AKIKAH
DISUSUN OLEH:
M.ISNAENI
KELAS: IX D
A. Latar Belakang
Aqiqah artinya sama dengan dzabihah, yaitu binatang yang disembelih. Akan tetapi, dalam istilah ‘aqiqah
itu yang dimaksud adalah Kambing atau Biri-biri jantan atau betina yang disembelih berhubung dengan
adanya anak yang baru dilahirkan. Bila anak itu laki-laki, maka ‘aqiqah-nya dua ekor kambing yang sama
(mukaafiataani); dan bila anak itu perempuan‘aqiqah-nya satu ekor kambing.
Menurut Asy-syafi’y kewajiban melaksanakan aqiqah dibebankan kepada penanggung nafkah anak yang
dilahirkan dengan biaya sendiri, bukan dengan kekayaan si anak. Pelaksanaan aqiqah hanya diwajibkan
kepada mereka yang mampu sebelum masa nifas berakhir. Jika kemampuan beraqiqah baru ada setelah
masa itu lewat, pelaksanannya tidak diberatkan lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aqiqah
‘ Aqiqah artinya sama dengan dzabihah, yaitu binatang yang disembelih. Akan tetapi, dalam
istilah ‘aqiqah itu yang dimaksud adalah Kambing atau Biri-biri jantan atau betina yang disembelih
berhubung dengan adanya anak yang baru dilahirkan. Bila anak itu laki-laki, maka ‘aqiqah-nya dua ekor
kambing yang sama (mukaafiataani); dan bila anak itu perempuan‘aqiqah-nya satu ekor kambing.
kambing tersebut disembelih pada hari ketujuh, kemudian daging ‘aqiqah itu dengan segala baginya
disedekahkan kepada fakir miskin sebagaimana halnya daging kurban. (Abdurrahman. 2011: 35)
Nabi SAW bersabda
“ Sembelihlah aqiqah atas nama si bayi dan cukur
lah rambutnya.”
B. Asal-usul Aqiqah
Menurut Buraidah, di masa jahiliyah apabila seorang nanak laki-laki lahir, mereka menyembelih seekor
kambing, mencukur rambut dan melumuri kepalanya dengan darah hewan yang disembelih. Kebiasaan
melumurkan darah ini, oleh syariat islam diganti dengan melumurkan dengan air bunga (kumkuma). Ibnu
Sakan, menyatakan bahwa pada zaman Jhiliyah, kepala (ubun-ubun) si bayi diusap dengan kapas yang
telah dilumuri darah hewan aqiqah. Hal ini dilarang Rasul, kemudian diganti dengan kapas yang dilumuri
kasuri (parfum).
Dengan melihat asal usul aqiqah ini, nyatalah bahwa tradisi aqiqah yang dikembangkan oleh syariat Islam
(dengan beberapa perbaikan), merupakan penerusan tradisi yang telah turun temurun.
Islam meneruskan tradisi ini, karena merupakan cerminan luapan kegembiraan atas kelahiran seorang
bayi ke dunia, satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah SWT, serta membagikan kebahagiaan kepada
para fakir miskin dan anak yatim.
C. Hukum Aqiqah
Hukum aqiqah adalah sunah bagi orang yang wajib menanggung nafkah si anak. untuk anak laki-laki
hendaklah disembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan seekor kambing saja, dan
hendaklah disembelih pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya anak. tetapi kalau tidak dapat, boleh juga
beberapa hari setelah hari itu, asal anak belum sampai baligh (dewasa) (Rasjid, 2010: 479)
Aisyah berkata:
“Rasulullah menyuruh para sahabat menyembelih aqiqah dua ekor kambing untuk anak laki-laki, dan
seekor kambing untuk anak perempuan.” (Riwayat At-Tirmidzy dari Aisyah)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ashhab As-Sunan dari Sulaiman Ibn Amer, Rasulullah SAW
bersabda:
“Setiap bayi laki-laki ada aqiqahny. Karena itu sembelihlah aqiqah untuknya, hilangkanlah kotoran dari
tubuhnya (cukurlah rambutnya). “
Dengan jelas kedua hadits diatas telah mensyariatkan aqiqah. Namun para ulama berbeda pendapat
tentang hukumnya. Ada yang berpendapat bahwa aqiqah adalah perbuatan sunnah yang dikuatkan.
Pendapat ini dianut oleh Malik, Asy-Syafi’y, Abu-Tsaur, dan mayoritas ulama (jumhur), serta pendapat
yang terkenal dari Ahmad. Malik menyatakan, aqiqah adalah perbuatan sunnah yang sangat dituntut
untuk dilaksanakan, walaupun tidak berdosa jika ditinggalkan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah wajib dilaksakan pada hari ketujuh sejak kelahiran bayi.
Jika tidak dilaksanakan pada hari ketujuh tersebut, maka aqiqah itu tidak lagi dikerjakan pada kelipatan
tujuh berikutnya (hari keempat belas atau keduapuluh satu dan seterusnya). Beginilah pendapat Al-Laits.
Dalam kitab At-Taudhihdinukilkan bahwa Abu Hanifah berpendapat aqiqah adalah perbuatan bid’ah.
Namun menurut Al-Ainy, sulit diterima akal jika Abu Hanifah berpendapat demikian. Beliau tidak
mengatakan bahwa perbuatan itu sunnah ataupun fardhu (Asy-Shiddieqy, 2011: 67-69).
Yahya Al-Anshary melihat sendiri adanya para sahabat yang melaksanakan aqiqah. Sahabat yang
melaksanakan aqiqah antara lain Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Fathimah dan Buraidah al-Aslamy.
Diantara para tabi’in yang melaksanakan aqiqah adalah Al-Qasim ibn Muhammad, Urwah ibn Zubair,
Az-Zuhry, Abu Az-Zinad, dan segolongan ulama. Diantara para ahli ijtihad yang melaksanakan aqiqah
adalah Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Samurah berkata bahwasanya Nabi SAW bersabda:
“Setiap bayi laki-laki yang baru dilahirkan terikat dengan aqiqah yang disembelih pada hari
ketujuh kelahirannya. Pada hari itu rambutnya dicukur dan dia diberi nama.” (H.R. Ahmad dan Ashab as-
Sunan dari Samurah)
Dalam kitab an-Nihayah dan Al-Masyariq dimaksudakan bahwa hadits tersebut Nabi SAW adalah bahwa
rambut bayi dicukur dan namanya diberikan setelah aqiqah dilaksanakan. Ada yang berpendapat bayi
yang tidak diaqiqahkan, tidak akan memberi syafaat pada hari kiamat kepada orang tuanya.
Dengan uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa aqiqah tidaklah dapat dianggap sepele dan dapat dimudah-
mudahkan. Kesadaran mengenai aqiqah ini belum begitu merata di kalangan umat Islam.
Muhammad ibn Sirin, berpendapat bahwa aqiqah hanya diwajibkan untuk anak lelaki saja, tidak untuk
anak perempuan. Hal ini didasarkan atas hadits: “Beserta anak perempuan ada aqiqahnya (Asy-Shiddieqy,
2011: 70-71).
D. Yang Wajib Melaksanakan Aqiqah
Menurut Asy-syafi’y kewajiban melaksanakan aqiqah dibebankan kepada penanggung nafkah anak yang
dilahirkan dengan biaya sendiri, bukan dengan kekayaan si anak. Pelaksanaan aqiqah hanya diwajibkan
kepada mereka yang mampu sebelum masa nifas berakhir. Jika kemampuan beraqiqah baru ada setelah
masa itu lewat, pelaksanannya tidak diberatkan lagi.
Sejarah menunjukkan bahwa yang melaksanakan aqiqah untuk Al-Hasan dan Al-Husain adalah
Rasulullah sendiri atas nama orang tua kedua cucunya itu. Nabi menyerahkan kambing-kambing aqiqah
kepada putrinya Fatimah.
Dengan demikian, aqiqah boleh dilaksanakan bukan oleh orang tuanya sendiri yang seharusnya menjadi
penanggung jawab nafkah anak yang dilahirkan itu.
Ibnu Abbas berkata:
“Bahwannya Rasulullah menyembelih seekor kibasy untuk Al-Hasandan Al-Husain. (menurut satu
riwayat: masing-masing 2ekor).” (HR. Abu Daud, Ibnu Huzaimah, Ibnu Jarud, dan Abdul Haq dari Ibnu
Abbas).
Dalam riwayat Al-Baihaqy, Al-Hakim dan Ibnu Hiban dari Aisyah, disebutkan bahwa aqiqah untuk Al-
Hasan dan Al-Husen dilaksanakan Nabi pada hari ke tujuh kelahirnnya serta pada hari itu kedua cucu
Rasul itu diberi nama dan dicukur rambutnya. Menurut Jabir, pada hari itu juga kedua cucu itu di
khitankan (Asy-Shiddieqy, 2011: 71-73).
-Abdurrahman, E. 2011. Hukum Qurban, Aqiqah dan Sembelihan. bandung: Sinar Baru Algensindo
-Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku. 2011. Tuntunan Qurban dan Aqiqah. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra.
-Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.