Anda di halaman 1dari 26

BAB V

AKHLAQ DALAM KELUARGA

A. Birrul Walidain
Istilah birrul walidain berasala langsung dari Nabi Muhammad saw. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa Abdullah ibn Mas’ud seorang sahabat nabi yang terkenal bertanya kepada
Rasulullah saw tentang amalan apa yang paling disukai oleh Allah SWT, beliau menyebutkan
pertama, shalat tepat pada waktunya; kedua birru walidain dan ketiga jihad fisabilillah.

“Diriwayatkan oleh Abu Abdirrahman Abdullah Ibn Masud ra, dia berkata; Aku bertanya kepada
Nabi saw”Amalan yang paling disukai oleh Allah SWT? Beliau menjawab:”Shalat tepat pada
waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau menjawab:”Birrul walidain”. Kemudian
aku bertanya lagi: seterusnya apa? Neliau menjawab:”Jihad fi sabililah.”(H. Muttafaqun Alaihi)
Birrul walidain terdiri dari kata birru dan al walidain. Birru atau al albirru artinya kebajikan (ingat
tentang penjelasan al birru dalam surat Al Baqarah ayat 177). Al walidain artinya dua orang tua
atau ibu bapak. Jadi birrul walidain adalah berbuat kebajikan kepada kedua orangtua.
Semakna dengan birrul walidain, Alquran Al Karim menggunakan istilah ihsan (wa bi al walidaini
ihsana), seperti terdapat anatara lain dalam surat Al Isra ayat 23:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada bapakmu dengan sebak-baiknya..”(QS. Al Isra 17:23)

Kedudukan Birrul Walidain


Birrul walidain menempati kedudukan yang istimeewa dalam ajaran Islam. Ada beberapa alasan
yang membuktikan hal tersebut, antara lain:
1. Perintah ihsan kepada ibu bapak diletakkan oleh Allah SWT di dalam Alquran langsung sesudah
perintah beribadah hanya kepada-Nya semata-mata sesudah larangan mempersekutukan-Nya. Allah
berfirman:

“Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dan Bani Israil yaitu: “Janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu Bapak…” (QS. Al Baqarah 2:83)

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mepersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapak…” (QS. An Nisa 4:36)

“Katakanlah:”Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu:
Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhada kedua
orang ibu dan bapak…” (QS. Al An am 6:151)
2. Allah SWT mewasiatkan kepada umat manusia untuk berbuat ihsan kepada ibu bapak. Allah
berfirman:

“ Dan Kami mewasiatkan (wajibkan) kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan kepada dua
orang ibu bapak…(QS. Al Ankabut 29:8)

“Kami wasiatkan (wajibkan) kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan kepada dua orang
ibu bapak…”(QS. Al Ahqaf 46:15)

3. Allah SWT meletakkan perintah kasih kepada ibu bapak langsung sesudah perintah
berterima kasih kepada Allah SWT. Allah berfirman:

“ Dan Kami perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang semakin lemah,
dan menyusukannya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”(QS. Luqman 31:14)

4. Rasulullah saw meletakkan birrul walidain sebagai amalan nomor dua terbaik sesudah shalat
tepat pada waktunya.

“Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman Abdullah ibn Masud RA, dia berkata:”Aku bertanya
kepada Nabi saw: Apa amalan yang paling disukai Allah SWT?” Beliau menjawab:”Shalat
tepat pada waktunya”. Aku b ertanya lagi: Kemudian Apa? Beliau mernjawab:”Birrul
walidain”. Kemudian aku bertanya lagi:”seterusnya apa? Beliau menjawab:”Jihad fi
sabilillah.” (H. Mutafaqun Alaihi)
5. Rasulullah saw meletakan uququ walidain (durhaka kepada dua orang ibu bapak) sebagai
dosa besar nomor dua setelah syirik:

“Diriwayatkan ole Abu Bakrah Nufa’I ibn al Harits ra, dia berkata:”Rasulullah saw
bersabda:”Tidakkah akan aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?
Beliau mengulangi lagi pertanyaan tersebut tiga kali. Kemudian para sahabat mengiyakan.
Lalu Rasulullah saw menyebutkan:”Yaitu mempersekutukan Allah dan durhaka kepada ibu
bapak.” Kemudian beliau merobah posisi duduknya yang semula bersitelekan menjadi
duduk biasa dan berkata lagi:”Begitu juga perkataan dan sumpah palsu.” Beliau mengulangi
lagi hal yang demikian hingga kami mengharapkan mudah-mudahan beliau tidak
menabahkan lagi.” (H. Muttafaqun Alaihi)
6. Rasulullah saw mengaitkan keridhaan dan kemarahan Allah SWT dengan keridhaan dan
kemarahan orang tua. Beliau bersabda:
“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orangtua, dan kemarahan Rabb(Allah) pada
kemarahan orang tua.” (HR. Tirmidzi)

Demikian Allah dan Rasul-Nya menempatkan orang tua pada posisi yang sangat istimewa
sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati posisi yang sangat mulia, sebaliknya
durhaka kepada orang tua juga menempati posisi yang sangat hina. Hal demikian menurut
hemat kita, mengingat jasa ibu bapak yang sangat besar sekali dalam proses reproduksi dan
regenerasi umat manusia. Allah SWT menciptakan manusia pertama kali (Nabi Adam as) dari
tanah, dan menciptakan pasangannya (hawa) dari tulang rusuk Adam, kemudian dari
pertemuan Adam dan Hawa berkembanglah umat manusia laki-laki dan perempuan.
Begituah seterusnya Allah SWT menetapkan sunnah-Nya tentang reproduksi dan regenerasi
secara sah dan diridhai-Nya melalui hubungan suamu isteri antara seorang ibu dan bapak.
Secara khusus Allah juga mengingatkan betapa besar jasa dan perjuangan seorang ibu dalam
mengandung, menyusui, merawat, dan mendidik anaknya. Perhatikanlah kembali ungkapan
AlQuran tentang ha tersebut dalam Surat Luqman ayat 14 sebagaimana yang sudah kita
kutip di atas.
Kemudian bapak, sekalipun tidak ikut mengandung dan menyusui, tapi ia berperan besatr
dalam mencari nafkah, membimbing, melindungi, membesarkan, dan mendidik anaknya
hingga mampu berdiri sendiri, bahkan sampai waktu yang tak terbatas.
Berdasarkan semuanya itu, tentu sangat wajar, normal dan logis saja kalau si anak dituntut
untuk berbuat kebaikan sebaik-baiknya kepada kedua orang tuanya, dan diarang keras
untuk mendurhakai keduanya.

Bentuk-bentuk birrulwalidain
Banyak cara bagi seorang anak untuk dapat mewujudkan birrulwalidain tersebut anatara
lain:
1. Mengikuti keinginan dan saran orang tua dalam berbagai aspek kehidupan, baik
masalah pendidikan, pekerjaan, jodoh, maupun masalah lainnya. Tentu dengan catatan
penting: Selama keinginan dan saran-saran itu sesuai dengan ajaran Isam. Apabila
bertentangan atau tidak sejalan dengan ajaran Islam, anak tidaklah punya kewajiban
untuk mematuhinya. Bahkan harus menolaknya dengan cara yang baik, seraya berusaha
meluruskannya. Hal demikian sesuai dengan tuntunan Al Quran.

“Dan jika keduannya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanyua di dunia fdengan baik…”(QS. Luqman 31:15)
Juga sesuai dengan penegasan dari Rasulullah saw bahwa:

“Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, ketaatan hanyalah semata dalam hal
yang ma’ruf.” (HR. Muslim)
Dalam hal ini bisa muncul problem, bagaimana kalau terjadi perbedaan pendapat dan
keinginan antara orang tua dan anak dalam hal-hal yang mubah, atau dalam hal-hal
yang bersifat ijtihadiyah. Misalnya dalam hal menentukan perguruan tinggi mana yang
akan dimasuki, menentukan tempat bekerja, atau seperti yang banyak terjadi yaitu
perbedaan dalam menentukan jodoh.
Dalam kasus mentukan jodoh, misalnya; sering-sering solusi yang diambil oleh si anak
adalah menikah tanpa memberi tahu orang tua. Kalau hal ini dilakukan seorang
musimah, di samping dia melakukan pelanggaran akhlaq, juga pelanggaran hukum
(fiqih), karena seorang wanita harus dinikahkan oleh walinya. Sedangkan kalau
dilakukan seorang pemuda muslim, dari segi hukum (fiqih) tidak ada yang dilanggarnya
(nikahnya sah), tetapi bagaimana dari segi akhlaq? Bukankah dalam hal mubah, seorang
anak dituntut untuk patuh kepada kedua orang tuanya? Alasan yang sering
dikemukakan untuk membenarkan tindakannya itu umumnya adalah tidak mau mungkir
janji, tidak mau mengecewakan calon isteri (karena sudah terlanjur berjanji) atau
alasan-alasan lainnya. Problem seperti itu muncul karena salah langkah sejak awal.
Kenapa untuk memutuskan hal yang begitu penting dalam kehidupannya (memilih
jodoh), tidak melibatkan orang tua nya bermusyawarah. Baru kalau sudah terlanjur,
mengaku tidak mau mengecewakan calon isterinya. Apakah dia lebih mengutamakan
mengecewakan kedua orang tua yang begitu besar jasanya, dibandingkan
mengecewakan seorang wanita yang baru saja dia kenal dalam waktu yang relatif
singkat?
Dalam kasus-kasus seperti di atas itulah akhlaq seorang anak terhadap orang tuanya
diuji. Maukah dia menomorduakan keinginannya demi untuk melaksanakan birrul
walidain?
Namun demikian perlu dicatat, bahwa orang tua yang bijaksana tidak akan begitu saja
memaksakan keinginannya kepada anaknya. Disamping memang tidak ada orang tua
yang tidak menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Di sinilah diperukan dialog fdan
keterbukaan. Hendaknya anak berusaha dengan maksimal dan argumentatif
menjelaskan pilihannya tersebut. Di samping mencoba secara tidak apriori memahami
argumentasi pilihan orang tua. Tentu saja kedua orang tua harus membuka diri dan
berusaha juga untuk memahami pilihan anak.

2. Menghormati dan memuliakan kedua orang tua dengan penuh rasa terima kasih dan
kasih sayang atas jasa-jasa keduanya yang tidak mungkin bisa dinilai dengan apapun. Ibu
yang mengandung dengan susah payah dan penuh penderitaan. Ibu yang melahirkan,
menyusui, mengasuh, merawat, dan membesarkan. Bapak yang membanting tulang
mencari nafkah un tuk ibu dan anak-anaknya. Bapak yang menjadi pelindung untuk
mendapatkan rasa aman. Allah SWT berwasiat kepada kita untuk mendapatkan rasa
aman. Allah SWT berwasiat kepada kita untuk berterimakasih kepada ibu bapak sesudah
bersyukur kepada-Nya:
“ Dan Kami perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik) kepada dua orang ibu
bapaknya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang semakin lemah,
dan menyusukannya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”(QS. Luqman 31:14)

Banyak cara untuk untuk menunjukan rasa hormat kepada orangtua, antara lain memanggilnya
dengan panggian yang menunjukkan hormat, berbicara kepadasnya dengan lemah lembut, tidak
mengucapkan kata-kata kasar (apalagi kalau mereka berdua sudah lanjut usia), pamit kalau
meninggalkan rumah (jika serumah), memberi kabar tentang keadaan kita dan menanyakan keadaan
keduanya lewat surat atau telepon (bila tidak serumah). Allah berfirman:

“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra
17:23)

3. Membantu ibu bapak secara fisik dan materiil. Misalnya sebelum berkeluarga dan
mampu berdiri sendiri anak-anak membantu orang tua (terutama ibu) mengerjakan
pekerjaan rumah; dan setelah berkeluarga atau berdiri sendiri membantu orang tua
secara finansial, baik untuk membeli pakaian, makanan, minuman, apalagi untuk
berobat. Rasulullah saw menjelaskan bahwa betapapun banyaknya engkau
mengeluarkan uang untuk membantu orang tuamu tidak sebanding dengan jasanya
kepadamu:

“Tidak dapat seorang anak membalas budi kebaikan ayahnya, kecuali jika mendapatkan
ayahnya tertawan menjadi hamba sahaya, kemudian ditebus dan dimerdekakannya.”
(HR. Muslim)
Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa orang tua (lebih-lebih lagi ibu) harus
mendapatkan prioritas utama untuk dibantu dibandingkan orang lain. Hal ini
diugnkapkan beliau tatkala menjawab pertanyaan seorang sahabat:

“ Siapakah yang paling berhak aku bantu dengan sebaik-baiknya? Jawab Nabi:”ibumu”.
Kemudian siapa? Jawab Nabi:”Ibumu.” Kemudian siapa? Jawab Nabi:”ibumu”. Lalu siapa
lagi? Jawab Nabi:” Bapakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Mendoakan ibu bapak semoga diberi Allah SWT keampunan, rahmat dan lain-lain
sebagainya. Allah SWT menukilkan dalam Alquran doa Nabi Nuh memintakan
keampunan untuk orang tuanya, dan perintah kepada setiap anak untuk memohonkan
rahmat Allah bagi orangtuanya:

“ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku..” (QS. Nuh 71:28)


“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah:”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagai mana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al Isra 17:24)
5. Setelah orang tua meninggal dunia, birrul walidain masih bisa diteruskan dengan cara
antara lain:
a. Menyelenggarakan jenazahnya dengan sebaik-baiknya
b. Melunasi hutang-hutangnya
c. Melaksanakan wasiatnya
d. Meneruskan silaturahim yang dibinanya sewaktu hidup
e. Memuliakan sahabat-sahabatnya.
f. Mendoakannya.
Seorang laki-laki dari Bani Salimah datang bertanya kepada Rasulullah saw:

“Ya, Rasulullah, adakah kebaikan yang masih dapat saya kerjakan untuk ibu bapak saya sesudah
keduanya meninggal dunia? Rasulullah menjawab:”Ada, yaitu menshalatkan jenazahnya, memintakan
ampunan baginya, menunaikan janjinya, meneruskan silaturrahimnya dan memuliakan sahabatnya.”
(HR. Abu Daud)

Demikianlah beberapa bentuk birrul walidain yang bisa kita lakukan terhadap kedua orang tua baik yang
masih hidup, maupun yang sudah meninggal dunia.

Uququl Walidain

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa Allah SWT menempatkan perintah untuk birrul walidain
angsung sesudah perintah untuk beribadah kepada-Nya, maka sebaliknya Allah SWT pun menempatkan
uququl walidain sebagai dosa besar yang menempati ranking kedua setelah syirik.

Uququl walidain artinya mendurhakai kedua orang tua. Istilah inipun berasal langsung dari Rasulullah
saw, sebagai mana disebutkan dalam salah satu hadits:

“Dosa-dosa besar adalah: mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh orang
dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)

Durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah SWT, sehingga
azabnya disegerakan Allah di dunia ini. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah saw;

“Semua dosa-dosa diundurkan oleh Allah (azabnya) sampai waktu yang dikehendaki-Nya kecuali
durhaka kepada kedua orang tua, maka esungguhnya Allah menyegerakan (Azabnya) untuk pelakunya di
waktu hidup di dunia ini sebelum dia meninggal.:”(HR. Hakim)
Dalam hadits lain Rasulullah saw menjelaskan bahwa Allah SWT tidak akan meridhai seseorang sebelum
dia mendapatkan keridhaan dari kedua orang tuanya:

“Kerihdaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb (Allah) ada pada kemarhan
orang tua.” (HR. Tirmidzi)

Kita tentu dapatmemahami kenapa Rasulullah saw mengaitkan keridhaan Allah dengan keridhaan orang
tua dan memasukkannya ke dalam kelompok dosa-dosa besar, bahkan azabnya disegerakan di dunia, hal
itu mengingatkan betapa istimewanya kedudukan orang tua dalam ajaran Islam sebagaimana yang
sudah diuraikan di atas. Dan juga mengingat betapa besarnya jasa kedua orang tua terhadap anaknya.
Jasa itu tidak bisa diganti dengan apapun. Misalkan ada seorang ibu setelah melahirkan anaknya, dia
pergi meninggakannya dan tidak peduli dengannya. Begitu juga kalau ada seorang bapak yang tidak
bertanggungjawab sama sekali terhadap anak-anaknya, bahkan tidak pernah melihatnya lagi setelah
anak itu lahir. Sekalipun perbuatan ibu bapaknya seperti itu jelas-jelas salah dan tercela, tapi seorang
anak tetap saja tidak boleh memungkiri bahwa mereka adalah ibu bapaknya, dan untuk itu dituntut
untuk berbuat baik kepada mereka. Apalagi kalau ibu bapaknya melaksanakan kewajibannya sebagai
orang tua dengan sebaik-baiknya. Wajar kalau Allah mengaitkan keridhaan dan kemarahan-Nya dengan
keridhaan dan kemarahan orang tua.

Kita perlu membaca dan merenungkan kembali kisah-kisah anak yang durhaka kepada orang tuanya,
betapa pun ringannya bentuk pendurhakaan itu, dan betapa pun rajinnya dia beribadah seperti kisah
Juraji dan Alqamah. Juraji yang jadi korban fitnah orang-orang yangiri hati kepadanya karena ia tidak
mengindahkan panggilan ibunya, dan Alqamah yang tidak bisa menirukan talqin kalimat suci La Ilaha
Illalah menjelang ajalnya karena dosanya mengutamakan isterinya daripada ibu kandungnya sendiri. Dan
banyak lagi kisah-kisah lain yang bisa dijadikan pelajaran berharga, baik kisah-kisah nyata, maupun
hanya sekedar legenda seperti hikayat Si Malin Kundang Anak Durhaka, , atau Sampuraga dan lain-
lainnya.

Adapun bentuk pendurhakaan terhadap orang tua bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, mulai dari
mendurhaka di dalam hati, mengomel, mengatakan ah, uffin, berkata kasar, menghardik, tidak
menghiraukan panggilannya, tidak pamit, tidak patuh dan bermacam-macam tindakan lain yang
mengecewakan atau bahkan menyakitkan hati orang tua. Dalam surat A Israayat 23 diungkapkan oleh
Allah dua contoh pendurhakaan kepada orang tua, yaitu mengucapkan kata uffin (semacam keluhan dan
ungkapan kekesalan yang tidak mengandung arti bahasa apapun) dan menghardik (lebih-lebih bila
kedua orang tua sudah berusia lanjut):

“…Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
peliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al
Isra 17:23)
Demikianlah sebagai penutup tentang pembahasan birrul walidain, marilah kita berdoa kepada Allah
SWT:

“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa ibu bapakku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka
mengasihiku di waktu aku masih kecil.”

B. Hak, Kewajiban dan Kasih Sayang Suami Isteri


Salah satu tujuan perkawinan dalam Islam aadalah untuk mencari ketentraman atau sakinah.
Allah SWT berfirman:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu mendapatkan kehidupan yang tenteram (sakinah), dan dijadikan-
Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Seungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(QS. Ar Rum 30:21)

Dalam ayat di atas Allah SWT menjelaskan bahwa yang berperan membuat keluarga menjadi
sakinah ada dua faktor, pertama, mawaddah, kedua rahmah. Dalam bahasa Indonesia padanan
keduanya adalah kasih sayang . sebagaimana terlihat dalam terjemahan ayat di atas. Tapi kalau
ada yang bertanya apa beda antara kasih dan sayang mungkin tidak semua kita bisa dengan
tepat dan cepat bisa menjelaskannya. Menurut hemat penulis merujuk beberapa sumber
mawaddah, lahir dari sesuatu yang bersifat jasmani (kecantikan, kegagahan) sedangkan rahmah
lahir dari sesuatu yang bersifat rohani (hubungan batin). Dalam interaksi yang terjadi antara
suami isteri kedua faktor itu berperan. Pada pasangan muda yang laki-laki masih gagah dan yang
wanita masih cantik faktor mawaddahlah dominan, sedangkan pada pasangan tua tatkala yang
laki-laki sudah tidak gagah lagi dan wanita sudah tidak cantik lagi yang lebih dominan adalah
faktor rahmah. Kita tidak boleh mengabaikan salah satu dari dua faktor tersebut. Idealnya
memang kedua faktor tersebut harus berjalan bersama-sama, tetapi kondisi itu tidak bisa
dipertahankan terus, karena kondisi fisik tidak bisa dipertahankan seperti waktu muda, dia akan
tunduk pada sunnatullah; yang muda akan tua, yang kencang jadi keriput, yang hitam jadi putih,
dan seterusnya, berbeda dengan hubungan batin menghormati dan saling menghargai tentu
bisa dipertahankan terus sepanjang kehidupan.
Dalam konteks ini penulis memiliki dugaan kuat bahwa yang dianggap oleh kawula muda
sekarang ini dengan cinta tidak lebih dari mawaddah, sebab rasa cinta yang muncul lebih banyak
disebabkan faktor fisik bukan rohani.
Apa yang hendak disampaikan di atas adalah bahwa kehidupan keluarga yang tenteram tidak
hanya ditentukan oleh faktor mawaddah semata-mata, tetapi juga oleh faktor rahmah. Oleh
sebab itu perlu diingat bagi muda mudi yang sudah berniat berumah tangga untuk berhati-hati,
jangan mudah tergiur atau tergoda dengan ungkapan-ungkapan cinta yang diobral calon
pasangan hidupnya. Bukankah pengalaman menunjukkan bahwa banyak pasangan yang
sebeumnya sudah mengikat cinta bertahun-tahun tapi hanya bisa bertahan dalam keutuhan
berkeluarga setahun dua tahun atau bahkan hitungan bulan saja.

Empat kriteria memilih pasangan hidup


Karena membina keluarga tidak hanya dengan modal cinta dalam pengertian mawaddah saja
tetapi harus berdasarkan mawaddah dan rahmah. Maka sekali lagi mesti diingat perlu berhati-
hati dalam memilih pasangan hidup. Dalam satu hadits Rasulullah saw memberikan tuntunan:

“Seorang wanita dinikahi berdasarkan empat pertimbangan: karena harta, keturunan,


kecantikan dan agamanya. Peganglah yang memiliki agama niscaya kedua tanganmu tidak
terlepas.”(HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)

Dimulai oleh Rasulullah saw dengan menyebutkan tiga kriteria yang mengikuti kecenderungan
atau naluri setiap orang yaitu tentang kekayaan, kecantikan, dan keturunan, kemudian diakhiri
dengan satu kriteria pokok yang tidak boleh ditawar-tawar yaitu agama. Buya Hamka
mengupamakan kekayaan, keturunan, dan kecantikan, masing-masing dengan angka nol,
sedangkan agama dengan angka satu. Angka nol berapapun banyaknya tidak akan bernilai tanpa
ada angka satu. Sebaliknya, sekalipun tidak ada angka nol, angka satu sudah memiliki nilai.
Misalnya dapat wanita shalihah dan kaya nilainya 10, shalihah, kaya, dan ketrurunan baik-baik
nilainya 100, shalihah, kaya, keturunan baik-baik, dan cantik nilainya 1000. Bila ada angka satu,
angka-angka nol di belakangnya jadi berharga. Tapi angka nol berderet-deret tanpa angka satu
tidak ada nilainya.
Sekarang pertanyaan kita, kalau agama memang sangat penting dan paling menenetukan,
kenapa tidak diletakkan oleh Rasulullah saw didepan sekali. Untuk menjawab pertanyaan ini
penulis mengutip perkataan dari seorang ulama hadits dari Suria Dr. Mula Khatir:”Apa bila yang
pertama kai dfinilai oleh seorang pria adalah kualitas agama sang wanita, maka bila dia sudah
menemukan wanita yang shalihah, dia wajib menerimanya. Tidak boleh menolka dengan alasan
tidak kaya, tidak cantik atau tidak keturunan baik-baik, karena dia sudah melewati tiga kriteria
pertama yang menjadi haknya.”
Kenapa ketaatan seseorang kepada agama (Islam) yang paling menentukan? Jawabannya
sederhana sekali: hanya dengan Islamlah seseorang dapat mengerti bahwa pernikahan adalah
ibadah semata-mata mencari ridha Allah SWT sekalipun dengan pernikahan banyak hikmah yang
bisa dipetik seperti: penyaluran kebutuhan biologis, memelihara diri dari dosa, menjaga
masyarakat dari kerusakan dan dekadensi moral, memperkokoh hubungan antar keluarga, dan
antar golongan, menjaga kelestarian keturunan umat manusia, dan lain-lain sebagainya. Dengan
Islamlah seseorang dapat memahami hak dan kewajibannya masing-masing dalam berumah
tangga. Sehingga bila suami isteri masing-masing saling memahami tujuan dan hikmah
pernikahan serta mengerti dan mau menjalankan hak dan kewajiban mereka masing-masing,
maka keluarga tadi akan menjadi keluarga yang harmonis, segala sesuatu berjalan lancar, dan
tentu saja pada akhirnya akan membuahkan ketentraman.

Hak-hak suami isteri


Dalam hububngan suami isteri di samping hak-hak masing-masing ada juga hak bersama yaitu:
1. Hak Tamattu Badani
Salah satu hikmah perkawinan adalah pasangan suami isteri satu sama lain dapat saling
menikmati hubungan seksual yang halal, bahkan berpahala. Islam memang mengakui bahwa
setiap manusia normal membutuhkan penyaluran nafsu birahi terhadap lawan jenisnya.
Islam tidak memerangi nafsu tersebut tetapi juga tidak membiarkan lepas tanpa kendali.
Islam mengatur penyaluran secara halal dan baik melalui ikatan perkawinan.
Karena sifatnya hak bersama tentunya sekaligus menjadi kewajiban bersama. Artinya
hubungan seksual bukanlah semata-mata kewajiban suami kepada isteri, tetapi juga
merupakan kewajiban isteri kepada suami. Suami tidak boleh mengabaikan kewajiban ini
sebagaimana isteri tidak boleh menolak keinginan suami.
2. Hak saling mewarisi
Hubungan saling mewarisi terjadi karena dua sebab: pertama, karena hubungan darah,
kedua karena hubungan perkawinan. Dalam hubungan perkawinan ini yang mendapat
warisan hanyalah pasangan suami isteri. Suami mewarisi isteri dan isteri mewarrisi suami.
Dalam surat An Nisa ayat 12 dijelaskan bahwa suami mendapat ½ (setengh) dari harta
warisan bila isteri tidak punya anak, dan ¼ (seperempat) bila isteri punya anak. Sebaiknya
isteri dapat ¼ (seperempat) bila suami tidak punya anak dan 1/8 (seperdelapan) jika suami
punya anak.

“Dan bagimu(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak. Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.”(QS. An Nisa
4:12)

Hubungan saling mewarisi hanya berlaku dalam perkawinan yang sah menurut syariat slam
dan sesama Muslim. Bila perkawinannya tidak sah, atau salah satunya tidak muslim baik dari
awal atau ditengah-tengah perkawinan maka haknya batal.
3. Hak Nasab Anak
Anak yang dilahirkan dalam hubungan perkawinan adalah anak berdua, walaupun secara
formal Islam mengajarkan supaya anak dinisbahkan kepada bapaknya, sehingga seorang
anak disebut Fulan ibn Fulan atau Fulanah bintu Fulan, bukan zFulan ibn Fulanah atau
Fulanah Binti Fulanah. Apapun yang terjadi kemudian (misalnya perceraian) status anak
tetap anak berdua. Masing-masing tidak dapat mengklaim lebih berthak terhadap anak
tersebut, walaupun pengadilan dapat memilih dengan siapa si anak ikut. Perlu juga
diingatkan di sini bahwa penisbahan seorang anak kepada bapaknbya secara formal tetap
berlaku sekalipun bagi anak perempuan yang sudah menikah. Anak perempuan yang sudah
menikah tidak diajarkan oleh Islam untuk menisbahkan dirinya kepada suami sebagaimana
yang menjadi tradisi sebagian masyarakat kita.

Kewajiban suami kepada Isteri

Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada empat:

1. Membayar bahar
Mahar adalah pemberian wajib dari suami untuk isteri. Suami tidak boleh memanfaatkannya
kecuali seizin dan serela isteri. (QS. An Nisa 4:20-21). Jumlah minimal dan maksimal mahar tidak
ditentukan Syara’. Tergantung kemampuan suami dan kerelaan isteri. Yang penting ada nilainya.
Bahkan boleh dengan sepasang sanda, atau mengajarkan beberapa ayat Alquran, atau masuk
Islam, seperti yang pernah terjadi di zaman Rasulullah saw:

“Diriwayatkan dari Amir ibn Rabi’ah seorang wanita dari Bani Fazarah kawin dengan mahar sepasang
sandal. Lalu Rasulullah bertanya:”Apakah engkau rela dari diri dan hartamu dengan sepasang sandal?”
Perempuan itu menjawab:”Ya”. Lalu Rasulullah saw membolehkannya.” (HR. Ahmad, Ibn Majah dan
Tirmidzi)

“Diriwayatkan dari Saad ibn Ba’ad bahwa seorang wanita datang bertanya kepada Nabi saw:”Ya
Rasulullah, aku serahkan diriku kepadamu (mencari suami).” Wanita itu lama menunggu sampai seorang
laki-laki berdiri dan berkata:”Ya Rasulullah, kawinkan dia dengan aku jika engkau tidak
menginginkannya.” Kemudian Rasulullah bertanya:”Engkau punya sesuatu untuk membayar mahar
kepadanya.” Laki-laki itu menjawab:”Tidak ada kecuali pakaian ini.” Kata Nabi saw:”Jika kau berikan
pakaianmu itu tentu kamu tidak punya pakaian lagi, coba cari yang lain.” Laki-laki itu berkata:”Aku tidak
punya apa-apa lagi.” Kata Rasululah”Carilah walau sebuah cincin besi”. Dia berusaha mencari tetapi
tidak mendapatkan apa-apa. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya:”Apakah engkau mengetahui
sesuatu tentang Alquran?” Kata laki-laki itu:”Ada surat ini, surat ini…”.seraya menyebutkan beberapa
nama surat. Kermudian abi saw bersabda:”Aku kawinkan dia dengan engkau dengan mahar Alquran
yang ada padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Nafkah
Nafkah adalah menyediakan segala sesuatu keperluan isteri berupa makanan, minuman,
pakaian, rumah, pembantu, obat-obatan, dan lain-lain. Hukumnya wajib berdasarkan Alquran,
Sunnah, dan Ijma:

“Kewajiban atas bapak memberi belanja ibu anaknya dan pakaian secara ma’ruf. Tidak diberati
seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya…”. (QS. Al-Baqarah 2:233)
“Tempatkanah mereka di mana kamu tinggal, menurut tenagamu, dan janganlah kamu memberi
melarat kepada mereka sehingga kamu menyusahkan…”(QS. At Thalaq 65:6)

“Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Barang siapa
yang sedikit rezekinya, hendaklah memberi nafkah menurut rezeki yang diberikan Allah itu.
Allah tidak memberati diri seseorang kecuali neburut yang diberikanAllah kepadanya. Alah nanti
akan menggandakan kemudahan sesudah kesulitan.(QS. At Thalaq)
Rasulullah saw bersabda di waktu haji Wada:

“…Dan kewajibanmu atas mereka (isteri-isterimu) adalah memberi makan dan pakaian dan
ma’ruf.”(HR. Muslim)

Kwajiban suami memberi nafkah kepada isterinya sebanding dengan kewajiban isteri mematuhi
dan meladeni suami, menyelenggarakan dan mengatur urusan rumah tangga serta mendidik
anak-anak. Kewajiban memberi nafkah gugur jika akad nikah tidak sah, bila isteri tidak bersedia
digauli lagi atau tidak bersedia hidup bersama atau tidak bersedia mengikuti kepindahan suami
ke suatu tempat.
Berapa jumlah nafkah wajib dibayarkan suami ditentukan oeh urf (sesuatu yang sudah dikenal
baik secara luas oleh masyarakat), maksudnya disesuaikan dengan kewajaran, kelaziman, dan
kemampuan suami. Suamipun tidak boleh kikir, mampu tapi tidak mau mencukupi kebutuhan
isteri atau keluarganya.
3. Ihsan Al Asyarah
Ihsan al Asyarah artinya bergaul dengan isteri dengan cara sebaik-baiknya. Teknisnya terserah
kepada kita masing-masing suami. Misalnya: Membuat isteri gembira, tidak mencurigai isteri,
menjaga rasa malu isteri, tidak membuka rahasia isteri, menjaga rasa malu isteri, tidak
membuka rahasia isteri pada orang lain, mengijinkannya mengunjungi orang tua dan familinya,
membantu isteri apabila ia memerlukan bantuan sekalipun dalam tugas-tugas rumah tangga,
menghormati harta miliknya pribadi dan lain-lain.
Ihsan al Asyarah adaah suatu kewajiban berdasarkan firman Allah:

“Bergaullah dengan isterimu dengan cara yang ma’ruf…”(QS. An Nisa 4:29)

Rasulullah saw sudah memberikan contoh teladan bagaimana bergaul dengan isteri dengan
sebaik-baiknya. Oleh sebab itu beliau menegaskan:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan
yang paling baik diantara mereka ialah yang paling baik terhadap isterinya.
4. Membimbing dan mendidik keagamaan isteri
Seorang suami bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap isterinya karena ia adalah
pemimpinnya. Setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Oleh
karena itu menjadi kewajiban suami mengajar dan mendidik isterinya supaya menjadi seorang
imraah shalihah. Dia harus mengajarkan hal-hal yang harus diketahui oleh seorang wanita
tentang masalah agamanya terutama syariah, seperti tentang thaharah, wudhu, haidh, nfas,
shalat, puasa, dzikir, membaca Alquran, kewajiban wanita terhadap suami, anak-anak, orang
tua, tetangga, dan karib kerabat. Juga tentang cara berpakaian dan tata pergaulan yang Islami
serta hal-hal lainnya. Di samping mengajar, seorang suami memiliki kewajiban membimbing
isterinya mengamalkan ajaran Islam.
Jika seorang suami tidak mampu mengajarkannya sendiri, dia harus memberikan izin kepada
isterinya untuk belajar di uar atau mendatangkan guru ke rumah atau minmalnya menyediakan
buku bacaan.
Keawjiban isteri kepada suami
1. Patuh pada suami
Seorang wanita wajib mematuhi suaminya selama tidak di bawa ke lembah kemaksiatan.
Aisyah ra pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang orang yang paling berhak dipatuhi
oleh seorang isteri. Rasulullah menjawab:”Suaminya” (HR. Hakim)
Dalam kesempatan lain ditekan lagi oleh Rasululah saw:

“Kalau aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu akan aku
perintahkan seorang isteri untuk bersujud pada suaminya”(HR. Tirmidzi)

Dalam hadist lain Rasulullah menempatkan wanita yang patuh pada uaminya sebagai wanita
yang terbaik:

“Sebaik-baiknya wanita adalah apabila engkau memandang kepadanya


menggembirakanmu, apabila engkau suruh dia patuh, apabila engkau beri nafkah dia
menerima dengan baik, dan apabila engkau tidak ada disampingnya dia akan menjaga diri
dan hartamu”.(HR. Nasa’i)
Taat dan patuh pada suami tidaklah bersifat mutlak. Harus selalu dikaitkan dengan ma’ruf
artinya selama tidak membawa kepada kemaksiatan. Apabila suami mengajak isterinya
untuk melakukan yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka isteri berhak
menentangnya dengan cara cara yang bijaksana, bahkan harus berusaha menyadarkan dan
kembali membawanya ke jalan yang benar. Tapi dalam hal yang mubah atau sunat yang
menyebabkan suami kehilangan haknya, si isteri harus mengikuti suami, misalnya puasa
sunat, haji sunat atau keluar rumah.
Suami mendapatkan hak istimewa untuk dipatuhi oleh isteri mengingat posisinya sebagai
pemimpin dan kepala keluarga yang berkewajiban menafkahi keluarganya. Allah SWT
berfirman:
“Hak-hak perempuan (isteri) seumpama kewajiban yang dipikulkan kepadanya secara
ma’ruf, dan untuk laki-laki (suami) ada kelebihan satu derajat dari perempuan, Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al Baqarah 2:288)

“Laki-laki itu (suami) menjadi pemimpin terhadap wanita (isteri). Sebab Alah melebihkan
sebagian mereka dari sebagian, dan karena mereka (suami) memberi belanja dari hartanya
(bagi isteri).” (QS. An Nisa 4:34)
2. Ihsan al Asyarah
Ihsan Al Syarah isteri terhadap suaminya antara lain dalam bentuk: menerima pemberian
suami, lahir dan batin dengan rasa puas dan terima kasih, serta tidak menuntutr hal-hal
yang tidak mungkin, meladeni suami dengan sebaik-baiknya (makan, minum, pakaian, dan
sebagainya), memberikan perhatian pada suami sampai hal-0hal yang kecil-kecil (misalnya
kalau suami pergi kerja antarlah sampai ke pintu, kalau pulang jemputlah ke pintu, sehingga
hati suami terpaut untuk selalu di rumah apabila tidak bertugas), menjaga penampilan
supaya selalu rapi dan menarik serta lain-lain sebagainya.

Demikian pembahasan hak dan kewajiban dalam akhlaq suami isteri dan tentu tidak terlepas
dari aspek hukum.
C. Kasih sayang dan tanggung jawab orang tua terhadap anak
Anak adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan orang tua kepada Allah SWT. Anak
adalah tempat orang tua mencurahkan kasih sayangnya. Dan anak juga investasi masa depan
untuk kepentingan orang tua di akhirat kelak.oleh sebab itu orang tua harus memelihara,
membesarkan, merawat, menyantuni dan mendidik anak-anaknya dengan penuh tanggung
jawab dan kasih sayang. Hiubungan orang tua dan anak dapat dilihat sebagai berikut:
1. Hubungan tanggung jawab
Anak adalah amanah yang dititipkan oleh Allah SWT kepada orang tua untuk dapat
dibesarkan, dipelihara, dirawat dan dididik dengan sebaik-baiknya. Dengan ungkapan lain
orang tua adalah pemimpin yang bertugas memimpin anak-anaknya dalam kehidupan di
dunia ini. Kepemimpinan itu harus dipertanggung jawabkan nanti di hadapan Allah SWT.
Rasulullah saw bersabda:

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap
kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap
rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumah tangganya dan dia bertanggung jawab
terhadap keuarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di ruimah suaminya dan dia
bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Seorangpembantu adalah pemimpin pada
harta benda majikannya dan dia bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.”(HR.
Muttafaqun Alaihi)
2. Hubungan kasih sayang
Anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasihsayang setiap manusia yang normal
secara fitri pasti mendambakan kerhadiran anak-anak di rumahnya. Kehidupan rumah
tangga sekalipun bergeimang harta benda belum lagi lengkap kalau beum mendapatkan
anak. Alquran menyatakan anak adalah perhiasan dunia:

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi
harapan.” (QS. Al Kahfi 18:46)
3. Hubungan masa depan
Anak adalah investasi masa depan di akhirat bagi orang tua. Karena anak yang saleh akan
selalu mengalirkan pahala kepada kedua orang tuanya sebagaimana yang dinyatakan oleh
Rasulullah saw:

“Jika seseorang meninggal dunia putuslah (pahala) amalannya kecuali salah satu dari tiga
hal: Shadaqah Jariah, ilmu yang bermanfaat yang dapat diambil manfaat darinya, dan anak
saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Dengan tiga alasan di ataslah seorang muslim di dorong untuk dapat berfungsi sebagai
orang tua dengan sebaik-baiknya. Apalagi kalau dia pikirkan betapa pentingnya pembinaan
dan penfdidikan anak-anak untuk menjaga eksistensi dan kualitas umat manusia umumnya
dan umat Isam khususnya pada masa yang akan datang.

Empat tipologi anak:


1. Anak sebagai perhiasan hidup dunia
Alquran menyatakan anak adalah perhiasan hiup dunia (zinatun al hayah ad-dunya):

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang
kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.” (QS. Al Kahfi 18:46)
Sepasang suami isteri merasa rumah tangganya belum lengkap kalau belum dapat anak.
Ibarat perhiasan, anak-anak berfungsi memperindah sebuah rumah tangga. Tetapi orang
tua yang hanya mempfungsikan anak sebagai perhiasan dan melupakan pembinaan dan
pendidikannya akhirnya menjadi anak tidak lebih dari sebuah pajangan yang secara fisik
dapat dibanggakan tetapi kualitasnya sama sekali mengecewakan, baik kualitas iman,
ilmu, mapun amalnya.
2. Anak sebagai ujian
Selain sebagai perhiasan hidup dunia, anak juga menjadi ujian (fitnah) bagi kedua orang
tuanya. Allah berfirman:

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar.” QS. Al Anfal 8:28)
Orang tua diuji dengan kehadiran anaknya. Apakah anak-anak dapat merlalaikannya
daari beribadah kepada Allah atau apakah dia mampu melaksanakan tugasnya sebagai
orang tua yang baik, mendidik dan membina anaknya menjadi anak yang saeh. Fitnah
juga dalam arti anak bisa menyengsarakan dan mencemarkan nama baik orang tua.
Biasanya orang akan mengaitkan langsung kebaikan atauy keburukan seorang anak
dengan orang tuanya. Pertanyaan yang sering kita dengarkan dari setiap orang yang
kagum dengan kebaikan seorang anak atau yang heran dan jengkel dengan keburukan
(Kenakalan atau kejahatan)nya adalah,”Anak siapa itu” kalau orang tuanya memiliki
reputasi yang sama dengan anaknya orang akan mengomentari, “pantas”. Sebaliknya
kalau orang tuanya orang baik, komentar orang berbunyi, heran.
3. Anak sebagai musuh
Anak juga bisa menjadi musuh bagi kedua orang tuanya Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-


anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka…” (QS. At Taghabun 64:14)
Sungguh sangat mengecewakan kalau sampai anak menjadi musuh orang tua. Musuh
bisa berarti secara fisik dan bisa juga dari segi ide, pikiran, cita-cita dan aktivitas. Bila
orang tuanya di mana-mana melakukan amar maruf nahi munkar, sang anak justeru
melakukan anar munkar nahi maruf. Bila orang tuanya mermbangun, anak merusak,
maka pada saat itu anak sudah berada pada posisi musuh.
4. Anak sebagai cahaya mata
Tipe yang keempat ini oleh Alquran diistilahkan dengan qurrata A’yun (cahaya mata),
Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang berkata:”Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami isteri-isteri
kami dan keturunan kami sebagai cahaya mata (penyenang hati kami), dan jadikanlah
kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”(QS. Al Furqan 28:74)

Qurrata Ayun berarti cahaya mata, permata hati, sangat menyenangkan. Inilah tipologi
anak yang ideal. Kriteria tipologi ini antara lain tunduk dan patuh kepada Allah SWT,
berbakti kepada orang tua, bermuamalah dengan baik sesama manusia. Atau dengan
ungkapan lain beriman, berilmu dan beramal. Hablun minallah dan hablun minannas
nya berjalan dengan baik. Tipologi keempat inilah yang boleh kitasebut dengan “anak
saleh”.

Anak saleh tidak dilahirkan


Anak saleh atau qurrata A’yun tidak dilahirkan tapi dibentuk dan dibina ewat
pendidikan. Rasulullah saw mengajarkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Ibu bapaknyalah yang bereperan merobah fitrah menjadi dalam bahasa Rasul
_Yahudi, Nashrani atau Majusi:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang akan
berperan) “mengubah” anak itu menjadi seorang Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari)

Oleh sebab itu setiap orang tua mempunyai kewajiban memelihara dan
mengembangkan fitrah atau potensi dasar keislaman anak tersebut sehingga tumbuh
dan berkembang menjadi muslim yang benar-benar menyerahkan diri secara total
kepada Allah SWT. Kalau dibiarkan tidak terbina, potensi dasar tersebut akan
berkembang ke arah yang bertentangan dengan maksud Allah menciptakannya. Dan
pada akhirnya anak-anak akan menjadi penghuni neraka. Bukan kah Allah SWT
memerintahkan kepada orang tua, terutama kepada keluarga untuk memelihara
keluarganya dari siksaan api neraka?

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..”
(QS. At Tahrim 66:6)

Pendidikan seimbang
Pembinaan atau pendidikan yang akan melahirkan anak saleh adalah pendidikan yang
seimbanfg, yaitu pendidikan yang memperhatikan seluruh aspek yang ada pada diri
manusia, hati, akal, dan fisik. Seorang pendidik harus menyantuni ketiga-tiganya.
Masing-masing harmonis dan seimbang. Mengutamakan pembinaan fisik dengan
mengabaikan akal dan hati akan melahirkan manusia hayawani. Mengutamakan hati
semata tentu tidak realistik, karena manusia tidak bisa jadi malaikat.
Pendidikan yang seimbang, harmonis dan utuh seperti di atas diistilahkan oleh para ahli
dengan tarbiyah mutakamilah, yang menurut Absdullah Nashih Ulwan, penulis buku
Tabiyah al Auad fi al islam, mencakup pendidikan iman, akhlaq, jasmani, akal, jiwa,
kemasyarakatan dan seks (at’tarbiyyah al’imaniyyah, al khuluqiyyah, al’jismiyyah,
al’aqliyyah, an’nafsiyyah, al’ijtima’iyyah dan al’jinsiyyah.
Khusus pendidikan iman atau kita sebut saja pendidikan rohani harus dimulai sejak dini.
Secara tidak langsung sudah dimulai sejak pemilihan pasangan hidup yang baik,
diteruskan dalam hubungan seksual yang lebih khusus lagi pada waktu seorang ibu
mengandung. Oleh sebab itu pendidikan anak harus dimulai semenjak memilih jodoh
(sesuai dengan tuntunan Rasululah saw).
Secara praktis Rasulullah saw mengajarkann beberapa hal sehubungan dengan
pendidikan rohani, antara lain: memperdengarkan azan dan iqamah masing-0masing di
telingan kanan dan kiri bayi yang baru lahir, mengajarkan mengucapkan kalimah
thayyiyah la ilaha illallah kepada anak kecil, menyuruh anak shalat tatkala berumur 7
tahun dan memberikann sanksi kalau meninggalkan shalat pada umur 10 tahun,
mendidik anak mencintai Rasulullah saw dan keluarga beliau, mengajari anak membaca
Alquran dan lain-lain sebagainya. Semuanya itu memberikan dasar iman meninggalkan
bekas yang sangat lama bahkan cenderung tidak terhapus. Pribahasa Arab juga
mengatakan “attaallum fi ash sighar ka an naqshi aaa al hajar, wa at ta allum fi alkibar ka
an naqshi ala alma (belajar di waktu kecil sama dengan menulis di atas batu, sedangkan
belajar di wwaktu besar sama dengan menuis di atas air).
Di samping itu Rasulullah saw menunjukkan kepada orang tua untuk memberi nama
anaknya dengan nama yang baik, yang mengandung harapan atau doa dan juga
mencicipkan korma atau madu ke dalam mulut bayi, dan sebaiknya dilakukan oleh
seseorang yang salejh dengan harapan semoga anak juga menjadi hamba Allah yang
saleh kelak kemudian hari. Pada hari ketujuh atau lipatan tujuh atau hari ke berapa saja
orang tua menyelenggarakan upacara aqiqah anaknya fdengan memotong dua ekor
kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Pada hari itulah
nama anak diresmikan disamping mencicipkan korma atau madu tadi (Tahnik). Nama
baik tentu untuk kepentingan anak kemudian hari, dan upacara pencicipan korma atau
madu untuk menguatkan mulut anak menyusu. Sedangkan aqiqah adalah sebuah
bentuk kesyukuran orang tua yang membagi kebahagiaannya kepada orang banyak
dengan menyuguhkan makanan dari daging kambing.
Metode pendidikan Luqman al Hakim
Ada baiknya sebagai pedoman dan perbandingan kita pelajari bagaim ana Luqman
mendidik anaknya, sebagaimana yang diabadikan oleh Allah SWT dalam Surat Luqman
ayat 13 – 19. Luqman menekankan perhatiannya dalam pendidikan anaknya kepada
empat aspek, yaitu aqidah, ibadah, akhlaq dan dakwah.

1. Pendidikan Aqidah
Luqman menyadari bahwa pendidikan aqidah perlu ditanamkan kepada anak sedini
mungkin. Anak diajak mengenal Allah SWT dengan memperkenalkan bermacam-
macam ciptaan Allah Yang Maha Rahman. Pendidikan tauhid sangat penting sekali
sebagai modal dasar bagi anak dalam menjalani roda kehidupan nanti. Tegas-tegas
Luqman memgatakan:

“Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya


mempersekutukan (Allah) benar-benar kezaliman yang besar.”(QS. Luqman 31:13)

Luqman menanamkan keyakinan kepada anaknya bahwa apa saja yang dikerjakan
manusia, betapapun halus dan kecilnya tidak luput dari pandangan Allah. Buruk baik
semua akan dicatat dan diberi balasan yang adil:

“Hai anakku sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan
berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus Lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Luqman 31:16)
2. Pendidikan akhlaq
Setelah rasa aqidah ditanamkan kepada anak, Luqman mengajaknya membiasakan
diri melakukan ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sesuatu,
betapapun ringannya, kalau tidak dibiasakan akan terasa berat. Sebaliknya sesuatu
yang berat kalau dibiasakan terasa ringan. Pertama Luqman menyuruh anaknya
mendirikan shalat adalah tiang agama dan menjadi barometer ketaqwaan seseorang
kepada Allah:

“Hai anakku, dirikanlah shalat…” (QS. Luqman 31:17)


Rasulullah saw mengajarkan kepada orang tua untuk menyuruh anaknya mendirikan
shalat pada umur 7 tahun dan memberikan sanksi pada umur 10 tahun bila masih
belum mau mendirikan shalat.

“”Suruhlah anakmu shalat di waktu mereka berumur tujuh tahun. Pukullah mereka
(jika tidak mau mengerjakan) setelah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tidur
mereka (darimu)” (HR. Abu Daud)

Tentu saja disiplin ibadah baru bisa didirikan ditengah keluarga apabila bapak atau
ibu terlebih dahulu melaksanakannya (Akan lucu sekali kedengarannya apabila
seorang bapak memarahi dan memukul anaknya karena tidak shalat, sedangkan dia
sendiri tidak melaksanakannya). Disiplin yang dinanamkan dari kecil oleh orang tua
akan meninggalkan bekas yang lama, hingga nantinya anak tidak mudah tergoda
meninggalkan perintah-perintah Allah SWT.
3. Pendidikan Dakwah
Luqman menanamkan kepada anaknya sifat keberanian menyatakan kebenaran,
dan mengajak orang untuk melakukannya, serta keberanian untuk mendekatinya.
Inilah sikap da’I yang tidak mementingkan dirinya sendiri tetapi juga memperhatikan
lingkungan sekitarnya. Apabila setiap orang berusaha amar ma’ruf dan nahi munkar
tentunya dunia ini akan penuh kedamaian, silang sengketa akan bisa diatasi.
Perhatikan apa kata Luqman kepada anaknya:

“…dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkart…”(QS. Luqman 31:17)
4. Pendidikan akhlaq
Suatu tugas mau tidak mau harus mempunyai konsekuensi dan resiko. Resiko
seorang da’I adalah mendapat tantangan dari masyarakat atau pribadi yang tidak
senang. Untuk itu seorang da’I harus siap mental menerima segala macam cobaan;
tidakmudah mundur dan patah semangat, harus memperlihatkan akhlaq seorang
yang teguh iman dan sabar. Luqman mengingatkan anaknya untuk bersabar
menerima segala macam cobaan:
“..dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian
itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”(QS. Luqman 31:17)
Manusia menurut pandangan Allah mempunyai nilai dan kedudukan yang sama.
Tidak ada ada perbedaan antara bangsa kulit putih dengan kulit berwarna. Tidak
ada kelebihan seorang Arab dari orang ‘Ajam. Allah SWT tidak menilai seseorang
dari tampan rupa atau gagahnya penampilan fisik, tetapi Allah hanya menilai hati
dan amalan. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi seseorang untuk berbuat sombong
kepada orang lain. Seseorang harus menghormati orang lain. Yang tua dihormati,
yang kecil disayangi. Sesama besar saling menghargai:

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)…”(QS.


Luqman 31:18)

Kalau engkau gembira jangan sampai meledak-ledak dan lepas kendali, berpesta
pora gila-gilaan. Menghambur-hamburkan kekayaan tanpa menghiraukan batas-
batas norma dan agama. Alah tidak mengasihi orang yang sombong dan bermegah-
megahan:

“…dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(QS. Luqman
31:18)

Cara berjalan pun harus diperhatikan. Berjalanlah dengan sederhana. Jangan pula
terlalu menengadah seperti orang angkuh. Dan jangan pula terlalu menunduk
seperti orang patah hati. Tetapi sederhana, pertengahan atara keduanya. Begitu
juga cara berbicara, sekedar didengar oleh lawan bicara, jangan keterlaluan, terlalu
keras atau terlalu lambat. Sejelek-jeleknya suara adalah suara keledai, kata Luqman
sambil memberi contoh.

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya


seburuk-buruknya suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman 31:19)

Dengan memiliki metode ini Luqman al Hakim mendidik anaknya yang baik kita
teladani.

D. Silaturahim dengan karib dan kerabat


Istilah silaturahim (shillatu arrahim) terdiri dari dua kata: shillah (hubungan, sambungan) dan
rahim (peranakan) istilah ini adalah sebuah simbol dari hubungan baik penuh kasih sayang
antara sesama karib kerabat yang asal usulnya berasal dari satu rahim. Dikatakan simbol karena
rahim (peranakan) secara materi tidak bisa disambungkan atau dihubungkan dengan rahim lain.
Rahim yang dimaksud di sini adalah qarabah atau nasab yang disatukan oleh rahim ibu.
Hubungan antara satu sama lain diikat dengan hubungan rahim.
Dalam bahasa Indonesia sehari-hari juga dikenal istilah silaturrahim (Shilatu ar rahim) dengan
pengertian yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada hubungan kasih sayang antara sesama
karib kerabat, tetapi juga mencakup masyarakat yang lebih luas. Dari segi bahasa, istilah
tersebut tidak salah, karena rahmi juga berarti kasih sayang. Jadi silaturrahmi berarti
menghubungkan tali kasih sayang antara sesama anggota masyarakat. Tetapi silaturahmi yang
dimaksud dalam pasal ini adalah sebuah hubungan dalam keuarga besar atau qarabah.
Keuarga ddalam konsep Islam bukanlah keluarga kecil seperti konsep Barat (nucear family) yang
terdiri dari bapak, ibu, dan anak, tetapi keluarga besar, melebar ke atas, ke bawah dan ke
samping. Di samping anggota inti keluartga (bapak, ibu, keponakan, sepupu dan lain-lain
seterusnya. Yang lebih dekat hubungan keluarga inti disebut keluarga dekat dan yang lebih jauh
disebut keluarga jauh. Keluarga besar itulah yang disebut oleh Alquran dengan dzawi al qurba
(QS. Al Baqarah 2:83), ulu al qurba (QS. An Nisa 4:8) atau ulu al arham (QS. Al Anfal 8:75).
Hubungan kasih sayang harus dijaga dan dibina sebaik-baiknya dengan seluruh anggota keluarga
besar. Allah SWT berfirman:

“…Dan bertaqwakalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama_Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nissa 4:1)

Memelihara hubungan baik sesama anggota keluarga atau menjaga silaturrahim di masukkan
oleh Allah SWT menjadi salah satu sifat orang-orang yang memiliki amal mulia. Firman –Nya:

“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan
(Silaturrahim)…”(QS. Ar Rad 13:21)

Dalam tiga fasal sebelumnya sudah dibahas hubungan antar anak dan orang tua, hubungan
suami isteri, dan hubungan orang tua dengan anak, maka dalam pasal ini kita hanya membahas
hubungan seseorang dengan keluarga yang lain, baik ke atas, ke bawah maupun ke samping.
Secara prinsip seorang Muslim harus bersikap kepada karib kerabatnya yang lain sebagaimana
dia bersikap kepada ibu bapak anak dan saudara-saudaranya. Bibi diperlakukan seperti ibu,
paman seperti bapak. Demikian juga hubungan saudara adik kakak yang lebih tua bersikap
kepada yang lebih muda seperti orang tua kepada anak, dan yang lebih muda kepada yang lebih
tua seperti anak kepada orang tua. Yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati
yang tua. Begitulah seterusnya secara melebar, dengan cucu, sepupu dan keponakan.

Bentuk-bentuk silaturrahim

Silaturrahim secara kongkrit dapat diwujudkan dalam bentuk antara lain:


1. Berbuat baik (ihsan) terutama dengan memberikan bantuan materii untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Allah SWT meletakkan ihsan kepada dzawi al qurba nomor dua setelah
setelah ihsan kepada ibu bapak. Firman-Nya:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu, bapak, karib kerbat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”(QS. An Nisa 4:36)

Dzawi al qurba harus diprioritaskan untuk dibantu, dibandingkan dengan pihak-pihak lain (yatim, miskin,
ibnu sabil dan lain-lain) lebih-lebih lagi bila karib kerabat itu juga miskin atau yatim. Jangan sampai
terjadi, seseorang bersikap pemurah kepada orang lain tetapi kikir kepada karib kerabatnya sendiri.
Padahal bersedekah kepada karib kerabat bermakna ganda sedekah dan silaturahim, sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah saw:

“Sedekah kepada orang miskin bernilai satu yaitu sedekah. Sedangkan sedekah kepada karib kerabat
bernilai dua, yaitu sedekah dan silaturrahim” (HR. Tirmidzi)

Diriwayatkan oleh Anas ra bahwa Abu Thalhah, pemilik kebun korma terbanyak di antara sahabat-
sahabat Anshar, setelah mendengarkan firman Allah:”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai…”(QS. Ali Imran
3:92), bermaksud menyedakahkan kebun korma yang paling disayanginya, yang terkenal dengan nama
Bairaha. Kebun itu terletak di depan Masjid Nabi. Rasulullah saw sering masuk kebun itu dan minum air
sumurnya yang seger. Tatkala niat itu disampaikan kepada Rasulullah saw, beliau menyarankan untuk
diserahkan kepada karib kerabatnya.

Diriwayatkan dari Zainab ats Tsaqafiyah RA, isteri Abdullah ibn Mas’ud bahwa Rasulullah saw
bersabda:”Bersedekahlah kalian wahai para wanita walau dengan perhiasan kalian.”Zainab menyatakan
kepada suaminya:”Engkau laki-laki miskin. Rasulullah saw menyuruh kami bersedekah, tanyakanlah
kepada beliau apakah ada pahalanya kalau saya bersedekah kepada engkau. Kalau tidak saya berikan
kepada orang lain.” Abdullah menjawab:” Engkaulah yang menanyakannya sendiri kepada kepada
beliau.” Waktu Zainab pergi bertanya ke rumah Rasulullah saw, di depan pintu rumah beliau juga ada
seorang perempuan Anshar ingin menanyakan hal yang sama. Melalui Bilal, Rasululah saw menjawab:

“Kedua waita itu mendapatkan dua pahala: Pahala qaabah dan pahala sedekah.”(H. Muttafaqun Alaihi)

2. Membagi sebagian dari harta warisan kepada karib kerabat yang hadir waktu pembagian,
tetapi tidak mendapat bagian karena terhalang oleh ahli waris yang lebih berhak (mahjub).
Allah berfirman:
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik.”(QS. An Nisa 4:8)

Misalnya, paman tidak mendapatkan warisan karena ada anak laki-laki. Kalau pembagian
warisan paman hadir, maka dianjurkan untuk memberikan sekedarnya dari harta warisan
itu. Ini tentu dimaksudkan untuk menjaga atau mepererat hubungan persaudaraan antara
sesama karib kerabat.
3. Memelihara dan meningkatkan rasa kasih sayang sesama kerabat dengan sikap saling kenal
mengenal, hormat menghormati, bertukar salam, kunjung mengunjugi, surat menyurat,
bertukar hadiah, jenguk-menjenguk, bantu-membantu dan bekerja sama menyelenggarakan
walimahan dan lain-lain yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan persaudaraan.
Rasulullah saw bahkan pernah memerintahkan kepada para sahabat untuk mengetahui
sisilah (garis keturunan) untuk silaturrahim. Beliau bersabda:

“Pelajarilah silsilah keluarga yang akan menghubungkan tali rahimmu, karena sesungguhnya silaturrahim
itu melahirkan kasih sayang pada keuarga, kemudian mendapatkan harta dan panjang umur.”(HR.
Tirmidzi)

Manfaat silaturrahim

Disamping meningkatkan hubungan persaudaraan antara sesama karib kerabat, silaturrahim juga
memberi manfaat lain yang besar baik di dunia maupun di akhirat, antara lain:

1. Mendapatkan rahmat, nikmat dan ihsan dari Allah SWT


Dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw menggambarkan secara
metamorfosis dialog Allah SWT dengan rahim. Sabda beliau:

“Sesungguhnya setelah Allah Ta’ala selesai menciptakan makhluk-Nya rahim bangkit berkata:
Inilah tempat orang yang meminta perlindungan kepada-Mu dari memutuskan silaturrahim.”
Allah berfirman: Ya, apakah engkau sudah puas kalau aku menghubungkan orang yang
menghubungkanmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu.”Rahim menjawab:”tentu,”
Lalu Allah berfirman lagi:”Demikianlah bagimu.” Kemudian Rasulullah saw bersabda:”Bacalah
jika kalian menghendaki:

“ Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan
ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad
47:22:23) (H. Muttafaqun Alaihi)

Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda:


“Sang rahim tergantung di ‘Aasy, dia berkata, dia berkata:”Barang siapa yang menghubungkan
aku, maka Allah akan menghubungkannya, dan barang siapa yang memutuskan aku, maka Allah
akan memutuskannya.”(H. Muttafaqun Alaihi)
Menurut para ulama, hakikat dari silaturrahim adalah al athfu wa arrahmah (lemah lembut dan
kasih sayang). Dan shilatullah dengan hamba-hamba-Nya berarti athfu dan rahmah Allah kepada
hamba-hamba-Nya. Athfullah berarti ihsan dan nikmat-Nya. Derngan demikian orang yang
melakukan silaturrahim akan mendapatkan rahmat, nikmat, dan ihsan dari Allah SWT.
2. Masuk sorga dan jauh dari neraka
Secara khusus diebut oleh Rasulullah saw bahwa sesudah amalan pokok, silaturahim dapat
mengantarkan seseorang ke sorga dan menjauhkannya dari neraka:

Diriwayatkan oleh Abu Ayyub Khalid ibn Zaid al Anshari ra bahwa seseorang bertanya kepada
Rasululah saw:”Ya Rasulullah tunjukkan kepadaku amalan yang dapat memasukkan aku ke sorga
dan menjauhkan aku dari api neraka.”Nabi menjawab:”(yaitu apabia) engkau menyembah Allah
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, membayar zakat
dan melakukan silaturrahim.”(H. Muttafaqun Alaihi)
3. Lapang rezeki dan panjang umur
Secara lebih konkret Rasulullah saw menjanjikan rezeki yang lapang dan umur yang panjang bagi
orang-orang yang melakukan silaturrahim. Beliau bersabda:

“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya, dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia melakukan
Silaturrahim.”(H. Muttafaqun Alaihi)

Dilapangkan rezeki dapat dipahami secara obyektif. Karena salah satu modal untuk
mendapatkan rezeki adalah hubungan baik dengan sesama manusia. Peluang-peluang bisnis
misalnya akan terbuka dari banyaknya hubungan kita dengan masyarakat luas. Bahkan dalam
zaman sekarang kercayaan rekanan bisnis lebih diutamakan dari modal besar sekalipun. Banyak
orang berdagang tanpa modal kecuai kepercayaan. Logikanya, seorang yang tidak mampu
membina hubungan baik dengan karib kerabatnya sendiri, bagaimana bisa dipercaya dapat
berhubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas. Dari konteks inilah kita dapat memahami
hadits Rasulullah saw di atas.
Sedangkan panjang umur bisa dalam pengertian yang sebenarnya yaitu ditambah umurnya dari
yang sudah ditentukan; atau dalam pengertian simbolis menunjukkan umur yang mendapatkan
taufiq dari Allah sehingga berkah dan bermanfaat bagi umat manusia sehingga namanya abadi,
dikenang sampai waktu yang lama. Penulis lebih cenderung kepada kemungkinan yang kedua,
walau yang pertama bisa saja terjadi kalau Alah menghendaki, sebab sekalipun Alah telah
menetapkan bahwa ajal tidak bisa dimajumundurkan, tetapi bisa saja ajal itu ditetapkan oleh
Allah secara mutlak, tapi mengaitkannya dengan amalan tertentu. Misalkan Allah menertapkan,
kalau si Fulan melakukan ini umumnya sekian, kalau tidak umurnya sekian. Kalaupun diterima
dan dapat dibuktikan dengan jelas. Apabila seseorang mempunyai hubungan yang baik dengan
anak saudaranya maka sekalipun dia sudah meninggal shadaqah jariah atau hasil karya yang
tidak aja bermanfaat bagi sanak familinya tetapi juga bagi umat manusia secara luas. Imam
Syafa’I misalnya sudah berapa ratus tahun yang lalu meninggal dunia, tapi berkat jasa-jasanya,
sampai hari ini namanya masih abadi dalam hati kaum Musimin di seluruh dunia. Begitu juga
imam-imam dan para ulama yang lainnya. Tetapi kalau seseorang tidak mempunyai hubungan
yang baik semasa hidupnya dan tidak pula punya jasa yang patut dikenang, belum lama
meninggal dunia dia sudah dilupakan. Bahkan ada yang dikira sudah meninggal padahal masih
hidup.
Demikian bebertapa beberapa manfaat silaturrahim yang akan didapatkan baik di dunia maupun
akhirat nanti.

Memutuskansilaturrahim
Disamping mendorong untuk melakukan silaturahim, Islam juga mengingatkan secara tegas
bahkan mengancam dengan dosa yang besar orang-orang yang memutuskan siaturrahim
(gathiah arrahim). Berikut ini beberapa nash Alquran dan unnah yang mencela qathiah arrahim:

“ Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan
ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad
47:22:23)

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-
apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (silaturahim) dan mengadakan kerusakan di
bumi orang-orang itulah yang memperoeh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (jahanam).”(QS. Ar Rad 13:25)

“Tidak measuk sorga orang yang memutuskan.” “Menurut Sufyan dalam riwayatnya, yang
dimaksud dengan orang-orang memutuskan aku, maka Allah akan memutuskannya.”(H.
Muttafaqun Alaihi)
Di atas sudah dijelaskan bahwa silaturrahim dilaksanakan antaralain dengan berbuat ihsan,
seperti membagi sebagian harta waris kepada karib kerabat yang tidak mendapat bagian karena
haknya terhalang, dan membina hubungan persaudaraan dan kasih sayang dengan saling kenal
mengenal, kunjung-mengunjungi, toong menolong dan lain-lain sebagainya. Maka orang-orang
yang tidak melakukan ha-hal yang demikian bisa diartikan telah memutuskan hubungan
kekeluargaan atau memutuskan silaturrahim. Tentu tingkat pemutusan itu berbeda-beda, ada
yang masih dalam tingkat yang ringan, ada yang sedang dan ada yang sudah sampai ke tingkat
yang lebih berat. Ringan tingkat pemutusan silaturrahim tergantung kepada tingkat ketidak
pedulian seseorang dengan karib kerabatnya. Yang lebih parah lagi. Kalau qathiah arrahim itu
sampai ke tingkat tidak saling tegur sapa bahkan permusuhan. Kita kemukakan dua ilustras
contoh qathiah arrahim; yang pertama diserngaja dan yang kedua tidak sengaja (haya karena
inat baik semata). Pertama bila seorang janda dendam dengan mantan uaminya yang
menceraikannya an meninggalkan anaknya dengan tidak bertanggungjawab ama sekali, maka
setelah anak itu dibesarkan dan dididiknya sehingga menjadi orang sukses dia melarang anaknya
membantu bapaknya bahkan melarangnya berhubungan sama sekali. Si janda tadi telah
meakukan tindakan fata lakibat dendamnya. Dia harus menyadari antara suami isteri boleh
berpisah tapi antara anak dan orang tua tidak ada istilah pisah. Kedua eorang tua angkat pada
waktu anak-anak dewasa ia tidak memberitahukan siapa orang tua kandungnya, tindakan ini
menghalangi anak untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Jangankan berbuat baik
tahupun tidak siapa orang tuanya. Tindakan ini pun tetap tercela walaupun dengan maksud
baik yaitu tidak ingin menjadikan anak kecewa setelah dia tahu siapa orang tua kandungnya
yang sebenarnya. Demikianlah bagaimana akhlaq seorang muslim denmgan karib kerabatnya
yang dapat kita simpulkan dalam satu kalimat yaitu silaturahim.

Anda mungkin juga menyukai