PENDAHULUAN
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mutsanna, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abu Adi, dari Sa’id dari Qatadah dari Al-Hasan dari Samurah bin Jundub
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Setiap anak tergadaikan
dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya
dan diberi nama.” (HR Abu Daud)
Yang mana aqiqah ini dilaksanakan pada hari ketujuh dari hari kelahiran sang anak
dengan menyembelihkan 2 ekor kambing bagi anak laki-laki dan 1 ekor kambing bagi
anak perempuan serta memberinya nama.
Namun, di tahun 2020 ini terjadi sebuah musibah yang melanda hampir
seluruh negara yaitu COVID-19 atau dikenal dengan sebutan virus corona. Akibat
virus ini, menyebabkan hampir seluruh kegiatan yang bersifat ramai atau
perkumpulan-perkumpulan dibatasi bahkan ditiadakan untuk sementara waktu.
Termasuk di dalamnya kegiatan ibadah yang bersifat perkumpulan-perkumpulan,
seperti kajian, taklim, bahkan shalat berjama’ah. Hal tersebut dilakukan agar dapat
mencegah dan memutuskan tali persebaran dan penularan virus, dalam hal ini aqiqah
merupakan salah satu ibdah yang di dalamnya terdapat waktu pelaksanaan yang telah
ditentukan serta terdapat perkumpulan orang sehingga pada masa sekarang ini tidak
bisa dilakukan.
Dari latar belakang masalah tersebut yang telah dipaparkan, membuat
sebagian kaum muslimin merasa bingung dengan keadaan sekarang atau dengan
adanya COVID-19 yang membuat terhambatnya kegiatan-kegiatan yang sifatnya
ramai atau perkumpulan-perkumpulan, salah satunya ialah acara aqiqah ini.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah adalah, “Bagaimana hukumnya apabila aqiqah tersebut
tertunda karena COVID-19?”
C. Tujuan Penulisan
D. Landasan Teori
1. Pengertian Aqiqah
katanya rambut bayi pada saat dilahirkan atau kambing yang dibuat aqiqah.
seorang bayi pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Sembelihan tersebut
bayi atau beberapa saat sebelum rambut itu dicukur. Nabi Muhammad SAW
menjelaskan:
2. Sejarah Aqiqah
Aqiqah yang berarti menyembelih kambing di masa jahiliyah sudah dikenal
apabila seorang anak laki-laki dilahirkan, mereka menyembelih seekor kambing,
mencukur rambut dan melumuri kepalanya dengan darah hewan yang disembelih.
Kebiasaan melumurkan darah ini kemudian oleh syariat Islam diganti dengan
melumurkan dengan air bunga (kumkuma), sebagaimana hadis Nabi dari
Buraidah:
كنا في الجاهلية إذا ولد ألحدنا غالم ذبح شاة ولطخ رأسه بدمها فلما جاء هللا باإلسالم كنا نذبح شاة
ونحلق رأسه ونلطخه بزعفران
“Kami dahulu pada masa jahiliyah apabila salah seorang dari kami
mendapatkan anak laki-laki, maka kami menyembelih kambing dan melumuri
kepalanya dengan darah kambing yang disembelih, setelah Islam datang kami
diperintah untuk menyembelih kambing, memotong rambut kepalanya dan
melumurinya dengan minyak ja’faran”
وكان أهل الجاهلية يجعلون قطنة في دم العقيقة ويجعلونها على رأس المولود فأمرهم النبي صلى
هللا عليه وسلم أن يجعلوا مكان الدم خلوقا
َم َع ْالغُاَل ِم َعقِ ْيقَةٌ فَأ َ ْه ِر ْيقُوْ ا َع ْنهُ ِد ًما َوأَ ِم ْيطُوْ ا َع ْنهُ اأْل َ َذى
“Setiap bayi laki-laki ada aqiqahnya, karena itu sembelihan aqiqah
untuknya, hilangkanlah kotoran dari tubuhnya (cukurlah rambutnya)” (HR. Ibnu
Majah)
ُ َُكلُّ غُاَل ٍم َر ِه ْينَةٌ بِ َعقِ ْيقَتِ ِه تُ ْذبَ ُح َع ْنهُ يَوْ َم َسابِ ِع ِه َويُحْ ل
ق َويُ َس َّمى
“Rasulullah SAW bersabda: setiap bayi laki-laki adalah tergadai dengan
aqiqahnya, disembelih aqiqah pada hari ketujuh disertai mencukur rambut dan
di beri nama”(HR Ibnu Majah)
4. Hukum Aqiqah
Aqiqah adalah sunah muakadah ini berlaku umum baik untuk anak laki-
laki maupun anak perempuan. Hal ini berbeda dengan pendapat yang mengatakan
bahwa sunahnya aqiqah itu hanya untuk anak-anak laki-laki saja seperti pendapat
Ibnu Sirin yang mengartikan kata gulam adalah anak lakilaki sehingga tidak
berlaku untuk anak perempuan.
Aqiqah dalam sebuah praktek tetap berlaku sebagai suatu sunah yang kuat
tidak gugur dengan adanya perintah udhiyah (sembelihan qurban). Hal ini
berbeda dengan pendapat Muhammad ibn al-Hasan yang mengatakan bahwa
kewajiban aqiqah itu telah di mansukh oleh dalil perintah udhhiyah (sembelihan
qurban). Aqiqah dan udhiyah adalah suatu praktek ibadah yang berdiri sendiri
tidak bisa disamakan dalam hukum, waktu dan tatacara pelaksanaanya.
5. Waktu Aqiqah
“Setiap bayi laki-laki yang baru dilahirkan terikat dengan aqiqah yang disembelih
pada hari ketujuh kelahirannya, pada hari itu rambutnya dicukur dan dia beri
nama”(HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Sedangkan hadits yang membolehkan aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh,
keempat belas dan seterusnya sebagian ulama menilai dlaif. Hadits yang
dimaksud adalah “Dan hendaklah aqiqah itu dilaksanakan pada hari ketujuh,
jika tidak bisa maka pada hari ke empat belas dan jika tidak bisa maka
dilaksanakan pada hari ke dua puluh satu” (HR. Hakim)
إِ َذا َذبَحْ تَ فَقُلْ بِس ِْم هللاِ َوهللاُ أَ ْكبَ ُر هَ ِذ ِه َعقِ ْيقَةُ فُاَل ٍن
“Apabila engkau hendak menyembelih maka ucapkanlah dengan
menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, ini adalah aqiqah si fulan” (HR.
Baihaqi)
يُ َس ِمى َعلَى ْال َعقِ ْيقَ ِة َك ِما يُ َس ِم َي َعلَى اأْل َضْ ِحيَ ِة بِس ِْم هللاِ َعقِ ْيقَةُ فُاَل ٍن
“Bacaan doa saat menyembelih aqiqah adalah sama seperti menyembelih
udhiyah (hewan qurban)” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
َ هللَا ُ أَ ْكبَ ُر ثُ َّم يُ َذبِ ُحه,ِك َعقِ ْيقَةُ فُاَل ٍن بِس ِْم هللا َ اَللَّهُ َّم ِم ْن
َ َك َول
“Membaca doa Allahuma minka walaka, aqiqah … (sebutkan nama bayi)
lalu membaca bismillahi allahu akbar, kemudian baru menyembelih hewan
aqiqah” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
َ َإِ ْذبَحُوْ ا َعلَى اِ ْس ِم ِه َوقُوْ لُوْ ا بِس ِْم هللاِ اَللَّهُ َّم ل
ك َوإِلَ ْيكَ هَ ِذ ِه َعقِ ْيقَةُ فُاَل ٍن
“Sembelihlah dengan menyebut namanya (bayi) dan berkata bismillah
allahuma laka wa ilaika hadzihi aqiqah...(sebutkan nama bayi)”
(HR. Abdur Razak)
b. Mencukur Rambut (dipotong habis)
Dalam riwayat Ibnu Majah dan Abu Daud dikatakan bahwa Nabi tidak
hanya sekedar menyembelih aqiqah tetapi juga dengan memotong rambut dan
memberi nama. Sebagaimana hadis Samurah, “Setiap bayi laki-laki yang baru
dilahirkan terikat dengan aqiqah yang disembelih pada hari ketujuh
kelahirannya, pada hari itu rambutnya dicukur dan dia beri nama” (HR. Ibnu
Majah)
Praktek dalam memotong rambut adalah dengan cara dipotong habis
bukan dipotong satu atau beberapa helai rambut melainkan dipotong semua
karena salah satu makna dari aqiqah adalah memotong atau membersihkan
kotoran yang ada di kepala bayi.
c. Memberi nama
Hadis diatas memberikan keterangan tidak hanya memotong rambut tetapi
juga dengan memberi nama sebagaimana hadis lain, “Telah lahir anakku (Abu
Musa), kemudian aku bawa kepada Nabi SAW maka diberinya nama Ibrahim
lalu diusap langit-langit mulutnya dengan kurma dan didoakan dengan
barakah” (Bukhari)
Hadis ini menjelaskan berkenaan dengan kelahiran bayi yang harus
dilakukan adalah dituntunkan memberi nama dengan nama yang baik,
mengusap langit-langit mulut bayi dengan kurma dan mendoakannya supaya
mendapat berkah. Dalam riwayat lain Nabi Muhammad SAW memberi contoh
mendoakan bagi cucunya Hasan dan Husein, demikian pula ini dilakukan oleh
Nabi Ibrahim kepada anaknya Ismail dan Ishaq, “Adalah Nabi SAW memohon
perlindungan bagi Hasan dan Husein seraya bersabda: Sesungguhnya Nabi
Ibrahim memohon perlindungan bagi Ismail dan Ishaq: Aku berlindung
dengan firman Allah yang sempurna dari segala syaitan, gangguan dari jenis
binatang dan serangga yang mematikan dan penggoda yang jahat” (HR.
Bukhari)
d. Pembagian daging
Hadis Nabi berkaitan dengan ini adalah, “Dan janganlah dipatah-patahkan
tulangnya, maka makanlah, hadiahkanlah dan sedekahkanlah” (HR. Hakim)
E. Pembahasan
Sunnah atau mandub dalam fikih merupakan tuntunan untuk melakukan suatu
perbuatan, karena perbuatan yang dilakukan itu dipandang baik dan sangat disarankan
untuk dilakukan. Terhadap orang yang melaksanakan, berhak mendapat ganjaran akan
kepatuhannya, tetapi bila tuntunan tersebut tidak dilakukan atau ditinggalkan maka
tidak apa-apa.
Hukum sunnah atau mandub, jika dilihat dari tuntunan untuk melakukannya
terbagi kepada dua bagian, yaitu sunnah muakkad dan sunnah ghairu muakkad.
Sunnah muakkad yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi disamping ada
keterangan yang menunjukan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu,
misalkan shalat witir, dua raka’at fajar sebelum subuh. Sebagaimana ulama
menyatakan bahwa orang yang meninggalkannya dicela, tetapi tidak berdosa, karena
orang yang meninggalkan secara sengaja berarti menyalahi sunnah yang biasa
dilakukan nabi. (Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam. Hal 29)
Maka disini jelas bahwa sesuatu yang hukumnya jatuh pada sunnah muakkad
maka tidak mengapa jika tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan, bahkan orang yang
meninggalkannya tidak mendapat dosa karenanya. Terlabih apabila hal tersebut tidak
dapat dilakukan karena ada sesuatu yang menghalangi atau udzur sehingga hal
tersebut tidak dapat dilaksanakan. Sama hal nya dengan aqiqah yang memiliki
kedudukan hukumnya adalah sunnah muakkadah, maka tidak mengapa jika aqiqah
tidak dilakukan karena ada yang menghalanginya atau dari orang tua belum mampu
untuk menunaikannya.
Nabi menganjurkan dalam pelaksanaan aqiqah pada hari ke tujuh dari hari
kelahirannya yaitu, pertama adalah menyembelih hewan aqiqah. Sebagaimana hadis
nabi:
Ada riwayat hadis yang menyebutkan aqiqah pada hari-hari tersebut yakni
Baihaqy, tetapi hadis tersebut ada yang melemahkannya karena ada seseorang
yang bernama Isma’il bin Muslim Al-Makky termasuk yang lemah. Demikian
pula ada hadis riwayat Al-Baihaqy dari Anas yang menyatakan bahwa Nabi
menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri. Riwayat itu dlaif karena pada
sanadnya ada seorang yang bernama ‘Abdullah bin Al-Muharrar dinyatakan
lemah oleh beberapa ahli hadis, seperti Ahmad, Ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan
Ibnu Ma’ien.
F. Kesimpulan