Anda di halaman 1dari 33

F.

1 Upaya Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

a. Infeksi pernafasan akut pada anak

 Latar belakang
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
ISPA merupakan penyakit yang banyak terjadi di negara
berkembang serta salah satu penyebab kunjungan pasien ke Puskesmas (40%-
60%) dan rumah sakit (15%-30%). Kelompok yang paling berisiko adalah balita,
anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan
per kapita rendah dan menengah. Kasus ISPA di Indonesia pada tiga tahun
terakhir menempati urutan pertama penyebab kematian bayi. Selain itu, penyakit
ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit
 Permasalahan
Promosi mengenai ISPA pada anak perlu dilakukan karena:
1. Tingginya penderita ISPA pada anak terutama balita yang datang berkunjung
ke Puskesmas
2. Kondisi lingkungan dengan asap tebal yang merupakan factor resiko tinggi
penyebab ISPA
3. Kurangnya pemahaman orangtua mengenai ISPA, terutama mengenai bahaya
dan komplikasinya jika tidak ditatalaksana dnegan baik.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Berdasarakan latar belakang dan permasalahan intervensi yang dipilih
dengan metode penyuluhan. Informasi yang diberikan antara lain;,
Penyebab, gejala, penanganan awal yang dapat dilakukan ornag tua dan
upaya pencegahan anak dengan ISPA.
 Pelaksanaan
Penyuluhan dilakukan oleh dokter di ruangan Balita dengan materi yang diberikan
anatar lain:

Jika keluhan dirasakan semakin memburuk, demam tidak mau turun walaupun
diberikan obat penurun panas, atau muncul gejala yang lebih serius, seperti
menggigil, sesak napas, batuk darah, atau penurunan kesadaran, segeralah pergi
ke instalasi gawat darurat (IGD) di rumah sakit terdekat.
Pada anak-anak, selain keluhan di atas, segeralah bawa anak ke dokter bila ISPA
disertai dengan gejala sebagai berikut:

 Sulit bernapas, bisa terlihat dari tulang iga yang nampak jelas saat
bernapas (retraksi).
 Muntah-muntah.
 Menjadi malas bermain.
 Menjadi lebih diam dibandingkan
 Muncul suara bengek saat menghembuskan napas.

Beberapa tindakan untuk meredakan gejala dapat dilakukan secara mandiri di


rumah, yaitu dengan:

 Memperbanyak istirahat dan konsumsi air putih untuk mengencerkan


dahak, sehingga lebih mudah untuk dikeluarkan..
 Berkumur dengan air hangat, jika mengalami sakit tenggorokan.
 Menghirup uap dari semangkuk air panas yang telah dicampur dengan
minyak kayu putih atau mentol untuk meredakan hidung yang tersumbat.
 Memposisikan kepala lebih tinggi ketika tidur dengan menggunakan
bantal tambahan, untuk melancarkan pernapasan.

 Monitoring dan evaluasi


Para ibu dapat memahami mengenai penyebab, gejala, komplikasi, pencegahan
ISPA terutama penatalaksanaan ISPA yang dapat dilakukan dirumah sebelum
dibawa ketenaga medis.

b. DBD

 Latar belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang menimbulkan
masalah bagi masyarakat. WHO melaporkan bahwa setiap tahunnya 50 juta
penduduk dunia terinfeksi virus dengue dan 2, 5% dari mereka meninggal dunia.
Cara penyebaran DBD adalah melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk
ini sangat cocok hidup di iklim tropis atau pun sub tropis. Indonesia adalah tempat
yang sangat sesuai dengan tempat hidup nyamuk Aedes Aegypti.
Angka kejadian demam berdarah dengue (DHF) di Indonesia akhir-akhir
ini telah meningkat lebih dari tiga kali lipat dibanding 1 dekade sebelumnya.
Angka kejadian di tahun 2004 dilaporkan sebanyak 3,4 per 100.000 penduduk
meningkat drastis dari 9,45 per100.000 penduduk di tahun 1992. Ia menyerang
anak-anak dan dewasa baik di perkotaan maupun perdesaan.
 Permasalahan
Timbulnya serangan demam berdarah tidak lagi bersifat musimam, akan
tetapi telah dilaporkan terjadi sepanjang tahun, dengan puncak kejadian di musim
penghujan. Perubahan pola ini menjadi tantangan lebih lanjut bagi upaya
pencegahan dan pengendalian demam berdarah
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Metode pengendalian vektor dan mengurangi kontak antara vektor-
manusia merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah timbulnya demam
berdarah berserta implikasinya.
 Pelaksanaan
Kegiatan ini dilakukan di Posyandu dengan cara pengurangan sumber
larva/jentik nyamuk melalui peningkatan peran masyarakat, penyuluhan
kesehatan dan koordinasi antar sector.
 Monitoring dan evaluasi
Monitoring dilakukan dengan cara menilai penurunannya insiden DBD di
wilayahnkerja puskesmas, serta bekerja sama dengan tim ingkungan hidup untuk
menilai jentik-jentik di rumah tangga.

c. TB

 Latar belakang
Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan
global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif
untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat
tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan
masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang
meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO, 2009). Selain itu, pengendalian TB
mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi TB/HIV, TB yang resisten obat dan
tantangan lainnya dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi.
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000
(WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun.
Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.
Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi HIV
yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik
terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan perkecualian di provinsi Papua
yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara
nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi
HIV dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-
400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru
(lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB
dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB
setiap tahunnya.
 Permasalahan
Masyarakat umumnya pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui
bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya sedikit masyarakat yang dapat
menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB sehingga banyak TB yang tidak
terdeteksi sejak awal. Cara penularan TB juga masih kurang dipahami oleh
masyarakat dan hanya sedikit yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Masyarakat dan pasien TB perlu diberdayakan melalui pemberian
informasi yang memadai tentang TB, pentingnya upaya pencegahan dan
pengendalian TB, serta hak dan kewajiban pasien TB sebagaimana tercantum
dalam TB patient charter.
 Pelaksanaan
Pemberian penyuluhan kepada masyarakat di Posyandu mengenai gejala
utama TB dan pemeriksaan yang dapat dilakukan. Hal ini terkait dengan
pengetahuan masyarakat yang masih kurang mengenai gejala TB sehingga banyak
kasus TB yang lambat terdiagnosis dan tidak di tatalaksana dnegan baik.
Penyuluhan mengenai upaya pencegahan dan pengendalian TB juga diberikan
terutama kepada masyarakat yang memiliki anggota keluarga dengan TB, seperti
pentingnya menggunakan masyarakat, etika batuk dan lain-lain.
 Monitoring dan evaluasi
Diharapkan pengetahuan masyarakat mengenai TB meningkat, sehingga
ketika terdapat anggota keluarga yang memiliki gejala TB segera dapat dilaporkan
segera kekepetugas kesehatan.

c. Pemberdayaan Orang dengan Gangguan Jiwa

 Latar belakang
Penderita gangguan jiwa saat ini mengalami peningkatan, berdasarkan
Kesehatan RI tahun 2007 jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di Indonesia
sekitar 28 juta orang, dengan kategori ringan yaitu 11,6% dan kategori berat yaitu
0,46%. Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosi
yang memiliki gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk usia 15
tahun keatas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa
berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 juta atau sekitar 400.000 orang.
 Permasalahan
Pandangan masyarakat terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
masih dianggap sebelah mata. Tidak sedikit pula yang menganggap bahwa
mereka adalah masyarakat kelas dua yang dipandang negatif dan kemudian
disingkirkan oleh khalayak luas.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Dalam proses belajar mandiri pada pemberdayaan terdapat beberapa tahap
yaitu:
1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku sadar bahwa seseorang merasa
membutuhkan peningkatan pada dirinya sendiri.
2. Tahap transformasi kemampuan yang meliputi wawasan dalam pengetahuan,
cakap dalam keterampilan agar dapat mengambilan peran di dalam
masyarakat.
3. Tahap peningkatan intelektual, cakap dalam keterampilan sehingga memiliki
inisiatif dan kemampuan yang inovatif yang menghantarkan pada individu
yang mandiri
Oleh karena itu direncakan akan membentuk Rumah Pintar ODGJ di Puskesmas 1
Muara Bungo, dimana pada kegiatan tersebut akan dilatih kemandirian serta
pemberdayaan ODGJ.
 Pelaksanaan
Telah dilakukan kelas minat dan bakat dengan membentuk Rumah Pintar
ODGJ di Puskesmas 1 Muara Bungo. Pada kegiatan ini ODGJ sebelumnya
diminta mengisi kuisiner mengenai minat serta bakat mereka. Pada saat
dikumpulkan ODGJ di beri pelatihan keterampilan tangan sederhana, di
kegiatan ini ODGJ diajarkan membuat pot bunga dari botol plastic bekas.
 Monitoring dan evaluasi
Akan dilakukan kelas minat dan bakat pada ODGJ dengan nama Rumah
Pintar ODGJ regular tiap bulannya.

e. Meningkatkan Kesegaran Jasmani Masyarakat Melalui Senam

 Latar Belakang
Pembinaan kesegaran jasmani merupakan hal penting untuk meningkatan kualitas fisik,
karena dengan kesegaran jasmani tentunya seseorang akan dapat beraktivitas secara
maksimal dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Banyak pilihan aktivitas jasmani yang dapat dilakukan oleh seseorang agar dapat
meningkatkan kualitas hidupnya agar senantiasa sehat dan bugar, antara lain dengan
berjalan santai, jogging, besepeda, dan senam, tetapi kebanyakan dari mereka
melakukan aktivitas tersebut belum mengetahui manfaatnya. Mereka melakukan
olahraga maupun permainan hanya untuk memperoleh kesenangan, sehingga dalam
melakukan kegiatan tersebut tidak sesuai dengan program latihan yang sesuai
 Permasalahan
Zaman milenial sekarang ini masyarakat cenderung menjadi kurang gerak dan kurang
kegiatan fisik, sehingga mereka tidak bisa tampil optimal dalam mengisi kegiatan sehari-
hari mulai dari kegiatan di tempat bekerja hingga selesai bahkan sampai kegiatan
mereka di rumah, mereka cenderung kurang gerak dan bermalas-malasan. Sehingga
harapan dan tujuan pembelajaran untuk mendapatkan hasil yang baik menjadi tidak
tercapai secara penuh seperti yang diharapkan
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Pada dasarnya pembinaan kesegaran jasmani dapat dilakukan dengan berbagai macam
latihan jasmani atau olahraga, dan semua jenis latihan dan olahraga tersebut dapat
digunakan untuk meningkatkan kesegaran jasmani Kesegaran jasmani merupakan
kebutuhan yang sangat penting bagi semua orang, agar senantiasa dapat menyelesaikan
tugas mereka sehari-hari dengan baik dan maksimal
 Pelaksanaam
Melakukan senam rutin setiap harinya di lapangan Puskesmas 1 Muara Bungo
yang boleh dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat.
 Monitoring dan Evaluasi
adanya program rutin mingguan untuk melaksanakan Senam di Puskesmas muara
Bungo 1

F.2 Upaya Kesehatan Lingkungan

a. Penggunaan Pelindung Diri Melawan Asap

 Latar belakang
Bencana kabut asap telah menyerang wilayah kerja Puskesmas 1 Muara Bungo
yang disebabkan oleh kebakaran hutan wilayah sekitar. Bencana kabut asap tidak
hanya berdampak buruk pada lingkungan, namun juga mengancam kesehatan bagi
tubuh manusia. Pada dasarnya kabut asap akan menggangu kesehatan manusia
dalam kondisi apapun, baik kondisi sehat maupun sakit. Terlebih, bagi mereka
yang telah memiliki riwayat gangguan kesehatan seperti paru-paru dan jantung.
Juga terkena pada mereka yang memasuki usia rentan seperti lansia dan anak-
anak.
 Permasalahan

Bahaya Kabut Asap:

 Bila terkena kabut asap dalam jangka waktu yang cukup lama, dapat
menyebabkan iritasi pada bagian mata, hidung, tenggorokan. Bila tidak
segera mendapatkan penanganan medis,  kondisi akan diperparah dengan
datangnya reaksi alergi, peradangan akut, dan juga infeksi.
 Kabut Asap sendiri dapat memperburuk kondisi kesehatan seseorang,
bilamana seseorang tersebut memiliki riwayat gangguan kesehatan lainnya
seperti  bronchitis kronik, radang paru-paru dan gangguan kesehatan pada
saluran pernafasan lainnya.              
 Kemampuan kerja paru menjadi berkurang dan menyebabkan seseorang
mudah lelah dan mengalami kesulitan bernapas.
 Bagi mereka yang berusia lanjut (lansia) dan anak-anak maupun yang
mempunyai penyakit kronik, dengan kondisi daya tahan tubuh yang
rendah akan lebih rentan untuk mendapat gangguan kesehatan.
 Kemampuan dalam mengatasi infkesi paru dan saluran pernapasan
menjadi berkurang, sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi infeksi.
 Bahan polutan pada asap kebakaran hutan dapat menjadi sumber polutan 
di sarana air bersih dan makanan yang tidak terlindungi.
 Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) jadi lebih mudah terjadi, terutama
karena ketidak seimbangan daya tahan tubuh (host), pola bakteri/virus
penyebab penyakit (agent) serta buruknya lingkungan (environment).
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Intervensi dilaksanakan dengan pemberian materi dengan cara penyuluhan
mengenai bahaya dari kabut asap serta pencegahan dari dampak tersebut. Selain
itu dilaksnakan pembagian masker gratis kepada pengunjung puskesmas dan
pengguna jalan di depan puskesmas.
 Pelaksanaan
Pencegahan sejak dini dapat dilakukan, guna mengurangi resiko gangguan
kesehatan akibat kabut asap. Pencegahan pertama, upayakan mengurangi aktivitas
dan kegiatan sehari-hari di luar rumah. Kedua, jika keadaan darurat
mengharuskan untuk berpergian, gunakan selalu masker. Ketiga, segera mendapat
penanganan medis, bila dirasa kondisi tubuh mulai sulit bernapas dan mengalami
gangguan kesehatan lain. Keempat, konsumsi air putih dan serta buah mampu
menjaga kekebalan sistem imunitas dalam tubuh
 Monitoring dan evaluasi
Diharapkan masyarakat yang perlu menlakukan kegiatan diluar rumah dapat
menggunakan masker dan masyarakat lainnya melakukan gaya hidup sehat
sehingga tidak tingginya kasus pneumonia di wilayah kerja puskesmas.

b. Lingkungan Sekolah Bebas Asap Rokok

 Latar belakang
Perilaku merokok dilihat dari berbagai sudut pandang sangat merugikan,
baik untuk diri sendiri maupun orang di sekelilingnya. Dilihat dari sisi individu
yang bersangkutan, ada beberapa riset yang mendukung pernyataan tersebut.
Dilihat dari sisi kesehatan, pengaruh bahan-bahan kimia yang dikandung rokok
seperti nikotin, CO (Karbonmonoksida) dan tar akan memacu kerja dari susunan
syaraf pusat dan susunan syaraf simpatis sehingga mengakibatkan tekanan darah
meningkat dan detak jantung bertambah cepat , menstimulasi penyakit kanker
dan berbagai penyakit yang lain seperti penyempitan pembuluh darah, tekanan
darah tinggi, jantung, paru-paru, dan bronchitis kronis.
Masalah Merokok melaporkan bahwa di anak-anak di Indonesia sudah ada
yang mulai merokok pada usia 9 tahun. usia pertama kali merokok pada
umumnya berkisar antara usia 11-13 tahun dan mereka pada umumnya merokok
sebelum usia 18 tahun. Data WHO juga semakin mempertegas bahwa seluruh
jumlah perokok yang ada di dunia sebanyak 30% adalah kaum remaja.
 Permasalahan
Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku merokok dimulai pada
saat masa anak-anak dan masa remaja. Hampir sebagian remaja memahami
akibatakibat yang berbahaya dari asap rokok tetapi mengapa mereka tidak
mencoba atau menghindari perilaku tersebut ? Ada banyak alasan yang
melatarbelakngi perilaku merokok pada remaja. Secara umum menurut Kurt
Lewin, bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu.
Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri, juga
disebabkan faktor lingkungan.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Pembinaan anak sekolah mengenai bahaya merokok, kerugian dan keuntungan
jika tidak merokok sehingga akan munculnya lingkungan bebas asap rokok yang
akan meningkatkan kualitas belajar.
 Pelaksanaan
Pelaksanaan dilakukan di SMPN 9 Muara bungo, dimana dibentuknya tim Gerak
(gerakan remaja anti rokok). Tim ini nantinya yang akan mengawasi perokok
dikawasan sekolah, dan yang akan memberikan penyuluhan-penyuluhan
mengenai bahaya dan kerugian merokok. Selain itu di pasang spanduk atau pun
poster disekolah yang menyatakan bahwa sekolah adalah lingkungan yang bebas
dari asap rokok.
 Monitoring dan evaluasi
Monitoring kegiatan dilakukan oleh pihak puskesmas yang akan melatih tim
GERAK untuk tetap aktif berkontribusi dalam pelaksanaan sekolah bebas asap
rokok.

c. Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun

 Latar belakang
Hingga saat ini, masih banyak sekali anak-anak Indonesia yang meninggal
karena diare, juga juga anak-anak yang kurang gizi karena cacingan. Selain itu,
masih ada pula anak dan orang dewasa yang tertular dan meninggal karena
terinveksi virus flu burung. Padahal, dengan melakukan perilaku sederhana, cuci
tangan pakai sabun (CTPS) sebenarnya sudah dapat mengurangi risiko tertular
penyakit-penyakit tersebut. Data WHO menunjukkan, perilaku CTPS mampu
mengurangi angka kejadian Diare sebanyak 45 persen. Telah dibuktikan juga
bahwa CTPS dapat mencegah penyebaran penyakit kecacingan, serta mampu
menurunkan kasus infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan Flu Burung hingga
50 persen. Sanitasi penting, karena turut menyelamatkan jiwa.

 Permasalahan
Meningkatnya prevalensi kunjungan anak dengan diare akut pada poli
balita puskesmas 1 Muara Bungo
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Intervensi dilakukan dengan melakukan penyuluhan mengenai cara
cucitangan yang baik dan benar serta pentingnya untuk kesehatan.
 Pelaksanaan
Melakukan penyuluhan pada siswa sekolah pentingnya perilaku CTPS
sebagai upaya untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia agar terhindar dari
berbagai penyakit menular. Karena itu, biasakan cuci tangan pakai sabun (CTPS)
pada waktu-waktu penting, yaitu sebelum makan, sebelum
memegang/mengolah/menyiapkan makanan, setelah buang air besar, setelah
menceboki anak, serta setelah kontak dengan hewan dan tanah. Selain itu,
hendaknya membiasakan juga menggunting/membersihkan kuku secara teratur.
 Monitoring dan evaluasi
Diharapkan sekolah menyediakan tempat cuci tangan serta sabun dan
diharapkan turnnya angka kunjungan anak dengan diare akut ataupun cacingan ke
Puskesmas.

d. PHBS

 Latar belakang
Akhir-akhir ini, Indonesia diwarnai dengan berbagai
permasalahan kesehatan. Dimulai dari kasus gizi buruk yang mewabah di wilayah
Provinsi Papua hingga kasus penyakit menular difteri yang banyak menyerang di
kalangan pelajar.
Masalah kesehatan yang sedang menjadi isu hangat dimasyarakat selama
ini ternyata berkaitan erat dengan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat).
Minimnya pelaksanaan PHBS dalam aktivitas sehari-hari akhirnya berdampak
pada timbulnya penyakit menular dan tidak menular. Meski penerapannya
terkesan sederhana, masih banyak masyarakat yang mengabaikan peran PHBS
dalam kehidupan sehari-hari.

 Permasalahan
 Masih terdapatnya masalah kesehatan yang sebenarnya dapat di cegah
dengan PHBS di lingkungan kerja Puskesmas 1 Muara Bungo
 Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai PHBS dan pentingnya
penerapan PHBS dalam kehidupan rumah tangga.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Memberdayakan keluarga untuk melaksanakan PHBS melalui penyuluhan
perorangan, penyuluhan kelompok, penyuluhan massa dan penggerakan
masyarakat. Mengembangkan kegiatan-kegiatan yang mendukung terwujudnya
Rumah Tangga Sehat.
 Pelaksanaan
PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga
anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang
kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat.
Melakukan penyuluhan mengenai PHBS pada saat kegiatan Posbindu
 Monitoring dan evaluasi
Menilai rumah tanga yang telah melakukan PHBS. Rumah Tangga Ber-PHBS
adalah rumah tangga yang melakukan 10 PHBS di Rumah Tangga, yaitu :
1. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan.
2. Memberi bayi ASI Eksklusif.
3. Menimbang balita setiap bulan.
4. Menggunakan air bersih.
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun.
6. Menggunakan jamban sehat.
7. Memberantas jentik di rumah sekali seminggu.
8. Makan buah dan sayur setiap hari.
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari.
10. Tidak merokok di dalam rumah.
Manfaat dari PHBS adalah Setiap anggota keluarga menjadi sehat dan tidak
mudah sakit. • Anak tumbuh sehat dan cerdas. • Anggota keluarga giat bekerja. •
Pengeluaran biaya rumah tangga dapat ditujukan untuk memenuhi gizi keluarga,
pendidikan dan modal usaha untuk peningkatan pendapatan keluarga.

e. Bank Sampah

 Latar belakang
Bank sampah berdiri karena adanya keprihatinan masyarakat akan lingkungan
hidup yang semakin lama semakin dipenuhi dengan sampah baik organik maupun
anorganik. Sampah yang semakin banyak tentu akan menimbulkan banyak
masalah, sehingga memerlukan pengolahan seperti membuat sampah menjadi
bahan yang berguna. Pengelolaan sampah dengan sistem bank sampah ini
diharapkan mampu membantu pemerintah dalam menangani sampah dan
meningkatkan ekonomi masyarakat.
Tujuan utama pendirian bank sampah adalah untuk membantu menangani
pengolahan sampah di Indonesia. Tujuan bank sampah selanjutnya adalah untuk
menyadarkan masyarakat akan lingkungan yang sehat, rapi, dan bersih. Bank
sampah juga didirikan untuk mengubah sampah menjadi sesuatu yang lebih
berguna dalam masyarakat, misalnya untuk kerajinan dan pupuk yang memiliki
nilai ekonomis.
 Permasalahan
Bank sampah memiliki beberapa manfaat bagi siswa dan lingkungan
hidup, seperti membuat lingkungan lebih bersih, menyadarkan siswa akan
pentingnya kebersihan, dan membuat sampah menjadi barang ekonomis. Manfaat
bank sampah untuk sekolah adalah dapat menambah penghasilan sekolah karena
saat mereka menukarkan sampah mereka akan mendapatkan imbalan berupa uang
yang dikumpulkan selain itu sampah juga dapat didaur ulang dengan membentuk
kerajinan yang juga akan mengasah kreatifitas siswa.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Membentuk bank sampah disekolah dasar serta memberikan penyuluhan
mengenai bank sampah kepada guru dan siswa.
 Pelaksanaan
Kegiatan ini telah dilaksanakan di SD 101 Muara Bungo dengan membentuk bank
sampah disekolah.
 Monitoring dan evaluasi
Diaharapkan kegiatan bank sampah ini dapat berjalan dengan baik. Puskesmas
akan mengevaluasi tiap bulannya bagaimana pelaksanaan bank sampah disekolah
apakah berjalan dengan baik atau tidak. Selain itu puskesmas juga akan bekerja
sama dengan tim kesehatan lingkungan hidup untuk mengevaluasi bank sampah
ini.

F.3 Upaya Kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana

a. Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang

 Latar belakang

Diare merupakan salah satu penyakit dengan insidensi tinggi di dunia dan
dilaporkan terdapat hampir 1,7 milyar kasus setiap tahunnya. Penyakit ini sering
menyebabkan kematian pada anak usia di bawah lima tahun (balita). Diare masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia
karena memiliki insidensi dan mortalitas yang tinggi. Diperkirakan 20-50
kejadian diare per 100 penduduk setiap tahunnya. Kematian terutama disebabkan
karena penderita mengalami dehidrasi berat. 70-80% penderita adalah mereka
yang berusia balita. Menurut data Departemen Kesehatan, diare merupakan
penyakit kedua di Indonesia yang dapat menyebabkan kematian anak usia balita
setelah radang paru atau pneumonia

 Permasalahan
Tingginya angka kejadian diare balita merupakan masalah yang penting di
masyarakat sehingga perlunya intervensi mengenai masalah ini. Faktor-faktor
risiko yang menyebabkan diare perlu digali untuk memberikan wawasan dan
informasi yang bermanfaat bagi masyarakat akan pentingnya pencegahan kejadian
diare tersebut. Hal ini juga terkait dengan masih tingginga angka kunjungan balita
dengan diare ke Puskesmas Muara Bungo 1.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Intervensi dilakukan dengan memberikan penyuluhan langsung kepada ibu yang
memiliki anak menderita diare ataupun ibu ibu yang memiliki balita yang
berkunjung ke Puskesmas Muara Bungo 1.
 Pelaksanaan
Intervensi dilakukan dengan pemberian edukasi kepada ibu-ibu yang memiliki
balita, materi yang diberikan antara lain:
Penularan diare dapat dengan cara fekal-oral, yaitu:
 melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen,
 kontak tangan langsung dengan penderita,
 barang-barang yang telah tercemar tinja penderita
 secara tidak langsung melalui lalat

Adapun faktor risiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen


diantaranya adalah tidak memberikan ASI secara penuh pada bayi usia 4-6 bulan,
tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya
sarana kebersihan, kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan
penyimpanan makanan yang tidak higienis, serta cara penyapihan yang tidak.

Kejadian diare dapat dicegah dengan memperhatikan air minum yang


aman dan sanitasi yang higieni

 Monitoring dan evaluasi


Diaharapkan dari pemberian intervensi ini berkurangnya jumlah anak dengan
diare yang berkunjung ke Puskesmas Muara Bungo 1.

b. Imunisasi

 Latar belakang
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa, tidak terjadi penyakit.
Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini,
penyakit-penyakit tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak
(measles), polio dan tuberkulosis.
 Permasalahan
Masih ditemukannya balita yang tidak mendapat imunisasi dasar sesuia usia. Hal
ini dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu mengenai pentingnya imunisasi, dan
masih terdapat pemahaman/keyakinan/budaya yang salah sehingga ibu-ibu
tersebut menolak ketika bayinya akan di imunisasi.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Dilakukannya penyuluhan kepada ibu-ibu yang memiliki balita mengenai
pentingnya imunisasi pada bayi. Dilaksanakannya posyandu balita.
 Pelaksanaan
Posyandu balita dilaksanakan secara regular 1 bulan sekali, selain itu imunisasi
juga dapat dilakukan langsung dipuskesmas. Pada bulan ini juga dilaksanakannya
BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) yang dilakasanakan di seluruh sekolah
dasar yang berada dicakupan wilayah puskmas 1 Muara Bungo. Yang terpenting
dari kegiatan ini adalah penyuluhan kepada ibu-ibu yang memiliki balita, dimana
materi yang diberikan antara lain:
Tujuan imunisasi:
1. Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit menular
2. Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular
3. Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan mortalitas
(angka kematian) pada balita
Imunisasi dasar yang wajib diberikan:
4. BCG
5. DPT
6. Polio
7. Campak
 Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi dinilai dari meningkatnya cakupan balita dengan
imunisasi dasar lengkap

c. ASI eklusif

 Latar belakang
ASI eksklusif menurut World Health Organization (WHO, 2011) adalah
memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan minuman lain
kepada bayi sejak lahir sampai berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin. Namun
bukan berarti setelah pemberian ASI eksklusif pemberian ASI eksklusif
pemberian ASI dihentikan, akan tetapi tetap diberikan kepada bayi sampai bayi
berusia 2 tahun.
Target 80% cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih sangat
jauh dari kenyataan. Pemberian ASI eksklusif merupakan investasi terbaik bagi
kesehatan dan kecerdasan anak. Manfaat pemberian ASI eksklusif sesuai dengan
salah satu tujuan dari Millenium Development Goals (MDGs) yaitu mengurangi
tingkat kematian anak dan meningkatkan kesehatan Ibu. WHO menyatakan
sekitar 15% dari total kasus kematian anak di bawah usia lima tahun di negara
berkembang disebabkan oleh pemberian ASI secara tidak eksklusif. Berbagai
masalah gizi kurang maupun gizi lebih juga timbul akibat dari pemberian
makanan sebelum bayi berusia 6 bulan.
 Permasalahan
Masih terdapatnya ibu yang tidak menyusui anak mereka dengan eklusif di
wilayah kerja Puskesmas 1 Muara Bungo. Hal ini dapat disebabkan karena
kurangnya pengetahuan dari ibu tersebut mengenai manfaat dari ASI eklusif
ataupun masih terdapatnya pemahaman salah yang beredar dimasyarakat bahwa
bayi harus dapat makanan lain selain ASI sebelum usia 6 bulan. Selain itu masih
terdapat bayi dengan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas 1 Muara Bungo.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Intervensi dilakukan dengan memberikan penyuluhan mengenai ASI
eklusif kepada ibu-ibu yang memiliki balita yang berkunjung ke Puskesmas.
 Pelaksanaan
Pelaksanaan penyuluhan dilakukan di Puskesmas 1 muara bungo dengan
pemaparan materi berupa manfaat pemberian ASI yaitu:
1. ASI sebagai nutrisi
Dengan tatalaksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal
akan cukup memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6
bulan.
2. ASI meningkatkan daya tahan tubuh
Bayi yang mendapat ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih jarang sakit,
karena ASI mengandung berbagai zat kekebalan.
3. ASI meningkatkan kecerdasan
ASI mengandung nutrien khusus yaitu taurin, laktosa dan asam lemak
ikatan panjang (DHA, AHA, omega-3, omega-6) yang diperlukan otak
bayi agar tumbuh optimal. Nutrien tersebut tidak ada atau sedikit sekali
terdapat pada susu sapi. Oleh karena itu, pertumbuhan otak bayi yang
diberi ASI eksklusif selama 6 bulan akan optimal.
4. Menyusui meningkatkan jalinan kasih sayang.
Perasaan terlindung dan disayangi pada saat bayi disusui menjadi dasar
perkembangan emosi bayi dan membentuk kepribadian yang percaya diri
dan dasar spiritual yang baik.
5. Manfaat lain pemberian ASI bagi bayi yaitu sebagai berikut:
a. Melindungi anak dari serangan alergi. b. Meningkatkan daya
penglihatan dan kepandaian bicara. c. Membantu pembentukan rahang
yang bagus. d. Mengurangi risiko terkena penyakit diabetes, kanker pada
anak, dan diduga mengurangi kemungkinan menderita penyakit jantung. e.
Menunjang perkembangan motorik bayi.
 Monitoring dan evaluasi
Diaharapkan penyuluhan ini menjadi masukan bagi ibu bekerja yang
mempunyai bayi tentang tujuan dan manfaat dari ASI eksklusif, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan ibu mengenai ASI, sehingga
ibu mempunyai kesadaran untuk memberikan ASI kepada bayinya secara
eksklusif dan dilanjutkan sampai bayi berumur 2 tahun

d. Pemilihan alat kontrasepsi dalam mendukung program keluarga berencana

 Latar Belakang
Keluarga berencana merupakan usaha untuk mengukur jumlah anak
dan jarak kelahiran anak yang diinginkan. Maka dari itu, Pemerintah
mencanangkan program atau cara untuk mencegah dan menunda kehamilan.
Salah satu anjurannya adalah dengan memasang alat kontrasepsi.
Tujuan dilaksanakan program KB yaitu untuk membentuk keluarga kecil
sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan
kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya
Kontrasepsi merupakan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya
kehamilan. Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara dan permanen.
Kontrasepsi yaitu pencegahan terbuahinya sel telur oleh sel sperma (konsepsi)
atau pencegahan menempelnya sel telur yang telah dibuahi ke dinding rahim
 Permasalahan
Masih terdapat keluarga diwilayah kerja puskesmas 1 Muara
Bungo yang kurang pengetahuannya mengenai alat kontrasepsi, baik dari
jenis dan kegunaan, sehingga keluarga tersebut bingung dalam
memutuskan penggunaan alat kontrasepsi.
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih
kontrasepsi. Metode kontrasepsi yang baik ialah kontrasepsi yang memiliki
syarat-syarat sebagai berikut: a. Aman atau tidak berbahaya b. Dapat diandalkan
c. Sederhana d. Murah e. Dapat diterima oleh orang banyak f. Pemakaian jangka
lama (continution rate tinggi).
Faktor-faktor dalam memilih metode kontrasepsi yaitu:
a. Faktor pasangan
1) Umur
2) Gaya hidup
3) Frekuensi senggama
4) Jumlah keluarga yang diinginkan
5) Pengalaman dengan kontraseptivum yang lalu
6) Sikap kewanitaan
7) Sikap kepriaan.
b. Faktor kesehatan
1) Status kesehatan
2) Riwayat haid
3) Riwayat keluarga
4) Pemeriksaan fisik
5) Pemeriksaan panggul
 Pelaksanaan
Ada beberapa metode pemeriksaan yang dapat di pilih, diantara lain:
a. Metode Kontrasepsi Sederhana
Metode kontrasepsi sederhana terdiri dari 2 yaitu metode kontrasepsi sederhana
tanpa alat dan metode kontrasepsi dengan alat. Metode kontrasepsi tanpa alat
antara lain: Metode Amenorhoe Laktasi (MAL), Couitus Interuptus, Metode
Kalender, Metode Lendir Serviks, Metode Suhu Basal Badan, dan Simptotermal yaitu
perpaduan antara suhu basal dan lendir servik. Sedangkan metode kontrasepsi
sederhana dengan alat yaitu kondom, diafragma, cup serviks dan spermisida.
b. Metode Kontrasepsi Hormonal
Metode kontrasepsi hormonal pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu kombinasi
(mengandung hormon progesteron dan estrogen sintetik) dan yang hanya berisi
progesteron saja. Kontrasepsi hormonal kombinasi terdapat pada pil dan
suntikan/injeksi. Sedangkan kontrasepsi hormon yang berisi progesteron terdapat
pada pil, suntik dan implant.
c. Metode Kontrasepsi dengan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
Metode kontrasepsi ini secara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu AKDR yang
mengandung hormon sintetik (sintetik progesteron) dan yang tidak mengandung
hormon. AKDR yang mengandung hormon Progesterone atau Leuonorgestrel yaitu
Progestasert (Alza-T dengan daya kerja 1 tahun, LNG-20 mengandung
Leuonorgestrel. d. Metode Kontrasepsi Mantap Metode kontrasepsi mantap terdiri
dari 2 macam yaitu Metode Operatif Wanita (MOW) dan Metode Operatif Pria
(MOP). MOW sering dikenal dengan tubektomi karena prinsip metode ini adalah
memotong atau mengikat saluran tuba/tuba falopii sehingga mencegah pertemuan
antara ovum dan sperma. Sedangkan MOP sering dikenal dengan nama vasektomi,
vasektomi yaitu memotong atau mengikat saluran vas deferens 14 sehingga cairan
sperma tidak dapat keluar atau ejakulasi.
 Monitoring dan Evaluasi
Yang perlu diperhatikan dari pemakaian alat kontrasepsi adalah manfaat
dan efek samping yang mungkin saja muncul saat pengunaan alat
kontrasepsi. Efek samping yang muncul ini akakn berbeda berdasakan
pilihan alat kontrasepsi yang digunakan.
d. MPASI
a. Latar Belakang
Pemberian makanan pendamping ASI setelah bayi berusia enam bulan, akan
memberikan perlindungan besar pada bayi dari berbagai macam penyakit.
Hal ini disebabkan sistem imun pada bayi yang berusia kurang dari enam
bulan belum sempurna, sehingga pemberian MP ASI dini (kurang dari enam
bulan) sama saja dengan membuka pintu gerbang masuknya berbagai jenis
kuman penyakit. Belum lagi jika tidak disajikan secara higienis. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2008, menunjukkan bahwa bayi yang
mendapatkan MP ASI sebelum berusia enam bulan, lebih banyak terserang
diare, sembelit, batuk-pilek, dan panas dibandingkan bayi yang hanya
mendapat ASI eksklusif dan mendapatkan MP ASI dengan tepat waktu (usia
pemberian MP ASI setelah enam bulan)
b. Permasalahan
Masih kurangnya pengetahuan ibu mengenai MPASI, baik itu waktu
pemberian, jenis, cara dan lain-lain. Selain itu masih adanya budaya-
buadaya yang dianut masyarakat yang bertentangan dengan
pemberian MPASI.
c. Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Dalam pemberian MP ASI, yang perlu diperhatikan adalah usia pemberian
MP ASI, frekuensi dalam pemberian MP ASI, porsi dalam pemberian MP ASI,
jenis MP ASI, dan cara pemberian MP ASI pada tahap awal. Pemberian MP
ASI yang tepat diharapkan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan gizi
bayi, namun juga merangsang keterampilan makan dan merangsang rasa
percaya diri pada bayi
d. Pelaksanaam
Berdasarkan usia anak, dapat diketegorikan menjadi:
a. Pada usia enam sampai sembilan bulan
a. Memberikan makanan lumat dalam tiga kali sehari dengan takaran
yang cukup
b. Memberikan makanan selingan satu hari sekali dengan porsi kecil
c. Memperkenalkan bayi atau anak dengan beraneka ragam bahan
makanan
b. Pada usia lebih dari sembilan sampai 12 bulan
1) Memberikan makanan lunak dalam tiga kali sehari dengan takaran
yang cukup
2) Memberikan makanan selingan satu hari sekali
3) Memperkenalkan bayi atau anak dengan beraneka ragam bahan
makanan
c. Pada usia lebih dari 12 sampai 24 bulan
1) Memberikan makanan keluarga tiga kali sehari
2) Memberikan makanan selingan dua kali sehari
3) Memberikan beraneka ragam bahan makanan setiap hari.
e. Monitoring dan Evaluasi
Diharapkan masyarakat lebih aktif dalam mencari informasi tentang
pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) yang tepat, serta dapat
memahami tentang pentingnya pemberian makanan pendamping ASI
(MP ASI) yang tepat bagi anak, khususnya anak usia 0-24 bulan.

F.4 Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat

Konseling Gizi Pasien dengan Artritis Gout

 Latar Belakang
Artritis gout merupakan penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium
urat pada jaringan atau supersaturasi asam urat didalam cairan ekstarseluler. Artritis
gout merupakan salah satu penyakit inflamasi sendi yang paling sering ditemukan, yang
ditandai dengan penumpukan kristal monosodium urat di dalam ataupun di sekitar
persendian. Monosodium urat ini berasal dari metabolisme purin. Hal penting yang
mempengaruhi penumpukan kristal adalah hiperurisemia dan saturasi jaringan tubuh
terhadap urat. Apabila kadar asam urat di dalam darah terus meningkat dan melebihi
batas ambang saturasi jaringan tubuh, penyakit artritis gout ini akan memiliki
manifestasi berupa penumpukan kristal monosodium urat secara mikroskopis maupun
makroskopis berupa tophi
 Permasalahan
Terdapat pasien dengan atrtritis gout baik ke puskesmas ataupun ke Posyandu
lansia yang pengetahuannya masih kurang mengenai diet yang baik bagi pasien
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai Artritis Gout dan terapi
nutrisi yang baik untuk pasien di Posyandu Lansia wilayah kerja Puskesmas 1
Muara Bungo
 Pelaksanaam
Memeberi materi mengenai terapi nutrisi bagi pasien artritis gout. Diet rendah
purin memegang peranan penting untuk mengatasi hiperurisemia. Pada hiperurisemia
asimtomatik, biasanya tidak perlu diberikan pengobatan kecuali bila kadar asam urat
darah lebih dari 9 mg/dL. Diet rendah purin dengan pembatasan purin 200-400 mg/hari
dapat menurunkan kadar asam urat serum sebanyak 1 mg/dL . Berdasarkan kadar
purinnya, sumber makanan berpurin dikelompokkan menjadi 3, yakni sumber makanan
yang mengandung purin tinggi, sedang dan rendah.
Sumber makanan dan minuman yang juga mengandung purin tinggi diantaranya
adalah berikut ini: jeroan, kaldu atau ekstrak daging, soft Drink atau minuman bersoda,
minuman beralkohol, es krim, ikan hering, ikan tuna, salmon, ikan kembung dan aneka
jenis seafood lainnya
 Monitoring dan Evaluasi
Pemeriksaan rutin kadar asam urat pasien dengan artritis gout atau pasien yang
memiliki riwayat artritis gout sebelumnya serta pemberian konseling mengenai
diet yang baik untuk penderita di Posyandu lansia.

F.5 Pencegahan dan penanggulangan Penyakit Menular/ Tidak Menular

a. Diabetes Mellitus

 Latar Belakang
Jumlah penderita DM di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
World Health Organization/ WHO (2016), memperkirakan sebanyak 422 juta orang
dewasa hidup dengan DM. International Diabetic Foundation (IDF), menyatakan bahwa
terdapat 382 juta orang di dunia yang hidup dengan DM, dari 382 juta orang tersebut,
diperkirakan 175 juta diantaranya belum terdiagnosis, sehingga dimungkinkan
berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa pencegahan. Pada
tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan naik menjadi 592 juta orang.
Diabetes merupakan penyakit yang jumlah penderitanya mengalami
peningkatan di Indonesia. Menurut data WHO, Indonesia menempati peringkat ke-4
dengan penderita DM terbanyak di dunia. Sedangkan hasil wawancara yang dilakukan
Riset Kesehatan Dasar / RISKESDAS (2013), menyatakan bahwa pada tahun 2013 terjadi
peningkatan penderita DM dua kali lipat dibandingkan pada tahun 2007. Diperkirakan
penderita DM akan meningkat pada tahun 2030 sebesar 21,3 juta orang.
 Permasalahan
DM merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan, namun
bisa di control dengan terapi farmakologi ataupun non farmakologi yang dapat
mencegah terjadinya komplikasi.
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai Diabetes Mellitus tipe 2 dan
cara pencegahan penyakit di Posyandu Lansia wilayah kerja Puskesmas 1 Muara
Bungo
 Pelaksanaan
Pemberian penyuluhan mengenai Diabetes Mellitus, materi yang diberikan antara
lain:
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Mellitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan ciri hiperglikemia yang terjadi
karena beberapa sebab yaitu karena kelainan sekresi insulin, kinerja insulin atau kedua-
duanya. Didefinisikan sebagai DM jika pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh
dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi
dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala sebagai berikut, yaitu sering lapar, sering haus,
sering buang air kecil dalam jumlah banyak dan berat badan turun.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
1) Berat badan berlebih (IMT > 23 kg/m2). O
besitas adalah ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dengan
kebutuhan energi yang disimpan dalam bentuk lemak (jaringan 10 subkutan
tirai usus, organ vital jantung, paru-paru, dan hati). Obesitas juga
didefinisikan sebagai kelebihan berat badan. Indeks masa tubuh orang
dewasa normalnya ialah antara 18,5-25 kg/m2. Jika lebih dari 25 kg/m2
maka dapat dikatakan seseorang tersebut mengalami obesitas (Gusti &
Erna, 2014).
2) Obesitas abdominal Kelebihan lemak di sekitar otot perut berkaitan dengan
gangguan metabolik, sehingga mengukur lingkar perut merupakan salah
satu cara untuk mengukur lemak perut (Balkau, 2014). Seorang yang
mengalami obesitas abdominal (Lingkar perut pria >90 cm sedangkan pada
wanita >80 cm) maka berisiko 5,19 kali menderita Diabetes Mellitus Tipe 2.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa obesitas sentral khususnya di perut yang
digambarkan oleh lingkar pinggang dapat memprediksi gangguan akibat
resistensi insulin pada DM tipe 2
 Monitoring dan Evaluasi
Pemeriksaan rutin gula darah pasien dengan diabetes atau pasien yang memiliki
gejala klasik DM serta pemberian konseling mengenai diabetes mellitus di
Posyandu lansia.

b. Hipertensi

 Latar Belakang
Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas
tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau
tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC (Joint
National Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik 140
mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih

Dari prevalensi hipertensi sebesar 34,1% diketahui bahwa sebesar 8,8%


terdiagnosis hipertensi dan 13,3% orang yang terdiagnosis hipertensi tidak minum
obat serta 32,3% tidak rutin minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar penderita Hipertensi tidak mengetahui bahwa dirinya Hipertensi sehingga
tidak mendapatkan pengobatan.
Alasan penderita hipertensi tidak minum obat antara lain karena penderita
hipertensi merasa sehat (59,8%), kunjungan tidak teratur ke fasyankes (31,3%),
minum obat tradisional (14,5%), menggunakan terapi lain (12,5%), lupa minum
obat (11,5%), tidak mampu beli obat (8,1%), terdapat efek samping obat (4,5%),
dan obat hipertensi tidak tersedia di Fasyankes (2%).

 Permasalahan
Tingginya angka kunjungan pasien dengan hipertensi baik ke puskesmas ataupun
ke Posyandu lansia. Hipertensi merupakan salah satu penyakit kronis yang tidak
dapat disembuhkan, namun bisa di control dengan terapi farmakologi ataupun non
farmakologi yang dapat mencegah terjadinya komplikasi.
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai Hipertensi dan cara
pencegahan penyakit di Posyandu Lansia wilayah kerja Puskesmas 1 Muara
Bungo

 Pelaksanaan
Pemberian penyuluhan mengenai hipertensi pada posyandu lansia, materi yang
diberikan anatara lain: Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita
hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu
sakit kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas,
cepat marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di
malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi
gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang
mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan
kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma
Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari
penderita hipertensi antara lain merokok, diet rendah serat, kurang aktifitas gerak,
berat badan berlebihan/kegemukan, komsumsi alkohol, hiperlipidemia atau
hiperkolestrolemia, stress dan komsumsi garam berlebih sangat berhubungan erat
dengan hipertensi
 Monitoring dan Evaluasi
Pemeriksaan rutin tekanan darah pasien dengan hipertensi atau pasien yang
memiliki riwayat hipertensi sebelumnya serta pemberian konseling mengenai
hipertensi di Posyandu lansia.

b. Skabies

 Latar Belakang
Skabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau Sarcoptes
scabei. Skabies tidak membahayakan bagi manusia. Adanya rasa gatal pada malam hari
merupakan gejala utama yang mengganggu aktivitas dan produktivitas. Penyakit scabies
banyak berjangkit di: (1) lingkungan yang padat penduduknya, (2) lingkungan kumuh, (3)
lingkungan dengan tingkat kebersihan kurankg. Skabies cenderung tinggi pada anak-
anak usia sekolah, remaja bahkan orang dewasa
 Permasalahan
Masih banyaknya angka kunjungan pasien dengan scabies, terutama pada anak-
anak yang tidur di pesantren. Pengobatan pasien dengan scabies ini juga tidak
tuntas karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang scabies sehingga
banyak yang salah dalam melakukan pengobatan/ sering membeli obat sendiri.
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai skabies dan cara
pencegahan penyakit scabies ini di Puskesmas 1 Muara Bungo

 Pelaksanaam
Hal terpenting selain mengobati penyakit scabies ini adalah bagaimana cara
penularannya. Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung, adapun cara penularannya adalah: 1. Kontak langsung (kulit dengan kulit)
Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur
bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan hal
tersering, sedangkan pada anakanak penularan didapat dari orang tua atau temannya.
2. Kontak tidak langsung (melalui benda) Penularan melalui kontak tidak langsung,
misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan
mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir
menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies
dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut
 Monitoring dan Evaluasi
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam keluarga, biasanya
seluruh anggota keluarga, begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat
penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau
tersebut. Oleh karena itu pemberian pengobatan tidak hanya kepada pasien tetapi juga
keluarga yang berkontak erat dengan pasien.

c. Penyuluhan HIV / AIDS pada anak sekolah

 Latar belakang
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh dan biasanya menyerang sel CD4 (Cluster of
Differentiation 4) sehingga mengakibatkan penurunan sistem pertahanan tubuh.
Kecepatan produksi HIV berkaitan dengan status kesehatan orang yang terjangkit
infeksi tersebut.
Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang
dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Menurut data WHO (World
Health Organization) tahun 2012, penemuan kasus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) di dunia pada tahun 2012 mencapai 2,3 juta kasus,
dimana sebanyak 1,6 juta penderita meninggal karena AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) dan 210.000 penderita berusia di bawah 15 tahun.
 Permasalahan
Oleh karena itu perlu pemahaman tentang perilaku seksual pada remaja
sebab, masa remaja merupakan masa peralihan dari perilaku seksual anak-anak
menjadi perilaku seksual dewasa. Kurangnya pemahaman tentang perilaku
seksual pada remaja amat merugikan bagi remaja itu sendiri termasuk
keluarganya, sebab pada masa ini remaja mengalami perkembangan yang penting
yaitu kognitif, emosi, sosial dan seksual
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi sehingga perilaku
individu atau kelompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Salah satu dimensi
tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan dapat dilakukan di sekolah dengan
sasaran murid melalui metode promosi kesehatan. Intervensi ini bisa dilakukan
dalam meningkatkan pengetahuan yang komprehensif dan tepat agar tidak terjadi
penularan HIV/AIDS.
 Pelaksanaan
Kegiatan dilaksanakan di SMPN 7 Muara Bungo dengan peserta adalah
siswa/siswi sekolah dengan usia rata-rata 12-14 tahun. Peserta yang datang
berkisar 40 orang. Intervensi diawali dengan pemberian materi mengenai
HIV/AIDs mulai dari definisi, cara penularan, serta pencegahan yang dapat
dilakukan.
 Monitoring dan evaluasi
Evaluasi dari kegiatan ini, setelah pemberian materi dilakukannya sesi
diskusi dengan tanya jawab mengenai materi yang telah diberikan. dari kegiatan
ini siswa/siswi tampak paham dan antusias dengan materi yang dipaparkan dinilai
dari banyaknya siswa/siswi yang mengajukan pertanyaan saat sesi diskusi, selain
itu siswa/siswi juga dapat menjawab pertanyaan yang diberikan seputar materi.
Diharapkan siswa/siswi dapat mengambil sikap yang baik dalam pencegahan
penularan HIV/AIDS.

d.

e.
F.6 Upaya Pengobatan dasar

a. TTH

 Latar Belakang
Sekitar 99% laki-laki dan 93% Wanita pernah mengalami sakit kepala. TTH dan
nyeri kepala servikogenik merupakan dua tipe nyeri kepala yang paling sering di
jumpai. TTH adalah bentuk umum nyeri kepala primer yang di jumpai pada dua
pertiga populasi. 78% orang dewasa pernah mengalami TTH setidaknya sekali
dalam hidup mereka.
 Permasalahan
Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien saat datang
ke dokter, baik ke dokter umum maupun neurolog. Sampai saat ini nyeri 5 kepala masih
merupakan masalah. Masalah yang diakibatkan oleh nyeri kepala mulai dari gangguan
pada pola tidur, pola makan, depresi sampai kecemasan
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Intervensi dilakukan pada setiap pasien yang datang ke Poli Umum dan Usila
Puskesmas 1 Muara Bungo yang terdiagnosa dengan TTH
 Pelaksanaan

Penatalaksanaan tension type headache (TTH) utamanya adalah penggunaan


analgesik baik tunggal maupun kombinasi, misalnya dengan paracetamol
dan nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID). Triptan, muscle relaxants,
dan opioid dilaporkan tidak memiliki peran dalam tatalaksana TTH akut.

Tension Type Headache Akut


Pada tension type headache (TTH) akut, obat yang dapat digunakan adalah :
 Ibuprofen 200-800 mg

 Ketoprofen 25 mg
 Aspirin 500-1000 mg
 Naproxen 375-550 mg

 Paracetamol 1000 mg
Walaupun paracetamol dan nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID)
dilaporkan efektif untuk tatalaksana TTH akut, perlu diperjelas bahwa proporsi
efikasi ini tidak terlalu berbeda dengan plasebo. Sebuah studi melaporkan bahwa
presentase pasien yang tetap tidak mengeluhkan nyeri 2 jam setelah konsumsi
obat adalah 37% setelah penggunaan paracetamol 1000 mg, 32% pada naproxen
375 mg, dan 26% pada plasebo. [6]
Profilaksis Tension Type Headache
Obat lini pertama untuk pencegahan tension type headache (TTH)
adalah amitriptyline. Lini keduanya adalah mirtazapine dan venlafaxine. Lini
ketiga adalah clomipramine, maprotiline, dan mianserin.
Amitriptyline disarankan untuk dimulai dari dosis rendah (10-25 mg per hari)
kemudian dosis bisa ditingkatkan 10-25 mg per minggu sesuai respon pasien.
Penting untuk disampaikan pada pasien bahwa obat ini adalah antidepresan, tetapi
memiliki efek independen terhadap nyeri. Dosis rumatan adalah 30-75 mg
diberikan 1-2 jam sebelum tidur untuk mencegah efek samping sedatif. [6]

 Monitoring dan Evaluasi


Pada pasien dengan TTH Juga diberikan edukasi mengenai terapi non
farmakologis yang dapat dilakukan. Latihan relaksasi dengan olahraga atau meditasi
bertujuan untuk menurunkan tegangan otot dan autonomic aurosal yang dapat
menimbulnya nyeri kepala.

b. Osteo Artritis

 Latar Belakang
Osteoartritis merupakan penyebab ketidakmampuan pada orang Amerika dewasa.
Prevalensi osteoartritis di Eropa dan America lebih besar dari pada prevalensi di negara
lainnya. The National Arthritis Data Workgroup (NADW) memperkirakan 9 penderita
osteoartritis di Amerika pada tahun 2005 sebanyak 27 juta yang terjadi pada usia 18
tahun keatas. Data tahun 2007 hingga 2009 prevalensi naik sekitar 1 dari 5 atau 50 juta
jiwa yang didiagnosis dokter menderita osteoartritis. Estimasi insiden osteoartritis di
Australia lebih besar pada wanita dibandingkan pada laki-laki dari semua kelompok usia
yaitu 2,95 tiap 1000 populasi dibanding 1,71 tiap 1000 populasi. Di Asia, China dan India
menduduki peringkat 2 teratas sebagai negara dengan epidemiologi osteoartritis
tertinggi yaitu berturut-turut 5.650 dan 8.145 jiwa yang menderita osteoartritis lutut .
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 hasil dari wawancara pada usia ≥ 15
tahun rata-rata prevalensi penyakit sendi/rematik sebesar 24,7%. Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan prevalensi OA tertinggi yaitu sekitar
33,1% dan provinsi dangan prevalensi terendah adalah Riau yaitu sekitar 9%. Sekitar
32,99% lansia di Indonesia mengeluhkan penyakit degeneratif seperti asam urat,
rematik/radang sendi, darah tinggi, darah rendah, dan diabetes
 Permasalahan
OA lutut merupakan salah satu penyebab morbiditas dan ketidakmampuan pada
seseorang terutama pada orang diusia tua. Gejala yang paling banyak terjadi adalah
nyeri dan kekakuan sendi. Gejala tersebut bisa menyebabkan ketidakmampuan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari yang mana bisa mempengaruhi kapabilitas kerja dan
kualitas hidup seseorang
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Intervensi diberikan setelah diagnosis OA dapat ditegakan. OA dapat mengenai sendi-
sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki,
pinggul, lutut.
- Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada sumsum
tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat osteofit, distensi, instabilnya
kapsul sendi, serta spasme pada otot atau ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan
aktifitas berat. Pada tahap yang lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat
membuat perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat.
- Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari ketika setelah
duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.
- Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi rawan. -
Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan sebagai nodus
Heberden (karena adanya keterlibatan sendi Distal Interphalangeal (DIP)) atau nodus
Bouchard (karena adanya keterlibatan sendi Proximal Phalangeal (PIP)). Pembengkakan
pada tulang dapat menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan sendi yang
progresif.
- Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-lahan mengalami
pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau lutut.
 Pelaksanaam
Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda dan gejala OA, meningkatkan
kualitas hidup, meningkatkan kebebasan dalam pergerakan sendi, serta memperlambat
progresi osteoartritis. Spektrum terapi yang diberikan meliputi fisioterapi, pertolongan
ortopedi, farmakoterapi, pembedahan, rehabilitasi.
a. Terapi konservatif
Terapi konservatif yang bisa dilakukan meliputi edukasi kepada pasien, pengaturan
gaya hidup, apabila pasien termasuk obesitas harus mengurangi berat badan, jika
memungkinkan tetap berolah raga (pilihan olah raga yang ringan seperti bersepeda,
berenang).
b. Fisioterapi
Fisioterapi untuk pasien OA termasuk traksi, stretching, akupuntur, transverse
friction (tehnik pemijatan khusus untuk penderita OA), latihan stimulasi otot,
elektroterapi.
c. Pertolongan ortopedi
Pertolongan ortopedi kadang-kadang penting dilakukan seperti sepatu yang bagian
dalam dan luar didesain khusus pasien OA, ortosis juga digunakan untuk
mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi.
d. Farmakoterapi - Analgesik / anti-inflammatory agents. 17 COX-2 memiliki efek anti
inflamasi spesifik. Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi harus selalu
dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas. Contoh: Ibuprofen : untuk efek
antiinflamasi dibutuhkan dosis 1200-2400mg sehari. Naproksen : dosis untuk terapi
penyakit sendi adalah 2x250- 375mg sehari. Bila perlu diberikan 2x500mg sehari. -
Glucocorticoids Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat menghilangkan efusi
sendi akibat inflamasi. Contoh: Injeksi triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi
hexacetonide 10 mg atau 40 mg. - Asam hialuronat - Kondroitin sulfat - Injeksi
steroid seharusnya digunakan pada pasien dengan diabetes yang telah
hiperglikemia. Setelah injeksi kortikosteroid dibandingkan dengan plasebo, asam
hialuronat, lavage (pencucian sendi), injeksi kortikosteroid dipercaya secara
signifikan dapat menurunkan nyeri sekitar 2-3 minggu setelah penyuntikan
 Monitoring dan Evaluasi
Monitoring yang perlu dilakukan pada pasien OA adalah factor resiko yang dapat
memperberat OA, terutama factor resiko yang dapat diubah, diantara lain adalah:
- Obesitas
Obesitas merupakan faktor penting terkait perkembangan OA pada lutut tetapi
hubungan ini lebih kuat pada wanita. Risiko 19 terjadinya OA dua kali lebih besar pada
orang dengan berat badan berlebih dari pada kelompok orang dengan berat badan
normal. Selain itu dilihat dari perubahan radiologis, obesitas merupakan prediktor
ketidakmampuan yang progresif. Tetapi hubungan ini tidak jelas pada OA panggul dan
OA tangan.
- Riwayat bedah lutut atau trauma
Trauma pada sendi merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit OA. Hal ini
dikarenakan kemungkinan adanya kerusakan pada mayor ligamen, tulang pada sekitar
sendi tersebut. Trauma merupakan faktor risiko pada OA lutut karena kerusakannya bisa
menyebabkan perubahan pada meniskus, atau ketidakseimbangan pada anterior
ligamen krusial dan ligamen kolateral.
- Aktivitas berat yang berlangsung lama
Penggunaan sendi dalam aktivitas berat yang berlangsung lama menjadi faktor risiko
berkembangnya penyakit OA. Pekerjaan seperti kuli angkut barang, memanjat
menyebabkan peningkatan OA lutut, hal ini biasanya terjadi pada laki-laki. Selain itu
kebiasaan yang membungkuk terlalu lama seperti petani, atau tukang cuci
meningkatkan risiko terjadinya OA panggul. Altet olahraga wanita ataupun lelaki
menunjukkan faktor risiko besar terjadinya OA lutut dan panggul

c. Common Cold
 Latar Belakang
Common Cold adalah infeksi primer di nasofaring dan hidung yang sering
mengeluarkan cairan, penyakit ini banyak dijumpai pada bayi dan anak. Dibedakan
istilah nasofaring akut untuk anak dan common cold untuk orang dewasa oleh karena
manifestasi klinis penyakit ini pada orang dewasa dan anak berlainan. Pada anak infeksi
lebih luas , mencakup daerah sinus paranasal, telinga tengah disamping nasofaring,
disertai demam yang tinggi. Pada orang dewasa infeksi mencakup daerah terbatas dan
biasanya tidak disertai demam yang tinggi.
Pada dasarnya penyakit batuk dan pilek pada Bayi maupun Balita dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Sebagian besar penyebabnya adalah virus. Selain virus
batuk dan pilek serta demam tidak saja dipengaruhi oleh virus tetapi dapat juga
disebabkan oleh bakteri
 Permasalahan
Pada Bayi, Balita dan Anak, infeksi saluran nafas yaitu Common cold sangat berbahaya
karena dapat menggangu makan dan kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran nafas
bawah yang lebih akut apabila tidak ada perhatian khusus dari orang tua maupun peran
perawat di masyarakat serta menentukan apakah diperlukan intervensi medis
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Intervensi yang dapat di berikan pada pasien dengan common cold di pilih
berdasarkan beratnya gejala yang dirasakan oleh pasien. Gejala yang muncul
dapat beraneka ragam tergantung daya tahan tubuh pasien. Gejalanya diantara
lain:
1. Gejala mulai timbul dalam waktu 1-3 hari setelah terinfeksi.
2. Biasanya gejala awal berupa rasa tidak enak di hidung atau tenggorokan.
3. Kemudian penderita mulai bersin-bersin, hidung meler dan merasa sakit
ringan.
4. Biasanya tidak timbul demam, tetapi demam yang ringan bisa muncul pada
saat terjadinya gejala.
5. Hidung mengeluarkan cairan yang encer dan jernih dan pada hari-hari
pertama jumlahnya sangat banyak sehingga mengganggu penderita.
6. Selanjutnya sekret hidung menjadi lebih kental, berwarna kuning-hijau dan
jumlahnya tidak terlalu banyak.
7. Gejala biasanya akan menghilang dalam waktu 4-10 hari, meskipun batuk
dengan atau tanpa dahak seringkali berlangsung sampai minggu kedua
Dimana gejalnya hidung berair, kadang tersumbat, lalu di ikuti dengan batuk
dan demam. Jika cairan atau lendir banyak keluar dari hidung bayi sehingga
membuatnya kesulitan untuk bernafas.

Selain itu gejala nasofaringitis dengan pilek, batuk sedikit dan kadang-
kadang bersin. Dari hidung keluar sekret cair dan jernih yang dapat kental dan
parulen bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus. Secret ini sangat merangsang
anak kecil. Sumbatan hidung (kongesti) menyebabkan anak bernafas melalui
mulut dan anak menjadi gelisah. Pada anak yang lebih besar kadang-kadang
didapat rasa nyeri pada otot, pusing dan anareksia. Sumbatan hidung (Kongesti)
di sertai selaput lendir tenggorok yang kering menambah rasa nyeri.

Gejala yang umum adalah batuk, sakit tenggorokan, pilek, hidung


tersumbat, dan bersin, kadang-kadang disertai dengan mata merah, nyeri otot,
kelelahan, sakit kepala, kelemahan otot, menggigil tak terkendali, kehilangan
nafsu makan, dan kelelahan ekstrim jarang. Demam lebih sering merupakan
gejala influenza, virus lain atas infeksi saluran pernapasan yang gejalanya luas
tumpang tindih dengan dingin, tapi lebih parah. Gejala mungkin lebih parah
pada bayi dan anak-anak (karena sistem kekebalan tubuh mereka tidak
sepenuhnya berkembang) serta orang tua (karena sistem kekebalan tubuh
mereka sering menjadi lemah).

 Pelaksanaan
Virus penyebab selesma atau comond cold sangat mudah menyebar, baik
melalui kontak langsung maupun lewat udara atau cairan tubuh. Untuk menghindarkan
diri dari penyakit commond cold ini, secara umum yang perlu diperhatikan dan
dilakukan setiap harinya, antara lain:
1. Menjaga kebersihan perorangan seperti sering mencuci tangan, menutup mulut
ketika batuk dan bersin, dan membuang ludah / dahak dari mulut dan ingus hidung
dengan cara yang bersih dan tidak sembarangan.
2. Bila memungkinkan, hindari jangan sampai berjejal di satu ruangan, misalnya ruang
keluarga, atau tempat tidur. Ruangan harus memiliki ventilasi yang cukup lega.
3. Hindari merokok di dalam rumah, apalagi dimana ada banyak anak-anak.
4. Berpola hidup sehat, hindari minum alkohol, stres, istirahat cukup, dll.
5. Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan.
6. Bila akan menyentuh/menggendong bayi, cucilah tangan dahulu.
7. Makan makanan yang bersih, higienis, sehat, gizi-nutrisi seimbang. Idealnya 4 sehat 5
sempurna.
8. Memperhatikan dan menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan.
9. Konsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum memutuskan untuk menggunakan
obat-obatan, jamu, jamur, herbal, atau suplemen untuk mengatasi comond cold.
Pengobatan Penyakit Common cold Saat ini, tidak ada terapi antiviral yang
efektif untuk pengobatan common cold. Oleh karena common cold merupakan penyakit
yang self-limiting, yaitu sembuh dengan sendirinya, maka pengobatan hanya ditujukan
untuk meredakan gejala. Terapi yang direkomendasikan adalah obat yang spesifik untuk
gejala tertentu.Obat semprot hidung yang mengandung dekongestan dapat digunakan,
tapi tidak melebihi 3 hari untuk mencegah efek rebound. Bersin-bersin dan hidung
berair dapat diredakan dengan antihistamin.Namun tidak semua antihistamin efektif
untuk meredakan gejala tersebut

 Monitoring dan Evaluasi

Perlu diberikan edukasi kepada ibu yang memiliki bayi ataupun balita mengenai
penularan dari common cold, agar hal tersebut dapat dicegah. Bayi dan anak dapat
tertular virus penyebab common cold melalui:
1. Penularan melalui udara. Bila seseorang sakit batuk-pilek, saat dia batuk, bersin atau
berbicara bisa menularkan virus pada bayi dan anak.
2. Kontak langsung. Virus dapat menular ketika orang yang sedang sakit menyentuh
hidung/mulutnya, lalu menyentuh tangan bayi/anak, selanjutnya bayi/anak menyentuh
hidung/mulutnya dengan tangannya yang sudah terkontaminasi virus.
3. Menyentuh benda yang terkontaminasi virus. Virus dari orang yang sedang sakit
dapat melekat di permukaan benda dalam waktu 2 jam atau lebih. Anak/bayi bisa
tertular bila menyentuh benda yang terkontaminasi virus lalu menyentuh
mulut/hidungnya.

d. Dyspepsia

 Latar Belakang
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak tidak jelas diketahui. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami nyeri perut
setiap minggu dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari seluruh anak
dan remaja rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang dialaminya ke dokter.

Di Indonesia, angka prevalensi dispepsia fungsional secara keseluruhan belum


ada hingga saat ini. Pada tahun 1991 di RS Cipto Mangunkusumo, terdapat 44% kasus
dispepsia fungsional dari 52 pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan endoskopi.9
Harahap pada penelitian di RS Martha Friska Medan tahun 2007 mendapatkan dispepsia
fungsional sebanyak 78,8% dari 203 pasien yang diperiksa.

Lebih dari 50% pasien dispepsia fungsional berada dalam masa pengobatan
sepanjang waktu, pengeluaran biaya untuk pengobatan tidak sedikit dan kira-kira 30%
pasien dilaporkan mengambil libur dalam bekerja dan sekolah akibat dari kekambuhan
gejala penyakit, sehingga menurunkan kualitas hidup. Stress psikologis merupakan salah
satu faktor resiko yang sering menjadi pencetus kekambuhan dispepsia, termasuk
didalamnya kecemasan, hipersensitivitas dan neurotisme

 Permasalahan
Tingginya angka kunjungan pasien dengan dyspepsia fungsional ke UGD
Puskesmas 1 Muara Bungo, setidaknya setiap minggu terdapat 3-5 pasien dengan
dyspepsia. Kekambuhan penyakit dispepsia fungsional merupakan masalah yang tidak
fatal, tapi keluhan penderita sangat mengganggu kegiatan sehari-hari.
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
Pada pasien dapat diberikan terapi farmakologi ataupun non farmakaologi
tergantung ringan atau beratnya gejala yang muncul. Sindroma dispepsia dapat bersifat
ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan
penyakit. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri
dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan
suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat
memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri.
Gejala lain meliputi nafsu makan menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut
kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala
lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan. Gejala klinis
dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit perut berulang yang
disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai tanda peringatan (alarm symptoms)
seperti pada tabel berikut.
 Pelaksanaam
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa
pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah : pemberantasan Hp, Itoprid,
PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti adalah antasida,
antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, reseptor AH2, misoprostol, golongan
prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.
Penanganan dispepsia fungsional dapat dilakukan dengan non farmakologi dan
farmakologi
 Monitoring dan Evaluasi
Selain terapi farmakologi pada pasien dyspepsia dapat diberikan terapi non
farmakologi. Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya
dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologi. Gejala
dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak,
kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu
mengurangi intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk menghindari makan yang
terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan seharihari
menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk
hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku

e. Kesehatan Masyarakat Bergerak


 Latar belakang
Penguatan upaya kesehatan dasar (primary health care) yang berkualitas
merupakan salah satu arah kebijakan kesehatan dalam RPJMN 2015- 2019.
Namun, akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar saat ini masih belum
menjangkau seluruh penduduk, terutama di daerah tertinggal, terpencil, dan
kepulauan. Pelayanan kesehatan dasar sangat diperlukan untuk pencapaian target
MDGs yang belum tercapai, Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 dan
Standar Pelayanan Minimum (SPM). Keberhasilan pelayanan kesehatan dasar
yang utamanya promotif dan preventif akan mengurangi beban pelayanan
lanjutan.
Pelayanan kesehatan dasar yang juga disebut basic health services terdiri
dari beberapa jenis pelayanan kesehatan yang dianggap esensial (sangat penting)
untuk menjaga kesehatan seseorang, keluarga dan masyarakat agar hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa jenis-jenis pelayanan tersebut ditetapkan atas dasar kondisi
epidemiologi suatu negara. WHO juga menyarankan bahwa jenis pelayanan
tersebut harus sudah terbukti cost effective, affordable, dan praktis untuk
dilaksanakan.
 Permasalahan
Akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar saat ini masih belum
menjangkau seluruh penduduk kabupaten Muara Bungo, hal ini disebabkan
karena masih ada daerah yang berlokasi cukup jauh dari pusat pelayanan primer.
 Perancanaan dan pemilihan Intervensi
Oleh karena permasalahan diatas, IDI, IBI dan organisasi kesehatan
lainnya membuat rancangan program “Kesehatan Masyarakat Bergerak” dimana
rencananya akan dibentuk tim dari segala bidang kesehatan yang akan mendatangi
daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh pusat kesehatan pelayanan primer.
 Pelaksanaan
Kegiatan Kesehatan masyarakat bergerak ini dilakukan di Pulau Batu,
dimana daerah ini merupakan kecamatan terjauh dari kabupaten Bungo. Kegiatan
melibatkan seluruh bidang kesehatan seperti pemeriksaan dan pengobatan
kesehatan oleh dokter umum, konsultasi yang dapat di lakukan pada dokter
speialis, untuk kegiatan kali ini di hadiri oleh dokter spesialis anak dan penyakit
dalam, pemeriksaan dan perawatan gigi oleh dokter gigi, pemeriksaan IVA oleh
bidan. Selain itu masyarakat juga dapat memeriksakan kesehatan di laboratorium
sederhanna seperti pemeriksaan Hb, gula darah, asam urat dan kolesterol.
 Monitoring dan evaluasi
Kegiatan ini dimonitoring langsung oleh dinas kesehatan Muara Bungo,
diharapkan dengan dilakasnakannya kegiatan ini seluruh masyarakat muara bungo
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dan kegiatan ini dilakukan kembali
kedaerah daerah lainnya yang belum terjamah oleh tenaga pusat kesehatan
pelayanan primer lainnya.

 Latar Belakang
 Permasalahan
 Perencanaan dan Pemilihan Intervensi
 Pelaksanaam
 Monitoring dan Evaluasi

Anda mungkin juga menyukai