ÀQIQÅH
Ummu Salamah As-Salafiyah
Dari Yūsuf bin Maḥak bahwa mereka pernah masuk menemui Hafshåh binti
Àbdirråhman, lalu mereka bertanya kepadanya tentang aqiqåh, maka dia
memberitahu mereka bahwa ‘Ā`isyah pernah memberitahunya bahwa Råsūlullǻh
Shållallǻhu Àlayhi wa sallam telah memerintahkan mereka untuk menyembelih
dua ekor kambing yang sama bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing bagi
seorang anak perempuan. [HR. At-Tirmidzi, shåḥīḥ]
Dari Àbdullǻh bin Àmr, dia berkata, “Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam
pernah ditanya tentang aqiqåh, maka beliau menjawab, Allǻh tidak menyukai
kedurhakān.’ -seolah-olah beliau tidak menyukai nama tersebut-. Maka dikatakan
kepada Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam , ‘Sesungguhnya kami bertanya
kepadamu, salah seorang di antara kami dianugeråhi seorang anak?’ Beliau
bersabda:
.⚫ َم ْن َأ َح َّب َأ ْن يَن ْ ُس َك ع َْن َو َ َِل ِه فَ ْل َين ْ ُس ْك َع ْن ُه ع َِن الْ ُغ َال ِم شَ اَتَ ِن ُم ََكفَأََتَ ِن َوع َِن الْ َجا ِري َ ِة شَ اة
⚫ ‘Barangsiapa yang hendak meng-Àqiqåhi anaknya, maka hendaklah dia
melakukannya. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan
bagi seorang anak perempuan satu ekor kambing.’”
[HR. An-Nasā`i, ḥasan]
Dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (IV/101) melalui jalan al-Ḥasan dari Samuråh,
dia berkata, Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam bersabda:
َّ ⚫ َالْ ُغ َال ُم ُم ْرَتَ َن ِب َع ِقيقَ ِت ِه يُ ْذب َ ُح َع ْن ُه ي َ ْو َم
السا ِبع ِ َوي َُس َّمى َو ُ ُْيلَ ُق َر ْأ ُس ُه
⚫ “Seorang anak itu tertahan dengan Àqiqåhnya, disembelihkan untuknya
pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambut nya.”
Ḥadits ini shåḥīḥ.
Dan al-Ḥasan telah mendengarnya dari Samuråh. Imam al-Bukhåri mengatakan: -
sebagaimana dalam kitab Fatḥul Bāri (IX/590)- Telah mengatakan kepadaku
Àbdullǻh bin Abul Aswad, beliau berkata: Quråisy bin Anas memberitahu kami
dari Ḥabib bin asy-Syahid, dia berkata, Ibnu Sirin menyuruhku untuk bertanya
kepada al-Ḥasan dari siapakah dia mendengar ḥadits tentang Àqiqåh. Lalu aku
bertanya kepadanya, maka dia pun men-jawab, “Dari Samuråh bin Jundub.”
Dan makna ُم ْرَتَ َن ِب َع ِق ْيقَ ِت ِهadalah bahwa ia tertahan untuk memberi syafaàt kepada
kedua orang tuanya. Menurut bahasa, kata ar-råhn berarti tertahan.
Allǻh TaÀla berfirman :
Dalam masalah inipun para ulama telah berselisih menjadi dua madzhab.
❶ Madzhab yang pertama :
Mengatakan bahwa menghitung jumlah tujuh hari itu ialah dengan memasukkan
hari kelahirånnya sebagai hari pertama atau dihitung satu hari.
Diperbolehkan selain wali anak, untuk mengurusi sembelihan nasikah dan tidak
ada larångan dalam hal itu. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa
sallam dari ḥadits Samuråh rådhiyallǻhu Ànhu.
ُّ ُ ⚫
َّ ُك غُ َال ٍم ُم ْر َا ِه ُن ِب َع ِق ْيقَ ِت ِه ت ُْذب َ ُح َع ْن ُه ي َ ْو َم
ِ السا ِبع
“Artinya : Setiap anak tergadai dengan Àqiqåhnya yang disembelih pada hari
ketujuh kelahirånnya…”
Berkata Al-Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Authår (5/133) : “Ucapan Nabi
Shållallǻhu Àlayhi wa sallam : “disembelih untuknya” ada dalil di dalamnya bahwa
boleh bagi orang lain untuk mengurusi penyembelihan nasikah tersebut,
sebagaimana bolehnya kerabat mengurusi kerabatnya dan seseorang mengurusi
dirinya”
Kami katakan :
Perbuatan Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam juga termasuk dalil yang terbesar
atas kebolehan tersebut di mana beliau Shållallǻhu Àlayhi wa sallam telah meng-
Àqiqåhi kedua cucunya Al-Ḥasan dan Al-Ḥusain.
2) Bilal bin KaÀb Al-Akki’ berkata : “Kami yakni aku, Ibrǻhīm bin Adhåm, Àbdul
Àziz bin Qårir dan Mūsa bin Yasar, mengunjungi Yaḥya bin Ḥasan Al-Bakri Al-
Filisthini di kampungnya. Maka Yaḥya datang pada kami dengan membawa
makanan. Mūsa tidak ikut memakan hidangan karena ia sedang puasa. Maka
berkata Yaḥya : “Telah mengimani kami di masjid ini selama 40 tahun seorang
lelaki dari Bani Kinanah dari saḥabat Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam yang
kunyahnya Abu Qurshåfah. Kebiasan Abu Qurshåfah ini adalah puasa sehari
dan berbuka sehari. Lalu lahir anaknya ayahku maka ayahku mengundangnya
bertetapan dengan hari puasanya, maka ia berbuka”
‘Ibrǻhīm berdiri lalu menyapunya dengan bajunya dan Mūsa berbuka dari
puasanya [3] Dikeluarkan oleh Al-Bukhåri dalam Al-Adābul Mufråd (1253) dan sanadnya dhå’if. Di
dalam sanadnya ada Muḥammad bin Àbdul Àziz Al-‘Umari : “Ia suhuduq sering wahm” seperti yang
dinyatakan dalam “At-Taqrib”. Dan råwi yang bernama Bilal bin KaÀb kata Al-Ḥafidzh ia maqbul yakni
jika ada yang mengikutinya dalam periwayatan.
Terjadi perbedān pendapat tentang makna Àqiqåh secara bahasa, dalam hal ini
ada tiga pendapat.
a. Pendapat Pertama
Pendapat Abu Ubaid dan Al-Ashma’i dan selain keduanya bahwa asal kata
Àqiqåh adalah rambut yang beråda di kepala bayi ketika dilahirkan.
Kambing yang disembelih berkenān dengan kelahirån anak dinamakan
Àqiqåh karena rambut tersebut (yang ada pada bayi) dicukur ketika diadakan
penyembelihan. Ini termasuk penamān sesuatu dengan nama malabisnya, dan
ini termasuk cara orang Aråb dalam ucapannya (yakni diberikan istilah
Àqiqåh bagi kambing yang disembelih itu dengan meminjam nama dari
perkara lain –dalam hal ini istilah bagi rambut di kepala bayi ketika
dilahirkan- yang punya kaitan dengannya,-pent)
b. Pendapat Kedua.
Àqiqåh adalah penyembelihan itu sendiri. Ini merupakan pendapat Imam
Aḥmad –semoga Allǻh meråhmati beliau- dan beliau menyalahkan Abu Ubaid
dan orang yang sependapat dengannya.
c. Pendapat Ketiga
Àqiqåh meliputi dua pendapat di atas dan ini pendapatnya Al-Jauhari dalam
Ash-Shiḥah. Kata Ibnul Qåyyim : “Pendapat ini yang lebih utama (tepat)
wallǻhu a’lam”.
Terjadi pula perbedān pendapat di kalangan ulama tentang hukum memutlakkan
nama Àqiqåh. Dalam hal ini ada tiga pendapat.
a. Pertama.
Makruh berdasarkan ḥadits Amr bin SyuÀib dari bapaknya dari kakeknya
bawha Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam ditanya tentang Àqiqåh maka
beliau bersabda : “ Àllǻh tidak menyukai ‘uquq (secara bahasa makna uquq
adalah durhaka, -pent) –seakan-akan beliau tidak menyukai nama itu-. Para
saḥabat berkata : “Ya Råsūlullǻh , kami hanyalah menanyakan kepadamu
tentang apa yang harus dilakukan salah seorang dari kami (ketika) kelahirån
anak”. Beliau bersabda.
Kami katakan :
Apa yang kita saksikan sekarång dari saudarå-saudarå kita, mereka justru
meninggalkan nama syar’i –tentunya ini menjadi masalah- dan mereka
memberikan nama (dengan nama) yang tidak syar’i, hingga bila anda
menyebutkan dihadapan seseorang tentang kata nasikah niscaya ia akan meminta
kepadamu penjelasan makna dari kata tersebut. Karena itu kami memberi
peringatan pentingnya untuk kembali pada lafadz-lafadz syar’i yang telah
ditinggalkan, agar beredar lafadz ini dari mulut ke mulut di tempat perkumpulan
kita, hingga tersebarlah nama ini kita tidak mengganti lafadz syar’i dengan yang
selainnya agar kita tidak terjatuh pada (perbuatan) sebagaimana firman Allǻh.
“Artinya :
Lalu orang-orang zhålim itu mengganti ucapan (perintah) dengan apa yang
tidak diucapkan (diperintahkan) kepada mereka”
[Al-Baqåråh : 58]
Berkata Al-Ḥafidz ibnu Ḥajar dalam Fatḥul Bāri (9/588) setelah membawakan
ḥadits (Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam ketika ditanya tentang Àqiqåh) :
“maksud yang diambil dari ḥadits ini adalah lebih utama menamakan
AḤKAMUL ÀQIQÅH
Abu Muḥammad 'Ishom bin Mar'i
A. PENGERTIAN ÀQIQÅH
Imam Ibnul Qåyyim råḥimahullǻh dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.25-26,
mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Àqiqåh ialah “Menyembelih hewan
pada hari ketujuhnya dan mencukur rambut nya.” Selanjutnya Ibnu Qåyyim
råḥimahullǻh berkata :
“Dari penjelasan ini jelaslah bahwa Àqiqåh itu disebut demikian karena
mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.”
Imam Aḥmad råḥimahullǻh dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila
ditinjau dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan Àqiqåh adalah makna
berkurban atau menyembelih (An-Nasikah).
B. DALIL-DALIL SYAR'I TENTANG ÀQIQÅH
a. Ḥadits No.1 :
Dari Salman bin Àmir Ad-Dhåbiy, dia berkata : Råsūlullǻh bersabda : “Àqiqåh
dilaksanakan karena kelahirån bayi, maka sembelihlah hewan dan
hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Shåḥīḥ Ḥadits Riwayat Bukhåri
(5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fatḥul Bāri (9/590-592), dan Irwaul
Ghålil (1171), Syaikh Albani]
Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau
menghilangkan semua gangguan yang ada [Fatḥul Bāri (9/593) dan Nailul
Authår (5/35), Cetakan Dārul Kutub Al-‘Ilmiyah, pent]
b. Ḥadits No.2 :
Dari Samuråh bin Jundab dia berkata : Råsūlullǻh bersabda : “Semua anak
bayi tergadaikan dengan Àqiqåhnya yang pada hari ketujuhnya disembelih
hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambut nya.” [Shåḥīḥ, Ḥadits
Riwayat Abu Dāwud 2838, Tirmidzi 1552, Nasā`i 7/166, Ibnu Mājah 3165,
Aḥmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]
c. Ḥadits No.3 :
Dari ‘Ā`isyah dia berkata : Råsūlullǻh bersabda : “Bayi laki-laki di-Àqiqåhi
dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shåḥīḥ,
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 11 -
[@AMAL]
menyimpang jauh dari ḥadits-ḥadits yang tsabit (shåḥīḥ) dari Råsūlullǻh karena
berdalih dengan ḥujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.” [Sebagaimana
dinukil oleh Ibnu Qåyyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuḥfatul Maudud” hal.20,
dan Ibnu Ḥajar al-Asqålani dalam “Fatḥul Bāri” (9/588)].
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 13 -
[@AMAL]
Tetapi al-Ḥafidz Ibnu Ḥajar råhimahullǻh berkata dalam kitabnya “Fatḥul Bāri”
(9/592) : “…..meskipun ḥadits riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shåḥīḥ), tidaklah
menafikan ḥadits mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki.
Maksud ḥadits itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya meng-Àqiqåhi bayi
laki-laki dengan satu kambing….”
Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan Àqiqåh
dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shåḥīḥ adalah laki-laki
dengan dua kambing.
Pertanyān.
Bolehkah berkurban atau Àqiqåh dengan kambing betina yang sedang hamil?
08522913XXXX
❖ Kalau anak laki-laki lahir, kambing Àqiqåhnya beråpa?
❖ Jantan atau betina?
❖ Dan kalau tidak mampu bagaimana?
❖ Apakah bisa ditunda dulu?
❖ Apa harus pada hari ke-7?
❖ Mohon penjelasan.
Ismail, Kolaka, Sultrå, 081524203xxxx
Jawaban.
Persoalan yang disampaikan oleh dua penanya ini, kami gabungkan jawabannya,
sebagai berikut :
Àqiqåh disyariatkan dalam Islam, sebagaimana Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa
sallam meng-Àqiqåhi Al Ḥasan dan Al Ḥusain. Namun para ulama berselisih
tentang hukumnya. Sebagian ada yang mewajibkan dan mayoritas mereka
mensunnahkannya.
Imam Aḥmad berkata: Al Àqiqåh merupakan Sunnah dari Råsūlullǻh Shållallǻhu
Àlaihi wa sallam . Beliau Shållallǻhu Àlaihi wa sallam telah melakukan Àqiqåh
untuk Al Ḥasan dan Al Ḥusain. Para saḥabat Beliau juga melakukannya. Dan dari
Samuråh, Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda:
ُّ ُ ⚫
ُك غُ َال ٍم ُم ْرَتَ ِ ُن ِب َع ِق ْيقَ ِت ِه
"Semua anak yang lahir tergadaikan dengan Àqiqåhnya"
[HR Abu Dāwud , At Tirmidzi dan An Nasā`i].
Sehingga tidak patut, jika seorang bapak tidak melakukan Àqiqåh untuk anaknya.
[1] Perkatān Imam Aḥmad ini kami nukil dari Al Muntaqå Min Fatawa Syaikh Shåliḥ Fauzan (3/194).
Àqiqåh disyariatkan pada orang tua sebagai wujud syukur kepada Allǻh dan
mendekatkan diri kepadaNya, serta berharap keselamatan dan baråkah pada
anak yang lahir tersebut [2]. Al Muntaqå Min Fatawa Syaikh Al Fauzan (3/194).
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 19 -
[@AMAL]
Waktu pelaksanānya, disunnahkan pada hari ketujuh. Jika tidak dapat, maka pada
hari keempat belas. Bila tidak, maka pada hari kedua puluh satu. Sebagaimana
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam pernah bersabda :
ُّ ُ ⚫
َّ ُك غُ َال ٍم ُم ْر َا ِه ُن ِب َع ِق ْيقَ ِت ِه ت ُْذب َ ُح َع ْن ُه ي َ ْو َم
ِ السا ِبع
"Semua anak yang lahir tergadaikan dengan Àqiqåhnya, yang disembelih pada hari
ketujuh". [HR Ibnu Mājah , Abu Dāwud dan At Tirmidzi, dan dishåḥīḥkan Al Albani
dalam Shåḥīḥ Al Jami’ Ash Shåghir, 2563]. [3] Al Wajiz Fi Fiqhi As Sunnah Wal Kitab Al Aziz,
Abdul Àzhim Badawi, hlm. 405.
Dengan demikian, maka sah bila seseorang menyembelih kambing betina dalam
kurban dan Àqiqåh, walaupun yang utama dan dicontohkan Råsūlullǻh Shållallǻhu
Àlaihi wa sallam ialah kambing jantan yang bertanduk.
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 21 -
[@AMAL]
ALMANHAJ.0R.ID ⓪⑤⑧ | ÀQIQÅH & QURBAN|
⓿❺❽⓪⑥
HEWAN KURBAN
Syaikh Àli bin Ḥasan bin Àli Abdul Ḥamid Al-Ḥalabi Al Atsari
Sisi pendalilannya adalah beliau melarång orang yang memiliki kelapangan harta
untuk mendekati mushålla jika ia tidak menyembelih kurban. Ini menunjukkan
bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada faedah
mendekatkan diri kepada Allǻh bersamān dengan meninggalkan kewajiban ini.
② KEDUA
Dari Jundab bin Àbdullǻh Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban, aku
menyaksikan Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda.
ِ َّ اْس
اَّلل َّ ⚫ َم ْن َذب َ َح قَ ْب َل
ِ ْ َو َم ْن لَ ْم يَ ُك ْن َذب َ َح فَ ْل َي ْذب َ ْح عَ ََّل,الصال ِة فَ ْل َي ْذب َ ْح شَ ا ًة َم ََكَنَ َا
"Siapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shålāt maka hendaklah ia
mengulang dengan hewan lain, dan siapa yang belum menyembelih kurban
Perintah secara dhåhir menunjukkan wajib, dan tidak ada [4] (Akan disebutkan bantahan-
bantahan terhadap dalil yang dipakai oleh orang-orang yang berpendapat bahwa hukum menyembelih
kurban adalah sunnah, nantikanlah.) perkara yang memalingkan dari dhåhirnya.
③ KETIGA
Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shållallǻhu
Àlaihi wa sallam berkhutbah pada hari Àråfah , beliau bersabda.
ِ ْ ⚫ َأهْلِ بَي ٍْت ِِف ُ ُِك عَا ٍم أ
َ ِ ه َْل تَدْ ِرى َما الْ َعتِ َريةُ؟.ُْض َّية َو َعتِ َرية
ِه ال َّ ِِت ت ُ َس َّمى َّالر َج ِب َّي ُة
"Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih Àtiråh [5] (Berkata Abu Ubaid dalam
"Ghåribul Ḥadits " (1/195) : "Atiråh adalah sembelihan di bulan Råjab yang orang-orang jahiliyah
mendekatkan diri kepada Allǻh dengannya, kemudian datang Islam dan kebiasān itu dibiarkan hingga
dihapus setelahnya.) setiap tahun. Tahukah kalian apa itu Àtiråh ? Inilah yang biasa
dikatakan orang dengan nama råjabiyah" [6] Diriwayatkan Aḥmad (4/215), Ibnu Mājah (3125)
Abu Daud (2788) Al-Baghåwi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasā`i (7/167) dan dalam sanadnya ada råwi
bernama Abu Råmlah, dia majhul (tidak dikenal). Ḥadits ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan Aḥmad
(5/76) namun sanadnya lemah. Tirmidzi mengḥasankannya dalam "Sunannya" dan dikuatkan Al-Ḥafidzh
dalam Fatḥul Bāri (10/4), Lihat Al-Ishåbah (9/151)
Perintah dalam ḥadits ini menunjukkan wajib. Adapun Àtiråh telah dihapus
hukumnya (mansukh), dan penghåpusan kewajiban Àtiråh tidak menghåruskan
dihapuskannya kewajiban kurban, bahkan hukumnya tetap sebagaimana asalnya.
Berkata Ibnul Atsir :
Àtiråh hukumnya mansukh, hal ini hanya dilakukan pada awal Islam. [7] Jami ul-ushul
(3/317) dan lihat Àl-Adilah Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan "Al-
Mughni" (8/650-651).
Mereka berkata [9] "Al-majmu" 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj" (4/282) 'Syarhus Sunnah" (4/348) dan
"Al-Muhalla" 98/3) :
"Dalam ḥadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan
kurban tidak wajib, karena beliau Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda :
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 23 -
[@AMAL]
"Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ...." , seandainya
wajib tentunya beliau tidak menyandarkan hal itu pada keinginan (irådah)
seseorang".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Råḥimahullǻh telah membantah syubḥat ini setelah
beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkatānnya [10] Majmu Al-
Fatawa (22/162-163).
Yakni siapa yang bermaksud shålāt JumÀt, (jadi) bukanlah takhyir ....
Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Nabi
Shållallǻhu Àlaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya -sebagaimana
diriwayatkan dalam "Sunan Abi Dāwud" (2810), "Sunan At-Tirmidzi" (1574) dan
"Musnad Aḥmad" (3/356) dengan sanad yang shåḥīḥ dari Jabir- bukanlah
pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan hal itu untuk orang yang
tidak mampu dari umatnya.
Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka gugurlah darinya
kewajiban ini.
Wallǻhu a'lam
[Disalin dari kitab Ahkāmu Al-'īdaini Fī Al-Sunnah Al-Muthåharåh, edisi Indonesia
Hari Raya Bersama Råsūlullǻh oleh Syaikh Ali Ḥasan bin Ali Abdul Ḥamid Al-
Ḥalabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haurå, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishåq
Zulfa Ḥusein]
Footnote.
[1]. Lihat Minhājul Muslim (355-356)
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 25 -
[@AMAL]
[2]. Riwayat Aḥmad (1/321), Ibnu Mājah (3123), Ad-Daruquthni (4/277), Al-Ḥakim
(2/349) dan (4/231) dan sanadnya ḥasan
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhåri (5562), Muslim (1960), An-Nasā`i (7/224), Ibnu Mājah
(3152), Ath-Thåyalisi (936) dan Aḥmad (4/312,3131).
[4]. Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap dalil yang dipakai oleh orang-orang
yang berpendapat bahwa hukum menyembelih kurban adalah sunnah, nantikanlah.
[5]. Berkata Abu Ubaid dalam "Ghåribul Ḥadits " (1/195) : "Atiråh adalah sembelihan di
bulan Råjab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kepada Allǻh dengannya,
kemudian datang Islam dan kebiasān itu dibiarkan hingga dihapus setelahnya.
[6]. Diriwayatkan Aḥmad (4/215), Ibnu Mājah (3125) Abu Dāwud (2788) Al-Baghåwi
(1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasā`i (7/167) dan dalam sanadnya ada råwi bernama
Abu Råmlah, dia majhul (tidak dikenal). Ḥadits ini memiliki jalan lain yang
diriwayatkan Aḥmad (5/76) namun sanadnya lemah. Tirmidzi mengḥasankannya
dalam "Sunannya" dan dikuatkan Al-Ḥafidzh dalam Fatḥul Bāri (10/4), Lihat Al-
Ishåbah (9/151)
[7]. Jami ul-ushul (3/317) dan lihat Àl-Adilah Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fī Kitab
was Sunnah (103-105) dan "Al-Mughni" (8/650-651).
[8]. Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasā`i (7/211dan 212), Al-Baghåwi
(1127), Ibnu Mājah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Aḥmad (6/289) dan (6/301 dan 311),
Al-Ḥakim (4/220) dan Ath-Thåhawi dalam "Syarhu MaÀnil Atsar" (4/181) dan jalan-
jalan Ummu Salamah rådhiyallǻhu Ànha.
[9]. "Al-majmu" 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj" (4/282) 'Syarhus Sunnah" (4/348) dan
"Al-Muhalla" 98/3)
[10]. Majmu Al-Fatawa (22/162-163).
[11]. Sama dengan di atas
[12]. Diriwayatkan Aḥmad (1/214,323, 355), Ibnu Mājah (3883), Abu NuÀim dalam Al-
Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun pada isnadnya ada kelemahan. Akan tetapi ada
jalan lain di sisi Abi Dāwud (1732), Ad-Darimi (2/28), Al-Ḥakim (1/448), Aḥmad
(1/225) dan padanya ada kelemahan juga, akan tetapi dengan dua jalan ḥadits nya
ḥasan In sya Allǻh. Lihat 'Irwaul Ghålil" oleh ustadz kami Al-Albani (4/168-169)
[13]. Dalam Àl-Binayah fi Syarhil Hadayah" (9/106-114)
[14]. Yang dimaksud adalah kitab "Al-Hadayah Syarhul Bidayah" dalam fiqih Ḥanafiyah.
Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yang biasa digunakan dalam madzhab ini.
Sebagaimana dalam "Kasyfudh Dhunun" (2/2031-2040). Kitab ini merupakan karya
Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat tahun (593H), biogråfinya bisa dilihat
dalam Àl-Fawaidul Bahiyah" (141).
[15]. Aku tidak mendapat lafadh seperti ini, dan apa yang setelahnya cukup sebagai
pengambilan dalil.
[16]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun Bukhåri , ia
meriwayatkannya dan Ibnu Umar dengan lafadh yang lain, nomor (877), 9894) dan
(919)
Ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hewan kurban. Sepantasnyalah bagi
seorang muslim untuk mengetahuinya agar ia beråda di atas ilmu dalam
melakukan ibadahnya, dan di atas keterångan yang nyata dari urusannya. Berikut
ini aku sebutkan hukum-hukum tersebut secara ringkas.
1) Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba jantan
[1] (Akan datang dalilnya pada point ke delapan) yang disembelihnya setelah shålāt ‘Ied.
3) Boleh mengakhirkan penyembelihan pada hari kedua dan ketiga setelah Idul
Adhḥa, karena ḥadits yang telah tsabit dari Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam
: (bahwa) beliau bersabda :
َشيْ ِق َذبَح ُّ ُ ⚫
ِ ْ َّ ُك َأ ََّّي ِم الت
"Artinya : Setiap hari Tasyriq ada sembelihan" [5] Dikeluarkan oleh Aḥmad (4/8), Al-
Baihaqi (5/295), Ibnu Hibban (3854) dan Ibnu Àdi dalam "Al-Kamil" (3/1118) dan pada sanadnya ada
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 27 -
[@AMAL]
yang terputus. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thåbari dalam 'Mu'jamnya" dengan sanad yang padanya
ada kelemahan (layyin). Ḥadits ini memiliki pendukung yang diriwayatkan Ibnu Adi dalam "Al-Kamil"
dari Abi Said Al-Khudri dengan sanad yang padanya ada kelemahan. Ḥadits ini ḥasan In sya Allǻh,
lihat 'Nishur Rayah" (3/61).
4) Termasuk petunjuk Nabi shållallǻhu Àlaihi wa sallam bagi orang yang ingin
menyembelih kurban agar tidak mengambil rambut dan kulitnya walau
sedikit, bila telah masuk hari pertama dari sepuluh hari yang awal bulan
Dzulḥijjah . Telah pasti larångan yang demikian itu. [7] Telah lewat takhrijnya pada
halaman 66, lihat 'Nailul Authår" (5/200-203).
Boleh berkurban dengan domba jantan yang dikebiri karena ada riwayat dari
Nabi shållallǻhu Àlaihi wa sallam yang dibawakan Abu Ya'la (1792) dan Al-
Baihaqi (9/268) dengan sanad yang diḥasankan oleh Al-Haitsami dalam "
Majma'uz Zawaid" (4/22).
6) Belaiu shållallǻhu Àlaihi wa sallam menyembelih kurban di tanah lapang
tempat dilaksanakannya shålāt . [11] Diriwayatkan oleh Al-Bukhåri (5552) An-Nasā`i
97/213) dan Ibnu Mājah (3161) dari Ibnu ‘Umar.
8) Hewan kurban yang afdhål (lebih utama) berupa domba jantan (gemuk)
bertanduk yang berwarna putih bercampur hitam di sekitar kedua matanya
dan di kaki-kakinya, karena demikian sifat hewan kurban yang disukai
Råsūlullǻh shållallǻhu Àlaihi wa sallam . [15] Sebagaimana dalam ḥadits ‘Ā`isyah yang
diriwayatkan Muslim (1967) dan Abu Dāwud (2792).
9) Disunnahkan seorang muslim untuk bersentuhan langsung dengan hewan
kurbannya (menyembelihnya sendiri) dan dibolehkan serta tidak ada dosa
baginya untuk mewakilkan pada orang lain dalam menyembelih hewan
kurbannya. [16] Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam permasalahan ini di antara
ulama, lihat point ke 13.
10) Disunnahkan bagi keluarga yang menyembelih kurban untuk ikut makan dari
hewan kurban tersebut dan menghådiahkannya serta bersedekah dengannya.
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 29 -
[@AMAL]
Boleh bagi mereka untuk menyimpan daging kurban tersebut, berdasarkan
sabda Nabi shållallǻhu Àlaihi wa sallam .
ُ ⚫ ُ ُُكوا َواد
َّخر ْوا َوت ََص َّدقُ ْو
"Artinya : Makanlah kalian, simpanlah dan bersedekahlah" [17] Diriwayatkan
oleh Bukhåri (5569), Muslim (1971) Abu Daud (2812) dan selain mereka dari ‘Ā`isyah rådhiyallǻhu
Ànha. Adapun riwayat larångan untuk menyimpan daging kurban masukh (dihapus), lihat 'Fatḥul Bari'
(10/25-26) dan "All'tibar" (120-122). Lihat Al-Mughni (11/108) oleh Ibnu Qudamah.
11) Badanah (unta yang gemuk) dan sapi betina mencukupi sebagai kurban dari
tujuh orang. Imam Muslim telah meriwayatkan dalam "Shåḥīḥnya" (350) dari
Jābir rådhiyallǻhu Ànhu ia berkata.
ُ َحن َْرنَ ِِبلْ ُحدَ ِب َّي ِة َم َع النَّ ِ َِّب َص ََّّل
َوالْ َبقَ َر َة ع َْن َس ْب َع ٍة،هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل ال َب َذن َ َة ع َْن َس ْب َع ٍة
"Artinya : Di Hudaibiyah kami menyembelih bersama Nabi shållallǻhu
Àlaihi wa sallam satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi betina untuk
tujuh orang".
12) Upah bagi tukang sembelih kurban atas pekerjānnya tidak diberikan dari
hewan kurban tersebut, karena ada riwayat dari Àli rådhiyallǻhu ia berkata.
َو َأ ْن َأت ََصد ََّق ِبلُ ُح ْو ِمهَا َو ُجلُ ْو ِدهَا،هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل َأ ْن َأقُ ْو َم عَ ََّل بُدْ ِن ِه ِ َم َر ِ ِن َر ُس ْو ُل
ُ اَّلل َص ََّّل
َ َو َ ْحن ُن ن ُِعط ْي ِه ِم ْن ِع ْن ِد ن: قَا َل،عطى اجلَ ِز َر ِمْنْ َا شَ ْيئًا َ َو َح َال ِلهَا َو َأ ْن َإل َأ
"Artinya : Råsūlullǻh shållallǻhu Àlaihi wa sallam memerintahkan aku
untuk mengurus kurban-kurbannya, dan agar aku bersedekah dengan
dagingnya, kulit dan apa yang dikenakannya [18] (Dalam Al-Qåmus yang dimaksud
adalah apa yang dikenakan hewan tunggangan untuk berlindung dengannya) dan aku tidak
boleh memberi tukang sembelih sedikitpun dari hewan kurban itu. Beliau
bersabda : Kami akan memberikannya dari sisi kami" [19] Diriwayatkan dengan
lafadh ini oleh Muslim (317), Abu Daud (1769) Ad-Darimi (2/73) Ibnu Mājah (3099) Al-baihaqi (9/294)
dan Aḥmad (1/79,123,132 dan 153) Bukhåri meriwayatkannya (1716) tanpa lafadh : "Kami akan
memberinya dari sisi kami".
13) Siapa di antara kaum muslimin yang tidak mampu untuk menyembelih
kurban, ia akan mendapat pahala orang-orang yang menyembelih dari umat
Nabi shållallǻhu Àlaihi wa sallam karena Nabi berkata ketika menyembelih
salah satu domba.
َو َ ََّع ْن لَ ْم يُضَ ِح ِم ْن ُا َّم ِ ْت،⚫ َاللَّه َُم ه ََذا ع َِّن
"Artinya : Ya Allǻh ini dariku dan ini dari orang yang tidak menyembelih
dari kalangan umatku" [20] Telah lewat takhrijnya pada halaman 70 (di halaman kitab
aslinya)
14) Berkata Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (11/95) : "Nabi shållallǻhu Àlaihi
wa sallam dan Al-Khulafaur råsyidun sesudah beliau menyembelih kurban.
Seandainya mereka tahu sedekah itu lebih utama niscaya mereka menuju
padanya.... Dan karena mementingkan/mendahulukan sedekah atas kurban
mengantarkan kepada ditinggalkannya sunnah yang ditetapkan oleh
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam .
- 30 - [@AMAL] ⓪⑤⑧ www.almanhaj.or.id
[Disalin dari kitab Aḥkāmu Al-'īdaini Fii Al-Sunnah Al-Muthåharåh, edisi Indonesia
Hari Raya Bersama Råsūlullǻh oleh Syaikh Ali Ḥasan bin Ali Abdul Ḥamid Al-
Ḥalabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haurå, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishåq
Zulfa Husein]
Footnote.
[1]. Akan datang dalilnya pada point ke delapan
[2]. Riwayat Bukhåri (5560) dan Muslim (1961) dan Al-Barå' bin azib.
[3]. Berkata Al-Ḥafidzh dalam "Fatḥul Bari" (10/5) : Jadza' adalah gambaran untuk usia
tertentu dari hewan ternak, kalau dari domba adalah yang sempurna berusia setahun,
ini adalah ucapan jumhur. Adapula yang mengatakan : di bawah satu tahun, kemudian
diperselisihkan perkirānnya, maka ada yang mengatakan 8 dan ada yang mengatakan
10 Tsaniyya dari unta adalah yang telah sempurna berusia 5 tahun, sedang dari sapi
dan kambing adalah yang telah sempurna berusia 2 tahun. Lihat "Zādul MaÀd" (2/317).
[4]. 'Shåḥīḥul Jami'" (1592), lihat " Silsilah Al-Aḥadits Adl-Dlaifah" (1/87-95).
[5]. Dikeluarkan oleh Aḥmad (4/8), Al-Baihaqi (5/295), Ibnu Hibban (3854) dan Ibnu Adi
dalam "Al-Kamil" (3/1118) dan pada sanadnya ada yang terputus. Diriwayatkan pula
oleh Ath-Thåbari dalam 'Mu'jamnya" dengan sanad yang padanya ada kelemahan
(layyin). Ḥadits ini memiliki pendukung yang diriwayatkan Ibnu Adi dalam "Al-Kamil"
dari Abi Said Al-Khudri dengan sanad yang padanya ada kelemahan. Ḥadits ini ḥasan
Insya Allǻh, lihat 'Nishur Rayah" (3/61).
[6]. Zādul MaÀd (2/319)
[7]. Telah lewat takhrijnya pada halaman 66, lihat 'Nailul Authår" (5/200-203).
[8]. Campurån tertentu yang digunakan untuk menghilangkan rambut .
[9]. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aḥmad (1/83, 127,129 dan 150), Abu Dāwud (2805),
At-Tirmidzi (1504), An-Nasā`i (7/217) Ibnu Mājah (3145) dan Al-Ḥakim (4/224) dari
Àli rådhiyallǻhu Ànhu dengan isnad yang ḥasan.
[10]. Muqåbalah adalah hewan yang dipotong bagian depan telinganya. Mudabaråh : hewan
yang dipotong bagian belakang telinganya. Syarqå : hewan yang terbelah telinganya
dan Khårqå : hewan yang sobek telinganya. Ḥadits tentang hal ini isnadnya ḥasan
diriwayatkan Aḥmad (1/80 dan 108) Abu Dāwud (2804), At-Tirmidzi (4198) An-Nasā`i
(7/216) Ibnu Mājah (3143) Ad-Darimi (2/77) dan Al-Ḥakim (4/222) dari ḥadits Àli
rådhiyallǻhu Ànhu.
[11]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhåri (5552) An-Nasai 97/213) dan Ibnu Mājah (3161) dari
Ibnu ‘Umar.
[12]. Wafat tahun (103H) biogråfisnya bisa dibaca dalam "Tahdzibut Tahdzib" (7/217).
[13]. Diriwayatkan At-Tirmidzi (1505) Malik (2/37) Ibnu Mājah (3147) dan Al-Baihaqi
(9/268) dan isnadnya ḥasan.
[14]. Diriwayatkan oleh Bukhåri (5558), (5564), (5565), Muslim (1966) dan Abu Dāwud
(2794).
[15]. Sebagaimana dalam ḥadits ‘Ā`isyah yang diriwayatkan Muslim (1967) dan Abu Dāwud
(2792).
[16]. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam permasalahan ini di antara ulama,
lihat point ke 13.
[17]. Diriwayatkan oleh Bukhåri (5569), Muslim (1971) Abu Daud (2812) dan selain mereka
dari ‘Ā`isyah rådhiyallǻhu Ànha. Adapun riwayat larångan untuk menyimpan daging
kurban masukh (dihapus), lihat 'Fatḥul Bari' (10/25-26) dan "Al i'tibar" (120-122).
Lihat Al-Mughni (11/108) oleh Ibnu Qudamah.
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 31 -
[@AMAL]
[18]. Dalam Al-Qåmus yang dimaksud adalah apa yang dikenakan hewan tunggangan untuk
berlindung dengannya.
[19]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (317), Abu Daud (1769) Ad-Darimi (2/73)
Ibnu Mājah (3099) Al-baihaqi (9/294) dan Aḥmad (1/79,123,132 dan 153) Bukhåri
meriwayatkannya (1716) tanpa lafadh : "Kami akan memberinya dari sisi kami".
[20]. Telah lewat takhrijnya pada halaman 70(di halaman kitab aslinya)
Pertanyān
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Ḥasan alu Salman ditanya : Ḥadits bahwasanya
Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam mengÀqiqåhi dirinya setelah diutus sebagai
Nabi dikatakan oleh Nawawi [1] (Teks perkatān Nawawi dalam al-Majmu (8/431-432) tentang
ḥadits ini adalah : “Ḥadits ini bathil”, dan dinukil juga oleh al-Ḥafizh Ibnu Ḥajar dalam at-Talkhis (4/1498).
Barangka li yang benar adalah Imam Baihaqi karena beliu mengatakan tentang ḥadits ini, ”Munkar”
sebagaimana dalam at-Talkhis juga) bahwa ḥadits tersebut munkar karena kesendirian
Àbdullǻh bin Muharrår. Bagaimana komentar syaikh tentang perkatān itu?
Jawaban
Perkatān Nawawi telah didahului sebelumnya oleh perkatān Ibnu Abi Ḥatim
dalam ‘Ilal Ḥadits . Maka selayaknya seseorang untuk menyandarkan kepada
sumber aslinya. Pernyatān bahwa ḥadits ini munkar adalah perkatān Ibnu Abi
Ḥatim dalam ‘Ilal Ḥadits menukil dari Abu ZurÀh ar-Råzi, bukan dari ayahnya.
Syaikh kami telah menanggapi perkatān ini dalam Silsilah as-Shåḥīḥah 6/502-506
no. 2726 dan beliau menshåḥīḥkan ḥadits ini. Oleh karena itu, saya kemarin
mengatakan tentang ḥadits ini : “Dishåḥīḥkan oleh sebagian ahli ḥadits ”. Itulah
yang saya katakan dan saya tahu persis perbedān pendapat di kalangan ulama
tentang keabsahan dan kelemahannya sekalipun hati saya lebih cenderung untuk
mengatakan bahwa ḥadits ini ḥasan. Untuk lebih detailnya dapat diperiksa Silsilah
as-Shåḥīḥah juz 6 hal. 502-506.
Pertanyān.
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Ḥasan alu Salman ditanya : Bolehkah bagi
seseorang yang belum meng-Àqiqåhi dirinya untuk melakukannya tatkala
sudah dewasa dan bagaimana pendapat syaikh terhadap orang yang
membidÀhkannya?
Jawaban
Kita tidak mengatakannya bidÀh. Sebagian ahli ilmu telah mengamalkannya [2]
Diantara nya adalah Imam Muḥammad bin Sirin sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-
Mushånnaf (8/235-236), Ḥasan al-Bashri sebagaimana diriwayatkan Ibnu Ḥazm dalam al-Muhalla (8/322).
Inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Ḥazm dan syaikh al-Albani dalam as-Shåḥīḥah (no. 2726), bahkan
pendapat ini juga dikuatkan oleh Lajnah Dā`imah yang diketahui oleh samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 33 -
[@AMAL]
dalam fatwanya (11/438,439) dan pada hal. 447 dinyatakan bahwa ini adalah pendapat Hanabilah dan
sejumlah para fuqåha. Lantas bagaimana dikatakan bidÀh, fahamilah!
Àqiqåh bagi orang dewasa boleh berdasarkan ḥadits di atas. Dan kapan saja
terjadi perbedān pendapat diantara ahli ḥadits lebih-lebih dalam masalah-
masalah rumit seperti ini, hendaknya penuntut ilmu untuk menghårgai
perselisihan pendapat. Sehingga dia dapat memahami kapan dia mengingkari dan
kapan dia membahas. Merupakan musibah sekarång ini –terutama pemuda
dakwah salafiyah- mereka tidak mendalami ilmu syar’i, tetapi ingin menghukumi
masalah-masalah rumit seperti ini yang belum ada keterångan yang jelas dari para
ulama salaf. Jadi, perdalamlah ilmu syar’i terlebih dahulu dan jangan sibukkan
dengan masalah-masalah rumit seperti ini.
(Disarikan dari soal jawab bersama beliau pada acara dauråh di Lawang Jawa
Timur 24-28 Råbi`uts Tsani 1424H dengan beberapa tambahan seperlunya)
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 12, Tahun ke-II/Th 2003M. Diterbitkan Oleh
Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo
Sidayu Gresik Jatim]
Footnote
[1]. Teks perkatān Nawawi dalam al-Majmu (8/431-432) tentang ḥadits ini adalah : “Ḥadits
ini bathil”, dan dinukil juga oleh al-Ḥafizh Ibnu Ḥajar dalam at-Talkhis (4/1498).
Barangka li yang benar adalah Imam Baihaqi karena beliu mengatakan tentang ḥadits
ini,”Munkar” sebagaimana dalam at-Talkhis juga.
[2]. Diantara nya adalah Imam Muḥammad bin Sirin sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Mushånnaf (8/235-236), Ḥasan al-Bashri sebagaimana diriwayatkan
Ibnu Ḥazm dalam al-Muhalla (8/322). Inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Ḥazm dan
syaikh al-Albani dalam as-Shåḥīḥah (no. 2726), bahkan pendapat ini juga dikuatkan oleh
Lajnah Dā`imah yang diketahui oleh samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam
fatwanya (11/438,439) dan pada hal. 447 dinyatakan bahwa ini adalah pendapat
Hanabilah dan sejumlah para fuqåha. Lantas bagaimana dikatakan bidÀh, fahamilah!
Pertanyān
Bagaimana hukum Àqiqåh terhadap anak yang kedua orang tuanya sudah
meninggal dan dia telah dewasa?
Jawaban
Dalam masalah ini, Ulama berselisih menjadi dua pendapat.
1) Orang yang tidak diÀqiqåhi sewaktu kecil, dianjurkan untuk meng-Àqiqåhi
dirinya di waktu dewasa. Ini merupakan pendapat Àthå` råḥimahullǻh, Ḥasan
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 35 -
[@AMAL]
2) Dari al-Haitsam bin Jamil ; dia berkata, Àbdullǻh bin al-Mutsanna bin Anas
menuturkan kepada kami, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik.
Jalan periwayatan ini diriwayatkan oleh ath-Thåhawi dalam kitab Musykilul Atsar
1/461, ath-Thåbråni dalam Mu’jamul Ausath 1/55/2, no. 976 dengan penomorån
syaikh al-Albani ; Ibnu Ḥazm dalam al-Muhalla 8/321, adh-Dhiya al-Maqdisi
dalam al-Mukhtaråh lembarån 71/1. Syaikh al-Albani råḥimahullǻh berkata, “Ini
sanadnya ḥasan. Para peråwinya dijadikan ḥujjah oleh Imam al-Bukhåri dalam
kitab Shåḥīḥnya, selain al-Haitsam bin Jamil, dan dia ini tsiqåh (terpercaya) Ḥafizh
(ahli ḥadits ), termasuk guru Imam Aḥmad”.
Kesimpulannya : Orang yang tidak diÀqiqåhi sewaktu kecil disunatkan untuk
mengÀqiqåhi dirinya di waktu dewasa.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IV/1432H/2011M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Suråkarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Pertanyān.
Ustadz, setiap bayi yang lahir diÀqiqåhi, lalu disunnahkan memotong kambing.
Bagaimana jika ia tidak mampu? Apakah diharuskan atau diganti dengan
yang lain? Syukrån katsirån.
08138051xxxx
Jawaban.
Àqīqåh untuk bayi yang baru lahir hukumnya sunnah muakkad menurut pendapat
jumhur ulama. Hal ini diråjihkan Lajnah Dā-imah dalam fatwa no. 1776, 3116,
4861, 8052, 9029, 12591. Kesimpulan dari fatwa tersebut, bahwa hukum
menyembelih hewan aqīqåh bagi orang tua yang mendapatkan anugeråh berupa
kelahirån anak adalah sunnah muakkadah (sangat ditekankan). Yaitu dengan
menyembelih dua ekor kambing untuk anak lelaki, dan satu ekor kambing untuk
anak perempuan. Dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahirån bayi.
Penundān pelaksanān Àqiqåh dari hari tersebut tidak menyebabkan dosa,
meskipun tanpa udzur. Akan tetapi, bila memiliki kemampuan maka lebih baik
dilaksanakan.
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda:
⚫ الْ َع ِقيقَ ُة ع َِن الْ ُغ َال ِم شَ اَتَ ِن ُم ََكفَأََتَ ِن َوع َِن الْ َجا ِري َ ِة شَ اة
"Àqiqåh untuk anak lelaki dua kambing yang serupa. Dan Àqiqåh bagi anak
perempuan seekor kambing".
[HR Aḥmad dan at-Tirmidzi].
Merujuk nash di atas, maka tidak ada yang mencukupi untuk Àqiqåh kecuali
menyembelih kambing. Tidak bisa digantikan, misalnya dengan membeli daging
kiloan, pembagian uang atau yang lainnya.
Sembelihan Àqiqåh ini diadakan untuk fid-yah (tebusan) atas bayi Sebagaimana [1]
disebutkan dalam sebuah ḥadits , bahwa bayi itu tergadai dengan aqīqåhnya. Maka dengan diaqīqåhi,
berarti si bayi sudah terlepas dari gadai., optimis akan keselamatannya dan untuk menolak
setan darinya, sebagaimana dijelaskan Ibnul-Qåyyim dalam kitab Tuhfat al-
Wadūd fi Aḥkām al-Maulūd. [2] Al-Muntaqåmin Fatāwa Syaikh Shālih al-Fauzān (5/194).
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 37 -
[@AMAL]
Adapun pelaksanānnya, yang utama diadakan pada hari ketujuh, dan apabila
diakhirkan dari hari tersebut juga diperbolehkan. Tidak ada batasan waktu
penyembelihan Àqīqåh ini. Memang sebagian ulama menyatakan, apabila bayi
tersebut telah besar maka telah kehilangan waktunya, sehingga tidak memandang
adanya pensyariatan aqīqåh bagi orang dewasa. Namun jumhur ulama
memandang tidak mengapa, walaupun sudah dewasa.
Ibadah aqīqåh ini diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu. Oleh karena itu,
bagi orang tua yang penghåsilan bulanannya tidak mencukupi kecuali untuk
kebutuhan keluarga saja, atau dari keluarga tidak mampu, maka tidak masalah bila
tidak melaksanakan aqīqåh ini untuk anak-anaknya. Allǻh berfirman :
ُ َّ ⚫ َإل ُي َ ِك ُف
اَّلل ن َ ْف ًسا ا َّإل ُو ْس َعهَا
"Allǻh tidak membebani seseorang
ِ
melainkan sesuai dengan
kesanggupannya".
[al-Baqåråh/2:286].
Juga sabda Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam :
⚫ َما َنَ َ ْي ُت ُ ُْك َع ْن ُه فَا ْج َت ِن ُبو ُه َو َما َأ َم ْرتُ ُ ُْك ِب ِه فَافْ َعلُوا ِمنْ ُه َما ْاس تَ َط ْع ُ ُْت
"Apa yang aku larång untuk kalian maka jauhilah. Dan apa yang aku
perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian".
[HR Muslim].
Perintah penyembelihan kambing ini longgar. Maksudnya, apabila suatu keluarga
memiliki ketidakmampuan, dan di kemudian hari mendapatkan rezeki yang
berkecukupan, maka tetap disunnahkan untuk melakukannya. Meskipun sudah
lewat setahun atau lebih.
Syaikh Shåliḥ bin Àbdillah al-Fauzān menjelaskan, tidak mengapa mengakhirkan
sembelihan aqīqåh sampai waktu yang tepat, dan ada pada kedua orang tuanya,
atau salah satunya. Penyembelihan pada hari ketujuh atau keduapuluh satu
hanyalah keutamaan apabila memungkinkan dan ada. Jika tidak ada maka tidak
mengapa mengakhirkannya pada waktu lainnya sesuai memiliki kemampuan.
Perlu diketahui, sembelihan Àqiqåh dilakukan oleh orang tua anak tersebut,
karena itu merupakan hak anak atas orang tuanya. [3] Al-Muntaqå min Fatāwa Syaikh Shåliḥ
al-Fauzān (5/194).
Syaikh Shåliḥ bin Àbdillah al-Fauzan juga berpendapat, apabila orang tua tidak
melakukannya maka ia telah meninggalkan Sunnah. Bila orang tuanya tidak
menyembelih Àqiqåh untuknya maka sang anak juga dibolehkan menyembelih
Àqiqåh untuk dirinya sendiri [4] . Al-Muntaqå min Fatāwa Syaikh Shåliḥ al-Fauzān (5/196)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Suråkarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Pertanyān
Lajnah Dā`imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya :
❖ Bolehkah bergotong-royong (iurån) dalam berkurban?
❖ Beråpa jumlah kaum muslimin seharusnya dalam bergotong-royong (iurån)
melakukan kurban?
❖ Apakah harus dari satu keluarga?
❖ Dan apakah bergotong-royong semacam itu bidÀh atau tidak?
Jawaban
Seorang laki-laki diperbolehkan melakukan kurban atas nama dirinya dan
anggota keluarganya dengan satu ekor kambing. Dasarnya, ḥadits shåḥīḥ dari
Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam , bahwa beliau berkurban dengan satu ekor
kambing , atas nama diri beliau sendiri dan atas nama keluarganya. [Ḥadits
Muttafaqun Alaih]
Juga ḥadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibnu Mājah dan Tirmidzi dan
beliau menshåḥīḥkannya.
Dari Athå` bin Yasir, ia berkata, “Saya bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshåri,
bagaimana kurban-kurban yang sekalian (para saḥabat ) lakukan pada zaman
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam ” Abu Ayyub menjawab, “Pada zaman Nabi
Shållallǻhu Àlayhi wa sallam seseorang berkurban dengan satu ekor kambing atas
nama dirinya dan atas nama keluarganya. Maka mereka memakannya dan
memberi makan orang lain. Kemudian orang-orang bersenang-senang, sehingga
jadilah mereka sebagaimana yang engkau lihat. [HR Malik, kitab Dhåḥaya, Bab
Asy-Syirkah Fi Adh-Dhåḥaya dan Ibnu Mājah , Shåḥīḥ Ibnu Mājah no. 2563 dan
lain-lain]
Sedangkan satu ekor unta dan setu ekor sapi, sah dengan gabungan tujuh orang.
Baik mereka beråsal dari satu keluarga atau dari orang yang bukan dari satu
rumah. Baik mereka punya hubungan kerabat ataupun tidak. Sebab Nabi
Shållallǻhu Àlayhi wa sallam mengijinkan para saḥabat untuk bergabung dalam
(berkurban) unta dan sapi. Masing-masing tujuh orang. Wallǻhu a’lam. [Fatwa No.
2416]
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 39 -
[@AMAL]
Pertanyān
Lajnah Dā`imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya :
Ayah seorang laki-laki meninggal dunia. Dan dia ingin menyembelih kurban atas
nama ayahnya. Tetapi ada beberapa orang menasihatinya “tidak boleh
menyembelih untuk kurban satu orang. Sebaiknya kambing saja, itu lebih utama
dari pada unta. Orang yang mengatakan kepadamu sembelihlah unta maka orang
ini keliru. Sebab unta tidak boleh untuk kurban, kecuai gabungan dari sekelompok
orang”.
Jawaban
Dibolehkah menyembelih binatang kurban atas nama orang yang telah meninggal
dunia tersebut baik dengan seekor kambing atau seekor unta. Orang yang
mengatakan, bahwa unta hanya untuk gabungan sekelompok orang, maka itu
keliru. Akan tetapi, kambing tidak sah, kecuali untuk (pelakui kurban) satu orang.
Namun pelakunya itu bisa menyertakan orang lain dari anggota keluarganya
dalam pahalanya. Adapun unta, boleh untuk pelaku satu orang atau tujuh orang,
yang mereka beriurån dalam hal harganya. Kemudian, sepertujuh dari daging
kurban unta itu merupakan kurban dari masing-masing tujuh orang. Sapi, dalam
hal ini sama hukumnya seperti unta. [Fatwa No. 3.055]
Pertanyān
Lajnah Dā`imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya :
Orang-orang pedalaman memasak daging kurban bersama-sama dan tidak
membagikan daging tersebut. Kemudian mereka berkumpul bersama seperti
walimah (pesta). Saya katakan kepada mereka : “Kalian bagi-bagikan lebih utama”.
Tetapi mereka menjawab : “Masing-masing kami berkurban dengan satu ekor
kurban. Dan setiap hari, kami makan bersama daging kurban tersebut di tempat
masing-masing orang yang berkurban di antara kami (secara bergilir)”. Juga
dibolehkan memecah-mecahkan tulangnya atau tidak ?
Jawaban
Bagi sekelompok orang, diperbolehkan masing-masing untuk menyembelih
seekor binatang kurban pada hari-hari ‘Ied, yaitu ‘Idul Adhḥa dan tiga hari
sesudahnya (tasyriq). Dan mereka, boleh memecahkan tulangnya, kemudian
memasaknya dan memakannya secara bersama-sama tanpa dibagi-bagikan.
Pertanyān
Syaikh Abdul Aziz bin Àbdullǻh bin Baz ditanya :
Apakah boleh wanita menyembelih hewan dan apakah boleh kita memakan hasil
sembelihannya?
Jawaban.
Dibolehkan bagi wanita menyembelih hewan sebagaimana laki-laki berdasarkan
beberapa ḥadits shåḥīḥ. Dan dibolehkan juga memakan dagingnya, dengan syaråt
wanita tersebut muslimah atau ahlul kitab dan dia melakukan penyembelihan
tersebut secara syar’i walaupun laki-laki yang mampu menyembelih ada, sebab
tidak adanya laki-laki bukan menjadi syaråt batalnya sembelihan wanita tersebut.
Syaikh Utsamin berfatwa dalam hal ini sebagai berikut:
Dibolehkan bagi wanita menyembelih hewan kurban dan semisalnya, sebab dalam
urusan ibadah wanita sama halnya dengan laki-laki, kecuali ada dalil yang
membedakan antara keduanya. Hal tersebut berdasarkan kisah seorang wanita
budak pengembala kambing kemudian ada srigala yang menerkam kambingnya
lalu budak tersebut mengambil batu yang tajam untuk menyembelih kambing
tersebut, lalu Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam memerintahkan untuk
memakan sembelihan tersebut. [1] Disalin dari Al-Fatawa Al-JamiÀh Lil MarÀthil muslimah, Edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 41 -
[@AMAL]
ASAL PENSYARIÀTAN KURBAN
Dr. Àbdullǻh bin Muḥammad Ath-Thåyyar
AL-UDH-ḤIYAH (Kurban)
Kurban disyariÀtkan pada hari raya Adh-ḥa dan hari-hari Tasyriq. Kurban adalah
ibadah agung yang menampakkan sifat penghåmbān yang ikhlas karena Allǻh,
karena seorang muslim mendekatkan diri kepada Allǻh dengan menumpahkan
darah binatang ternak secara syariÀt.
Definisi dan Sebab Penamānnya
Asal PensyariÀtannya
Kurban disyariatkan berdasarkan dalil Al-Qur`ān, As-Sunnah dan Ijma’
Dari Al-Qur`ān adalah firman Allǻh TaÀla
⚫ فَ َصلِ ِل َ ِرب َك َو ْاحن َْر
“Maka dirikanlah shålāt karena Råbb-mu, dan berkurbanlah”
[Al-Kautsar : 2]
Ibnu Katsir Råḥimahullǻh dan selainnya berkata, “Yang benar bahwa yang
dimaksud dengan an-nadr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta
dan sejenisnya” [3] Tafsir Ibni Katsir (IV/558), Zādul Masīr, karya Ibnul Jauzi (I/249) dan Tafsīr Al-
Qurthubi (XI/218]
.⚫ َاك َن يُضَ ِح ْي ِب َك ْبشَ ْ ِي َأ ْق َ نر ْ َِي َأ ْملَ َح ْ ِي َو َاك َن ي َُس ِم ْي َويُ َك ِ َُّب
“Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau
membaca basmalah dan bertakbir” [4] Ḥadits Riwayat Bukhåri dan Musim lihat Fatḥul Bāri (X/9)
dan Shåḥīḥ Muslim bi Syarḥ An-Nawawi (XIII/120).
Demikian juga ḥadits dari Al-Barrå bin Azib rådhiyallǻhu Ànhu, beliau berkata :
فَـقَا َل، َإل يُضَ ِح َ َّي َأ َحد َح َِّت يُ َص ِ َل: فَقَا َل،هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل ِِف ي َ ْو ِم النَّ ْح ِر
ُ هللا َص ََّّل ُ ⚫ خ ََط َبنَا َر ُسو ُل
َ فَضَ ِح ِبِ َا َو َإل َ َْت ِزي َج َذعَة ع َْن َأ َح ٍد ب َ ْعدَ ك: قَا َل،اِت لَ ْح ٍم
ْ َ َِه خ َْري ِم ْن ش َ ِ ِع ْن ِدي َعنَ ُاق لَ َ ٍَب: َر ُجل
“Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya
kurban, lalu beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih
sampai di selesai shålāt ’. Seseorang berkata, Àku memiliki inaq laban, ia lebih
baik dari dua ekor kambing pedaging’. Beliau berkata, ‘Silahkan disembelih dan
tidk sah jadzÀh dari seorang setelahmu” [5] Ḥadits Riwayat Al-Bukhåri dan Muslim lihat Fatḥul
Bāri (X/6) dan Shåḥīḥ Muslim bi Syarḥ An-Nawawi (XIII/113)
Dan dari ijma’ adalah apa yang telah menjadi ketetapn ijma’ (kesepakatan) kaum
muslimin dari zaman Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam sampai sekarång tentang
pensyariÀtan kurban, dan tidak ada satu nukilan dari seorang pun yang
menyelisihi hal itu. Dan sandarån ijma’ tersebut adalah Al-Qur`ān dan As-Sunnah.
Ibnu Qudamah Råḥimahullǻh mengatakan dalam Al-Mughni, ‘Kaum muslimin
telah sepakat tentang pensyariatan kurban [6]. Al-Mughni (VIII/617) Sedangkan Ibnu
Ḥajar Råḥimahullǻh mengatakan, “Dan tidak ada perselisihan pendapat bahwa
kurban itu termasuk syiÀr-syiÀr agama [7]. Fatḥul Bāri (/3)
HUKUM BERKURBAN
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum kurban menjadi beberapa
pendapat, yang paling masyhur ada dua pendapat, yaitu.
1) Pendapat Pertama : Hukum kurban adalah sunnah muÀkkadah, pelakunya
mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak berdosa. Inilah pendapat
mayoritas ulama salaf dan yang setelah mereka.
2) Pendapat Kedua : Hukum kurban adalah wajib secara syar’i atas muslim
yang mampu dan tidak Musafir, dan berdosa jika tidak berkurban. Inilah
pendapat Abu Ḥanifah dan selainnya dari para ulama.
Setiap pendapat ini berdalil dengan dalil yang telah dipaparkan dalam kitab-kitab
madzhab. Pendapat yang menenangkan jiwa dan didukung dengan dalil-dalil kuat
dalam pandangan saya bahwa hukum kurban adalah sunnah muÀkkadah, tidak
wajib.
Ibnu Ḥazm Råḥimahullǻh berkata, “Kurban hukumnya sunnah ḥasanah, tidak
wajib. Barangsiapa meninggalkannya tanpa kebencian terhadapnya, maka
tidaklah berdosa [8] Al-Muhalla (VIII/3)
- 44 - [@AMAL] ⓪⑤⑧ www.almanhaj.or.id
Sedangkan Imam An-Nawawi Råḥimahullǻh mengatakan, “Para ulama berbeda
pendapat tentang kewajiban kurban atas orang yang mampu. Sebagian besar
ulama berpendapat bahwa kurban itu sunnah bagi orang yang mampu, jika tidak
melakukannya tanpa udzur, maka ia tidak berdosa dan tidak harus
mengqådhḥa’nya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kurban itu wajib
atas orang yang mampu. [9] Shåhīh Muslim bi Syarḥ An-Nawawi (XIII/110) dan lihat dalil dua
pendapat ini dan perdebatannya dalam Fatḥul Bāri (X/3), Bidāyatul Mujtahid (I/448), Mughniyul Mubtāj
(IV/282) Majmu Al-Fatawā (XXVI/304), Al-Mughni dan Syarḥul Kabīr (XI/94) dan Al-Mughni (VIII/617) dan
setelahnya.
[Disalin dari kitab Aḥkāmul ‘Iidain wa Asyri Dzil Ḥijjah, Edisi Indonesia Lebarån
Menurut Sunnah Yang Shåḥīḥ, Penulis Dr. Àbdullǻh bin Muḥammad bin Aḥmad
Ath-Thåyyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Footnote
[1]. Lisānul Àråb, maddah Dhåḥā (XIV/477) dan al-Mu’jamul Wasīth maddah Dhåḥāh
(I/537).
[2]. Shåhīh Muslim bi Syarḥ an-Nawawi (XIII/109) dan Fatḥul Bāri (X/3) dan Nihāyatul
Muhtāj (III/133).
[3]. Tafsir Ibni Katsir (IV/558), Zādul Masīr, karya Ibnul Jauzi (I/249) dan Tafsīr Al-Qurthubi
(XI/218]
[4]. Ḥadits Riwayat Bukhåri dan Muslim lihat Fatḥul Bāri (X/9) dan Shåḥīḥ Muslim bi Syarḥ
An-Nawawi (XIII/120).
[5]. Ḥadits Riwayat Al-Bukhåri dan Muslim lihat Fatḥul Bāri (X/6) dan Shåḥīḥ Muslim bi
Syarḥ An-Nawawi (XIII/113)
[6]. Al-Mughni (VIII/617)
[7]. Fatḥul Bāri (/3)
[8]. Al-Muhalla (VIII/3)
[9]. Shåhīh Muslim bi Syarḥ An-Nawawi (XIII/110) dan lihat dalil dua pendapat ini dan
perdebatannya dalam Fatḥul Bāri (X/3), Bidāyatul Mujtahid (I/448), Mughniyul Mubtāj
(IV/282) Majmu Al-Fatawā (XXVI/304), Al-Mughni dan Syarḥul Kabīr (XI/94) dan Al-
Mughni (VIII/617) dan setelahnya.
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 45 -
[@AMAL]
ALMANHAJ.0R.ID ⓪⑤⑧ | ÀQIQÅH & QURBAN|
⓿❺❽①②
Waktu penyembelihan kurban mulai dari setelah ‘Id di hari raya kurban sampai
terbenam matahari pada hari terakhir Tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulḥijjah .
Sehingga hari penyembelihan adalah empat hari :
➢ satu hari di hari raya kurban setelah shålāt ‘Id;
➢ dan tiga hari setelahnya.
Barangsiapa menyembelih kurbannya sebelum selesai shålāt ‘Id atau setelah
terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulḥijjah , maka kurbannya tidak sah. Ada
yang mengatakan bahwa waktu penyembelihan hanya dua hari setelah ‘Id saja,
dan menurut pendapat ini hari penyembelihan hanya tiga hari saja. Tetapi yang
råjih adalah pendapat yang pertama.
Dibolehkan menyembelih kurban di waktu siang atau malam, namum
penyembelihan di siang hari lebih utama. Setiap hari dari hari-hari
penyembelihan lebih utama dari hari setelahnya, karena mendahulukan
sembelihan termasuk sikap bersegera melaksanakan ketātan.
An-Nawawi Råḥimahullǻh berkata : Adapun waktu berkurban, maka sepatutnya
menyembelihnya setelah shålāt bersama imam dan ketika itu sah secara ijma’.
Ibnul Munzdiri Råḥimahullǻh berkata, “Mereka telah berijma’ bahwa
penyembelihan kurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari pagi
hari raya kurban. ‘Dan mereka berbeda pendapat pada penyembelihan setelahnya’
[1]. Shåhīh Muslim bi Syarḥ An-Nawawi (XIII/110)
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 47 -
[@AMAL]
ALMANHAJ.0R.ID ⓪⑤⑧ | ÀQIQÅH & QURBAN|
⓿❺❽①③
Seekor kambing tidak bisa untuk dua orang atau lebih yang keduanya membeli
dan menyembelih kurban tersebut, karena hal itu tidak terdapat dalam dalam Al-
Qur`ān dan As-Sunnah, sebagaimana tidak bolehnya berserikat lebih dari tujuh
orang dalam satu unta atau satu sapi, karena ibadah itu tauqifiyah (semata
bersandar kepada waḥyu). Yang benar dan boleh hanyalah berserikat tujuh orang
atau kurång dari itu dalam satu unta atau sapi. Hukum ini berlaku tidak pada
permasalahan pahalanya, karena tidak ada batasan jumlah berserikat dalam
pahalanya, karena keutamaan Allǻh itu sangat luas sekali.
Disini wajib diingatkan akan kesalahan yang dianggap remeh oleh sebagian orang
yang memiliki tanggung jawab melaskanakan wasiat, dimana ia mengumpulkan
wasiat-wasiat lebih dari satu kerabatnya dalam satu kurban untuk semua. Ini
tidak bolehkan. Namun, jika yang berwasiat adalah seorang yang berwasiat
dengan beberapa kurban lalu ia kumpulkan dalam satu kurban, maka hal itu tidak
mengapa, in syā Allǻh.
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 49 -
[@AMAL]
ALMANHAJ.0R.ID ⓪⑤⑧ | ÀQIQÅH & QURBAN|
⓿❺❽①④
Kurban memiliki beberapa syaråt yang tidak sah kecuali jika telah memenuhinya,
yaitu.
1) Hewan kurbannya berupa binatang ternak, yaitu unta, sapi dan kambing,
baik domba atau kambing biasa.
2) Telah sampai usia yang dituntut syariÀt berupa jazaÀh (berusia setengah
tahun) dari domba atau tsaniyyah (berusia setahun penuh) dari yang lainnya.
a. Ats-Tsaniy dari unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun
b. Ats-Tsaniy dari sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun
c. Ats-Tsaniy dari kambing adalah yang telah sempurna berusia setahun
d. Al-Jadza’ adalah yang telah sempurna berusia enam bulan
3) Bebas dari aib (cacat) yang mencegah keabsahannya, yaitu apa yang telah
dijelaskan dalam ḥadits Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam .
a. Buta sebelah yang jelas/tampak
b. Sakit yang jelas.
c. Pincang yang jelas
d. Sangat kurus, tidak mempunyai sumsum tulang
Dan hal yang serupa atau lebih dari yang disebutkan di atas dimasukkan ke
dalam aib-aib (cacat) ini, sehingga tidak sah berkurban dengannya, seperti
buta kedua matanya, kedua tangan dan kakinya putus, ataupun lumpuh.
4) Hewan kurban tersebut milik orang yang berkurban atau diperbolehkan (di
izinkan) baginya untuk berkurban dengannya. Maka tidak sah berkurban
dengan hewan hasil meråmpok dan mencuri, atau hewan tersebut milik dua
orang yang beserikat kecuali dengan izin teman serikatnya tersebut.
5) Tidak ada hubungan dengan hak orang lain. Maka tidak sah berkurban dengan
hewan gadai dan hewan warisan sebelum warisannya di bagi.
6) Penyembelihan kurbannya harus terjadi pada waktu yang telah ditentukan
syariat. Maka jika disembelih sebelum atau sesudah waktu tersebut, maka
sembelihan kurbannya tidak sah. [1] Lihat Bidāyatul Mujtahid (I/450), Al-Mughni (VIII/637)
dan setelahnya, Badā’i`ush Shåna’i (VI/2833) dan Al-Muhalla (VIII/30).
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 51 -
[@AMAL]
[4] Al-Mughni dengan Syarh al-Kabiir (XI/109), Tuhfatul Fuqå-hā’ (III/135) dan Shåhīh Muslim bi Syarh an-
Nawawi (XIII/ 130).
Ibnu Ḥazm Råḥimahullǻh berpendapat lebih jauh dari itu, sampai ia menetapkan
kewajiban memakan sebagian hewan kurbannya, ia mengatakan, “Diwajibkan atas
setiap orang yang berkurban untuk memakan sebagian hewan kurbannya dan itu
harus dilakukan walaupun hanya sesuap atau lebih. Juga diwajibkan bershådaqåh
darinya dengan sesukanya, baik sedikit atau pun banyak dan itu harus, dan
dimubahkan memberi makan kepada orang kaya dan kafir dan menghådiahkan
sebagiannya jika ia berkeinginan untuk itu.” [5] Al-Muhalla (VIII/54).
[Disalin dari kitab Aḥkāmul ‘Iidain wa Asyri Dzil Ḥijjah, Edisi Indonesia Lebarån
Menurut Sunnah Yang Shåḥīḥ, Penulis Dr. Àbdullǻh bin Muḥammad bin Aḥmad
Ath-Thåyyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Footnote
[1]. Lihat Bidāyatul Mujtahid (I/450), Al-Mughni (VIII/637) dan setelahnya, Badā’i`ush
Shåna’i (VI/2833) dan Al-Muhalla (VIII/30).
[2]. Para ulama berselisih tentang makna al-Mushfaråh, ada yang menyatakan bahwa ia
adalah hewan yang terputus seluruh telinganya dan ada yang mengatakan bahwa ia
adalah kam-bing yang kurus. Lihat Nailul Authår (V/123).-pen.
[3]. Para ulama berselisih tentang makna Al-Mushfaråh, ada yang menyatakan bahwa ia
adalah hewan yang terputus seluruh telinganya dan ada yang mengatakan bahwa ia
adalah kambing yang kurus. Lihat Nailul Authår (V/123) .-pent
[4]. Al-Mughni dengan Syarḥ al-Kabīr (XI/109), Tuḥfatul Fuqå-hā’ (III/135) dan Shåhīh
Muslim bi Syarḥ an-Nawawi (XIII/ 130).
[5]. Al-Muhalla (VIII/54).
Jika seorang muslim ingin berkurban untuk diri dan keluarganya atau
menyumbang kurban untuk orang yang hidup atau yang telah wafat dan masuk
bulan Dzulḥijjah, baik masuknya dengan melihat hilal atau menyempurnakan
bulan Dzulqå`dah tiga puluh hari, maka diharåmkan baginya mengambil
sebagian dari rambut , kuku dan kulitnya sampai ia menyembelih kurbannya.
Dasarnya adalah ḥadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah rådhiyallǻhu
anhuma bahwa Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda:
⚫ ا َذا َر َأيْ ُ ُْت ِه َال َل ِذي الْ ِح َّج ِة َو َأ َرا َد َأ َحدُ ُ ْمك َأ ْن يُضَ ِح َي فَ َال يَأْخ ُْذ ِم ْن شَ ْع ِر ِه َو َأ ْظ َفا ِر ِه شَ يْئًا َح َِّت يُضَ ِح َي
⚫ “Jika kalian melihat hilal Dzulḥijjah dan salah seorang dari kalian ingin
ِ
berkurban, maka janganlah mengambil (memotong) rambut dan
kukunya sedikit pun sampai ia menyembelih kurbannya.” [1] HR. Muslim dan
lainnya dengan lafazh yang berbeda. Lihat Shåhīh Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/139).
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 57 -
[@AMAL]
ALMANHAJ.0R.ID ⓪⑤⑧ | ÀQIQÅH & QURBAN|
⓿❺❽①⑥
Pertanyān.
❖ Apakah setiap kaum Muslimin itu harus berkurban ?
❖ Bolehkah lima orang bersekutu dalam mengurbankan satu binatang kurban ?"
Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al-Utsaimin råḥimahullǻh menjawab :
⚫ امحلد هلل رب العاملي وأصل وأسَّل عَّل نبينا محمد وعَّل أَل وأحصابه أمجعي
⚫ Udhḥiyyah (hewan kurban) adalah hewan yang disembelih oleh
seseorang dalam rangka beribadah kepada Allǻh Azza wa Jalla pada hari
raya Idul Àdhḥa dan tiga hari setelahnya. Ibadah ini termasuk di antara
ibadah-ibadah yang paling afdhål (terbaik).
Karena Allǻh Azza wa Jalla menyebutkannya beriringan setelah perintah shålāt
dalam firman-Nya :
⚫ انَّ َأع َْط ْي َناكَ الْ َك ْوث ََر فَ َص ِل ِل َرب َِك َو ْاحن َْر
⚫ Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
ِ
Maka dirikanlah shålāt karena Råbbmu; dan berkorbanlah.
[al-Kautsar/108:1-2]
Allǻh juga berfirman :
يك َ َُل َو ِب َ َٰذ ِ َِل ُأ ِم ْر ُت َو َأنَ َأ َّو ُلِ َ ⚫ قُ ْل ا َّن َص َال ِِت َون ُ ُس ِِك َو َم ْح َي َاي َو َم َم ِاِت ِ َّ َِّلل َر ِب الْ َعالَ ِم َي َإل
َ َش
ِ
الْ ُم ْس ِل ِم َي
⚫ Katakanlah, "Sesungguhnya shålāt ku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allǻh, Råbb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyeråhkan diri (kepada Allǻh)".
[al-An'ām/6:162-163]
Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam juga pernah berkurban dengan dua hewan, satu
atas nama beliau Shållallǻhu Àlayhi wa sallam dan kelurga dan yang satu lagi atas
nama semua umat beliau yang beriman. [1] HR. Aḥmad 6/391 dan Ibnu Mājah , no. 3122. Dan
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam memotivasi dan menyemangati umatnya
agar melakukan ibadah ini.
Oleh karena itu, tidak selayaknya bagi orang yang mampu meninggalkan ibadah
ini. Hendaklah dia berkurban dengan satu hewan (kambing) atas nama dia dan
keluarganya. Dan tidak sah dua orang atau lebih bersekutu dalam kepemilikan
seekor kambing kurban. Sedangkan pada sapi atau unta, maka itu boleh ada tujuh
orang bersekutu dalam kepemilikannya. Sekali lagi, ini dalam kepemilikan.
Adapun bersekutu dalam pahala, maka tidak apa-apa seseorang berkurban
dengan satu kambing atas nama dirinya dan keluarganya, meskipun jumlahnya
banyak. Bahkan dia boleh berkurban atas nama dirinya dan seluruh Ulama Islam
atau yang serupa dengan itu, (misalnya) atas nama banyak orang sampai tidak ada
yang bisa menghitungnya kecuali Allǻh Azza wa Jalla .
Catatan :
Disini, saya meråsa perlu mengingatkan satu hal yang sering dilakukan oleh umat
dengan keyakinan bahwa ibadah kurban itu dilakukan khusus atas nama orang-
orang yang sudah mati. Sampai-sampai jika mereka ditanya, "Sudahkah kamu
melakukan ibadah kurban atas nama dirimu ?" maka dia akan menjawab, "Apakah
saya melaksanakan ibadah kurban ? padahal saya masih hidup ?!" Dia
mengingkarinya.
Sepantasnya untuk diketahui bahwa ibadah kurban itu disyariÀtkan bagi kaum
Muslimin yang masih hidup.
Ibadah ini termasuk diantara ibadah-ibadah khusus yang merupakan kewajiban
orang yang masih hidup. Oleh karena itu tidak ada riwayat dari Nabi Shållallǻhu
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 59 -
[@AMAL]
Àlayhi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau Shållallǻhu Àlayhi wa sallam
melakukan ibadah kurban atas nama keluarga dekat beliau Shållallǻhu Àlayhi wa
sallam yang sudah meninggal, tidak pula atas nama istri-istri beliau Shållallǻhu
Àlaihi wa sallam secara khusus.
Beliau Shållallǻhu Àlayhi wa sallam tidak pernah berkurban atas nama Khådijah
rådhiyallǻhu Ànha , istri pertama beliau Shållallǻhu Àlaihi wa sallam , juga tidak
atas nama Zainab binti Khuzaimah rådhiyallǻhu anha, istri beliau Shållallǻhu
Àlayhi wa sallam yang meninggal tidak lama setelah beliau Shållallǻhu Àlayhi wa
sallam nikahi, juga tidak berkurban atas nama Hamzah bin Abdul Mutthålib,
paman beliau Shållallǻhu Àlayhi wa sallam yang syahid dalam perång Uhud. Beliau
Shållallǻhu Àlayhi wa sallam hanya berkurban atas nama dirinya dan semua
keluarganya. Ini mencakup keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal.
Ada perbedān antara mengkhusukan atau berdiri sendiri (istiqlal) dengan
memasukkan (tabi'un). Artinya orang yang sudah meninggal bisa mendapatkan
pahala ibadah kurban karena dia termasuk dalam lingkup keluarga orang yang
melakukan ibadah kurban atas nama dirinya dan keluarganya. Dan berniat atas
nama keluarganya yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Adapun
melakukan ibadah kurban khusus atas nama orang yang sudah meninggal, maka
sepengetahuan saya, perbuatan ini tidak ada dasarnya dalam sunnah. Sedangkan,
jika orang yang sudah meniggal itu sudah berwasiat agar disembelihkan hewan
kurban, maka ini harus dilaksanakan dalam rangka menunaikan wasiatnya.
Semoga masalah ini bisa difahami. Bahwasanya ibadah kurban itu hanya
disyariÀtkan bagi orang yang masih hidup, bukan bagi orang yang sudah
meninggal. Berkurban atas nama orang yang sudah meninggal hanya ada pada
(dua keadān yaitu) ikutan (artinya si mayyit termasuk anggota kelurga dari orang
yang melakukan ibadah kurban atas nama dirinya dan keluarganya, baik yang
masih hidup maupun yang sudah mati-red) atau karena wasiat. Sedangkan selain
dua itu, meskipun boleh, namun sebaiknya tidak melakukan hal itu.
Sumber :
Majmu' Fatawa wa Råsa'il Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al-Utsaimin, 25/21-23
Pertanyān
Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al-Utsaimin ditanya tentang seseorang yang
beribadah kepada Allǻh dengan menyembelih hewan tapi bukan pada sāt-sāt
disyariÀtkan berkorban.
❖ Apakah dia mendapatkan pahala ?
Beliau råḥimahullǻh menjawab :
Telah diketahui bersama bahwa beribadah kepada Allǻh Azza wa Jalla dengan
menyembelih hewan sembelihan bukan pada sāt disyariÀtkan berkorban tidak
akan menghåsilkan pahala ibadah korban. Namun jika dia bershådaqåh dengan
daging hewan tersebut, maka dia mendapatkan pahala shådaqåh, bukan pahala
berkorban. Oleh karena itu, kami mengatakan kepada orang itu, "Jangan beribadah
kepada Allǻh Azza wa Jalla dengan sesembelihan kecuali dengan niat beribadah
kepada Allǻh Azza wa Jalla dengan menyedaqåhkan dagingnya
Pertanyān
Syaikh Muḥammad bin Shālih al-Utsaimin råḥimahullǻh ditanya,
❖ "Apa hukum ibadah kurban ?
❖ Bolehkah bagi seseorang berhutang untuk melaksanakan ibadah kurban ?"
Beliau råḥimahullǻh menjawab :
Ibadah kurban itu hukumnya sunnah muÀkkadah (ibadah sunat yang sangat
ditekankan) bagi orang yang mampu melaksanakannya. Bahkan sebagian ahli
ilmu mengatakan bahwa ibadah kurban itu hukumnya wajib. Di antara yang
berpendapat wajib adalah imam Abu Ḥanīfah dan murid-murid beliau
råḥimahullǻh . Ini juga riwayat dari Imam Aḥmad råḥimahullǻh dan pendapat ini
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah råḥimahullǻh .
Berdasarkan keterångan ini maka tidak seyogyanya bagi orang yang mampu
meninggalkan ibadah ini. Sedangkan orang yang tidak memiliki uang, maka tidak
seharusnya dia mencari hutangan untuk melaksanakan ibadah kurban.
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 61 -
[@AMAL]
Karena (kalau dia berhutang), dia akan tersibukkan dengan tanggungan hutang,
sementarå dia tidak tahu, apakah dia akan mampu melunasinya ataukah tidak ?
Namun bagi yang mampu, maka janganlah dia meninggalkan ibadah ini karena itu
sunnah. Dan sebenarnya ibadah kurban itu satu untuk seseorang dan keluarganya.
Inilah yang sunnah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Råsūlullǻh Shållallǻhu
Àlaihi wa sallam . Beliau Shållallǻhu Àlayhi wa sallam berkorban dengan seekor
kambing atas nama diri beliau Shållallǻhu Àlayhi wa sallam dan semua
keluarganya. Jika ada orang yang berkorban seekor kambing atas nama diri dan
semua keluarganya, maka itu sudah cukup untuk semua, baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal dunia tanpa perlu mengkhususkan ibadah korban
atas nama orang yang sudah meninggal dunia, sebagaimana yang dilakukan
sebagian orang. Mereka melakukan ibadah korban khusus atas nama orang yang
sudah meninggal dunia dan membiarkan diri dan keluarga mereka. Mereka tidak
melakukan ibadah korban atas nama diri dan keluarga mereka.
Adapun melakukan ibadah korban atas nama orang yang sudah meninggal dunia
karena wasiat yang diwasiatkannya, maka itu wajib dilaksanakan. W Àllǻhu a'lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Suråkarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Footnote
[1]. HR. Aḥmad 6/391 dan Ibnu Mājah , no. 3122
[2]. Dalam fatwa yang lain, Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al-Utsaimin råḥimahullǻh
menyebutkan pilihan beliau yaitu sunnah muÀkkadah.
[3]. HR. Bukhåri , Kitābul Adḥāhi, Bāb Man Dzabaha Qåblas Shålāti fal Yu'id (no. 5561) dan
Muslim dalam Kitābul Adhāhi, Bābu Waqtiha (no. 1960)
[4]. HR. Aḥmad 2/321 dan Ibnu Mājah, Kitābul Adhāhi, Bābul Adhḥai Wajibah Hiya am La ?
(no. 3123) dan al-Ḥakim (2/389) dan beliau t menilainya sebagai ḥadits shåḥīḥ.
Hukum Kurban
Kurban merupakan salah satu sembelihan yang disyariatkan sebagai ibadah dan
amalan mendekatkan diri kepada Allǻh. Hal inilah yang dinyatakan Ibnul Qåyyim
dalam pernyatānnya : “Sembelihan-sembelihan yang menjadi amalan
mendekatkan diri kepada Allǻh dan ibadah adalah Al-Hadyu, Al-Adhhiyah
(Kurban) dan Al-Àqiqåh” [1] Lihat Abdul Aziz bin Muḥammad Ali Salman, Ithåf Al-Muslimin Bima
TayassaraMin Aḥkam Ad-Din, Ilmun wa Dalilun, Cet. II, Th 1403H, hal. 2/505 . Disyariatkannya
kurban sudah merupakan ijma yang disepakati kaum muslimin [2] Lihat Ibnu Qudamah,
Al-Mughni (11/94) dan Ibnu Hajar, Fatḥul Bāri Bi Syarhi Shåḥīḥ Al-Bukhåri , tanpa cetakan dan tahun, Al-
Maktabah Al-Salafiyah 10/3. Namun tentang hukumnya masih diperselisihkan para
ulama, yang terbagi dalam beberapa pendapat.
1) Pertama : Wajib Bagi Yang Mampu
Demikian ini pendapat Abu Hanifah dan Malik. Madzhab inipun dinukil dari
RåbiÀh Al-Rå’yi, Al-Auza’i, Al-Laits bin SaÀd [3] Lihar Dr Aḥmad Muwafi, Taisir Al-Fiqhi
Al-Jami Li Likhtiyaråt Al-Fiqhiyah Lisyaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, Cetakan Pertama, Tah 1416H, Dar
Ibnu Al-Jauzi, Dammam, KSA (3/1210) dan salah satu riwayat dari Aḥmad bin Hanbal
[4] Lihat makalah Abu Bakr Al-Baghdadi yang yang berjudul Juzun Fi Udhḥiyah wa hukmu Ikhråjiha An
Balad Al-Mudhåhi, Majalah Al-Hikmah, hal 22 tanpa edisi dan tahun. Pendapat ini diråjihkan
oleh Ibnu Taimiyah [5] Lihat Taisir Al-Fiqh, op.cit (3/1208) menukil dari Majmu Fatāwā (23/162)
. Dan Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : “Pendapat yang mewajibkan bagi orang
yang mampu adalah kuat, karena banyaknya dalil yang menujukkan perhatian
dan kepedulian Allǻh padanya” [6] Lihat Ibnu Utsaimin, Syarḥu Al-Mumti Ala Zād Al-
Mustaqni, Taḥqiq Khålid bin Ali Al-Musyaiqih dan Sulaiman Aba Khåil, Cet 1, Th 1416H, Muassasah
Asām, Riyadh KSA (7/519)
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 65 -
[@AMAL]
ِات فَقَا َل ََّي َأُّيُّ َا النَّا ُس ا َّن عَ ََّل ُ ُِك َأهْل ُ ⚫ َ ْحن ُن َم َع النَّ ِ ِِب َص ََّّل
ٍ َهللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل َوه َُو َوا ِقف ِب َع َرف
ِ ِ ْ بَي ٍْت ِِف ُ ُِك عَا ٍم أ
ون َماالْ َعتِ َريةُ؟ َه ِذ ِه ال َّ ِت ي َ ُقو ُل النَّا ُس َّالر َج ِبيَّ ُة
َ َْض َي ًة َو َعتِ َري ًة قَا َل تَدْ ُر
“Kami bersama Råsūlullǻh dan Beliau wukuf di Àråfah , lalu berkata,
“Wahai, manusia. Sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap
tahunnya kurban dan Àtiråh”. Beliau berkata, “Tahukah kalian, apakah
Àtiråh itu? Yaitu yang dikatakan orang råjabiyah” [14] Ḥadits ini diriwayatkan
oleh Aḥmad (4/215), Abu Dāwud no.2.788, At-Tirmidzi no.1.518, An-Nasa’i 7/167 dan Ibnu Mājah no.
3125. Ḥadits ini dishåḥīḥkan Al-Albani dalam Al-Misykah no.1478 dan Shåḥīḥ Al-Jāmi.
3) Atsar Abu Bakr dan ‘Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sarihah Al-
Ghifari, beliau berkata.
َك َرا ِه َّي َة َأ ْن- ِِف ب َ ْع ِض َحد ْيِثِ ِ ْم-⚫ َما َأد َْر ْك ُت َأ َِب بَك ِر َأ ْو َر َأيْ ُت َأ َِب بَ ْك ٍر َو ُ ََع َر َاكنَ َإل يُضَ ِح َي ِان
يُ ْقتَدَ ى ِبِ ِ َما
“Aku mendapati Abu Bakar atau melihat Abu Bakr dan Umar tidak
menyembelih kurban –dalam sebagian ḥadits mereka- khåwatir
dijadikan panutan” [22] Diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubrå 9/295 dan
dishåḥīḥkan Al-Albani.Lihat Irwa Al-Ghålil Fi Takhrij Ahādist Manār Al-Sabil, karya Syaikh Al-Albani
cetakan ke 2 tahun 1405H, Al-Maktab Al-Islami no. 1139 hal 4/355
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 69 -
[@AMAL]
ALMANHAJ.0R.ID ⓪⑤⑧ | ÀQIQÅH & QURBAN|
⓿❺❽①⑧
Pertanyaan
Syaikh Masyhur bin Ḥasan Salman ditanya : Menjelang Idul Adhḥa tiba, ada
beberapa masalah yang senantiasa mengemuka dan perlu mendapat perhatian.
Di antara masalah tersebut, yaitu penyembelihan hewan kurban di sekolah-
sekolah.
Kegiatan ini sangat maråk, karena memang digalakkan oleh beberapa sekolah,
baik swasta maupun negeri. Dimana sekolah-sekolah tersebut menghåruskan
siswanya untuk mengeluarkan dana dengan jumlah tertentu sesuai dengan
keputusan sekolah masing-masing. Dana yang terkumpul kemudian digunakan
untuk membeli hewan kurban sapi atau kambing. Anggapan yang kemudian
timbul, bahwa kegiatan sejenis ini termasuk dalam kategori pelaksanān ibadah
yang sah.
❖ Bagaimanakah pendapat ini?
❖ Alasan yang melatar belakangi perbuatan ini, yaitu untuk melatih siswa
melaksanakan ibadah.
Jawaban
Mengenai penyembelihan kurban di sekolah, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, baik oleh pihak sekolah ataupun pihak wali murid atau orang tua.
1) Jika seseorang melaksanakan ibadah kurban dengan cara yang benar dan
memenuhi persyaråtan yang telah ditetapkan syariÀt, maka ibadah
kurbannya tersebut sah dan cukup untuk dirinya dan anggota keluarganya
yang lain, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Namun tidak
disyariÀtkan bila dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal.
Sehingga, jika seorang siswa sudah melaksanakan ibadah kurban di sekolah
atau di tempat lainnya dengan cara yang benar, maka syariÀt kurban menjadi
gugur atas anggota keluarga lainnya. Dalam hal ini, berarti ia mendapatkan
limpahan wewenang dari orang tuanya.
Yang harus mendapat perhatian penuh, yaitu pelaksanaan sunnah yang
berkaitan dengan ibadah kurban. Di antara sunnah-sunnah itu ialah ; bagi
orang yang berkurban dan anggota keluarganya, disunnahkan untuk
Pertanyaan
❖ Apakah orang yang sudah wafat bisa mendapatkan pahala jika keluarganya
yang masih hidup melakukan ibadah qurban atas namanya ?
❖ Karena semasa hidupnya, orang ini tidak pernah melakukan ibadah qurban ?
08135xxxxxx
Jawaban :
Insya`a Allǻh, orang yang sudah wafat itu bisa mendapatkan pahala jika ibadah
qurban yang dilakukan oleh kerabatnya yang masih hidup itu berlandaskan
wasiatnya ketika dia masih hidup atau si mayit termasuk diantara nama-nama
orang yang diikutsertakan dalam satu ibadah qurban sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam . Beliau Shållallǻhu Àlaihi
wa sallam bersabda : “Ya Allǻh , terimalah ini dari Muḥammad dan keluarga
‘Muḥammad ”. Sedangkan mengkhususkan satu ibadah qurban atas nama orang
yang sudah meninggal dunia, kami belum mengetahui satu riwayatpun yang
menerangka n bahwa itu pernah dilakukan oleh Råsūlullǻh atau pada shåḥabat
beliau.
Misalnya : “Ini adalah qurban dari si Fulan.” padahal si Fulan sudah meninggal.
Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al Utsaimin menerangka n bahwa berqurban untuk
yang mati ada tiga macam:
1) Pertama: Berqurban atas nama orang yang mati secara khusus. Ini tidak ada
sunnahnya
Allǻh Azza wa Jalla berfirman:
⚫ َو َأ ْن لَي َْس ِل ْالن ْ َس ِان ا َّإل َما َس َع ٰى
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
ِ ِ
telah diusahakannya
[an Najm/53:39]
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 73 -
[@AMAL]
ALMANHAJ.0R.ID ⓪⑤⑧ | ÀQIQÅH & QURBAN|
⓿❺❽①⑨
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 75 -
[@AMAL]
meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih kurban dan
yang lainnya di kuburån” [4] Majmu Al-Fatāwā (26/306)
Akan tetapi, kami tidak memandang benarnya pengkhususan kurban untuk
orang yang sudah meninggal sebagai sunnah, sebab Nabi Shållallǻhu Àlaihi
was al sallam tidak pernah mengkhususkan menyembelih untuk seorang
yang telah meninggal. Beliau Shållallǻhu Àlayhi wa sallam tidak menyembelih
kurban untuk Hamzah, pamannya, padahal Hamzah merupakan kerabatnya
yang paling dekat dan dicintainya. Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam tidak
pula menyembelih kurban untuk anak-anaknya yang meninggal dimasa hidup
beliau, yaitu tiga wanita yang telah bersuami dan tiga putrå yang masih kecil.
Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam juga tidak menyembelih kurban untuk
istrinya, Khådijah, padahal ia merupakan istri tercintanya. Demikian juga,
tidak ada berita jika para saḥabat menyembelih kurban bagi salah seorang
yang telah meninggal.
Demikian sedikit ulasan berkenaan dengan kurban bagi orang yang telah
meninggal.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis
Ustadz Kholid Syamhudi Lc. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Suråkarta, Jl. Solo
– Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
Footnote
[1]. Ḥadits shåḥīḥ diriwayatkan Abu Dāwud dan At-Tirmdzi.
[2]. Majmu Al-Fatāwā (23/164)
[3]. Dr. Àbdullǻh bin Muḥammad Ath-Thåyar, Aḥkam Al-Idain wa Asyarå Dzilḥijjah,
cetakan Pertama Tahun 1413H Dār Al-Ahimah, Riyadh KSA, hal. 72.
[4]. Majmu Al-Fatāwā (26/306)
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 77 -
[@AMAL]
Dalam ḥadits lain. Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam dengan tegas
menghapuskan larångan tersebut dan menyebutkan sebabnya. Beliau bersabda.
الط ْولِ عَ ََّل َم ْن َإل َط ْو َل َ َُل فَ ُ ُكوا َمابَدَ ا لَ ُ ُْك ِ ِ ⚫ ُك ْن ُت َنَ َ ْي ُت ُُك َع ْن لُ ُحو ِم ْا َألضَ ا
َّ ح فَ ْو َق ثَ َال ٍث ِل َيت َّ ِس َع ُذو
َو َأ ْط ِع ُموا َوا َّد ِخ ُروا
⚫ “Artinya ; Dahulu aku melarång kamu dari daging kurban lebih dari tiga
hari, agar orang yang memiliki kecukupan memberikan keleluasan
kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun (sekarång),
makanlah semau kamu, berilah makan, dan simpanlah.”
[HR Tirmidzi no. 1510, dishåḥīḥkan oleh Syaikh Al-Albani]
Setelah meriwayatkan ḥadits ini, Imam Tirmidzi råḥimahullǻh berkata. :
هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل َوغَ ْ ِري ِ ُْه ِ َوالْ َع َم ُل عَ ََّل ه ََذا ِع ْندَ َاهلِ الْ ِم ْ َِّل ِم ْن َا ْحص
ُ َاب النَّ ِ ِِب َص ََّّل
“Artinya : Pengamalan ḥadits ini dilakukan oleh ulama dari kalangan para
saḥabat Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam dan selain mereka”.
Dalam ḥadits lain disebutkan :
⚫ “Dari Àbdullǻh bin Waqid, dia berkata : Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa
sallam melarång memakan daging kurban setelah tiga hari. Àbdullǻh bin
Abu Bakar berkata : Kemudian aku sebutkan hal itu kepda Amråh. Dia
berkata, “dia (Àbdullǻh bin Waqid) benar”. Aku telah mendengar ‘Ā`isyah
rådhiyallǻhu Ànha mengatakan, orang-orang Badui datang waktu Idul
Adhḥa pada zaman Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam , maka Beliau
bersabda, ‘Simpanlah (sembelihan kurban) selama tiga hari, kemudian
shådaqåhkanlah sisanya’. Setelah itu (yaitu pada tahun berikutnya, -
pent) para saḥabat mengatakan : “Wahai Råsūlullǻh , sesungguhnya
orang-orang membuat qirbah-qirbah [1] (Qirbah : wadah air yang terbuat dari kulit)
dari binatang-binatang kurban mereka, dan mereka melelehkan
(membuang) lemak darinya”. Maka Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa
sallam bersabda : “Memangnya kenapa?” Mereka menjawab, “Anda telah
melarång memakan daging kurban setelah tiga hari”. Maka beliau
bersabda : “Sesungguhnya aku melarång kamu hanyalah karena
sekelompok orang yang datang (yang membutuhkan shådaqåh daging, -
pent). Namun (sekarång) makanlah, simpanlah, dan bershådaqåhlah’ .
[HR Muslim no. 1971]
Banyak ulama menyatakan, orang yang menyembelih kurban disunnahkan
bershådaqåh dengan sepertiganya, memberi makan dengan sepertiganya, dan dia
bersama keluarganya memakan sepertiganya. Namun riwayat-riwayat yang
berkaitan dengan ini lemah. Sehingga hal ini diseråhkan kepada orang yang
berkurban. Seandainya dishådaqåhkan seluruhnya, hal itu dibolehkan.
Wallǻhu a’lam [2] Shåḥīḥ Fiqhis Sunnah 2/378, karya Abu Malik Kamal bin As-Syyid Salim.
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 81 -
[@AMAL]
dan semacamnya dengan (ditukar) Barang -Barang , bukan dengan
uang, karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata”
[Lihat Taudhiḥul Aḥkam Min Bulughul Maråm 6/71]
KESIMPULAN
Dari perkataan para ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1) Orang yang berkurban boleh memanfātkan kurbannya dengan memakan
sebagiannya, menshådaqåhkan sebagiannya, memberi makan orang lain dan
memanfātkan apa yang dapat dimanfātkan.
2) Para ulama sepakat, orang yang berkurban dilarång menjual dagingnya.
3) Tentang menjual kulit kurban, para ulama berbeda pendapat.
a. Tidak boleh. Ini pendapat mayoritas ulama. Dan ini yang paling selamat,
insya Allǻh
b. Boleh asal dengan Barang , bukan dengan uang. Ini pendapat Abu Hanifah,
Tetapi Asy-Syafi’i menyatakan, bahwa menukar dengan Barang juga
merupakan jual-beli.
c. Boleh. Ini pendapat Abu Tsaur. Tetapi pendapat ini menyelisihi ḥadits -
ḥadits diatas.
4) Jika kulit dijual, maka –yang paling selamat- uangnya (hasil penjualan)
dishådaqåhkan. Wallǻhu Àlam bish shåwab.
Pengelola penyembelihan binatang kurban tidak boleh gegabah dan seråmpangan
mengambil kesimpulan hukum tentang kulit. Misalnya mengambil inisiatif
menjual kulit yang hasilnya untuk kepentingan masjid atau diluar lingkup
ketentuan yang diperbolehkan. Wallǻhu a’lam
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis
Ustadz Muslim Al-Atsari. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Suråkarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
Pertanyaan
Syaikh Àbdullǻh bin Àbdurråhman Al-Jibrin ditanya :
❖ Ada seseorang yang akan menyembelih hewan kurban hanya untuk dirinya
saja. Atau hendak berkurban untuk dirinya dan kedua orang tuanya.
Bagaimana hukum memotong rambut dan kuku baginya pada hari-hari di
antara sepuluh hari pertama Dzulḥijjah?
❖ Apa hukumnya bagi perempuan yang rambut nya rontok ketika di sisir?
❖ Dan bagaimana pula hukumnya kalau niat akan berkurban itu baru dilakukan
sesudah beberapa hari dari sepuluh hari pertama Dzulḥijjah , sedangkan
sebelum berniat ia sudah memotong rambut dan kukunya?
❖ Sejauh mana deråjat pelanggarån kalau ia memotong rambut atau kukunya
dengan sengaja sesudah ia berniat berkurban untuk dirinya atau kedua orang
tuanya atau untuk kedua orang tua dan dirinya?
❖ Apakah hal ini berpengaruh terhadap kesahan kurban?
Jawaban
❖ Diriwayatkan dari Ummu Salamah rådhiyallǻhu Ànha dari Nabi Shållallǻhu
Àlayhi wa sallam beliau bersabda.
ُ ْ ⚫ ا َذا َد َخلَ ِت الْ َع
ِ َ َش َو َأ َرا َد َأ َحدُ ُ ْمك َأ ْن يُضَ ِح َي فَ َال ي َ َم َّس ِم ْن شَ ْع ِر ِه َوب
ََش ِه شَ يْئًا
⚫ “Apabila sepuluh hari pertama (Dzulḥijjah ) telah masuk dan
ِ
seseorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah
menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun”
[Riwayat Muslim]
Ini adalah nash yang menegaskan bahwa yang tidak boleh mengambil rambut
dan kuku adalah orang yang hendak berkurban, terseråh apakah kurban itu
atas nama dirinya atau kedua orang tuanya atau atas nama dirinya dan kedua
orang tuanya. Sebab dialah yang membeli dan membayar harganya. Adapun
kedua orang tua, anak-anak dan istrinya, mereka tidak dilarång memotong
rambut atau kuku mereka, sekalipun mereka diikutkan dalam kurban itu
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 83 -
[@AMAL]
bersamanya, atau sekalipun ia yang secara sukarela membelikan hewan
kurban dari uangnya sendiri untuk mereka.
❖ Adapun tentang menyisir rambut , maka perempuan boleh melakukannya
sekalipun rambut nya berjatuhan karenanya, demikian pula tidak mengapa
kalau laki-laki menyisir rambut atau jenggotnya lalu berjatuhan karenanya.
❖ Barangsiapa yang telah berniat pada pertengahan sepuluh hari pertama untuk
berkurban, maka ia tidak boleh mengambil atau memotong rambut dan kuku
pada hari-hari berikutnya, dan tidak dosa apa yang terjadi sebelum berniat.
❖ Demikian pula, ia tidak boleh mengurungkan niatnya berkurban sekalipun
telah memotong rambut dan kukunya secara sengaja.
❖ Dan juga jangan tidak berkurban karena alasan tidak bisa menahan diri untuk
tidak memotong rambut atau kuku yang sudah menjadi kebiasaan setiap hari
atau setiap minggu atau setiap dua minggu sekali.
❖ Namun jika mampu menahan diri untuk tidak memotong rambut atu kuku,
maka ia wajib tidak memotongnya dan haråm baginya memotongnya, sebab
posisi dia pada saat itu mirip dengan orang yang menggiring hewan kurban
(ke Mekkah di dalam beribadah ḥaji ).
Allǻh Subḥanahu wa TaÀla berfirman :
⚫ َو َإل َ َْت ِل ُقوا ُر ُء َوس ُ ُْك َح َّ ِٰت ي َ ْبلُ َغ الْهَدْ ُي َم ِح َّ ُل
“Janganlah kamu mencukur (rambut ) kepalamu sebelum hewan kurban
sampai pada tempat penyembelihannya “
[Al-Baqåråh : 196]
Wallǻhu Àlam
(Fatawa Syaikh Àbdullǻh bin Àbdurråhman Al-Jibrin, tanggal 8/12/1421H dan
beliau tanda tangani)
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min
Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haråm, Penyusun Khålid Al-Juråisy, Edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
Pertanyaan.
❖ Siapakah yang berhak menerima daging binatang kurban dan apa hukum
memberikan daging hewan kurban kepada yang menyembelih?
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 85 -
[@AMAL]
ALMANHAJ.0R.ID ⓪⑤⑧ | ÀQIQÅH & QURBAN|
⓿❺❽②②
Pertanyaan.
Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al-Utsaimin råḥimahullǻh ditanya,
❖ "Mana yang lebih baik untuk dijadikan hewan kurban, hewan gemuk yang
banyak dagingnya ataukah yang harganya mahal?
Jawaban
Ini sebuah permasalahan, manakah yang lebih baik untuk dijadikan hewan
kurban, apakah yang harganya mahal ataukah hewan gemuk dan besar?
Biasanya, kedua hal ini saling berkaitan eråt (lebih besar mestinya lebih mahal-
red).
Hewan yang gemuk adalah hewan terbaik untuk kurban, namun terkadang
sebaliknya (yang lebih mahal lebih baik-red). Kalau kita menilik ke manfaat
kurban, maka kami berpendapat bahwa hewan yang besar lebih baik, meskipun
harganya muråh. Namun jika kita menilik kepada kejujurån dalam beribadah
kepada Allǻh Azza wa Jalla , kami berpendapat bahwa hewan yang mahal lebih
baik. Karena kerelaan seseorang mengeluarkan dana besar dalam rangka
beribadah kepada Allǻh Azza wa Jalla menunjukkan kesempurnaan dan
keseriusannya dalam beribadah.
Untuk menjawab pertanyaan diatas kami katakan,
"Lihatlah yang lebih bagus pengaruhnya buat hatimu lalu lakukanlah! Selama
ada dua kebaikan yang berlawanan, maka lihatlah mana yang lebih bagus
pengaruhnya buat hatimu. Jika Anda memandang bahwa keimanan dan
ketundukan jiwa Anda kepada Allǻh Azza wa Jalla akan bertambah dengan sebab
mengeluarkan dana, maka keluarkan dana yang besar.
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 87 -
[@AMAL]
Wallǻhu a'lam.
وِبهلل التوفيق وصَّل هللا عَّل نبينا محمد وأَل وحصبه و سَّل
Al-Lajnatud Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyah wal Iftā'
Ketua : Syaikh Abdul Aziz bin Àbdullǻh bin Baz; wakil : Syaikh Abdurråzaq afifi;
Anggota : Syaikh Abdulah ghådyan dan Syaikh Àbdullǻh Mani'
Pertanyaan
Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al-Utsaimin råḥimahullǻh pernah ditanya,
❖ "Apa hukum menyisir rambut pada bulan Dzulḥijjah sebelum memotong
hewan kurban?
Jawaban.
Apabila seseorang berniat untuk melaksanakan ibadah kurban dan sudah masuk
bulan Dzulḥijjah , maka ketika itu dia dilarång memotong kuku, rambut atau
kulitnya sedikitpun.
Namun jika dia seorang wanita dan butuh untuk menyisir rambut nya, maka dia
boleh menyisir rambut nya tapi harus perlahan-lahan.
Jika tanpa sengaja ada rambut yang lepas dengan sebab sisirån itu, maka dia tidak
berdosa.
Karena dia menyisir rambut untuk meråpikan rambut nya bukan sengaja untuk
merontokkannya. Dan rambut itu rontok tanpa ada unsur kesengajaan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah råḥimahullǻh pernah ditanya tentang bacaan saat
menyembelih hewan kurban, cara menyembelih dan aturån pembagian daging
hewan kurban.
Beliau råḥimahullǻh menjawab.
Alḥamdulillah, (cara penyembelihannya yaitu) hewan kurban dihadapkan ke aråh
kiblat lalu dibaringkan pada sisi kirinya dan membaca :
Apabila sudah selesai menyembelih, baru membaca firman Allǻh Azza wa Jalla :
َّ ⚫ ِا ِن َو َّ َْج ُت َو ْ َِج َيي ِل َّ َِّلي فَ َط َر
ِ ْ الس َم َاو ِات َو ْ َاأل ْر َض َح ِنيفًا َو َما َأنَ ِم َن الْ ُم
َش ِك َي
⚫ Sesungguhnya aku menghådapkan diriku kepada Råbb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Råbb.
[ al-An'ām/6:79]
يك َ َُل َو ِب َ َٰذ ِ َِل ُأ ِم ْر ُت َو َأنَ َأ َّو ُلِ َ ⚫ قُ ْل ا َّن َص َال ِِت َون ُ ُس ِِك َو َم ْح َي َاي َو َم َم ِاِت ِ َّ َِّلل َر ِب الْ َعالَ ِم َي إل
َ َش
ِ
الْ ُم ْس ِل ِم َي
⚫ Katakanlah, "Sesungguhnya shålāt ku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allǻh, Råbb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyeråhkan diri (kepada Allǻh)."
[al-an'ām/6:162-163]
Dagingnya bisa dia sedekahkan sepertiganya dan dihadiahkan sepertiganya. Jika
yang dia konsumsi lebih dari sepertiga atau yang dia sedekahkan atau dia
memasaknya lalu mengundang masyarakat sekitar untuk makan-makan, maka itu
boleh.
Untuk tukang jagal diberi upah tersendiri. Sedangkan kulitnya, jika dia mau, dia
bisa memanfaatnya atau menyedekahkannya. Wallǻhu a'lam [Majmū' Fatāwā,
26/163]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Suråkarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Footnote
[1]. Majmu' Fatāwā wa Råsāil Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al-Utsaimin, 25/35
[2]. Fatāwā al-Lajnatid Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyah wal Iftā', 11/398
[3]. Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatthå`, 1/101; Imam Aḥmad, 2/460; Imam
Bukhāri, no. 881; Imam Muslim, no. 850; Abu Daud, no. 351; Imam Tirmidzi, no. 499; Imam
Nasa'i, 3/99, Kitābul JumÀh, Bāb Waktil JumÀh; Ibnu Hibbān, no. 2775 dan al Baghåwi
dalam Syarhus Sunnah, 4/234, no. 1063
[4]. Majmū' Fatāwā wa Råsāil Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al-Utsaimin, 25/146
[5]. Majmū' Fatāwā, 26/163
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 89 -
[@AMAL]
APAKAH BOLEH WANITA MENYEMBELIH KURBAN
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya :
❖ Apakah boleh wanita menyembelih hewan dan apakah boleh kita memakan
hasil sembelihannya?
Jawaban
Dibolehkan bagi wanita menyembelih hewan sebagaimana laki-laki berdasarkan
beberapa ḥadits shåḥīḥ.
Dan dibolehkan juga memakan dagingnya, dengan syaråt wanita tersebut
muslimah atau ahlul kitab dan dia melakukan penyembelihan tersebut secara
syar’i walaupun laki-laki yang mampu menyembelih ada, sebab tidak adanya laki-
laki bukan menjadi syaråt halalnya sembelihan wanita tersebut.
Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ Al-Utsaimin berfatwa dalam hal ini sebagai berikut
:
Dibolehkan bagi wanita menyembelih hewan kurban dan semisalnya, sebab
dalam urusan ibadah wanita sama halnya dengan laki-laki, kecuali ada dalil
yang membedakan antara keduanya. Hal teresebut berdasarkan kisah
seorang wanita budak pengembala kambing kemudian ada serigala yang
menerkam kambingnya lalu budak tersebut mengambil batu yang tajam
untuk menyembelih kambing tersebut, lalu Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa
sallam memerintahkan untuk memakan sembelihan tersebut.
[Kitab Fatawa Dakwah Syaikh Ibnu Baz Juz 2/183. As’ilah wa Ajwibah fi Shålāt il
Idaini, 32-33]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-JamiÀh Lil MarÀtil Muslimah, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah
Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq - Jakarta]
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 91 -
[@AMAL]
menyembelih)”, [3] Syaikh Al-Albani berkata : “Ḥadits shåḥīḥ diriwayatkan Abu Dāwud (2810)
dan At-Tirmidzi (1/287). “Lihat Irwa Al-Ghålil (4/349), No. 1.138
dengan beliau pada hari selasa 7 Des 2004M di Institut Teknologi Suråbaya (ITS) dan Prof. Dr.
Àbdullǻh bin Muḥammad Ath-Thåyar [6] Aḥkam Al-‘Iidain Wa Asyarå Dzil Ḥijjah, op.cit.
halaman. 88.
Namun, pada asalnya kurban itu disembelih oleh orang yang berkurban di
daeråhnya. Akan tetapi, apabila ada ḥajat dan manfaat yang lebih besar untuk
dikirim –misalnya ke negeri yang sedang mengalami kelaparan atau tertimpa
bencana- maka diperbolehkan. Sedangkan amalan sebagian kaum muslimin yang
mewajibkan pengumpulan kurban mereka dari jauh ke satu tempat tertentu atau
lembaga tertentu dengan meninggalkan daeråhnya yang membutuhkan kurban
tersebut, maka yang seperti ini tidak ada dasarnya dalam syariÀt. Demikian
pembahasan ini, mudah-mudahan bermanfāt.
Wallǻhu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10 /Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Suråkarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197]
Footnote
[1]. Permasalahan ini diangkat dari makalah Abu Bakar Al-Baghdadi, Juz’un Fil Adh-ḥiyah
Wa Ḥukmi Ikhråjiha Àn Baladi Al-Mudhahi, Majalah Al-Himah, tanpa edisi, halaman 50-
55 dan risalah Prof Dr Àbdullǻh bin Muḥammad Ath-Thåyar, Àḥkam Al-Idain Wa Asyarå
Dzil Hijjah, Cetakan Pertama, Tahun 1413H, Dar Al-Ashimah, Riyadh, halaman 88 dengan
sedikit perubahan dan tambahan dari penulis.
[2]. Lihat Aḥkam Al-Idain Wa Asyarå Dzil Hijjah, halaman. 88
[3] Syaikh Al-Albani berkata : “Ḥadits shåḥīḥ diriwayatkan Abu Dāwud (2810) dan At-
Tirmidzi (1/287). “Lihat Irwa Al-Ghålil (4/349), No. 1.138
[4]. Diriwayatkan Al-Bukhåri No 3.320
[5]. Wawancara Penulis dengan beliau pada hari selasa 7 Des 2004M di Institut Teknologi
Suråbaya (ITS)
[6]. Àḥkam Al-Idain Wa Asyarå Dzil Hijjah, op.cit. halaman. 88
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 93 -
[@AMAL]
- 94 - [@AMAL] ⓪⑤⑧ www.almanhaj.or.id
ALMANHAJ.0R.ID ⓪⑤⑧ | ÀQIQÅH & QURBAN|
⓿❺❽②④
Pertanyān.
Al-Lajnatud Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyyah Wal Iftā`ditanya :
❖ Siapakah yang berhak menerima daging binatang kurban dan apa hukum
memberikan daging hewan kurban kepada yang menyembelih?
❖ Banyak kaum Muslimin di negeri kami, jika mereka telah menyembelih hewan
kurban, maka mereka tidak segera membagikan daging hewan tersebut pada
hari yang sama, namun mereka tunda sampai besok. Saya tidak tahu, apakah
itu Sunnah atau perbuatan itu mendatangkan pahala ?
Jawaban.
❖ Orang yang melakukan ibadah kurban boleh mengkonsumsi daging hewan
kurbannya, sebagiannya boleh diberikan kepada orang-orang fakir untuk
mencukupi kebutuhan mereka pada hari itu, diberikan kepada kerabat untuk
menyambung silaturråḥim, diberikan kepada tetangga sebagai bantuan dan
boleh juga diberikan kepada teman-teman untuk mengokohkan ikatan
persaudaråan.
❖ Menyegeråkan pembagian hewan kurban pada hari raya lebih baik daripada
hari kedua dan seterusnya, sebagai penghibur bagi mereka pada hari itu.
Berdasarkan keumuman firman Allǻh Azza wa Jalla :
َّ ⚫ َو َسا ِر ُعوا ِا َ َٰل َم ْغ ِف َر ٍة ِم ْن َرب ُ ُِْك َو َجن َّ ٍة ع َْرضُ هَا
الس َم َاو ُات َو ْ َاأل ْر ُض ُأ ِعد َّْت لِ ْل ُمتَّ ِق َي
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Råbbmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-
orang yang bertakwa.
[Āli Imrån/3:133]
⚫ ف َْاست َ ِب ُقوا الْخ ْ ََري ِات
Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.
[al-Baqåråh/2:148]
Dan daging kurban boleh juga diberikan kepada tukang sembelih, tapi bukan
sebagai upah. Upah tidak boleh diambilkan dari binatang kurban.
ْ َ هللا عَ ََّل نَب ِِينَا ُم َح َّم ٍد َوأ ِ َِل َو
حص ِب ِه َو َس َّ ََّل ُ َو ِِب ِهلل التَّ ْو ِف ْي ُق َو َص ََّّل
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 95 -
[@AMAL]
Al-Lajnatud Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyyah Wal Iftā`
Ketua : `Syaikh `Abdul `Azīz bin `Abdullāh bin Bāz; Wakil : Syaikh `Abdurråzāq
Afīfy; Anggota : Syaikh `Abdullāh bin Ghådyān dan Syaikh `Abdullāh bin Qu’ūd
(Fatāwa al-Lajnatid Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyyah Wal Iftā`, 11/423-424)
TAHUKAH SI MAYIT?
Pertanyaan.
Al-Lajnatud Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyyah Wal Iftā`ditanya :
❖ Jika ada seseorang yang melakukan ibadah kurban atas nama bapaknya yang
telah wafat atau dia bersedekah, mendoakannya atau menziaråhi kuburnya,
apa si mayit tahu bahwa ini dari anaknya Fulan ?
Jawaban.
❖ Yang dijelaskan oleh teks-teks syariÀt bahwa orang yang sudah meninggal
bisa mendapatkan manfaat dari sedekah serta doÀ dari orang yang masih
hidup. Dan ibadah kurban itu termasuk jenis sedekah. Jika niat orang yang
bersedekah atas nama orang yang sudah meninggal itu ikhlas dalam
sedekahnya atau doÀnya, maka orang yang sudah meninggal bisa
mendapatkan manfaat; serta orang yang bersedekah dan berdoÀ
mendapatkan pahala, sebagai karunia dan råhmat dari Allǻh Azza wa Jalla .
❖ Cukuplah bagi si pelaku, bahwa Allǻh Azza wa Jalla mengetahui keikhlasannya
dan kebagusan amalnya serta memberikan balasan bagi kedua belah pihak.
❖ Adapun tentang si mayit, apakah dia mengetahui siapa yang memberikan
kebaikan kepadanya; sebatas yang kami ketahui, permasalahan ini tidak
diterangka n dalam dalil syar’i. Ini adalah masalah ghåib yang tidak bisa
diketahui kecuali melalui wahyu yang Allǻh Azza wa Jalla berikan kepada
Råsul-Nya.
ْ َ هللا عَ ََّل نَب ِِينَا ُم َح َّم ٍد َوأ ِ َِل َو
حص ِب ِه َو َس َّ ََّل ُ َو ِِب ِهلل التَّ ْو ِف ْي ُق َو َص ََّّل
Al-Lajnatud Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyyah Wal Iftā`
Ketua : Syaikh `Abdul `Azīz bin `Abdullǻh bin Bāz; Wakil : Syaikh `Abdurråzāq Afīfy;
Anggota : Syaikh `Abdullǻh bin Ghådyān dan Syaikh `Abdullǻh bin Qu’ūd
(Fatāwǻ al-Lajnatid Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyyah Wal Iftā`, 11/420)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1431H/2010. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Suråkarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Ḥadits ini shåḥīḥ, diriwayatkan dari sejumlah saḥabat dengan lafazh yang
berbeda. Di antara nya yaitu :
1) Ḥadits Jabir rådhiyallǻhu Ànhu
اَّلل َص ََّّل اللَّهم عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل ْ َاأل ْْضَى ِِبلْ ُم َص ََّّلِ َّ ِاَّلل قَا َل شَ هِدْ ُت َم َع َر ُسول ِ َّ ⚫ ع َْن َجا ِب ِر ْب ِن َع ْب ِد
اَّلل َص ََّّل اللَّهم عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل ِب َي ِد ِه
ِ َّ فَلَ َّما قَ ََض خ ُْط َبتَ ُه نَ َز َل ِم ْن ِمنْ َ َِّب ِه َو ُأ ِ َِت ِب َكبْ ٍش فَ َذ َ َْب ُه َر ُسو ُل
اَّلل َأ ْك َ َُّب َه َذا ع َِِن َو َ ََّع ْن لَ ْم يُضَ ِح ِم ْن ُأ َّم ِت ِ َّ َوقَا َل ب ِْس ِم
ُ َّ اَّلل َو
Diriwayatkan dari Jābir rådhiyallǻhu Ànhu , ia berkata: Aku ikut bersama
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam pada hari 'Idul Adhḥa di Mushålla
(lapangan tempat shålāt ). Setelah selesai khutbah, Råsūlullǻh Shållallǻhu
Àlaihi wa sallam turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor
kambing kibasy, lalu Råsūlullǻh menyembelihnya dengan kedua tangannya
seraya berkata,"Dengan menyebut nama Allǻh, Allǻhu akbar, ini adalah
kurbanku dan kurban siapa saja dari umatku yang belum berkurban."
Ḥadits ini diriwayatkan oleh Abu Dāwud dalam Sunan-nya (II/86), At
Tirmidzi dalam Jami'-nya (1.141) dan Aḥmad (14.308 dan 14.364).
Para peråwinya tsiqåt, hanya saja, ada masalah dengan peråwi yang bernama
Al Muththålib. Dikatakan, bahwa ia banyak meriwayatkan ḥadits mursal.
Masalah ini telah diisyaråtkan oleh At Tirmidzi dengan pernyataannya:
"Ḥadits ini ghårib (hanya diriwayatkan oleh satu orang saḥabat , Red) dari
jalur ini.
Ḥadits inilah yang diamalkan oleh Ahli Ilmu dari kalangan saḥabat Råsūlullǻh
Shållallǻhu Àlaihi wa sallam dan yang lainnya.
Yaitu hendaklah seorang lelaki apabila menyembelih mengucapkan
‘Bismillah Allǻhu Akbar’. Ini adalah merupakan pendapat Ibnul Mubaråk.
Dan dikatakan bahwa Al Muththålib bin Abdillah bin Hanthåb belum
mendengar dari Jābir."
Segala puji bagi Allǻh semata, shålawat dan salam semoga tercuråh kepada
Råsūlullǻh , Nabi kita ‘Muḥammad , kepada keluarga dan segenap saḥabat nya.
ما من: ⚫ روى البخاري رْحه هللا عن ابن عباس رِض هللا عْنام أن النِب صَّل هللا عليه وسَّل قال
َّي رسول هللا وإل: قالوا- أَّيم العمل الصاحل فهيا أحب اَل هللا من هذه األَّيم – يعِن أَّيم العَش
اجلهاد ِف سبيل هللا ؟ قال وإل اجلهاد ِف سبيل هللا اإل رجل خرج بنفسه وماَل ُث مل يرجع من
ذِل بيشء
Diriwayatkan oleh Al-Bukhåri , råḥimahullǻh , dari Ibnu Àbbas rådhiyallǻhu
Ànhuma bahwa Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari
di mana amal Shåliḥ pada saat itu lebih dicintai oleh Allǻh daripada hari-hari
ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulḥijjah . Mereka bertanya : Ya
Råsūlullǻh , tidak juga jihad fi sabilillah?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad
fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya,
kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".
ما: ⚫ وروى اإلمام أْحد رْحه هللا عن ابن َعر رِض هللا عْنام عن النِب صَّل هللا عليه وسَّل قال
من أَّيم أعظم وإل احب اَل هللا العمل فهين من هذه األَّيم العَش فأكْثوا فهين من الْتليل
والتكبري والتحميد
⚫ وروى ابن حبان رْحه هللا ِف حصيحه عن جابر رِض هللا عنه عن النِب صَّل هللا عليه وسَّل
. أفضل األَّيم يوم عرفة:قال
"Imam Aḥmad, råḥimahullǻh , meriwayatkan dari ‘Umar rådhiyallǻhu Ànhuma,
bahwa Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari yang paling
agung dan amat dicintai Allǻh untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada
sepuluh hari (Dzulḥijjah ) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan
taḥmid".
Pertanyaan
Ada yang mengatakan bahwa Imam Aḥmad memaknai ḥadits “setiap anak
tergadai dengan Àqiqåh”, tidak dapat memberikan syafaàt.
❖ Apakah benar nukilan ini dari beliau?
❖ Kalau benar, apakah pengertiannya?
❖ Apakah ada ḥadits yang menafsirkan dengan pengertian itu atau itu hanya
ijtihad dari Imam Aḥmad semata?
Jawaban
Ḥadits yang dimaksud adalah sabda Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam .
يك ُغ َال ٍم َر ِهي َنة ِب َع ِقيقَ ِت ِه ت َْذ ب َ ُح َع ْن ُه ي َ ْو َم
ُّ ُ ُك غُ َال ٍم َر ِهي َنة ِب َع ِقيقَ ِت ِه ت ُْذب َ ُح َع ْن ُه ي َ ْو َم َسا ِب ِع ِه َو ُ ُْيلَ ُق َوي َُس َّمُّ ُ ⚫
َسا ِب ِع ِه َو ُ ُْيلَ ُق َوي َُس َّمى
“Setiap bayi tergadai dengan Àqiqåhnya, disembelihkan (kambing) untuknya
pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama”
[HR Abu Dāwud, no. 2838, at-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Mājah no. 3165 dll dari
saḥabat Samuråh bin Jundub rådhiyallǻhu Ànhu. Ḥadits ini dishåḥīḥkan oleh al-
Ḥakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, Syaikh al-Albani dan Syaikh Abu Isḥåq al-
Huwaini dalam kitab al-Insyiråh Fi Adabin Nikaḥ hlm. 97]
Pertanyaan-pertanyaan saudar akan kami jawab sebagai berikut :
a) Memang benar ada nukilan tersebut. Al-Khåththåbi råḥimahullǻh berkata :
“(Imam) Aḥmad berkata, Ini mengenai syafaàt. Beliau menghendaki
bahwa jika si anak tidak di-Àqiqåhi, lalu anak itu meninggal waktu kecil,
dia tidak bisa memberikan syafaàt bagi kedua orang tuanya” [MaÀlimus
Sunan 4/264-265, Syarḥus Sunnah 11/268]
b) Sepengetahuan kami tidak ada ḥadits yang menafsirkannya dengan ‘tidak
mendapatkan syafaàt’, oleh karena itu para ulama berbeda pendapat tentang
maknanya.
c) Tampaknya, itu bukan ijtihad Imam Aḥmad råḥimahullǻh , akan tetapi beliau
mengambil dari penjelasan Ulama sebelumnya. Karena makna ini juga
merupakan penjelasan Imam Athå` al-Khuråsani, seorang Ulama besar dari
generasi Tabi’in. Imam al-Baihaqi råḥimahullǻh meriwayatkan dari Yaḥya bin
Imam al-Bukhåri dalam Shåhīh nya meriwayatkan dari Ibnu Àbbas rådhiyallǻhu
Ànhuma dari Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam bahwa beliau bersabda:
َو َإل الْجِ هَا ُد اإلَّ َر ُجل: َو َإل الْجِ هَادُ؟ فَقَا َل: قَالُوا،َش َأفْضَ ُل ِم َن الْ َع َملِ ِ ِْف َه ِذ ِه ِ ْ ⚫ َما الْ َع َم ُل ِِف َأ ََّّي ِم الْ َع
ِ
ْ َ خ ََر َج ُُيَا ِط ُر ِب َن ْف ِس ِه َو َم ِ ِاَل فَ َ َّْل يَ ْرجِ ْع ب
... ِيش ٍء
⚫ “Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari
pertama Dzulḥijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang
bahaya dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa
sesuatu pun.’” [1] HR. Al-Bukhåri lihat Fat-hul Bāri (II/457).
Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulḥijjah adalah
hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul
padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah
yang ada di hari lain, seperti shålāt , puasa, shådaqåh dan dzikir, namun hari-hari
tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik
ḥaji dan syariÀt berkur-ban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.
Ibnu Ḥajar råḥimahullǻh mengatakan, “Yang råjih bahwa sebab keistimewaan
bulan Dzulḥijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk,
yaitu shålāt , puasa, shådaqåh dan ḥaji . Hal ini tidak ada di bulan lainnya.
Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang
berḥaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2] Fatḥul Bāri
(II/460).
Dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulḥijjah terdapat amalan berikut ini:
1) Ḥaji dan umråh. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat
mendekatkan seorang hamba kepada Råbb-nya.
2) Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk
amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Råsūlullǻh Shållallǻhu
Àlayhi wa sallam :
الس نَ َة ال َّ ِت ب َ ْعدَ ُه
َّ الس نَ َة ال َّ ِت قَ ْب َ ُل َو ِ ⚫ ِص َيا ُم ي َ ْو ِم ع ََرفَ َة َأ ْحت َ ِس ُب عَ ََّل
َّ هللا َأ ْن يُ َك ِف َر
- 122 - [@AMAL] ⓪⑤⑧ www.almanhaj.or.id
“Puasa hari Àråfah yang menghåråpkan pahala dari Allǻh dapat
menghåpus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan
datang.” [3] HR. Muslim, lihat Shåhīh Muslim (II/818-819).
3) Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman
Allǻh:
ٍ اَّلل ِِف َأ ََّّي ٍم َم ْعلُو َم
ات َ ْ ⚫ َوي َ ْذ ُك ُروا
ِ َّ اْس
“Dan supaya mereka menyebut Nama Allǻh pada hari yang telah
ditentukan”
[Al Ḥajj/22: 28]
4) DisyariÀtkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari
Tasyriq. Ini adalah sunnah Bapak kita, ‘Ibrǻhīm ketika Allǻh mengganti
anaknya, Ismā’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga Nabi
Shållallǻhu Àlayhi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi
bertanduk untuk diri dan umatnya.
5) Sebagaimana juga disyariÀtkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk
bersemangat melaksanakan shålāt , mendengarkan khutbah dan
memanfātkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang
berhubungan dengannya.
6) DisyariÀtkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk
memperbanyak amalan sunnah, berupa shålāt , membaca al-Qur`ān,
shådaqåh, memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan,
baik yang kecil maupun yang besar.
Ibnu Qudamah råḥimahullǻh mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulḥijjah
seluruhnya adalah kemuliān dan keutamaan , amalan di dalamnya
dilipatgandakan, dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di
hari-hari tersebut.” [4] Al-Mughni (IV/446).
MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYĀM AL-
MA'LUUMĀT) DAN HARI-HARI YANG BERBILANG (AL-AYĀM AL-
MA'DUUDĀT)
Àllǻh berfirman:
َات فَ َم ْن تَ َع َّج َل ِِف ي َ ْو َم ْ ِي فَ َال ا ْ َُث عَلَ ْي ِه َو َم ْن تَأَخ ََّر فَ َال ا ْ َُث عَلَ ْي ِه ِل َم ِن َ َّ ⚫ َو ْاذ ُك ُروا
ٍ اَّلل ِِف َأ ََّّي ٍم َم ْعدُ ود
ِ ِ
ون
َ َش ُ َ اَّلل َوا ْعلَ ُموا َأنَّ ُ ُْك الَ ْي ِه ُ َْت
َ َّ اتَّقَ ٰى َوات َّ ُقوا
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allǻh dalam beberapa hari yang
ِ
berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua
hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan Barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangka tannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa
pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allǻh, dan
ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.”
[al-Baqåråh/2: 203]
Ibnu Ḥajar råḥimahullǻh dalam Fatḥul Bāri [8] Fatḥul Bāri (II/458). dan asy-Syaukani
dalam Fat-hul Qådiir [9] Fat-ḥul Qådīr (I/205). telah memaparkan pernyataan para
[Disalin dari kitab Aḥkāmul ‘Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran
Menurut Sunnah Yang Shåḥīḥ, Penulis Dr. Àbdullǻh bin Muḥammad bin Aḥmad
Ath-Thåyyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbās rådhiyallǻhu anhu disebutkan bahwa Nabi
Shållallǻhu Àlayhi wa sallam bersabda :
ِ َّ ََّي َر ُسو َل: ف َقالُوا.» َش
اَّلل َو َإل ِ ْ اَّلل ِم ْن َه ِذ ِه ا َأل ََّّي ِم الْ َع َّ ⚫ َما ِم ْن َأ ََّّي ٍم الْ َع َم ُل
ِ َّ الصا ِل ُح ِف ِهي َّن َأ َح ُّب ا ََل
ِ
اَّلل اإلَّ َر ُجل خ ََر َج ِب َن ْف ِس ِه َو َم ِ ِاَل فَ َ َّْل يَ ْرجِ ْع ِم ْن ِ َّ ِ َ"و َإل الْجِ هَا ُد ِِف َسبِيل:اَّلل ؟ قَا َل ِ َّ ِالْجِ هَا ُد ِِف َسبِيل
ِ
".ِش ٍء ْ َ َذ ِ َِل ب
Tidak ada hari-hari di mana amal shåleh di dalamnya lebih dicintai Allǻh
Azza wa Jalla daripada hari–hari yang sepuluh ini". Para saḥabat bertanya,
"Tidak juga jihad di jalan Allǻh ? Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam
menjawab, "Tidak juga jihad di jalan Allǻh, kecuali orang yang keluar
mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun."
[HR al-Bukhåri no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh ini adalah lafazh
riwayat at-Tirmidzi]
Dalam riwayat yang lain, salah seorang istri Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa
sallam mengatakan:
هللا عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل ي َ ُص ْو ُم تِ ْس َع ِذي الْ ِح َّج ِة ِ ⚫ َاك َن َر ُس ْو ُل
ُ هللا َص ََّّل
⚫ Adalah Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam melakukan puasa
sembilan hari bulan Dzulḥijjah.
[HR. Abu Dāwud dan Nasā`i. Ḥadits ini dinilai shåḥīḥ oleh Syaikh al-Albani
råḥimahullǻh dalam Shåḥīḥ Sunan Abi Dāwud, no. 2129 dan Shåḥīḥ Sunan Nasā`i,
no. 2236] [1] Lihat al-MausuÀh al-Fiqhiyah al-Muyassar, 1/254
Ḥadits ini sangat gamblang menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama bulan
Dzulḥijjah dan keutamaan amal Shåliḥ yang dilakukan pada masa-masa itu
dibandingkan dengan hari-hari yang lain selama setahun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah råḥimahullǻh pernah ditanya tentang mana yang
lebih utama antara sepuluh hari (pertama) bulan Dzulḥijjah ataukah sepuluh hari
terakhir bulan Råmadhån ? Beliau råḥimahullǻh menjawab, "Siang hari sepuluh
hari pertama bulan Dzulḥijjah lebih utama daripada siang hari sepuluh hari
terakhir bulan Råmadhån, dan sepuluh malam terakhir bulan Råmadhån lebih
utama daripada sepuluh malam pertama bulan Dzulḥijjah ." (Majmū Fatāwā,
Sepuluh hari pertama bulan Dzulḥijjah merupakan hari-hari yang paling utama
dibanding dengan hari-hari yang lainnya, karena Nabi bersaksi bahwa sepuluh
hari tersebut adalah hari-hari yang paling utama di dunia, dan beliau juga
menganjurkan untuk memperbanyak amalan Shåliḥ pada hari-hari tersebut.
Semua amalan Shåliḥ yang paling utama di dunia, dan beliau juga menganjurkan
untuk memperbanyak amalan Shåliḥ pada hari-hari tersebut. Semua amalan
Shåliḥ yang dikerjakan pada sepuluh hari ini lebih dicintai oleh Allǻh dari pada
amalan-amalan Shåliḥ yang dikerjakan pada selain hari-hari tersebut. Ini
menunjukkan betapa utamanya amalan Shåliḥ pada hari tersebut dan betapa
banyak pahalanya. Amalan-amalan Shåliḥ yang dikerjakan pada sepuluh hari
tersebut akan berlipat ganda pahalanya, tanpa terkecuali.
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam bersabda:
ََّي: قَالُوا،َش ِ ْ ي َ ْع ِ ِْن َأ ََّّي َم الْ َع،اَّلل ع ََّز َو َج َّل ِم ْن َه ِذ ِه ا َأل ََّّي ِم َّ ⚫ َما ِم ْن َأ ََّّي ٍم الْ َع َم ُل
ِ َّ الصا ِل ُح ِف ِهيا َأ َح ُّب ا ََل
ِ
اَّلل ا َّإل َر ُجل خ ََر َج ِب َن ْف ِس ِه َو َم ِ ِاَل ِ َّ ِ َ"و َإل الْجِ هَا ُد ِِف َسبِيل:اَّلل ؟ قَا َل ِ َّ ِاَّلل َو َإل الْجِ هَا ُد ِِف َسبِيل ِ َّ َر ُسو َل
ِ
ِش ٍءْ َ فَ َ َّْل يَ ْرجِ ْع ِم ْن َذ ِ َِل ب
“Tidak ada hari dimana suatu amal Shåliḥ lebih di cintai Allǻh melebihi amal
Shåliḥ yang dilakukan di hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama Dzulḥijjah
)”. Para saḥabat bertanya,”Wahai Råsūlullǻh , termasuk lebih utama dari
jihad di jalan Allǻh?” Nabi ٍShållallǻhu Àlayhi wa sallam bersabda, “Termasuk
lebih utama dibanding jihad di jalan Allǻh, kecuali orang yang keluar dengan
jiwa dan hartanya (kemedan jihad) dan tidak ada satu pun yang kembali (ia
mati syahid)”. [1] Shåḥīḥ : HR al-Bukhåri (no. 969), Abu Dāwud (no. 2438), at-Tirmidzi (no. 757), Ibnu
Mājah (no. 1727) ad-Darimi (II/25), Ibnu Khuzaimah (no.2865), Ibnu Hibban (no.324, at-Taliqåtul-Hisan),
at-Thåhawy dalam Syarh Musykilil Atsar (no.2970), Aḥmad (I/224, 239, 346), al-Baghåwi dalam Syarhus-
Sunnah (no.1125), Abu Dāwud ath-Thåyalisi dalam Musnad-nya (no.2753), Abdurråzzaq dalam al-
Mushånnaf (no. 8121), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushånnaf (no. 19771), al-Baihaqi (IV/284), dan ath-
Thåbråni dalam al-Mu’jamul-Kabir (no. 12326-12328), dari Saḥabat Ibnu Abbas rådhiyallǻhu anhuma.
4) Di dalamnya terdapat hari Àråfah , yang merupakan hari yang terbaik. Dan
ibadah ḥaji tidak sah apabila tidak wukuf di Àråfah .
Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam bersabda:
⚫ َالْ َح ُّج ع ََرفَ ُة
Ḥaji itu wukuf di Àråfah . [6] Shåḥīḥ : HR at-Tirmidzi (no. 889) dan lainnya
5) Di dalamnya terdapat hari penyembelihan qurban.
6) Pada sepuluh hari tersebut, terkumpul pokok-pokok ibadah yaitu shålāt,
puasa, sedekah, ḥaji , yang tidak terdapat pada hari-hari selainnya.
2) Puasa Àråfah
Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda:
الس نَ َة ال َّ ِ ْت ب َ ْعدَ ُه
َّ َو،ُالس نَ َة ال َّ ِِت قَ ْب َل ِ ⚫ ِص َيا ُم ي َ ْو ِم ع ََرفَ َة َأ ْحت َ ِس ُب عَ ََّل
َّ اَّلل َأ ْن ُي َك ِف َر
- 134 - [@AMAL] ⓪⑤⑧ www.almanhaj.or.id
Puasa pada hari Àråfah (tanggal 9 Dzulḥijjah), aku berharap kepada Allǻh,
akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun
setelahnya.... [12] Shåḥīḥ : HR Muslim (no. 1162 (196))
Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam juga bersabda ketika ditanya tentang puasa
hari Àråfah :
َّ ⚫ ُي َك ِف ُر
الس َن َة الْهَا ِض َي َة َوالْ َبا ِق َي َة
...menghapuskan (dosa) setahun sebelumnya dan setahun
setelahnya...[13]Shåḥīḥ : HR Muslim (no. 1162 (197))
Puasa ini dikenal pula dengan nama puasa Àråfah karena pada tanggal
tersebut orang yang sedang menjalankan ḥaji berkumpul di Àråfah untuk
melakukan runtutan amalan yang wajib dikerjakan pada saat berḥaji yaitu
ibadah wukuf.
Pendapat jumhur ulama bahwa dosa-dosa yang dihapus dengan puasa Àråfah
ini yaitu dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, maka wajib baginya
taubat. Pendapat mereka dikuatkan dengan perkataan mereka:
Karena puasa Àråfah tidak lebih kuat dan lebih utama dari shålāt wajib yang
lima waktu, shålāt JumÀt, dan Råmadhån .
Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam bersabda:
الصلَ َو ُات الْ َخ ْم ُس َوالْ ُج ْم َع ُة ا ََل الْ ُج ْم َع ِة َو َر َمضَ ُان ا ََل َر َمضَ َان ُم َك ِف َرات َما بَيْْنَ ُ َّن ا َذا ا ْجتَ َن َب َّ ⚫
ِ ِ ِ
الْ َك َبائِ َر
Shålāt yang lima waktu, shålāt JumÀt sampai ke JumÀt berikutnya, Råmadhån
sampai ke Råmadhån berikutnya, itu menghapus (dosa-dosa) di antara
keduanya, selama dia menjauhi dosa-dosa besar. [14] Shåḥīḥ : HR Muslim (no. 233))
Mereka berkata:”Jika ibadah-ibadah yang agung dan mulia tersebut yang
termasuk dari rukun-rukun Islam tidak kuat untuk menghapuskan dosa-dosa
besar, maka puasa Àråfah yang sunnah ini lebih tidak bisa lagi”. Inilah
pendapat yang råjih. [15] Fat-ḥu Dzil-Jalail wal-Ikråm (VII/356) Lihat juga Tas-hilul Ilmam
(III/241) dam Taudhihul Aḥkam (III/530-531)
3) Takbiran
Ketahuilah, bahwa disyariÀtkan bertakbir, bertahmid dan bertahlil pada
sepuluh hari pertama Dzulḥijjah ini. Dari Abu Huråiråh secara marfu’:
فَ َعلَ ْي ُُك ِِبلت َّ ْس ِب ْي ِح َو،َش ِذى الْ ِح َّج ِة ِ َّ ⚫ َما ِم ْن َأ ََّّي ٍم َأ َح ُّب ا ََل
ِ اَّلل ع ََّز َو َج َّل َالْ َع َمل ِفه ْ َِّي ِم ْن َع
ِ ْ الْتَّ ِ ال
ل ْيلِ َو تَّكب ِِري
Tidak ada hari-hari yang amal Shåliḥ lebih dicintai oleh Allǻh dari pada
sepuluh hari pertama Dzulḥijjah . Maka hendaklah kalian bertasbih, bertahlil,
dan bertakbir. [16] HR Abu Utsman al-Buhairi dalam al-Fawa-id. Lihat Irwa-ul Ghålil (III/398-399)
DisyariÀtkan juga bertakbir setelah shålāt shubuh pada hari Àråfah sampai
akhir hari tasyriq, yaitu dengan takbir:
7) Berqurban
Di antara amal tāt dan ibadah yang mulia yang dianjurkan adalah berqurban.
Qurban adalah hewan yang disembelih pada hari raya ‘Idul Adh-ha berupa
unta, sapi dan kambing yang dimaksudkan dalam rangka taqårrub
(mendekatkan diri) kepada Allǻh Subḥanahu wa TaÀla.
Àllǻh Subḥanahu wa TaÀla berfirman :
Lajnah Dā`imah ketika ditanya masalah ini menjawab [1] Fatawa Lajnah Dā`imah lil Buhuts
al-Ilmiyyah wal Ifta. No. 1997, ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua dan Àbdullǻh
bin Qu’uds serta Àbdullǻh bin Ghådiyah keduanya sebagai anggota. : Boleh memberikan daging
kurban untuk orang kafir muÀhid (orang kafir yang mengikat perjanjian damai
dengan kaum muslimin) dan tawanan yang masih kafir, baik karena mereka
miskin, kerabat, tetangga, atau sekedar melunakkan hati mereka, karena ibadah
kurban itu intinya adalah menyembelihnya untuk mendekatkan diri kepada Allǻh
dan ibadah kepada-Nya.
Adapun dagingnya, maka yang paling afdhål adalah dimakan pemiliknya sepertiga,
diberikan kepada kerabat, tetangga dan saḥabat nya sepertiga, kemudian
disedekahkan buat fakir miskin sepertiga.
Seandainya pembagiannya tidak råta, atau sebagian yang lain meråsa cukup
(sehingga yang lain tidak mendapatkan daging kurban) maka tidak mengapa ; di
dalam permasalahan ini ada keluasan. Akan tetapi , daging kurban tidak boleh
diberikan kepada orang kafir harbi (yang memerångi Islam) karena yang wajib
(bagi orang Islam) adalah menghinakan dan melemahkan mereka, bukan
menelongnya atau menguatkan mereka dengan pemberian (sedekah) ; demikian
pula hukumnya sama dalam sedekah yang bersifat sunnah, sebagaimana
keumuman firman Allǻh Subḥanahu wa TaÀla.
َ َّ وُه َوتُ ْق ِس ُطوا الَهيْ ِ ْم ا َّن
اَّلل ْ ُ اَّلل ع َِن َّ ِاَّل َين لَ ْم يُقَاتِلُو ُ ْمك ِِف ِاَل ِين َولَ ْم ُ ُْي ِر ُجو ُ ْمك ِم ْن ِد ََّي ِر ُ ْمك َأ ْن ت َ ََُّّب ُ َّ ُ⚫ َإل يَْنْ َ ُامك
ِ ِ
اَّلل ع َِن َّ ِاَّل َين قَاتَلُو ُ ْمك ِِف ِاَل ِين َو َأخ َْر ُجو ُ ْمك ِم ْن ِد ََّي ِر ُ ْمك َو َظاه َُروا عَ َ َّٰل ُ َّ ُ﴾ان َّ َما يَْنْ َ ُامك٨﴿ُ ُِي ُّب الْ ُم ْق ِس ِط َي
ونَ الظا ِل ُمَّ اخ َْراجِ ُ ُْك َأ ْن ت ََول َّ ْو ُ ُْه َوِ َم ْن يَتَ َولَّهُ ْم فَأُولَ َٰ ئِ َك ُ ُُه
Àllǻh tidak melarång kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
ِ
mereka yang tidak memerångimu karena agama (mu) dan yang tidak
mengusirmu dari tempatmu. Sesungguhnya Allǻh mencintai orang-orang
yang berlaku adil. Allǻh hanya melarång kamu untuk menjadikan mereka
yang memerångimu, mengusirmu dari tempatmu, dan membantu orang lain
mengusirmu sebagai kawanmu. Dan Barangsiapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.
[al-Mumtaḥanah/60: 8-9]
Dan juga Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam menyuruh Asma binti Abi Bakar
rådhiyallǻhu Ànhuma untuk selalu menyambung (silaturråhmi) dengan ibunya
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 139 -
[@AMAL]
dengan memberinya harta, padahal ibunya masih musyrik saat masih dalam
perjanjian damai [2] HR al-Bukhåri 4/126 no. 3183
HUKUM MEWAKILKAN KURBAN
Pemilik binatang kurban menyembelih sendiri sembelihannya jika ia mampu,
itulah salah satu yang disunnahkan dalam berkurban sebagaimana dilakukan oleh
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam dalam berkurban.
Anas bin Malik rådhiyallǻhu anhu menerangkan.
ُ َّ ⚫ َْضَّى النَّ ِ ُِّب َص ََّّل
اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل ِب َك ْبشَ ْ ِي َأ ْملَ َح ْ ِي َأ ْق َ نر ْ َِي َذ َج َح ُه َما ِب َي ِد ِه
Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam menyembelih dua ekor domba yang bagus
lagi bertanduk. Beliau menyembelih sendiri dengan tangannya.
[HR al-Bukhåri 5139 dan Muslim 3635]
Akan tetapi, jika ada keperluan maka boleh mewakilkan kepada orang lain [3]. Lihat
Fiqhus Sunnah, as-Sayyid Sabiq, cet Maktabah as-Rusyd 1422H Sebagaimana Råsūlullǻh
Shållallǻhu Àlayhi wa sallam pernah mewakilkan sembelihannya kepada saḥabat
nya. Dalam sebuah ḥadits yang panjang tatkala Nabi Shållallǻhu Àlayhi wa sallam
menggiring unta-untanya menuju Makkah untuk disembelih.
Jabir bin Àbdullǻh rådhiyallǻhu anhuma mengatakan :
⚫ فَنَ َح َر ثَ َال ًَث َو َس تَّ ْ َي ِب َي ِد ِه ُ َُّث َأع َْطى عَ ِل َّيا فَنَ َح َر َما غَ َ ََّب
Maka Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlayhi wa sallam menyembelih dengan
tangannya sendiri 63 ekor (dari 100 ekor untanya), kemudian menyeråhkan
sisanya kepada Ali rådhiyallǻhu anhu untuk disembelih.
[HR Muslim 2137]
Demikianlah, bagi pemilik hewan kurban jika punya udzur seperti sakit, lemah
karena tua, tidak mengetahui cara menyembelih, orang buta dan kaum wanita,
maka boleh mewakilkannya kepada orang lain, bahkan lebih utama.
KURBAN ONLINE
Kurban online adalah berkurban dengan cara mentransfer sejumlah uang sesuai
dengan harga binatang kurban yang telah disepakati kepada lembaga sosial atau
yang semisalnya, lalu lembaga tersebut membelikan hewan kurban, menyembelih
pada waktunya dan membagikan dagingnya. Kurban semacam ini tidak jauh
berbeda dengan kurban di negeri lain yang lebih membutuhkan.
Kita katakan : Hukum asalnya berkurban dilakukan dengan tangannya sendiri di
negerinya sendiri, sebagian daging kurbannya dia makan, dan sebagian lainnya
diberikan kepada kaum muslimin dan tidak berkurban secara online. Akan tetapi,
dibolehkan kurban dengan cara online ketika ada kebutuhan yang mendesak,
selagi lembaga tersebut benar-benar terpercaya, dan melaksanakan ibadah
kurban sesuai aturan.
Wallǻhu a’lam
[Disalin secara ringkas dari Kontemporer Ibadah Kurban penyusun Ustadz Abu
Ibrǻhim Muḥammad Ali AM, Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun Ketigabelas
Dzulqådah 1434H, Diterbitkan oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon al-Islami,
Alamat Ma’had al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153, Telp. 031-3940347]
MEMPERLAKUKAN ARI-ARI
Ustadz Anas Burhanuddin MA
Pertanyaan.
Assalāmu Àlaikum wa råhmatullǻh ! Ustadz,
❖ Bagaimanakah cara memperlakukan ari-ari bayi menurut ajaran Islam?
❖ Apakah memang harus dipendam, apakah dibuang begitu saja atau
bagaimana?
Jawaban.
Wa Àlaikumussalām waråhmatullǻhi wabaråkātuh.
Merawat plasenta (ari-ari/tembuni) termasuk urusan dunia yang harus
dikembalikan kepada ahlinya.
Menurut kedokteran, plasenta adalah organ tubuh ibu hamil yang berfungsi
sebagai saluran arus makanan untuk orok, ketika ia masih berada di dalam råhim.
Manakala orok lahir, organ ini tidak diperlukan lagi dan biasanya keluar
bersama bayi yang lahir. Hal ini dikarenakan fungsi yang harus dijalankan telah
selesai dan tidak diperlukan lagi di dalam tubuh ibu.
Pertanyaan
Ustadz saya mau bertanya,
❖ mana yang lebih utama, membayar hutang ataukah mengadakan
AQIQÅH untuk anak yang baru lahir ?
Syukrån ustadz, Abdullah di Gorontalo
Jawaban.
Jika hutang itu sudah jatuh tempo, maka membayar hutang harus lebih
diutamakan daripada mengadakan AQIQÅH.
Karena membayar hutang hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan
Ulama’, sedangkan mengadakan AQIQÅH diperselisihkan, sebagian
Ulama’ berpendapat AQIQÅH itu wajib, sedangkan jumhur (mayoritas)
Ulama’ memandang hukumnya sunah. Sedangkan ibadah yang hukumnya
wajib itu harus didahulukan daripada yang hukumnya sunnah.
Namun jika hutang itu belum jatuh tempo, maka AQIQÅH lebih
diutamakan. Karena ibadah yang sudah datang waktunya lebih
diutamakan daripada ibadah yang belum datang waktunya.
Kesempatan melakukan kebaikan hendaklah segera dimanfaatkan.
Wallǻhu a’lam.
Pertanyaan.
Nadhdhåråkumullǻh.
Syarat ibadah adalah dalil.
❖ Apa ada dalil yang menjelaskan bahwa AQIQÅH setelah hari ketujuh
yaitu ketika mampu itu boleh?
❖ Apakah ada atsar saḥabat ?
❖ Kalau tidak ada, apakah tidak termasuk bidÀh?
Jawaban.
Sudah menjadi kesepakatan kaum Muslimin bahwa ibadah wajib didasari
dengan dalil, termasuk dalam masalah aqīqåh.
Aqīqåh disyariatkan berdasarkan beberapa ḥadits Nabi Shållallǻhu Àlaihi
wa sallam , diantara nya :
ُّ ُ ⚫
ُك غُ َال ٍم َر ِهينَة ِب َع ِقيقَ ِت ِه ت ُْذب َ ُح َع ْن ُه ي َ ْو َم َسا ِب ِع ِه َو ُ ُْيلَ ُق َوي َُس َّمى
Setiap anak bayi tergadaikan dengan AQIQÅHnya yang disembelih
pada hari ketujuh (dari kelahirånnya), ia dicukur dan diberi nama
[HR Abu Dāwud råḥimahullǻh dan dinilai shåḥiḥ oleh al-Albāni
råḥimahullǻh dalam Irwā’ul Ghålīl no. 1169].
Berdasarkan ḥadits ini disunnahkan melakukan penyembelihan AQIQÅH
pada hari ketujuh. Namun apabila disembelih di hari lain, maka itu juga
sah, berdasarkan keumuman ḥadits Sulaiman bin Àmir Rådhiyallahu Ànhu
yang berbunyi :
⚫ َم َع الْغ َُال ِم َع ِقيقَة فَأَ ْه ِري ُقوا َع ْن ُه َد ًما َو َأ ِم ُيطوا َع ْن ُه ْ َاأل َذى
Bersama anak bayi ada AQIQÅH, sehingga sembelihlah sembelihan
dan hilangkan gangguan darinya (mencukurnya).
[HR al-Bukhåri no. 5049].
Oleh karena itu dalam madzhab Hambali dan pendapat ‘Ā`isyah
Rådhiyallahu Ànhuma dan Isḥāq bin Råhawaih råḥimahullǻh dinyatakan
bahwa bila tidak bisa disembelih pada hari ketujuh, maka boleh disembelih
Pertanyaan.
❖ Ketika anak kami lahir, kami tidak mampu melaksanakan Àqīqåh.
Sekarang kami mampu melakukannya, apakah Àqīqåh wajib bagi
kami? Mohon penjelasan.
Syukrån.
Jawaban.
Àqīqåh adalah kambing yang disembelih dengan sebab kelahiran bayi
sebagai bentuk syukur kepada Allǻh Azza wa Jalla. Tentang hukum Àqīqåh,
sebagian Ulama berpendapat hukumnya wajib, sedangkan jumhur
(mayoritas) Ulama berpendapat hukumnya mustaḥab (sunnah).
Sedangkan waktu aqīqåh, Syaikh Abu Mālik Kamal Ibnus Sayyid Sālim
berkata, “Menurut Sunnah (Nabi) anak di aqīqåhi pada hari ke tujuh
(kelahiran) berdasarkan ḥadits Samuråh bin Jundub bahwa Råsulullāh
Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda:
ُّ ُ ⚫
ُك غُ َال ٍم َر ِهي َنة ِب َع ِقيقَ ِت ِه ت ُْذب َ ُح َع ْن ُه ي َ ْو َم َسا ِب ِع ِه َو ُ ُْيلَ ُق َوي َُس َّمى
Setiap bayi tergadai dengan aqīqåhnya, disembelihkan (kambing)
untuknya pada hari tujuh, kemudian dicukur, dan diberi nama. [1] HR.
Abu Dāwud, no: 2838; at-Tirmidzi, no: 1522; Ibnu Mājah, no: 3165; dll. Dishåhīhkan oleh al-Hākim,
disetujui oleh Adz-Dzahabi, Syaikh al-Albāni, dan Syaikh Abu Isḥāq al-Huwaini di dalam kitab Al-Insyirāh
Fī Adābin Nikāḥ, hlm:97
Jika tidak bisa hari ke tujuh, maka pada hari ke 14, jika tidak bisa maka
pada hari ke 21. Ini adalah pendapat Ḥanābilah (para pengikut Imam
Aḥmad), pendapat lemah dari Madzhab Māliki, juga pendapat Isḥāq, juga
ada riwayat dari ‘Ā`isyah Rådhiyallahu Ànhuma. Jika dia menyembelih
sebelumnya atau sesudahnya, itu mencukupinya (yakni: sah), karena
tujuan tercapai dengannya. Syāfi’iyyah menyatakan bahwa aqīqåh tidak
hilang dengan mengundurkan waktunya, tetapi disukai tidak
mengundurkan dari umur baligh. Jika diundurkan sampai baligh hukum
Wallǻhu a’lam.
Pertanyaan.
Al-Lajnatud Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyyah Wal Iftā`ditanya :
❖ Siapakah yang berhak menerima daging binatang kurban dan apa
hukum memberikan daging hewan kurban kepada yang menyembelih?
❖ Banyak kaum Muslimin di negeri kami, jika mereka telah menyembelih
hewan kurban, maka mereka tidak segera membagikan daging hewan
tersebut pada hari yang sama, namun mereka tunda sampai besok.
Saya tidak tahu, apakah itu Sunnah atau perbuatan itu mendatangkan
pahala ?
Jawaban.
Orang yang melakukan ibadah kurban boleh mengkonsumsi daging hewan
kurbannya, sebagiannya boleh diberikan kepada orang-orang fakir untuk
mencukupi kebutuhan mereka pada hari itu, diberikan kepada kerabat
untuk menyambung silaturråhim, diberikan kepada tetangga sebagai
bantuan dan boleh juga diberikan kepada teman-teman untuk
mengokohkan ikatan persaudaraan.
Menyegerakan pembagian hewan kurban pada hari raya lebih baik
daripada hari kedua dan seterusnya, sebagai penghibur bagi mereka pada
hari itu.
Berdasarkan keumuman firman Allǻh Azza wa Jalla :
َّ ⚫ َو َسا ِر ُعوا ِا َ َٰل َم ْغ ِف َر ٍة ِم ْن َرب ُ ُِْك َو َجن َّ ٍة ع َْرضُ هَا
الس َم َاو ُات َو ْ َاأل ْر ُض ُأ ِعد َّْت لِ ْل ُمتَّ ِق َي
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Råbbmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.
[Āli Imrån/3:133]
⚫ ف َْاست َ ِب ُقوا الْخ ْ ََري ِات
Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.
[al-Baqåråh/2:148]
www.almanhaj.or.id ⓪⑤⑧ - 149 -
[@AMAL]
Dan daging kurban boleh juga diberikan kepada tukang sembelih, tapi
bukan sebagai upah.
Upah tidak boleh diambilkan dari binatang kurban.
وِبهلل التوفيق وصَّل هللا عَّل نبينا محمد وأَل وحصبه و سَّل
Al-Lajnatud Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyyah Wal Iftā`
Ketua : `Syaikh `Abdul `Azīz bin `Abdullāh bin Bāz;
Wakil : Syaikh `Abdurråzāq Afīfy; Anggota : Syaikh `Abdullāh bin Ghådyān
dan Syaikh `Abdullāh bin Qu’ūd
(Fatāwa al-Lajnatid Dā`imah Lil Buhūtsil Ilmiyyah Wal Iftā`, 11/423-424)
Pertanyaan.
Syaikh Muḥammad bin Shålih al-Utsaimin råḥimahullǻh ditanya,
❖ “Mana yang lebih baik untuk dijadikan hewan kurban, hewan gemuk yang
banyak dagingnya ataukah yang harganya mahal ?
Jawaban.
Ini sebuah permasalahan, manakah yang lebih baik untuk dijadikan hewan
kurban, apakah yang harganya mahal ataukah hewan gemuk dan besar ?
Biasanya, kedua hal ini saling berkaitan erat (lebih besar mestinya lebih mahal-
red). Hewan yang gemuk adalah hewan terbaik untuk kurban, namun terkadang
sebaliknya (yang lebih mahal lebih baik-red). Kalau kita menilik ke manfaat
kurban, maka kami berpendapat bahwa hewan yang besar lebih baik, meskipun
harganya murah. Namun jika kita menilik kepada kejujuran dalam beribadah
kepada Allǻh Azza wa Jalla , kami berpendapat bahwa hewan yang mahal lebih
baik. Karena kerelaan seseorang mengeluarkan dana besar dalam rangka
beribadah kepada Allǻh Azza wa Jalla menunjukkan kesempurnaan dan
keseriusannya dalam beribadah.
Untuk menjawab pertanyaan diatas kami katakan, “Lihatlah yang lebih bagus
pengaruhnya buat hatimu lalu lakukanlah! Selama ada dua kebaikan yang
berlawanan, maka lihatlah mana yang lebih bagus pengaruhnya buat hatimu.
Jika Anda memandang bahwa keimanan dan ketundukan jiwa Anda kepada Allǻh
Azza wa Jalla akan bertambah dengan sebab mengeluarkan dana, maka keluarkan
dana yang besar.
Pertanyaan.
Al-Lajnatud D`āimah Lil Buhūtsil Ilmiyah wal Iftā’ ditanya :
❖ Mana yang lebih baik untuk berkurban, kambing atau sapi ?
Jawaban.
Hewan kurban terbaik adalah (pertama) unta, kemudian (kedua) sapi lalu (ketiga)
kambing dan setelah itu (yang keempat) berserikat pada unta atau sapi
(maksudnya beberapa orang -maksimal tujuh orang- iuran untuk membeli unta
atau sapi untuk dikurbankan-red).
Berdasarkan sabda Råsūlullǻh tentang hari JumÀt:
َّ ⚫ َم ْن َر َاح ِِف
َّ الساعَ ِة ْ ُاأل َوَل فَ َ ََكن َّ َما قَ َّر َب بَدَ ن َ ًة َو َم ْن َر َاح ِِف
الساعَ ِة الثَّا ِن َي ِة فَ َ ََكن َّ َما قَ َّر َب بَقَ َر ًة َو َم ْن َر َاح
الساعَ ِة َّالرا ِب َع ِة فَ َ ََكن َّ َما قَ َّر َب َد َجا َج ًة َو َم ْن
َّ الساعَ ِة الث َّا ِلثَ ِة فَ َ ََكن َّ َما قَ َّر َب َكبْشً ا َأ ْق َر َن َو َم ْن َر َاح ِِف
َّ ِِف
الساعَ ِة الْخَا ِم َس ِة فَ َ ََكن َّ َما قَ َّر َب ب َ ْيضَ ًةَّ َر َاح ِِف
Barangsiapa yang berangkat (shålāt jumÀt) pada jam pertama, maka
seakan-akan dia mengurbankan unta; Barangsiapa yang berangkat pada
jam ke-2, maka seakan-akan dia berkurban dengan sapi; Barangsiapa yang
berangkat pada jam ke-3, maka seakan-akan dia berkurban dengan kambing
jantan; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-4, maka seakan-akan dia
berkurban dengan ayam; Barangsiapa yang berangkat pada jam ke-5, maka
seakan-akan dia berkurban dengan telor
Sisi pendalilannya yaitu ada perbedaan nilai antara beribadah kepada Allǻh Azza
wa Jalla dengan mengurbankan unta, sapi dan kambing. Tidak diragukan lagi
bahwa ibadah kurban termasuk ibadah yang agung kepada Allǻh Azza wa Jalla .
Penyebab lain (kenapa unta lebih utama), karena unta itu lebih mahal, lebih
banyak dagingnya dan lebih banyak manfaatnya. Inilah pendapat tiga imam yaitu
Imam Abu Ḥanifah råḥimahullǻh , Imam Syafi’i råḥimahullǻh dan Imam Aḥmad
råḥimahullǻh .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah råḥimahullǻh pernah ditanya tentang bacaan saat
menyembelih hewan kurban, cara menyembelih dan aturan pembagian daging
hewan kurban.
Beliau råḥimahullǻh menjawab.
Alḥamdulillāh, (cara penyembelihannya yaitu) hewan kurban dihadapkan kearah
kiblat lalu dibaringkan pada sisi kirinya dan membaca :
لَ ِ هللا َأ ْك َ َُّب اللَّهُ َّم تَقَبَّ ْل ِم ِِن َ َمَك تَقَ َّب ْل َت ِم ْن ا ْب َرا ِه ْ َي َخ ِل ْي ِ ⚫ ب ِْس ِم
ُ هللا َو
Dengan nama Allǻh,
ِ
Allǻhu Akbar. Yā Allǻh terimalah ibadah ini dariku
sebagaimana Engkau telah menerima ibadah Nabi Ibråhim kekasih-Mu
Apabila sudah selesai menyembelih, baru membaca firman Allǻh Azza wa Jalla :
َّ ⚫ ِا ِن َو َّ َْج ُت َو ْ َِج َيي ِل َّ َِّلي فَ َط َر
ِ ْ الس َم َاو ِات َو ْ َاأل ْر َض َح ِنيفًا َّۖۖ َو َما َأنَ ِم َن الْ ُم
َش ِك َي
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Råbb yang menciptakan
langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Råbb
[ al-An’ām/6:79]
يك َ َُل َّۖۖ َو ِب َ َٰذ ِ َِل ُأ ِم ْر ُت َو َأنَ َأ َّو ُلِ َ ⚫ قُ ْل ا َّن َص َال ِِت َون ُ ُس ِِك َو َم ْح َي َاي َو َم َم ِاِت ِ َّ َِّلل َر ِب الْ َعالَ ِم َي إل
َ َش
ِ
الْ ُم ْس ِل ِم َي
Katakanlah, “Sesungguhnya shålāt ku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allǻh, Råbb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyeråhkan diri (kepada Allǻh).”
[al-an’ām/6:162-163]
Dagingnya bisa dia sedekahkan sepertiganya dan dihadiahkan sepertiganya. Jika
yang dia konsumsi lebih dari sepertiga atau yang dia sedekahkan atau dia
memasaknya lalu mengundang masyarakat sekitar untuk makan-makan, maka itu
boleh.
Untuk tukang jagal diberi upah tersendiri. Sedangkan kulitnya, jika dia mau, dia
bisa memanfātnya atau menyedekahkannya.
Wallǻhu a’lam.
Pertanyaan
❖ Apakah orang yang sudah wafat bisa mendapatkan pahala jika keluarganya
yang masih hidup melakukan ibadah kurban atas namanya ?
❖ Karena semasa hidupnya, orang ini tidak pernah melakukan ibadah kurban ?
Jawaban
In syā Allǻh, orang yang sudah wafat itu bisa mendapatkan pahala jika ibadah
kurban yang dilakukan oleh kerabatnya yang masih hidup itu berlandaskan
wasiatnya ketika dia masih hidup atau si mayit termasuk di antara nama-nama
orang yang diikutsertakan dalam satu ibadah kurban sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam. Beliau Shållallǻhu Àlaihi
wa sallam bersabda : “Ya Allǻh , terimalah ini dari Muḥammad dan keluarga
Muḥammad ”. Sedangkan mengkhususkan satu ibadah kurban atas nama orang
yang sudah meninggal dunia, kami belum mengetahui satu riwayatpun yang
menerangka n bahwa itu pernah dilakukan oleh Råsūlullǻh atau pada shåḥabat
beliau. Misalnya : “Ini adalah kurban dari si Fulan.” padahal si Fulan sudah
meninggal.
Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al Utsaimin menerangkan bahwa berkurban untuk
yang mati ada tiga macam:
(a). Berkurban atas nama orang yang mati secara khusus. Ini tidak ada
sunnahnya Allǻh Azza wa Jalla berfirman:
َس َع ٰى َما ا َّإل ِل ْالن ْ َس ِان لَي َْس َو َأ ْن
ِ ِ
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya [an Najm/53:39]
Pertanyaan
Syaikh Muḥammad bin Shālih al-Utsaimin råḥimahullǻh ditanya,
❖ “Apa hukum ibadah kurban?
❖ Bolehkah bagi seseorang berhutang untuk melaksanakan ibadah kurban ?”
Wallahu a’lam.
- 158 - [@AMAL] ⓪⑤⑧ www.almanhaj.or.id
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Suråkarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran
085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
058.41
Pertanyaan
Lajnah Dā`imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya :
❖ Bolehkah bergotong-royong (iuran) dalam berkurban?
❖ Berapa jumlah kaum muslimin seharusnya dalam bergotong-royong (iuran)
melakukan kurban?
❖ Apakah harus dari satu keluarga?
❖ Dan apakah bergotong-royong semacam itu bidÀh atau tidak?
Jawaban
Seorang laki-laki diperbolehkan melakukan kurban atas nama dirinya dan
anggota keluarganya dengan satu ekor kambing. Dasarnya, ḥadits shåḥiḥ dari Nabi
Shållallǻhu Àlaihi wa sallam, bahwa beliau berkurban dengan satu ekor kambing,
atas nama diri beliau sendiri dan atas nama keluarganya. [Ḥadits Muttafaqun
Alaih]
Juga ḥadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ibnu Mājah dan Tirmidzi dan
beliau menshåḥiḥkannya.
Sedangkan satu ekor unta dan setu ekor sapi, sah dengan gabungan tujuh orang.
Baik mereka berasal dari satu keluarga atau dari orang yang bukan dari satu
rumah. Baik mereka punya hubungan kerabat ataupun tidak. Sebab Nabi
[Lajnah Dā`imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, Fatwa No. 2416]
Pertanyaan
Lajnah Dā`imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya :
Ayah seorang laki-laki meninggal dunia. Dan dia ingin menyembelih kurban atas
nama ayahnya. Tetapi ada beberapa orang menasihatinya “tidak boleh
menyembelih untuk kurban satu orang. Sebaiknya kambing saja, itu lebih utama
dari pada unta. Orang yang mengatakan kepadamu sembelihlah unta maka orang
ini keliru. Sebab unta tidak boleh untuk kurban, kecuai gabungan dari sekelompok
orang”.
Jawaban
Dibolehkah menyembelih binatang kurban atas nama orang yang telah meninggal
dunia tersebut baik dengan seekor kambing atau seekor unta. Orang yang
mengatakan, bahwa unta hanya untuk gabungan sekelompok orang, maka itu
keliru. Akan tetapi, kambing tidak sah, kecuali untuk (pelaku kurban) satu orang.
Namun pelakunya itu bisa menyertakan orang lain dari anggota keluarganya
dalam pahalanya. Adapun unta, boleh untuk pelaku satu orang atau tujuh orang,
yang mereka beriuran dalam hal harganya. Kemudian, sepertujuh dari daging
kurban unta itu merupakan kurban dari masing-masing tujuh orang. Sapi, dalam
hal ini sama hukumnya seperti unta.
[Lajnah Dā`imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, Fatwa No. 3.055]
Saat menjelaskan sabda Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam yang artinya, Setiap
anak tergadai dengan aqīqåhnya“, Imam Aḥmad råḥimahullǻh mengatakan bahwa
maksudnya adalah tertahan dari syafaat untuk kedua orang tuanya apabila mati
masih kecil. Sehingga diserupakan dengan tidak lepasnya batang gadai dari
pemegangnya. Ini menunjukkan kewajiban aqīqåh.
Ḥadits Salmān bin Àmir Rådhiyallahu anhu yang berkata, “Aku telah mendengar
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda:
َو َأ ِم ُيطوا َع ْن ُه ا َأل َذى، فَأَ ْه ِري ُقوا َع ْن ُه َد ًما،⚫ َم َع ال ُغ َال ِم َع ِقيقَة
Setiap bayi lelaki bersama aqīqåhnya, maka sembelihlah hewan dan
hilangkanlah gangguan darinya
[HR. Al-Bukhāri].
Ḥadits ini menunjukkan bahwa aqīqåh menjadi keharusan setiap bayi yang lahir
sehingga menunjukkan kewajibannya.
Ḥadits Ummu Kurzin Rådhiyallǻhu anha yang berkata, “Aku telah mendatangi
Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam di Hudaibiyah bertanya tentang daging
sembelihan hadyu, lalu aku mendengar bersabda:
ُض ُ ْمك ُذ ْك َرانً َاكن َْت َأ ْم انَ ًَث
ُّ ُ َ َوعَ ََّل الْ َجا ِري َ ِة شَ اة َإل ي،⚫ عَ ََّل الْغ َُال ِم شَ اَتَ ِن
ِ
Setiap bayi lelaki disembeliihi dua ekor kambing dan atas bayi perempuan
disembelihi seekor kambing, tidak masalah bagi kalian apakah kambingnya
jantan atau betina.
[HR. An-Nasā’i no, 4217 dan dishåḥiḥkan al-Albani dalam Shåhīh Sunan an-Nasā’i
dan al-Irwā 4/391].
Ḥadits À`isyah Rådhiyallahu anhuma yang berkata:
َوع َِن الْ َجا ِري َ ِة شَ ا ًة،ع َِن الْغ َُال ِم شَ اَتَ ِن: اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل َأ ْن ن َ ُع َّق ِ َّ ⚫ َأ َم َرنَ َر ُسو ُل
ُ َّ اَّلل َص ََّّل
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam memerintahkan kita untuk
mengaqiqåhi bayi lelaki dengan dua kambing dan bayi perempuan dengan
seekor kambing
[HR. Ibnu Mājah no. 3163 dan dishåḥiḥkan al-Albani dalam al-Irwā’ no. 1164 dan
Shåhīh Sunan Ibnu Mājah].
Dalam ḥadits ini ada perintah aqiqåh dan perintah menunjukkan wajib.
③ Ketiga: Aqīqåh hanyalah mubah tidak wajib dan tidak juga sunnah.
Àqīqåh telah dihapus hukumnya (mansūkh) dengan kurban dengan dalil ḥadits
yang diriwayatkan dari Àli bin Abi Thålib Rådhiyallahu Ànhu , “Råsūlullǻh
Shållallǻhu Àlaihi wa sallam bersabda:
َّ ُ َوالْغ ُْس ُل ِم َن الْ َجنَاب َ ِة, ُك َص ْو ٍم
َّ ُ َو َّالز َاك ُة, ٍُك غُ ْسل
ُك َّ ُ ⚫ ن َ َسخَ ْ َاأل ْْضَى
َّ ُ َو َص ْو ُم َر َمضَ َان, ُك َذبْ ٍح
َصدَ قَ ٍة
Kurban menghapus semua sembelihan dan puasa Råmadhån menghapus
semua puasa dan mandi dari janabah menghapus semua mandi dan zakat
menghapus semua sedekah.
[HR. Ad-Daråqutni dan dihukumi sebagai ḥadits lemah sekali oleh syaikh al-
Albani dalam Silsilah al-Ahādīts adh-Dhå‘īfah, no. 904]
Apabila ada naskh maka kembali kepada hukum asal mubahnya.
Aqīqåh adalah sebuah keutamaan dan ketika di nasakh maka tidak tersisa kecuali
makruh berbeda dengan puasa dan sedekah, karena keduanya dahulu termasuk
kewajiban dan bila di nasakh maka diperbolehkan bersunnah dengannya. (lihat
Badā’i’ ash-Shånāi’ 5/69).
⑤ Kelima: Aqīqåh disyariatkan untuk bayi laki-laki dan tidak untuk bayi
wanita.
Inilah pendapat al-Ḥasan dan Qåtādah.
Dalil mereka adalah:
Sabda Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam :
ُّ ُ ⚫
َّ ت ُْذب َ ُح َع ْن ُه ي َ ْو َم،ُك غُ َال ٍم ُم ْرَتَ َن ِب َع ِقيقَ ِت ِه
َو ُ ُْيلَ ُق َر ْأ ُس ُه َوي َُس َّمى،ِالسا ِبع
Setiap anak tergadai dengan aqīqåhnya yang disembelih pada hari ketujuh,
digundul rambut nya, dan diberi nama.
[HR. At-Tirmidzi dalam sunannya no. 2735 dan Abu Dāwud no. 2527 dan Ibnu Mājah
no. 3165 dan dishåḥiḥkan al-Albani dalam al-Irwā’ no. 1165 dan Shåḥīḥ Abi Dāwud]
Sabda Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam :
» َو َأ ِم ُيطوا َع ْن ُه ا َأل َذى، فَأَ ْه ِري ُقوا َع ْن ُه َد ًما،⚫ َم َع ال ُغ َال ِم َع ِقيقَة
Setiap bayi lelaki bersama aqīqåhnya, maka sembelihlah hewan dan
hilangkanlah gangguan darinya
[HR. Al-Bukhāri].
Kedua ḥadits ini menunjukkan bahwa aqīqåh merupakan kekhususan bayi laki-
laki, sehingga tidak disyariatkan pada bayi perempuan. Demikian juga aqīqåh
adalah bentuk syukur nikmat yang muncul dari lahirnya anak dan ungkapan
bahagia dan itu tidak ada pada bayi perempuan.
Disamping juga ini akan memudahkan pelaksanān. Oleh karena itu syaikh
Shidiq Ḥasan Khon råḥimahullǻh menerangkan,
Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (01 Februari 2015) setelah Maghrib, maka
hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, tapi hari Selasa keesokan harinya.
Sehingga aqīqåh bayi tersebut pada hari Senin (08 Februari 2015).
Jawabannya :
“Jika anak termasuk mati beberapa sāt setelah kelahirån, ia tetap diaqīqåhi
pada hari ketujuh. Hal ini disebabkan anak tersebut telah ditiupkan ruh sāt
itu, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat. Dan di antara faidah
aqīqåh adalah seorang anak akan memberi syafāÀt pada kedua orang
tuanya. Namun sebagian Ulama berpendapat bahwa jika anak tersebut mati
sebelum hari ketujuh, maka gugurlah aqīqåh. Alasannya, karena aqīqåh baru
disyariatkan pada hari ketujuh bagi anak yang masih hidup ketika itu. Jika
anak tersebut sudah mati sebelum hari ketujuh, maka (anjurån-red) aqīqåh
gugur. Akan tetapi, Barangsiapa diberi kelonggarån rezeki oleh Allǻh k dan
telah diberikan berbagai kemudahan, maka hendaklah ia menyembelih
aqīqåh. Jika memang tidak mampu, maka ia tidak dipaksa.” Liqå al-Bāb al-
Maftūh, kaset 14, no. 42
❖ Lalu bila diperbolehkan selain kambing, manakah hewan yang lebih utama?
Jelas yang råjih adalah menggunakan kambing lebih utama karena Nabi
Shållallǻhu Àlaihi wa sallam hanya beråqīqåh dengan kambing dan hanya
memerintahkan untuk beråqīqåh dengan kambing.
Tentu yang diperintahkan dan dilakukan Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam
adalah yang paling utama.
② Pendapat kedua menyatakan bahwa untuk aqīqåh bayi lelaki dan perempuan
masing-masing satu kambing saja.
Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Ḥanafiyah dan pendapat imam Mālik
råḥimahullǻh .
Diantara dalilnya adalah ḥadits Àbdullah bin Àbbās Rådhiyallǻhu Ànhuma.
.اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل ع ََّق ع َِن الْ َح َس ِن َوالْ ُح َس ْ ِي َكبْشً ا َك ْبشً ا ِ َّ ⚫ َأ َّن َر ُسو َل
ُ َّ اَّلل َص ََّّل
Råsūlullǻh Shållallǻhu Àlaihi wa sallam pernah mengaqīqåhi al-Ḥasan dan
al-Ḥusain, masing-masing satu ekor domba.”
[HR. Abu Daud no. 2841.Syaikh al-Albani mengatakan bahwa ḥadits ini shåḥiḥ,
namun riwayat yang menyatakan dengan dua kambing, lebih shåḥiḥ]
Sementara dalam riwayat an-Nasā’i lafazhnya:
اَّلل َعْنْ ُ َما َ ِ اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََّل ع َْن الْ َح َس ِن َوالْ ُح َس ْ ِي َر
ُ َّ ِض ِ َّ ⚫ ع َْن ا ْب ِن َع َّب ٍاس قَا َل ع ََّق َر ُسو ُل
ُ َّ اَّلل َص ََّّل
ِب َكبْشَ ْ ِي َكبْشَ ْ ِي
Dari Ibnu Àbbās Rådhiyallǻhu Ànhuma , ia berkata, “Råsūlullǻh Shållallǻhu
Àlaihi wa sallam pernah mengaqīqåhi al-Ḥasan dan al-Ḥusain, masing-
masing dua ekor domba.”
[HR. An-Nasā’i, no. 4219. Syaikh al-Albāni mengatakan bahwa hadit ini shåḥiḥ]
Mengenai ḥadits Ibnu Àbbas Rådhiyallahu anhu yang dikeluarkan oleh Abu Daud
di atas, Syaikh Muḥammad Nashiruddin al-Albani råḥimahullǻh mengatakan,
“Ḥadits Ibnu Àbbās Rådhiyallahu anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Daud
råḥimahullǻh itu shåḥiḥ, namun dalam riwayat an-Nasā’i råḥimahullǻh
dikatakan bahwa Nabi Shållallǻhu Àlaihi wa sallam menyembelih masing-
masing dua kambing. Inilah riwayat yang lebih shåḥiḥ.” Lihat Takhrīj Syaikh
al-Albāni terhadap Sunan Abu Daud. [Lihat Shåhīh Abi Daud, no. 2458]
Ini juga ditegaskan oleh Syaikh Muḥammad bin Shålih al-‘Utsaimin råḥimahullǻh
yang menyatakan, “Jika seseorang tidak mendapati hewan aqīqåh kecuali satu
saja, maka maksud aqīqåh tetap sudah terwujud. Akan tetapi, jika Allǻh
memberinya kecukupan harta, aqīqåh dengan dua kambing (untuk anak laki-
laki) itu lebih baik.”
[Syarhul Mumti’, 7/49]
Demikian seputar hukum-hukum aqīqåh, Semoga beberapa penjelasan diatas
bermanfāt.
Pertanyaan.
❖ Jika orang tua dahulunya tidak mampu mengaqiqåhkan anaknya, apakah
masih ada keharusan untuk mengaqiqåhinya ketika mereka sudah mampu?
❖ Atau haruskah masing-masing anak itu mengaqiqåhi diri mereka sendiri
ketika sudah mampu?
Jawaban
Syaikh Muḥammad bin Shåliḥ al-Utsaimin pernah ditanya tentang orang yang
belum sempat mengaqiqåhi anak-anaknya kemudian dia meninggal, apakah
keharusan mengaqiqåhi anak-anaknya menjadi gugur? Ataukah anak-anak itu
yang mengAQIQÅHi diri mereka sendiri?
⓿❺❽