Anda di halaman 1dari 19

AQIQAH

Al Aqiqah adalah hewan kurban yang disembelih untuk bayi yang baru lahir dalam
rangka pendekatan diri kepada Allah ta’ala dan sebagai wujud rasa syukur atas
kenikmatanNya. Penamaan Aqiqah diambil dari rambut yang berada di atas kepala bayi.
Dinamakan Aqiqah karena hewan yang disembelih bertepatan pada hari dimana rambut bayi
tersebut dipotong.
Aqiqah merupakan ibadah yang disyariatkan dalam islam, namun para ulama berbeda
pendapat dari sisi hukumnya:

Pendapat pertama:
Mengatakan wajib, ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abu Zinad, Al Laits, Adz
Dzohiriyah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan sebagian ulama yang bermazhab
Al Hanabilah, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang didalamnya terkandung perintah
aqiqah, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

‫َو َم َع ْال ُغاَل ِم َعقِيقَتُهُ فََأ ِميطُوا= َع ْنهُ اَأْل َذى َوَأ ِريقُوا َع ْنهُ َد ًما‬

“Kelahiran seorang anak itu harus disertai aqiqah, Hilangkan gangguannya (maksudnya
cukurlah rambutnya) dan alirkanlah darah (sembelihlah hewan).”
[HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Salman bin Amir radhiyallahu ‘anhu,
dishahihkan oleh Syekh Al Albany]

Dan juga berdalil dengan hadits:

ٌ ‫ُكلُّ ُغاَل ٍم َر ِه‬


‫ين بِ َعقِيقَتِ ِه‬

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya”

[HR. Ashab Assunan dari shahabat Samurah bin Jundub, dishahihkan oleh Syekh Al
Albany dan Syekh Muqbil_rahimahumallohu ta’ala]

1
Pendapat kedua:
Aqiqah bukan hal yang disunnahkan, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ashab Ar Ro’y,
mereka berdalil dengan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dan bapaknya dari kakeknya:

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َ=م ع َْن ْال َعقِيقَ ِة فَقَا َل اَل ُأ ِحبُّ ْال ُعقُو‬
«‫ق‬ َ ِ ‫» ُسِئ َل َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ditanya tentang Aqiqah, maka beliau bersabda:
Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan”
[HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]

Kalau kita lihat kelengkapan hadits ini, justru menjadi hujjah atas mereka;

ِ ‫َان ُم َكافََأت‬
‫َان َوع َْن‬ َ ‫ اَل ُأ ِحبُّ ْال ُعقُو‬:‫فقال‬
ِ ‫ق َو َم ْن ُولِ َد لَهُ َموْ لُو ٌد فََأ َحبَّ َأ ْن يَ ْنسُكَ َع ْنهُ فَ ْليَ ْف َعلْ ع َْن ْال ُغاَل ِم َشات‬
ِ ‫ْال َج‬
ٌ‫اريَ ِة َشاة‬

“Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan, barangsiapa mendapatkan kelahiran


anak kecil dan ingin menyembelih atas anak tersebut hendaknya ia laksanakan, dua ekor
kambing yang sama untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan.”

Didalam riwayat Abu Dawud menunjukan bahwa yang tidak disukai Rasulullah
adalah penamaannya yaitu “Aqiqah” bukan pelaksanaan acara aqiqahnya, karena lafadz
hadits setelahnya menunjukan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menganjurkan
pelaksanaan aqiqah.

Pendapat ketiga:
Aqiqah hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan pelaksanaannya), ini
adalah pendapat jumhur ulama, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang didalamnya
terdapat anjuran untuk aqiqah, adapun dalil-dalil yang berisi perintah telah dipalingkan
kepada sunnah muakkadah dengan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dan bapaknya dari
kakeknya:

2
ْ‫َم ْن َأ َحبَّ ِم ْن ُك ْم َأ ْن يَ ْنسُكَ ع َْن َولَ ِد ِه فَ ْليَ ْف َعل‬

“Siapa di antara kalian yang ingin menyembelih untuk anaknya, hendaknya ia kerjakan” [HR.
Ahmad, Abu Dawud dan lainnya]

Hadits ini menunjukan adanya anjuran dan pilihan, tidak menunjukan suatu kewajiban yaitu
barangsiapa yang tidak ingin melaksanakan aqiqah maka tidaklah berdosa.

Wallohu a’lam dari ketiga pendapat di atas maka pendapat yang kuat dan terpilih
adalah pendapat ketiga, bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah, dan pendapat ini
juga yang dipilih oleh Syekhuna Abdurrohman Al ‘Adeny – hafidzahulloh ta’ala.

Catatan:
Berkata Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny hafidzahullah ta’ala:

“Tidak mengapa kalau seseorang berhutang dalam rangka melakukan sunnah aqiqah
anaknya, apabila dia bersungguh-sungguh dalam melunasi hutangnya maka Allah akan
membantunya, berkata Al Imam Ahmad – rohimahulloh:

“Barangsiapa tidak memiliki uang untuk hal tersebut (aqiqah) kemudian dia berhutang maka
aku berharap semoga Allah ta’ala membantu melunasinya karena dia telah menegakkan
sunnah”.

Pelaksanaan aqiqah itu lebih utama daripada bershadaqah dengan uang seharga
kambing aqiqah, karena pada aqiqah terdapat padanya pahala shadaqah dan wujud rasa
syukur dan penebusan (karena bayi yang baru lahir ibarat sesuatu yang tergadaikan yang
ditebus dengan aqiqah sebagiamana yang telah lalu penjelasannya)

3
AHKAMUL AQIQAH
Oleh :
Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’i

A. PENGERTIAN AQIQAH
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.25-26,
mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada hari
ketujuhnya dan mencukur rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim rahimahullah berkata :
“Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung
dua unsur diatas dan ini lebih utama.”

Imam Ahmad rahimahullah dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau
dari segi syar’i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau
menyembelih (An-Nasikah).

B. DALIL-DALIL SYAR’I TENTANG AQIQAH


Hadist No.1 :
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasulullah bersabda : “Aqiqah
dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan hilangkanlah semua
gangguan darinya.” [Shahih Hadits Riwayat Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat
Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]

Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan


semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul
Kutub Al-‘Ilmiyah, pent]

Hadist No.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi
tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing),
diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, Hadits Riwayat Abu Dawud 2838, Tirmidzi
1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-
lainnya]

4
Hadist No.3 :
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua
kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, Hadits Riwayat Ahmad
(2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]

Hadist No.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husain
dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-
Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Daqiqiel ‘Ied]

Hadist No.5 :
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka
hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu
kambing.” [Sanadnya Hasan, Hadits Riwayat Abu Dawud (2843), Nasa’I (7/162-163),
Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)]

Hadist No.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah
bersabda : “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin
seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, Hadits iwayat Ahmad (6/390), Thabrani
dalam “Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin
Muhammad bin Uqoil]

Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai
seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah para sahabat serta para ulama salafus
sholih.

5
C. HUKUM-HUKUM SEPUTAR AQIQAH
HUKUM AQIQAH SUNNAH
Al-Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahullah berkata dalam Nailul Authar
(6/213) : “Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi :
“….berdasarkan hadist no.5 dari ‘Amir bin Syu’aib.”

BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI DAN


MEMBID’AHKAN AQIQAH
Ibnul Mundzir rahimahullah membantah mereka dengan mengatakan bahwa : “Orang-
orang ‘Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini seperti
sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen) mengingkari
sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yang tsabit
(shahih) dari Rasulullah karena berdalih dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-
laba.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul
Maudud” hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam “Fathul Bari” (9/588)].

WAKTU AQIQAH PADA HARI KETUJUH


Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan
sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya.
Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari
ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya “Fathul
Bari” (9/594) :

“Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh kelahirannya’ (hadist no.2), ini
sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh
dan orang yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah
tepat pada waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan
ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : “Kalau bayi itu meninggal sebelum
hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya.”

Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil


dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi
berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm
dalam kitabnya “al-Muhalla” 7/527.

6
Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya.
Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak
bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir”
(1/256) dari Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah :

“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14
atau hari ke-21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi yang lemah karena jelek
hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan
dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]

BERSEDEKAH DENGAN PERAK SEBERAT TIMBANGAN RAMBUT


Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan disunnahkan
mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi
nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan
tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad,
dan lain-lain.”

Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah hadit dhoif.

TIDAK ADA TUNTUNAN BAGI ORANG DEWASA UNTUK AQIQAH ATAS NAMA
DIRINYA SENDIRI
Sebagian ulama mengatakan : “Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya
maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa”. Mungkin mereka berpegang dengan
hadist Anas yang berbunyi : “Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat
sebagai nabi.” [Dhaif mungkar, Hadits Riwayat Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari
jalan Qatadah dari Anas]

Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya dhaif dan
mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah hanya pada satu waktu (tidak ada
waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa
ketentuan waktu aqiqah ini mencakup orang dewasa maupun anak kecil.

7
AQIQAH UNTUK ANAK LAKI-LAKI DUA KAMBING DAN PEREMPUAN SATU
KAMBING
Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib. “Setelah
menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Bari” (9/592) :
“Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam
membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah.”

Imam Ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1427)


mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya : “Hadist ini menunjukkan
bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-
laki.”

Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dalam kitabnya “Raudhatun


Nadiyyah” (2/26) berkata : “Telah menjadi ijma’ ulama bahwa aqiqah untuk bayi perempuan
adalah satu kambing.”

Penulis berkata : “Ketetapan ini (bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing)
tidak diragukan lagi kebenarannya.”

BOLEH AQIQAH BAYI LAKI-LAKI DENGAN SATU KAMBING


Berdasarkan hadist no. 4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat boleh
mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin
‘Umar, ‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist
Ibnu Abbas diatas.

Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari”
(9/592) : “…..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih), tidaklah menafikan
hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu
hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing….”

Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan aqiqah
dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah laki-laki dengan dua
kambing.

8
D. AQIQAH DENGAN KAMBING TIDAK SAH AQIQAH KECUALI DENGAN
KAMBING
Telah lewat beberapa hadist yang menerangkan keharusan menyembelih dua ekor
kambing untuk laki-laki dan satu ekor kambing untuk perempuan. Ini menandakan keharusan
untuk aqiqah dengan kambing.
Dalam “Fathul Bari” (9/593) al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan : “Para
ulama mengambil dalil dari penyebutan syaatun dan kabsyun (kibas, anak domba yang telah
muncul gigi gerahamnya) untuk menentukan kambing buat aqiqah.” Menurut beliau : “Tidak
sah aqiqah seseorang yang menyembelih selain kambing”.

Sebagian ulama berpendapat dibolehkannya aqiqah dengan unta, sapi, dan lain-lain.
Tetapi pendapat ini lemah karena :

1. Hadist-hadist shahih yang menunjukkan keharusan aqiqah dengan kambing semuanya


shahih, sebagaimana pembahasan sebelumnya.
2. Hadist-hadist yang mendukung pendapat dibolehkannya aqiqah dengan selain kambing
adalah hadist yang talif saqith alias dha’if.

PERSYARATAN KAMBING AQIQAH TIDAK SAMA DENGAN KAMBING


KURBAN [IDUL ADHA]
Penulis mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam As-Shan’ani, Imam
Syaukani, dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus mencapai
umur tertentu atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha, meskipun yang lebih
utama adalah yang tidak cacat.

Imam As-Shan’ani dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1428) berkata : “Pada lafadz
syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan kambing untuk aqiqah tidak
sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang menyamakan persyaratannya, mereka hanya
berdalil dengan qiyas.”

9
Imam Syaukhani dalam kitabnya “Nailul Authar” (6/220) berkata : “Sudah jelas
bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum bahwa semua
penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah satu bentuk ibadah. Dan saya
tidak pernah mendengar seorangpun mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban
(Idul Adha) dengan pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita
bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini sehingga ini merupakan
qiyas yang bathil.”

Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” (7/523) berkata : “Orang yang
melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya sekalipun cacatnya
termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul Adha ataupun yang tidak dibolehkan.
Namun lebih baik (afdhol) kalau kambing itu bebas dari catat.”

BACAAN KETIKA MENYEMBELIH KAMBING


Firman Allah Ta’ala : “Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan
sebutlah nama Allah…” [Al-Maidah : 4]

Firman Allah Ta’ala : “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah
suatu kefasikan.” [Al-An’am : 121]

Adapun petunjuk Nabi tentang tasmiyah (membaca bismillah) sedah masyhur dan
telah kita ketahui bersama (lihat Irwaul Ghalil 2529-2536-2545-2551, karya Syaikh Al-
Albani). Oleh karena itu, doa tersebut juga diucapkan ketika meyembelih hewan untuk aqiqah
karena merupakan salah satu jenis kurban yang disyariatkan oleh Islam. Maka orang yang
menyembelih itu biasa mengucapkan : “Bismillahi wa Allahu Akbar”.

10
MENGUSAP DARAH SEMBELIHAN AQIQAH DI ATAS KEPALA BAYI
MERUPAKAN PERBUATAN BID’AH DAN JAHILIYAH
“Dari Aisyah berkata : Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah, apabila mau
mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan hewan aqiqah.
Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas tersebut pada
kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda : “Jadikanlah (gantikanlah) darah dengan khuluqun
(sejenis minyak wangi).” [Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (5284), Abu Dawud
(2743), dan disahihkan oleh Hakim (2/438)]

Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya “Irwaul Ghalil” (4/388) berkata :


“Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk kebiasaan orang-orang
jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.”

Al-‘Allamah Imam Syukhani dala, kitabnya “Nailul Aithar” (6/214) menyatakan :


“Jumhur ulama memakruhkan (membenci) at-tadmiyah (mengusap kepala bayi dengan darah
sembelihan aqiqah)..”

Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas bahwasannya
dia berkata : “Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah terhadap anak kecil….dan diusap
dengan darah sembelihan aqiqah.” [Hadits Riwayat Thabrani], maka ini merupakan hujjah
yang dhaif dan mungkar.

BOLEH MENGHANCURKAN TULANGNYA [DAGING SEMBELIHAN AQIQAH]


SEBAGAIMANA SEMBELIHAN LAINNYA
Inilah kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya, seperti
ditegaskan Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (2/502), karena tidak adanya dalil yang
melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang menghancurkan tulang sembelihan
sudah menjadi kebiasan disamping ada kebaikannya juga, yaitu bisa diambil manfaat dari
sumsum tersebut untuk dimakan.

11
Adapun pendapat yang menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif, diantaranya
adalah:
1. Bahwasannya Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian menghancurkan tulang
sembelihannya.” [Hadist Dhaif, karena mursal terputus sanadnya, Hadits Riwayat Baihaqi
(9/304)]
2. Dari Aisyah dia berkata : “….termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak menghancurkan
tulang sembelihannya….” [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj, Hadits Riwayat. Hakim
(4/283]

Kedua hadist diatas tidak boleh dijadikan dalil karena keduanya tidak shahih. [lihat
kitab “Al-Muhalla” oleh Ibnu Hazm (7/528-529)].

DISUNNAHKAN MEMASAK DAGING SEMBELIHAN AQIQAH DAN TIDAK


MEMBERIKANNYA DALAM KEADAAN MENTAH
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.43-44,
berkata : “Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu, karena jika
dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian)
tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat
tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan
gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan, dan enak rasanya,
tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging mentah yang masih membutuhkan tenaga
lagi untuk memasaknya….Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka
untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada
orang lain.”

TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG KALAU DAGING SEMBELIHANNYA


DIJUAL
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.51-52,
berkata : “Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub) kepada Allah Ta’ala.
Barangsiapa menjual daging sembelihannya sedikit saja maka pada hakekatnya sama saja
tidak melaksanakannya. Sebab hal itu akan mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas
dasar itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara penuh sehingga
aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari penjualan itu digunakan untuk upah

12
penyembelihannya atau upah mengulitinya” [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam
Malik].
ORANG YANG AQIQAH BOLEH MEMAKAN, BERSEDEKAH, MEMBERI
MAKAN, DAN MENGHADIAHKAN DAGING SEMBELIHANNYA, TETAPI YANG
LEBIH UTAMA JIKA SEMUA DIAMALKAN
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.48-49,
berkata : “Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara penggunaan atau pembagian
dagingnya maka kita kembali ke hukum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah
boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir
miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih
utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-
temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan
memuat saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah
Ta’ala”. [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].

JIKA AQIQAH BERTETAPAN DENGAN IDUL QURBAN, MAKA TIDAK SAH


KALAU MENGERJAKAN SALAH SATUNYA [SATU AMALAN DUA NIAT]
Penulis berkata : “Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak sah
menggabungkan niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus dikerjakan. Sebab aqiqah
dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika ditinjau dari segi bentuknya
dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya mengerjakan salah satunya dengan niat dua
amalan sekaligus. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan Allah
Ta’ala tidak pernah lupa.”

TIDAK SAH AQIQAH SESEORANG YANG BERSEDEKAH DENGAN HARGA


DAGING SEMBELIHANNYA SEKALIPUN LEBIH BANYAK
Al-Khallah pernah berkata dalam kitabnya : “Bab Maa yustahabbu minal aqiqah wa
fadhliha ‘ala ash-shadaqah” : “ Kami diberitahu Sulaiman bin Asy’ats, dia berkata Saya
mendengar Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang aqiqah : “Mana yang kamu senangi,
daging aqiqahnya atau memberikan harganya kepada orang lain (yakni aqiqah kambing
diganti dengan uang yang disedekahkan seharga dagingnya) ? Beliau menjawab : “Daging
aqiqahnya.” [Dinukil dari Ibnul Qayyim dalam “Tuhfathul Maudud” hal.35 dari Al-Khallal]

13
Penulis berkata : “Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya bershadaqah
dengan harga (daging sembelihan aqiqah) sekalipun lebih banyak, maka aqiqah seseorang
tidak sah jika bershadaqah dengan harganya dan ini termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar
! Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad .”

ADAB MENGHADIRI JAMUAN AQIQAH


Diantara bid’ah yang sering dikerjakan khususnya oleh ahlu ilmu adalah memberikan
ceramah yang berkaitan dengan hukum aqiqah dan adab-adabnya serta yang berkaitan dengan
masalah kelahiran ketika berkumpulnya orang banyak (undangan) di acara aqiqahan pada
hari ketujuh.

Jadi saat undangan pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat suatu acara
yang berisi ceramah, rangkaian do’a-do’a, dan bentuk-bentuk seperti ibadah lainnya, yang
mereka meyakini bahwa semuanya termasuk dari amalan yang baik, padahal tidak lain hal itu
adalah bid’ah, pent.

Perbuatan semacam itu tidak pernah dicontohkan dalam sunnah yang shahih bahkan
dalam dhaif sekalipun !! Dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Salafush Shalih
rahimahumullah. Seandainya perbuatan ini baik niscaya mereka sudah terlebih dahulu
mengamalkannya daripada kita. Dan ini termasuk dalam hal bid’ah-bid’ah lainnya yang
sering dikerjakan oleh sebagian masyarakat kita dan telah masuk sampai ke depan pintu
rumah-rumah kita, pent !!

Sedangkan yang disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di dalam acara
aqiqahan hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta menyambut kelahiran bayi dan
bukan untuk rangkaian ibadah lainnya yang dibuat-buat.

Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Semua kabaikan itu


adalah dengan mengikuti Salaf dan semua kejelekan ada pada bid’ahnya Khalaf.

14
[Disalin dan diringkas kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah” karya Abu Muhammad
‘Ishom bin Mar’i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia, dan diterjemahkan
oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul “Aqiqah” terbitan Titian Ilahi Press,
Yogjakarta, 1997]
Sumber: https://almanhaj.or.id/856-ahkamul-aqiqah.html

15
1. Doa untuk kelahiran bayi/anak

2. Doa menyembelih atau memotong hewan aqiqah

16
3. Doa walimatul aqiqah

17
‫سلَّ َم‪ ,‬اَللّ ُه َّم اُ ِع ْي ُذهُ‬ ‫سيّ ِدنا َ مح ّم ٍد َو َعلَى الِ ِه َو َ‬
‫ص ْحبِ ِه َو َ‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَى َ‬ ‫يم‪َ ,‬و َ‬ ‫س ِم هللاِ ال ّرحم ِن ال ّر ِح ِ‬
‫بِ ْ‬
‫اج َع ْل َه َذا ْا َ‬
‫لولَ َد‬ ‫سـ ٍد‪ .‬اُ ِع ْي ُذهَا بِ َك َو ُذ ِّريَّتَ َها ِمنَ ال َّ‬
‫ش ْيـطَ ِ‬
‫ان ال َّر ِج ْي ِم‪ .‬اَللّ ُه َّم ْ‬ ‫ش ِّر ُك ِّل ِذ ْ‬
‫ي َح َ‬ ‫ص َم ِد ِمنْ َ‬ ‫بِا ْل َو ِ‬
‫اح ِد ال َّ‬
‫ار ُز ِ‬
‫ق‬ ‫سَألُكَ ِّ‬
‫الزيَا َدةَ َوا ْلبَ َر َكةَ فِى ْال ِع ْل ِـم َو ْ‬ ‫سـالَ َمةَ فِى ال ُّد ْنيا َ َوال ِّد ْي ِن َونَ ْ‬ ‫سَألُكَ ال َّ‬ ‫صالِ ًحا‪ .‬اَللّ ُهـ َّم اِنَّا نَ ْ‬
‫َولَدًا َ‬
‫سلَّ َم بِِإ ْحسـَانِ َها‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ‬ ‫س َما َء ُكلَّ َها َوقَ ْد اَ َم َرنَا نَبِيِّكَ ُم َح َّم ٍد َ‬
‫ا ْل َم ْر ُز ْوقِيْنَ ‪ .‬اِلَ ِهى اِنَّ َك قَ ْد َعلَّ ْمتَ اَ َد َم ْاالَ ْ‬
‫صبَ ْحنَا َعلَى فِ ْط َر ِة ْاِإل ْ‬
‫سالَ ِم َو َعلَى َكلِ َم ِة‬ ‫ب اَ ْه َل ا ْلبَ ْي ِ‬
‫ت… اِلَ ِهى اَ ْ‬ ‫س َّمى َه َذا ا ْل َولَ َد بِا ْ‬
‫س ِم يُنَا ِ‬
‫س ُ‬ ‫فَ َها نَ ْحنُ نُ َ‬
‫سلِ ًما َو َما َكانَ ِمنَ‬‫سلَّ َم َعلَى ِملَّ ِة اَبِ ْينَا اِ ْب َرا ِه ْيـ َم َحنِ ْيفًا ُم ْ‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ‬ ‫ص َوعَل َى ِد ْي ِن نَبِيِّنا َ ُم َح َّم ٍد َ‬ ‫ْاِإل ْخالَ ِ‬
‫زَو َجةً ت ُِع ْينُنَا فِى ال ُّد ْينَا َو ْاآل ِخ َر ِة‪.‬‬
‫اصابِ ًرا َو ْ‬ ‫سَألُ َك لِ َ‬
‫سانا ً َذا ِك ًرا َوقَ ْلبًا شَا ِك ًرا َوبَ َدنً َ‬ ‫ا ْل ُم ْ‬
‫ش ِر ِكيْنَ ‪ .‬اَللّ ُه َّم اِنَّا نَ ْ‬
‫ال يَ ُك ْونَ َع َذابًا لَّنَا‬‫ب َو ِمنْ َم ٍ‬ ‫ش ْي ِ‬ ‫شيِّبُنَا قَ ْب َل َو ْق ِ‬
‫ت ا ْل َم ِ‬ ‫َونَ ُع ْو ُذبِ َك يَا َربَّنَا ِمنْ َولَ ٍد يَ ُك ْونُ َعلَ ْينا َ َ‬
‫سيِّدًا َو ِم ِن ا ْم َراَ ِة تُ َ‬
‫سيَِّئةً اَ ْفشَاهًا‪ .‬اَللّ ُهـ َّم تَقَبَّ ْل ِمنَّا َعقِ ْيقَتَنَا َربَّناَ‪,‬‬‫سنَةً َكتَ َم َها َواِنْ َّرآى ِمنَّا َ‬ ‫َو َوبَاالً َعلَ ْينَا َو ِمنْ َجا ٍر اِنْ َّرآى ِمنَّا َح َ‬
‫‪.‬بِ َر ْح َمتِ َك يَا اَ ْرح َم ال َّرا ِح ِمـيْنَ ‪ .‬واَ ْل َح ْم ُد هللِ َر ِّب ا ْل َعالَمـِيْنَ‬

‫‪18‬‬
Artinya :
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga
rahmat dan salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, teriring
keluarganya, dan sahabatnya. Ya Allah, aku memohon perlindungan untuk anak ini (sebutkan
nama sang bayi yang di aqiqahi) kepada Tuhan yang maha esa lagi Tuhan tempat meminta
dan bergantung dari jahatan setiap orang yang dengki. Aku memohon perlindungan untuk ibu
anak-anak dan keturunannya dengan Zat Engkau dari syetan yang terkutuk. Ya Allah,
hendaklah Engkau menjadikan anak ini menjadi anak yang shaleh atau sholehah.

Ya Allah, sungguh kami memohon kepada-Mu keselamatan dunia dan agama, kami
memohon kepada-Mu penambahan dan keberkahan dalam ilmu, dan limpahkanlah rizki
kepada orang-orang yang berkah mendapatkan rizki. Wahai Tuhanku, sungguh Engkau telah
mengajarkan semua nama-nama kepada Adam, dan sungguh Nabi-Mu Muhammad SAW
telah memerintahkan kepada kami agar memberi nama kepada anak ini dengan nama yang
layak di negeri ini(sebutkan nama anak).

Wahai Tuhanku, kami dipagi hari di atas kesucian Islam, di atas kepastian ikhlas, di
atas agama Nabi Muhammad Saw, dan di atas agama bapak kami Ibrohim sebagai orang
yang cenderung kepada kebenaran lagi yang tunduk (kepada ajaran) dan tidaklah ia termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Allah. Ya Allah, sungguh kami memohon kepada-Mu
lisan yang berzikir, hati yang bersyukur, badan yang bersabar, dan istri yang menolong kami
dalam urusan dunia dan urusan akhirat.

Dan kami berlindung kepada-Mu, wahai Tuhan kami, dari anak yang kepada kami
sebagai tuan, dari istri yang menyebabkan tumbuh uban sebelum usia layak beruban, dari
harta yang menjadi siksaan dan bencana bagi kami, dan dari tetangga yang bila melihat
kebaikan kami, maka ia menyimpan dan bila ia melihat keburukan kami maka ia
menyebarkan. Ya Allah, terimalah aqiqah kami, wahati Tuhan kami, dengan rahmat-Mu
wahai Tuhan paling penyayang di antara para penyayang. Dan segala puji hanya untuk Allah,
Tuhan semesta alam.

19

Anda mungkin juga menyukai