ORANG TUA
1.
ANAK
TERHADAP
Jadi, pada prinsipnya, yang harus kita sadari ialah bahwa segala
pengorbanan orang tua kita sama sekali tidak pernah dapat diganti dan
diimbangi dengan berapapun materi yang kita miliki. Kita tidak dapat
membalas pengorbanannya sampai kapanpun. Sebaliknya, orang tua kita
merasa cukup dirinya terbalas jika anak berbakti kepadanya dan hidup di
jalan yang benar.
2.
berdiri untuk berjalan lewat depan orang tuanya, maka hendaklah ia tidak
berjalan dengan membusungkan dada dan dengan derap langkah
kesombongan. Walaupun posisi anak lebih tinggi daripada orang tuanya,
anak tetap harus mengakui orang tuanya, ia tidak boleh merasa malu
dengan tidak mengakuinya.
Jika dalam penegakan keadilan atau hukum yang benar, di sini tak
dipandang dari sudut martabat dan kehormatan orang tua. Karena dalam
menegakkan keadilan dan kebenaran, tanggung jawab utama kita adalah
kepada Allah SWT. Dalam hal bertanggung jawab kepada Allah ini, kita
wajib mendahulukan hak Allah daripada hak manusia.
Dengan kata lain, bagaimanapun kondisi orang tua kita, kita wajib
menjunjung tinggi martabatnya di mana dan kapan pun kita berada.
5.
Mengutamakan
Kepentingan
Kepentingan Masyarakat
Orang
Tua
daripada
Kepentingan
Ibu
daripada
Kepentingan
mengajak anak pindah ke agamanya yang tidak benar. Ayat ini pun
menegaskan agar anak tetap berpegang teguh pada Islam dan tidak
mengikuti ajaran orang tuanya yang sesat. Anak diperintah oleh Allah
mengambil garis tegas antara perbedaan keyakinan agamanya dengan
orang tuanya dan tetap menjalankan kewajiban menghormati mereka.
Maksudnya, anak harus menjauhi agama orang tuanya yang sesat tanpa
berlaku kasar dan menghina mereka, tetapi tetap menghormati mereka.
8.
orang tua dalam kesesatan. Anak wajib mengajak orang tuanya ke jalan
tauhid, tapi juga haram memaksakan agama yang ditolak oleh kedua
orangtuanya. Jadi, kewajiban anak hanya cukup memberi penjelasan dan
menyampaikan peringatan serta ancaman Allah SWT, sedangkan masalah
orang tua mau terima atau tidak bukanlah tanggung jawab anak.
9.
kepada
keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (QS. Al-Israa: 23)
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa dalam berdialog dengan orang tuanya,
anak tidak saja menundukkan diri, tapi juga harus merendahkan suara
dan memilih kata-kata yang sopan serta halus. Anak harus dapat
mengukur tinggi rendahnya suara yang akan ia ucapkan di hadapan orang
tuanya. Anak tidak diperkenankan bersuara lebih lantang daripada suara
orang tua, apalagi meneriaki dari jauh. Jika anak ingin berbicara dengan
orang tuanya, ia harus mendekat dan dengan suara merendah ia
mengutarakan isi hatinya. Anak tidak diperkenankan menjawab panggilan
orang tuanya dari jauh dengan suara yang keras dan lantang. Jika anak
berada di tempat yang jauh ketika mendengar panggilan orang tuanya,
maka hendaknya ia datang mendekat dan menjawab panggilan tersebut
dengan suara merendah. Inilah yang disebut sebagai ucapan yang lemah
lembut dan merendah terhadap orang tua.
Jadi, dalam keadaan apapun, anak harus tetap dengan adab dan
kesopanan dalam berkomunikasi atau bersikap dengan orang tuanya.
12.
15.
17.
18.
hidupnya; dan inilah cara yang dibenarkan bagi anak untuk tetap berbakti
kepada ibu bapaknya yang telah meninggal, yaitu berdoa atau
bertingkah laku yang shalih dalam kehidupannya sehari-sehari. Karena
tingkah laku anak shalih dapat memberikan keuntungan kepada dua
pihak. Pertama, untuk dirinya sendiri; dan kedua, untuk orang tuanya
yang sudah meninggal.
Jadi, orang tua yang mendidik anaknya menjadi orang shalih dapat
menambah amal shalih orang tua itu sendiri, sehingga walaupun orang
tua sudah meninggal, sementara anaknya terus beramal shalih maka
orang tua bersangkutan akan tetap memperoleh bagian pahala dari amal
shalih anaknya
21.
22.
Diri kamu dan hartamu adalah milik bapakmu. (HR. Thabarani dan Ibnu
Majah)
Orang tua kita terkadang masih memiliki kerabat yang masih hidup,
misalnya: paman, bibi, keponakan, sepupu, atau anggota kerabat yang
ikatan darahnya sedikit jauh dengan orang tua kita. Mungkin di antara
para kerabat itu, ada yang kepentingan hidupnya ditanggung orang tua
kita karena kemiskinannya.
Hadits di atas dengan tegas memberikan pedoman kepada anak tentang
kewajibannya membantu ayah atau ibunya yang perlu mendapat bantuan.
Jika ternyata anak lelaki tidak mau membantu, maka ayah atau ibunya
boleh mengambilnya dengan paksa dari sebagian harta
anaknya itu untuk diperbantukan kepada kerabat orang tua yang
membutuhkan bantuan itu.
23.
24.
25.
26.
27.
Berkata
Ibrahim:
Semoga
keselamatan
dilimpahkan
kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada
Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku
akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru
selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudahmudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada
Tuhanku. (QS. Maryam: 47-48)
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa ancaman yang diberikan ayah Ibrahim
kepadanya disambut oleh Ibrahim dengan sikap lemah lembut, bukan
dendam dan kemarahan atau caci maki dan kebencian. Inilah ketinggian
dan kehalusan sikap Ibrahim terhadap ayahnya yang berbeda keyakinan
dengan dirinya.
Perbuatan anak mendendam kepada orang tuanya, sekalipun betapa
besar kesalahan orang tua kepada anaknya, tetap merupakan perbuatan
terlarang menurut Islam. Mendendam kepada ayah dan ibu atau kepada
salah satunya termasuk dosa besar, sebab hal itu termasuk perbuatan
durhaka terhadap orang tua.
28.
untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang
musuh maka fardhu ain) dgn meninggalkan orang tua dalam keadaan
menangis, maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
berkata, Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau
telah membuat keduanya menangis [Hadits Riwayat Abu Dawud dan
Nasai]. Dalam riwayat lain dikatakan : Berbaktilah kpd kedua orang
tuamu [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Ada riwayat lain yang cukup panjang berkaitan dengan hal tersebut
diatas. Dari Jabir Ra meriwayatkan, ada laki-laki yang datang menemui
Nabi Saw dan melapor, dia berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya
ayahku ingin mengambil hartaku ...." "Pergilah Kau membawa ayahmu
kesini", perintah beliau.
Bersamaan dengan itu Malaikat Jibril turun menyampaikan salam dan
pesan Allah kepada beliau. Jibril berkata: "Ya, Muhammad, Allah 'Azza wa
Jalla mengucapkan salam kepadamu, dan berpesan kepadamu, kalau
orangtua itu datang, engkau harus menanyakan apa-apa yang dikatakan
dalam hatinya dan tidak didengarkan oleh teliganya.
Ketika orang tua itu tiba, maka nabi pun bertanya kepadanya: "Mengapa
anakmu mengadukanmu? Apakah benar engkau ingin mengambil
uangnya?" Lelaki tua itu menjawab: "Tanyakan saja kepadanya, ya
Rasulullah, bukankah saya menafkahkan uang itu untuk beberapa orang
ammati (saudara ayahnya) atau khalati (saudara ibu) nya, atau untuk
keperluan saya sendiri?" Rasulullah bersabda lagi: "Lupakanlah hal itu"
"Sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang engkau katakan di dalam
hatimu dan tak pernah didengar oleh telingamu!" Maka wajah keriput
lelaki itu tiba-tiba menjadi cerah dan tampak bahagia, dia berkata: "Demi
Allah, ya Rasulullah, dengan ini Allah Swt berkenan menambah kuat
keimananku dengan ke-Rasul-anmu. Memang saya pernah menangisi
nasib malangku dan kedua telingaku tak pernah mendengarnya ..."
Nabi mendesak: "Katakanlah, aku ingin mendengarnya." Orang tua itu
berkata dengan sedih dan airmata yang berlinang: "Saya mengatakan
KEDUA
Yaitu berkata kpd keduanya dgn perkataan yg lemah lembut. Harus
dibedakan berbicara dgn kedua orang tua dan berbicara dgn anak, teman
atau dgn yg lain. Berbicara dgn perkataan yg mulia kpd kedua orang tua,
tdk boleh mengucapkan ah apalagi mencemooh dan mencaci maki atau
melaknat keduanya krn ini mrpk dosa besar dan bentuk kedurhakaan kpd
orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya udzubillah.
Kita tdk boleh berkata kasar kpd orang tua kita, meskipun kedua berbuat
jahat kpd kita. Atau ada hak kita yg ditahan oleh orang tua atau orang
tua memukul kita atau kedua belum memenuhi apa yg kita minta (misal
biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tdk boleh durhaka
kpd keduanya.
KETIGA
Tawadlu (rendah hati). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih
sukses atau mempunyai jabatan di dunia, krn sewaktu lahir kita berada
dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah
yg menolong dgn memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Apabila kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yg kita
anggap ringan dan merendahkan kita yg mungkin tdk sesuai dgn
kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yg haram, wajib
bagi kita untuk tetap taat kpd keduanya. Lakukan dgn senang hati
krn hal tersebut tdk akan menurunkan derajat kita, krn yg
menyuruh ialah orang tua kita sendiri. Hal itu mrpk kesempatan
bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.
KEEMPAT
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kpd kedua orang tua. Semua harta
kita ialah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Taala surat AlBaqarah ayat 215. Artinya : "Mereka bertanya tentang apa yang
mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu
nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu
buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya"
Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia
menafkahkan yg pertama ialah kpd kedua orang tuanya. Kedua orang tua
memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala
dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan
orang-orang yg dalam perjalanan. Beruntuk baik yg pertama ialah kpd ibu
kemudian bapak dan yg lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam berikut.
pernikahan itu bukan hanya ikatan 2 orang anak manusia, tetapi mengikat 2 keluarga
besar.
Jadi pernikahan itu merupakan risalah agung membentuk ukhuwah yang luas yang
dasarnya saling kenal (taaruf), saling memahami (tafahum), dan saling menolong
(tafakul) antara suami-istri, keluarga suami dan keluarga istri. Bila masing-masing
pihak ridha, maka nilai pernikahan yang sakinah serta diridhai orang tua akan
terwujud.
Sebelum menikah, seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai
kewajiban yang besar kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibundanya. Bila
seorang anak laki-laki yang telah menikah, maka kewajiban berbakti kepada ibu ini
tidak hilang, jadi suami adalah hak ibunda.
Bagaimana dengan anak perempuan yang telah menikah? Nah, bagi anak
perempuan yang telah menikah, maka haknya suami. Jadi istri berkewajiban berbakti
pada suami. Karena setelah Ijab kabul, berpindahlah hak dan kewajiban seorang
ayah kepada suami dari anak wanitanya. Begitu besar kewajiban berbakti pada
suami, sampai rasul pernah bersabda, Bila boleh sesama manusia mengabdi
(menyembah), maka aku akan menyuruh seorang istri mengabdi pada suaminya.
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah
dan bertanya, Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan
kebaikanku? Jawab Rasulullah, Ibumu. Ia bertanya lagi, Lalu siapa? Jawabnya,
Ibumu. Ia bertanya lagi, Lalu siapa? Jawabnya, Ibumu. Ia bertanya lagi, Lalu
siapa? Jawabnya, Ayahmu. (Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah)
Ada seseorang yang datang, disebutkan namanya Muawiyah bin Haydah r.a.,
bertanya: Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?
Jawab Rasulullah saw: Ibumu. Dengan diulang tiga kali pertanyaan dan jawaban
ini.
Pengulangan kata ibu sampai tiga kali menunjukkan bahwa ibu lebih berhak atas
anaknya dengan bagian yang lebih lengkap, seperti al-bir (kebajikan), ihsan
(pelayanan). Ibnu Al-Baththal mengatakan:
Bahwa ibu memiliki tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya. Karena kata ayah
dalam hadits disebutkan sekali sedangkan kata ibu diulang sampai tiga kali. Hal ini
bisa dipahami dari kerepotan ketika hamil, melahirkan, menyusui. Tiga hal ini hanya
bisa dikerjakan oleh ibu, dengan berbagai penderitaannya, kemudian ayah
menyertainya dalam tarbiyah, pembinaan, dan pengasuhan.
Hal itu diisyaratkan pula dalam firman Allah swt., Dan kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua
tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu. (Luqman: 14)
Allah swt. menyamakan keduanya dalam berwasiat, namun mengkhususkan ibu
dengan tiga hal yang telah disebutkan di atas.
Imam Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad, demikian juga
Ibnu Majah, Al Hakim, dan menshahihkannya dari Al-Miqdam bin Madi Kariba,
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Sesunguhnya Allah swt. telah berwasiat kepada kalian tentang ibu kalian, kemudian
berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian
berwasiat tentang ayah kalian, kemudian berwasiat tentang kerabat dari yang
terdekat.
Hal ini memberikan kesan untuk memprioritaskan kerabat yang didekatkan dari sisi
kedua orang tua daripada yang didekatkan dengan satu sisi saja. Memprioritaskan
kerabat yang ada hubungan mahram daripada yang tidak ada hubungan mahram,
kemudian hubungan pernikahan. Ibnu Baththal menunjukkan bahwa urutan itu tidak
memungkinkan memberikan kebaikan sekaligus kepada keseluruhan kerabat.
Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang ibu yang lebih diprioritaskan dalam
berbuat kebaikan dari pada ayah. Hal ini dikuatkan oleh hadits Imam Ahmad, AnNasai, Al-Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah r.a. berkata:
Aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw., siapakah manusia yang paling berhak
atas seorang wanita? Jawabnya, Suaminya. Kalau atas laki-laki? Jawabnya,
Ibunya.
Demikian juga yang diriwayatkan Al-Hakim dan Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari
ayahnya dari kakeknya, bahwa ada seorang wanita yang bertanya:
Ya Rasulallah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini, perutku pernah menjadi
tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, pangkuanku pernah menjadi
pelipurnya. Dan sesungguhnya ayahnya menceraikanku, dan hendak mencabutnya
dariku. Rasulullah saw. bersabda, Kamu lebih berhak daripada ayahnya, selama
kamu belum menikah.
Maksudnya menikah dengan lelaki lain, bukan ayahnya, maka wanita itu yang
meneruskan pengasuhannya, karena ialah yang lebih spesifik dengan anaknya, lebih
berhak baginya karena kekhususannya ketika hamil, melahirkan dan menyusui.