TP1 20,61 0,774361 0,1332 20,7432 1470 22,74834 22,74834 1470 18
B K1 24,21 0 0 21,5

4.3 Perancangan Saluran Primer


Perancangan saluran primer kurang lebih mengikuti konsep desain
yang sama pada perancangan saluran-saluran sebelumnya. Akan tetapi,
stasioning pada subbab sebelumnya digabungkan dengan titik nol
berada pada bendung.

4.3.1 Perancangan Dimensi Saluran


Langkah-langkah desain mengikuti langkah perhitungan di subbab
sebelumnya(subbab 4.1 dan 4.2.3). Debit(Q) diperoleh dari tabel
4.2.2 sampai tabel 4.2.5 dengan Q di ruas menyediakan air cukup
bagi saluran yang mengambil air dari hilir tiap ruas saluran
primer(bangunan). Pada perhitungan sebelummnya. Debit saluran
sekunder pada bangunan saluran primer sudah diolah menjadi debit
saluran primer dengan membagi debit saluran sekunder dengan 0.9.

105
Tabel 4.21 Debit Ruas Saluran Primer
No Saluran Jenis Q Ia
R K3 Primer 2,02 0,001
R K3 Primer 3,5 0,001
R K3 Primer 5,52 0,001

No Saluran Jenis Q Ia
R K3 Primer 5,52 0,001
R K2 Primer 6,19 0,001
R K2 Primer 11,7 0,001

No Saluran Jenis Q Ia
R K2 Primer 11,7 0,001
R K1 Primer 1,94 0,001
R K1 Primer 13,65 0,001

Misal: Ruas R K2 harus menyediakan air bagi Saluran Sekunder Tegal dan R K3,

sehingga Q(R K2)= Q(R K2)Supply Sekunder Tegal + Q(R K3)= 6.19 +5.52=11.70 m3/s.

Nilai m,n,K, didapat dari tabel 4.1.1, misal: pada R K2 (Q=10.87 m 3/s) m=2; n=4.2;
K=45. Langkah subbab 4.1 atau 4.2.3 digunakan kembali:
1. Menentukan kemiringan saluran. Oleh karena, saluran primer dibuat sejajar
kontur, maka kemiringan Io = 0.001
2. Menentukan muka air awal, untuk pertama kali dilakukan asumsi, setelah itu
ditentukan dengan menggunakan analisis “Goal Seek” hingga didapat h 0-h1=0
3. Menentukan kecepatan air dengan menggunakan rumus Strickler

𝑉 = 𝑘𝑅 𝐼

Rumus Strickler yang banyak digunakan pada pengaliran di saluran terbuka, juga
berlaku untuk pengaliran di pipa. Rumus tersebut mempunyai bentuk:
V = k R2/3 I1/2

106
Dengan k adalah koefisien Strickler dan R adalah jari-jari Hydraulik, yaitu
perbandingan antara luas tampang aliran A dan keliling basah P.
(Sumber: Kamiana, I Made. (2019). Buku Hidraulika: Bab 4 Aliran Seragam.)

4. Menentukan luas basahan saluran


𝑄
𝐴 =
𝑉
(Sumber: Kamiana, I Made. (2019). Buku Hidraulika: Bab 4 Aliran Seragam.)

Menentukan h1

𝐴
ℎ =
𝑚+𝑛
(Sumber: Kamiana, I Made. (2019). Buku Hidraulika: Bab 4 Aliran Seragam.)

5. Lakukan goalseek sehingga ditemukan h1-h0 = 0 dengan mengganti nilai h0


6. Lebar bawah 𝑏 = 𝑛ℎ0
7. Tinggi freeboard (F) mengikuti tabel 4.1.2
8. Tinggi saluran 𝐻 = ℎ0 + 𝐹
9. Lebar Atas 𝐵 = 𝑏 + 2. 𝑚. ℎ0

Hasil desain ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 4.22 Desain Saluran Primer

107
4.3.2 Muka Air Saluran Primer
Langkah-langkah pengerjaan subbab ini kurang lebih sama seperti pada
subbab 4.2.4.
1. Tinggi muka air awal(P) diperoleh dari tabel muka air awal atau tabel
MAR, Elevasi dan Stasioning Saluran Sekunder. Tinggi aliran pada
saluran(h) diperoleh dari tabel sebelumnya
2. Hitung V=0.18 h kemudian jumlah kan P dan V.
3. Stasioning(STA) didapat dari pengukuran panjang saluran desain di peta
dengan titik nol di bending
4. Elevasi diperoleh dari informasi kontur peta utamanya dicari elevasi di
bangunan-bangunan
5. Ia.L+Δh0+Mar dihitung dengan ketentuan yang sama seperti pada
subbab 4.2.4
6. MAR ditentukan dengan membandingkan antara P+V dengan
Ia.L+Δh0+Mar. Nilai terbesar diambil sebagai MAR.
7. Plot MAR dan Elevasi Saluran Primer terhadap stasioning

Tabel 4.23 MAR, Elevasi dan Stationing Saluran Primer Kutarjo


la.L +
Bangunan P h V P+V Δh0 + MAR STA Elevasi
Mar
B K3 21,7 1,1 0,2 21,9 25,4 25,352 2850 21,5
B K2 24,3 1,2 0,2 24,5 26,3 26,312 1770 21,5
B K1 26,3 1,3 0,2 26,5 27,1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

108
4.3.3 Stasioning Keseluruhan

Stasioning per daerah saluran sekunder digabungkan dengan stasioning saluran


primer, sehingga titik nol stasioning saluran sekunder digeser dari bangunan
saluran primer bukan lagi ke bendung.
1. Adanya pergeseran titik nol menyebabkan perhitungna stasioning total
daerah saluran sekunder cuku gampang, yakni perhitungan cukup dilakukan
dengan menambah nilai stasioning tiap titik bangunan dengan nilai
stasioning bangunan saluran primer dari bendung.
Contoh: STA (B B1) = 1470 + STA (B K3) = 1470 +2850 = 4320,
STA (B B2) = 2700 + STA (B K3) = 2700 +2850 = 5550, Dst.
2. STA dihitung dengan cara diatas dan hasil perhitungan(dalam tabel) di-
plotkan ke dalam kurva MAR dan elevasi terhadap Stasioning untuk tiap
saluran sekunder muara.

Tabel 4.24 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Butuh


Bangunan MAR STA Elevasi
B B5 18,651 10530 16
B B4 21,152 9360 18
B B3 22,309 8160 18,875
B B2 22,782 5550 20,2
B B1 23,214 4320 20,5
B K3 25,352 2850 21,5
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

109
Tabel 4.25 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Tanggulangin
Bangunan MAR STA Elevasi
B Ta1 17,672 9390 13
B G2 19,967 7800 13
B G1 21,549 6150 15,75
B R2 23,206 4980 17,75
B R1 24,272 3690 19,875
B K3 25,352 2850 21,5
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

Tabel 4.26 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Tanggul


Bangunan MAR STA Elevasi
B T2 11,836 10920 9,5
B T1 15,972 9960 11
B G2 19,967 7800 13
B G1 21,549 6150 15,75
B R2 23,206 4980 17,75
B R1 24,272 3690 19,875
B K3 25,352 2850 21,5
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

Tabel 4.27 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Gruwahrejo


Bangunan MAR STA Elevasi
B Gr1 21,331 6420 17,75
B R2 23,206 4980 17,75
B R1 24,272 3690 19,875

110
B K3 25,352 2850 21,5
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

Tabel 4.28 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Lereng


Bangunan MAR STA Elevasi
B L3 9,546 15120 6,5
B L2 11,626 14100 6,5
B L1 12,74745 11880 6,5
B Tg1 14,453 10500 7
B TR4 18,042 10020 6,875
B TR3 20,125 8280 10,063
B TR2 21,822 7170 11,75
B TR1 25,291 6210 14,25
B Te2 27,385 4200 17,5
B Te1 28,901 2820 19,8
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

Tabel 4.29 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Tegasrejo


Bangunan MAR STA Elevasi
B Ts2 11,485 13890 3,1
B Ts1 14,169 13290 4,25
B Tg1 14,453 10500 7
B TR4 18,042 10020 6,875
B TR3 20,125 8280 10,063
B TR2 21,822 7170 11,75
B TR1 25,291 6210 14,25

111
B Te2 27,385 4200 17,5
B Te1 28,901 2820 19,8
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

Tabel 4.30 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Dendo


Bangunan MAR STA Elevasi
B D1 9,935 11250 6,7
B TR4 18,042 10020 6,875
B TR3 20,125 8280 10,063
B TR2 21,822 7170 11,75
B TR1 25,291 6210 14,25
B Te2 27,385 4200 17,5
B Te1 28,901 2820 19,8
B K2 260312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

Tabel 4.31 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Tutung


Bangunan MAR STA Elevasi
B Tu1 18,615 6840 14,25
B Te2 27,385 4200 17,5
B Te1 28,901 2820 19,8
B K2 26,312 1770 21,5
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

112
Tabel 4.32 MAR, Elevasi, dan Stationing Total S.S.Tutungpait
Bangunan MAR STA Elevasi
B TP4 16,474 5070 13,5
B Tp3 19,571 3720 16
B TP2 21,087 3270 16,75
B TP1 23,212 2280 18
B K1 27,122 810 21,5
Bendungan 28,082 0 21,4

113

Anda mungkin juga menyukai