Anda di halaman 1dari 2

Macam-macam bentuk kedurhakaan orang tua

1. Tidak memberi nafkah dan menelantarkan anak


Abu Hurairah ra. meriwayatkan ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw dan berkata
bahwa ia memiliki dinar. Lalu beliau saw menyuruhnya memberikan bagian (nafkah) untuk diri
sendiri.
Laki-laki tadi berkata bahwa ia masih memiliki kelebihan dinar, lantas Rasulullah saw bersabda:
َ ‫ص َّد ْق بِ ِه َعلَى َولَ ِد‬
‫ك‬ َ َ‫ت‬
Berikan untuk anakmu (HR. Abu Dawud no. 1691; hadis shahih menurut Ibnu Hibban).
Ulama mazhab Syafii Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi mewajibkan seorang ayah menafkahi anak
berdasarkan hadis tersebut.
Mufti Mesir Syekh Syauqi Ibrahim Allam menegaskan dalam fatwanya bahwa seorang ayah
wajib memberikan nafkah kepada anak dan istrinya, berupa makanan, pakaian, dan tempat
tinggal. Jika ia kabur dan meninggalkan kewajiban tersebut, maka dia berdosa. 
Rasulullah saw juga bersabda:
‫ َوا ْب َدْأ بِ َم ْن تَعُو ُل‬ ‫ص َدقَ ِة َما َكانَ ع َْن ظَه ِْر ِغنًى‬
َّ ‫خَ ْي ُر ال‬
Sebaik-baik sedekah adalah dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Mulailah dari
orang yang menjadi tanggunganmu (HR. Bukhari no. 1426).

2. Mengabaikan pendidikan anak


Allah berfirman:
‫قُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم َواَ ْهلِ ْي ُك ْم نَارًا‬ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا‬
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim
[66]: 6).
Ahli tafsir Imam Thabari meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. menafsirkan
ayat ini sebagai perintah untuk mengajarkan akhlak dan ilmu kepada keluarga (anak dan istri).
Ulama mazhab Syafii Imam Al-Munawi mengatakan bahwa orang tua harus mendidik anak-
anaknya tentang akhlak, mengajari Al-Qur’an, dan hukum-hukum syariat yang harus diketahui
dan dijalankan sehari-hari.
Di antara bentuk pendidikan syariat paling awal adalah shalat. Allah berfirman:
َ َ‫َوْأ ُمرْ َأ ْهل‬
‫ َواصْ طَبِرْ َعلَ ْيهَا‬ ‫ك بِالص َّٰلو ِة‬
Dan perintahkanlah keluargamu mendirikan shalat dan sabarlah dalam mengerjakannya (QS.
Thaha [20]: 132).
Kewajiban memberikan pendidikan shalat secara khusus dimulai sejak anak berusia 7 tahun.
Rasulullah saw bersabda:
  َ‫صاَل ِة َوهُ ْم َأ ْبنَا ُء َسب ِْع ِسنِين‬
َّ ‫ُمرُوا َأوْ اَل َد ُك ْم بِال‬
Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat mereka berusia tujuh tahun (HR. Abu Dawud no.
495; hadis hasan menurut Imam Nawawi).

3. Melakukan kekerasan
Orang tua tidak boleh melakukan kekerasan kepada anak, baik secara verbal seperti caci maki
maupun fisik seperti memukul. Dalam hadis memang disebutkan bahwa Rasulullah saw menyuruh
untuk memukul anak yang tidak mau shalat pada usia 10 tahun (lihat HR. Abu Dawud no. 495).
Namun, maksud dari memukul dalam hadis ini dalam kerangka pendidikan, bukan untuk menyakiti
atau menyiksa.

Ulama mazhab Syafii Imam Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan bahwa pukulan ini adalah
pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Jika anak telah akil baligh atau dewasa, maka orang tua
tidak wajib memukul apabila ia meninggalkan shalat, puasa, dan kewajiban lainnya. 

Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Imam Ibnu Suraij dari mazhab Syafii berpendapat bahwa


pukulan tersebut tidak boleh melebihi tiga kali. Sedangkan Syekh Ibnu Qasim Al-‘Abbadi dari
mazhab Syafii mengatakan bahwa pukulan ini hanya boleh dilakukan sebagai pembelajaran jika
anak telah diperintahkan melakukan shalat, tetapi ia enggan melaksanakannya, bukan semata-
mata memukul tanpa adanya perintah dan teguran terlebih dahulu. 

Ulama fikih modern Syekh Wahbah Az-Zuhaili menambahkan bahwa pukulan ini harus


dilakukan menggunakan tangan, bukan dengan kayu atau perkakas lainnya. Pukulan juga tidak
boleh diarahkan ke wajah. Rasulullah saw bersabda:
َ َ‫ َواَل يَقُلْ قَب ََّح هللاُ َوجْ ه‬،َ‫ب ْال َوجْ ه‬
‫ك‬ ِ َّ‫فَ ْليَتَ َجن‬ ‫ب َأ َح ُد ُك ْم‬ َ ‫ِإ َذا‬
َ ‫ض َر‬
Jika salah satu dari kalian memukul, maka hindarilah wajah dan janganlah berkata, “Semoga Allah
memperburuk wajahmu!” (HR. Ahmad no. 7420; hadis shahih menurut Az-Zurqani).
Pukulan yang dilakukan di luar ketentuan di atas adalah tindakan yang melampaui batas sehingga
dinilai sebagai kekerasan dan aniaya.

4. Berlaku tidak adil


An-Nu’man bin Basyir ra. menceritakan bahwa suatu hari ayahnya memberinya hadiah. Namun,
ibunya menolak pemberian itu sebelum suaminya memberitahu hal tersebut kepada Rasulullah
saw. Maka ayahnya pergi menghadap Rasulullah saw, dan beliau saw bertanya kepadanya apakah
semua anak diberikan hadiah yang sama. Jawabannya tidak. Lantas Rasulullah saw bersabda:
‫ َوا ْع ِدلُوا بَ ْينَ َأوْ الَ ِد ُك ْم‬ ،َ ‫فَاتَّقُوا هَّللا‬
Bertakwalah kamu kepada Allah, dan berlaku adillah di antara anak-anakmu (HR. Bukhari no.
2587).
Orang tua tidak boleh bersikap pilih kasih kepada salah satu atau sebagian anak-anak mereka,
karena sikap ini akan memicu kebencian, rasa iri, dan merusak keakraban. 

Adapun orang tua boleh lebih mencintai salah satu anak dibanding yang lainnya, tanpa
mengurangi perlakuan yang adil di antara mereka. Sebagaimana Nabi Yaqub as. yang lebih
mencintai Yusuf dan Bunyamin daripada anak-anaknya yang lain, tetapi tetap berlaku adil kepada
mereka semua. 
Ahli tafsir Imam Fakhrurrazi menerangkan dalam tafsirnya bahwa cinta bukanlah sesuatu dalam
kendali manusia, maka perbedaan kadar mencintai tidak bisa dihindari.

Kesimpulan
Mengajarkan untuk berbakti kepada orang tua. Abdullah bin Mas’ud ra. pernah bertanya kepada
beliau tentang amal yang paling Allah sukai. Rasulullah saw menjawab: shalat pada waktunya,
berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah (HR. Muslim no. 85).
Anak adalah rezeki dari Allah sekaligus amanah yang harus dijaga. Bagaimana anak
memperlakukan orang tuanya adalah timbal balik dari apa yang ia terima, seperti dalam riwayat
Sayyidina Umar bahwa anak yang durhaka bisa jadi karena orang tua yang lebih dulu durhaka
kepada mereka.
Semoga kita bukan hanya menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, tetapi juga dapat
menjadi orang tua yang berbakti, sehingga anak-anak kita kelak akan terus mendoakan kebaikan
untuk kita sepanjang hayat. Rasulullah saw bersabda:
ُ‫ح يَ ْدعُو لَه‬ َ ‫َأوْ َولَ ٍد‬ ‫اريَ ٍة َأوْ ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه‬
ٍ ِ‫صال‬ َ ‫ِإ َذا َماتَ اِإل ْن َسانُ ا ْنقَطَ َع َع ْنهُ َع َملُهُ ِإالَّ ِم ْن ثَالَثَ ٍة ِإالَّ ِم ْن‬
ِ ‫ص َدقَ ٍة َج‬
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya (HR. Muslim no. 1631).

Referensi: Muhammad bin Ismail Al-Bukhari; Al-Jami’ As-Shahih, Muslim bin Hajjaj; Shahih Muslim, Abu Al-Laits As-
Samarqandi; Tanbih Al-Ghafilin, An-Nawawi; Al-Majmu’, Al-Munawi; Faidh Al-Qadir, Ibnu Manzhur; Lisan Al-‘Arab, Ibnu Katsir;
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim.

Anda mungkin juga menyukai