Anda di halaman 1dari 6

Qurban dan Pensyariatannya

Islam telah mensyari’atkan sembelihan qurban kepada kaum muslimin dan menjadikannya
sebagai salah satu ibadah mereka. Namun masih banyak kaum muslimin yang tidak tahu atau
salah faham dalam pelaksanaan dan hukum-hukum sekitarnya. Banyak diantara mereka yang
mampu dan enggan melaksanakannya atau merasa itu sesuatu yang tidak disyari’atkan atau
menunggu kiriman sembelihan qurban dari luar daerah atau luar negeri.
Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi kita untuk mengetahui hukum-hukum sekitar ibadah ini
agar dapat beribadah diatas ilmu dan yakin. Mudah-mudahan dengan ini kita dapat mencapai
keridhaan Allah Ta’ala. Hukum Qurban.Qurban merupakan salah satu sembelihan yang
disyariatkan sebagai ibadah dan amalan mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang
dinyatakan Ibnul Qayyim dalam pernyataan beliau: “Sembelihan-sembelihan yang menjadi
amalan mendekatkan diri kepada Allah dan ibadah adalah Al Hadyu, Al Adhhiyah (Qurban) dan
Al Aqiqah”.1
Demikianlah pensyariatannya sudah merupakan ijma’ (consensus) yang disepakati kaum
muslimin.2 Namun tentang hukumnya masih diperselisihkan para ulama dalam beberapa
pendapat.
Wajib bagi yang mampu, inilah pendapat Abu Hanifah dan Maalik. Madzhab inipun dinukil dari
Rabi’ah Al Ra’yi, Al Auzaa’ie, Al Laits bin Sa’ad 3 dan salah satu riwayat dari Ahmad. Bin Hambal 4.
Pendapat ini dirojihkan oleh Ibnu Taimiyah 5 dan Syeikh Ibnu Utsaimin berkata: “Pendapat
yang mewajibkan bagi orang yang mampu adalah kuat, karena banyaknya dalil
yang menunjukkan perhatian dan kepedulian Allah padanya”6.
Sunnah atau sunnah muakkad bagi yang mampu, inilah pendapat Jumhur Ulama 7 dan Al
Hafidz ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Hazm yang menyatakan: “Tidak shohih dari
seorangpun dari para sahabat yang menyatakan kewajibannya. Yang benar Qurban tidak
wajib menurut Jumhur dan tidak ada perselisihan bahwa ia merupakan salah satu syiar
agama”.8
Fardhu Kifayah, ini merupakan satu pendapat dalam madzhab Syafi’i

Dalil pendapat pertama adalah:


1. Hadits Al Bara’ bin ‘Aazib, beliau berkata:

‫َذَبَح َأُبو ُبْر َدَة َقْبَل الَّصاَل ِة َفَق اَل َلُه الَّنُّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم َأْبِد َهْلا َقاَل َلْيَس ِعْنِد ي‬
‫ِإاَّل َج َذ َعٌة َقاَل اْجَعْلَه ا َم َك اَنَه ا َو َلْن ْجَتِز َي َعْن َأَح ٍد َبْع َد َك‬
Abu Burdah telah menyembelih Qurban sebelum sholat (Ied) lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa
Sallam berkata kepadanya: Gantilah, beliau menjawab: saya tidak punya kecuali Jaz’ah. Maka
beliau berkata: Jadikanlah ia sebagai penggantinya dan hal itu tidak berlaku pada seorangpun
setelahmu. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Orang yang mewajibkan berhujjah dengan hadits ini dengan menyatakan bahwa
Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan Abu Burdah untuk mengulangi
penyembelihannya jika telah melakukannya sebelum sholat. Hal seperti ini tidak dikatakan
kecuali dalam perkara wajib saja.
2. Hadits Jundab bin Abdillah bin Sufyaan Al Bajalie, beliau berkata:

‫ِه‬
‫َقاَل َص َّلى الَّنُّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْي َو َس َّلَم َيْو َم الَّنْح ِر َّمُث َخ َطَب َّمُث َذَبَح َفَق اَل َمْن َذَبَح‬
‫ْذ ْل ْذ ِبا ِم الَّلِه‬
‫َقْبَل َأْن ُيَص ِّلَي َفْلَيْذ َبْح ُأْخ َر ى َم َك اَنَه ا َو َمْن ْمَل َي َبْح َف َي َبْح ْس‬
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata pada hari Nahr (ied Al Adhha) kemudian
berkhutbah: Siapa yang menyembelih sebelum sholat maka sembelihlah yang lain sebagai
penggantinya dan siapa yang belum menyembelih maka sembelihlah dengan nama
Allah. (Muttafaqun ‘Alaihi)
3. Hadits Anas bin Malik, beliau berkata:

‫َقاَل الَّنُّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم َمْن َذَبَح َقْبَل الَّصاَل ِة َفْلُيِعْد‬
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata: Siapa yang telah menyembelih sebelum sholat
maka ulangi lagi.(Muttafqun ‘Alaihi)
4. Hadits Jaabir bin Abdillah, beliau berkata:

‫َص َّلى ِبَنا الَّنُّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم َيْو َم الَّنْح ِر ِباْلَم ِد يَنِة َفَتَق َّد َم ِر َج اٌل َفَنَح ُر وا‬
‫ِه‬ ‫ِه‬
‫َو َظُّنوا َأَّن الَّنَّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْي َو َس َّلَم َقْد َحَنَر َفَأَم َر الَّنُّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْي َو َس َّلَم َمْن‬
‫َك اَن َحَن َقْبَلُه َأْن ُيِعيَد ِبَنْح ٍر آَخ َو اَل َيْنَح وا َح ىَّت َيْنَح الَّنُّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّل‬
‫َم‬ ‫َر‬ ‫ُر‬ ‫َر‬ ‫َر‬
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengimami kami shholat di hari nahr (iedul Adha) di
Madinah, lalu beberapa orang maju dan menyembelih (sembelihannya) dalam keadan
menyangka Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah menyembelih. Lalu Nabi memerintahkan
orang yang menyembelih sebelul beliau untuk mengulangi sembelihan yang lainnya dan
jangan menyembelih sampai nabi menyembelih.9
Hadits-hadits ini jelas menunjukkan kewajiban Qurban, sebab ada padanya dua penunjukkan
wajib, pertama bentuk perintah dan kedua perintah mengulangi. Tentunya sesuatu yang tidak
wajib tidak diperintahkan untuk mengulanginya.
Ketiga hadits diatas dikomentari Ibnu Hajar dalam pernyataan beliau: “Orang yang mewajibkan
kurban berdalil dengan adanya perintah mengulangi penyembelihan. Mak hal ini dibantah
dengan menyatakan bahwa yang dimaksud adalah penjelasan syarat penyembelihan kurban yang
disyariatkan. Ini seperti pernyataan orang yang sholat sunnah dhuha sebelum matahari terbit:
‘Jika matahari sudah terbit maka ulangi sholat kamu’.”.10
5. Hadits Abu Hurairoh, beliau berkata:

‫َقاَل َرُس وُل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم َمْن َو َج َد َسَعًة َفَلْم ُيَض ِّح َفاَل َيْق َر َبَّن ُمَص اَّل َنا‬
Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Siapa yang memiliki kemampuan (keluasan rizki) dan
tidak menyembelih maka jangan dekati tempat sholat kami. 11

Hadits ini jelas menunjukkan ancaman kepada orang yang memiliki kemampuan dan enggan
menyembelih kurban. Tentunya Rasululloh tidaklah berbuat demikian kecuali menunjukkan
kewajibannya.Pendapat yang tidak mewajibkan menyatakan bahwa hadits ini hadit yang mauquf
saja sehingga tidak dapat dijadikan hujjah dalam perkara ini. Hal ini dijawab oelh Syeikh Al
Albanie dalam pernyataan beliau: “Hadits ini diriwayatkan secara mauquf oleh Ibnu Wahab,
namun ziyadah Tsiqah ini diterima. Abu Abdurrahman AL Muqri’ diatas tsiqah (sangat tsiqah
(kredibel))”12Kemudian pendapat yang tidak mewajibkan menjawab: oke, anggap saja haditsnya
hasan, namun juga tidak tegas dalam menunjukkan kewajibannya, sebagaiaman diaktakan Ibnu
Hajar: “Yang menjadi dasar kuat yang dipegangi pendapat yang mewajibkan adalah hadits Abu
Hurairoh ini. Namun diperselsihkan apakah marfu’ atau mauquf?. Mauquf lebih dekat kepada
kebenaran, sebagaiaman pendpat Al Thohawie dan selainnya. Walaupun marfu’ hadits ini juga
tidak tegas dalam menunjukkan kewajibannya”.13

6. Hadits Mikhnaf bin Sulaim, ia berkata:

‫ْحَنُن َمَع الَّنِّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم َو ُه َو َو اِقٌف ِبَعَر َفاٍت َفَق اَل َيا َأُّيَه ا الَّناُس ِإَّن َعَلى‬
‫ُك ِّل َأْه ِل َبْيٍت يِف ُك ِّل َعاٍم َأْض ِح َيًة َو َعِتَريًة َقاَل َتْد ُر وَن َم ا اْلَعِتَريُة ؟ َه ِذِه اَّليِت َيُقوُل‬
‫الَّناُس الَّر َج ِبَّيُة‬
“Kami bersama Rasululoh dan beliau wukuf di Arafah, lalu berkata; Wahai manusia,
sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga setiap tahunnya kurban dan ‘Atirah. Beliau berkata:
Tahukah kalian apa itu ‘Atiroh? Itu yang dikatakan orang rajabiyah”.14
Al hafidz ibnu Hajar berkata: Demikian juga orang yang menwajibkan berhujah dengan hadits
Mikhnaf bin Sulaim ini yang diriwayatkan Ahmad dan imam yang empat dengan sanad yang
kuat. Namun tidak ada hujjah disana , karena shighahnya tidak tegas menunjukkan wajib secara
muthlak dan juga disebutkan bersamanya Al ‘Atiroh yang tidak diwajibkan orang yang
berpendapat mewajibkan kurban”15

Sedangkan dalil pendapat kedua adalah:


1. Hadits Ummu Salamah, beliau berkata:

‫َأَّن الَّنَّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِإَذا َدَخ َلْت اْلَعْش ُر َو َأَر اَد َأَح ُد ُك ْم َأْن ُيَض ِّح َي َفاَل‬
‫َمَيَّس ِم ْن َش َعِرِه َو َبَش ِرِه َش ْيًئا‬
Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda jika masuk sepuluh hari pertama dzulhijah
dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka jangan memotong sedikitpun
dari rambut dan kukunya.16
Imam Al Syafi’ie berkata: “Ini adalah dalil yang menunjukkan kurban tidak wajib, dengan dasar
sabda Nabi : ‫ َو َأَر اَد‬. Beliau menjadikannya diserahkan kepada kehendak. Seandainya wajib
tentulah beliau menyatakan: ‘Maka janganlah memotong rambutnya sampai menyembelih’.” 17.
Pendapat yang mewajibkan membantah dalil ini dengan menyatkan: “Hadits ini tidak
menunjukkan tidak wajibnya kurban secara muthlak, karena kami mewajibkan dengan syarat
mampu. Demikian juga hadits ini dapat difahami dengan makna orang yang ingin menyembelih
dengan sebab memiliki kemampuan, maka jangan mengambil dari rambut dan kukunya sampai
menyembelih, dengan dalil riwayat lain yang diriwayatkan imam Muslim yang tidak
menyebutkan kata ‫ َأَر اَد‬, yaitu sabda rasululloh:
‫ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِإ ِه ِه ِذ ِحْل ِة‬
‫َمْن َك اَن َلُه َذْبٌح َيْذ ُحَبُه َف َذا ُأ َّل َالَل ْي ا َّج َفَال َيْأُخ َذ َّن ْن َش ْع ِرِه َو َال ْن‬
‫َأْظَف اِرِه َش ْيًَئا َح ىَّت ُيَض ِّح ي‬
Siapa yang memiliki sembelihan yang akan disembelih dan tempak hilal dzil hijjah maka
jangan memotong sedikitpun rambut dan kukunya sampai menyembelih18.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Orang yang tidak mewajibkan tidak memiliki nash dalam
hal ini, karena pokok dasar mereka adalah hadits umu salamah ini. Mereka menyatakan:
‘Kewajiban tidak disandarkan kepada kehendak (irodah)’. Ini adalah pernyataan global, karena
memang kewajiban tidak diserahkan kepada kehendak hamba, sehingga diketakan: Jika kamu
mau berbuatkah, namun terkadang kewajiban disandarkan kepada syarat untuk menjelaskan
hukumnya, seperti firman Allah:

‫ِإَذا ُقْم ُتْم ِإىَل الَّص َالِة َفاْغ ِس ُلوا‬


Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah(QS. 5:6)
Dan mereka memaknakannya: Jika kalian ingin melaksanakan, dan memaknakan: Jika ingin
membaca Al Qur’an maka berta’awudz. Padahal thoharoh wajib dan membaca Al Qur’an dalam
sholat wajib juga.”.19
2. Hadits Jaabir, beliau berkata:

‫َش ِه ْد ُت َمَع الَّنِّيِب َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم اَأْلْض َح ى ِباْلُم َص َّلى َفَلَّم ا َقَض ى ُخ ْطَبَتُه َنَز َل‬
‫وُل الَّلِه َّلى الَّل َل ِه َّل ِب ِدِه َقاَل ِب ِم الَّلِه‬ ‫ِب‬ ‫ِم ِه‬
‫ُه َع ْي َو َس َم َي َو ْس‬ ‫َص‬ ‫َعْن ْنِرَب َفُأَيِت َك ْبٍش َفَذ َحَبُه َرُس‬
‫َو الَّلُه َأْك َبُر َه َذ ا َعيِّن َو َعَّم ْن ْمَل ُيَض ِّح ِم ْن ُأَّم يِت‬
Aku menyaksikan bersama nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam sholat ied al Adha di Mushalla
(tanah lapang), ketika selesai khuthbahnya, beliau turun dari mimbarnya lalu dibawakan
seekor kambing dan Rasululloh menyembelihnya dengan tangannya langsung dan berkata:
Bismilah wa Allahu Akbar hadza ‘Anni wa ‘Amman Lam Yudhahi Min Ummati (Bismillah
Allahu Akbar, Ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih).20
Mereka menyatakan: “Seandainya qurban diwajibkan, tentunya orang yang meninggalkannya
berhak dihukum dan tidak bisa dianggap cukup, lalu bagaimana dengan sembelihan Rasululloh
tersebut? sehingga sabda beliau :

‫َه َذ ا َعيِّن َو َعَّم ْن ْمَل ُيَض ِّح ِم ْن ُأَّم يِت‬


Yang disampaikan secara mutlak tanpa perincian merupakan dalil tidak wajibnya Qurban. Al
Syaukanie berkata: “ Sisi Pendalilan hadits ini dan yang semakna dengannya atas ketidak wajiban
kurban adalah dzahirnya menunjukan bahwa kurban Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bagi
umatnya dan keluarganya mencukupkan orang yang tidak menyembelih kurban, baik mampu
atau tidak mampu. Hal ini mungkin dijawab, bahwa hadits

‫ِإَّن َعَلى ُك ِّل َأْه ِل َبْيٍت يِف ُك ِّل َعاٍم َأْض ِح َيًة‬
- yang menunjukkan kewajiban menyembelih kurban bagi ahli bait yang mampu – menjadi
indicator bahwa kurban nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tersebut untuk orang yang tidak
mampu saja. Seandainya benar yang disampaikan Al Mudda’ie (pendapat yang tidak mewajibkan
(pent)), maka tidalah dapat menjadi dalil tidak wajibnya kurban, karena titik perselisihannya
adalah pada orang yang menyembelih untuk dirinya sendiri dan bukan orang yang disembelihkan
orang lain. Sehingga ketidak wajibannya pada orang yang ada dizaman beliau dari umat ini
mengharuskan tidak wajibnya pada orang yang ada diluar zaman beliau”. 21
3. Atsar Abu Bakr dan Umar, sebagaiman diriwayatkan oleh Abu Sariehah Al
Ghifarie, beliau berkata:

‫َم ا َأْد ْك ُت َأَبا َبْك ٍر َأْو َر َأْيُت َأَبا َبْك ٍر َو ُعَمَر َك اَنا َال ُيَض ِّح َياِن –يف َبْع ِض‬
‫َر‬
‫ َك َر اِه َّيَة َأْن ُيْق َتَد ى ِهِبَم ا‬- ‫َح دْيِثِه ْم‬
Aku mendapati Abu Bakar atau melihat Abu Bakar dan Umar tidak menyembelih kurban-
dalam sebagian hadits mereka- khawatir dijadikan panutan22

Seandainya Qurban diwajibkan, tentulah keduanya orang yang lebih pantas mengamalkan nya,
akan tetapi keduanya memahami hukum Qurban tersebut tidak wajib.

Pendapat yang Rajih

Syeikh Muhammad Al Amien Al Syingkitie berkata: “Saya telah menerliti dalil-dalil sunnah
pendapat yang mewajibkan dan yang tidak mewajibkan dan realitanya dalam pandangan kami,
bahwa tidak ada satupun dalil kedua pendapat tersebut yang tegas pasti dan selamat dari
bantahan baik yang menunjukkan wajib atau tidak wajib”. Kemudian berkata : “yang rojih bagi
saya dalam perkara seperti ini yang tidak jelas penunjukan nash-nash kepasa satu hal tertentu
dengan tegas dan jelas adalah berusaha sekuat mungkin keluar dari khilaf. Sehingga berkurban
bila mampu, karena Nabi bersabda: Tinggalkanlah yang ragu kepada yang tidak ragu. Sepatutnya
seorang tidak meningalkannya bila mampu, karena menunaikannya itu yang sudah pasti
menghilangkan tanggung jawabnya. Wallahu A’lam”.23

Yang rojih –Wallahu A’lam - dalam permasalahan ini adalah pendapat Jumhur ulama.
Karena seandainya tidak ada satu dalil hadits nabi pun yang secara pasti menunjukkan kerojihan
salah satu pendapat tersebut, namun amalan Abu Bakar dan Umar dapat dijadikan factor
merojihkan pendapat jumhur. Sebab hal ini merupakan pengamalan perintah Rasululloh dalam
hadits Irbadh bin Saariyah yang berbunyi:

‫ِع ِم ْنُك ِد ي َف ى ا ِتاَل ًفا َك ِث ا َل ُك ِب َّنيِت َّنِة ا َلَف اِء‬


‫ًري َفَع ْي ْم ُس َو َس ُخْل‬ ‫َفِإَّنُه َمْن َي ْش ْم َبْع َس َيَر ْخ‬
‫ِد‬ ‫ِش ِد‬
‫الَّر ا يَن اْلَم ْه ِّيَني‬
Sungguh siapa diantara kalian yang hidup setelahku maka akan mendapati perselisihan yang
banyak maka wajib baginya untuk memegangi sunnahku dan sunnah khulafa’ Al Rosyidin.
Keduanya termasuk dari Khulafa Rasyidin menurut kesepakatan kaum muslimin. Kemudian hal
ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan imam Muslim dengan lafadz :

‫َفِإْن ُيِط يُعوا َأَبا َبْك ٍر َو ُعَمَر َيْر ُشُد وا‬


Karena jika mereka mengikuti Abu Bakar dan Umar niscaya mendapati petunjuk.
Ditambah lagi dengan adanya riwayat atsar dari Ibnu Umar, Abu Mas’ud Al Anshori dan Ibnu
Abas yang menunjukan ketidak wajibannya.
Mudah-mudahan bermanfa’at.

1
Lihat Abdulaziz bin Muhammad Alisalman, Ithaaf Al Muslimin Bimaa Tayassara Min Ahkam Al Dien –Ilmun
wa Dalilun, cetakan kedua tahun 1403 H, tanpa penerbit hal. 2/505.
2
Lihat Ibnu Qudamah, Al Mughnie, hal 11/94.dan Ibnu Hajar, Fathul Barie Bi Syarhi Shohih Al Bukhorie,
tanpa cetakan dan tahun, Al Maktabah Al Salafiyah 10/3
3
lihat DR. Ahmad Muwaafie, Taisier Al Fiqhi Al Jaami’ Lilikhtiyaaraat Al Fiqhiyah Lisyeikh Al Islam Ibnu
Taimiyah, cetakan pertama tahun 1416 H, Dar ibnu Al Jauzie, Dammaam, KSA 3/1210
4
lihat makalah Abu Bakar Al Baghdadie yang berjudul Juzun Fi Udhhiyah Wa Hukmu Ikhrojiha ‘An Balad Al
Mudhohie, Majalah AL Hikmah, tanpa edisi dan tahun hal 22.
5
Lihat Taisier Al Fiqh op.cit 3/1208 menukil dari Majmu’ Fatawa 23/162.
6
lihat Ibnu Utsaimin, Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Tahqiq Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih dan
Sulaiman Aba khoil, cet 1 taun 1416H, Muassasah Aasaam , Riyadh, KSA, 7/519.
7
Lihat Al Nawawie, Majimu’ Syarhu Al Muhadzdzab, tahqiq Muhammad Najieb A Muthi’ie, tanpa cetakan
dan tahun, Daar Ihya’ Al Turats Al Arabie 8/354
8
Lihat Fathul barie op.cit 10/3
9
Diriwayatkan Imam Muslim no. 1964.
10
Fathul Barie 10/4.
11
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3123 dan AL Khothib 8/338 dari Zaid bin AL Hubaab dan AL Haakim
2/389 dan Ahmad 2/321 dari Abdullah bin Yazied Al Muqri’ dan Abu Bakar Al Syaerozie dalam Sab’at
Majaalis min Al Amani dari Muhammad bin Sa’ied. Mereka bertiag meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Iyaasy
dari Abdurrahman Al A’roj dari Abu Hurairoh secara marfu’. Diambil dari Takhriej Ahadits Musykil Al Faqr
karya Al Albanie, cetakan pertama tahun 1405 H Al Maktab AL Islamie, Baerut hal. 67-68
12
Takhriej Ahadits Musykil AL faqr, op.cit hal 68.
13
Fathul Barie op.cit 10/3.
14
Hadist ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/215, Abu Daud no. 2788, At Tirmidzie no.1518, Al Nasaa’I 7/167
dan Ibnu Majah no.3125. Haditsini dishohihkan AL Albanie dalam Al Misykah no. 1478 dan Shohih Al Jaami’
15
Fathul Barie op.cit 10/4.
16
Diriwayatkan Muslim no. 5089.
17
Lihat Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, op.cit 8/356.
18
Diriwayatkan imam Muslim no.5093
19
Majmu’ Al Fatawa 23/164.
20
Syeikh Al Albani berkata: Hadits Shohih diriwayatkan Abu Daud (2810) dan At Tirmidzie 1/287. lihat Irwa’
Al Gholil 4/349 no. 1138.
21
Muhammad bin Ali Al Syaukani, Nailul Author Min ahadits Sayidil Ahyaar Syarhu Muntaqa Al Akhbaar ,
tahqiq Muhammad Saalim Hasyim, cetakan pertama tahun 1415H, Daar AL Kutub Al Ilmiyah , Baerut. Hal
5/117.
22
Diriwayatkan Al Baihaqie dalam Sunan AL Kubro 9/295 dan dishohihkan Al Albanie. Lihat irwa’ Al Gholiel
Fi Takhriej Ahaadits Manaar Al Sabiel, karya Syeikh AL Albanie cetakan ke-2 tahun1405 H Al Maktab Al
Islamie no. 1139 hal 4/355
23
Muhammad Al Amien bin Muhammad Al Mukhtar Al Jaknie Al Syinqithie, Adhwaa’ Al Bayaan Fie Iedhah
Al Qur’an bil Qur’an, tanpa tahun dan cetakan , ‘Alam Al Kutub, Baerut 5/618.

Anda mungkin juga menyukai