Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KEBANGKRUTAN DAN FINANCIAL DISTRESS

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Keuangan Stratejiik

Dosen Pengampu

Dr. Hj. Ellen Rusliati. SE. MSIE

Disusun Oleh :

Levy Ailena Vivian

194010125

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
19MJC
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah “Kebangkrutan dan Financial Distress”. Maksud dan tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi salah satu syarat menempuh tugas mata
kuliah Manajemen Keuangan Strategis. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih jauh dikatakan baik dan sempurna, serta masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka penyusun menerima saran dan kritik yang bersifat membangun. Proses penyusunan
makalah ini tentunya banyak memperoleh bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Terutama kepada Ibu Dr. Hj. Ellen Rusliati. SE. MSIE. selaku dosen mata kuliah Manajemen
Keuangan Strategis, yang telah membimbing kami selama proses belajar didalam kelas,
kami ucapkan terimakasih. Dan tidak lupa untuk teman-teman sejawatan diprodi
manajemen Universitas Pasundan, terimakasih atas dorongannya.

Akhir kata kami berharap penyusunan laporan ini dapat bermanfaat bagi kami
khususnya, dan pembaca pada umumnya.

Bandung, Mei 2021

Penyusun

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ancaman kebangkrutan dapat dialami setiap perusahaan, baik perusahaan
kecil maupun besar yang tidak mampu bersaing atau berkembang dalam menjalankan
usahanya. Kebangkrutan suatu perusahaan diawali dengan munculnya kesulitan
keuangan. Kesulitan keuangan suatu perusahaan dapat tercermin dari indikator kinerja
yakni apabila perusahaan mengalami kesulitan keuangan jangka pendek (likuiditas)
yang tidak segera diatasi akan mengakibatkan kesulitan keuangan jangka panjang
(solvabilitas) sehingga dapat berujung pada kebangkrutan suatu perusahaan
(Suharman, 2007).
Analisis kebangkrutan merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
memprediksi kebangkrutan. Analisis ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk
melakukan antisipasi yang diperlukan dari peringatan awal kebangkrutan. Semakin
awal tanda-tanda kebangkrutan tersebut ditemukan, semakin baik bagi pihak
manajemen, karena dapat melakukan perbaikan sejak awal (Hanafi, 2003:263).
Financial distress merupakan tahapan penurunan kondisi keuangan suatu
perusahaan sebelum terjadinya kebangkrutan (Platt dan Platt, 2002). Kebangkrutan
perusahaan terjadi setelah periode financial distress. Untuk itu, pengenalan lebih awal
kondisi perusahaan yang mengalami financial distress menjadi penting dilakukan.
Informasi lebih awal kondisi financial distress 2 pada perusahaan memberikan
kesempatan bagi manajemen, pemilik, investor, regulator, dan para stakebolders
lainnya untuk melakukan upaya-upaya yang relevan. Manajemen dan pemilik
berkepentingan untuk melakukan upayaupaya mencegah kondisi yang lebih parah ke
arah kebangkrutan. Investor berkepentingan dalam mengambil keputusan investasi
atau divestasi. Regulator, seperti Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal,
dalam melakukan pengawasan usaha.

Potensi kebangkrutan yang dimiliki oleh setiap perusahaan akan memberi


kekhawatiran dari berbagai pihak baik sektor internal maupun pihak eksternal, pihak
investor akan kehilangan seluruh saham yang telah ditanamkan diperusahaan tersebut
dan pihak kreditur akan mengalami kerugian karena seluruh dana yang telah

1
dipinjamkan pada perusahaan tidak bisa dilunasi atau tidak tertagih, sehingga prediksi
kebangkrutan sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan investasi.

Kesulitan keuangan (financial distress) merupakan suatu situasi dimana aliran


kas operasi sebuah perusahaan tidak cukup memenuhi kewajiban-kewajiban yang
sekarang (seperti perdagangan kredit atau pengeluaran bunga). Istilah kesulitan
keuangan digunakan untuk mencerminkan adanya permasalahan dengan tingkat
likuiditas perusahaan Putro (2013). Aisyah (2013) juga menjelaskan, bahwa kesulitan
keuangan (financial distress) yang dialami perusahaan tidak hanya disebabkan oleh
satu faktor saja, tetapi juga disebabkan oleh berbagai faktor, ada faktor internal dan
juga ada faktor eksternal.Faktor internal diantaranya karena faktor financial dan faktor
non-financial, sedangkan faktor eksternal yaitu keadaan ekonomi suatu negara
tersebut atau keadaan ekonomi secara global.Perputaran piutang yang sangat rendah
juga salah satu penyebabterjadinya financial distress.

MenurutPlatt & Platt (2002) bahwa financial distress sebagai tahap penurunan
kondisi keuangan perusahaan yang terjadi sebelum kebangkrutan ataupun likuidasi.
Perusahaan dapat dikatakan dalam kondisi financial distress jika salah satu kejadian
berikut ini terjadi: mengalami laba operasi bersih negatif selamabeberapa tahun atau
penghentian pembayaran deviden dan restruturisasi keuangan atau PHK besar-
besaran. Kesehatan suatu perusahaan bisa digambarkan dari titik sehat yang paling
tinggi yaitu mampu untuk membiayai operasionalnya dan dapat memenuhi
kewajiban-kewajiban jangka pendek sampai jangka 2 panjangnya tepat waktu
(Ardiyanto, 2011). Kesehatan perusahaan dapat diukur dari tingkat likuiditas yang
paling sehat, sampai ke titik tidak sehat yang paling ekstrem yaitu tidak mampu
membayar kewajiban-kewajibannya atau hutang lebih besar dibandingkan
aset.Kesulitan keuangan jangka pendek bersifat sementara dan belum begitu parah,
tetapi kesulitan semacam ini apabila tidak ditangani bisa berkembang menjadi
kesulitan yang berakibat fatal.

Faktor penyebab financial distress adalah karena adanya serangkaian


kesalahan, pengambilan keputusan yang tidak tepat, serta tidak adanya atau
kurangnya upaya mengawasi kondisi keuangan sehingga penggunaan keuangan tidak
sesuai dengan keperluan. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa tidak menjamin
perusahaan besar dapat menghindari masalah ini, sebab financial distress berkaitan

2
dengan keuangan perusahaan dimana, setiap perusahaan pasti akan beurusan dengan
keuangan untuk menjaga kelangsungan operasinya (Anggarini, 2010). Perusahaan
dengan keadaan seperti dijelaskan di atas perlu untuk mengantisipasi adanya financial
distress berkepanjangan sebelum mencapai titik kebangkrutan atau likuidasi
(Ardiyanto, 2011).

Menurut Mas’ud & Srengga (2011) Financial distress terjadi sebelum


kebangkrutan atau likuidasi pada suatu perusahaan. Sehingga model financial distress
perlu untuk dikembangkan, karena dengan mengetahui kondisi financial distress sejak
awal diharapkan dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk mengantisipasi kondisi
yang mengarah pada kebangkrutan. Financial distress dapat diukur melalui laporan
keuangan dengan cara menganalisis laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan
hasil dari suatu aktivitas yang bersifat 3 teknis berdasarkan pada metode dan
prosedur-prosedur yang memerlukan penjelasan-penjelasan agar tujuan atau maksud
untuk menyediakan informasi yang bermanfaat dapat dicapai. Laporan keuangan
dapat digunakan sebagai alat untuk membuat proyeksi tentang berbagai aspek
finansial perusahaan di masa datang.

Analisis rasio keuangan yang sering digunakan terfokus pada profitabilitas,


solvency, dan likuiditas. Untuk mengetahui adanya gejala kebangkrutan diperlukan
suatu model memprediksi financial distress untuk menghindari kerugian dalam nilai
investasi. Salah satu aspek pentingnya analisis terhadap laporan keuangan dari sebuah
perusahaan adalah untuk meramal kelangsungan hidup perusahaan, sangat penting
bagi manajemen dan pemilik perusahaan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya
potensi kebangkrutan.Kebangkrutan suatu perusahaan dapat dilihat dan diukur
melalui laporan keuangannya (Mas’ud & Srengga, 2011). Agar informasi laporan
keuangan yang tersaji menjadi lebih bermanfaat dalam pengambilan keputusan, maka
data keuangan harus dirubah menjadi informasi yang berguna dalam pengambilan
keputusan ekonomis. Untuk membuktikan bahwa laporan keuangan bermanfaat maka
perlu dilakukan penelitian.

Firm size juga menjadi salah satu tolak ukur yang digunakan untuk
mendeteksi apakah perusahaan terindikasi mengalami kesulitan keuangan atau tidak
(Rianti & Yadiati, 2018). Firm size dapat menggambarkan keadaan perusahaan.
Ukuran perusahaan yang besar menandakan perusahaan tersebut mempunyai total

3
asset yang besar pula, artinya perusahaan memiliki kecukupan dana untuk membiayai
kegiatan operasional perusahaan (Pertiwi, 2018). Sehingga, kecil kemungkinan
perusahaan mengalami financial distress tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa
kondisi tersebut terjadi di perusahaan yang besar (Sastriana, 2013).

Kondisi kesulitan keuangan dapat terjadi pada setiap perusahaan. Perusahaan


memerlukan prediksi financial distress agar dapat membantu pihak manajemen dalam
pengambilan keputusan untuk segera memperbaiki kondisi keuangan perusahaan
(Ayu, Handayani, & Topowijono, 2017). Oleh sebab itu, melakukan prediksi sejak
dini adalah hal penting dalam suatu perusahaan guna mencegah terjadinya resiko
kebangkrutan di waktu yang akan datang serta mampu memberikan informasi terkait
kinerja keuangan perusahaan (Kamaluddin, Ishak, & Mohammed, 2019). Evaluasi
kinerja keuangan secara fundamental telah dilakukan dari analisis rasio keuangan,
karena mampu memberikan perkiraan kesulitan keuangan dan kegagalan (Zeni &
Ameer, 2010).

Analisis rasio sebagai metode sederhana yang digunakan dalam mengevaluasi


kekuatan keuangan serta kelemahan perusahaan dengan melihat hubungan antara
itemitems dalam laporan keuangan (Bhandari & Iyer, 2013). Kinerja keuangan
perusahaan Prediksi kondisi financial distress melalui analisis rasio arus kas pada
perusahaan consumer goods yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Henni Fauziah
Ramadhanti 3 dapat dievaluasi dengan rasio keuangan tradisional (Rim & Roy, 2013).
Rasio arus kas memiliki alat yang dapat diandalkan untuk memprediksi kondisi
financial distress perusahaan (Fawzi, Kamaluddin, & Sanusi, 2015), karena rasio arus
kas dapat melengkapi rasio tradisional sehingga memberikan informasi tambahan
untuk mengelola efisiensi perusahaan dalam membiayai pertumbuhan serta
kemampuan memenuhi komitmen keuangan (Ong, Choong Yap, & Khong, 2011).

Laporan keuangan dapat dijadikan dasar untuk mengukur kesehatan suatu


perusahaan melalui rasio keuangan yang ada dalam laporan tersebut. Rasio keuangan
merupakan salah satu bentuk informasi akuntansi yang penting dalam proses penilaian
kinerja perusahaan, sehingga dengan rasio keuangan tersebut dapat mengungkapkan
kondisi keuangan suatu perusahaan maupun kinerja yang telah dicapai perusahaan
untuk suatu periode tertentu (Widarjo & Setiawan (2009).

4
Kondisi perekonomian akhir-akhir ini mengalami goncangan yang cukup
besar akibat berbagai permasalahan yang terjadi. Krisis ekonomi pada negaranegara
di Eropa sedikit banyak juga mernbawa dampak pada perekonomian negara-negara di
dunia. Sebelumnya, sekitar tahun 2008, dunia dikejutkan dengan krisis ekonomi di
Amerika Serikat akibat subprime mortgage. Dampak dari krisis tersebut juga
dirasakan oleh negara-negara di dunia, termasuk juga di Indonesia. Indonesia sendiri
pemah mengalami krisis multi dimensi pada pertengahan tahun 1997, yang sering
disebut krisis moneter. Krisis ini dimulai dari merosotnya nilai rupiah terhadap dolar
hingga sampai pada masalah likuidasi di bidang perbankan. Kepercayaan investor
mulai menurun dan banyak masalah keuangan yang dihadapi oleh perusahaan-
perusahaan di Indonesia. Banyak perusahaan yang mengalami kondisi yang disebut
denganfinancial distress.

Fenomena kesulitan keuangan (jinancial distress) di perusahaan publik


Indonesia yang ada akhir-akhir ini terjadi kctika peningkatan harga minyak yang
mengejutkan pada tahun 2005 dan krisis subprime mortgage pada 2008 (Pranowo et
al., 2010). Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia mengurangi subsidi untuk harga
min yak lokal. Hal ini membuat biaya produksi mengalami peningkatan dan akhimya
menurunkan profitabilitas perusahaan. Selain itu non perfonning loan (NPL) pada
bank umum yang meningkat menjadi 68 triliun rupiah pada Maret 2006 dari 61 triliun
rupiah pada Oktober 2005. Banyak perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEl) menjadi delisting sebagai akibat dari kerugian besar dan kekurangan
uang tunai. Fenomena yang sama telah terjadi pad a tahun 2008, kegiatan bisnis yang
mengalami kontraksi di pasar intemasional karena krisis keuangan global melanda
dunia dan NPL meningkat lagi menjadi 60,6 triliun rupiah pada Maret 2009 dan 55.4
triliun rupiah pada November 2008. (http://www.bi.go.id. dalam Pranowo et al.,
2010). Dengan demikian, perusahaan publik yang terdaftar di BEl menjadi sangat
sensitif dengan faktor-faktor ekstemal dan mengalamifinancial distress.

Financial distress merupakan suatu kondisi yang menunjukkan tahap


penurunan dalam kondisi keuangan pe:usahaan yang terjadi sebelum terjadinya
kebangkrutan ataupun likuidasi (Plat dan Plat, 2002, dalam Almilia, 2006).
Kebangkrutanjuga sering disebut likuid:tsi perusahaan atau penutupan perusahaan
atau insolvensi. Kebangkrutan sebagai kegagalan diartikan sebagai kegagalan
keuangan (financial failure) dan kegagalan ekonomi (economic failure) yang terjadi

5
pada perusahaan. (Ramadhani dan Lukviarman, 2009). Financial distress juga bisa
didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban-
kewajibanjinancial yang telahjatuh tempo. (Beaver et aI., 2011).

Financial distress bisa dialami oleh semua perusahaan, terutama jika kondisi
perekonomian di negara t'~mpat perusahaan tersebut beroperasi mengalami krisis
ekonomi. Untuk mengatasi atau meminimalisir teIjadinya kebangkrutan di
perusahaan, pihak manajemen harus melakukan pengawasan terhadap kondisi
keuangan perusahaan dengan menggunakan analisis laporan keuangan (Ramadhani
dan Lukviam.an, 2009). Analisis laporan keuangan merupakan alat penting untuk
mendapatkan informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan. Analisis keuangan
mempunyai 2 alat utama yang bisa digunakan, yaitu: analisis rasio (ratio analysis) dan
anal isis arus kas (cash flow analysis). (Palepu dan Healy, 2008:5-1). Kedua alat
tersebut bisa digunakan oleh manajemen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan
dalam perusahaan untuk menilai sejauh mana keberhasilan yang dicapai oleh
perusahaan dari strategi yang dijalankan dan juga kegagalan apa yang terjadi. Jika
kondisi keuangan perusahaan tampak mengalami penurunan, maka sebaiknya
manajemen mulai berhati-hati, karena kondisi yang demikian bisa mengarah
padafinancial distress.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari kebangkrutan ?
2. Apa pengertian dari financial distress ?
3. Apa saja jenis-jenis dari financial distress ?
4. Apa saja kategori dari financial distress ?
5. Apa saja faktor penyebab financial distress ?
6. Apa saja gejala financial distress ?
7. Bagaimana cara mencegah financial distress ?
8. Bagaimana cara menangani financial distress ?
9. Bagaimana cara memprediksi financial distress ?
10. Apa saja manfaat melakukan prediksi financial distress ?
11. Bagaimana dampak dari financial distress ?
12. Bagaimana pengaruh financial distress terhadap kebangkrutan ?
1.3 Tujuan Penulisan

6
1. Mengetahui definisi dari kebangkrutan dan financial distress
2. Mengetahui jenis – jenis dan kategori financial distress
3. Memahami faktor penyebab serta cara mengatasi financial distress
4. Memahami cara memprediksi serta manfaat dari financial distress
5. Mengetahui dampak dari financial distress
6. Mengetahui pengaruh financial distress terhadap kebangkrutan

7
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengerian Kebangkrutan


Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi atau penutupan perusahaan atau
insolvensi. Biasanya, kebangkrutan suatu perusahaan ditandai dengan financial
distress, yaitu keadaan dimana perusahaan lemah dalam menghasilkan laba atau
cenderung mengalami defisit. Dengan kata lain, kebangkrutan dapat diartikan juga
sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk
memperoleh laba (Ramadhani dan Lukviarman, 2009). Kebangkrutan sebagai
kegagalan diartikan sebagai kegagalan keuangan dan kegagalan ekonomi yang terjadi
pada perusahaan (Adnan dan Kumiasih, 2000, dalam Ramadhani dan Lukviarman,
2009). Kegagalan dalam arti ekonomi (economic failure) merupakan keadaan dimana
perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak bisa menutupi
biayanya sendiri. Atau dengan kata lain nilai sekarang dari arus kas sebenamya lebih
kecil dari kewajiban atau laba lebih kecil dari modal kerja (Ramadhani dan
Lukviarman, 2009).
Kegagalan keuangan diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara
arus kas dan dasar saham (Ram2.dhani dan Lukviarman, 2009). Insolvensi atas dasar
arus kas ada dua bentuk, yaitu:
a. Insolvensi teknik, merupakaan keadaan dimana perusahaan dianggap tidak dapat
memenuhi kewajibannya pada saat kewajiban telah jatuh tempo.
b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan diartikan dalam ukuran kekayaan
bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang
diharapkan lebih kecil dari kewajiban.
Kebangkrutan bisa disebabkan deh banyak faktor. Dalam beberapa kasus
alasannya bisa dikenali setelah analisis laporan keuangan. Tapi ada beberapa kasus
dimana perusahaan sedang mengalami penurunan, namlln beberapa item dalam

8
laporan keuangan masih menun.lukkan kinerja jangka pendek yang baik. (Kordestani
et al., 20 11). Ada beberapa perusahaan yang mengalami tahapan kebangkrutan.
Namun ada juga yang tidak mengalami tahapan kebangkrutan.
Tahapan dari kebangkrutan tersebut dijabarkan sebagai berikut (Kordestani et
at., 2011):
a. Latency. Pada tahap latency, Retllrn 011 Assets (ROA) akan mengalami
penurunan.
b. Shortage of Cash. Dalam tahap kekurangan kas, perusahaan tidak memiliki cukup
sumber daya kas untuk memenuhi kewajiban saat ini, meskipun masih mungkin
memiliki tingkat profitabilitas yang kuat.
c. Financial Distress. Kesulitan keuangan dapat dianggap sebagai keadaan darurat
keuangan, dimana kondisi ini mendekati kebangkrutan.
d. Bankruptcy. Jika perusahaan tidak dapat menyembuhkan gejala kesulitan
keuangan (financial distress), maka perusahaan akan bangkrut.

2.2 Pengertian Financial Distrress


Financial distress atau sering disebut dengan kesulitan keuangan, teIjadi
sebelum suatu perusahaan benar-benar mengalami kebangkrutan. Financial distress
merupakan suatu kondisi yanE; menunjukkan tahap penurunan dalam kondisi
keuangan perusahaan yang teIjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi
(Plat dan Plat, 2002, dalam Almilia, 2006 dan Ramadhani dan Lukviarman, 2009).
Financial distress juga bisa didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk
membayar kewajiban financial yang telah jatuh tempo (Beaver et aI, 2011). Foster
(1988, dalam Ramadhani dan Lukviarman, 2009) mendefinisikanfinar.'Cial distress
sebagai, "Financial distress is lIsed to mean severe liquidity problems that cannot be
resolved without a sizable rescaling of the entity's operations or structure."
Financial distress bisa terjadi d berbagai perusahaan dan bisa menjadi
penanda/sinyal dari kebangkrutan yang mungkin akan dial ami perusahaan. Jika
perusahaan sudah masuk dalam kondisijinancial distress, maka manajemen harus
berhati-hati karena bisa saja masuk paela tahap kebangkrutan. Manajemen dari
perusahaan yang mengalami financial distress harus melakukan tindakan untuk
mengatasi masalah keuangan tersebut dan mencegah terjadinya kebangkrutan.

Financial Distress atau kesulitan keuangan adalah suatu kondisi keuangan


perusahaan sedang dalam masalah, krisis atau tidak sehat yang terjadi sebelum

9
perusahaan mengalami kebangkrutan. Financial distress terjadi ketika perusahaan
gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban debitur karena mengalami
kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya
lagi.
Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan umumnya mengalami
penurunan dalam pertumbuhan, kemampulabaan, dan aset tetap, serta peningkatan
dalam tingkatan persediaan relatif terhadap perusahaan yang sehat (Kahya dan
Theodossiou, 1999).
Financial Distress juga ditandai dengan adanya penundaan pengiriman,
kualitas produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan dari bank.
Apabila kondisi financial distress ini diketahui, diharapkan dapat dilakukan tindakan
untuk memperbaiki situasi tersebut sehingga perusahaan tidak akan masuk pada tahap
kesulitan yang lebih berat seperti kebangkrutan ataupun likuidasi.

Financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi pada
perusahaan sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuidasi (Platt HD dan Platt MB
2002). Suatu perusahaan dapat dikategorikan sedang mengalami financial distress
atau kesulitan keuangan apabila perusahaan tersebut menunjukkan angka negatif pada
laba operasi, laba bersih dan nilai buku ekuitas serta perusahaan tersebut melakukan
merger (Brahmana 2007).

Fenomena lain dari financial distress adalah perusahaan cenderung mengalami


kesulitan likuiditas yang ditunjukkan dengan kemampuan perusahaan yang semakin
menurun dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur (Hanifah 2013). Di bawah
ini Jurnal akan membahas lebih jauh mengenai financial distress perusahaan yang
harus Anda ketahui.
Financial distress juga terjadi ketika perusahaan gagal atau tidak mampu lagi
memenuhi kewajiban debitur karena mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana
untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya lagi.

Sebagai proses tiga dimensi yang terdiri time frame, financial distress, dan
process stages. Financial distress cycle dalam perusahaan mencakup periode awal
penurunan kinerja hingga ke titik terendah kemudian tahap pemulihan apabila
perusahaan bisa memperbaiki kinerjanya. Ketika perusahaan mengalami kesulitan
keuangan, maka perusahaan tersebut tidak berada di posisi yang sama melainkan terus

10
bertransisi ke tahapan-tahapan selanjutnya. Apabila kinerja semakin buruk, maka
kemungkinan besar perusahaan akan menghadapi kebangkrutan. Namun, jika kinerja
perusahaan membaik maka perusahaan memiliki kesempatan untuk mengatasi
kesulitan keuangan.

Berikut ini beberapa pengertian financial distress dari beberapa sumber buku:

1) Menurut Brigham dan Daves (2003), kesulitan keuangan (financial distress)


dimulai ketika perusahaan tidak dapat memenuhi jadwal pembayaran atau ketika
proyeksi arus kas mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut akan segera tidak
dapat memenuhi kewajibannya.
2) Menurut Darsono dan Ashari (2005), Financial distress atau kesulitan keuangan
dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban
keuangannya pada saat jatuh tempo yang menyebabkan kebangkrutan
perusahaan.
3) Menurut Platt dan Platt (2002), Financial distress adalah tahap penurunan kondisi
keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang terjadi sebelum terjadinya
kebangkrutan ataupun likuidasi.
4) Menurut Gamayuni (2011), financial distress adalah keadaan kesulitan keuangan
atau likuiditas yang mungkin merupakan awal dari terjadinya kebangkrutan.
5) Menurut Kahya dan Theodossiou, Financial distress pada umumnya perusahaan
yang kesulitan keuangan mengalami penurunan dalam pertumbuhan,
kemampulabaan, dan aset tetap, serta peningkatan dalam tingkatan persediaan
relatif terhadap perusahaan yang sehat.

Terdapat lima kesulitan keuangan menurut Brigham dan Daves (2014) yaitu:

1) Economic failure, dimana perusahaan tidak dapat menutupi jumlah biaya,


termasuk biaya modalnya.
2) Business failure, terjadi bila bisnis menghentikan operasi dengan akibat kerugian
ke kreditur.
3) Technical insolvency, adalah ketidakmampuan memenuhi kewajiban lancar
ketika jatuh tempo, menunjuk kekurangan likuiditas secara temporer. Pada kasus
ini kreditur biasanya mau membantu melalui restrukturisasi utang.

11
4) Insolvency in bankruptcy, tergambar dari nilai buku utang yang melebihi nilai
pasar aset. Masalah ini bersifat permanen dan mengarah kepada likuiditas bisnis.
5) Legal bankruptcy, adalah bangkrut secara hukum, terjadi bila telah diajukan
tuntutan secara resmi sesuai dengan undang-undang.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan perusahaan menghadapi financial


distress yaitu antara lain kenaikan biaya operasi, ekspansi berlebihan, ketinggalan
teknologi, kondisi persaingan, kondisi ekonomi, kelemahan manajemen perusahaan
dan penurunan aktivitas perdagangan industri. Dalam kondisi ekonomi yang tidak
buruk, kebanyakan perusahaan yang mengalami financial distress adalah akibat dari
kelemahan manajemen (Whitaker, 1999).

Indikator yang menunjukkan apakah suatu perusahaan mengalami financial


distress antara lain ditandai dengan adanya pemberhentian tenaga kerja atau hilangnya
pembayaran dividen (Lau, 1987 & Hill et al, 1996), serta arus kas yang lebih kecil
dari pada utang jangka panjang (Whitaker, 1999), atau, jika selama 2 tahun
mengalami laba bersih operasi negatif dan selama lebih dari 1 tahun tidak melakukan
pembayaran dividen (Almilia dan Kristijadi, 2003), sedangkan Wahyujati (2000)
mendefinisikan financial distress jika perusahaan mengalami net income negatif
selama 3 tahun.

Platt HD dan Platt MB  dalam Journal Of Economic tahun 2002 menjelaskan


bahwa financial distress merupakan suatu tahap penurunan kondisi finansial yang
terjadi pada perusahaan yang sebelumnya mengalami likuidasi atau kebangkrutan.

Sedangkan Brahmana dalam penelitiannya yang diterbirtkan tahun 2007


menjelaskan bahwa suatu perusahaan bisa disebut sedang mengalami financial
distress atau kesulitan keuangan jika perusahaan itu menunjukkan sejumlah angka
negatif pada laba operasi, laba bersih, dan nilai buku ekuitas tersebut terjadi merger.

Penelitian lain yang diterbitkan tahun 2013 yang dipimpin oleh Hanifah turut
menjelaskan bahwa fenomena lain dari financial distress adalah adanya perusahaan
yang cenderung mengalami kesulitan likuiditas yang ditunjukkan dengan adanya
kemampuan perusahaan yang semakin lama semakin menurun dalam hal pemenuhan
kewajibannya kepada pihak kreditur.

12
Financial distress juga kerap terjadi pada perusahaan yang tidak mampu lagi
atau gagal dalam hal memenuhi kewajiban debitur yang disebabkan karena
ketidakcukupan atau kekurangan dana untuk melanjutkan lagi operasional usahanya.

Financial distress atau sering disebut dengan kesulitan keuangan, teIjadi


sebelum suatu perusahaan benar-benar mengalami kebangkrutan. Financial distress
merupakan suatu kondisi yanE; menunjukkan tahap penurunan dalam kondisi
keuangan perusahaan yang teIjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi
(Plat dan Plat, 2002, dalam Almilia, 2006 dan Ramadhani dan Lukviarman, 2009).
Financial distress juga bisa didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk
membayar kewajiban financial yang telah jatuh tempo (Beaver et aI, 2011). Foster
(1988, dalam Ramadhani dan Lukviarman, 2009) mendefinisikanfinar.'Cial distress
sebagai, "Financial distress is lIsed to mean severe liquidity problems that cannot be
resolved without a sizable rescaling of the entity's operations or structure."

Financial distress bisa terjadi d berbagai perusahaan dan bisa menjadi


penanda/sinyal dari kebangkrutan yang mungkin akan dial ami perusahaan. Jika
perusahaan sudah masuk dalam kondisijinancial distress, maka manajemen harus
berhati-hati karena bisa saja masuk paela tahap kebangkrutan. Manajemen dari
perusahaan yang mengalami financial distress harus melakukan tindakan untuk
mengatasi masalah keuangan tersebut dan mencegah terjadinya kebangkrutan.

Perusahaan yang mengalami kondisi financial distress dapat dilihat atau


ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu:

a. Lau (1987, dalam Spica, yang dikutip oleh Almilia, 2006), menyatakan bahwa
financial distress teIjadi dalam suatu perusahaan jika terdapat pemberhentian
tenaga kerja atau menghilangkan pembayaran dividen.
b. Asquith, Gertner dan Scharfstein (1994, dalam Almilia, 2006), menggunakan
interest coverage ratio untuk mendefinisikan kondisifinancial distress.
c. Gentry et al. (1990, dalam Kordestani et al., 2011), menyatakan bahwa financial
distress terjadi jika arus kas masuk lebih rendah dari arus kas keluar.
d. Brigham et al. (1999, dalam Kordestani et al., 2011), mendefinisikan keadaan
financial distress jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban yang
tercantum eli elalam laporan keuangannya.

13
e. FaUahpour (2004, dalam Kordestani et al., 2011), menyatakan bahwa financial
distress terjadi pada peru,ahaan yang profitabilitasnya menurun. Dengan
menurunnya profitabilitas, maka kemampuan perusahaan untuk membayar pokok
pinjaman dan bunga dui pinjaman akan menurun.
f. Whitaker (1999, dalam Almilia, 2006) mengukur financial distress dengan cara
adanya arus kas yang lebih kecil dari utangjangka panjang saat ini.
g. Hofer (1980, dalam Spica, 2003, yang dikutip oleh Almilia, 2006), menyatakan
bahwafinancial distress teIjadi pada perusahaan yang mengalami laba bersih
operasi (net operating income) negatif.
h. Tirapat dan Nittayagasetwat (1999, dalam Almilia, 2006) menyatakan bahwa
perusahaan dikatakan mengalami financial distress jika perusahaan tersebut
dihentikan operasinya atas wewenang pemerintah dan perusahaan tersebut
dipersyaratkan melakukan perencanaan r~strukturisasi.
i. Wilkins (1997, dalam Almilia, 2006) menyatakan bahwa perusahaan dikatakan
mengalami financial distress jika perusahaan tersebut mengalami pelanggaran
teknis dalam hutang dan diprediksikan perusahaan tersebut mengalami
kebangkrutan pada peri ode yang akan datang.
j. Banks (2005, dalam Kordestani et al., 2(11) menyatakan bahwa, "Increase in the
cost of capital, stricter requirements by creditors and suppliers to finance the
company, decrease in the cash now, increase of financial leverage, and regular
change of the key employees are among the signals of financial distress ".
k. Gentry et al. (1990) dan Raee, Fallahpour (2008), dalam Kordestani et al. (201l),
menyatakan bahwa ketika perusahaan tidak bisa memenuhi apa yang tercantum
dalam kontrak hutang, maka perusahaan itu mengalami financial distress.
1. Jantadej (2006, dalam Kordestani et aI., 201l) menyatakan bahwa perusahaan
yang melaporkan rugi selama 3 periode berturut-turut, mengalami financial
distress.
l. Jantadej (2006, dalam Kordestani et '11., 2011) juga menyatakan bahwa
penangguhan dari dividen saham prefen~n dan penurunan dalam dividen kas
merupakan tanda darifinancial distress. Penurunan dividen kas dapat menjadi
informasi yang negatiftentang arus kas masa depan perusahaan.

2.3 Jenis – Jenis Financial Distress

14
1) Economic Failure yaitu Suatu keadaan pendapatan perusahaan tidak dapat
menutup total biaya perusahaan, termasuk biaya modal.
2) Business Failure yakni Suatu keadaan perusahaan menghentikan kegiatan
operasional dengan tujuan mengurangi (akibat) kerugian bagi kreditor.
3) Technical Insolvency ialah Suatu keadaan perusahaan tidak mampu memenuhi
kewajiban yang jatuh tempo.
4) Insolvency in Bankruptcy merupakan Suatu keadaan nilai buku dari total
kewajiban melebihi nilai pasar aset perusahaan.
5) Legal Bankruptcy adalah Suatu keadaan perusahaan dikatakan bangkrut secara
hukum.

2.4 Kategori Financial Distress


1. Financial Distress Kategori A (sangat tinggi dan benar-benar membahayakan)
Pada kategori ini memungkinkan perusahaan dinyatakan berada di posisi
bangkrut atau pailit, selain itu memungkinkan pula pihak perusahaan melaporkan
ke pihak terkait seperti pengadilan bahwa perusahaan telah berada dalam posisi
bankruptcy (pailit) dan menyerahkan berbagai urusan untuk ditangani oleh pihak
luar perusahaan.
2. Financial Distress Kategori B (tinggi dan dianggap berbahaya)
Pada kategori ini perusahaan harus memikirkan berbagai solusi realistis dalam
menyelamatkan berbagai aset yang dimiliki, seperti sumber aset yang ingin dijual
dan dipertahankan.
Termasuk memikirkan berbagai dampak apabila dilaksanakan keputusan merger
(penggabungan) dan akuisisi (pengambilalihan).
Salah satu dampak jika perusahaan berada pada posisi ini yaitu perusahaan mulai
melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan pensiun dini pada beberapa
karyawannya yang dianggap tidak layak (infeasible) lagi untuk dipertahankan.
3. Financial Distress Kategori C (sedang dan dianggap masih bisa menyelamatkan
diri)
Pada kategori ini perusahaan sudah harus melakukan perombakan berbagai
kebijakan dan konsep manajemen yang diterapkan sebelumnya.
Jika perlu melakukan perekrutan tenaga ahli baru yang dimiliki kompetensi yang
tinggi untuk ditempatkan pada posisi strategis yang bertugas mengendalikan dan

15
menyelamatkan perusahaan, termasuk target dalam menggenjot perolehan laba
kembali
4. Financial Distress Kategori D (Rendah)
Pada kategori ini, perusahaan dianggap hanya mengalami fluktuasi finansial
temporer yang disebabkan oleh berbagai kondisi eksternal dan internal, termasuk
lahirnya dan dilakukan keputusan yang kurang begitu tepat.

2.5 Faktor Penyebab Financial Distress


Menurut Damodaran (1997), ada beberapa faktor penyebab financial distress. Berikut
beberapa faktor penyebab financial distress dalam perusahaan:
a. Kesulitan arus kas
Terjadi ketika penerimaan pendapatan perusahaan dari hasil kegiatan operasi
tidak cukup untuk menutupi beban-beban usaha yang timbul atas aktivitas operasi
perusahaan. Selain itu kesulitan arus kas juga bisa disebabkan karena adanya
kesalahan manajemen ketika mengelola aliran kas perusahaan dalam melakukan
pembayaran aktivitas perusahaan yang dapat memperburuk kondisi keuangan
perusahaan.
b. Besarnya jumlah utang
Kebijakan pengambilan utang perusahaan untuk menutupi biaya yang timbul
akibat operasi perusahaan akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan untuk
mengembalikan utang di masa mendatang. Ketika tagihan jatuh tempo,
sedangkan perusahaan tidak mempunyai cukup dana untuk melunasi tagihan-
tagihan tersebut, maka kemungkinan yang dilakukan kreditur adalah melakukan
penyitaan harta perusahaan untuk menutupi kekurangan pembayaran tagihan
tersebut.
c. Kerugian dalam kegiatan operasional perusahaan selama beberapa tahun
Dalam hal ini merupakan kerugian operasional perusahaan yang dapat
menimbulkan arus kas negatif dalam perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena
beban operasional lebih besar dari pendapatan yang diterima perusahaan.
Meskipun suatu perusahaan dapat mengatasi tiga masalah di atas, belum tentu
perusahaan tersebut dapat terhindar dari financial distress, itu karena masih
terdapat faktor eksternal perusahaan yang dapat menyebabkan financial distress.
Menurut Damodaran (1997), faktor eksternal perusahaan lebih bersifat makro, di
mana cakupannya lebih luas. Faktor eksternal dapat berupa kebijakan pemerintah

16
yang dapat menambah beban usaha yang ditanggung perusahaan, misalnya tarif
pajak yang meningkat dapat menambah beban perusahaan. Selain itu, masih ada
kebijakan suku bunga pinjaman yang meningkat, d imana bisa menyebabkan
peningkatan beban bunga yang ditanggung perusahaan.
d. Kerugian Kegiatan Operasional Perusahaan dalam Beberapa Tahun
Kondisi ini adalah kondisi kerugian operasional perusahaan yang bisa
menyebabkan arus kas negatif pada perusahaan. Kondisi ini bisa terjadi karena
adanya beban operasional perusahaan yang lebih besar dalam hal pendapatan
yang didapatkan perusahaan.

Walaupun perusahaan mampu mengatasi tiga masalah yang sudah kita bahas di
atas, namun belum tentu perusahaan bisa menghindari financial distress, kenapa?
Karena masih ada faktor eksternal perusahaan yang bisa menyebabkan
terjadinya financial distress. Damodaran (1997) menjelaskan bahwa faktor
eksternal perusahaan ini lebih bersifat makro, yang mana ruang cakupannya lebih
luas.

Faktor eksternal bisa termasuk kebijakan pemerintah yang mampu menambah


beban usaha yang ditanggung perusahaan, contohnya adalah tarif pajak yang
meningkat dan mampu menambah beban perusaahaan, kebijakan suku bunga
pinjaman yang meningkat, yang mana mampu meningkatkan beban bunga yang
harus ditanggung perusahaan, dll.

Dalam hal ini merupakan kerugian operasional perusahaan yang dapat


menimbulkan arus kas negatif dalam perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena
beban operasional lebih besar dari pendapatan yang diterima perusahaan.

Meskipun suatu perusahaan dapat mengatasi tiga masalah di atas, belum tentu
perusahaan tersebut dapat terhindar dari financial distress, itu karena masih
terdapat faktor eksternal perusahaan yang dapat menyebabkan financial distress.
Menurut Damodaran (1997), faktor eksternal perusahaan lebih bersifat makro, di
mana cakupannya lebih luas. Faktor eksternal dapat berupa kebijakan pemerintah
yang dapat menambah beban usaha yang ditanggung perusahaan, misalnya tarif
pajak yang meningkat dapat menambah beban perusahaan. Selain itu, masih ada

17
kebijakan suku bunga pinjaman yang meningkat, d imana bisa menyebabkan
peningkatan beban bunga yang ditanggung perusahaan.
Menurut Fachrudin (2008), penyebab kesulitan keuangan atau financial distress
dijelaskan dalam Trinitas Penyebab kesulitan keuangan, yaitu sebagai berikut:

o Neoclassical model 
Financial distress dan kebangkrutan terjadi jika alokasi sumber daya di dalam
perusahaan tidak tepat. Manajemen yang kurang bisa mengalokasikan sumber
daya (aset) yang ada di perusahaan untuk kegiatan operasional perusahaan.

o Financial model 
Pencampuran aset benar tetapi struktur keuangan salah dengan liquidity
constraints. Hal ini berarti bahwa walaupun perusahaan dapat bertahan hidup
dalam jangka panjang tapi ia harus bangkrut juga dalam jangka pendek.

o Corporate governance model 

Menurut model ini, kebangkrutan mempunyai campuran aset dan struktur


keuangan yang benar tapi dikelola dengan buruk. Ketidak-efisien ini mendorong
perusahaan menjadi Olt of the market sebagai konsekuensi dari masalah dalam
tata kelola perusahaan yang tak terpecahkan.

Selain itu, menurut Hanafi (2004), terdapat beberapa penyebab lain terjadinya
kesulitan keuangan khususnya pada kelompok usaha kecil, yaitu sebagai berikut:

1) Struktur permodalan yang kurang


1. Kekurangan modal untuk membeli barang modal dan peralatan. 
2. Kekurangan modal untuk memanfaatkan barang persediaan yang dijual
dengan potongan kuantitas, atau jenis potongan lainnya.

2) Menggunakan peralatan dan metode bisnis yang ketinggalan jaman


1. Gagal menerapkan pengendalian persediaan.
2. Tidak dapat melakukan pengendalian kredit. 
3. Kurang memadainya catatan akuntansi.

18
3) Ketiadaan perencanaan bisnis
1. Ketidakmampuan mendeteksi dan memahami perubahan pasar. 
2. Ketidakmampuan memahami perubahan kondisi ekonomi. 
3. Tidak menyiapkan rencana untuk situasi darurat atau di luar dugaan.
4. Ketidakmampuan mengantisipasi dan merencanakan kebutuhan keuangan.

4) Kualifikasi pribadi
1. Kurangnya pengetahuan bisnis. 
2. Tidak ingin bekerja terlalu keras.
3. Tidak ingin mendelegasikan tugas dan wewenang.
4. Ketidakmampuan memelihara hubungan baik dengan konsumen.

Pada krisis keuangan di Asia yarg terjadi tahun 1997-1998, banyak literatur yang
menunjukkan bahwa corporate governance adalah salah satu faktor kunci yang terkait
dengan kesulitan keuangan (Johnson, Boone, Breach dan Friedman, 2000, dalam Lu
dan Chang, 20(9). Corporate governance yang bisa menyebabkan perusahaan
mengalami financial distress adalah kepemilikan yang terkonsentrasi (ownership
concentration) dan tata kelola yang buruk (poor cO/po rate governance) (Raj an dan
Zingales, 1998, dalam Lu & Chang, 2009). Tata kelola yang buruk dalam perusahaan
dapat memfasilitasi peluang untuk pemegang saham pengendali (mayoritas) untuk
mentransfer nilai perusahaan ke kantong mereka sendiri, seperti yang dikemukakan
oleh La Porta et al. (2000) dan Johnson et al. (2000) dalam Hsin (2008). Pengurangan
nilai perusahaan akan membuat perusahaan mempunyai kemungkinan mengalami
financial distress yang lebih besar (Lee dan Yeh, 2004, dalam Hsin, 2008).

Selain masalah corporate governance, financial distress juga bisa disebabkan


kondisi eksternal yang berada di luar perusahaan, seperti kondisi makro ekonomi.
Sejumlah penulis mengemukakan bahwa faktor makro ekonomi mempunyai dampak
signifikan pada tetjadinya kesulitan keuangan, dan kemudian akan berdampak pada
kebangkrutan pemsahaan (Liou dan Smith, 2007). Namun, faktor makro ekonomi ini
relatif jarang. Beberapa faktor makro ekonomi yang bisa menyebabkan financial
distress antara lain fluktuasi dalam inflasi, suku bunga, Gross National Product,
ketersediaan kredit, tingkat upah pegawai, dan sebagainya (Liou dan Smith, 2007).
Altman (1971, dalam Liou dan Smith, 2007) mencatat bahwa kebijakan moneter yang
ketat dapat meningkatkan kemungkinan kebangkrutan, karena ekspektasi investor
19
yang negatif tentang kondisi moneter. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
kesulitan keuangan perusahaan sangat erat terkait dengan kondisi makro ekonomi
(Graham et al., 2011).

Faktor penyebab financial distress adalah karena adanya serangkaian kesalahan,


pengambilan keputusan yang tidak tepat, serta tidak adanya atau kurangnya upaya
mengawasi kondisi keuangan sehingga penggunaan keuangan tidak sesuai dengan
keperluan. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa tidak menjamin perusahaan besar
dapat menghindari masalah ini, sebab financial distress berkaitan dengan keuangan
perusahaan dimana, setiap perusahaan pasti akan beurusan dengan keuangan untuk
menjaga kelangsungan operasinya (Anggarini, 2010). Perusahaan dengan keadaan
seperti dijelaskan di atas perlu untuk mengantisipasi adanya financial distress
berkepanjangan sebelum mencapai titik kebangkrutan atau likuidasi (Ardiyanto,
2011).

2.6 Gejala Financial Distress


Berikut beberapa gejala financial distress bagi perusahaan: 
1) Kesulitan dalam mencapai break even point.
2) Margin keuntungan yang sedikit.
3) Penjualan yang tidak mencapai target.
4) Tidak bisa membayar atau melunasi hutang.
5) Pembeli tidak kembali membeli produk kamu.
Untuk keuangan pribadi kamu, berikut beberapa gejala financial distress yang
mungkin dialami:

1) Kamu tidak mencatat keuangan kamu.


2) Tidak mempunyai dana darurat, tabungan, atau asuransi.
3) Hidup dengan uang yang pas-pasan setiap bulan.
4) Sering terpaksa berhutang pada keluarga atau teman.
5) Hutang kamu lebih dari 30% pendapatan bulanan kamu.
6) Kamu kesulitan membayar hutang kredit tepat waktu.
Dengan jeli melihat gejala financial distress, kamu akan lebih bisa mengatasi dan
mencegah financial distress. Jika tidak, maka dirimu atau perusahaan kamu bisa
mengalami risiko bangkrut.

20
2.7 Cara Mencegah Financial Distress
Terkadang financial distress tidak bisa diatasi sehingga sebuah perusahaan
atau seorang individu terpaksa bangkrut. Karena itu, lebih baik mencegah dibanding
mengatasi. 
Berikut beberapa hal yang perlu dicoba untuk mencegah financial distress.
a. Pastikan rasio hutang kamu tidak melebihi 50% dari jumlah total aset bersih. 
b. Terapkan perencanaan keuangan, serta melakukan budgeting dengan benar.
c. Tambah sumber pendapatan. Perusahaan bisa melakukan ini dengan
meningkatkan kualitas pelayanan, melakukan inovasi produk, dan mencari
investor. Sementara individu bisa mencoba membuat peluang bisnis sampingan
atau mencari kerja sampingan. 
d. Siapkan aset likuid. Untuk perusahaan, kamu juga harus pintar dalam pengaturan
cash flow dan cash budget untuk memastikan aset likuid tersedia ketika ada
tenggat pembayaran kredit. Untuk individu, dana darurat, tabungan, dan juga
asuransi bisa menjadi perlindungan ketika dihadapi risiko finansial. Pastikan
kamu mempunyai dana darurat sebesar 6 kali pengeluaran bulanan, menabung
sekitar 20% dari pendapatan bulanan, serta memiliki asuransi jiwa atau
kesehatan. 

Platt HD dan Platt MB  dalam Journal Of Economic tahun 2002 menjelaskan


bahwa adanya prediksi informasi kesulitan keuangan pada suatu perusahaan bisa
mempercepat tindakan yang diambil oleh menejemen dalam mencegah segala
masalah yang terjadi karena financial distress.

Pihak manajemen perusahaan bisa mengambil kebijakan takeover atau merger


agar perusahaan mampu membayar tagihan utang dan mampu mengelola perusahaan
secara lebih baik, serta agar mampu memberikan peringatan dini atas adanya
kebangkrutan pada masa depan.

Kemudian, Schuppe (2003) menambahkan bahwa pihak manajemen perusahaan


yang tanggap akan mampu mendeteksi adanya financial distress lebih awal.
Kemudian bisa mengambil tindakan aktif dalam menganalisa penyebab financial
distress dan melakukan strategi yang tepat.

21
Kondisi Financial distress bisa merugikan pihak perusahaan jika tidak segera
ditangani. Adanya kerjasama dengan pihak manajemen dan pimpinan perusahaan
sangat dibutuhkan untuk menghindari adanya financial distress pada perusahaan.

2.8 Menangani Financial Distress

Adapun beberapa cara ampuh dalam menangani financial distress yang terjadi


pada perusahaan adalah sebagai berikut:

1) Perusahaan bisa menjual beberapa aset utamanya, seperti kendaraan, mesin,


gedung, tanah, dll. Dengan menjual aset tersebut, maka perusahaan bisa
mengembalikan modal investor dan masih bisa menjalankan operasional
perusahaan walau dengan modal yang minim.
2) Perusahaan bisa mengambil tindakan merger dengan perusahaan lain. Merger
merupakan kombinasi atas dua atau lebih perusahaan menjadi satu, dimana
perusahaan akan mengambil atau membeli seluruh aset dan liabilitas perusahaan,
sehingga perusahaan yang melakukan merger memiliki saham minimal 50%.
3) Melakukan batasan belanja modal untuk ekspansi bisnis. Dengan kondisi financial
distress, perusahan tidak harus mengeluarkan modal untuk melakukan ekspansi
usaha, modal harus lebih fokus digunakan untuk menghemat keuangan agar lebih
efisien.
4) Menerbitkan saham atau obligasi baru. Umumnya, setelah perusahaan mampu
mengembalikan modal pada para pihak investor. Maka perusahaan bisa
menerbitkan saham ataupun obligasi baru untuk pendanaan jangka panjang dan
meningkatkan modal perusahaan.
5) Pengajuan restrukturisasi kredit kepada bank. Cara ini bisa dilakukan jika kondisi
perushaan sudah tidak mampu lagi membayar bunga kredit pada pihak bank,
sehingga perusahaan bisa meminta dibuatkan jadwal ulang pengembalian bunga
kreditnya.
6) Selain mengajukan restrukturisasi kredit, pihak bank juga nantinya akan
menawarkan solusi untuk mengatasi masalah ini dengan cara memberikan kredit
tambahan agar dapat mengubah utang bank menjadi modal tambahan agar bisa
dimanfaatkan untuk kegiatan operasional perusahaan.

22
7) Mengajukan permohonan bangkrut, sehingga perusahaan akan dinyatakan legal
secara hukum dan bisa dipertanggung-jawabkan kondisi financial distress nya
kepada publik. Namun sebelum itu, pihak perusahaan harus melakukan pendekatan
dengan kreditur dan membawa rencana reorganisasi perusahaan.

2.9 Cara Memprediksi Financial Distress


Ada berbagai macam cara yang bisa digunakan untuk memprediksi financial
distress hingga kebangkrutan, yaitu:
a. Analisis Rasio Keuangan
Merupakan cara yang paling sering digunakan untuk memprediksi financial
distress. Banyak penelitian dilakukan ur.tuk menemukan rasio keuangan yang
bisa digunakan untuk memprediksi financial distress. Berbagai model untuk
memprediksifinancial distress yang disusun dari berbagai rasio keuangan:
 Model Z-Score
Model ini dikembangkan oleh Altman pada tahun 1968. Altman menggunakan 5
rasio keuangan untuk memprediksi corporate failure. (Fachrudin, 2008). Model
Z-Score yang dikembangkan Altman, yaitu:
(a). Untuk erusahaan go public:
Z = O,012Xl + O,OUX:! + O,033X3 + O,OO6X4 + O.999X5
Keterangan:
Xl = working capital to total assets
X2 = retained earning to total assets
X3 = earning before interest and taxes to total assets
X4 = market value of equity to book value of total debt
X5 = sales to total asselS
Z = overall index
(b). Untuk erusahaan yang tidak go public:
Z = 0.717Xl + 0.847X2 + 3.l07X3 + 0,420X4 + O.998X5
Keterangan:
Xl = working capital to total assets
X2 = retained earning to total assets
X3 = earning before interest and taxes to total assets
X4 = book value of eqUity to book value of total debt

23
X5 = sales to total assets
Nilai cut-off adalah Z < 1,81 perusahaan masuk kategori bangkrut; 1,81 < Z-
Score < 2,67 perusahaan mas uk wilayah abu-abu (grey area atau zone of
ignorance); dan Z >2,67 perusahaan tidak bangkrut.
 Model Zeta

Model ini dikembangkan pada tahun 1977 oleh Altman dan Zeta Service Inc.,
sebuah perusahaan keuangan, di mana model ini lebih akurat dalam
mengklasifikasikan kebangkrutan. Varibel yang masuk dalam model Zeta antara
lain return on assets, stability of earnings, debt service, cumulative projitability,
liquidity/current ratio, capitalization (five year average of total market value), dan
size (total tangible assets) (Jones, 2002; dalam Fachrudin, 2008).

 Model O-Score

Ohlson pada tahun 1980 menemukan tujuh rasio keuangan yang mampu
mengindetifikasi perusahaan yang pailit dengan menggunakan regresi logistik, di
mana tingkat ketepatan yang mendekati hasil penelitian Altman (Hadad, Santo so,
dan Rulina, 2003, dalam Fachrudin, 2008). Makin tinggi nilai O-Score maka makin
tinggi peluang perusahaan untuk mengalamijinancial distress dan kebangkrutan.

 Model Zmijewski
Zmijewski pada tahun 1984 (dalam Anandarajan et al., 2001, dikutip oleh
Fachrudin, 2008) melakukan penelitian untuk memprediksi kebangkrutan yang
tidak dilakukan dalam industri spesifik sehingga dapat ditera kan secara
universallintas industri. Model Zmijewski:
b* = -4,803 - 3.6 ROA + 5,4FNL - 0,1LIQ I
Keterangan:
b* menunjukkan kemungkinan bangkrut, semakin besar nilainya menunjukkan
kemungkinan bangkrut yang lebih besar.
ROA = net income to total assets
FNL = Total debt to assets
LIQ = Current assets to current liabilities.
 Rasio CAMEL

24
Rasio CAMEL merupakan rasio keuangan yang digunakan untuk menilai kinerja
perusahaan perbankan. Penilaian kinerja Ill) menggunakan lima aspek pl~nilaian,
yaitu: I) capital; 2) assets; 3) management; 4) earnings; 5) liquidity yang disebut
CAMEL. Almilia dan Herdiningtyas (2005) menguji faktor-faktor yang
menentukan kebangkrutan di sektor perbankan dengan menggunakan rasio
CAMEL, di mana hasil penelitian menunjukkan bahwa CAMEL memiliki daya
klasifikasi atau daya prediksi untuk kondisi bank yang mengalami kesulitan
keuangan dan yang mengalami kebangkrutan.
b. Analisis Arus Kas
Laporan arus kas melaporkan arus kas perusahaan pada periode berjalan sekaligus
menggambarkan arus kas masa depan. Kordestani et al. (2011) menemukan bahwa
ada perbedaan signifikan dalam komposisi arus kas pada peri ode satu, dua dan tiga
tahun sebelumfinancial distress. Artinya,financial distress bisa diprediksi atas dasar
isi dan komposisi laporan arus kas. Casey & Bartczak (1985) juga memberikan
bukti tentang apakah data arus kas operasi dapat meningkatkan akurasi model
t.ntuk membedakan antara perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut.
c. Prediksi melalui Corporate Governance Perusahaan
Prediksi financial distress bisa dilakukan melalui evaluasi corporate governance
atau tata kelola perusahaan. Jika perusahaan tidak dikelola dengan baik, maka hal
ini menjadi prediksi bagi terjadinyafinancial distress. Hal ini diteliti oleh Lu dan
Chang (2009) serta Hsin (2008).
d. Prediksi melalui Kondisi Makro Ekonomi
Kondisi financial distress bisa diprediksi melalui evaluasi kondisi makro ekonomi
yang ada di suatu negara. Jika kondisi makro ekonomi di negara terse but
memburuk, maka ada kemungkinan perusahaan di negara terse but mengalami
financial distress. 8eberapa faktor makro ekonomi yang bisa menyebabkan
financial distress, antara lain fluktuasi dalam inflasi, suku bunga, Gross National
Product, ketersediaan kredit, tingkat upah pegawai, dan sebagainya (Liou dan
Smith, 2007). Tsai et at. (2009) juga meneliti faktor makro ekonomi yang bisa
digunakan untuk memprediksifinancial distress.
e. Credit Cycle Index
Kim (1999, dalam Tsai dan Chang, 20 10) mengembangkan credit cycle index
dengan menggunakan faktor-faktor makro ekonomi untuk menentukan indikator
cutoffdarifinancial distress. Hasil penelitian Tsai dan Chang (2010) menunjukkan

25
bahwa credit cycle index dapat meningkatkan kinerja indikator cutoff untuk
memprediksi financial distress. Model ini dapat memprediksi financial distress,
terutama di pasar negara berkembang. Secara teoritis, credit cycle index
negatifmenunjukkan resesi ekonomi (Tsai dan Chang, 2010).
f. Artificial Neural Networks
Gholizadeh et at. (2011) memprediksi kesulitan keuangan perusahaan dengan
menggunakan artificial neural networks dan faktor internal yang mempengaruhi
perusahaan (variabel keuangan mikro). Hasil penelitian Gholizadeh et at. (2011)
menWljukkan bahwa penggunaan faktor mikro ekonomi dapat memainkan peran
penting dalam memprediksi financial distress. Artificial neural networks digunakan
dalam berbagai kebutuhan seperti sistem militer, perala tan rumah l:angga
otomatis, perbankan, elektronik, industri, pertahanan, kesehatan, audio dan video,
robot, telekomunikasi, dan sistem transportasi. Artificial neural networks ini
menjadi populer di masa depan dengan menggunakan komputer kecepatan tinggi
dan komputasi algoritma yang belajar lebih cepat (Gholizadeh et al., 2011).
g. Prediksi melalui Opini
Auditor Independen Auditor independen pada tahap penyeksaian audit, harus
melakukan evaluasi terhadap going concern perusahaan. Jika terdapat keraguan
atas going concern perusahaan, maka auditor tidak bisa memberi pendapat wajar
tanpa pengecualian, melainkan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraf
penjelas atau tidak memberikan pendapat. Dari membaca laporan audit, para
stakeholder dapat memprediksi kondisi perusahaan apakah mengalami financial
distress yang akan mengarah pada kebangkrutan. Kennedy dan Shaw (1991)
menemukan bahwa opini auditor merupakan variabel yang signifikan dalam
memprediksi financial distrei's. Tsai et al. (2009) juga meneliti opini auditor untuk
memprediksifinancial distress.
h. Rough Set TheO/y (RST) dan Support Vector Machine (SVM)
Yu et al. (2011) melakukan prediks .. financial distress dengan menggunakan
integrated model of RST dan support vector machine (SVM) dalam rangka
peringatan dini dan metode yang lebih baik meningkatkan akurasi prediksi. RST
dan SVM merupakan alat yang bisa meningkatkan akurasi prediksi dari financial
distress. RST adalah keran,~ka kerja formal untuk menemukan fakta dari data yang
tidak sempuma (Walczak dan Massart, 1999, dalam Yu et al., 2011), yang
diperkenalkan oleh Pa", lak (1991), dan telah berhasil diterapkan untuk reduksi

26
data, ekstraksi aturan, data mining dan granularity computation. SVM berdasarkan
teori pembelajaran statistik, di mana peneliti dapat secara efektif
mengklasifikasikan data ke kelas yang berbeda.

2.10 Manfaat Melakukan Prediksi Financial Distress


Prediksi financial distress ini sangat penting bagi berbagai pihak. Hal ini
menjadi perhatian bagi berbagai pihak karena dengan mengetahui kondisi perusahaan
yang mengalami financial distress, maka berbagai pihak tersebut dapat mengambil
keputusan atau tindakan untuk memperbaiki keadaan ataupun untuk menghindari
masalah. Ada berbagai macam cara atau metode yang bisa digunakan untuk
melakukan prediksifinancial distress. Berbagai cara atau metode tersebut dibahas
dalam bagian pembahasan dari artikel ini.
Berbagai pihak yang berkepelltingan untuk melakukan prediksi atas
kemungkinan terjadinyajinancial distress adalah (Almilia dan Kristijadi, 2003):
a. Pemberi Pinjaman atau Kreditor. Institusi pemberi pinjaman memprediksi financial
distress dalam memutuskan apakah akan memberikan pinjaman dan menentukan
kebijakan mengawasi pinjaman yang telah diberikan pada perusahaan. Selain itu
juga digunakan untuk menilai kemungkinan masalah suatu perusahaan dalam
melakukan pembayaran kembali pokok dan bunga.
b. Investor. Model prediksi financial distress dapat membantu investor ketika akan
memutuskan untuk berinvestasi pad a suatu perusahaan.
c. Pembuat Peraturan atau Badan Regulator. Badan regulator mempunyai tanggung
jawab mengawasi kesanggupan membayar hutang dan menstabilkan perusahaan
individu. Hal ini menyebabkan perlunya suatu model untuk mengetahui
kesanggupan perusahaan membayar hutang dan menilai stabilitas perusahaan.
d. Pemerintah. Prediksi financial distress penting bagi pemerintah dalam melakukan
antitrust regulation.
e. Auditor. Model prediksi financial distress dapat menjadi alat yang berguna bagi
auditor dalam membuat penilaian going concern perusahaan. Pada tahap
penyelesaian audit, auditor harus membuat penilaian tentang going concern
perusahaan. Jika ternyata perusahaan diragukan going concern-nya, maka auditor
akan memberikan opini wajar tanpa pengeculian dengan paragraf penjelas atau bisa
juga memberikan opini disclaimer (atau menolak memberikan pendapat).

27
f. Manajemen. Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka perusahaan akan
menanggung biaya langsung (fee akuntan dan pengacara) dan biaya tidak langsung
(kerugian penjualan atau kerugian paksaan akibat ketetapan pengadilan). Oleh
karena itu, manajemen harus melakukan prediksi financial distress dan mengambil
tindakan yang diperlukan untuk dapat mengatasi kesulitan keuangan yang teIjadi
dan mencegah kebangkrutan pada perusahaan.

2.11 Dampak Financial Distress


Ketika manajemen perusahaan yang go public mengumumkan bahwa mereka
sedang mengalami kondisi financial distress, maka pasar modal akan bereaksi.
Almilia (2006) meneliti tentang reaksi pasar setelah perusahaan melakukan
pengumuman financial distress. Almilia menguji abnormal return perusahaan pasca
pengumuman financial distress. Hasilnya pelaku pasar modal bereaksi terhadap
pengumumanfinanciai distress tersebut.
Kondisi financial distress merupakan kondisi yang tidak diinginkan oleh
berbagai pihak. Jika terjadi financial distress, maka investor dan kreditor akan
cenderung berhati-hati dalam melakukan investasi atau memberikan pinjaman pada
perusahaan terse but. Stakeholder akan cenderung bereaksi negatif terhadap kondisi
ini. Oleh karena itu, manajemen perusahaan harus segera mengambil tindakan untuk
mengatasi masalahfinancial distress dan mencegah kebangkrutan. Kwon dan Wild
(1994) menemukan bLhwa financial distress secara signifikan terkait dengan
informativeness lapomn tahunan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pemegang saham b~reaksi terhadap laporan tahunan tersebut secara signifikan yang
bisa dilihat melalui harga saham dan reaksi tersebut lebih besar untuk dua tahun
sebelum, dan tahlln pada saat teIjadinyafinancial distress dibandingkan dengan peri
ode sebelum teljadinyafinancial distress.

2.12 Pengaruh Financial Distress terhadap Kebangkrutan

Smith dan Graves (2005) menjelaskan bahwa perusahaan yang


mengalami dua siklus menahan penurunan (decline stemming) dan siklus
perbaikan kinerja (recovery). Kecenderungan tingkat kinerja keuangan, ukuran
perusahaan, ketersediaan free assets merupakan faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk memprediksi apakah perusahaan mampu bertahan
dalam kondisi kesulitan keuangan (siklus decline stemming).

28
Sedangkan pengurangan aset, pergantian CEO, dan pengurangan
karyawan merupakan strategi yang mencerminkan upaya manajemen (siklus
recovery) dalam mengatasi kesulitan keuangan. Sehingga faktor tersebut dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam memprediksi recovery
perusahaan.
2.13 Solusi untuk Perusahaan yang Mengalami Financial Distress
Kondisi financial distress memberikan dampak buruk bagi perusahaan karena
kepercayaan investor dan kreditor serta pihak ekstemal lainnya. Oleh karena itu,
manajemen harus melakukan tindakan untuk dapat mengatasi kondisi financial distress
dan mencegah terjadinya kebangkrutan. Perusahaan yang mengalami financial distress
biasanya memiliki arus kas yang negatif sehingga mereka tidak bisa membayar
kewajiban yang jatuh tempo. Ada 2 solusi yang bisa diberikan jika perusahaan
mempunyai arus kas negatif (Pustylnick, 2012) , yaitu :
a. Restrukturisasi utang Manajemen bisa melakukan restrukturisasi hutang yaitu
mencoba meminta perpanjangan waktu dari kreditor untuk pelunasan hutang hingga
perusahaan mempunyai kas yang cukup untuk melunasi hutang terse but.
b. Perubahan dalam manajemen Jika memang diperlukan, perusahaan mungkin harus
melakukan penggantian manajemen dengan orang yang lebih berkompeten. Dengan
begitu, mungkin saja kepercayaan stakeholder bisa kembali pada perusahaan. Hal ini
untuk menghindari larinya investor potensial perusahaan pada kondisi financial
distress.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

29
Financial distress merupakan kondisi yang menunjukkan tahap penurunan
dalam kondisi keuangan perusahaan yang tl!rjadi sebelum terjadinya kebangkrutan
ataupun likuidasi. Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi atau penutupan
perusahaan atau insolvensi. Kebangkrutan sebagai kegagalan diartikan sebagai
kegagalan keuangan dan kegagalan ekonomi yang terjadi pada perusahaan. Financial
distress juga bisa didefinisikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar
kewajiban-kewajibanfinancial yang telah jatuh tempo.

Kondisi financial distress dihindari oleh perusahaan karena dapat


mengakibatkan kebangkrutan jika manajemen tidak mampu mengambil tindakan yang
tepat untuk mengatasi masalah keuangan yang ada. Dari pembahasan, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

a. Financial distress bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1) kesalahan dalam alokasi sumber daya,


2) struktur keuangan yang salah;
3) tata kelola yang buruk, dan
4) kondisi makro ekonomi yang buruk.

b. Financial distress merupakan hal yang buruk, banyak pihak di dalam dan di luar
perusahaan yang merasa penting untuk melakukan prediksi financial distress. Pihak-
pihak tersebut antara lain: kreditor, investor, pembuat peraturan atau badan regulator,
pemerintah, auditor, dan manajemen.

c. Ada berbagai cara untuk memprediksi financial distress, antara lain:

1) analisis rasio keuangan;

2) analisis arus kas;

3) prediksi melalui corporate governance perusahaan;

4) prediksi melalui kondisi makro ekonomi;

5) credit cycle index;

6) artificial neural netwGrks;

7) prediksi melalui opini auditor independen; serta

8) rough set theory dan support vector machine.


30
d. Financial distress dapat berdampak buruk bagi perusahaan. Pengumuman
perusahaan tentang financial distress dapat menimbulkan reaksi pasar modal di mana
investor kehilangan kepercayaan kepada perusahaan. Oleh karena itu, manajemen
perusahaan harus seger a mengambil tindakan untuk bisa mengatasi masalahfinancial
distress dan mencegah kebangkrutan.

e. Solusi yang bisa dilakukan oleh manajemen perusahaan untuk mengatasi financial
distress, yaitu:

1) melakukan restrukturisasi hutang; dan

2) penggantian manajemen perusahaan.

3.2 Saran

Financial distress kerap terjadi pada perusahaan yang tidak mampu lagi atau
gagal dalam hal memenuhi kewajiban debitur yang disebabkan karena
ketidakcukupan atau kekurangan dana untuk melanjutkan lagi operasional usahanya.
Berbagai ahli telah menjelaskan pengertian financial distress, lengkap dengan
berbagai jenis, penyebab dan cara mencegahnya seperti yang sudah telah kita bahas
bersama diatas.

Agar semakin bisa mencegah terjadinya gejala financial distress, maka


perusahaan bisa menggunakan software akuntansi dari Accurate Online sebagai
platform penyedia software akuntansi serta mengelola keuangan yang mampu
membantu perusahaan dalam mencatat berbagai transaksi keuangan, serta
mendapatkan gambaran grafik secara efisien.

Sehingga, pihak perusahaan akan menegatahui kondisi keuangannya


secara real time dan mampu melakukan berbagai antisipasi lebih awal jika terjadi
masalah keuangan.

DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/66724/3/BAB%20I.pdf

31
http://repository.trisakti.ac.id/usaktiana/digital/00000000000000034599/2020_TA_MJ_0221
60057_Bab-1.pdf
http://eprints.umm.ac.id/34974/2/jiptummpp-gdl-widikurnia-47103-2-babi.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/244793-penyebab-dampak-dan-pbediksi-dari-
financ-7d32310f.pdf
https://www.kajianpustaka.com/2018/10/financial-distress-kesulitan-keuangan.html
https://www.jurnal.id/id/blog/2018-mengetahui-dan-mencegah-terjadinya-financial-distress-
dalam-perusahaan/
https://www.modalrakyat.id/blog/apa-itu-financial-distress-gejala-dan-cara-mengatasinya
https://accurate.id/ekonomi-keuangan/pengertian-financial-distress/

32

Anda mungkin juga menyukai