Anda di halaman 1dari 10

REMEDIAL ULANGAN HARIAN KDI TENTANG

AKIKAH

DISUSUN OLEH:

M.ISNAENI

KELAS: IX D

KEMENTRIAN AGAMA KABUPATEN LEBAK MTsN 1 LEBAK


TAHUN PELAJARAN 2018-2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-
Nya, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. kami bersyukur kepada
Ilahi Rabbi yang telah memberikan Hidayah dan Taufik-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Aqiqah” terselesaikan dengan baik. Makalah ini berisikan tentang pengertian
dari aqiqah, asal-usul aqiqah, hukum aqiqah, yang wajib melaksanakan aqiqah, dan pembagian daging
aqiqah dan cara memasaknya.
Dengan tersusunnya makalah ini, kami berharap dapat lebih memahami secara mendalam tentang
Fiqih Sosial. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah
atau penyusunan makalah berikutnya menjadi lebih baik.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aqiqah artinya sama dengan dzabihah, yaitu binatang yang disembelih. Akan tetapi, dalam istilah ‘aqiqah
itu yang dimaksud adalah Kambing atau Biri-biri jantan atau betina yang disembelih berhubung dengan
adanya anak yang baru dilahirkan. Bila anak itu laki-laki, maka ‘aqiqah-nya dua ekor kambing yang sama
(mukaafiataani); dan bila anak itu perempuan‘aqiqah-nya satu ekor kambing.
Menurut Asy-syafi’y kewajiban melaksanakan aqiqah dibebankan kepada penanggung nafkah anak yang
dilahirkan dengan biaya sendiri, bukan dengan kekayaan si anak. Pelaksanaan aqiqah hanya diwajibkan
kepada mereka yang mampu sebelum masa nifas berakhir. Jika kemampuan beraqiqah baru ada setelah
masa itu lewat, pelaksanannya tidak diberatkan lagi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aqiqah
‘ Aqiqah artinya sama dengan dzabihah, yaitu binatang yang disembelih. Akan tetapi, dalam
istilah ‘aqiqah itu yang dimaksud adalah Kambing atau Biri-biri jantan atau betina yang disembelih
berhubung dengan adanya anak yang baru dilahirkan. Bila anak itu laki-laki, maka ‘aqiqah-nya dua ekor
kambing yang sama (mukaafiataani); dan bila anak itu perempuan‘aqiqah-nya satu ekor kambing.
kambing tersebut disembelih pada hari ketujuh, kemudian daging ‘aqiqah itu dengan segala baginya
disedekahkan kepada fakir miskin sebagaimana halnya daging kurban. (Abdurrahman. 2011: 35)
Nabi SAW bersabda
“ Sembelihlah aqiqah atas nama si bayi dan cukur
lah rambutnya.”
B. Asal-usul Aqiqah
Menurut Buraidah, di masa jahiliyah apabila seorang nanak laki-laki lahir, mereka menyembelih seekor
kambing, mencukur rambut dan melumuri kepalanya dengan darah hewan yang disembelih. Kebiasaan
melumurkan darah ini, oleh syariat islam diganti dengan melumurkan dengan air bunga (kumkuma). Ibnu
Sakan, menyatakan bahwa pada zaman Jhiliyah, kepala (ubun-ubun) si bayi diusap dengan kapas yang
telah dilumuri darah hewan aqiqah. Hal ini dilarang Rasul, kemudian diganti dengan kapas yang dilumuri
kasuri (parfum).
Dengan melihat asal usul aqiqah ini, nyatalah bahwa tradisi aqiqah yang dikembangkan oleh syariat Islam
(dengan beberapa perbaikan), merupakan penerusan tradisi yang telah turun temurun.
Islam meneruskan tradisi ini, karena merupakan cerminan luapan kegembiraan atas kelahiran seorang
bayi ke dunia, satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah SWT, serta membagikan kebahagiaan kepada
para fakir miskin dan anak yatim.
C. Hukum Aqiqah
Hukum aqiqah adalah sunah bagi orang yang wajib menanggung nafkah si anak. untuk anak laki-laki
hendaklah disembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan seekor kambing saja, dan
hendaklah disembelih pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya anak. tetapi kalau tidak dapat, boleh juga
beberapa hari setelah hari itu, asal anak belum sampai baligh (dewasa) (Rasjid, 2010: 479)
Aisyah berkata:
“Rasulullah menyuruh para sahabat menyembelih aqiqah dua ekor kambing untuk anak laki-laki, dan
seekor kambing untuk anak perempuan.” (Riwayat At-Tirmidzy dari Aisyah)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari Ashhab As-Sunan dari Sulaiman Ibn Amer, Rasulullah SAW
bersabda:
“Setiap bayi laki-laki ada aqiqahny. Karena itu sembelihlah aqiqah untuknya, hilangkanlah kotoran dari
tubuhnya (cukurlah rambutnya). “
Dengan jelas kedua hadits diatas telah mensyariatkan aqiqah. Namun para ulama berbeda pendapat
tentang hukumnya. Ada yang berpendapat bahwa aqiqah adalah perbuatan sunnah yang dikuatkan.
Pendapat ini dianut oleh Malik, Asy-Syafi’y, Abu-Tsaur, dan mayoritas ulama (jumhur), serta pendapat
yang terkenal dari Ahmad. Malik menyatakan, aqiqah adalah perbuatan sunnah yang sangat dituntut
untuk dilaksanakan, walaupun tidak berdosa jika ditinggalkan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah wajib dilaksakan pada hari ketujuh sejak kelahiran bayi.
Jika tidak dilaksanakan pada hari ketujuh tersebut, maka aqiqah itu tidak lagi dikerjakan pada kelipatan
tujuh berikutnya (hari keempat belas atau keduapuluh satu dan seterusnya). Beginilah pendapat Al-Laits.
Dalam kitab At-Taudhihdinukilkan bahwa Abu Hanifah berpendapat aqiqah adalah perbuatan bid’ah.
Namun menurut Al-Ainy, sulit diterima akal jika Abu Hanifah berpendapat demikian. Beliau tidak
mengatakan bahwa perbuatan itu sunnah ataupun fardhu (Asy-Shiddieqy, 2011: 67-69).
Yahya Al-Anshary melihat sendiri adanya para sahabat yang melaksanakan aqiqah. Sahabat yang
melaksanakan aqiqah antara lain Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Fathimah dan Buraidah al-Aslamy.
Diantara para tabi’in yang melaksanakan aqiqah adalah Al-Qasim ibn Muhammad, Urwah ibn Zubair,
Az-Zuhry, Abu Az-Zinad, dan segolongan ulama. Diantara para ahli ijtihad yang melaksanakan aqiqah
adalah Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Samurah berkata bahwasanya Nabi SAW bersabda:
“Setiap bayi laki-laki yang baru dilahirkan terikat dengan aqiqah yang disembelih pada hari
ketujuh kelahirannya. Pada hari itu rambutnya dicukur dan dia diberi nama.” (H.R. Ahmad dan Ashab as-
Sunan dari Samurah)
Dalam kitab an-Nihayah dan Al-Masyariq dimaksudakan bahwa hadits tersebut Nabi SAW adalah bahwa
rambut bayi dicukur dan namanya diberikan setelah aqiqah dilaksanakan. Ada yang berpendapat bayi
yang tidak diaqiqahkan, tidak akan memberi syafaat pada hari kiamat kepada orang tuanya.
Dengan uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa aqiqah tidaklah dapat dianggap sepele dan dapat dimudah-
mudahkan. Kesadaran mengenai aqiqah ini belum begitu merata di kalangan umat Islam.
Muhammad ibn Sirin, berpendapat bahwa aqiqah hanya diwajibkan untuk anak lelaki saja, tidak untuk
anak perempuan. Hal ini didasarkan atas hadits: “Beserta anak perempuan ada aqiqahnya (Asy-Shiddieqy,
2011: 70-71).
D. Yang Wajib Melaksanakan Aqiqah
Menurut Asy-syafi’y kewajiban melaksanakan aqiqah dibebankan kepada penanggung nafkah anak yang
dilahirkan dengan biaya sendiri, bukan dengan kekayaan si anak. Pelaksanaan aqiqah hanya diwajibkan
kepada mereka yang mampu sebelum masa nifas berakhir. Jika kemampuan beraqiqah baru ada setelah
masa itu lewat, pelaksanannya tidak diberatkan lagi.
Sejarah menunjukkan bahwa yang melaksanakan aqiqah untuk Al-Hasan dan Al-Husain adalah
Rasulullah sendiri atas nama orang tua kedua cucunya itu. Nabi menyerahkan kambing-kambing aqiqah
kepada putrinya Fatimah.
Dengan demikian, aqiqah boleh dilaksanakan bukan oleh orang tuanya sendiri yang seharusnya menjadi
penanggung jawab nafkah anak yang dilahirkan itu.
Ibnu Abbas berkata:
“Bahwannya Rasulullah menyembelih seekor kibasy untuk Al-Hasandan Al-Husain. (menurut satu
riwayat: masing-masing 2ekor).” (HR. Abu Daud, Ibnu Huzaimah, Ibnu Jarud, dan Abdul Haq dari Ibnu
Abbas).
Dalam riwayat Al-Baihaqy, Al-Hakim dan Ibnu Hiban dari Aisyah, disebutkan bahwa aqiqah untuk Al-
Hasan dan Al-Husen dilaksanakan Nabi pada hari ke tujuh kelahirnnya serta pada hari itu kedua cucu
Rasul itu diberi nama dan dicukur rambutnya. Menurut Jabir, pada hari itu juga kedua cucu itu di
khitankan (Asy-Shiddieqy, 2011: 71-73).

1. Kadar kambing untuk aqiqah


Ummu Kurz Al-ka’biah berkata, bahwasannya Nabi bersabda:
“Untuk bayi laki-laki 2 ekor kambing yang sama keadaannya dan untuk bayi perempuan seekor
kambing.” (Diriwayatkan oleh Ashhab as-Sunan).
Aisyah dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim juga menyatakan bahwa Rasulullah menyuruh para
sahabat untuk menyembelih aqiqah 2 ekor kambing yang sama keadaannya untuk anak laki-laki dan
untuk anak perempuan seekor kambing.
Ulama-ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa 2 ekor kambing untuk anak laki-laki dan 1 ekor
kambing untuk anak perempuan itu lebih baik. Namun jika yang disembelih hanya seekor kambing,
itupun sudah cukup.
Ulama Hambaliyah menyatakan bahwa 2 ekor untuk anak laki-laki dan seekor untuk anak
perempuan itu sudah merupakan kemustian, karena sesuai zhahir hadits. Pendapat ini dipegang oleh
Aisyah, Ibnu Abbas, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan segolongan ahli hadits.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa, baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan, cukup
disembelih seekor kambing (Asy-Shiddieqy, 2011: 73-74).
2. Hewan untuk aqiqah
Hewan yang disembelih untuk aqiqah sama dengan hewan untuk kurban. Apabila untuk kurban hewan itu
sah untuk disembelih, hal itu berlaku jug auntuk hewan yang disembelih untuk aqiqah.
Menurut Malik, aqiqah sama dengan kurban. Kita tidak boleh menyembelih untuk aqiqah hewan yang
cacat, kurus, berpenyakit dan yang kakinya patah. Hewan betina, sama halnya dengan hewan kurban,
boleh juga disembelih.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ummu Kurzbdinyatakan:
“Tidaklah memberatkan, apakah jantan kambing yang kamu sembelih ataupun betina.”
Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan mayoritas ulama berpendapat, bahwa usia kambing yang disembelih
untuk aqiqah sama dengan usia kambing untuk kurban. Menurut mereka hewan yang dgunakan untuk
aqiqah haruslah hewan berkaki empat. Hanya segolongan Syafi’iyah, membolehkan seekor unta atau
seekor sapi diperserikatkan untuk tujuh orang, walaupun bagian dagingnya dapat digunakan untuk tujuan
lain.
Golongan Malikiyah dan Hambaliyah, berpendapat kendatipun yang disembelih itu seekor unta itu adalah
untuk satu orang. Ibrahim At-Taimi, membolehkan kita menyembelih seekor burung untuk aqiqah.
Abu Ishaq, Ibnu Sa’ban dan Ibnu Hazm berpendapat hewan yang boleh dijadikan aqiqah, hanyalah
kambing, seperti yang dikemukakan oleh hadits Rasulullah:
“Untuk anak laki-laki 2 ekor kambing dan untuk anak perempuan 1 ekor kambing.” (Asy-Shiddieqy,
2011: 74-76).
3. Waktu menyembelih aqiqah
Imam Malik Ibnu Anas berpendpat, bahwa penyembelihan aqiqah dilakukan pada hari ketujuh setelah
anak tersebut dilahirkan, tidak boleh sebelumnya dan tidak boleh sesudahnya.
Ibnu Hazm juga tidak membolehkan kita menyembelih aqiqah sebelum hari ketujuh. Namun jika pada
hari itu kita tidak dapat melaksanakannya kita boleh menyembelihnya di hari lain yang disanggupi.
Aqiqah tidak gugur walaupun hari ketujuh itu sudah lewat.
Ada yang mengatakan bahwa menyembelih pada hari ketujuh hanya merupakan keutamaan. Asy-Syafi’i
berpendapat, aqiqah boleh disembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh, asal anak tersebut belum baligh.
An-Nawawi dalam Al-Majmu mengatakan bahwa jika si bayi meninggal sebelum hari ketujuh, dia juga di
aqiqahkan. Malik tidak sependapat, dan tidak ensunahkan aqiqah dari anak yatim dan dari kekayaan anak
itu. Menurut Abu Abdillah Al-Wasyanji, jika aqiqah tidak dapat dilaksanakan pada hari ketujuh, dapat
dilakukan pada hari ke empat belas, dan jika tidak juga dapat dilaksanakan pada hari ke 21. At-Tirmidzi
berkata bahwa paham inilah yang dianut oleh para ulama.
Terdapat perselisihan pendapat para ulama menyangkut hari menyembelih aqiqah. Namun kita harus
berpegang kepada hadits yang shahih mengenai masalah ini, ialah kenyataan bahwa Rasulullah
menyembelih aqiqah untuk kedua cucunya pada hari ke 7 kelahirannya.
Hari ketujuh dihitung dari hari kelahirannya. Malik tidak memasukkan hari kelahiran kedalam hitungan.
Aqiqah disembelih pada permulaan siang sesudah matahari terbit.
Namun ada juga yang berpendapat, bahwa apabila orang tua kita tidak menyembelih aqiqah untuk kita,
hendaklah aqiqah itu kita laksanakan sendiri, walaupun kita sudah tua. Hadits yang menetapkan bahwa
Rasulullah menyembelih aqiqah untuk diri beliau sendiri sesudah usia beliau lanjut, sangat dha’if.
Dengan demikian patikan yang digunakan untuk aqiqah, tepatlah pada hari ketujuh bayi itu dilahirkan jika
pun ditunda, maka penunndaan itu dapat dilaksanakan pada hari ke empat belas, ataupun hari ke dua
puluh satu (Asy-Shiddieqy, 2011: 76-78).
E. Pembagian Daging Aqiqah dan Memasaknya
Daging aqiqah, sebagian dimakan sendiri oleh yang punya hajat, sebagian dihadiahkan, dan sebagian di
sedekahkan. Hal itu dilakukuan pada hari ketujuh bayi. Hal ini sesuai dengan hadits yang disampaikan
oleh Aisyah.
Jumhur ulama diantara Asy-Syafi’y, Ahmad dan Malik, menyuruh kita memasak seluruh daging aqiqah
dan diberikan kepada fakir, sebagian kita hadiahkan kepada para tetangga kita, kendatipun dia beragama
non muslim. Dimakruhkan kita mengirim daging masih mentah.
Menyedekahkan daging yang sudah di masak dan dikirimkan kepada fakir, lebih afdhal dari pada kita
mengundang mereka ke rumah kita. Memasak daging aqiqah sama juga dilakukan terhadap daging
Qurban untuk nazar.
Dalam pada itu jika anak kita dilahirkan lewat pertolongan bidan hendaklah paha kanan (dari pangkal
paha sampai telapak kaki) kambing aqiqah, dihadiahkan kepada bidan dalam keadaan belum dimasak. Hal
ini juga dilakukan rasulullah dengan menyuruh fatimah mengirimkan paha kanan kepada bidan yang
membantunya dalam proses persalinan (Asy-Shiddieqy, 2011: 78-79).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
‘ Aqiqah artinya sama dengan dzabihah, yaitu binatang yang disembelih. Akan tetapi, dalam istilah
‘aqiqah itu yang dimaksud adalah Kambing atau Biri-biri jantan atau betina yang disembelih berhubung
dengan adanya anak yang baru dilahirkan. Bila anak itu laki-laki, maka ‘aqiqah-nya dua ekor kambing
yang sama (mukaafiataani); dan bila anak itu perempuan‘aqiqah-nya satu ekor kambing.
Hukum aqiqah adalah sunah bagi orang yang wajib menanggung nafkah si anak. untuk anak laki-
laki hendaklah disembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan seekor kambing saja, dan
hendaklah disembelih pada hari yang ketujuh dari hari lahirnya anak. Imam Malik Ibnu Anas berpendpat,
bahwa penyembelihan aqiqah dilakukan pada hari ketujuh setelah anak tersebut dilahirkan, tidak boleh
sebelumnya dan tidak boleh sesudahnya.
Daging aqiqah, sebagian dimakan sendiri oleh yang punya hajat, sebagian dihadiahkan, dan sebagian di
sedekahkan. Hal itu dilakukuan pada hari ketujuh bayi. Hal ini sesuai dengan hadits yang disampaikan
oleh Aisyah.
Jumhur ulama diantara Asy-Syafi’y, Ahmad dan Malik, menyuruh kita memasak seluruh daging aqiqah
dan diberikan kepada fakir, sebagian kita hadiahkan kepada para tetangga kita, kendatipun dia beragama
non muslim. Dimakruhkan kita mengirim daging masih mentah.
DAFTAR PUSTAKA

-Abdurrahman, E. 2011. Hukum Qurban, Aqiqah dan Sembelihan. bandung: Sinar Baru Algensindo
-Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku. 2011. Tuntunan Qurban dan Aqiqah. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra.
-Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Anda mungkin juga menyukai