Anda di halaman 1dari 24

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ‘alaamin


Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin
wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
amma ba'du,

Berbakti kepada Orang tua

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:


"Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara:
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang selalu mendoakannya." (Hadits
shahih riwayat Muslim (1631)).

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:


"Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara:
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang selalu mendoakannya." (Hadits
shahih riwayat Muslim (1631)).

Oleh karena itu, anak shalih yang selalu mendoakan orang tua merupakan aset penting yang
sangat berharga yang selalu dicita citakan oleh para orang tua.

Anak adalah anugerah yang agung. Ia merupakan titipan Allah kepada kita, sekaligus menjadi
amanah yang harus kita jaga. Demikian halnya tugas sebagai orang tua, mengasuh dan
mendidik anak anak, mendampingi serta membimbing mereka. Semua itu harus dilakukan
dengan mengharapkan pahala di sisi Allah. Karena anak adalah aset yang tiada ternilai
harganya dan merupakan tabungan bagi kedua orang tuanya di akhirat kelak. Pada saat pahala
seluruh amalan telah terputus, saat pahala shalat dan puasa tak lagi bisa kita raih. Dikala itu,
doa anak yang shalih akan bermanfaat bagi kedua orang tuanya. Demikian pula ilmu yang
bermanfaat yang telah diajarkan kedua orang tua kepada anak anak mereka akan terus
mengalirkan pahala bagi keduanya.

Sungguh jerih payah yang kita lakukan itu tak akan sia sia. Kita pasti memetik hasilnya di
kemudian hari kelak. Sungguh berbahagialah orang tua yang memiliki anak shalih. Maka dari
itu, hendaklah ia senantiasa mendoakan anaknya supaya menjadi anak shalih.
Allah berfirman (yang maknanya):
"Dan orang orang yang berkata: 'Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri isteri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang
orang yang bertakwa'." (QS. al Furqan: 74).

Dan orang tua boleh meminta alim ulama atau orang shalih supaya mendoakan anaknya
menjadi anak yang shalih, anak yang berbakti kepada orang tuanya. Seperti itulah yang
dilakukan oleh para shahabat Nabi dahulu, mereka membawakan anak anak mereka untuk
ditahnik dan didoakan oleh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dari Abu Musa al Asy'ari radhiyallahu'anhu, ia berkata: "Ketika aku dikaruniai
seorang anak, aku membawanya kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam. Beliau
menamakannya Ibrahim, lalu beliau mentahniknya dengan kurma serta mendoakan keberkahan
untuknya kemudian beliau serahkan kembali kepadaku." Itulah anak sulung Abu Musa al
Asy'ari. (HR. Bukhari dalam kitab al Aqiqah (7645)).

Mendoakan kedua orang tua bukan hanya ketika mereka sudah wafat, namun juga ketika
mereka masih hidup. Dan mendoakan mereka bukan hanya melalui lisan kita, tapi bisa juga
dengan cara meminta kepada orang yang shalih supaya mendoakan kebaikan, hidayah dan
petunjuk bagi kedua orang tua kita. Usaha maksimal harus ditempuh oleh seorang anak yang
berbakti untuk kebaikan dan keshalihan bapak ibunya. Dalam hal ini seorang shahabat Abu
Hurairah radhiyallahu'anhu telah memberikan contoh teladan yang baik untuk kita.

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Yazid bin Abdurrahman, ia berkata: "Abu
Hurairah radhiyallahu'anhu bercerita kepadaku:
"Dahulu aku mengajak ibuku memeluk Islam, saat itu ia masih musyrik. Pada suatu hari aku
pergi mendakwahinya, lalu aku mendengar perkataannya yang tidak mengenakkan tentang
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam. Aku pun menemui Rasulullah shallallahu'alaihi wa
sallam sambil berlinang air mata. Kukatakan kepada beliau:
"Wahai Rasulullah, aku telah mengajak ibuku memeluk Islam, namun ia menolak ajakanku.
Pada suatu hari aku pergi mendakwahinya, lalu aku mendengar perkataannya yang tidak
mengenakkan tentang dirimu! Mohonkanlah kepada Allah semoga memberi hidayah bagi
ibuku!"
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berdoa: "Ya Allah, berilah hidayah bagi ibu Abu
Hurairah!"
Aku pun keluar dengan perasaan gembira karena doa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam
tersebut. Sesampainya di ambang pintu kudapati pintu tertutup. Ibuku ternyata mendengar
suara langkahku. Ia berkata:
"Tetaplah engkau di tempatmu hai Abu Hurairah!"
Aku mendengar suara percikan air dari dalam, ternyata ibuku sedang mandi lalu mengenakan
baju kurung dan selendangnya, baru kemudian membukakan pintu, ia berkata:
"Hai Abu Hurairah, sesungguhnya aku bersaksi Laa ilaaha illallah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul Nya."
Lalu akupun kembali menemui Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam sambil berlinang air mata
karena luapan kegembiraan. Aku berkata:
"Wahai Rasulullah, sambutlah kabar gembira, doamu telah dikabulkan Allah! Allah telah
memberi hidayah bagi ibuku!" Beliau pun memanjatkan segala puji bagi Allah Subhanahu wa
Ta'ala sembari mengucapkan perkataan yang baik. Aku berkata:
"Wahai Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah agar menjadikan segenap kaum mukminin
mencintai aku dan ibuku serta menjadikan kami mencintai hamba hamba Nya yang beriman."
Maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berdoa:
"Ya Allah, jadikanlah hamba Mu ini (yakni Abu Hurairah) dan ibunya orang yang dicintai oleh
kaum mukminin dan jadikanlah mereka mencintai orang orang yang beriman!"
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata: "Maka setiap hamba mukmin yang mendengar perihal
diriku pasti mencintai diriku meski belum melihatku!" (HR. Muslim (2491)).

Sungguh sebuah teladan yang agung dari seorang anak shalih, yang berbakti pada orang
tuanya. Cobalah lihat bagaimana kegigihan Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dan usahanya yang
pantang menyerah dalam mendakwahi ibunya agar mendapat petunjuk kepada Islam. Hingga
ia menempuh jalan yang paling mulia yaitu doa. Dan bukan hanya doanya saja, bahkan ia
meminta kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam agar mendoakan ibunya.

Cara seperti ini ada baiknya dicontoh oleh siapa saja yang menginginkan kedua orang tuanya
mendapat petunjuk kepada Islam dan Sunnah.

Berkata Imam Bukhari rahimahullah, pada Bab berbuat baik kepada kedua orang tua setelah keduanya
meninggal.

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah, bahwa Beliau bersabda Diangkat dari seorang mayit setelah
meninggalnya derajatnya, lalu dia berkata, wahai Rabbku, apa ini, maka dijawab pertanyaannya, anakmu
telah memintakan ampun untukmu.

Atsar ini dinilai oleh bersanad hasan. Dan telah datang atsar ini secara marfu` (sampai kepada
Rasulullah) juga dari hadits Abu Hurairah sebagaimana yang tersebut di dalam Ash Shahihah no 1598.
Pelajaran pertama yang bisa kita ambil dari hadits ini, seperti yang tertulis di dalam judul bab yaitu
“Berbuat baik kepada kedua orang tua setelah meninggalnya”. Kedua orang tua diangkat derajatnya
oleh Allah setelah mereka meninggal dengan doa permohonan ampun oleh anaknya.

Pelajaran kedua, bahwa permintaan ampun dan doa seorang anak yang shalih bisa bermanfaat bagi
orang tuanya, disebutkan dalam hadits ini bahwa Allah mengangkat derajat kedua orang tua karena
anaknya telah memintakan ampun untuk mereka. Jadi bukan berarti seorang anak ketika kedua orang
tuanya telah meninggal ,maka dia tidak mengerjakan birrul walidain, akan tetapi berbuat baik kepada
kedua orang tua tidak terbatas hanya dalam masa hidupnya, tapi bisa juga setelah meninggalnya.

Diantara hal tersebut adalah dengan mendoakannya, memintakan ampun baginya. Ini termasuk amalan
yang dilakukan seorang anak dan memberikan manfaat bagi orang tuanya. Tetapi tidak semua amalan
yang dilakukan seorang anak memberikan manfaat kepada keduaorang tua, karena harus ada nash atau
dalil yang menunjukkan sampainya amalan tersebut. Karena masalah ini termasuk perkara ghaib yang
harus berdasar dari Al Quran dan Al Hadits.

Banyak dalil yang menjelaskan tentang pentingnya berbakti kepada orang tua. Perintah untuk berbakti
kepada orang tua ini bukan hanya tersurat dalam Al-Qur’an, tetapi juga dijelaskan dalam hadist. Begitu
besarnya jasa orang tua kepada kita, sehingga orang tua memiliki kedudukan yang tinggi di mata Allah
SWT. Bahkan dalam sebuah hadist dikatakan bahwa, “Ridhonya Allah bergantung pada ridhonya orang
tua, dan murkanya Allah disebabkan oleh murkanya orang tua”.

Lantas, bagaimana cara kita berbakti kepada orang tua? Adakah kriteria tertentu yang menunjukkan
bentuk bakti kita terhadap orang tua? Semoga tulisan ini akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut.

Kriteria bakti kepada orang tua


Ada beberapa kriteria yang menunjukkan bentuk bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Kriteria
tersebut adalah:
• Tidak ada komentar yang tidak mengenakkan dikarenakan melihat atau tercium dari kedua
orang tua kita sesuatu yang tidak enak. Akan tetapi memilih untuk tetap bersabar dan berharap pahala
kepada Allah dengan hal tersebut, sebagaimana dulu keduanya bersabar terhadap bau-bau yang tidak
enak yang muncul dari diri kita ketika kita masih kecil. Tidak ada rasa susah dan jemu terhadap orang tua
sedikit pun.
• Tidak menyusahkan kedua orang tua dengan ucapan yang menyakitkan.
• Mengucapkan ucapan yang lemah lembut kepada keduanya diiringi dengan sikap sopan santun
yang menunjukkan penghormatan kepada keduanya. Tidak memanggil keduanya langsung dengan
namanya, tidak bersuara keras di hadapan keduanya. Tidak menajamkan pandangan kepada keduanya
(melotot) akan tetapi hendaknya pandangan kita kepadanya adalah pandangan penuh kelembutan dan
ketawadhuan.

Allah berfirman yang artinya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra: 24)
Urwah mengatakan jika kedua orang tuamu melakukan sesuatu yang menimbulkan kemarahanmu,
maka janganlah engkau menajamkan pandangan kepada keduanya. Karena tanda pertama kemarahan
seseorang adalah pandangan tajam yang dia tujukan kepada orang yang dia marahi.
• Berdoa memohon kepada Allah agar Allah menyayangi keduanya sebagai balasan kasih sayang
keduanya terhadap kita.
• Bersikap tawadhu’ dan merendahkan diri kepada keduanya, dengan menaati keduanya selama
tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah serta sangat berkeinginan untuk memberikan apa yang
diminta oleh keduanya sebagai wujud kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya.

Syarat Menjadi Anak Berbakti


Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi, agar seorang anak bisa disebut sebagai anak yang berbakti
kepada kedua orang tuanya:
• Mengutamakan ridha dan kesenangan kedua orang tua daripada ridha diri sendiri.
• Menaati orang tua dalam semua apa yang mereka perintahkan dan mereka larang baik sesuai
dengan keinginan anak ataupun tidak sesuai dengan keinginan anak. Selama keduanya tidak
memerintahkan untuk kemaksiatan kepada Allah.
• Memberikan untuk kedua orang tua kita segala sesuatu yang kita ketahui bahwa hal tersebut
disukai oleh keduanya sebelum keduanya meminta hal itu. Hal ini kita lakukan dengan penuh kerelaan
dan kegembiraan dan selalu diiringi dengan kesadaran bahwa kita belum berbuat apa-apa meskipun
seorang anak itu memberikan hidup dan hartanya untuk kedua orang tuanya.

Keutamaan Menjadi Anak yang Berbakti

1. Termasuk Amal yang Paling Allah SWT Cintai


Dari Abdullah bin Mas’ud, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Amal apakah yang paling Allah cintai.”
Beliau bersabda, “Shalat pada waktunya,” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berbakti
kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berjihad di jalan Allah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

2. Masuk Surga
Dari Abu Hurairah, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celaka, celaka,
dan celaka.” Ada yang bertanya, “Siapa dia wahai Rasulullah?” Nabi bersabda, “Dia adalah orang yang
mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dalam usia tua, akan tetapi kemudian dia
tidak masuk surga.” (HR Muslim)

Dari Muawiyah bin Jahimah dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan bermusyawarah dengan beliau tentang jihad di jalan Allah. Nabi bertanya, “Apakah kedua
orang tuamu masih hidup?” “Ya,” kataku. Nabi pun bersabda, “Selalulah engkau berada di dekat
keduanya. Karena sesungguhnya surga berada di bawah kaki keduanya.” (HR. Thabrani, al-Mundziri
mengatakan sanadnya jayyid)

3. Panjang Umur dan Bertambah Rezeki


Dari Salman, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang bisa
menolak takdir kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebaikan.” (HR.
Turmudzi dan dihasankan oleh al-Albani)
Anas mengatakan, “Barang siapa yang ingin diberi umur dan rezeki yang panjang maka hendaklah
berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin hubungan dengan karib kerabatnya.” (HR. Ahmad)

4. Semua Amal Shalih Diterima dan Kesalahan-Kesalahan Diampuni


Allah ta’ala berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah .
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat
Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridai, berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri’. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah
mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga,
sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS al-Ahqaf: 15-16)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ada seorang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
“Sesungguhnya aku melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Adakah cara taubat yang bisa ku
lakukan?” Nabi bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu.” “Tidak” jawabnya. Nabi bertanya lagi,
“Apakah engkau memiliki bibi dari pihak ibu.” “Ya,” jawabnya. Nabi bersabda, “Berbaktilah kepada
bibimu.” (HR. Tirmidzi)

5. Mendapatkan Ridha Allah


Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ridha Allah tergantung ridha
kedua orang tua dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua.” (HR. Thabrani dan dishahihkan
oleh al-Albani)

6. Diterima Doanya dan Hilangnya Kesusahan


Diantara dalilnya adalah kisah Ashabul Ghar, yaitu tiga orang yang tertangkap dalam goa. Salah satu
diantara mereka adalah seorang yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Sehingga doanya dan
amalnya diterima Allah SWT sehingga mendapat pertolongan-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Lebih Utama Daripada Hijrah dan Jihad


Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ada seorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
berkata, “Aku hendak membaiatmu untuk berhijrah dan berjihad dalam rangka mengharap pahala dari
Allah.” Nabi bertanya kepada keduanya, “Apakah diantara kedua orang tuamu ada yang masih hidup.”
“Ya, kedua-duanya masih hidup.” Jawabnya. Nabi bertanya, “Engkau mengharap pahala dari Allah?”
“Ya.” Jawabnya. Nabi bersabda, “Pulanglah, temui keduanya dan sikapilah keduanya dengan baik.” (HR.
Muslim)

8. Orang Tua Ridha dan Mendoakan


Jika seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya, tentu keduanya akan senang, dan pertanda
ridhanya kepadanya. Kemudian mendoakannya, sedangkan doa orang tua itu pasti terjawab, insya Allah.
Ada tiga orang yang doanya mustajab dan hal tersebut tidak perlu diragukan lagi. Tiga orang tersebut
adalah doa orang yang teraniaya. Doa orang yang sedang bepergian dan doa orang tua untuk kebaikan
anaknya. (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Abani)

9. Anak Kita Akan Berbakti Kepada Kita


Sikap bakti adalah hutang, maka sebagaimana kita berbakti kepada orang tua kita, maka anak kita pun
akan berbakti kepada kita.

10. Tidak Akan Menyesal


Seorang anak yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya akan merasakan penyesalan ketika
keduanya sudah meninggal dunia dan belum sempat berbakti.

11. Dipuji Banyak Orang


Bakti kepada kedua orang tua adalah sifat yang terpuji dan orang yang memiliki sifat ini pun akan
mendapatkan pujian. Kisah Uwais al-Qorni adalah diantara dalil tentang hal ini.
12. Merupakan Sifat Para Nabi
Tentang Yahya ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang
tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam: 14)

Tentang Isa ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan
aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32)

Tentang Ismail ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-
sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS.
ash-Shaffat: 102)

Semoga tulisan ini menjadi inspirasi kita dalam meningkatkan bakti kita terhadap kedua orang tua yang
telah mengasuh kita sejak kecil……

Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang dilakukan oleh seorang hamba bisa
diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal, terutama kedua orangtuanya. Misalnya dua
hadits berikut ini:

Dari Abdullah bin Abbas ra. bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada
ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku
telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat
baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku
sedekahkan untuknya. .

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya,
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya
melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai
hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk
dibayar.

Semua Jenis Ibadah Bisa Dikirimkan kepada Mayit Do’a dan ibadah baik maliyah maupun badaniyah bisa
bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka , mereka berdo’a, Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami
dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.

Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan ampun
untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat
manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.

a. Shalat Jenazah.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, hadits:
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW - setelah selesai shalat jenazah-
bersabda, Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah
tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah
dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal
yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih
baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka.
.

b. Doa Kepada Mayyit Saat Dikuburkan


Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan,
Dari Ustman bin ‘Affan ra. berkata: Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau beridiri
lalu bersabda, Mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena
sekarang dia sedang ditanya.

c. Doa Saat Ziarah Kubur


Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya kepada
Nabi SAW, Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW
menjawab, Ucapkan: . .

d. Sampainya Pahala Sedekah untuk Mayit


Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di
tempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku
telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat
baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata:, Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya
aku sedekahkan untuknya. .

e. Sampainya Pahala Saum/puasa untuk Mayit


Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai
kewajiban shaum maka keluarganya berpuasa untuknya.
f. Sampainya Pahala Haji Badal untuk Mayit
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya,
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya
melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai
hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk
dibayar.

g. Membayarkan Hutang Mayit


Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan
hadits Abu Qotadah di mana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua
dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:
“Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.”

h. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang muslim,
maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk orang lain di
waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan penjelasan
sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya diqiyaskan dengan
sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat, dan itu
pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Al-
Qur’an yang berupa perbuatan dan niat.

Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah dengan benar, akan
mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia berhak untuk memberikan pahala itu
kepada siapa pun yang dikehendakinya termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan
nampaknya, dengan dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan baca
Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan saudra mereka yang telah
wafat.

Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan
hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu tidak
dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat yang telah
kita pegang selama ini. Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya akan menghasilkan perpecahan dan
kerusakan persaudaraan Islam.
Adapun kalau disebutkan bahwa anak shalih itu mendoakannya, tidaklah bermakna bahwa yang
diterima doanya hanya terbatas pada anak saja. Namun pengertiannya adalah bahwa umumnya yang
mau mendoakan adalah anak, ketimbang orang lain. Sebab antara anak dan orang tua, ada hubungan
batin yang kuat, di mana seorang anak yang baik pasti mau dengan ikhlas dan rela memanjatkan doa
untuk kebahagiaan orang tuanya di alam barzakh.

Adapun doa yang dipanjatkan oleh selain anak,tentu saja tetap diterima Allah dan bahkan bisa
menambah kenikmatan di dalam kubur. Bukankah yang disyariatkan untuk menyalatkan jenazah itu
tidak terbatas hanya pada anak saja? Bukankah setiap muslim berhak dan diperkenankan menyalatkan
jenazah muslim lainnya meski tidak kenal?

Dan bukankah kita dianjurkan untuk mengucapkan salam ketika berziarah kubur. Dan salam adalah doa
keselamatan yang kita minta kepada Allah buat orang yang kita beri salam. Padahal yang kira beri salam
itu sudah wafat dan berada di alam kubur. Mengapa Rasulullah SAW malah memerintahkan kita
memberi salam kepada orang mati? Jawabnya adalah karena doa orang hidup kepada orang mati itu
memang disyariatkan dan insya Allah akan dikabulkan.

Kalau kita memaksa hadits di atas untuk dijadikan batasan bahwa hanya doa anak saja yang diterima
Allah, maka seharusnya shalat jenazah itu tidak sah dilakukan kecuali hanya oleh anak laki yang shalih
saja. Sedangkan anak perempuan, atau anak laki tapi kurang shalih, kakak, adik, orang tua, suami, istri
dan sanak kerabat, semuanya tidak perlu menshalatkan jenazahnya. Karena tidak akan ada gunanya.
Karena itu yang benar dalam memahami hadits di atas bukanlah pembatasan siapa yang boleh
mendoakan, melainkan menunjukkan bahwa umumya yang mau mendoakan dengan tulus adalah
anaknya, karena anak itu ingin membalas budi orang tuanya.

Kesimpulannya menurut kami, doa orang-orang kepada seorang yang wafat akan diterima Allah SWT.
Dan tidak terbatas hanya dari anak laki-laki shalih saja. Karena hadits ini tidak dalam posisi untuk
membatasi sampainya doa dari orang yang masih hidup kepada orang yang sudah wafat.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Buku saku ini menjelaskan pentingnya anak shalih yang selalu mendoakan orang tuanya.
Beragam hal dibahas dalam buku ini, diantaranya adalah: - Birrul walidain; - Berbakti kepada
kedua orang tua dan mendoakannya merupakan wasiat Allah sesudah wasiat tauhid; - Hingga
apabila engkau telah berusia empat puluh tahun; - Doa doa untuk kedua orang tua dalam al
Qur'an; - Etika dan waktu yang tepat untuk mendoakan kedua orang tua; - Amal amal shalih
yang dilakukan anaknya yang shalih; - dll.
Tiada Sia Sia
Sebagai orang tua kita harus siap berkorban apa saja asalkan anak kita tumbuh menjadi anak
yang shalih. Anak yang shalih adalah anugerah sangat besar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
yang tidak bisa dinilai dengan materi...!
Abu Hurairah
2 / 5Doa Anak Shalih Kepada Orang Tua
Ditulis oleh -
Rabu, 26 Agustus 2009 09:52
Berbakti Kepada Orang Tua

Ditulis oleh anurachman di/pada Mei 7, 2009


Peran Doa Anak Sholih Terhadap Nasib Orang Tua

Oleh: Hari Wuryanto, SPd

Sabda Rosululloh SAW menurut Abu Ghuroiroh dalam Sunan Abu Dawud no. hadis 2880 bahwa ketika seseorang
meninggalkan dunia/wafat, maka putuslah amalannya kecuali 3 perkara, antara lain sodakoh jariah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak sholih yang mendoakan, lalu bagaimana kedudukan hadis tersebut, serta seberapa besar
peranannya terhadap nasib orang yang sudah meninggal dunia?

Ilmu (dasar hukum) agama Islam yang terdiri dari kurang lebih 6237 ayat al-Quran dan belasan ribu lebih matan/conten
/isi hadis, pada dasarnya semua membentuk pengertian yang menyeluruh sebagaimana satu bangunan raksasa.

Satu atau beberapa ayat dalam satu surat pada kenyataannya dapat berhubungan dalam satu rangkaian tafsir/pengertian
secara berkelanjutan, dengan satu ayat atau beberapa ayat yang lain dalam surat yang sama atau pada surat yang lain.

Demikian pula halnya tafsirannya bisa tersebar di berbagai imamul hadis, yang terkenal dengan Kutubusitah, yaitu enam
kitab hadis paling sohih yang sudah diakui ulama Islam se dunia, diantaranya :Sohih Bukhori, Sohih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Madjah, Sunan Tirmidzi.

Selain enam kitab hadis yang sudah termashur tersebut, masih ada lagi puluhan kitab yang sering juga dipakai
rujukan/acuan dalam pengambilan dalil / hujah sumber hukum antara lain : Sunan Darimi, Sunan Dailami, Tobroni, ad-
Daru Qutni, Sunan Ahmad, Baihaqi, al-Khoroiti, Ibnu Abdil Bari dll.

Meskipun letaknya terpisah-pisah namun pada dasarnya semua saling berkaitan satu sama lain, saling menjelaskan
sehingga terbentuklah pengertian yang utuh,total.

Ibaratnya satu rumah yang besar, meskipun tersusun dari puluhan, ratusan bahkan ribuan material, namun semuanya
saling terkait, satu bagian dengan bagian yang lain saling mendukung secara integral / terpadu, menyempurnakan
menjadi bangunan yang kokoh.

Mendalami ilmu agama Islam ibarat mengamati dan mencermati bagian demi bagian material, memerlukan waktu yang
relatif lama secara berkesinambungan, makin lama makin jelas mendapat gambaran pengertian yang global.

Mengandalkan dengan mempunyai satu, dua atau beberapa material saja secara terpisah, maka tentu belumlah cukup
untuk memperoleh gambaran secara utuh tentang tema yang dimaksud, seperti orang mau membangun rumah hanya
dengan satu, dua atau tiga materi tentu belum cukup memperoleh manfaat / fungsi sebagaimana tujuan membuat
rumah.

Demikian pula halnya mendalami satu ayat atau hadis secara terpisah kadang belum tentu langsung mendapatkan
pengertian secara keseluruhan dari maksud yang terkandung didalamnya, karena kelanjutannya atau tafsirnya berada
tersebar di beberapa ayat atau hadis yang lain.
Lebih jauh lagi, mengutip pernyataan Bapak Wakil Presiden H M Yusuf Kalla pada home page detik.com, Kumpulan
Liputan Media Rakernas LDII Jakarta 6-8 Maret 2007 hal.29 berjudul" Salah Paham Agama Karena Pemahaman Tidak Utuh".
Dijelaskan bahwa: "Pemahaman yang tidak utuh mengenai syariat Islam di internal umat Islam, merupakan penyebab
salah paham kalangan non muslim terhadap ajaran Islam. Menjadi tugas para pendakwah menyelesaikan masalah ini".

Hal ini disampaikan Wakil Presiden HM Yusuf Kalla dalam dialog dengan Dewan Pengurus LDII di kediaman resmi Wapres
Jl.Diponegoro No.2 Jakarta, Jumat (9/3/2007).

Kesungguhan, ketelitian serta ketekunan secara berkesinambungan dalam mendalami agama Islam dengan mengkaji
makna dan pengertian dari ayat per ayat al-quran atau butiran demi butiran hadis, melalui arti kata demi kata serta
menyimpan pengertian - pengertian yang diperolehnya dalam memori ingatan kita, maka dengan sendirinya kita akan
kaya dengan kazanah, wawasan ilmu agama yang semakin lama semakin luas, sehingga akan terbentuklah gambaran Islam
secara utuh, total.

Hal ini merupakan sebagian modal untuk memperoleh kembali pengertian yang utuh mengenai agama Islam sesuai dengan
hukum syariat sebagaimana dicontohkan oleh Rosululloh SAW.

Dengan analogi kerangka berpikir (yang logis) seperti di atas, maka untuk mencari kejelasan aplikasi/penerapan hadis Abu
Dawud no.2880 pada judul tulisan ini tersebut, perlu dicari dukungan atau hubungan dengan dalil naqli yang
otentisitasnya lebih tinggi yaitu Kitab Suci al-Quran.

QS.Saba'(34)

37.Dan bukanlah hartamu dan juga bukanlah anak2 mu yang akan bisa mendekatkan dirimu pada suatu kedudukan
/pangkat di sisi kami(Alloh), kecuali orang yang beriman dan beramal solih,(khusus bagi orang iman dan amal solih, maka
harta dan anak2nya bisa mendekatkan/berpengaruh baik terhadap kedudukan orang tuanya yang sudah meninggal).
Semuanya itulah pembalasan yang dilipatkan sebab apapun yang telah meraka amalkan dan mereka di dalam panggung
yang aman(di surga).

38.Dan orang-orang yang berusaha melemahkan ayat kami(Alloh) (dengan tafsirannya sendiri, mendebat mengalahkan
kemurnian kandungan ayat al-quran), mereka itu lah yang akan didatangkan kepada siksaan.

QS.Ali Imron(3):10

Sesungguhnya orang yang kufur (tidak percaya), harta maupun anak mereka tidak bisa sedikitpun menolak siksaan dari
Alloh, dan merekalah sebagai bahan bakarnya api neraka.

QS.As-Syu'aro'(26)

88.(Hari kebangkitan/qiyamat) adalah hari/saat di mana anak dan harta tidak memberi manfaat (harta dan anak /ahli
waris yang ditinggalkan tidak ada manfaatnya).
89.Kecuali orang yang datang kepada Alloh (meninggal dunia dipanggil Alloh) dengan hati yang menyerah (Islam/Iman)

QS.Fathir(35):18" Dan tidaklah bisa seseorang akan menanggung beban (tanggungan/dosa ) orang lain, dan jika seseorang
diseru untuk menanggung beban dosa orang lain yang berat dosanya, maka tidak akan bisa ditanggung sedikit saja,
meskipun yang menyeru itu adalah kerabatnya sendiri (anak ,orang tua, suami, istri dll)…..al-ayat"

Dari beberapa uraian di atas maka dapat diambil beberapa pengertian:

Nasib seseorang kelak di hari qiyamat/di sisi Alloh SWT adalah hanya tergantung pada individu/pribadi orang itu sendiri
sebelum meninggal dunia.

Sedang pemberlakuan hadis Abu Dawud tentang 3 perkara di bagian atas tulisan ini, hanya sebagai tambahan,
setelah syarat yang pertama terpenuhi yaitu selama hidup sebelum meninggalnya orang tersebut betul-betul sudah
beriman / Islam = menyerah kepada Alloh SWT.

Pengertian QS.At-Thur (52):21 bahwa Orang yang beriman dan diikuti oleh anak turunnya yang juga beriman, maka Alloh
akan mempertemukan pada derajat yang sama, (bahkan bisa mengikuti derajat anaknya yang lebih tinggi), dan Alloh
tidak mengurangi derajat amalan salah satu di antara mereka. Dari semua pengamalan seseorang, maka diri orang yang
beramal itulah yang akan menjadi tebusannya.

Dengan hanya mengandalkan tiga perkara, amal/sodakoh jariah, ilmu yang diambil manfaatnya, serta anak solih yang
mendoakan, namun kalau hakikatnya seseorang itu belum Iman /Islam (sesuai dengan kualifikasi (ukuran) syari'at /
ketentuan dari Alloh), maka penjabaran firman Alloh SWT di atas semoga dapat memberi gambaran yang jelas.

Syarat anak yang mendoakan orang tua.

Syarat berikutnya, agar doa sang anak bisa sampai kepada orang tua yang beriman, maka dari penelitian ayat-ayat al-
Quran di temukan bahwa, anak tersebut juga anak yang sholih.

Tentu saja kriteria kesholihannya menurut ukuran standart dari Dzat yang mengabulkan / menyampaikan doa kepada
alamat tujuan. Bukan lain hanyalah Alloh SWT.

QS.Ali Imron(3):113-114 = Tidaklah sama (di antara mereka) orang ahli kitab ada umat yang menetapi /konsekwen,
mereka membaca kitab pada waktu malam(termasuk waktu yang lain), dan mereka bersujud (mengerjakan solat). Mereka
beriman pada Alloh, serta hari akhirat, mereka memerintah kepada kebaikan mencegah yang mungkar, mereka berlomba-
lomba/cepat-cepat dalam melakukan kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang sholih.

Sedangkan penjelasan Rosululloh SAW yang merupakan tafsiran dari ayat di atas ditemukan dalam al hadis Sunan Abu
Dawud Juz 1 no.hadis 1453 bahwa" barang siapa yang membaca al-quran dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya
(karena paham dan yakin maksudnya) , maka ke dua orang tuanya di hari qiyamat akan diberi mahkota, yang mana
sinarnya lebih baik/terang dari pada sinarnya matahari di rumah dunia, seandainya(mahkota itu ) ada di kalangan kamu
sekalian. Maka bagaimana persangkaan kamu terhadap orang yang mengamalkan al-Quran itu sendiri?"
Hadis tentang anak solih yang memintakan ampunan bagi ke dua orang tua (yang juga solih) dapat ditemukan dalam
himpunan hadis ahkam hal.19/Riwayat Ahmad Juz 4 hal/no.hadis 242 sabda Rosululloh SAW " Sesungguhnya Alloh SWT
niscaya mengangkat derajatnya hamba yang solih di surga. Hamba tersebut lalu (merasa heran karena sadar kenaikan
derajatnya bukan atas amalannya sendiri) lalu berkata "wahai tuhanku bagaimana ini bagi saya (derajatnya naik)? Alloh
menjawab "karena permohonan ampunan dari anakmu untukmu"

Dari beberapa ayat di atas juga dipadukan dengan al-hadis, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud orang
yang solih menurut Alloh adalah orang yang membaca kitab al-Quran /paham maksudnya dan mau mengamalkan secara
murni dan konsekwen. Dengan keimanan/kesolihan yang sama antara orang tua dengan anaknya, maka orang tuanya
secara automatis akan diberi bonus tambahan berupa mahkota kehormatan di hari qiyamat.

Aabila orang tua yang solih/beriman bisa memiliki anak yang juga solih /beriman, yang paham agama, pandai membaca
al-quran, mengerti arti yang dibacanya sehingga bisa mengamalkan secara murni dan konsekwen, mau dan mampu amar
makruf nahi mungkar/berdakwah, maka sungguh suatu kehormatan, kemulyaan yang sejati yang kelak dapat dibanggakan
di hadapan Alloh.

Dengan mengikuti ketentuan hukum Alloh SWT sesuai uraian beberapa dalil al-quran dan al-hadis di atas maka Doa Anak
Solih sebagai salah satu dari amalan yang terus mengalir/amal jariah, insyaAlloh akan terkabul. Amin.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang
telah meninggal dunia. Masalah ini seringkali menjadi titik perbedaan antara berbagai kelompok
masyarakat. Dan tidak jarang menjadi bahan perseteruan yang berujung kepada terurainya benang
persaudaraan.

Seandainya umat Islam ini mau duduk bersama mengkaji semua dalil yang ada, seharusnya
perbedaan itu bisa disikapi dengan lebih dewasa dan elegan.

Kita akan mempelajari tiga pendapat yang terkait dengan masalah ini lengkap dengan dalil yang
mereka pakai. Baik yang cenderung mengatakan tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah
wafat, atau yang mengatakan sampai atau yang memilah antara keduanya. Sedangkan pilihan
Anda mau yang mana, semua kembali kepada Anda masing-masing.

Kalau kita cermati pendapat yang berkembang di tengah umat Islam, paling tidak kita mendapati
tiga pendapat besar yang utama.

1. Pendapat Pertama: Pahala Tidak Bisa Dikirim-kirim kepada Mayit


Pendapat pertama mengatakan bahwa orang mati tidak bisa menerima pahala ibadah orang yang
masih hidup. Baik pahala yang bersifat ibadah jasadiyah maupun ibadah maliyah. Sebab setiap
orang sudah punya tugas dan tanggung-jawab masing-masing.

Dalil atau hujjah yang digunakan adalah berdasarkan dalil:

`Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya`

`Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali
dengan apa yang telah kamu kerjakan`

`Ia mendapat pahala yang diusahakannya dan mendapat siksa yang dikerjakannya`.

Ayat-ayat di atas adalah sebagai jawaban dari keterangan yang mempunyai maksud yang sama,
bahwa orang yang telah mati tidak bisa mendapat tambahan pahala kecuali yang disebutkan dalam
hadits:

`Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah,
anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya` .

Bila Anda menemukan orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah wafat tidak bisa
menerima pahala ibadah dari orang yang masih hidup, maka dasar pendapatnya antara lain adalah
dalil-dalil di atas.
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya
yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirmkan/
dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.

2. Pendatapat Kedua: Ibadah Maliyah Sampai dan Ibadah Badaniyah Tidak Sampai
Pendapat ini membedakan antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Pahala ibadah maliyah
seperti shadaqah dan hajji, bila diniatkan untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal
akan sampai kepada mayyit.

Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Alqur’an tidak sampai. Pendapat ini
merupakan pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan pendapat Madzhab Malik.

Mereka berpendapat bahwa ibadah badaniyah adalah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa
digantikan orang lain, sebagaimana sewaktu hidup seseorang tidak boleh menyertakan ibadah
tersebut untuk menggantikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW:

Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggantikan orang lain, dan seseorang tidak boleh
melakukan shaum untuk menggantikan orang lain, tetapi ia memberikan makanan untuk satu hari
sebanyak satu mud gandum
.

Namun bila ibadah itu menggunakan harta benda seperti ibadah haji yang memerlukan
pengeluaran dana yang tidak sedikit, maka pahalanya bisa dihadiahkan kepada orang lain
termasuk kepada orang yang sudah mati. Karena bila seseorang memiliki harta benda, maka dia
berhak untuk memberikan kepada siapa pun yang dia inginkan. Begitu juga bila harta itu
disedekahkan tapi niatnya untuk orang lain, hal itu bisa saja terjadi dan diterima pahalanya untuk
orang lain. Termasuk kepada orang yang sudah mati.

Ada hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sedekah dan haji yang dilakukan oleh seorang hamba
bisa diniatkan pahalanya untuk orang yang sudah meninggal. Misalnya dua hadits berikut ini:

Dari Abdullah bin Abbas ra. bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada
ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya
ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya
bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata, Saksikanlah bahwa kebunku yang
banyak buahnya aku sedekahkan untuknya. .

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya,
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah
saya melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu
mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih
berhak untuk dibayar.
3. Pendapat Ketiga: Semua Jenis Ibadah Bisa Dikirimkan kepada Mayit Do’a dan ibadah baik
maliyah maupun badaniyah bisa bermanfaat untuk mayyit berdasarkan dalil berikut ini:

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka , mereka berdo’a, Ya Tuhan kami, beri ampunlah
kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.

Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan
ampun untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang telah
meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.

a. Shalat Jenazah.
Tentang do’a shalat jenazah antara lain, hadits:

Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW - setelah selesai shalat
jenazah-bersabda, Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia,
muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air
embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran,
gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih
baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa
kubur dan siksa neraka.
.

b. Doa Kepada Mayyit Saat Dikuburkan


Tentang do’a setelah mayyit dikuburkan,

Dari Ustman bin ‘Affan ra. berkata: Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau
beridiri lalu bersabda, Mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya,
karena sekarang dia sedang ditanya.

c. Doa Saat Ziarah Kubur


Sedangkan tentang do’a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa ia bertanya
kepada Nabi SAW, Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul
SAW menjawab, Ucapkan: . .

d. Sampainya Pahala Sedekah untuk Mayit


Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di
tempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk bertanya, Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya
ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya
bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab, Ya. Saad berkata:, Saksikanlah bahwa kebunku yang
banyak buahnya aku sedekahkan untuknya. .
e. Sampainya Pahala Saum untuk Mayit
Dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang meninggal dengan mempunyai
kewajiban shaum maka keluarganya berpuasa untuknya.

f. Sampainya Pahala Haji Badal untuk Mayit


Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya,
Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah
saya melakukah haji untuknya? Rasul menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu
mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih
berhak untuk dibayar.

g. Membayarkan Hutang Mayit


Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan
hadits Abu Qotadah di mana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak
dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:

Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.

h. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang
muslim, maka hal itu tidak ad halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk
orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya. Islam telah memberikan
penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya diqiyaskan
dengan sampainya puasa, karena puasa dalah menahan diri dari yang membatalkan disertai niat,
dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika demikian bagaimana tidak sampai pahala
membaca Al-Qur’an yang berupa perbuatan dan niat.

Menurut pendapat ketiga ini, maka bila seseorang membaca Al-Fatihah dengan benar, akan
mendatangkan pahala dari Allah. Sebagai pemilik pahala, dia berhak untuk memberikan pahala itu
kepada siapa pun yang dikehendakinya termasuk kepada orang yang sudah mati sekalipun. Dan
nampaknya, dengan dalil-dalil inilah kebanyakan masyarakat di negeri kita tetap mempraktekkan
baca Al-Fatihah untuk disampaikan pahalanya buat orang tua atau kerabat dan saudra mereka
yang telah wafat.

Tentu saja masing-masing pendapat akan mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan
hujjah mereka yang paling kuat. Namun sebagai muslim yang baik, sikap kita atas perbedaan itu
tidak dengan menjelekkan atau melecehkan pendapat yang kiranya tidak sama dengan pendapat
yang telah kita pegang selama ini. Karena bila hal itu yang diupayakan, hanya akan menghasilkan
perpecahan dan kerusakan persaudaraan Islam.

Wallahu a’lam bish-shawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc.


Orang yang Sudah Meninggal, Menunggu Hadiah dari Orang
yang Masih Hidup?

Assalamu’alaikum.

Ustadz, apakah benar bahwa orang yang sudah meninggal, setiap malam Jum’at selalu berkumpul
menunggu hadiah dari orang yang masih hidup, berupa sedekah atas nama kita, bacaan Yasin, al-Fatihah,
dan do’a-do’a lainnya? Adakah hadits yang meriwayatkan hal ini? Sepengetahuan saya, hanya 3 hal yang
pahalanya tetap mengalir ketika kita sudah meninggal, yaitu anak shaleh yang mendoakan kita, ilmu yang
bermanfaat, dan shadaqoh jariyah. Syukron Ustadz.

Wassalam,

Nurul Wahyu Widarsih

Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Mohon maaf karena kami belum menemukan dalil yang kuat dan secara tegas menyebutkan hal itu.
Mungkin karena kelemahan kami dalam mencari dalil. Sepanjang yang kami ketahui, yang ada hanyalah
dalil-dalil yang menyatakan bahwa orang yang sudah wafat dan dialam barzakh memang bisa
mendapatkan kebaikan karena doa dan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup.

Namun kalau para ahli kubur secara serempak berkumpul menanti-nantikan hadiah tiap malam jumat,
rasanya kami belum menemukannya.

Adapun hadits yang menyatakan hanya tiga hal yang pahalanya mengalir itu memang hadits yang shahih.
Namun perlu dicermati kandungannya dengan tepat. Hadits itu sebenarnya tidak menyebutkan bahwa
seseorang tidak bisa menerima ‘kiriman’ pahala dari orang lain.

Sebaliknya hadits itu hanya mengatakan bahwa pahala amal pekerjaan seseorang itu terputus begitu dia
meninggal. Kalau selama ini dia shalat, maka begitu meninggal, dia tidak bisa shalat, maka pahalanya
berhenti dengan kematiannya. Kalau selama ini dia puasa, maka saat wafat, tidak ada lagi pahala yang
akan didapat. Kalau selama ini dia zakat atau haji, tidak ada lagi pahala yang bisa didapat dari ibadah-
ibadah itu.

Namun Rasulullah SAW ingin menyebutkan bahwa masih ada jenis ibadah yang dilakukan oleh seorang
muslim, yang meski pun dia sudah wafat, pahala ibadah itu tetap saja terus mengalir kepadanya. Mengapa
bisa demikian?

Kita bisa mengibaratkan jenis ibadah dan pahalanya itu seperti orang yang bekerja mendapat gaji bulanan
dan orang yang punya saham di suatu perusahaan. Sebagai orang gajian, bila sudah bekerja lagi, tentu
tidak akan lagi mendapat gaji. Tapi bila seorangpunya saham di sebuah perusahaan, meski sudah tidak
bekerja, tapi dia akan tetap mendapatkan deviden atau bagi hasil. Sampai dia menjual sahamnya atau
perusahaan itu bubar.

Ibadah shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya bisa diibaratkan seperti orang yang bekerja menjadi
karyawan dengan sistem gaji. Kalau bekerja diberi gaji tapi kalau tidak bekerja tidak diberi gaji.
Sedangkan tiga amal yang disebutkan dalam hadits ini bisa diibaratkan dengan kepemilikan saham,
sehingga meski yang bersangkutan tidak bekerja tiap hari, tapi tetap mendapatkan deviden terus.

Tiga amal itu adalah sedekah jariyah, punya anak shalih yang mendoakan dan pernah mengajarkan ilmu
yang bermanfaat buat orang lain. Khusus masalah sedekah jariayh, biasanya berbentuk harta yang
diwaqafkan. Misalnya seseorang punya ladang kelapa sawit 1.000 hektar dan diwaqafkan semua hasil
panennya untuk fakir miskin. Ladang itu menjadi saham baginya di sisi Allah untuk pahala di alam
barzakh. Selama ladang itu masih memberikan pemasukan, meski dia sudah meninggal, pahalanya akan
tetap diterima di alam kubur.

Atau seseorang punya anak yang dididiknya menjadi anak shalih. Jasa mendidik anak hingga menjadi
shalih dan berguna itu adalah saham baginya. Setiap anak shalih ini mengerjakan sesuatu yang
mendatangkan pahala, tentu orang tuanya akan ikut menikmati hasil pahalanya juga, tanpa mengurangi
pahala si anak itu sendiri.

Adapun kalau disebutkan bahwa anak shalih itu mendoakannya, tidaklah bermakna bahwa yang diterima
doanya hanya terbatas pada anak saja. Namun pengertiannya adalah bahwa umumnya yang mau
mendoakan adalah anak, ketimbang orang lain. Sebab antara anak dan orang tua, ada hubungan batin
yang kuat, di mana seorang anak yang baik pasti mau dengan ikhlas dan rela memanjatkan doa untuk
kebahagiaan orang tuanya di alam barzakh.

Adapun doa yang dipanjatkan oleh selain anak,tentu saja tetap diterima Allah dan bahkan bisa menambah
kenikmatan di dalam kubur. Bukankah yang disyariatkan untuk menyalatkan jenazah itu tidak terbatas
hanya pada anak saja? Bukankah setiap muslim berhak dan diperkenankan menyalatkan jenazah muslim
lainnya meski tidak kenal?

Dan bukankah kita dianjurkan untuk mengucapkan salam ketika berziarah kubur. Dan salam adalah doa
keselamatan yang kita minta kepada Allah buat orang yang kita beri salam. Padahal yang kira beri salam
itu sudah wafat dan berada di alam kubur. Mengapa Rasulullah SAW malah memerintahkan kita memberi
salam kepada orang mati? Jawabnya adalah karena doa orang hidup kepada orang mati itu memang
disyariatkan dan insya Allah akan dikabulkan.

Kalau kita memaksa hadits di atas untuk dijadikan batasan bahwa hanya doa anak saja yang diterima
Allah, maka seharusnya shalat jenazah itu tidak sah dilakukan kecuali hanya oleh anak laki yang shalih
saja. Sedangkan anak perempuan, atau anak laki tapi kurang shalih, kakak, adik, orang tua, suami, istri
dan sanak kerabat, semuanya tidak perlu menshalatkan jenazahnya. Karena tidak akan ada gunanya.

Karena itu yang benar dalam memahami hadits di atas bukanlah pembatasan siapa yang boleh
mendoakan, melainkan menunjukkan bahwa umumya yang mau mendoakan dengan tulus adalah anaknya,
karena anak itu ingin membalas budi orang tuanya.
Kesimpulannya menurut kami, doa orang-orang kepada seorang yang wafat akan diterima Allah SWT. Dan
tidak terbatas hanya dari anak laki-laki shalih saja. Karena hadits ini tidak dalam posisi untuk membatasi
sampainya doa dari orang yang masih hidup kepada orang yang sudah wafat.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Anda mungkin juga menyukai