Anda di halaman 1dari 6

Nama :Riza Ahmad Kamal (102018035)

1. Ayat ayat Alquran tentang kewajiban pemberian ASI Kepada bayi selama 2 tahun

2 Hadith tentang ketentuan aqiqah

3 Hadith tentang tahnik

1.Kata ‘menyusui’ dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan “memberikan air susu untuk
diminum kepada bayi dari buah dada”.6 Sedangkan dalam bahasa Alquran, setidaknya ada dua
term yang digunakan untuk menunjukkan pada kegiatan yang berkaitan dengan menyusui,
yaitu: Pertama, digunakan kata kerja radhi’a-yardha’u-radhâ’an-radhâ’atan, untuk menunjukkan
makna pada kegiatan menyusui. Secara bahasa kata al-radhâ’a bermakna menyusui, baik itu
seorang perempuan atau pun binatang. Sedangkan secara istilah berarti menyampaikan air susu
seorang perempuan kepada mulut bayi yang belum sampai usianya dua tahun. Kata ini terulang
sebanyak 10 kali dengan berbagai derivasinya dalam Alquran dan tersebar dalam 5 surat, yaitu:
QS. Al-Baqarah [2]: 233, QS. Al-Nisâ’ [4]: 23, QS. Al-Hajj [22]: 2, Al-Qashash [28]: 7 dan 12, QS.
Al-Thalâq [65]: 6.9
Tafsir surat Al-Baqarah [2]: 233

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”, (QS. Al-Baqarah [2]: 233) Pada dasarnya ayat ini
merupakan kelanjutan dari episode yang dibicarakan pada ayat sebelumnya, yaitu perihal
hukum nikah dan talak yang berakhir pada perpisahan suami-istri. Dan boleh jadi mereka
memiliki anak yang masih dalam masa penyusuan. Maka melalui ayat ini Allah swt
memerintahkan para istri yang telah ditalak untuk tetap menyusui anak-anaknya. Lebih lanjut,
Wahbah Al-Zuhailiy menerangkan bahwa ayat ini ditujukan bagi wanita-wanita yang ditalak
maupun tidak, keduanya diperintahkan untuk menyusui anak-anak mereka selama dua tahun
penuh dan tidak lebih dari itu. Namun demikian, tidak ada larangan untuk menyusui anak-anak
dalam masa yang kurang dari dua tahun jika memang dipandang akan ada maslahat di

dalamnya. Imam Ibnu Katsir memandang ayat ini sebagai bimbingan Allah swt bagi para ibu,
hendaknya mereka menyusui anak-anaknya secara sempurna, yaitu selama dua tahun.

2. Pengertian Ibadah Aqiqah


Dari segi bahasa ibadah sama artinya dengan taat atau kepatuhan sedangkan dari segi istilah ibadah
adalah semacam kepatuhan yang sampai pada batas penghabisan, yang bergerak dari perasaan hati
untuk mengagungkan kepada yang disembah.

Menurut ahli fiqih ibadah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan
mengharap pahala-Nya di akhirat. Majlis Tarjih Muhammadiyah memberikan definisi tentang ibadah
adalah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi
segala larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya.

Dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Setiap bayi tergadai pada aqiqahnya, yang
disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu diberi nama dan dicukurlah rambutnya”. (HR. Turmudhi).

Hadist ini mengisyaratkan sebuah pengertian aqiqah secara jelas, yaitu binatang yang disembelih sebagai
tebusan bagi tergadainya kesejatian hubungan batin antara orang tua dengan anak. Dan
penyembelihannya dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran anak bersamaan dengan mencukur rambut
kepalanya serta memberikan nama baginya.

Dengan demikian apabila dilihat dari kegiatannya, aqiqah meliputi tiga kegiatan yaitu:

a. Mencukur rambut kepala anak

b. Memberi nama anak

c. Menyembelih binatang (kambing, domba, sapi atau unta) yang kemudian dinamakan binatang aqiqah.

B. Hukum Aqiqah

Ulama berbeda pendapat tentang status hukum aqiqah. Menurut Daud Adz-Dzahiri dan pengikutnya
aqiqah hukumnya wajib, sedangkan menurut jumhur ulama hukum aqiqah adalah sunnah. Imam Abu
Hanifah menetapkan bahwa hukum aqiqah adalah ibahah artinya tidak wajib dan tidak sunnah.

Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam bukunya Minhajul Muslim, mengatakan bahwa hukum aqiqah
adalah sunnah muakkad bagi orang yang mampu melaksanakannya, yaitu bagi orang tua anak yang
dilahirkan.

Perbedaan itu terjadi karena berbeda dalam menginterpretasikan makna dan maksud hadist Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Samurah yang tersebut di atas.

Menurut Imam Ahmad maksud dari kata-kata; “anak-anak itu tergadai

dengan aqiqahnya”, dalam hadist tersebut ialah bahwa pertumbuhan anak itu, baik badan maupun
kecerdasan otaknya, atau pembelaannya terhadap ibu bapaknya pada hari kiamat akan tertahan, jika ibu
bapaknya tidak melaksanakan aqiqah baginya. Pendapat tersebut juga diikuti Al-Khattabi dan didukung
oleh Ibn Qoyyim. Bahkan Ibn Qoyyim menegaskan, bahwa aqiqah itu berfungsi untuk melepaskan anak
yang bersangkutan dari godaan syetan. Selanjutnya kata “Murtahanun” ditafsirkan bahwa aqiqah adalah
suatu kebiasaan yang harus dilaksanakan seperti keharusan seseorang menebus barang yang digadaikan.
Pendapat ini menguatkan aliran Daud Adz-Zahiri yang mengatakan bahwa aqiqah itu wajib.

Dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i selalu dinyatakan bahwa hukum aqiqah adalah mustahab (sunnah).
Maksudnya bagi orang tua muslim, khususnya bagi yang mampu, bahwa mengaqiqahkan anak adalah
perbuatan yang sangat disukai oleh Allah SWT dan sangat baik, yang hal ini juga membuktikan rasa cinta
kasih mereka terhadap anak-anaknya. Dan dengan mengaqiqahkan anak-anaknya ini, mereka akan
mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.

C. Jenis, Jumlah dan Syarat Binatang Aqiqah

1. Jenis binatang aqiqah

a. Kambing

Jenis kambing inilah yang banyak disinggung dalam beberapa hadist. Menurut sebagian pendapat di
kalangan ulama mazhab Syafi’i, beraqiqah menggunakan kambing akan lebih afdhal dibanding dengan
binatang yang lain.

b. Domba

Jenis ini pernah dipergunakan oleh baginda Rasulullah SAW, ketika mengaqiqahkan cucunya Hasan dan
Husain.

c. Sapi

Dalam beberapa pengertian tidak ditegaskan bahwa aqiqah harus menggunakan kambing. Namun jika
dikiaskan dengan qurban, maka aqiqah pun boleh menggunakan binatang lain semisal sapi.

d. Unta

Bagi orang tua yang tergolong berekonomi tinggi, maka disunnahkan untuk menggunakan jenis binatang
yang harganya lebih tinggi semisal unta.

2. Jumlah Binatang Aqiqah

a. Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing dan untuk anak perempuan disembelih satu ekor
kambing.

Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan orang- orang agar menyembelih aqiqah untuk
anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing. (HR. Turmudzi)

Jumhur ulama berpendapat bahwa anak perempuan diaqiqahi setengah dari anak laki-laki. Maksudnya
apabila anak perempuan satu maka untuk anak laki-laki dua.

3. Waktu ibadah aqiqah


Ada yang mengatakan bahwa menyembelih pada hari ketujuh, hanya merupakan keutamaan, Asy-Syafi’i
berpendapat, aqiqah boleh disembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh asal anak tersebut belum
baligh.

Terdapat perselisihan pendapat para ulama menyangkut hari menyembelih aqiqah. Namun kita harus
berpegang kepada hadist yang shahih mengenai masalah ini, ialah kenyataan bahwa Rasulullah SAW
menyembelih aqiqah untuk kedua cucunya pada hari ketujuh kelahirannya. Imam Malik berpendapat,
hari kelahirannya tidak dihitung kecuali jika ia lahir malam hari, sebelum terbit fajar. Kelihatannya
batasan hari tersebut merupakan anjuran saja. Jika ia disembelih pada hari keempat, kedelapan,
kesepuluh atau sesudah itu, maka itu boleh saja. Demikian pula, yang dilihat adalah hari
penyembelihannya, bukan hari dimasak dan dimakannya.

Menurut Drs. RS. Abdul Aziz, aqiqah itu waktunya sejak anak itu lahir dan tidak ada batas waktunya.
Kalau anak itu telah baligh dan aqiqahnya belum dilakukan, maka sunnah ia sendiri melakukannya.

Dari beberapa pendapaat di atas, maka dapatlah kita pinjam istilah waktu ada’ dan waktu qadha’ dalam
sebuah kewajiban. Waktu ada’ adalah waktu yang tepat atau kewajiban yang dilaksanakan tepat pada
waktunya. Sedangkan waktu qadha’ adalah kewajiban yang dilaksanakan pada waktu yang lain.

Waktu ada’

Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Samurah seperti yang diterangkan di muka, jelaslah waktu
ada’ atau waktu yang tepat untuk mengaqiqahkan anak adalah pada hari ketujuh dari kelahiran anak
atau pada saat anak berusia tujuh hari. Yaitu bersamaan dengan acara mencukur rambut kepalanya serta
menamainya. Apabila aqiqah bisa dilaksanakan tepat pada hari ketujuh dari kelahiran anak tentu akan
lebih baik dan lebih afdhal dan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.

Waktu qadha

Pendapat (qaul) Mukhtar, yaitu pendapat terpilih para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i menyatakan
bahwa waktu aqiqah masih berlaku pasca hari ketujuh kelahiran anak dengan urutan sebagai berikut:

a. Jika pada hari ketujuh masih belum mampu, maka aqiqah boleh dilaksanakan ketika masa nifas ibu
berakhir.

b. Jika sampai masa nifas si ibu bayi berakhir dan belum mampu maka aqiqah boleh dilaksanakan hingga
berakhirnya masa menyusui.

c. Jika masa-masa menyusui telah berakhir dan belum mampu mengaqiqahkan juga, maka aqiqah
dianjurkan agar dilaksanakan hingga anak berusian tujuh tahun.

4. Proses ibadah aqiqah

Proses aqiqah pada dasarnya meliputi tiga kegiatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu kegiatan
menyembelih binatang aqiqah, mencukur rambut kepala anak dan menamainya. Namun mengingat
sulitnya melaksanakan ketiga kegiatan secara bersamaan dalam satu waktu sekaligus. Maka pengertian
“bersamaan” itu dapat kita artikan dengan serangkaian, yaitu serangkaian kegiatan yang meliputi
penyembelihan binatang aqiqah, pencukuran rambut kepala anak dan pemberian nama anak.

3.TAHNIK

Tahnik adalah mengunyah kurma kering (tamr ) atau selainnya, kemudian menggosokkannya ke langit-
langit mulutnya (rahang atas). Sedangkan dalam bahasa arab, tahnik berasal dari kata anak yang artinya
adalah langit-langit dari manusia dan hewan melata (dābbah), yaitu bagian dalam mulut yang paling
atas. Dan dikatakan juga tahnik adalah memasukkan sesuatu yang paling bawah di ujung depan tulang
rahang yang bawah, dan jama’ dari kata anak adalah Aḥnākun

Anda mungkin juga menyukai