Anda di halaman 1dari 2

Perbedaan Walimatul Tasmiyah dengan Walimatul Aqiqah menurut Islam

Bagi umat Islam, tentu sudah tidak asing lagi saat mendengar kata walimatul aqiqah. Sayangnya, tidak banyak
orang yang mengerti tentang walimatul tasmiyah. Padahal, keduanya merupakan suatu ibadah yang saling
berkaitan. Lalu, apa perbedaan tasmiyah dan aqiqah?

Secara umum, aqiqah dan tasmiyah merupakan dua jenis ibadah yang dilakukan di hari yang sama, yaitu hari
ketujuh kelahiran anak. Saat Allah SWT memberikan karunia anak kepada seseorang, maka orang tersebut
perlu menunaikan beberapa kewajiban, salah satunya melakukan aqiqah dan tasmiyah.

Penjelasan mengenai aqiqah dan tasmiyah terdapat pada Kitab Minhajul Qowim berikut:

“ Yang paling utama menyembelih aqiqah pada hari ketujuh kelahiran. Hari kelahiran masuk dalam hitungan.
Sunnah memotong rambut setelah menyembelih aqiqah sebagaimana dalam ibadah haji … Tasmiyah juga
dilakukan pada hari ketujuh. Sunnah bersedekah emas seberat rambut yang dipotong.”

Kitab Minhajul Qowim, 1/ 310-311

Pengertian Aqiqah dan Dalilnya dalam Islam


Mengutip buku Jangan Lepaskan Islam Walau Sedetik (2019), aqiqah merupakan suatu ibadah yang dilakukan
dengan menyembelih domba atau kambing sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas kelahiran anak.
Aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh setelah anak dilahirkan.

Adapun dalil tentang aqiqah yaitu sebagai berikut:

“Rasulullah SAW bersabda, “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dan
hilangkanlah semua gangguan darinya.” (HR. Bukhari).

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya
dan diberi nama.” (HR. Abu Daud, An Nasai, Ibnu Majah, Ahmad).

Pendapat lain mengatakan bahwa jika terdapat uzur yang menimpa orang tua yang membuat aqiqah tidak
bisa dilakukan di hari ketujuh, maka aqiqah bisa dilakukan di hari keempat belas atau dua puluh satu.
Pendapat ini mengacu pada hadist berikut ini:

“Aqiqah disembelih pada hari ketujuh, keempat belas, dan keduapuluh satu.” (HR. At-Tirmidzi).

Pengertian Tasmiyah dan Dalilnya


Tasmiyah merupakan suatu ibadah yang dilakukan dengan memberi nama kepada anak yang baru lahir.
Pemberian nama anak dapat dilakukan di hari pertama bayi lahir atau di hari ketujuh. Adapun pemberian
nama di hari ketujuh sifatnya lebih sunnah.

Hadist tentang tasmiyah yaitu sebagai berikut:

Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap anak itu tergadai
dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambut kepalanya, dan diberi nama.” (HR.
Ibnu Majah dan Abu Daud).

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa aqiqah merupakan penyembelihan hewan sebagai rasa
syukur. Sedangkan tasmiyah adalah pemberian nama kepada anak di hari ketujuh kelahirannya.

Panduan Memberi Nama Anak menurut Islam


Betapa senangnya sepasang suami-istri ketika dikaruniai anak oleh Allah Subhanallahu Wa Ta’ala. Anak
merupakan generasi Islam, yang membawa agama hingga hari kiamat. Bahkan anak bisa menjadi investasi
terbesar agar membuahkan pahala jariyah ketika kedua orang tuanya meninggal. Karena doa anak akan
selalu mengalir kepada ayah dan ibunya ketika wafat.

Di antara hal dalam pikiran orang tua ketika diamanahi seorang anak adalah apa nama yang pantas untuk si
buah hati? Hendak diberikan nama apa anak tersebut? Orang tua akan mempertimbangkan dengan serius
sejumlah nama yang ada. Mereka tidak akan sembarangan memberi nama karena akan dipakai seumur
hidup, bahkan ketika di akhirat nanti.

Rasulullah mengajarkan umatnya untuk memberikan nama pada buah hati saat hari ketujuh, mencukur
rambut, serta aqiqah. Seperti dikutip dari kitab al-Adzkar karya An-Nawawi yang mengutip hadits dari riwayat
Amr bin Syu’aib dari ayah dan kakeknya:
‫ و‬،‫ و وضع االذى عنه‬،‫النب صل هللا عليه و سلم أمر بتسمية المولود يوم سابعه‬
‫أن ي‬
. ‫العق‬
Artinya: Bahwa sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk memberikan nama pada hari ketujuh,
menghilangkan kesengsaraan dari padanya dan aqiqah. (Muhyiddin Dhib, Lawami’ al-Anwar; Syarh Kitab al-
Adzkar, Bairut, Dar Ibn Kathir, 2014, juz 2, halaman: 143)

Ibnu al-Muhallib berkata,


َ ُ ْ َ ُ ‫َ ُّ ا‬ َ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ‫نَ ُ َ ُ َ َ ْ َ ُ ا‬ ُُ َ ُ
‫ فالسنة تأ ِخيها‬، ‫َي ُجوز ت ْس ِم َيته ِحي يولد وبعده إَّل أن ين ِوي الع ِقيقة عنه يوم س ِاب ِع ِه‬
َ ْ َ
‫َإَل ا‬
‫الس ِاب ِع‬
“Boleh memberi nama anak saat ia dilahirkan dan sesudahnya kecuali ia berniat mengaqiqahinya di hari ke
tujuh, maka sunnah menundanya sampai hari ke tujuh.”

Sebenarnya, hadits di atas tidak membatasi atau mewajibkan seseorang memberi nama pada hari ketujuh
kelahiran. Jika ada orang tua memberikan nama pada hari pertama kelahiran, tentu tidak apa-apa. Dengan
catatan, sebagai umat Islam dan orang Indonesia yang menjunjung tinggi tradisi, hendaknya orang tua
berkonsultasi terlebih dahulu kepada kiai semisal karena merupakan kalangan yang lebih paham tentang
makna sebuah nama. Hal itu penting sebelum kemudian disahkan pada hari keempat puluh hari.

Banyak pilihan dalam pemberian nama, salah satunya disunahkan menggunakan nama yang disandarkan
kepada Allah atau sifat-Nya. Seperti Abdullah Abdurrahman, Abdul Ghafur, Abdur Rauf, dan sebagainya. Ada
sejumlah pendapat ulama perihal nama yang paling disukai Allah. Namun, jumhur atau mayoritas ulama
menyebut nama Abdullah dan Abdur Rahman sebagai yang paling disukai.

Berbeda dengan Said bin al-Musayyab yang mengatakan bahwa nama paling disukai adalah nama-nama dari
nama para nabi. Hal ini sebagaimana dapat disebutkan dari karya Muhammad bin Qayyim, Tuhfatul Maulud
bi Ahkam al-Maulud, t.t, Maktabah Dar al-Bayan, 1971, hlaman: 112.

Bisa juga, seseorang meminta kepada orang yang dianggap shalih sebagaimana disarankan Muhyiddin Dhib
dalam kitabnya Lawami’ al-Anwar. (Lihat Muhyiddin Dhib, Lawami’ al-Anwar, halaman 145). Opsi terakhir ini
yang sering dipraktikkan umat Islam karena mereka percaya orang shaleh adalah sumber keberkahan.

Namun demikian, hal yang juga layak diketahui adalah bahwa terdapat nama yang haram dipakai
sebagaimana disampaikan Abu Muhammad bin Hazm: Mereka para ulama sepakat terhadap keharaman
memakai semua nama yang disembah selain Allah, seperti Abdul Uzza, ‘Abd Hubal, ‘Abd ‘Amr, ‘abdul Ka’bah,
dan yang serupa dengannya. Selain itu, kita tidak boleh menggunakan nama yang menunjukkan
penghambaan kepada manusia, seperti Abdul Ali, Abdul Husain, atau nama dari sifat yang maknanya
menyamai maupun mengungguli Allah, seperti nama Malikul Muluki (raja diraja) dan Sulthanus Salathin
(penguasa dari para penguasa). Keterangan ini sebagaimana disampaikan Muhammad bin Qayyim, dalam
kitab Tuhfatul Maulud, halaman 113-114.

Di samping itu, Rasulullah memerintah kepada umatnya untuk memberikan nama yang baik kepada anaknya.
Seperti dalam hadits riwayat Abi Darda’ berikut ini:

ْ‫إ ان ُك ْم ُت ْد َع ْو َن َي ْو َم ْالق َي َامة ب َأ ْس َمائ ُك ْم َو َأ ْس َماء َآبائ ُك ْم َف َأ ْحس ُنوا َأ ْس َم َاء ُكم‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Artinya: Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda; Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari
kiamat dengan nama-nama kalian dan nama bapak kalian, maka perbaguslah nama kalian. (Muhyiddin
Dhib, Lawami’ al-Anwar, halaman: 146)

Maka hindarilah menggunakan nama yang tidak baik termasuk tidak memiliki arti. Ada sejumlah nama di
masyarakat yang tidak mempunyai arti, seperti nama ‘buter’ yang mempunyai makna sisa nasi yang
berserakan di lantai ketika makan.

Anda mungkin juga menyukai