Anda di halaman 1dari 132

SYMPOSIUM

Symposium and Workshop: Triage and Initial Stabilization of


Emergency Trauma
Pendahuluan
Definisi
Triase adalah sistem yang memastikan bahwa pasien yang mengalami trauma mendapatkan
perawatan serta dirujuk sesuai kriteria keparahan dari cedera yang diderita. Kriteria untuk triase
trauma didasarkan pada parameter fisiologis, cedera anatomi, dan mekanisme yang mendasari
cedera. Triase digunakan dalam pengaturan pra-rumah sakit dan di rumah sakit.
Stabilisasi awal biasa disebut juga survey primer adalah tindakan awal untuk menyelamatkan korban
trauma dari kondisi yang mengancam jiwa.

Epidemiologi
Kecelakaan lalu lintas merupakah penyebab tertinggi terjadinya trauma. Kecelakaan lalu lintas jalan
membunuh 1,2 juta orang setiap tahun di seluruh dunia, paling banyak di negara berkembang,
termasuk Indonesia. Trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga menjadi penyumbang terbesar ketiga
beban penyakit global pada tahun 2020. Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, trauma kecelakaan
lalu lintas dapat menyebabkan kematian pada semua kelompok usia.

Klasifikasi
Pada triase, terdapat beberapa situasi yang dikategorikan berdasarkan korbannya, diantaranya:

a. Beberapa Korban
Insiden di mana jumlah pasien dan tingkat keparahan cedera tidak melebihi kemampuan
fasilitas untuk memberikan perawatan. Dalam kasus seperti itu, pasien dengan masalah yang
mengancam jiwa dan pasien yang mengalami cedera multi-sistem dirawat terlebih dahulu.
b. Korban Massal
Dalam peristiwa korban massal, jumlah pasien dan tingkat keparahan cedera mereka
melebihi kemampuan fasilitas dan staf. Dalam kasus seperti itu, pasien yang memiliki
peluang terbesar untuk bertahan hidup dan membutuhkan pengeluaran waktu, peralatan,
persediaan, dan yang paling sedikit lah yang akan diutamakan untuk diberi perwatan
terlebih dahulu. Triase jenis ini biasa didapatkan pada saat kondisi bencana.

Inti
Alur Tatalaksana
Terdapat beberapa algoritma tata laksana yang dapat dilakukan pada triage, tergantung dari situasi:

• Kondisi Bencana
Pada kondisi bencana, biasa dilakukan triase berdasarkan algoritme START dengan
memprioritaskan pasien yang memiliki trauma lebih sedikit atau ringan.

Gambar 1. algoritma SAVE5


Selain algoritma di atas, dapat dilakukan algoritma SAVE (Secondary Assessment Victim
Endpoint) digunakan untuk menentukan peluang bertahan hidup dan klasifikasi pasien
Pasien-pasien yang terluka, yang tidak dapat bertahan hidup dan tidak dapat dirawat di
lokasi bencana, tetapi dapat diselamatkan jika mereka mencapai rumah sakit, akan ditandai
dengan label merah. Pasien-pasien tersebut, yang mengambil paling banyak dari intervensi
terapeutik yang tersedia, ditandai dengan label kuning. Pasien-pasien yang terluka, yang
dapat bertahan hidup bahkan tanpa intervensi medis, ditandai dengan label hijau, dan
akhirnya, orang yang meninggal diberi label dengan warna hitam.

Gambar 2. (a) kriteria triase SAVE; (b) kriteria MESS5

• Saat di Rumah Sakit


Pasien trauma biasa masuk IGD untuk mendapatkan penanganan awal. Sebelumnya, juga
harus dilakukan triase. Terdapat beberapa level yang membedakan keparahan dan juga
tata laksana yang harus dilakukan. Canadian Triage and Acuitu Scale (CTAS), biasa
digunakan sebagai algoritma triase saat pasien sudah di IGD.

Gambar 3. Triase berdasarkan CTAS6


Pasien yang sudah masuk level 1 harus diberi intervensi agresif dan juga monitoring secara
berkala. Pasien yang memiliki trauma yang depat menyebabkan kecacatan atau gangguan
fingsi tubuh biasa dilakukan penilaian CTAS. Pengangan pasien level II harus segera dalam
waktu <15 menit. Level III juga dapat terjadi dan ditanuai dengan adanya evaluasi
membunuh penyakit yang membutuhkan intervensi darurat. Level IV dilakukan pada lanisa
<60 tahun dan harus dilakukan resume tiap 5 tahun. Level V dilaklukan rumple leed dalam
waktui <12 menit dan dilaukan resume tiap 120 menit.
• Trauma
Triase pada trauma ditujukan untuk menentukan prioritas penanganan dan transportasi
pasien berdasarkan derajat keparahan. Terdapat beberapa tahap yaitu:
a. Triase Primer
Dilakukan di lokasi kejadian. Terdapat beberapa jenis skoring yang dapat digunakan
untuk menilai keparahan suatu trauma. Beberapa skoring tersebut diantaranya:
a. Abbre-viated Injury Scale (AIS)

Gambar 4. Scoring AIS1


Digit pada skoring AIS menjelaskan tingkat keparahan dan potensi risiko kematian untuk
cedera yang terjadi pada regio tubuh tertentu. Digir 1 menunjukkan keparahan minimal
sampai digit 6 menunjukkan keparahan yang mungkin fatal.
b. ABC Score
Skoring ini membutuhkan empat data, diantaranya adanya mekanisme trauma tembus,
SBP <90 mm Hg, HR > 120 bpm, dan FAST positif. Setiap variabel menerima skor 1,
untuk skor maksimum 4. Kebutuhan akan transfusi masif didefinisikan dengan skor 2
atau lebih besar.
c. Trauma Associated Severe Hemorrhage (TASH)

Gambar 5. Scoring TASH1


Sistem skoring dihitung dari tujuh variabel yaitu tekanan darah sistolik, hemoglobin,
FAST, adanya fraktur tulang panjang atau panggul, detak jantung, kelebihan basa, dan
jenis kelamin. Variabel diberi bobot dan skor dihitung dengan menambahkan
komponen. Kemungkinan 50% kebutuhan transfusi masif diprediksi dengan skor 16, dan
skor lebih besar dari 27 adalah prediksi 100% kebutuhan transfusi masif. Triase primer
dapat dilakukan dengan mengecek ABCD (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure).
AIRWAY
Waspada fraktur servikal apabila ada penurunan kesadaran dan
Memeriksa suara nafas dengan look, listen, and feel
nyeri leher

BREATHING

Identifikasi Respiratory Rate (RR), gerakan dada simetris atau tidak, dan suara nafas

CIRCULATION

Identifikasi kesadaran, nadi, perdarahan internal maupun eksternal, serta warna kulit

DISABILITY
Memeriksa skala kesadaran antara lain dengan metode AVPU Memeriksa adakah lateralisasi dengan melihat ukuran pupil dan
(Alert, Verbal, Pain, Unresponsive) atau GCS (Glasgow Coma Scale) reflek cahaya

EXPOSURE

Pakaian pasien dibuka, dengan tetap menjaga pasien dari keadaan hipotermi

A. Airway
- Pada pasien trauma, harus dinilai jalan napas dan kecukupan ventilasi pasien.
Pengukuran dapat dilakukan melalui oksimetri nadi dan pengukuran end-tidal CO2
- Semua tindakan untuk memperbaiki jalan napas berpotensi memerlukan gerakan leher.
Maka, pembatasan gerakan tulang belakang leher diperlukan pada semua pasien
trauma yang berisiko cedera tulang belakang sampai telah dikecualikan oleh tambahan
radiografi yang sesuai dan evaluasi klinis.
- Tahapan awal yaitu memposisikan (yaitu, chin-lift atau manuver jaw thrust) dan dengan
menggunakan teknik jalan napas awal (yaitu, jalan napas nasofaring). Pasien dapat juga
dimasukkan tabung endotrakeal dengan tetap menahan posisi leher.
- Jika tabung endotrakeal tidak dapat dimasukkan dan status pernapasan pasien dalam
bahaya, dapat mencoba ventilasi melalui jalan napas masker laring atau perangkat jalan
napas ekstraglotis lainnya sebagai jembatan ke jalan napas definitif. Jika tindakan di
atas gagal, maka harus dilakukan krikotiroidotomi.
- Pada pasien yang memerlukan intubasi, maka bisa dilakukan penilaian LEMON
L: Look, yaitu melihat apakah ada karakteristik yang dapat mempersulit dilakukannya
intubasi
E: Evaluate the 3-3-2 rules, yaitu memungkinkan keselarasan sumbu faring, laring, dan
oral dan oleh karena itu intubasi sederhana, dengan memperhatikan:
• Jarak antara gigi seri pasien minimal 3 jari (3)
• Jarak antara tulang hyoid dan dagu minimal 3 jari (3)
• Jarak antara takik tiroid dan dasar mulut harus minimal 2 jari (2)
M: Mallampati, yaitu memastikan hypopharynx tampak
O: Obstruction, yaitu memperhatikan apakah ada tanda-tanda obstruksi yang dapat
mempersulit
N: Neck mobility, yaitu melihat apakah pasien dapat menggerakkan leher. Pada pasien
yang mengalami trauma servikal akan kesulitan, sehingga menghambat intubasi

Gambar 6. Alur Asesmen Airway1


B. Breathing
- Pemberian oksigen paling baik melalui reservoir face mask dengan laju aliran minimal
10 L/menit. Metode lain seperti kateter hidung atau kanula hidung dapat meningkatkan
konsentrasi oksigen inspirasi.
C. Circulation
- Shock hemorrhage merupakan salah satu yang sering terjadi pada pasien trauma yang
kehilangan banyak darah
- Tanda-tanda shock hemorrhage harus segera ditemukan dan ditindak lanjuti
- Manajemen shock hemorrhage diantaranya dengan menghentikan perdarahan,
melakukan resusitasi dengan kristaloid, dan transfuse apabila diperlukan
D. Disability
- Evaluasi neurologis yang cepat menetapkan tingkat kesadaran pasien dan ukuran serta
reaksi pupil; mengidentifikasi adanya tanda-tanda lateralisasi; dan menentukan tingkat
cedera tulang belakang, jika ada.
- GCS adalah metode yang cepat, sederhana, dan objektif untuk menentukan tingkat
kesadaran.
- Tingkat kesadaran yang berubah menunjukkan kebutuhan untuk segera mengevaluasi
kembali status oksigenasi, ventilasi, dan perfusi pasien.
E. Exposure
- Setelah menyelesaikan penilaian ABCD, hangatkan pasien dengan selimut atau alat
penghangat eksternal untuk mencegahnya terjadinya hipotermia di area yang
menerima trauma. Hangatkan cairan infus sebelum memasukkannya serta pertahankan
lingkungan yang hangat.

Tahapan stabilisasi awal pada trauma diantaranya dapat dilakukan resusitasi. Perdarahan adalah
penyebab utama kematian yang dapat dicegah setelah cedera. Oleh karena itu, mengidentifikasi,
mengontrol perdarahan dengan cepat, dan memulai resusitasi merupakan langkah penting dalam
menilai dan mengelola pasien tersebut. Penilaian yang cepat dan akurat dari status hemodinamik
pasien cedera sangat penting. Elemen observasi klinis yang menghasilkan informasi penting dalam
hitungan detik adalah tingkat kesadaran, perfusi kulit, dan nadi.

Kontrol perdarahan definitif sangat penting, bersama dengan penggantian volume intravaskular
yang tepat. Sebuah bolus 1 L larutan isotonik mungkin diperlukan untuk mencapai respon yang tepat
pada pasien dewasa. Jika pasien tidak responsif terhadap terapi kristaloid awal, dia harus menerima
transfusi darah. Cairan diberikan dengan bijaksana, karena resusitasi agresif sebelum mengontrol
perdarahan telah terbukti meningkatkan mortalitas dan morbiditas.

Pasien trauma yang terluka parah berisiko mengalami koagulopati, yang selanjutnya dapat dipicu
oleh tindakan resusitasi. Satu studi yang mengevaluasi pasien trauma yang menerima cairan di UGD
menemukan bahwa resusitasi kristaloid lebih dari 1,5 L secara independen meningkatkan rasio
kemungkinan kematian. Beberapa pasien yang terluka parah dengan koagulopati, yang telah
menyebabkan beberapa yurisdiksi untuk memberikan asam traneksamat terlebih dahulu pada
pasien yang terluka parah.

Penutup
Indikasi Rujukan
Terdapat alur yang dapat diikuti saat melakukan triase awal di lapangan. Terdapat beberapa tahap
yang harus diperhatikan:

1. Tahap 1:
Pada tahap ini, korban trauma dievaluasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadarannya.
Beberapa variabel yang harus diperhatikan adalah GCS, tekanan darah sistolik, dan frekuensi
pernapasannya. Apabila kurang dari kriteria yang telah ditentukan, maka harus segera
dibawa ke fasilitas kesehatan yang tingkatannya paling tinggi untuk mendapatkan perawatan
lebih lanjut.
2. Tahap 2:
Pada tahap ini, korban dievaluasi cedera berdasarkan anatominya. Beberapa hal yang
diperhatikan, diantaranya:
• Semua luka tembus pada kepala, leher, torso, dan ekstremitas proksimal siku atau lutut
• deformitas dinding thorax
• Dua atau lebih fraktur tulang panjang proksimal
• Ekstremitas hancur, atau tidak ada denyut nadi
• Amputasi proksimal pergelangan tangan atau pergelangan kaki
• Fraktur panggul
• Fraktur tengkorak terbuka atau tertekan
• Kelumpuhan

Apabila terdapat cedera seperti yang disebut di atas, maka harus segera dibawa ke fasilitas
kesehatan yang tingkatannya paling tinggi untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.

3. Tahap 3:
Evaluasi mekanisme trauma dan dampak yang disebabkan. Misal pada trauma akibat
tabrakan ataupun jatuh dari ketinggian, maka dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan
tingkatan yang tinggi, namun tidak harus yang paling tinggi atau ke pusat trauma.
4. Tahap 4:
Evaluasi korban khusus yang butuh perhatian lebih, seperti geriatri, anak-anak, ibu hamil,
dan korban luka bakar. Maka korban-korban tersebut dapat dibawa ke pusat trauma atau
fasilitas kesehatan paling tinggi, namun diutamakan dibawa ke fasilitas kesehatan yang
dapat memberi penanganan awal dengan cepat.
Gambar 7. Alur Triase dan Rujukan 1
Take-home message
- Trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga menjadi penyumbang terbesar ketiga beban penyakit
global pada tahun 2020, serta dapat menyebabkan kematian.
- Triase dan stabilisasi awal harus segera dilakukan pada pasien trauma.
- Triase adalah sistem yang memastikan bahwa pasien yang mengalami trauma mendapatkan
perawatan serta dirujuk sesuai kriteria keparahan dari cedera yang diderita.
- Pada triase, dilakukan beberapa tahapan asesmen untuk mengetahui tempat rujukan bagi
korban sesuai dengan keparahan trauma
- Stabilisasi awal biasa disebut juga survey primer adalah tindakan awal untuk menyelamatkan
korban trauma dari kondisi yang mengancam jiwa.
- Triase primer dilakukan dengan melakukan tahapan ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure)
- Stabilisasi awal pada pasien trauma yang utama dilakukan yaitu kontrol perdarahan dan
pencegahan terjadinya koagulopati

Daftar singkatan
ABCDE : Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure

Referensi
1. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston Textbook of Surgery. 21st ed. St.
Louis: Elsevier; 2022.
2. World Health Organization (2004). Guidelines for essential trauma care. [online] Geneva:
World Health Organization. Available at:
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/42565/9241546409_eng.pdf;jsessionid=A
67162EC30B130D5ACDD54DD22B1C8BE?sequence=1 [Accessed 10 March 2022].
3. World Health Organization (2006). Helmets : a road safety manual for decision-makers and
practitioners. [online] Geneva: World Health Organization. Available at:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/43261/9241562994_ind.pdf [Accessed 10
March 2022].
4. American College of Surgeon. 2018. ATLS Advanced Trauma Life Support Ed 10th USA: The
Committee on Trauma.
5. Bazyar J, Farrokhi M, Khankeh H. Triage systems in mass casualty incidents and disasters: A
review study with a worldwide approach. Open Access Macedonian Journal of Medical
Sciences. 2019 Feb 15;7(3):482–94.
6. The Canadian Triage and Acuity Scale: Education Manual Module 1.
Immediate Recognition and Emergency Management of Traumatic Brain Injury
Definisi
Traumatic Brain Injury (TBI) atau cedera otak merupakan gangguan fungsi atau adanya patologi
pada otak yang disebabkan oleh pengaruh eksternal. Perubahan fungsi otak dapat dilihat dari tanda-tanda
klinis berupa 1) Kehilangan atau penurunan kesadaran, 2) Kehilangan memori sebelum atau sesudah
peristiwa, 3) Defisit neurologis fokal seperti kelemahan otot, kehilangan penglihatan, perubahan bicara, 4)
Perubahan kondisi mental seperti disorientasi, proses berpikir lambat atau sulit konsentrasi1,2.

Epidemiologi
Berdasarkan literatur yang ada, diperkirakan terdapat 2,87 juta kasus TBI terjadi di Amerika Serikat
(AS) pada tahun 2014 dengan lebih dari 837.000 kasus terjadi pada anak-anak. Diperkirakan di AS terdapat
13,5 juta orang mengalami kecacatan akibat cedera otak dan setiap tahun terdapat 80.000-90.000 orang
mengalami kecacatan fisik akibat cedera otak dalam kurun waktu yang lama1.
Secara umum, kecelakaan lalu lintas (KLL) dan jatuh merupakan dua penyebab utama TBI.
Sebelumnya, KLL merupakan penyebab tersering yang menyebabkan TBI. Dalam beberapa tahun terakhir,
penurunan jumlah kecelakaan lalu lintas telah menyebabkan transisi dalam proporsi relatif KLL sebagai
penyebab TBI di negara-negara berpenghasilan tinggi. Sehingga berdasarkan data saat ini, jatuh merupakan
penyebab terbanyak terjadinya TBI di berbagai negara3–5.
Insiden TBI yang dilaporkan sangatlah bervariasi. Di Eropa sendiri, diperkirakan terdapat 47 - 694
kasus baru per 100.000 orang dalam satu tahun. Berdasarkan data, rentang usia tertinggi dalam kasus TBI
terjadi pada masyarakat usia dewasa tua (≥75 tahun; 2.232 per 100.000 penduduk), kemudian disusul
rentang usia anak-anak (0 - 4 tahun; 1591 per 100.000), dan dewasa muda (15 - 24 tahun; 1081 per
100.000). Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki memiliki presentase 78,8% dari semua kecelakaan TBI dan
perempuan sebanyak 21,2%, serta insidensi pada laki-laki (959 per 100.000) dan perempuan sebanyak (811
per 100.000). Banyaknya presentase TBI pada laki-laki ini disebabkan salah satunya karena perilaku lebih
condong mengambil resiko dan banyak melakukan aktivitas di luar1,6,7.
Tingkat kematian TBI berkisar 30 per 100.000, atau diperkirakan terdapat 50.000 kematian setiap
tahun. Dengan bertambahnya usia, maka tingkat kematian kasus TBI akan meningkat. Berdasarkan meta-
analisis kasus TBI bahwa pada populasi dengan usia di atas 60 tahun menunjukkan bahwa tingkat mortalitas
mencapai 57%. Hal ini juga didukung dengan adanya data akta kematian, bahwa proporsi kematian akibat
TBI pada orang berusia 65 tahun ke atas sebesar 55% pada laki-laki, dan 68% pada perempuan1,4.

Patofisologi
Secara umum TBI disebabkan adanya gaya mekanis yang mengenai kepala sehingga menyebabkan
adanya gangguan fungsi neurologis dan patologi di dalam otak. TBI sendiri dapat terjadi akibat rotasi,
akselerasi/deselerasi otak, blast wave, dan adanya kavitasi fokal. Manifestasi klinis TBI sangat bervariasi, hal
ini disebabkan beberapa faktor yang berkontribusi antara lain: besarnya gaya mekanik, lokasi benturan, dan
mekanisme cedera. Selain itu, dalam suatu studi disebutkan bahwa genetik dari seseorang juga
berpengaruh dalam manifestasi klinis serta prognosisnya8,9.

Gambar 1. Skema patofisiologi TBI10

Akibat trauma mekanis yang terjadi baik berupa akselerasi dan/atau deselerasi akan menyebabkan
kerusakan pada otak akibat regangan, distorsi jaringan, dan putusnya akson. Kemudian pada tingkat sel,
trauma mekanik akan menyebabkan rupturnya membran sel sehingga terjadi efluks ion kalium. Peningkatan
kadar kalium ekstraseluler akan membangkitkan depolarisasi neuron nonspesifik dan pelepasan
neurotransmitter glutamat. Glutamat sendiri akan mengaktifkan reseptor kainate, N-methyl-D-aspartate
(NMDA), dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) akan mengeksitasi neuron
pascasinaps. Pelepasan glutamat terus menerus akan meneyebabkan terjadinya feddback positif terhadap
efluks kalium. Selanjutnya, reseptor NMDA yang aktif menyebakan masuknya ion kalsium. Akumulasi
kalsium intraseluler berlebihan akan mengaktifkan protease, mengganggu fosforilasi oksidatif mitokondria,
fibrosis neurofilamen, dan turunnya fungsi akson11–13.
Trauma mekanis juga akan menyebakan kerusakan vaskular yang berdampak pada turunnya aliran
darah otak, yang mana dalam kondisi ini dapat menyebabkan iskemik pada otak. Selanjutnya, akibat trauma
mekanis juga akan menyebakan gangguan fungsi dan permeabilitas dari blood brain barrier (BBB). Adanya
gangguan permeabilitas BBB dapat menyebabkan edema vasogenic, sehingga berdampak peningkatan
tekanan intrakranial, serta infiltrasi komponen darah perifer termasuk sel imun, zat besi, dan reactive
oxygen species (ROS)14,15.
Klasifikasi
TBI umumnya diklasifikasikan berdasarkan skor glasgow coma scale (GCS). Penderita dengan skor
GCS 13-15 diklasifikasikan sebagai TBI ringan, 9-12 sebagai TBI sedang, dan ≤8 sebagai TBI berat. GCS
diterima secara universal sebagai alat untuk klasifikasi TBI karena sederhana, reproduktif dan memiliki nilai
prediktif prognosis bagi penderita. Namun, penggunaannya mungkin dibatasi oleh faktor penyulit seperti
kasus keracunan dan perawatan medis yang menggunakan obat-obatan sedatif dan relaksan16,17.
Selain itu, TBI juga diklasifikan menjadi cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak primer
merupakan kejadian traumatis itu sendiri. Mekanisme cedera yang umum ditemui disebabkan karena
benturan langsung, akselerasi/deselerasi, penetrating injury dan blast wave. Cedera otak primer dapat
berupa ekstra-parenkim atau intra-parenkim. Cedera ekstra-parenkim berupa epidural hematomas (EDHs),
subdural hematomas (SDHs), and traumatic subarachnoid hemorrhages (tSAH). Sedangkan lesi intra-
parenkim dapat berupa traumatic intracerebral hemorrhages, contusions, atau traumatic axonal
injuries10,16,18.
Tabel 1. Glasgow coma scale17

Cedera otak sekunder dapat terjadi beberapa menit, jam, hari atau bahkan minggu setelah cedera
primer. Secara sederhana, cedera sekunder dapat diklasifikasikan menjadi sistemik dan intrakranial. Cedera
sekunder sistemik dapat berupa kejadian yang dapat memperburuk konsekuensi dari cedera primer,
seringkali berhubungan dengan gangguan suplai oksigen atau homeostasis seluler. Sehingga cedera
sekunder sistemik yang paling umum ditemui adalah hipotensi dan hipoksia. Sedangkan sedera sekunder
intrakranial sering terjadi akibat dari cedera otak primer itu sendiri tetapi tidak berhubungan dengan cedera
sekunder sistemik. Cedera sekunder intrakranial yang paling umum ditemui adalah peningkatan tekanan
intrakranial, edema otak, dan iskemia serebral10,16.
Tabel 2. Klasifikasi cedera otak primer10

Ekstra-parenkim Intra-parenkim
Epidural hematomas (EDHs) Contusions
Subdural hematomas (SDHs) Intracerebral hematoma
Traumatic subarachnoid bleeding Diffuse axonal injury
Diffuse vascular injury

Tabel 3. Penyebab paling sering pada cedera otak sekunder10

Sistemik Intrakranial
Hipoksia Peningkatan TIK
Hipotensi Edema otak
Hipo/hiperglikemia Kejang
Hipertermia Iskemia serebral
Gangguan elektrolit Pendarahan intrakranial
Gangguan koagulasi
Infeksi

Diagnosis dan Manajemen


Hal pertama dan yang paling penting dalam kasus TBI adalah melakukan pertolongan segera atau
primary survey dengan cara evaluasi sistematis mengikuti prinsip ABCDE. Sehingga fokus utama dalam 5
menit pertama adalah menemukan cedera paling kritis dan mengatasinya terlebih dahulu. Kemudian
setelah kegawatan teratasi barulah dimulai untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut atau secondary
survey16,19.
A. Primary Survey
Airway
1. Menilai stabilitas jalan napas
• Nilai apakah ada usaha napas dari pasien.
• Mencari apakah ada tanda-tanda obstruksi jalan napas (penggunaan otot bantu napas, gerakan
dada paradoksal, pernapasan jungkat-jungkit/see-saw).
• Dengarkan apakah ada bising dan suara napas. Apakah suara napas ada, tidak ada, berkurang
atau bising. Adanya bising napas menunjukkan obstruksi jalan napas parsial baik oleh lidah
atau benda asing.
• Nilai patensi jalan napas secara bersamaan dengan mengamankan bagian cervical penderita.
Hal ini penting karena pada kasus pendarahan, trauma langsung pada kepala/leher atau
ketidaksadaran dapat menyebabkan masalah penanganan jalan napas.
2. Manuver jalan napas
• Buka jalan napas menggunakan chin lift dan jaw thrust.
• Hisap jalan napas jika ditemukan sekret yang berlebihan atau jika pasien tidak mampu
membersihkan jalan napasnya sendiri. Hati-hati dalam melakukan prosedur penyedotan, hal
ini dikarenakan penyedotan secret dalam durasi lama dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial (TIK).
• Masukkan oropharyngeal tube jika diperlukan.
3. Amankan jalan napas (jika perlu)
• Pertimbangkan intubasi dini jika ada tanda-tanda: penurunan tingkat kesadaran GCS ≤8 (TBI
berat), jalan napas tidak terlindungi, pasien tidak kooperatif, hipoventilasi, hipoksia atau
obstruksi jalan napas: stridor, suara serak.
• Bantu ventilasi penderita dengan bag valve mask bersamaan dengan persiapan pelaksanan
prosedur intubasi. Intubasi sendiri dapat menyebabkan peningkatan TIK sementara, yang
dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Oleh karena itu lebih disarankan untuk prosedur
intubasi dilakukan oleh dokter yang sudah berpengalaman serta diberikan obat sedatif dan
relaksan.
Breathing
1. Berikan oksigen aliran tinggi
• Pastikan oksigen aliran tinggi diberikan untuk mempertahankan saturasi di atas 90%.
Oksigenasi yang memadai ke otak merupakan elemen penting dalam menghindari cedera otak
sekunder
2. Menilai dada
• Lihat (gerakan toraks, lesi).
• Dengarkan (perkusi, stetoskop).
• Rasakan (fraktur iga/sternum, emfisema subkutan).
• Ukur frekuensi pernapasan, oksimetri nadi, dan end tidal CO2.
• Periksa tanda-tanda tension pneumotoraks, hemotoraks, toraks tidak stabil (setidaknya dua
tulang rusuk yang berdekatan patah, flail chest) dan tamponade jantung.
Circulation
1. Kaji sirkulasi dan perfusi
• Periksa detak jantung dan tekanan darah.
• Pertahankan SBP lebih dari 90 mmHg untuk mempertahankan perfusi serebral dan mencegah
cedera otak lebih lanjut.
• Periksa tanda-tanda perdarahan eksternal dan lakukan kompresi pada luka.
• Masukkan dua kanula intravena perifer (IV) dengan ukuran kaliber besar. Jika akses sulit,
pertimbangkan pemasangan intraoseus jika peralatan/keterampilan tersedia.
• Mulai resusitasi cairan sesuai indikasi.
• Pertimbangkan potensi perdarahan internal yang signifikan terkait dengan mekanisme cedera,
yang dapat menyebabkan tanda dan gejala syok.
• Jika ada tanda-tanda syok, tentukan penyebabnya dan segera lakukan prosedur syok dengan
pemberian cairan IV untuk meningkatkan tekanan darah dan memperbaiki perfusi serebral.
Disability
1. Pemeriksaan kesadaran dan laboratorium
• Skor GCS.
• Reaksi pupil, ukuran dan bentuk.
• Gerakan ekstremitas, apakah ada tanda-tanda lateralisasi
• Cek gula darah
Exposure
1. Kontrol lingkungan sekitar pasien
• Lepaskan semua pakaian pasien dan periksa untuk memastikan tidak ada cedera lain yang
mengancam jiwa.
• Gunakan selimut untuk menutupi pasien.
• Pertahankan suhu pasien dalam rentang normal.

Gambar 2. Skema alur manajemen TBI pada pasien dewasa17


Gambar 3. Skema alur manajemen TBI pada pasien anak-anak17
B. Secondary Survey
Pemeriksaan lanjutan berupa secondary survey dilakukan apabila primary survey telah dilakukan dan
pasien dalam kondisi stabil. Apabila dalam proses pemeriksaan pasien tiba-tiba menjadi stabil maka
segera lakukan evaluasi kembali pada protokol primary survey16,20.
1. Anamnesis
a. Identitas
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit sekarang (seven attributes of a symptom)
• Lokasi
• Kualitas
• Kuantitas
• Tempat/setting kejadian
• Durasi, frekuensi, onset
• Faktor yang memperberat dan memperingan
• Gejala lainnya
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Riwayat pengobatan
f. Riwayat psikososial
g. Review of system
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Tanda-tanda vital
c. Status lokalis
• Kepala-leher
• Thorak
• Abdomen
• Ektremitas

Prognosis
Prognosis penderita TBI sangatlah bervariasi, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
karakteristik pasien, derajat keparahan dan karakteristik klinis, parameter labolatorium, dan
pencitraan/imaging21.
1. Karakteristik pasien
• Jenis kelamin: Mayoritas penderita TBI merupakan laki-laki. Namun, berdasarkan beberapa studi yang
ada tidak ada perbedaan prognosis antara laki-laki dan perempuan22–24.
• Umur: Seiring bertambahnya umur maka prognosis akan semakin buruk. Dalam literatur, disebutkan
bahwa ambang batas umurnya ialah 30-40 tahun23,25,26.
• Etnis: Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa prognosis pada penderita kulit hitam
memiliki prognosis lebih buruk dibanding Caucasian26,27.
• Status sosial-ekonomi: Terdapat beberapa publikasi yang menunjukkan bahwa penderita yang dengan
status sosial-ekonomi rendah memiliki prognosis yang lebih buruk28.
2. Derajat keparahan dan karakteristik klinis
• Pupil: Mengevaluasi dan mendokumentasikan ukuran pupil dan reaktivitasnya terhadap cahaya juga
penting karena setiap perubahan di dalamnya memberikan informasi yang berharga, salah satunya
adalah prognosis penderita. Pupil yang tidak reaktif dengan adanya rangsangan cahaya memiliki
prognosis yang lebih buruk23.

Reaktif Terhadap Cahaya Skor


Kedua pupil 0
Salah satu pupil saja 1
Tidak reaktif keduanya 2

• GCS: Pada umumnya GCS merupakan piranti yang paling sering digunakan untuk mengukur kesadaran
pasien. Pada penderita TBI, semakin rendah GCS maka prognosisnya semakin buruk22,23,29. Kombinasi
skor GCS dengan kereaktifan pupil dapat digunakan untuk memperkirakan secara singkat prognosis
pasien yaitu dengan rumus :
𝐺𝐶𝑆 − 𝑃
Keterangan:
GCS : Jumlah skor GCS (3-15)
P: Kereaktifan pupil (0-2)

• Hipotensi: Definisi hipotensi ialah ketika systolic blood pressure (SBP) <90 mmHg. Pada pasien yang
memiliki SBP <90 mmHg akan memiliki prognosis yang lebih buruk. Dalam beberapa litelatur
disebutkan bahwa tekanan darah yang optimal pada pasien TBI adalah SBP 120-150 mmHg dan mean
arterial pressure (MAP) 85-100 mmHg24.
• Hipoksia : Definisi dari hipoksia adalah ketika saturasi oksigen perifer (SpO2) < 90% atau PaO2 <8 kPa
(<60 mmHg). Pada penderita TBI yang mengalami hipoksia akan memiliki prognosis yang lebih buruk25.
3. Parameter Laboratorium
• Glukosa: Dalam beberapa studi disebukan bahwa semakin tinggi kadar glukosa darah akan memiliki
prognosis lebih buruk30.
• Natrium: Kadar natrium yang teralu rendah atau terlalu tinggi akan berdampak pada prognosis lebih
buruk30.
• Hemoglobin: Kadar hemoglobin yang rendah akan berkorelasi dengan buruknya prognosis pasien30.
4. Pencitraan/imaging
• Computed Tomography (CT): Peranan imaging sangatlah penting dalam menentukan manajemen lebih
lanjut serta prognosis penderita TBI. Adanya gambaran midline shift, EDH, SAH, dan kompresi basal
cisterna pada penderita akan berdampak pada prognosis yang lebih buruk21.

Dengan menggabungkan beberapa faktor tersebut, maka kita dapat memperkirakan prognosis dari
pasien jauh lebih akurat. Untuk menghitung dan mengetahui prognosis ini kita dapat menggunakan
beberapa cara baik secara manual atau menggunakan kalkulator yang tersedia secara online. Berikut
merupakan beberapa alat yang dapat digunakan yaitu IMPACT31 http://www.tbi-impact.org/?p=impact/calc,
CRASH23 http://www.crash2.lshtm.ac.uk/Risk calculator/index.html, Nijmegen score32 http://www.tbi-
prognosis.com/, dan Helsinki score33 http://links.lww.com/NEU/A676.

Kesimpulan
TBI merupakan salah satu penyumbang angka morbiditas dan mortalitas dari berbagai belahan
dunia. Klasifikasi TBI pada umumnya menggunakan konversi dari skor GCS yaitu TBI ringan (13-15), sedang
(9-12), dan berat (≤8). Penanganan kasus secara tepat akan memberikan prognosis yang lebih baik.

Daftar Singkatan
AMPA : α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid
TBI : Traumatic Brain Injury
BBB : Blood Brain Barrier
EDHs : Epidural Hematomas
GCS : Galsgow Coma Scale
KLL : Kecelakaan Lalu Lintas
MAP : Mean Arterial pressure
NMDA : N-methyl-D-aspartate
ROS : Reactive Oxygen Species
SBP : Systolic Blood Pressure
SDHs : Subdural Hematomas
TIK : Tekanan Intrakranial
tSAH : Traumatic Subarachnoid Hemorrhages

Referensi

1. Agarwal N, Thakkar R, Than K. Traumatic brain injury – causes, symptoms and treatments [Internet].
Traumatic Brain Injury. American Association of Neurological Surgeons; 2020 [cited 2022 Feb 27].
Available from: https://www.aans.org/en/Patients/Neurosurgical-Conditions-and-
Treatments/Traumatic-Brain-Injury
2. Menon DK, Schwab K, Wright DW, Maas AI. Position statement: definition of traumatic brain injury.
Arch Phys Med Rehabil. 2010 Nov;91(11):1637–40.
3. Maas AIR, Menon DK, Adelson PD, Andelic N, Bell MJ, Belli A, et al. Traumatic brain injury: integrated
approaches to improve prevention, clinical care, and research. Lancet Neurol. 2017 Dec;16(12):987–
1048.
4. Majdan M, Plancikova D, Brazinova A, Rusnak M, Nieboer D, Feigin V, et al. Epidemiology of traumatic
brain injuries in Europe: a cross-sectional analysis. Lancet Public Health. 2016 Dec;1(2):e76–83.
5. Brazinova A, Rehorcikova V, Taylor MS, Buckova V, Majdan M, Psota M, et al. Epidemiology of
traumatic brain injury in europe: a living systematic review. J Neurotrauma. 2021 May
15;38(10):1411–40.
6. Sivanandapanicker J, Nagar M, Kutty R, Sunilkumar BS, Peethambaran A, Rajmohan BP, et al. Analysis
and clinical importance of skull base fractures in adult patients with traumatic brain injury. J Neurosci
Rural Pract. 2018 Sep;9(3):370–5.
7. Oktavian P, Romdhoni AC, Dewanti L, Fauzi AA. Clinical and radiological study of patients with skull
base fracture after head injury. Folia Medica Indones. 2021 Sep 5;57(3):192–8.
8. Masel BE, DeWitt DS. Traumatic brain injury: a disease process, not an event. J Neurotrauma. 2010
Aug;27(8):1529–40.
9. Giordano KR, Lifshitz J. Pathophysiology of traumatic brain injury. In: Honeybul S, Kolias AG, editors.
Traumatic Brain Injury [Internet]. Cham: Springer International Publishing; 2021 [cited 2022 Feb 28]. p.
13–8. Available from: https://link.springer.com/10.1007/978-3-030-78075-3_2
10. Marklund N, Tenovuo O. Pathophysiology of severe traumatic brain injury. In: Sundstrøm T, Grände P-
O, Luoto T, Rosenlund C, Undén J, Wester KG, editors. Management of Severe Traumatic Brain Injury
[Internet]. Cham: Springer International Publishing; 2020 [cited 2022 Feb 28]. p. 35–50. Available
from: http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-39383-0_6
11. Kenzie ES, Parks EL, Bigler ED, Wright DW, Lim MM, Chesnutt JC, et al. The dynamics of concussion:
mapping pathophysiology, persistence, and recovery with causal-loop diagramming. Front Neurol.
2018 Apr 4;9:203.
12. Blennow K, Brody DL, Kochanek PM, Levin H, McKee A, Ribbers GM, et al. Traumatic brain injuries. Nat
Rev Dis Primer. 2016 Nov 17;2:16084.
13. Giza CC, Hovda DA. The neurometabolic cascade of concussion. J Athl Train. 2001 Sep;36(3):228–35.
14. Barkhoudarian G, Hovda DA, Giza CC. The molecular pathophysiology of concussive brain injury - an
update. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2016 May;27(2):373–93.
15. Salehi A, Zhang JH, Obenaus A. Response of the cerebral vasculature following traumatic brain injury. J
Cereb Blood Flow Metab Off J Int Soc Cereb Blood Flow Metab. 2017 Jul;37(7):2320–39.
16. Traumatic brain injury | trauma victoria [Internet]. Traumatic brain injury. Victorian Department of
Health; 2021 [cited 2022 Feb 28]. Available from:
https://trauma.reach.vic.gov.au/guidelines/traumatic-brain-injury/
17. Åstrand R, Undén J. Classification of head injury. In: Sundstrøm T, Grände P-O, Luoto T, Rosenlund C,
Undén J, Wester KG, editors. Management of Severe Traumatic Brain Injury [Internet]. Cham: Springer
International Publishing; 2020 [cited 2022 Feb 28]. p. 51–9. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-39383-0_7
18. Apriawan T. Cedera Otak Seri 1: pendarahan intrakranial dan manajemen pembedahan. 1st ed.
Surabaya: Airlangga University Press; 2018.
19. Rosenlund C, Schou RF. Trauma Protocol (ABCDE). In: Sundstrøm T, Grände P-O, Luoto T, Rosenlund C,
Undén J, Wester KG, editors. Management of Severe Traumatic Brain Injury [Internet]. Cham: Springer
International Publishing; 2020 [cited 2022 Feb 28]. p. 95–9. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-39383-0_13
20. Bickley LS, Szilagyi PG, Hoffman RM. Bates’ guide to physical examination and history taking. Twelfth
edition. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2017. 1034 p.
21. Olivecrona M. To treat or not to treat in the acute setting (Withholding) and withdrawal of treatment.
In: Sundstrøm T, Grände P-O, Luoto T, Rosenlund C, Undén J, Wester KG, editors. Management of
Severe Traumatic Brain Injury [Internet]. Cham: Springer International Publishing; 2020 [cited 2022
Feb 28]. p. 135–44. Available from: http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-39383-0_20
22. Husson E, Ribbers G, Willemse-van Son A, Verhagen A, Stam H. Prognosis of six-month functioning
after moderate to severe traumatic brain injury: a systematic review of prospective cohort studies. J
Rehabil Med. 2010;42(5):425–36.
23. MRC CRASH Trial Collaborators. Predicting outcome after traumatic brain injury: practical prognostic
models based on large cohort of international patients. BMJ. 2008 Feb 23;336(7641):425–9.
24. Butcher I, Maas AIR, Lu J, Marmarou A, Murray GD, Mushkudiani NA, et al. Prognostic value of
admission blood pressure in traumatic brain injury: results from the impact study. J Neurotrauma.
2007 Feb;24(2):294–302.
25. Hukkelhoven CWPM, Steyerberg EW, Habbema JDF, Farace E, Marmarou A, Murray GD, et al.
Predicting outcome after traumatic brain injury: development and validation of a prognostic score
based on admission characteristics. J Neurotrauma. 2005 Oct;22(10):1025–39.
26. Mushkudiani NA, Engel DC, Steyerberg EW, Butcher I, Lu J, Marmarou A, et al. Prognostic value of
demographic characteristics in traumatic brain injury: results from the impact study. J Neurotrauma.
2007 Feb;24(2):259–69.
27. Sorani MD, Lee M, Kim H, Meeker M, Manley GT. Race\ethnicity and outcome after traumatic brain
injury at a single, diverse center. J Trauma Inj Infect Crit Care. 2009 Jul;67(1):75–80.
28. Arango-Lasprilla JC, Rosenthal M, Deluca J, Komaroff E, Sherer M, Cifu D, et al. Traumatic brain injury
and functional outcomes: Does minority status matter? Brain Inj. 2007 Jan;21(7):701–8.
29. Royal College of Physicians and Surgeons of Glasgow. The glasgow structured approach to assessment
of the glasgow coma scale [Internet]. Glasgow Coma Scale. Royal College of Physicians and Surgeons
of Glasgow; 2022 [cited 2022 Feb 28]. Available from: https://www.glasgowcomascale.org/
30. Van Beek JGM, Mushkudiani NA, Steyerberg EW, Butcher I, McHugh GS, Lu J, et al. Prognostic value of
admission laboratory parameters in traumatic brain injury: results from the impact study. J
Neurotrauma. 2007 Feb;24(2):315–28.
31. Marmarou A, Lu J, Butcher I, McHugh GS, Mushkudiani NA, Murray GD, et al. Impact database of
traumatic brain injury: design and description. J Neurotrauma. 2007 Feb;24(2):239–50.
32. Jacobs B, Beems T, van der Vliet TM, van Vugt AB, Hoedemaekers C, Horn J, et al. Outcome prediction
in moderate and severe traumatic brain injury: a focus on computed tomography variables. Neurocrit
Care. 2013 Aug;19(1):79–89.
33. Raj R, Siironen J, Skrifvars MB, Hernesniemi J, Kivisaari R. Predicting outcome in traumatic brain injury:
development of a novel computerized tomography classification system(Helsinki computerized
tomography score). Neurosurgery. 2014 Dec;75(6):632–47.
Overview of Maxillofacial Trauma Management
Pendahuluan
Definisi
Trauma maksilofasial adalah trauma yang melibatkan struktur dari jaringan lunak, keras pada daerah
wajah dan rongga mulut, meliputi gigi, struktur vital kepala dan leher. Menyebabkan morbiditas
signifikan dengan masalah fungsional dan estetika. Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas tulang
dengan atau tanpa dislokasi, sedangkan fraktur maksilofasial adalah fraktur pada skeletal wajah,
tulang dentoalveolar dan bagian yang terkait daerah kepala dan leher karena trauma eksternal.
Kegawatdaruratan maksilofasial terjadi ketika adanya riwayat trauma pada wajah, perusakan wajah,
maupun luka memar pada sebagian wajah. Modalitas yang digunakan untuk kegawatdaruratan
maksilofasial adalah foto polos kepala/ skull (proyeksi lateral dan PA), CT scan tulang wajah (Gambar
13.9) dengan rekonstruksi tiga dimensi (3D) dan CT scan kondisi tulang pada irisan aksial dan koronal
(Boeddinghaus and Whyte, 2008).
Dalam konteks trauma maksilofasial, kecelakaan lalu lintas memiliki implikasi medikolegal khusus
karena sebagian besar pasien dengan cedera ini memiliki trauma multisistem yang memerlukan
manajemen terkoordinasi antara dokter dan ahli bedah dari berbagai spesialisasi yang menangani
pengobatan darurat. Trauma pada regio maksilofasial melibatkan sistem fungsional penting seperti
penglihatan, pendengaran, penciuman, sensasi somatik, pengunyahan dan deglutisi. Fraktur
maksilofasial dapat berdampak pada sosial, ekonomi, dan psikologis pasien (Samieirad S et al, 2015).

Epidemiologi
Angka prevalensi trauma maksilofasial di Indonesia mayoritas terjadi pada laki-laki 56,8-92,8%,
dengan rentang usia 24,6-51,0 tahun. Perbandingan kejadian pada anak-anak sebesar 5% dan pada
dewasa 15%. Penyebab paling umum yakni akibat penyerangan 44-61%, kecelakaan lalu lintas 15,8%
dan jatuh 15%. Tulang yang paling sering patah terdiri dari tulang mandibula 41,6–75,2%, maksila
dan orbita masing-masing 39,8% dan os nasal tertutup 30,1%-55,8%. Trauma maksilofasial adalah
salah satu kasus yang sering dilaporkan dalam kasus darurat. Etiologi dan pola cedera bervariasi
menurut wilayah studi. Menurut Global Burden of Disease Study (2017), insiden kasus tertinggi
dilaporkan di Eropa Tengah, Eropa Timur dan Asia Tengah dengan insiden regional 254 kasus per
100.000 penduduk.
Cedera fraktur maksilofasial yang disebabkan oleh MVA dan jatuh dari ketinggian memiliki
kecenderungan tinggi untuk dikaitkan dengan cedera bagian tubuh lainnya, sedangkan kasus
penyerangan dan cedera tembak cenderung tidak disertai cedera. Mereka paling sering cedera
serius yang mengancam jiwa yang memerlukan perhatian segera, jika menunda pelaksanaan
manajemen fraktur wajah menyebabkan komplikasi seperti malunion, fibrosis, jaringan parut (Gadre
KS et al, 2013).
Profil karakteristik pasien fraktur maksilofasial di Bedah Kepala dan Leher mengenai jenis kelamin,
usia, etiologi, dan lokasi fraktur maksilofasial masih kurang data. Dari 68 pasien fraktur maksilofasial
yang dirawat di Bagian Bedah Kepala dan Leher RSUP Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2016, 57
(83,82%) pasien adalah laki-laki. Diduga laki-laki lebih banyak bekerja di luar daripada perempuan,
sedangkan perempuan biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan hanya sebagian
wanita yang dapat mengendarai kendaraan. Alasan ini meningkatkan rasio pria dan wanita. Insiden
fraktur maksilofasial tertinggi terjadi pada pasien dengan rentang usia 26-45 tahun dan sesuai
dengan penelitian lain yang dapat disimpulkan bahwa usia dekade kedua dan ketiga adalah yang
paling rentan terhadap fraktur maksilofasial. Jenis etiologi yang paling sering menyebabkan fraktur
maksilofasial adalah kecelakaan lalu lintas pada 63 subjek (92,64%). Tercatat 114 fraktur pada tulang
maksilofasial dan paling sering terjadi pada tulang mandibula (33,33%) karena merupakan anatomi
yang menonjol, dan struktur lemah yang mudah terkena trauma (Ariobimo B, Wibowo M,
Abdurachman A, 2021).
Hal ini dapat dimaklumi karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menangani kasus tersebut
dan kemungkinan kecacatan yang dapat timbul dari fraktur maksilofasial. Upaya pencegahan fraktur
maksilofasial perlu segera dibenahi karena angka cedera maksilofasial dapat diturunkan sebesar 25%
jika dilakukan langkah preventif berupa edukasi tentang keselamatan berkendara, pedoman
keselamatan sebelum membeli kendaraan, undang-undang yang tegas mengenai kewajiban
penggunaan helm, sabuk pengaman, dan larangan mengemudi saat mabuk atau mengantuk
(Shankar V, LNU A, 2017).

Patofisiologi
Wajah merupakan salah satu struktur paling penting dalam tubuh manusia karena memiliki banyak
fungsi dan sebagai penanda nilai estetika dan sosial. Trauma pada rahang atas perlu mendapat
perhatian khusus, terutama fraktur pada tulang pembentuk wajah mengharuskan pasien segera
mendapatkan tindakan di unit gawat darurat. Fraktur maksilofasial dapat disebabkan oleh trauma
tumpul atau trauma tajam. Ada beberapa jenis trauma yang dapat menyebabkan cedera pada area
maksilofasial: kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan kekerasan sebagai penyebab trauma
paling umum pada remaja (Montovani JC et al, 2006).

Keparahan fraktur bergantung pada gaya penyebab, hal ini terbagi menjadi dua. Yang pertama,
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, tulang mungkin hanya retak saja. Yang kedua,
gayanya sangat ekstrem sehingga tulang pecah berkeping-keping. Adapun untuk gaya
diklasifikasikan menjadi >/< 50 kali gaya gravitasi. Kekuatan tinggi mengakibatkan trauma pada tepi
supraorbital, tulang frontal; maksila, simfisis; angulus mandibula. Sedangkan kekuatan rendah pada
zygoma dan tulang hidung. 3,4% patah tulang tengkorak/wajah disebabkan oleh trauma berat dan
sedang (Amin, S et al, 2015).

Klasifikasi
Berdasarkan keparahannya (Black & Hawks, 2014), klasifikasi derajat trauma maksilofasial dibagi
menjadi tiga:
• 1: Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
• 2: Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
• 3: Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak, saraf,
tendon, kontaminasi banyak
Menurut (Wiarto & Giri, 2017) fraktur dapat dibagi ke dalam tiga jenis antara lain:

a. Fraktur tertutup
Fraktur tertutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian luar
perukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada daerah
yang patah, sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai
adanya pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juka ikut menonjol keluar dari
permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol kelluar.
Fraktur terbuka memerluka pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor
penyulit lainnya.
c. Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis in iterjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstremitas terjadi patah tulang
sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.

Inti
Diagnosis
Anamnesis
o Apakah ada riwayat trauma sebelum pasien tiba di UGD
o Cedera yang terkait selain trauma primer
o Waktu antara trauma dan penemuan korban
o Apakah ada?
• Epistaksis
• Hidung buntu
• Gangguan penciuman
• Gangguan terkait kelainan organ sekitarnya
Pemeriksaan Fisik
o Inspeksi:
• Deformitas, pembengkakan
• Memar, spasme otot
• Nyeri, ketegangan
• Kehilangan fungsi
• Gerakan abnormal dan kripitasi
• Perubahan neurovaskuler, syok
• Maloklusi gigi, jika mandibula utuh menunjukkan dugaan kuat ke arah fraktur
maksila
• Kebocoran cairan serebrospinal: rhinorrhea atau otorrhea
o Inspeksi:
• Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral)
• Edema, hematoma subkutan
o Palpasi bilateral:
• Menunjukkan step deformity pada sutura zygomaticomaxillary
o Manipulasi digital untuk melihat mobilitas maksila:
• Memegang dengan kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat
jari lainnya, tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak
• Fraktur ada bila krepitasi +
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi
o Foto polos
o Namun CT scan
o Three-dimensional CT image
Diagnosis

Terapi dan Tatalaksana


Tatalaksana
o Pengamanan airway, kontrol pendarahan
o Penutupan luka pada soft tissue
o Reduksi:
• Menempatkan segmen tulang yang fraktur sesuai dengan posisinya melalui fiksasi
intermaksilari
o Retensi:
• Imobilisasi fraktur
• Pemasangan plat
o Rehabilitasi:
• Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin

Gambar 1. Rencana algoritma untuk manajemen jalan napas pada trauma maksilofasial10
Gambar 2. Algoritma ASA untuk manajemen jalan napas pada trauma maksilofasial11

Gambar 3. Reduksi Tertutup

Gambar 4. Stabilisasi Plat dan Sekrup


Monitoring
Manajemen pasca operasi terdiri:
o Kebersihan gigi dan mulut
o Nutrisi yang cukup
o Antibiotik selama periode perioperasi
Komplikasi akan terjadi apabila:
o Pendarahan ekstensif, gangguan jalan nafas
o Infeksi luka, kebutaan, diplopi, enoptalmus, obstruksi lakrimal
o Kenampakan wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi)

Penutup
Edukasi
Prognosis
o Prognosis tergantung waktu terapi dilakukan:
• Segera (<2 minggu), hasilnya baik
• Tertunda, sudah terjadi union parsial shg hrs dilakukan reduksi terbuka total
o Hasil yang tidak diharapkan:
• Deformitas wajah
• Elongasi/retrusi wajah
• Maloklusi

Take-home message
Rangkuman:

• Fraktur maksila merupakan salah satu bentuk trauma pada wajah yang cukup sering

• Anatomi wajah dan surgical landmarks penting untuk memahami tatalaksana fraktur

• Klasifikasi fraktur dibagi berdasarkan keparahan, terbuka/tidaknya kulit atau lokasinya

• Pemeriksaan foto polos dan Ct scan penting untuk diagnosis

• Tatalaksanan meliputi: reduksi, retensi dan rehabilitasi

• Faktur maksila umumnya memiliki prognosis yang cukup baik apabila penanganan dilakukan
dengan cepat dan tepat
Daftar singkatan
[List Daftar singkatan yang dipakai ditulis di sini]

Referensi
1. Boeddinghaus R, Whyte A. Current concepts in maxillofacial imaging. European Journal of
Radiology. 2008;66(3):396-418.
2. Samieirad S, Tohidi E, Shahidi-Payam A, Hashemipour M, Abedini A. Retrospective study
maxillofacial fractures epidemiology and treatment plans in Southeast of Iran. Medicina Oral
Patología Oral y Cirugia Bucal. 2015;e729-e736.
3. Gadre K, Halli R, Joshi S, Ramanojam S, Gadre P, Kunchur R et al. Incidence and Pattern of
Cranio-Maxillofacial Injuries: A 22 year Retrospective Analysis of Cases Operated at Major
Trauma Hospitals/Centres in Pune, India. Journal of Maxillofacial and Oral Surgery.
2013;12(4):372-378.
4. Ariobimo B, Wibowo M, Abdurachman A. Profile of Maxillofacial Fracture Patients at General
Hospital in Surabaya. Biomolecular and Health Science Journal. 2021;4(1):1.
5. Shankar V, LNU A. Prevalence of Maxillofacial Fractures in Southern Provinces of India.
Journal of Oral Health and Community Dentistry. 2017;11(1):5-7.
6. Montovani J, de Campos L, Gomes M, de Moraes V, Ferreira F, Nogueira E. Etiology and
incidence facial fractures in children and adults. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology.
2006;72(2):235-241.
7. Amin S, Achenbach S, Atkinson E, Khosla S, Melton L. Trends in Fracture Incidence: A
Population-Based Study Over 20 Years. Journal of Bone and Mineral Research.
2014;29(3):581-589.
8. Black J, Hawks J. Keperawatan Medikal Bedah (3-Vol Set) - 8th Edition [Internet].
Elsevier.com. 2013 [cited 21 March 2022]. Available from:
https://www.elsevier.com/books/keperawatan-medikal-bedah-(3-vol-set)/978-981-272-
978-1
9. Wiarto. Giri. 2017. Nyeri Tulang dan Sendi. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
10. Deepa C, Kamat S, Desai T. Penetrating injury of the oropharynx with tonsillar prolapse in a
patient with hepatic cirrhosis and portal hypertension: Anesthetic management. Karnataka
Anaesthesia Journal. 2015;1(2):81.
11. Al-Moraissi E, Ellis E. Local Versus General Anesthesia for the Management of Nasal Bone
Fractures: A Systematic Review and Meta-Analysis. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery.
2015;73(4):606-615.
12. Jacob O, Prathap A. Maxillary Fractures. Oral and Maxillofacial Surgery for the Clinician.
2021;:1125-1149.
13. Esmaeelinejad M. Maxillofacial Fractures: From Diagnosis to Treatment. 2022.
14. Gómez Roselló E, Quiles Granado A, Artajona Garcia M, Juanpere Martí S, Laguillo Sala G,
Beltrán Mármol B et al. Facial fractures: classification and highlights for a useful report.
Insights into Imaging. 2020;11(1).
15. Kumar Singh A, Kumar Sharma N. Maxillofacial Trauma [Internet]. Google Books. 2022 [cited
27 March 2022]. Available from:
https://www.google.co.id/books/edition/Maxillofacial_Trauma/7m0sEAAAQBAJ?hl=id&gbpv
=1
16. Nasal fractures [Internet]. 2014 [cited 21 March 2022]. Available from:
http://www.serpentinegallery.org/D83A6DD0/rg4Vtb_bailey-head-and-neck-surgery-5th-
ed.pdf
17. Barak M, Bahouth H, Leiser Y, Abu El-Naaj I. Airway Management of the Patient with
Maxillofacial Trauma: Review of the Literature and Suggested Clinical Approach. 2005.
Clinical Approach and Initial Management of Thoracic Trauma
Pedahuluan
Trauma toraks merupakan trauma penyebab kematian ketiga di dunia. Evaluasi segera merupakan
kunci untuk mengidentifikasi trauma yang mengancam jiwa dan memerlukan intervensi secara cepat.
Peran kolaborasi antar tim interprofessional sangat diperlukan untuk memberikan perawatan yang
optimal sehingga meningkatkan kualitas prognosis pada pasien.

Definisi
Trauma toraks melingkupi suatu trauma yang terjadi pada dinding toraks, paru, jantung. Trauma
dengan akibat kematian yang dialami oleh masyarakat, sebesar 25% merupakan trauma pada toraks.
Trauma toraks terbagi menjadi 2 berdasarkan mekanisme terjadinya yaitu trauma tembus dan trauma
tidak tembus. Manifestasi klinis yang dijumpai dapat berbeda, namun dengan sumber trauma yang
bisa diidentifikasi ataupun tidak. Kondisi pada pasien dengan trauma toraks terbagi menjadi 3, yaitu
mengancam jiwa akut, potensial mengancam jiwa, serta kurang mengancam jiwa. Penanganan kasus
trauma thorax sebagian besar dapat dikelola secara konservatif.1 Namun ada beberapa hal lain seperti
kualitas dan kuantitas trauma, ketepatan dan kecepatan penanganan serta kondisi klinis pada pasien
sangat menentukan prognosis kedepannya.2

Epidemiologi
Trauma toraks merupakan salah satu trauma dengan penyebab kematian terbesar di dunia. Kasus
trauma tidak tembus ditemukan lebih banyak daripada trauma tembus. Hingga tahun 2010 sebanyak
> 2200 kasus trauma toraks ditemukan di RSUD Dr Soetomo dengan persentase kematian sebelum
sampai rumah sakit sebesar 30%. Penyebab kematian tersebut diantaranya tension pneumothorax,
1,2
obstruksi jalan napas, dan perdarahan.

Patofisiologi
Fungsi normal organ dalam ruang toraks tergantung dari susunan anatomisnya, apabila toraks terbuka
akibat suatu trauma maka menyebabkan masuknya benda asing seperti cairan dan udara sehingga
menekan organ di dalamnya. Trauma toraks mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi respiratorik
dan hemodinamik meskipun sumber trauma tidak dapat diidentifikasi.1,3,4

1. Kondisi hipoksia sering kali terjadi akibat trauma pada tulang iga, pneumo dan hematothorax,
ruptur pulmo dan otot pernapasan.
2. Hipovolemi akibat perdarahan massif yang mengakibatkan gangguan syok hemodinamik.
3. Gagal jantung yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intratorakal sehingga terjadi
ketidak seimbangan fungsi ventilasi dan perfusi yang mengakibatkan gagal napas (ARDS) dan
dead space.
A. Pneumotoraks

Dinding toraks yang mengalami trauma akan menyebabkan peningkatan tekanan


intrapleural sehingga udara dari luar akan mudah masuk dan paru menjadi kolaps. Kondisi
tersebut disebut dengan pneumotoraks, ketika dinding toraks terbuka dan ada jalur keluar
masuk udara maka disebut pneumotoraks terbuka atau sucking wound. Apabila udara
yang masuk tidak bisa dikeluarkan lagi karena luka yang sedemikian rupa sehingga
meningkatkan tekanan positif di sisi yang sakit dan menekan mediastinum ke arah
kontralateral, maka disebut dengan tension pneumothorax. Apabila hanya pleura saja
yang robek akibat kegiatan dengan tekanan tinggi seperti mengejan, batuk terlalu keras,
trauma tumpul dengan fragmen yang menusuk ke paru, dapat juga mengakibatkan
berkumpulnya udara di dalam paru yang disebut dengan pneumotoraks tertutup.1

B. Hematothorax
Adanya penumpukan darah akibat trauma pada arteri intercostalis hingga aorta
mengakibatkan terjadinya hematothorax. Pada penumpukan darah yang massif maka
paru akan terdesak sehingga daya pelebaran paru akan berkurang, kondisi tersebut akan
berakibat pada kondisi hipoksia sekaligus diperberat dari kondisi anemia akibat
perdarahan. 1
C. Flail chest
Multitrauma pada toraks dan bersifat komunitif dapat mengakibatkan bergeraknya suatu
segmen rongga dada yang berlawanan dengan gerakan napas. Pada saat inspirasi maka
dinding dada akan terdorong masuk, dan saat ekspirasi akan terdorong keluar seperti
pada gambar 1.1 disertai dengan gerakan mediastinum yang mengikuti gerakan napas ke
kanan dan ke kiri atau disebut mediastinum flutter.1

Gambar 1.1 Mekanisme flail chest5


D. Tamponade jantung
Penumpukan darah pada ruang pericardial akibat adanya suatu trauma tembus ataupun
tidak tembus pada dinding toraks sehingga berdampak pada penekanan jantung dan daya
ekspansi ventrikel berkurang sehingga volume preload dan curah jantung berkurang. 6

Klasifikasi
Trauma toraks terbagi menjadi 2 yaitu, trauma tembus dan trauma tidak tembus. Trauma tembus
Ketika terdapat objek yang dapat diidentifikasi menembus dinding toraks, umumnya disebabkan oleh
karena luka tembak, luka tusuk. Trauma tidak tembus muncul Ketika terjadi penekanan pada dinding
toraks namun tidak meninggalkan luka yang terbuka, seperti luka akibat kecelakaan lalu lintas, cedera
olahraga, cedera dari ketinggian tertentu.2

Inti
Diagnosis
Pada pasien dengan trauma toraks ditemukan adanya keluhan sesak napas, suatu trauma tajam
menyebabkan hematotoraks dan tidak menutup kemungkinan disertai pneumotoraks, sedangkan
trauma tertutup dapat menyebabkan pneumotoraks baik tertutup ataupun tension pneumothorax.
Penegakan diagnosis kerja sering kali dilakukan ketika sudah dilakukan tindakan penyelamatan
dengan melakukan pembebasan Airway dan Breathing serta pemberian cairan plasma, darah,
elektrolit untuk memperbaiki Circulation. 1

Ketika mengerjakan suatu kegawatdaruratan yang dicurigai trauma toraks, maka alur penegakan
diagnosis kerja dapat berdasarkan klinis:

1. Keadaan umum penderita


- Apakah ada sesak?
- Apakah ada tanda anemia, pre-syok, dan syok? (dengan melakukan penilaian terhadap
tanda vital khususnya nadi)
2. Status lokalis penderita
- Bagaimana gerakan napas penderita?
- Adakah trauma pada toraks? Jika Ya, di sisi mana?
- Jika terdapat trauma tajam, tentukan arah dan lokalisasinya
- Jika terdapat trauma tertutup, evaluasi adakah flail chest

Setelah melakukan evaluasi pada 2 poin di atas, jika terdapat pneumotoraks maka dapat dilakukan
penanganan sejak dini seperti pemasangan WSD, pembuatan kontra ventil pada tension
pneumothorax.
3. Pemeriksaan fisik paru & jantung
- Inspeksi: evaluasi deviasi trakea, gerakan dada, laju dan pola pernapasan, tanda trauma,
gerakan dada paradoksal
- Palpasi: deviasi trakea, krepitus, gerakan napas, fremitus raba, perabaan iktus kordis
- Perkusi: evaluasi suara redup, hipersonor, batas pengembangan paru, batas jantung
- Auskultasi: evaluasi suara napas meningkat atau menurun, suara napas tambahan, suara
jantung
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan radiologis yang dipilih sesuai dengan
ketersediaan di fasilitas kesehatan tersebut, berdasarkan kecepatannya serta kemampuan
pasien untuk mengikuti prosedur pemeriksaan, maka modalitas rontgen dada dapat dipilih.
Melalui gambaran radiologi, maka yang perlu diperhatikan adalah: 1. Memastikan trauma
pada dinding toraks, terutama pada tulang iga (jumlah dan jenis), 2. Menilai ada tidaknya
hemato/pneumotoraks atau fluidopneumotoraks, 3. Gambaran jantung, 4. Mediastinum yang
terdesak. Modalitas lainnya dapat dipilih jika memenuhi syarat tertentu, penggunaan CT scan
dapat dipertimbangkan pada penderita dengan kondisi hemodinamik yang stabil atau respon
dengan terapi resusitasi awal.6

Terapi dan Tatalaksana


Tatalaksana umum

1. Perbaiki A-B-C
- High flow O2 melalui masker atau nasal pronge
- Intubasi dengan endotrakeal tube jika ada indikasi resiko atelektasis paru
2. Manajemen syok
- Pemberian bolus cairan 20 ml/kg
- Monitor dengan nadi, tensi, produksi urine
- Pemberian selimut untuk menjaga penderita selalu hangat

Tatalaksana trauma tusuk toraks

Luka tusuk pada toraks biasanya sering meninggalkan benda yang digunakan untuk menusuk di daerah
toraks. Jika benda masih tertancap di toraks dengan hemodinamik penderita yang stabil, maka
tatalaksana yang dilakukan adalah torakotomi eksploratif dan pengambilan gambar foto toraks untuk
evaluasi pneumo dan hematotoraks, sehingga pemasangan WSD bisa dilakukan dengan segera.
Apabila benda yang ditusukkan telah dicabut namun penderita memiliki hemodinamik yang tidak
stabil, maka lakukan resusitasi dan torakotomi segera.1
Gambar 1.2 Tatalaksana Trauma Tusuk Toraks1

Tatalaksana pneumotoraks
Pada penderita dengan pneumotoraks maka bisa ditemukan gejala seperti nyeri dada yang mendadak,
adanya krepitus, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan suara perkusi hipersonor dengan penurunan
gerakan napas pada area yang sakit. Hati-hati pada penderita tension pneumothorax yang memiliki
gejala progresif dengan penurunan hemodinamik, maka tatalaksana harus segera dilakukan untuk
mengurangi resiko henti jantung pada penderita tersebut. 1,7

1. Pneumotoraks terbuka
- Pemberian O2 high flow diperlukan untuk meningkatkan absorpsi di cavitas pleura
- Pada penderita dengan pneumotoraks terbuka maka dilakukan penutupan pada luka
yang terbuka menggunakan kassa sterile berbentuk persegi dan diplester pada 3 sisi
seperti tampak pada gambar 2.1
2. Tension pneumothorax
Standard penanganan penderita tension pneumothorax adalah dengan dekompresi
menggunakan torakotomi lalu dilanjutkan dengan insersi drainase. Namun dalam
pelaksanaannya, jika fasilitas tidak mendukung dilakukannya torakotomi, maka dekompresi
dengan jarum dapat dilakukan sebelum dan sesudah hemodinamik stabil.
*Dekompresi dengan jarum dilakukan menggunakan kanula berukuran 14G pada ICS ke-2
garis tengah klavikula di area yang sakit seperti gambar 2.2, jika tidak berhasil lokasi
dekompresi berikutnya dapat dilakukan di ICS ke-5 antara garis depan hingga tengah aksila.
*Drainase menggunakan hemlich valve
Hemlich valve merupakan suatu tabung dengan katup satu arah untuk menampung udara
sehingga udara yang sudah ditampung tidak bisa kembali ke rongga dada. Tabung ini dapat
dipasang di garis depan aksilla sisi yang sakit seperti pada gambar 2.3 dan memudahkan
ambulasi pasien. 9

Gambar 2.1 Penutupan 3 sisi luka5

Gambar 2.2 Lokasi dekompresi jarum6

Gambar 2.3 Hemlich valve dan pemasangannya9


Tatalaksana hematotoraks
Gejala dan tanda yang ditemukan pada penderita dengan hematotoraks yaitu adanya redup pada
perkusi dan menurunnya gerakan napas pada sisi toraks yang terkena. Dalam kenyataannya, kejadian
hematotoraks seringkali bersamaan dengan pneumotoraks. 1,7

Tatalaksana pneumotoraks berdasarkan volume dari darah dalam rongga pleura:

Klasifikasi Volume Tatalaksana


Ringan 300 cc Pungsi
Moderate 300 – 800 cc WSD
Berat Lebih dari 800 cc Torakotomi
Tabel 1. Klasifikasi hematotoraks dan tatalaksana1

Tatalaksana flail chest

Flail chest dapat menyebabkan gangguan fungsi dada dan penderita akan merasakan nyeri yang
hebat sehingga pemberian analgesia sangat penting dalam pemulihan penderita dan kembalinya
fungsi pernapasan. Penggunaan analgesia seperti morphine sulfate atau fentanyl intravena dapat
dipertimbangkan, sedangkan penggunaan NSAID seperti ketorolac dan indomethacin disebutkan
efektif untuk nyeri ringan hingga sedang. Pemberian ventilasi mekanik dapat meningkatkan fungsi
pernapasan dan mengurangi mortalitas hingga 21%. 10

Pelaksanaan fiksasi fragmen tulang iga yang patah dengan prosedur pembedahan dapat dilakukan
untuk mengurangi durasi perawatan di ICU, pada pasien yang gagal perawatan dengan ventilasi
mekanik.10

Tatalaksana tamponade jantung

Pada penderita tamponade jantung dapat ditemukan Trias Beck yaitu hipotensi, distensi vena jugular,
dan suara jantung muffled meskipun dalam kasus sebab trauma seringkali ketiga tanda sulit
diidentifikasi, pada penderita dengan trauma yang disertai hipotensi maka tamponade jantung perlu
dicurigai. Penanganan awal dilakukan dengan pemberian O2 aliran tinggi disertai penderita menjalani
tirah baring dengan posisi kaki yang lebih tinggi. Prosedur perikardiosintesis dapat dilakukan
menggunakan jarum untuk membuang cairan yang berada di rongga perikard seperti pada gambar 3.1
dengan bantuan USG dapat mengoptimalkan pergerakan cairan dalam rongga perikard. Apabila
penderita jatuh dalam kondisi henti jantung, maka tatalaksana dengan torakotomi resusitasi dapat
dilakukan.5,11
Gambar 3.1 Lokasi perikardiosintesis pada substernal, parasternal, apikal11
Monitoring
Pasca perawatan secara primer dan sekunder sesuai dengan kondisi klinis, maka monitor kondisi
pasien sangat penting dilakukan dengan memperhatikan hal berikut:

1. Perbaikan klinis
2. Tanda vital khususnya tekanan darah, nadi, laju napas
3. Urine output
4. Pemeriksaan darah lengkap (kadar hematokrit), analisis gas darah

Monitor pada tanda vital, urine output, serta kadar hematokrit bermanfaat untuk mengetahui adanya
penggantian cairan setelah adanya perdarahan sebab trauma, pemeriksaan analisis gas darah
digunakan untuk monitor fungsi respiratorik dan metabolik tubuh. 12

Penutup
Edukasi
1. Edukasi seputar insiden trauma toraks akibat KLL dan cara pencegahan
2. Edukasi seputar tatalaksana perawatan penderita
3. Jika pada penderita pneumotoraks maka edukasi untuk menghindari kegiatan yang
mengakibatkan tekanan pada paru yang terlalu tinggi seperti mengejan, batuk terlalu keras
4. Edukasi terkait posisi berbaring dan prinsip kehati-hati an pada penderita yang dipasang
instrumen seperti WSD, pigtail

Prognosis
Kasus trauma toraks sebagian besar dapat dikelola dengan pemberian analgesia, pemasangan
drainase toraks, serta monitoring yang baik. Namun, tingkat kematian dapat meningkat pada kasus
tertentu, seperti:
1. Penurunan GCS
2. Penderita dengan usia tua
3. Disertai rupture hepar/lien yang memicu perdarahan massif
4. Multipel fraktur tulang iga yang memicu gangguan pernapasan
5. Trauma pada trakea-bronkus

Take-home message
1. Trauma toraks selalu menyertai trauma yang kompleks dari anggota tubuh lainnya dan di
Indonesia masih sering dijumpai kasus trauma baik tembus maupun akibat luka benda tajam
dan tembak.
2. Trauma toraks lebih banyak disebabkan karena KLL
3. Pada 75% kasus trauma toraks tidak tampak adanya kerusakan dari luar

Daftar singkatan
KLL : Kecelakaan lalu lintas
WSD : Water Seal Drainage
Referensi

1. Puruhito. Buku Ajar Primer: Ilmu Bedah Toraks, Kardiak, dan Vaskular. Surabaya: Airlangga
University Press. 2016.
2. Edgecombe L, Sigmon D, Galuska M, Angus L. 2021. Thoracic Trauma. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534843/ [cited 16 March 2022].
3. Farooq U, Raza W, Zia N, Hanif M, Khan MM. Classification and management Chest Trauma.
J CPSP. 2006; 16 (2): 101-103
4. Elhabashy S. Cardio-Thoracic Injury, Essentials All Critical Care Nurses Need To Know.
Philadelphia: Elseveir Health. 2015.
5. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support ATLS. 9th ed. USA. 2012.
6. Stashko E, Meer J M. 2021. Cardiac Tamponade. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431090/ [cited 16 March 2022].
7. Allan K, Blackham J, Blane C, Brown A, Carey A, Chesser T, Cleary F, Cobb A, Collin G, Collin N,
Crewsdon K, Crowle L, Goswami A, Grier S, Harries L, Harvey H, Hill K, Hooper T, Howes N,
Kelly M, Khan U, Livingston K, Lockey D, Macquillan A, Maggs J, Morgan P, Morris S, Neary W,
Nocak S, Odum S, Pollentine A, Preston N, Pullyblank A, Riddick A, Sandeman D, Sanders D,
Stanley V, Thomas I, Warren K, Wigfield C, Bush TW, Dezoysa N. Severn Trauma Adult
Guideline Manual. United Kingdom: Severn Major Trauma Network. 2018.
8. Sharma A, Jindal P. Principles of diagnosis and management of traumatic pneumothorax.
Journal of Emergencies, Trauma and Shock. 2008;1(1):34.
9. Gogakos A, Barbetakis N, Lazaridis G, Papaiwannou A, Karavergou A, Lampaki S, Baka S,
Mpoukovinas I, Karavasilis V, Kioumis I, Pitsiou G, Katsikogiannis N, Tsakiridis K, Rapti A,
Trakada G, Zissimopoulos A, Tsirgogianni K, Zarogoulidis K, & Zarogoulidis P. Heimlich valve
and pneumothorax. Annals of translational medicine. 2015;3(4): 54.
10. Pettiford B, Luketich J, Landreneau R. The Management of Flail Chest. Thoracic Surgery
Clinics. 2007;17(1):25-33.
11. Carlini C, Maggiolini S. Pericardiocentesis in cardiac tamponade: indications and practical
aspects. ESC Journal. 2017; 15: 19.
12. Milisavljevic S, Spasic M, Arsenijevic M. Thoracic Trauma. Current Concepts in General
Thoracic Surgery. 2012;.
Emergency Approach to Abdominal Trauma
Pedahuluan
Definisi
Abdomen adalah bagian tubuh yang sering mengalami cedera dan seringkali memerlukan perawatan
ahli bedah untuk manajemen definitif. Trauma yang timbul pada abdomen, yang dapat diakibatkan
oleh cedera benda tumpul maupun cedera tembus. Trauma tersebut dapat menyebabkan
perdarahan, kegagalan organ multipel, defisiensi neurologis, defisiensi muskuloskeletal, cacat fisik dan
kognitif yang permanen.

Epidemiologi
Abdomen adalah daerah cedera ketiga yang paling umum, dengan pembedahan diperlukan pada
sekitar 25% kasus. Trauma dapat menyebabkan kematian yang tinggi, termasuk pada trauma
abdomen dengan mortality rate 20%. Dalam NTDB 2016, 11,7% dari semua pasien menderita cedera
perut dengan tingkat kematian kasus terkait 12,9%. Pada sebuah literatur didapatkan data bahwa
trauma abdomen terjadi pada 248 dari 300 kasus (82,7%); 172 pasien dengan trauma tumpul
abdomen (69,4%) dan 76 (30,6%) pasien dengan trauma tembus abdomen. Yang selanjutnya secara
keseluruhan, trauma abdomen dikaitkan dengan cedera komorbiditas tambahan pada 66,1% kasus,
dan lebih banyak lagi untuk kasus tumpul (76,7%) dibandingkan kasus penetrasi.

Patofisiologi
Sumber utama morbiditas dan mortalitas pada trauma abdomen adalah perdarahan dan perforasi
viseral dengan sepsis terkait.
Terdapat beberapa klasifikasi trauma abdomen, diantaranya
1. Blunt Trauma (Tekanan Benda Tumpul)
Trauma yang diakibatkan oleh tekanan benda tumpul seperti roda kendaraan. Dalam
pengaturan trauma tumpul, organ padat sering mengalami memar atau laserasi,
menyebabkan perdarahan yang mungkin memerlukan manajemen bedah. Selanjutnya,
tekanan benda tumpul dapat menyebabkan pecahnya rongga visera karena kompresi cepat
segmen usus yang mengandung cairan dan udara. Dapat menimbulkan perdarahan sekunder
dan kontaminasi oleh isi visceral organ berongga. Organ yang sering terkena yaitu lien, hati,
dan usus kecil.
2. Penetrating Trauma (Luka Tembus)
Trauma yang diakibatkan oleh benda tajam, seperti pisau dan senjata api. mekanisme
penetrasi secara langsung mengoyak visera padat dan berongga, mengakibatkan perdarahan
dan kontaminasi intraabdomen yang sering memerlukan perbaikan operatif. Paling sering
mengenai hati, usus kecil, dan kolon.
3. Blast Trauma (Akibat Ledakan)
Trauma yang diakibatkan oleh perangkat ledakan, seperti bom. Dapat menyebabkan perforasi
langsung pada organ berongga, hemorrhage, bahkan ruptur pada testis. Gejala yang dapat
ditimbulkan diantaranya nyeri abdomen, muntah, serta hematemesis.

Inti
Diagnosis
Anamnesis
• Trauma yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, menanyakan kecepatan dari kendaraan,
tabrakan yang terjadi (untuk mengetahui jenis lukanya), serta posisi pasien.
• Trauma yang disebabkan benda tajam, dapat menanyakan jenis senjata, berapa jumlah luka,
perdarahan di tempat, jarak tembakan, dsb.
Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi: lihat apakah ada laserasi, perforasi, ataupun luka tusuk
• Auskultasi: ada tidaknya bising usus tidak berkorelasi dengan trauma
• Perkusi: dapat memunculkan tanda iritasi pada perioteneum
• Palpasi
Pemeriksaan Penunjang
• USG FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma)
• DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage)
• CT Scan Abdomen

Gambar 1. Perbedaan DPL, USG FAST, dan CT Scan pada Trauma Abdomen
Gambar 2. Alur Diagnosis Trauma Abdomen

Terapi dan Tatalaksana


Tata laksana yang dilakukan pada trauma abdomen diantaranya
a. Survey Primer

AIRWAY
Waspada fraktur servikal apabila ada penurunan kesadaran dan
Memeriksa suara nafas dengan look, listen, and feel nyeri leher

BREATHING
Identifikasi Respiratory Rate (RR), gerakan dada simetris atau tidak, dan suara nafas

CIRCULATION
Identifikasi kesadaran, nadi, perdarahan internal maupun eksternal, serta warna kulit

DISABILITY
Memeriksa skala kesadaran antara lain dengan metode AVPU (Alert, Memeriksa adakah lateralisasi dengan melihat ukuran
Verbal, Pain, Unresponsive) atau GCS (Glasgow Coma Scale) pupil dan reflek cahaya

EXPOSURE
Pakaian pasien dibuka, dengan tetap menjaga pasien dari keadaan hipotermi

Apabila ada masalah airway, dapat dilakukan tindakan non-invasif seperti chin lift, jaw
thrust, tube nasofaring, dan tube orofaring; maupun tindakan invasif seperti
cricothyroidotomy dan endotrachealtube (ETT).
Penanganan masalah breathing dengan cara pemberian oksigen, Needle toraksocintesis
pada kasus tension pneumotoraks dan Punksi pleura atau pemasangan chest tube.
Penanganan masalah circulation dapat dilakukan dengan bebat tekan untuk menghentikan
sementara perdarahan serta dapat dilakukan resusitasi cairan dengan ringer lactate, koloid
maupun darah tergantung derajat shock.
b. Survey Sekunder
Dilaksanakan setelah keadaan hemodinamik pasien stabil. Pemeriksaan komplit dilakukan
dari kepala sampai kaki.
Pada saat merawat pasien yang mengalami trauma abdomen, terdapat beberapa prinsip perawatan
atau Damage Control Principles, diantaranya:
1. Memperbaiki homeostasis pasien
Dapat dilakukan dengan pemberian tranfusi masif, Massive Transfusion Protocols (MTP)
dengan rasio plasma:platelet:PRBC yaitu 1:1:1. Indikasi MTP yaitu apabila terpenuhi 2 dari 4
parameter, diantaranya mekanisme penetrasi, FAST positif, tekanan darah sistolik 90 mmHg,
dan nadi >12 bpm.
2. Mencegah koagulopati
Dapat diberikan Tranexamic Acid (TXA), untuk mencegah perdarahan masif, dan mengurangi
kebutuhan transfusi darah bagi pasien.
3. Mencegah metabolik asidosis
Dapat dilakukan dengan manajemen kontaminasi pada GI dengan perbaikan atau reseksi.
4. Mencegah hipotermia

Monitoring
Setelah survey primer, dapat dilakukan monitoring meliputi:
• Monitor hasil resusitasi seperti blood gas analysis (BGA), pulse oximetry, dan tekanan darah.
• Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti:
• Radiologi: Foto cervical lateral, torakss AP, dan pelvis AP.
• USG FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma) atau DPL (Diagnostic
Peritoneal Lavage).

Take-home message

Rangkuman
• Trauma abdomen dapat menyebabkan kematian yang tinggi, sehingga harus dilakukan
tindakan awal secara cepat dan tepat.

• Tindakan awal yang harus dilakukan yaitu survey primer ABCDE

a. A (Airway)

b. B (Breathing)
c. C (Circulation)

d. D (Disability)

e. E (Exposure)

• Monitoring keadaan pasien hingga stabil, lalu dilakukan survey sekunder.

Daftar singkatan
• USG FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma)
• DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage)
• ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure)

Referensi
1. Drake R, Vogl W, Mitchell A, Gray H. Gray's anatomy for students. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2020.
2. Bouzat P, Valdenaire G, Gauss T, Charbit J, Arvieux C, Balandraud P et al. Early management
of severe abdominal trauma. Anaesthesia Critical Care & Pain Medicine. 2020;39(2):269-277.
3. Stewart R. ATLS.
4. Gawat Darurat Medis dan Bedah, Editor: Afif Nurul Hidayati, Muhammad Ilham Aldika Akbar,
Alfian Nur Rosyid. -- Surabaya: Airlangga University Press, 2018.
5. Afacan, G. . Abdominal Trauma. In: Karcioglu, O. , Topacoglu, H. , editors. Trauma Surgery
[Internet]. London: IntechOpen; 2018 [cited 2022 Feb 22]. Available from:
https://www.intechopen.com/chapters/63082 doi: 10.5772/intechopen.76474
6. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston Textbook of Surgery. 21st ed. St.
Louis: Elsevier; 2022.
Early Recognition and Management of Urogenital Trauma
Definisi

Trauma merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar dan penyebab 10% kematian yang terjadi
di dunia. Trauma menjadi kasus dengan kausa kematian terbanyak pada kelompok usia 15-45 tahun.
Berdasarkan klasifikasi yang diterbitkan oleh WHO, luka trauma dapat terbagi ke dalam 2 bagian
diantaranya intentional injury (luka yang disengaja) dan unintentional injury (luka yang tidak
disengaja). Kecelakaan lalu lintas dan penganiyaan fisik dikenal sebagai sumber utama penyebab
trauma (EAU, 2022). Selain dua hal tersebut, cidera iatrogenic seperti prosedur pemakaian alat medis
yang kurang tepat juga dapat menimbulkan trauma. Adanya trauma yang mengarah langsung pada
area sekitar abdomen, pelvis, dan perineum dapat berisiko terjadinya trauma urogenital (Lumen,
2020). Secara definisi, trauma urogenital ialah trauma yang melibatkan beberapa organ tertentu
seperti organ genitalia, uretra, kandung kemih/buli-buli, ureter, dan yang paling sering terdampak
yakni ginjal (Martinez-Pineiro, 2010).

Epidemiologi

Trauma tumpul pada abdomen, ginjal, atau punggung merupakan lokasi cidera yang paling umum
terjadi. Dilaporkan bahwa 80-95% trauma ginjal disebabkan oleh trauma tumpul pasca KLL
(kecelakaan lalu lintas). Di daerah kompleks militer dan perkotaan, prevalensi luka penetrasi pada
trauma ginjal dapat mencapai angka 20%. Trauma ginjal juga sering diikuti dengan trauma pada organ-
organ besar lainnya dan terjadi pada 3% jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit karena trauma
(Khan, 2010).

Suatu studi retrospektif observasional yang dilakukan di empat rumah sakit pendidikan di Makassar,
yang meneliti melihat tren kasus trauma ginjal dari Januari 2014 hingga Desember 2018, disebutkan
bahwa 68 kasus trauma ginjal yang terjadi, 83,8% atau 57 dari 68 orang adalah laki-laki dan hanya
16,2% atau 11 orang adalah perempuan di rentang usia ± 23 tahun dan remaja di usia 11-20 tahun.
Dalam kasus ini, 58,8% dari total kasus trauma ginjal terjadi pada ginjal kiri, 42,6% berada di stadium
IV, dan tingkat mortalitas sebesar 2,9% (Chouhan, 2016).

Trauma ureter relatif jarang terjadi sebab secara anatomi ureter cenderung terproteksi oleh adanya
tulang-tulang vertebra, pelvis dan otot-otot serta ukurannya yang kecil sehingga meminimalisasi luka
oleh trauma. Prevalensi trauma ureter sendiri terhitung ada sekitar 1-2,5% kasus karena trauma pada
traktus urinarius dan trauma karena iatrogenic menjadi penyebab paling umum trauma ureter
(terhitung sekitar 80%) (EAU, 2022).

Kecelakaan saat berkendara sering berdampak pada munculnya kasus trauma buli-buli. Mekanisme
utama terjadinya trauma ini ialah benturan pada pelvis dan area abdomen bawah. Sekitar 60-90%
pasien trauma buli-buli berasal dari adanya trauma di pelvis dan 5-20% pasien trauma uretra. Uretra
pars bulbaris juga menjadi lokasi yang paling umum terpengaruh trauma oleh benda tumpul (Syarif,
2020).

Dari keseluruhan kasus cidera urologi, 33-66% melibatkan genitalia eksterna. Trauma genital jauh
lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama antara usia 15 dan 40 tahun. Hal ini
disebabkan oleh adanya perbedaan struktur anatomi, atau peningkatan partisipasi dalam olahraga
fisik, perang, dan kejahatan. Ada pula kemungkinan risiko cidera pada organ-organ didekat genitalia
seperti kandung kemih, uretra, vagina, rektum dan usus, setelah trauma tumpul yang lebih tinggi
prevalensinya pada wanita daripada pria (EAU, 2022).
Trauma genital umumnya disebabkan oleh cidera tumpul (80%). Pada laki-laki, trauma tumpul genital
sering terjadi secara unilateral dengan sekitar 1% muncul sebagai cidera skrotum atau testis bilateral
(EAU, 2022). Cidera penetrasi paling sering disebabkan oleh senjata api (75,8%) dengan mayoritas
membutuhkan intervensi bedah (Grigorian, 2018).

Patofisiologi

Patofisiologi Trauma Ginjal

Mekanisme cidera yang paling umum yang melibatkan ginjal adalah trauma tumpul dengan deselerasi
kecepatan tinggi (sekitar 90% kasus); sedangkan luka penetrasi (seperti luka tembak dan tusukan
terjadi pada 1,4-3,3% (Coccolini, 2019). Namun, insiden ini tergantung pada wilayah geografis dunia
(Guareschi, 2015).

Ginjal tergolong organ yang terlindungi dengan baik di area retroperitoneum; walaupun begitu, ginjal
sangat rentan terhadap trauma tumpul yang disertai dengan deselerasi cepat karena ginjal hanya
difiksasi oleh pelvis renalis di uretero-pelvic junction dan oleh pedikel vaskular. Pada orang dewasa,
mekanisme trauma tumpul yang paling sering terjadi adalah jatuh dari ketinggian, kekerasan yang
disengaja, dan cidera yang diakibatkan oleh lalu lintas jalan. Pada anak-anak, cidera olahraga seperti,
snowboarding, menunggang kuda, papan luncur, dan kecelakaan saat berkendara utamanya sepeda
dan sepeda motor (Coccolini, 2019). Pada populasi pediatri, cidera tumpul terisolasi lebih umum pada
anak-anak usia 5 tahun keatas, sedangkan luka penetrasi biasanya meningkat setelah usia 14 tahun
(Coccolini, 2019).

Patofisiologi Trauma Ureter

Lesi trauma ureter lebih jarang terjadi (prevalensinya kurang dari 1%) (Gross, 2015). Penyebab paling
umum dari cidera ureter adalah penetrasi (Coccolini, 2019). Kasusnya kerap kali terjadi terutama pada
anak-anak dan pada cidera deselerasi energi tinggi (high energy deceleration injuries) (Gross, 2015).
Cidera organ terkait sering terjadi pada kasus lesi ureter. Presentasi klinis cidera ureter mungkin tidak
kentara tetapi hematuria terisolasi adalah temuan yang umum (Coccolini, 2019).

Patofisiologi Trauma Buli-buli

Cidera pada buli-buli terbagi ke dalam empat jenis diantaranya, extra-peritoneal bladder rupture
(EBR), intra-peritoneal bladder rupture (IBR), kontusio buli dan avulsi pada leher kandung kemih. EBR
merupakan tipe yang paling sering ditemukan dan berkaitan dengan fraktur pelvis (Coccolini, 2019).

Secara khusus, cidera buli-buli dapat terjadi pada luka tembak abdomen dan luke penetrasi ke bokong.
Karena diperlukan energi yang tinggi untuk merusak kandung kemih, 60 hingga 90% pasien dengan
cidera buli-buli mengalami fraktur tulang panggul. Pasien anak lebih rentan terhadap cidera ini karena
ada faktor anatomi anak. Namun, cidera kandung kemih pada anak-anak kurang terkait dengan patah
tulang panggul dibandingkan pada orang dewasa (Coccolini, 2019). Fraktur panggul dengan hematuria
juga dikaitkan dengan cidera kandung kemih (Zinman, 2016).

Patofisiologi Trauma Uretra

Cidera uretra jarang terjadi dan lebih banyak mempengaruhi pasien laki-laki dan biasanya didiagnosis
setelah trauma tumpul terjadi (Zinman, 2016). Cidera uretra dibagi menjadi cidera anterior (uretra
pars bulbaris dan penis pada laki-laki) dan cidera posterior (proksimal membran perineum, pada
uretra pars prostatik atau membranosa). Penyebab utama cidera uretra anterior adalah trauma
tumpul langsung (Coccolini, 2019). Trauma penetrasi ke uretra anterior jarang terjadi dan terutama
disebabkan oleh luka tembak (Coccolini, 2019). Cidera pada uretra posterior biasanya disebabkan oleh
trauma panggul atau Pelvic Fracture Urethral Injury (PFUI). Cidera uretra posterior dapat
diklasifikasikan sebagai cidera total (65% dari lesi) atau parsial (35% dari kasus) (McGeady, 2013).
Trauma penetrasi pada uretra posterior sangat jarang terjadi dan terutama disebabkan oleh luka
tembak; risiko terkait lesi pada intra-abdomen tinggi (Coccolini, 2019).

Patofisiologi Trauma Genital

Gambaran yang paling penting dari trauma tumpul pada penis adalah fraktur penis. Penyebab paling
umum adalah hubungan seksual, fleksi paksa, dan onani. Mekanisme cidera yang biasa terjadi pada
saat hubungan seksual berlangsung adalah ketika penis keluar dari vagina dan mengenai simfisis pubis
atau perineum.

Fraktur penis dapat disebabkan oleh pecahnya tunika albuginea kavernosal yang dapat disertai
dengan hematoma subkutan dan lesi korpus spongiosum atau uretra. Cidera tembak pada genitalia
eksterna relatif jarang terjadi dan biasanya tidak mengancam jiwa. Namun, mereka dapat memiliki
dampak yang signifikan pada kualitas hidup. Luka bakar genital jarang terjadi secara terpisah
(umumnya disebabkan karena luka bakar yang terjadi di seluruh tubuh) dan biasanya disebabkan oleh
api dari industri atau bahan kimia (EAU, 2022). Tindik pada alat kelamin pria dan wanita juga
meningkatkan risiko trauma alat kelamin yang tidak terduga (Nelius, 2011).

Alur tatalaksana

Manajemen Trauma Ginjal

Gambar 4.1 Tatalaksana Pada Trauma Ginjal


Manajemen Konservatif pendekatan bertahap yang dimulai dengan pengobatan konservatif, diikuti
dengan eksplorasi minimal invasif dan/atau bedah, jika perlu. Manajemen non-operatif telah menjadi
pengobatan pilihan untuk sebagian besar kasus. Pada pasien yang stabil, manajemen konservatif
dilakukan dengan bed rest, tes darah serial, observasi rutin dan pencitraan ulang sesuai indikasi.
Manajemen konservatif primer dikaitkan dengan tingkat nefrektomi yang lebih rendah, dan tidak ada
peningkatan morbiditas langsung atau jangka panjang (EAU, 2022).

Manajemen Trauma Ureter

Gambar 4.2 Alur Tatalaksana Pada Trauma Ureter

Penatalaksanaan trauma ureter tergantung pada banyak faktor yang berkaitan dengan sifat, tingkat
keparahan dan lokasi cidera. Diagnosis segera cidera pada proses ligasi selama operasi dapat dikelola
dengan de-ligasi dan pemberian stent. Cidera parsial dapat diperbaiki segera dengan stent atau
drainase urin melalui tabung nefrostomi. Pemasangan stent sangat membantu karena memberikan
kanalisasi dan dapat menurunkan risiko striktur Perbaikan segera dari cidera ureter total biasanya
dianjurkan karena secara signifikan dapat mengurangi kebutuhan untuk prosedur sekunder atau
tersier dibandingkan dengan perbaikan yang tertunda (EAU, 2022).

Dalam kasus pasien trauma yang tidak stabil, pendekatan damage control lebih banyak dianjurkan
dengan ligasi ureter, diversi urin (melalui nefrostomi), dan perawatan definitif yang tertunda (Smith,
2013). Sebuah studi database trauma nasional melaporkan bahwa sebagian besar cidera ureter
traumatis tumpul rendah dan tinggi pada pasien stabil dan tidak stabil dirawat dengan nefrostomi
atau stenting (EAU, 2022).
Perawatan endo-urologis dari cidera ureter yang ada penundaan pada diagnosisnya dengan
pemasangan stent internal dengan atau tanpa dilatasi adalah langkah pertama dalam banyak kasus.
Hal ini dilakukan baik secara retrograde atau antegrade melalui nefrostomi perkutan (EAU, 2022)

Manajemen Trauma Buli-Buli

Terapi Konservatif

Perawatan konservatif, yang terdiri dari observasi klinis, drainase buli secara kontinu dan profilaksis
antibiotik, adalah pengobatan standar untuk cidera ekstraperitoneal tanpa komplikasi karena trauma
tumpul atau iatrogenik (EAU, 2022). Perawatan konservatif juga dapat dipilih untuk cidera
intraperitoneal tanpa komplikasi setelah Transurethral Resection of the Bladder (TURB) atau operasi
lain, tetapi hanya jika tidak ada peritonitis dan ileus (EAU, 2022).

Terapi Pembedahan

Trauma tumpul non-iatrogenik

Kebanyakan ruptur ekstraperitoneal dapat ditangani secara konservatif; Namun, adanya keterlibatan
leher buli, fragmen tulang di dinding kandung kemih, cidera dubur atau vagina memerlukan intervensi
bedah. Ruptur intraperitoneal harus selalu ditangani dengan prosedur pembedahan (Figler, 2012).
karena ekstravasasi urin intraperitoneal dapat menyebabkan peritonitis, sepsis intra-abdominal dan
kematian (Deibert, 2011).

Trauma penetrasi non-iatrogenik

Cidera penetrasi buli ditangani dengan eksplorasi, debridement dinding kandung kemih yang
terdevitalisasi dan perbaikan kandung kemih (EAU, 2022). sistotomi disarankan untuk memeriksa
dinding buli dan ureter distal (Urry, 2016), karena bahan penembus (peluru, pisau) tidak steril,
pengobatan antibiotik disarankan (Al-Azzawi, 2014).

Trauma iatrogenik buli

Cidera internal harus ditangani sesuai dengan lokasinya. Standar perawatan untuk cidera
intraperitoneal adalah eksplorasi dan pembedahan. Jika eksplorasi bedah dilakukan setelah TURB,
usus harus diperiksa untuk menyingkirkan cidera yang menyertai (EAU, 2022).
Manajemen Trauma Uretra

Manajemen Trauma Uretra Anterior


Gambar 4.3 Alur Tatalaksana Pada Trauma Uretra Anterior

Manajemen Trauma Uretra Posterior

Gambar 4.4 Alur Tatalaksana Pada Trauma Uretra Posterior

Daftar Singkatan

KLL : Kecelakaan Lalu Lintas

IBR : Intra-peritoneal Bladder Rupture

EBR : Extra-peritoneal Bladder Rupture

PFUI : Pelvic Fracture Urethral Injury

TURB : Transurethral Resection of the Bladder

Referensi

Al-Azzawi, I.S., et al. Lower genitourinary trauma in modern warfare: the experience from civil 

violence in Iraq. Injury, 2014. 45: 885. 


Cabrera Castillo PM, Martínez-Piñeiro L, Maestro MÁ, De la Peña JJ. Evaluation 
and treatment of
kidney penetrating wounds. Ann Urol (Paris). 2006;40:297–308 

Chouhan JD, Winer AG, Johnson C, Weiss JP, Hyacinthe LM (2016) Contemporary evaluation and
management of renal trauma. Can J Urol 23:8191–8197

Deibert, C.M., et al. The association between operative repair of bladder injury and improved 

survival: results from the National Trauma Data Bank. J Urol, 2011. 186: 151. 


Figler, B.D., et al. Multi-disciplinary update on pelvic fracture associated bladder and urethral
injuries. Injury, 2012. 43: 1242. 


Grigorian A, Livingston J, Schubl S, Hasjim B, Mayers D, Kuncir E et al. National analysis of testicular
and scrotal trauma in the USA. Research and Reports in Urology. 2018;Volume 10:51-56.


Gross JA, Lehnert BE, Linnau KF, Voelzke BB, Sandstrom CK. Imaging of Urinary System Trauma.
Radiol Clin N Am. 2015;53:773–88. 


Guareschi BLV, Stahlschmidt CMM, Becker K, Batista MFS, Buso PL, Von Bahten LC. Epidemiological
analysis of polytrauma patients with kidney injuries in a university hospital. Rev Col Bras Cir.
2015;42:385.

Khan AR, Fatima N, Anwar K (2010) Pattern and management of renal injuries at Pakistan Institute of
Medical Sciences. J Coll Phys Surg Pak 20:194–197

Lumen N, Martins F, Palminteri E, Ploumidis A. Advances in Urogenital Trauma and Reconstruction.


BioMed Research International. 2020;2020:1-2.

LYNCH T, MARTINEZPINEIRO L, PLAS E, SERAFETINIDES E, TURKERI L, SANTUCCI R et al. EAU


Guidelines on Urological Trauma. European Urology. 2005;47(1):1-15.

Smith, T.G., 3rd, et al. Damage control maneuvers for urologic trauma. Urol Clin North Am, 2013. 

40: 343. 


Syarif, Palinrungi A, Kholis K, Palinrungi M, Syahrir S, Sunggiardi R et al. Renal trauma: a 5-year
retrospective review in single institution. African Journal of Urology. 2020;26(1).

Urry, R.J., et al. The incidence, spectrum and outcomes of traumatic bladder injuries within the 

Pietermaritzburg Metropolitan Trauma Service. Injury, 2016. 47: 1057. 


Zinman LN, Vanni AJ. Surgical Management of Urologic Trauma and Iatrogenic Injuries. Surg Clin
North Am. 2016;96:425–39. 

Management of Fracture and Musculoskeletal Trauma
Pendahuluan
Definisi
Fraktur atau patah tulang merupakan keadaan terputusnya kontinutitas struktural dari tulang.
Terputusnya kontinuitas dapat berupa retakan atau patahnya tulang menjadi beberapa fragmen.
Fraktur terjadi akibat ketidakmampuan tulang untuk menahan stres atau tekanan mekanis, baik akibat
trauma, stres repetitif, dan kelemahan abnormal pada tulang [1].

Epidemiologi
Fraktur merupakan suatu kelainan yang umum ditemui di seluruh penjuru dunia. Terdapat sekitar 178
juta kasus baru fraktur (2296,2 kasus per 100.000 penduduk) yang terjadi pada 2019. Angka ini
bertambah sekitar 33% dari kasus fraktur pada 1990. Fraktur yang paling sering terjadi adalah fraktur
pada extremitas bawah, dan insidensi fraktur paling tinggi ada pada kelompok usia lansia. Angka
kejadian fraktur pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, terutama pada usia produktif (15-
44 tahun). Hal ini berhubungan dengan insiden kecelakaan, cedera olahraga, dan kekerasan yang lebih
tinggi pada laki-laki.2 Di Indonesia sendiri, angka kejadian fraktur yang tercatat pada Riset Kesehatan
Dasar 2018 sekitar 5 ribu kasus, atau 5,5% dari jenis cedera yang terjadi.3

Patofisiologi
Fraktur akibat trauma
Kebanyakan fraktur terjadi akibat gaya yang besar dan tiba-tiba. Secara umum, fraktur akibat trauma
dapat terjadi dengan dua macam cara[1]:

• Direct force
Terjadi diskontinuitas struktur tulang pada titik dimana gaya mengenai tulang. Hal ini biasanya
menyebabkan patahan tulang jenis transverse atau triangular/butterfly fragment. Kerusakan
pada kulit dan jaringan lunak umum terjadi. Pada crushing trauma, dapat terjadi fraktur
comminutive dengan kerusakan jaringan yang luas.
• Indirect force
Terjadi diskontinuitas struktur tulang jauh dari tempat dimana gaya bekerja

Kebanyakan fraktur terjadi akibat beberapa gaya yang bekerja pada tulang, dan beberapa mekanisme
yang sering terjadi antara lain[1]:

• gerakan memutar, menyebabkan fraktur dengan garis patahan spiral


• gerakan kompresi/menekan, menyebabkan fraktur dengan garis patahan miring/ oblique
• gaya dari arah samping/ bending, menyebabkan fraktur dengan fragmen triangular/ butterfly
• gerakan menarik/ tension, menyebabkan fraktur dengan garis patahan melintang/ transverse,
atau avulsi fragmen tulang pada perlekatan tendon atau ligamen.

Pada tulang cancellous, seperti vertebra, adanya gaya dapat menyebabkan tulang terpecah atau
remuk, sehingga bentuk tulang menjadi abnormal

Fraktur akibat stres repetitif (stress fracture)


Fraktur ini terjadi akibat stres atau tekanan yang berat, namun tidak cukup berat untuk mematahkan
tulang secara langsung, dan terjadi secara berulang/ repetitif. Stres dapat menyebabkan remodeling
pada tulang, dan apabila berlangsung lama, resorpsi tulang terjadi lebih cepat daripada pembentukan
tulang baru, sehingga tulang menjadi lebih rapuh dan rentan cedera. Stress fracture umumnya terjadi
pada atlet atau prajurit dengan aktivitas fisik yang tinggi[1].

Fraktur patologis
Fraktur patologis terjadi ketika suatu stres yang pada umumnya tidak menimbulkan cedera,
menimbulkan fraktur pada individu dengan kelemahan pada struktur tulang. Hal ini dapat terjadi
akibat perubahan struktur tulang (contoh: osteoporosis, Paget’s disease, dan osteogenesis
imperfecta), maupun lesi litik (contoh: tumor tulang, dan metastasis tulang) [1].

Tabel 1. Kelainan penyebab fraktur patologis[1]

Klasifikasi
Fraktur sangat bervariasi, sehingga dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa aspek, yaitu[1]:

• Fraktur terbuka vs tertutup


Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat kulit yang tidak intak, sehingga terdapat risiko
infeksi. Pada fraktur tertutup, kulit masih intak
• Tulang yang fraktur dan lokasinya
• Fraktur komplit vs inkomplit
Fraktur komplit adalah fraktur dimana tulang terpisah menjadi dua atau lebih fragmen.
Fraktur inkomplit adalah fraktur dimana tulang tidak terpisah sempurna menjadi dua fragmen,
dan periosteum masih intak.
• Jenis garis fraktur
Ada beberapa jenis garis fraktur, antara lain: longitudinal, transverse, oblique, spiral,
comminuted

Gambar 1. Jenis garis fraktur (a) spiral (b) oblique (c) triangular/butterfly (d) transverse[1]
• Jenis displacement
o translation: perpindahan ke samping dari fragmen tulang
o angulation: pembentukan sudut oleh dua fragmen tulang
o rotation: fragmen tulang berputar pada sumbu longitudinalnya
o shortening: pemendekan akibat tumpeng tindihnya dua fragmen
o separation: terbentuknya jarak antara dua fragmen
• Ada tidaknya keterlibatan sendi

Inti
Diagnosis
Anamnesis
Pasien umumnya mengeluhkan adanya nyeri, bengkak, memar dan perubahan bentuk
(deformitas) pada bagian yang cedera. Perlu ditanyakan pula adanya gejala dan tanda cedera dan
komplikasi, antara lain: nyeri dan bengkak di tempat lain, rasa kebas, kelemahan atau kelumpuhan
bergerak, kulit pucat atau kebiruan, adanya perdarahan, sesak dan kehilangan kesadaran[1].
Menggali riwayat cedera juga penting untuk dilakukan dalam anamnesis untuk mengetahui
perkiraan jenis fraktur, dan penting juga ditanyakan riwayat penyakit dan pengobatan yang
mempengaruhi kekuatan tulang (seperti pada kasus fraktur patologis) [1].

Pemeriksaan Fisik[1]

• Status Generalis

Apabila pasien mengalami cedera, perlu dilakukan primary survey dan stabilisasi (bila perlu)
pada ABC: airway, breathing, dan circulation

• Status Lokalis
• Look
Dapat ditemukan adanya memar, bengkak dan deformitas. Perhatikan apakah kulit masih
intak, untuk menentukan apakah terjadi fraktur terbuka. Perlu dicermati juga postur pada
distal dari fraktur dan warna kulit, untuk menentukan apakah ada kemungkinan cedera
pada neurovaskuler.
• Feel
Lakukan palpasi perlahan untuk mengetahui apakah ada nyeri tekan pada lokasi cedera.
Lakukan juga pemeriksaan pada perfusi, sensoris dan motoris di distal dari lokasi cedera
untuk mengetahui adanya cedera pada neurovaskulier.
• Move
Pemeriksaan dengan move sebaiknya tidak dilakukan karena tidak nyaman pada pasien.
Lebih baik tanyakan pada pasien, apakah pasien dapat menggerakkan sendi pada distal
lokasi cedera. Apabila terdapat pergerakan, dapat terdengar krepitus. Dapat pula
terdapat false movement, yang merupakan tanda yang spesifik untuk fraktur.

Pemeriksaan Penunjang[1]
Pemeriksaan penunjang utama pada fraktur adalah imaging dengan X-ray. X-ray dilakukan dengan
memperhatikan rule of twos:

• two views: minimal 2 view (AP dan lateral)


• two joints: sendi pada proximal dan distal fraktur harus terlihat
• two limbs: dilakukan perbandingan pada sisi kontralateral (terutama pada anak-anak, untuk
membedakan dengan epifisis imatur)
• two injuries: beberapa cedera parah dapat memperngaruhi beberapa lokasi (semisal, fraktur
pada calcaneus atau femur, perlu dilakukan x-ray juga pada pelvis dan spine)
• two occasions: dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan 1-2 minggu setelah cedera awal,
terutama pada cedera yang susah dideteksi, semisal fraktur tanpa displacement pada ujung
distal clavicula, scaphoid, collum femoris, malleolus lateralis, dan kasus-kasus cedera physis
dan stress fracture.

Pemeriksaan imaging lain dapat dilakukan apabila perlu, semisal:

• CT-scan: pada fraktur comminuted, fraktur spine, atau pada lokasi semisal acetabulum dan
calcaneum
• MRI: untuk mengetahui adanya kompresi medulla spinalis pada fraktur spine
• Radioisotope scan: pada kasus stress fracture atau fraktur patologis

Diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan imaging. Pada diagnosis, perlu dideskripsikan: (1) fraktur
terbuka atau tertutup (2) pada tulang apa dan lokasinya (3) keterlibatan sendi (4) bentukan fraktur
(garis fraktur dan displacement) (5) apakah fraktur stabil atau tidak stabil, dan (7) high-energy atau
low-energy trauma[1].

Terapi dan Tatalaksana


Fraktur Tertutup[1]
Prinsip penanganan fraktur terutup terdiri dari reduce, hold, and exercise

• Reduce: Manipulasi untuk memposisikan fragmen tulang pada lokasi yang ideal
Reduce atau reduksi bertujuan untuk aposisi/ mendekatkan secara cukup dan menormalkan
alignment dari fragmen-fragmen tulang.
o Reduksi tertutup
Reduksi tertutup dilakukan dengan manuver extremitas: (1) traksi searah sumbu
longitudinal tulang (2) disimpaksi dan (3) reposisi fragmen tulang; dan dilakukan
dengan pemberian anestesi dan muscle relaxant. Secara umum reduksi tertutup
digunakan untuk semua fraktur dengan displacement minimal, sebagian besar fraktur
pada anak-anak dan untuk fraktur yang tidak stabil yang dapat ditahan dengan bidai
atau casting.
o Reduksi terbuka
Dilakukan dengan pembedahan, dengan indikasi: (1) kegagalan reduksi tertutup,
karena kesulitan dalam memposisikan fragmen tulang atau adanya jaringan lunak di
antara fragmen, (2) adanya fragmen articular yang membutuhkan reposisi akurat, (3)
fraktur avulsi dimana fragmen terpisah jauh, dan (4) sebelum dilakukan fiksasi internal
• Hold: Mempertahankan posisi fragmen tulang (fiksasi) sampai terjadi penyatuan/ union
Terdapat beberapa metode untuk mempertahankan reduksi:
o Continuous traction.
o Casting
o Functional bracing.
o Internal fixation.
o External fixation
• Exercise: Latihan fisik untuk mempertahankan range of motion sendi, mengurangi edema,
mempercepat penyembuhan fraktur dan mencegah atrofi otot. Latihan fisik dapat dilakukan
secara pasif (digerakkan oleh orang lain) dan aktif (digerakkan oleh pasien sendiri)

Fraktur Terbuka[1]
Prinsip penanganan fraktur terbuka terdiri dari: (1) pemberian antibiotik profilaksis, (2) debridement,
(3) stabilisasi fraktur, dan (4) rawat luka. Luka harus dijaga agar tertutup dan lembab untuk mencegah
desikasi sebelum mencapai ruang operasi. Pemberian antibiotik dapat dilakukan di IGD, dengan
pemilihan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi bakteri Gram positif dan Gram negatif.
Pada kebanyakan kasus digunakan co-amoxiclav atau cefuroxime (atau clindamycin bila ada alergi
penisilin), dan ditambah gentamicin saat debridement. Dapat diberikan juga profilaksis tetanus.

Monitoring
• Komplikasi[1]
o Early
▪ jejas neurovaskuler
▪ sindrom kompartemen
▪ infeksi
▪ gas gangrene
▪ hemarthrosis
▪ ulkus decubitus
▪ emboli lemak
▪ emboli paru
o Delayed
▪ delayed union
▪ malunion
▪ non-union
▪ avascular necrosis
▪ gangguan pertumbuhan pada anak
▪ kontraktur
▪ instabilitas sendi
▪ osteoarthritis

Referensi
1. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. 2010. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 9th
ed. London: Hodder Arnold
2. GBD 2019 Fracture Collaborators. 2021. Global, regional, and national burden of bone
fractures in 204 countries and territories, 1990-2019: a systematic analysis from the Global
Burden of Disease Study 2019. The Lancet Healthy longevity, 2(9), e580–e592.
3. Kemenkes RI. 2019. Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta: Kemenkes RI
Emergency Care of Traumatic Spinal Injury
Pedahuluan
Definisi
Traumatic spinal injury atau cedera tulang belakang traumatik adalah cedera pada komponen
columna spinalis yang meliputi medulla spinalis, akar saraf, tulang, discus intervertebralis dan
ligament-ligamen penyangga columna spinalis. Cedera dapat terjadi karena trauma tajam dan/atau
trauma tumpul. Kerusakan pada struktur tulang belakang dapat menyebabkan nyeri, instabilitas
mekanis dan gangguan mobilitas, sementara kerusakan pada struktur neurologis dapat menyebabkan
gangguan sensorimotor dan otonom. Terdapat banyak jenis dari cedera tulang belakang, namun
semuanya berpotensi menyebabkan kecacatan dan kematian [1-2]

Epidemiologi
Angka kejadian cedera tulang belakang secara global sekitar 10.5 kasus/100.000 populasi, sehingga
diperkirakan terjadi lebih dari 700.000 kasus baru per tahunnya. Insidensi cedera tulang belakang lebih
[1]
banyak terjadi pada negara dengan miskin dan berkembang dibandingkan dengan negara maju .
Cedera tulang belakang paling sering terjadi pada laki-laki usia dewasa muda, dengan penyebab paling
sering terjadinya cedera tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh dan tindakan kekerasan
[1,3]
. Sampai saat ini, belum ada laporan mengenai epidemiologi cedera tulang belakang di Indonesia,
namun sebuah penelitian di RSUD Dr. Soetomo Surabaya mengungkapkan bahwa cedera tulang
belakang kebanyakan terjadi pada laki-laki, dengan penyebab paling sering adalah jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan tertimpa beban [4].

Patofisiologi
Secara umum, cedera tulang belakang terjadi karena trauma mendadak pada vertebra, sehingga
menyebabkan fraktur dan/atau dislokasi vertebra, sehingga dapat menyebabkan lesi pada medulla
[5]
spinalis , namun pada umumnya, kebanyakan trauma tidak menyebabkan terputusnya medulla
spinalis [6]. Terdapat empat mekanisme utama yang berperan dalam cedera medulla spinalis, yaitu: (1)
benturan dan kompresi persisten; (2) benturan dan kompresi sementara; (3) distraksi; dan (4)
laserasi/transeksi. Mekanisme yang paling sering terjadi adalah adanya benturan dan kompresi
persisten, pada umumnya terjadi karena burst fracture yang disertai kompresi medulla spinalis oleh
fragmen tulang. Benturan dan kompresi sementara dapat terjadi karena cedera akibat hiperekstensi.
Cedera distraksi terjadi ketika dua vertebra yang berdekatan ditarik ke dua arah berlawanan,
menyebabkan columna spinalis meregang dan robek. Cedera transeksi terjadi akibat trauma tajam
[6-11]
(akibat kejadian serangan benda tajam atau fragmen tulang yang tajam) atau dislokasi berat .
Selain itu, kerusakan juga dapat terjadi pada pembuluh darah, sehingga dapat berakibat pada
hipotensi, syok dan iskemia [12]

Klasifikasi
Cedera tulang belakang dapat diklasifikasikan berdasarkan AOSpine Trauma Classification system,
yaitu sebagai berikut [13]:

• Cedera vertebra cervical bagian atas:

Gambar 1. Klasifikasi cedera vertebra cervical bagian atas [13]

• Cedera vertebra subaxial

Gambar 2. Klasifikasi cedera vertebra subaxial [13]

• Cedera vertebra thoracolumbar


Gambar 3. Klasifikasi cedera vertebra thoracolumbar [13]

• Cedera vertebra sacral

Gambar 4. Klasifikasi cedera vertebra sacral [13]

Sementara itu, berdasarkan tingkatan cedera pada medulla spinalis, cedera tulang belakang dapat
diklasifikasikan dengan AIS Impairment scale sebagai berikut:

Tabel 1. AIS Impairment scale [14]

Inti [15-17]
Diagnosis
Anamnesis
Perlu ditanyakan kepada keluarga atau pengantar pasien mengenai AMPLE:
• Allergy: riwayat alergi
• Medications: pengobatan yang tengah dijalani pasien saat ini
• Past illness/ pregnancy: riwayat sakit terdahulu/ kehamilan. Pada cedera tulang belakang,
adanya riwayat instabilitas tulang belakang merupakan salah faktor risiko yang penting.
• Last meal: waktu saat makan terakhir
• Event: lingkungan yang berhubungan dengan kejadian cedera. Umumnya cedera tulang
belakang terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh, kekerasan dan cedera olahraga.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai:

• Penurunan kesadaran (GCS <15)


• Hipotensi (akibat syok hemoragik/ syok neurogenik)
• Bradikardia
• Nyeri punggung
• Jejas pada punggung
• Kelemahan motoris pada extremitas atas dan bawah
• Gangguan sensoris pada extremitas atas dan bawah
• Gangguan otonom (inkontinensia urin, inkontinensia alvi, priapismus, dsb)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis yang utama dalam cedera tulang belakang adalah CT scan spine. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan CT scan dapat ditemukan adanya kelainan vertebra (fraktur, dislokasi ) serta adanya
penyempitan dalam canalis spinalis. MRI dapat lebih baik dalam visualisasi cedera akut dan lebih baik
dalam visualisasi jaringan lunak, namun pemeriksaan MRI memerlukan waktu lama dan tidak praktis
digunakan dalam kasus kegawatdaruratan. Pemeriksaan MRI lebih banyak digunakan pada kasus
cedera tulang belakang pada anak-anak.

Terapi dan Tatalaksana


Apabila terdapat pasien dengan kecurigaan cedera tulang belakang, Langkah penanganannya adalah
sebagai berikut:

1. Lakukan primary survey dan stabilisasi Airway, Breathing dan Circulation, sekaligus dengan
imobilisasi spine.
a. Saat menilai dan mempertahankan jalan napas, hindari gerakan berlebihan dari
cervical spine
b. Apabila terdapat syok, lakukan resusitasi cairan dengan target tekanan darah sistolik
90-100 mHg, denyut jantung 60-100x/menit, output urin 30 ml/jam dan normotermia.
2. Lakukan asesmen lanjutan pada pasien untuk menemukan gejala klinis dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik
3. Lakukan pemeriksaan X ray spine AP/ lateral/oblique dengan fokus pada lesi, apabila terdapat
kecurigaan cedera spine, maka dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan CT scan untuk
menegakkan diagnosis. MRI dapat dilakukan untuk menemukan lesi pada jaringan lunak
4. Untuk menentukan apakah dibutuhkan terapi operasi, dapat dilakukan skoring TLICS untuk
cedera thoracolumbal dan SLIC untuk cedera subaxial

Tabel 2. TLICS scoring [16]

Tabel 3. SLIC scoring [16]


5. Dekompresi bedah sebaiknya dilakukan dalam 24 jam pertama setelah cedera, untuk
memaksimalkan perbaikan neurologis pasien
6. Pada fase akut, hindari pemberian metilprednisolon
7. Dapat diberikan low molecular weight heparin (LMWH) sebagai profilaksis kejadian venous
thromboembolism (VTE) dalam 72 jam setelah cedera. Namun pemberian LMWH tetap
memperhatikan klinis dan resiko perdarahan pada pasien.
8. Setelah pasien stabil, dapat dilakukan tatalaksana rehabilitatif dan fisioterapi untuk
mengembalikan fungsi dan meningkatkan kualitas individu pasien secara optimal

Penutup
Prognosis
Prognosis dari cedera tulang belakang sangat bervariasi, tergantung dari keparahan dan lokasi cedera.
Pasien dengan paraplegia inkomplit umumnya memiliki prognosis pemulihan lokomotor baik (∼76%
pasien) dalam waktu satu tahun. Namun, pasien paraplegia komplit mengalami pemulihan terbatas
fungsi ekstremitas bawah jika level cedera di atas T9. Level cedera di bawah T9 berpeluang 38% untuk
mendapatkan kembali fungsi ekstremitas bawah. Pasien dengan tetraplegia inkomplit memiliki
prognosis lebih baik dari tetra- dan paraplegia lengkap. Pasien dengan tetraplegia lengkap, 66-90%
dapat memulihkan cedera satu level di bawah medulla spinalis yang cedera. Kekuatan otot pada saat
cedera merupakan prediktor penting dari pemulihan fungsional pada pasien. Pemulihan sensorik
spontan biasanya mengikuti pola pemulihan motorik [5, 14, 16].

Take-home message
Cedera tulang belakang merupakan salah satu cedera penyebab kecacatan dan kematian. Cedera ini
paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disusul jatuh dan kekerasan. Penanganan yang
cepat dan tepat dapat membantu memperbaiki prognosis pasien.

Referensi
1. Kumar, R., Lim, J., Mekary, R. A., Rattani, A., Dewan, M. C., Sharif, S. Y., Osorio-Fonseca, E., &
Park, K. B. (2018). Traumatic Spinal Injury: Global Epidemiology and Worldwide Volume. World
neurosurgery, 113, e345–e363. https://doi.org/10.1016/j.wneu.2018.02.033
2. Fehlings, M. G., Tetreault, L. A., Wilson, J. R., Kwon, B. K., Burns, A. S., Martin, A. R., Hawryluk,
G., & Harrop, J. S. (2017). A Clinical Practice Guideline for the Management of Acute Spinal
Cord Injury: Introduction, Rationale, and Scope. Global spine journal, 7(3 Suppl), 84S–94S.
https://doi.org/10.1177/2192568217703387
3. World Health Organization. 2013. Spinal cord injury. Diakses dari https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/spinal-cord-injury [Diakses 02 Maret 2022]
4. WIdhiyanto, L., Martiana, I.K., Airlangga, P.A., Permana, D. 2019. Studi Epidemiologi Fraktur
Vertebra di RSUD Dr.Soetomo Surabaya Pada Tahun 2013-2017. Qanun Medika, 3(1), 15-22\
5. Alizadeh, A., Dyck, S. M., & Karimi-Abdolrezaee, S. (2019). Traumatic Spinal Cord Injury: An
Overview of Pathophysiology, Models and Acute Injury Mechanisms. Frontiers in neurology,
10, 282. https://doi.org/10.3389/fneur.2019.00282
6. Tator C, Fehlings M. Review of the secondary injury theory of acute spinal cord trauma with
emphasis on vascular mechanisms. J Neurosurg. (1991) 75:15–26
7. Dumont RJ, Okonkwo DO, Verma S, Hurlbert RJ, Boulos PT, Ellegala DB, et al. Acute spinal cord
injury, part I: pathophysiologic mechanisms. Clin Neuropharmacol. (2001) 24:254–64. doi:
10.1097/00002826-200109000-00002
8. Sekhon L, Fehlings M. Epidemiology, demographics, and pathophysiology of acute spinal cord
injury. Spine. (2001) 26:S2–12. doi: 10.1097/00007632-200112151-00002
9. Rowland JW, Hawryluk GW, Kwon B, Fehlings MG. Current status of acute spinal cord injury
pathophysiology and emerging therapies: promise on the horizon. Neurosurg Focus. (2008)
25:E2. doi: 10.3171/FOC.2008.25.11.E2
10. Choo AM, Liu J, Liu Z, Dvorak M, Tetzlaff W, Oxland TR. Modeling spinal cord contusion,
dislocation, and distraction: characterization of vertebral clamps, injury severities, and node
of Ranvier deformations. J Neurosci Methods. (2009) 181:6–17. doi:
10.1016/j.jneumeth.2009.04.007
11. Fehlings MG, Smith JS, Kopjar B, Arnold PM, Yoon ST, Vaccaro AR, et al. Perioperative and
delayed complications associated with the surgical treatment of cervical spondylotic
myelopathy based on 302 patients from the AOSpine North America Cervical Spondylotic
Myelopathy Study. J Neurosurg Spine. (2012) 16:425–32. doi: 10.3171/2012.1.SPINE11467
12. Fehlings MG, Sekhon LH. Restoration of spinal cord function. Am Academy of Orthopaedic
Surgeons, Orthopaedic Knowledge Update: Spine 2(Chapter49). (2002) 483-488.
13. AO Spine. n.d. AO Spine Classification System. Diakses dari:
https://aospine.aofoundation.org/clinical-library-and-tools/ao-spine-classification-systems
[Diakses 02 Maret 2022]
14. van Middendorp, J. J., Goss, B., Urquhart, S., Atresh, S., Williams, R. P., & Schuetz, M. (2011).
Diagnosis and prognosis of traumatic spinal cord injury. Global spine journal, 1(1), 1–8.
https://doi.org/10.1055/s-0031-1296049
15. Maschmann, C., Jeppesen, E., Rubin, M. A., & Barfod, C. (2019). New clinical guidelines on the
spinal stabilisation of adult trauma patients - consensus and evidence based. Scandinavian
journal of trauma, resuscitation and emergency medicine, 27(1), 77.
https://doi.org/10.1186/s13049-019-0655-x
16. National Institute for Health and Care Excellence. 2016. Spinal injury: assessment and initial
management. UK: National Institute for Health and Care Excellence
17. Gandham, S. dan Annis, P. 2020. The principles of the advanced trauma life support (ATLS)
framework in spinal trauma. Orthopaedics and Trauma, 34(5), 305-314
Updates on Burn Injury Management
Pedahuluan
Definisi
Luka bakar adalah cedera pada kulit atau jaringan organik lainnya yang disebabkan oleh trauma panas,
dingin, radiasi, listrik, atau kontak dengan bahan kimia. Luka bakar memiliki angka kejadian dan
prevalensi yang tinggi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Selain itu, luka bakar memiliki resiko
morbiditas dan mortalitas yang tinggi [1]. Luka bakar juga memerlukan sumber daya yang banyak dan
memerlukan biaya perawatan yang besar sehingga perlu dilakukan pencegahan yang baik dan
penanganan yang adekuat [2].

Epidemiologi
Menurut data dari WHO pada 2018, terdapat 180.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh luka
bakar dengan 90% diantaranya terjadi pada negara berkembang [1]. Studi terakhir yang dilakukan oleh
RISKESDAS pada tahun 2018 menunjukkan angka kejadian kasus luka bakar di Indonesia tekah
mencapai 1,3 % dan mengalami tren peningkatan [3]. Sejauh ini, data tentang faktor prognostik
mortalitas di Indonesia sendiri belum ada, namun sebuah studi di RS Dr. Soetomo pada tahun 2012
menunjukkan angka mortalitas penderita luka bakar yang masih cukup tinggi, yaitu 26,41% [2].

Patofisiologi
Luka bakar termal adalah jenis luka bakar yang paling umum. Kebanyakan luka bakar kecil dan dangkal
hanya menyebabkan cedera lokal. Namun, luka bakar bisa lebih besar dan lebih dalam, dan pasien
juga dapat memiliki respons sistemik terhadap luka bakar yang parah. [4] Luka bakar memicu proses
nekrosis koagulatif pada lapisan kulit yang berbeda serta jaringan di bawahnya. Derajat kerusakan yg
dihasilkan tergantung pada energi yang dibawa oleh agen penyebab, lama paparan, di samping suhu
di mana kulit terpapar [5]. Pemahaman terkini tentang luka bakar mencakup tiga zona cedera: zona
koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia. Wilayah koagulasi mewakili jaringan yang hancur pada saat
cedera. Ini dikelilingi oleh zona stasis, dengan peradangan dan tingkat perfusi yang rendah. Di luar
zona stasis adalah zona hiperemia, di mana perfusi mikrovaskular tidak terganggu. Seringkali area
stasis akan berkembang dan menjadi nekrotik dalam waktu yang pertama. 48 jam setelah cedera
termal. Akibatnya, luka bakar awal meluas di area dan kedalaman. Cedera termal dapat menginduksi
keadaan imunosupresi yang membuat pasien rentan terhadap sepsis dan kegagalan organ multipel
[6]. Imunosupresi adalah ciri khas luka bakar mayor, predisposisi pasien luka bakar terhadap infeksi
yang disebabkan oleh anergi limfosit dan akibatnya kelangsungan hidup allografts yang
berkepanjangan. Reaksi ini mungkin melibatkan sejumlah respons hormon sistemik dari sistem
endokrin serta perubahan berbagai signaling cascade, termasuk peningkatan hormon pertumbuhan,
katekolamin, dan kortisol [7].

Gambar 1. 4 fase proses penyembuhan luka. Lama penyembuhan tergantung pada beberapa faktor
termasuk tingkat keparahan cedera, aktivasi kaskade inflamasi dan nutrisi. IFN, interferon [8[.

Klasifikasi
[Secara sederhana, luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman jaringan yang terkena
dan luas area yang terkena. Berdasarkan kedalaman jaringannya, luka bakar dapat diklasifikasikan
menjadi luka bakar dermal superfisial dan dalam. Pada luka bakar superfisial, cedera pada lapisan
dermal cenderung tidak ada atau minim. Luka bakar yang termasuk sebagai dermal superfisial adalah
luka bakar grade 1 dan grade 2 superficial, umumnya dapat sembuh dalam 3 minggu tanpa gejala sisa
[9]. Sementara itu, luka bakar dermal meliputi luka bakar pada lapisan dermis secara sebagian atau
seluruhnya dan diklasifikasikan sebagai luka bakar grade 2 dalam, grade 3, dan grade 4 bergantung
pada cedera dermal yang dialami dan jaringan dalam yang terkena. Umumnya akan sembuh dalam
lebih dari tiga minggu dan biasanya memerlukan intervensi bedah [10].
American Burn Association mengklasifikasikan luka bakar menjadi 3 tipe dengan beberapa kriteria,
diantaranya adalah luas area yang terbakar, kedalaman jaringan yang terkena, usia korban, serta
regio yang terkena luka bakar [11].

Gambar 2. Klasifikasi luka bakar berdasarkan American Burn Association, 2018 [11]

Gambar 3. Pembagian luas luka bakar berdasarkan PNPK Tata Laksana Luka Bakar 2019 [2]
Inti
Diagnosis (untuk penyakit)
Anamnesis
Investigasi kausa luka pada pasien karena luka bakar dapat disebabkan oleh berbagai sumber dengan
penanganan yang berbeda-beda. Luka bakar dapat disebabkan oleh berbagai kausa. Tanyakan pula
kronologis kejadian, misalnya berapa lama kontak dengan kausa luka dan seberapa banyak volume
kausa (terutama pada kasus luka bakar karena air panas dan bahan kimia) karena dapat membantu
kita untuk memperkirakan kedalaman luka. Tanyakan juga mengenai onset luka bakar pada pasien
dan perawatan apa saja yang selama ini sudah diberikan. Temuan dari hasil anamnesis akan
berkorelasi dengan karakter luka yang dialami pasien [10].

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada luka bakar dapat langsung dilakukan dengan mengklasifikasikan luka
berdasarkan hasil inspeksi terhadap kedalaman jaringan dan luas area yang terkena luka bakar. ‘Rule
of Nine’ secara kasar dapat memperkirakan luka bakar orang dewasa, sementara pada anak-anak
menggunakan diagram Lund Browder. Perhatikan warna kulit yang terkena luka bakar. Kulit yang
berwarna kehitaman dan kering mengarah kepada luka bakar derajat 3. Amati apakah terdapat bulla
dan perhatikan warnanya. Pemeriksaan VAS scale digunakan untuk mengetahui tingkatan nyeri luka
bakar pada pasien. Temuan hipestesia dan anestesia mengarah pada derajat luka bakar yang lebih
tinggi, berbanding terbalik dengan luka bakar derajat 1 dan 2 yang cenderung hiperestesia.
Gambar 4. Diagram Rule of Nine dan Diagram Lund Browder

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan bagian dari review primary survey. Pemeriksaan penujang yang
dapat dikerjakan bisa berupa pemeriksaan laboratorium yang mencakup hemoglobin, serum
kreatinin, serum elektrolit, urin mikroskopik, analisis gas darah, karboksihemoglobin, serta kadar gula
darah. Dapat dilakukan pemeriksaan EKG dan foto thorax bila diperlukan

Diagnosis
Diagnosis luka bakar sudah dapat dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang adekuat.

Terapi dan Tatalaksana


Secara umum, urutan pertolongan pertama pada korban luka bakar adalah sebagai berikut [9] :

- Datang ke tempat kejadian dengan melibatkan orang lain untuk meminta bantuan
- Jangan Panik
- Evaluasi lingkungan sekitar
- Jauhkan korban dari tempat kejadian dan hentikan sumber panas dengan teknik stop, drop,
cover & roll
- Turunkan suhu luka dengan air mengalir
- Lakukan pertolongan primary survey
- Kondisikan pasien dalam keadaan kering dan hangat
- Stabilkan korban hingga pertolongan datang, atau dibawa ke sarana medis

Penanganan pada luka bakar disesuaikan dengan derajat luka itu sendiri. Pada luka bakar derajat
pertama, penanganan luka bakar cukup dengan membasuh daerah yang terbakar air keran yang
mengalir selama 20 menit dalam 15 menit pertama, dan menghentikan paparan panas lebih lanjut
serta pemberian analgetik untuk meredakan nyerinya. Penanganan luka bakar derajat dua dan tiga
membutuhkan perawatan yang lebih kompleks [11].

1. Primary Survey

Pada tahap ini, segera lakukan identifikasi kondisi-kondisi mengancam jiwa dan lakukan manajemen
emergensi yang dibagi menjadi ABCDEF [10:

A. (Airway)
Penalataksanaan jalan nafas dan manajemen trauma cervical. Lakukan gerakan head tilt dan
chin lift. Bila diperlukan, lakukan pemasangan jalan napas buatan yaitu oropharyngeal airway
pada pasien yang tidak sadar dan dapat dilakukan Intubasi endotrakeal bila dibutuhkan.
Lakukan proteksi pada area cervical dengan pemasangan collar brace yang rigid.
B. (Breathing)
Pernapasan dan ventilasi. Nilailah aspek pernafasan pasien dengan metode look, listen, and
feel. Evaluasi apakah frekuensi dan kedalaman pernafasan pasien sudah adekuat dan apakah
terdapat suara nafas tambahan pada pasien. Luka bakar di seluruh bagian tubuh dapat
mengganggu proses ventilasi dan harus dipantau secara ketat. Amati apakah terdapat eschar
pada pasien. Bila terdapat eschar, lakukan escharotomy pada secondary survey sesuai dengan
indikasi.
C. (Circulation)
Sirkulasi dengan kontrol perdarahan. Mengevaluasi tekanan darah, denyut nadi, warna kulit,
pengisian kapiler, dan saturasi kulit. Pasang kateter ke dalam vena, memulai pemberian cairan
dan ambil sampel darah untuk diperiksakan.
D. (Disability)
Status neurogenik. Evaluasi metode AVPU: A – Alert, V – Respons terhadap stimulus verbal,
P - Respon hanya pada stimulus yang menyakitkan, U – Unresponsive. Cek pupil.
E. (Exposure)
Pajanan dan Pengendalian lingkungan. Lepaskan semua pakaian dan perhiasan yang melekat
pada pasien. Jaga suhu tubuh pasien dengan memberikan cairan intravena yang dihangatkan
(37 - 40C) untuk mempertahankan suhu inti tubuh.. Hitung perkiraan TBSA dari pasien.
Lakukan log roll pada pasien.
F. (Fat, Analgesia, Tests, Tubes
Resusitasi cairan yang adekuat dan monitoring. Fluid – Resusitasi cairan yang adekuat,
Analgetik – berikan morfin,dosis 0,05 mg/kgbb, Tests – Lakukan pemeriksaan laboratorium
seperti lab darah dan pemeriksaan penunjang lainnya, Tube – dapat dilakukan pemasangan
nasogastric tube dan kateter

2. Secondary Survey

Tahap ini dilakukan setelah kondisi mengancam nyawa diyakini telah diatasi. Pemeriksaan
dilakukan menyeluruh mulai dari kepala sampai kaki dengan tujuan untuk menegakkan diagnosis
yang tepat [11].

a. Riwayat penyakit
- A (Allergies) - Riwayat alergi.
- M (Medications) - Obat – obat yang sudah dikonsumsi.
- P (Past illness) - Penyakit sebelum terjadi trauma
- L (Last meal) - Makan terakhir
- E (Events) - Peristiwa yang terjadi saat trauma
b. Mekanisme trauma
- Luka bakar: Durasi paparan; Jenis pakaian yang digunakan; Suhu dan kondisi air jika
penyebab luka bakar adalah air panas; Kecukupan tindakan pertolongan pertama.
- Trauma tajam: Kecepatan proyektil; Jarak; Arah gerakan pasien saat terjadi trauma; Panjang
pisau, jarak dimasukkan, arah.
- Trauma tumpul: Kecepatan dan arah benturan; Penggunaan sabuk pengaman; Jumlah
kerusakan kompartemen penumpang; Ejeksi (terlontar); Jatuh dari ketinggian; Jenis letupan
atau ledakan dan jarak terhempas
c. Pemeriksaan survei sekunder
- Lakukan pemeriksaan head to toe merujuk pada pemeriksaan sekunder ATLS course
d. Persiapkan dokumen transfer
e. Evaluasi status imunisasi tetanus pasien dan diberikan jika ada indikasi
f. Review kembali primary survey, khususnya pada pasien dengan : gangguan pernapasan,
insufisiensi sirkulasi perifer, gangguan neurologis, monitoring kecukupan resusitasi cairan.
Lakukan penilaian radiologi, khususnya foto toraks. Amati warna urine untuk deteksi
haemochromogens. Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti EKG dan
Pemeriksaan laboratorium.
3. Rawat luka
- Bersihkan luka bakar, cuci luka dengan menggunakan larutan chlorhexidine 0,1%
- Tutup luka dan berikan dressing pada luka, menyesuaikan dengan onset luka. Bila onset luka
kurang dari 8 jam, gunakan plastic wrap dan dressing bersih. Bila onset luka lebih dari 8 jam
maka berikan antimikroba topical. Jangan memasang dressing terlalu ketat supaya tidak
menimbulkan edema
- Posisikan ekstremitas dalam keadaan elevasi
- Luka dapat dibuka pada hari ke 5 – 7 dengan catatan tidak ada tanda infeksi pada luka
- Rawat luka dapat dilakukan dengan pembiusan total di kamar operasi untuk luka bakar
sedang dan berat
4. Tatalaksana bedah emergensi
a. Escharotomi.
Tindakan insisi eschar yang melingkari dada atau ekstremitas untuk mencegah gangguan
breathing dan mencegah penekanan struktur penting yang terdapat pada ekstremitas
(pembuluh darah, saraf). Escharotomi dilakukan hanya bila terdapat indikasi berupa luka
bakar yang mengenai seluruh ketebalan dermis sehingga timbul edema yang dapat menjepit
pembuluh darah, misalnya luka bakar melingkar di ekstremitas dan dada.

Prosedur:

1. Pastikan diagnosis eschar sudah tepat.


Eschar adalah struktur putih / pucat yang bersifat tidak nyeri dan umumnya akan
mengeras. Periksa apakah terdapat eschar yang melingkar di dada dan esktremitas lalu
amati tanda-tanda gangguan breathing (frekuensi napas meningkat). Amati pula tanda-
tanda penekanan struktur penting, misalnya jari-jari yang terasa kebas, nyeri, pucat,
dingin, dan tidak bisa digerakkan.
2. Insisi
Tindakan dikerjakan secara asepsis dan antisepsis. Insisi escharotomy dilakukan sesuai
dengan lokasi eschar. Misalnya, lakukan insisi eschar pada dada di linea midaksilaris
bilateral. Insisi eschar pada antebrachii dilakukan di linea midulnar dan midradial. Pada
eschar yang berada di cruris, insisi dilakukan pada linea medial dan lateral. Insisi eschar
pada dorsum manus dan dorsum pedis umumnya dilakukan dengan membuat 3 insisi
berbentuk kipas.
3. Hemostasis luka.
4. Penutupan luka dengan menggunakan kasa steril dan elastic bandage pada ekstremitas
serta plester pada dada.
b. Fasciotomi
Lakukan fasciotomy bila terdapat indikasi yang mengarah kepada tanda-tanda sindroma
kompartemen, yaitu: pemeriksaan palpasi yang terasa keras dan berat, hilangnya sensasi
perifer secara progresif, dan nadi yang tidak teraba.
5. Resusitasi cairan pada luka bakar
Resusitasi cairan pada luka bakar harus dilakukan pada luka bakar derajat dua atau tiga
dengan luas lebih dari > 20%.
a. Resusitasi cairan dapat dimulai dengan menggunakan rumus 4 mL/Kg/% TBSA,
berikan setengah dari jumlah volume pada 8 jam pertama.
b. Sebelum mentransfer pasien ke unit luka bakar, pastikan luas luka bakar dengan tepat
dan tinjau kembali formula cairan yang diberikan, titrasi cairan, dan urin output secara
teratur.
c. Tingkatkan jumlah titrasi cairan ketika terjadi oliguria. Kurangi cairan sebanyak kurang
lebih 10% dari pemberian bila urin output >1mL/kg BB/jam (dewasa) dan urin output
>1.5mL/kg BB/jam (anak).
d. Pertimbangkan pemberian cairan koloid albumin 5% ketika jumlah cairan melebihi
120%-200% dari jumlah yang dihitung.
e. Pantau adanya edema lalu ulangi pemeriksaan edema, tekanan jalan nafas dan
volume tidal pasien. Periksa tekanan kandung kemih ketika jumlah cairan mencapai
>200-250 ml/kg atau > 500 mL/jam.

Monitoring
Sudah tercantum di bagian terapi

Penutup
Edukasi
- Jangan mengoleskan sesuatu ke bagian tubuh yang terkena luka bakar, misalnya : kecap, pasta
gigi, menterga, terigu, putih telur, teh.
- Dilarang meletakkan es batu dan air es di bagian yang terkena luka bakar.
- Sebagai langkah pencegahan, pasien perlu lebih berhati-hati dengan sumber panas di sekitar
kita misalnya air panas, setrika, knalpot, kabel listrik, dan zat kimia terutama pada anak-anak
- Jauhkan bahan-bahan yang dapat menyebabkan terjadinya luka bakar, gunakan alat
pelindung diri yang tepat ketika bekerja [12].

Prognosis
Prognosa luka bakar dipengaruhi oleh berbagai variable, yaitu : keparahan luka bakar, usia ekstrem
(manula /anak-anak), penyakit lain yang mendasari pasien, dan trauma penyerta lain. Menurut The
Australian & New Zealand Burn Association (ANZBA), rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi
dapat bila pasien masuk dalam salah satu dari kriteria berikut [13]:

1. Luka bakar lebih dari 10% Total Body Surface Area (TBSA)
2. Luka bakar lebih dari 5% TBSA pada anak
3. Luka bakar full thickness lebih dari 5% TBSA
4. Luka bakar pada area khusus (Wajah, tangan, kaki, genitalia, perineum, sendi utama, dan
luka bakar yang mengelilingi ekstremitas serta luka bakar pada dada)
5. Luka bakar dengan trauma inhalasi
6. Luka bakar listrik
7. Luka bakar karena zat kimiawi
8. Luka bakar dengan penyakit yang menyertai sebelumnya
9. Luka bakar yang disertai trauma mayor
10. Luka bakar pada usia ekstrem: anak sangat muda dan orang tua
11. Luka bakar pada wanita hamil
12. Luka bakar bukan karena kecelakaan

Take-home message
Penanganan awal yang adekuat pada luka bakar sangat bermanfaat dan wajib dipahami untuk
menyelamatkan nyawa, memberikan kesembuhan yang lebih cepat, mengurangi resiko kecacatan,
dan menyelamatkan masa depan pasien.

Daftar singkatan
-

Referensi
1. Burns [Internet]. Who.int. 2021 [cited 22 February 2022]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/burns
2. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Luka Bakar. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2019.
3. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018.
4. Schaefer TJ, Szymanski KD. Burn Evaluation And Management. [Updated 2021 Aug 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430741/
5. Kaddoura, I., Abu-Sittah, G., Ibrahim, A., Karamanoukian, R., & Papazian, N. (2017). Burn
injury: review of pathophysiology and therapeutic modalities in major burns. Annals of burns
and fire disasters, 30(2), 95–102.
6. Nielson CB, Duethman NC, Howard JM, Moncure M, Wood JG. Burns: Pathophysiology of
Systemic Complications and Current Management. J Burn Care Res. 2017
Jan/Feb;38(1):e469-e481. doi: 10.1097/BCR.0000000000000355. PMID: 27183443; PMCID:
PMC5214064.
7. Rose, L. F., & Chan, R. K. (2016). The Burn Wound Microenvironment. Advances in wound
care, 5(3), 106–118. https://doi.org/10.1089/wound.2014.0536
8. Jeschke, M.G., van Baar, M.E., Choudhry, M.A. et al. Burn injury. Nat Rev Dis Primers 6, 11
(2020). https://doi.org/10.1038/s41572-020-0145-5
9. WHO Surgical Care at the District Hospital 2003
10. 5. Stander M, Wallis L. The Emergency Management and Treatment of Severe Burns.
Emergency Medicine International. 2011;2011:1-5.
11. Advanced Burn Life Support Course. Chicago: American Burn Association; 2018.
12. Herndon D. Total Burn Care E-Book. Philadelphia: Elsevier; 2017.
13. Australia and New Zealand Burn Association. Emergency Management of Severe Burns
(EMSB) Australia ANZBA 2013.
WORKSHOP
Case Study on Brain Trauma: From Diagnosis to Treatment in Primary Care
Definisi
Traumatic Brain Injury (TBI) atau cedera otak merupakan gangguan fungsi atau adanya patologi pada
otak yang disebabkan oleh pengaruh eksternal1.

Epidemiologi
Berdasarkan literatur yang ada, diperkirakan terdapat 2,87 juta kasus TBI terjadi di Amerika Serikat
(AS) pada tahun 2014 dengan lebih dari 837.000 kasus terjadi pada anak-anak2. Secara umum, kecelakaan
lalu lintas (KLL) dan jatuh merupakan dua penyebab utama TBI. Sebelumnya, KLL merupakan penyebab
tersering yang menyebabkan TBI. Dalam beberapa tahun terakhir, penurunan jumlah kecelakaan lalu lintas
telah menyebabkan transisi dalam proporsi relatif KLL sebagai penyebab TBI di negara-negara berpenghasilan
tinggi. Sehingga berdasarkan data saat ini, jatuh merupakan penyebab terbanyak terjadinya TBI di berbagai
negara3–5.

Patofisologi
Secara umum TBI disebabkan adanya gaya mekanis yang mengenai kepala sehingga menyebabkan
adanya gangguan fungsi neurologis dan patologi di dalam otak. TBI sendiri dapat terjadi akibat rotasi,
akselerasi/deselerasi otak, blast wave, dan adanya kavitasi fokal. Manifestasi klinis TBI sangat bervariasi, hal
ini disebabkan beberapa faktor yang berkontribusi antara lain: besarnya gaya mekanik, lokasi benturan, dan
mekanisme cedera6,7.

Gambar 1. Skema patofisiologi TBI8

Klasifikasi
TBI umumnya diklasifikasikan berdasarkan skor glasgow coma scale (GCS). Penderita dengan skor GCS
13-15 diklasifikasikan sebagai TBI ringan, 9-12 sebagai TBI sedang, dan ≤8 sebagai TBI berat. GCS diterima
secara universal sebagai alat untuk klasifikasi TBI karena sederhana, reproduktif dan memiliki nilai prediktif
prognosis bagi penderita9,10.

Alat dan Bahan

D
F

Gambar 2. Alat dan bahan A) IV canule; B) Endotracheal tube; C) Laryngoscope; D) Oropharyngeal airway;
E) Bag valve mask; F) Pulse oximeter

Alur Tatalaksana
Hal pertama dan yang paling penting dalam kasus TBI adalah melakukan pertolongan segera atau primary
survey dengan cara evaluasi sistematis mengikuti prinsip ABCDE9,11. Apabila pasien sudah stabil lanjut
algoritma manajemen TBI pada gambar 3 dan 4.
Airway
1. Menilai stabilitas jalan napas
• Nilai apakah ada usaha napas dari pasien.
• Mencari apakah ada tanda-tanda obstruksi jalan napas (penggunaan otot bantu napas, gerakan
dada paradoksal, pernapasan jungkat-jungkit/see-saw).
• Dengarkan apakah ada bising dan suara napas. Apakah suara napas ada, tidak ada, berkurang
atau bising. Adanya bising napas menunjukkan obstruksi jalan napas parsial baik oleh lidah atau
benda asing.
• Nilai patensi jalan napas secara bersamaan dengan mengamankan bagian cervical penderita. Hal
ini penting karena pada kasus pendarahan, trauma langsung pada kepala/leher atau
ketidaksadaran dapat menyebabkan masalah penanganan jalan napas.
2. Manuver jalan napas
• Buka jalan napas menggunakan chin lift dan jaw thrust.
• Hisap jalan napas jika ditemukan sekret yang berlebihan atau jika pasien tidak mampu
membersihkan jalan napasnya sendiri. Hati-hati dalam melakukan prosedur penyedotan, hal ini
dikarenakan penyedotan secret dalam durasi lama dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK).
• Masukkan oropharyngeal tube jika diperlukan.
3. Amankan jalan napas (jika perlu)
• Pertimbangkan intubasi dini jika ada tanda-tanda: penurunan tingkat kesadaran GCS ≤8 (TBI
berat), jalan napas tidak terlindungi, pasien tidak kooperatif, hipoventilasi, hipoksia atau
obstruksi jalan napas: stridor, suara serak.
• Bantu ventilasi penderita dengan bag valve mask bersamaan dengan persiapan pelaksanan
prosedur intubasi. Intubasi sendiri dapat menyebabkan peningkatan TIK sementara, yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder. Oleh karena itu lebih disarankan untuk prosedur intubasi
dilakukan oleh dokter yang sudah berpengalaman serta diberikan obat sedatif dan relaksan.
Breathing
1. Berikan oksigen aliran tinggi
• Pastikan oksigen aliran tinggi diberikan untuk mempertahankan saturasi di atas 90%. Oksigenasi
yang memadai ke otak merupakan elemen penting dalam menghindari cedera otak sekunder
2. Menilai dada
• Lihat (gerakan toraks, lesi).
• Dengarkan (perkusi, stetoskop).
• Rasakan (fraktur iga/sternum, emfisema subkutan).
• Ukur frekuensi pernapasan, oksimetri nadi, dan end tidal CO2.
• Periksa tanda-tanda tension pneumotoraks, hemotoraks, toraks tidak stabil (setidaknya dua
tulang rusuk yang berdekatan patah, flail chest) dan tamponade jantung.
Circulation
1. Kaji sirkulasi dan perfusi
• Periksa detak jantung dan tekanan darah.
• Pertahankan SBP lebih dari 90 mmHg untuk mempertahankan perfusi serebral dan mencegah
cedera otak lebih lanjut.
• Periksa tanda-tanda perdarahan eksternal dan lakukan kompresi pada luka.
• Masukkan dua kanula intravena perifer (IV) dengan ukuran kaliber besar. Jika akses sulit,
pertimbangkan pemasangan intraoseus jika peralatan/keterampilan tersedia.
• Mulai resusitasi cairan sesuai indikasi.
• Pertimbangkan potensi perdarahan internal yang signifikan terkait dengan mekanisme cedera,
yang dapat menyebabkan tanda dan gejala syok.
• Jika ada tanda-tanda syok, tentukan penyebabnya dan segera lakukan prosedur syok dengan
pemberian cairan IV untuk meningkatkan tekanan darah dan memperbaiki perfusi serebral.
Disability
1. Pemeriksaan kesadaran dan laboratorium
• Skor GCS.
• Reaksi pupil, ukuran dan bentuk.
• Gerakan ekstremitas, apakah ada tanda-tanda lateralisasi
• Cek gula darah
Exposure
1. Kontrol lingkungan sekitar pasien
• Lepaskan semua pakaian pasien dan periksa untuk memastikan tidak ada cedera lain yang
mengancam jiwa.
• Gunakan selimut untuk menutupi pasien.
• Pertahankan suhu pasien dalam rentang normal.

Gambar 3. Skema alur manajemen TBI pada pasien dewasa10


Gambar 4. Skema alur manajemen TBI pada pasien anak-anak10

Prognosis
Prognosis penderita TBI sangatlah bervariasi, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
karakteristik pasien, derajat keparahan dan karakteristik klinis, parameter labolatorium, dan
pencitraan/imaging12. Untuk menghitung dan mengetahui prognosis ini kita dapat menggunakan beberapa
cara baik secara manual atau menggunakan kalkulator yang tersedia secara online. Berikut merupakan
beberapa alat yang dapat digunakan yaitu IMPACT13 http://www.tbi-impact.org/?p=impact/calc, CRASH14
http://www.crash2.lshtm.ac.uk/Risk calculator/index.html, Nijmegen score15 http://www.tbi-prognosis.com/,
dan Helsinki score16 http://links.lww.com/NEU/A676

Kesimpulan
TBI merupakan salah satu penyumbang angka morbiditas dan mortalitas dari berbagai belahan dunia.
Klasifikasi TBI pada umumnya menggunakan konversi dari skor GCS yaitu TBI ringan (13-15), sedang (9-12),
dan berat (≤8). Penanganan kasus secara tepat akan memberikan prognosis yang lebih baik.

Daftar Singkatan
TBI : Traumatic Brain Injury
GCS : Galsgow Coma Scale
KLL : Kecelakaan Lalu Lintas
SBP : Systolic Blood Pressure
TIK : Tekanan Intrakranial

Daftar Pustaka
1. Menon DK, Schwab K, Wright DW, Maas AI. Position statement: definition of traumatic brain injury. Arch
Phys Med Rehabil. 2010 Nov;91(11):1637–40.

2. Agarwal N, Thakkar R, Than K. Traumatic brain injury – causes, symptoms and treatments [Internet].
Traumatic Brain Injury. American Association of Neurological Surgeons; 2020 [cited 2022 Feb 27].
Available from: https://www.aans.org/en/Patients/Neurosurgical-Conditions-and-
Treatments/Traumatic-Brain-Injury

3. Maas AIR, Menon DK, Adelson PD, Andelic N, Bell MJ, Belli A, et al. Traumatic brain injury: integrated
approaches to improve prevention, clinical care, and research. Lancet Neurol. 2017 Dec;16(12):987–
1048.

4. Brazinova A, Rehorcikova V, Taylor MS, Buckova V, Majdan M, Psota M, et al. Epidemiology of traumatic
brain injury in europe: a living systematic review. J Neurotrauma. 2021 May 15;38(10):1411–40.

5. Majdan M, Plancikova D, Brazinova A, Rusnak M, Nieboer D, Feigin V, et al. Epidemiology of traumatic


brain injuries in Europe: a cross-sectional analysis. Lancet Public Health. 2016 Dec;1(2):e76–83.

6. Masel BE, DeWitt DS. Traumatic brain injury: a disease process, not an event. J Neurotrauma. 2010
Aug;27(8):1529–40.

7. Giordano KR, Lifshitz J. Pathophysiology of traumatic brain injury. In: Honeybul S, Kolias AG, editors.
Traumatic Brain Injury [Internet]. Cham: Springer International Publishing; 2021 [cited 2022 Feb 28]. p.
13–8. Available from: https://link.springer.com/10.1007/978-3-030-78075-3_2

8. Marklund N, Tenovuo O. Pathophysiology of severe traumatic brain injury. In: Sundstrøm T, Grände P-O,
Luoto T, Rosenlund C, Undén J, Wester KG, editors. Management of Severe Traumatic Brain Injury
[Internet]. Cham: Springer International Publishing; 2020 [cited 2022 Feb 28]. p. 35–50. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-39383-0_6
9. Traumatic brain injury | trauma victoria [Internet]. Traumatic brain injury. Victorian Department of
Health; 2021 [cited 2022 Feb 28]. Available from: https://trauma.reach.vic.gov.au/guidelines/traumatic-
brain-injury/

10. Åstrand R, Undén J. Classification of head injury. In: Sundstrøm T, Grände P-O, Luoto T, Rosenlund C,
Undén J, Wester KG, editors. Management of Severe Traumatic Brain Injury [Internet]. Cham: Springer
International Publishing; 2020 [cited 2022 Feb 28]. p. 51–9. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-39383-0_7

11. Rosenlund C, Schou RF. Trauma Protocol (ABCDE). In: Sundstrøm T, Grände P-O, Luoto T, Rosenlund C,
Undén J, Wester KG, editors. Management of Severe Traumatic Brain Injury [Internet]. Cham: Springer
International Publishing; 2020 [cited 2022 Feb 28]. p. 95–9. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-39383-0_13

12. Olivecrona M. To treat or not to treat in the acute setting (Withholding) and withdrawal of treatment.
In: Sundstrøm T, Grände P-O, Luoto T, Rosenlund C, Undén J, Wester KG, editors. Management of Severe
Traumatic Brain Injury [Internet]. Cham: Springer International Publishing; 2020 [cited 2022 Feb 28]. p.
135–44. Available from: http://link.springer.com/10.1007/978-3-030-39383-0_20

13. Marmarou A, Lu J, Butcher I, McHugh GS, Mushkudiani NA, Murray GD, et al. Impact database of
traumatic brain injury: design and description. J Neurotrauma. 2007 Feb;24(2):239–50.

14. MRC CRASH Trial Collaborators. Predicting outcome after traumatic brain injury: practical prognostic
models based on large cohort of international patients. BMJ. 2008 Feb 23;336(7641):425–9.

15. Jacobs B, Beems T, van der Vliet TM, van Vugt AB, Hoedemaekers C, Horn J, et al. Outcome prediction
in moderate and severe traumatic brain injury: a focus on computed tomography variables. Neurocrit
Care. 2013 Aug;19(1):79–89.

16. Raj R, Siironen J, Skrifvars MB, Hernesniemi J, Kivisaari R. Predicting outcome in traumatic brain injury:
development of a novel computerized tomography classification system(Helsinki computerized
tomography score). Neurosurgery. 2014 Dec;75(6):632–47.
Thorax Drainage Insertion
Pedahuluan
Kasus trauma terus menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, karena terkait
dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik di negara maju maupun berkembang, dengan total
sekitar 5,8 juta kematian di seluruh dunia.1 Dari kematian ini, cedera dada terutama bertanggung
jawab atas 20-25% kasus .2 Namun, sebagian besar cedera toraks dapat diobati secara efektif dengan
torakostomi tabung dan resusitasi cairan sederhana. 3

Definisi
Thorax Drainage Insertion/tube thoracostomy adalah penyisipan tabung ke dalam rongga pleura untuk
mengalirkan udara, darah, pus, atau cairan lainnya. 4 Proses akumulasi udara atau cairan pada rongga
dada dapat disebabkan oleh proses trauma ataupun akibat proses keganasan, penempatan chest tube
memungkinkan drainase volume besar scara terus menerus sampai patologi yang mendasarinya dapat
ditangani dengan adekuat.

Epidemiologi
Trauma terus menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, karena terkait dengan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik di negara maju maupun berkembang, dengan sekitar 5,8
juta kematian di seluruh dunia. Trauma juga telah dilaporkan menjadi penyebab utama kematian,
rawat inap dan cacat jangka panjang dalam empat dekade pertama kehidupan 1,2. Trauma toraks
terdiri dari 20-25% dari semua trauma di seluruh dunia dan merupakan penyebab kematian ketiga
yang paling umum setelah cedera perut dan trauma kepala pada pasien politrauma 5. Secara langsung
trauma toraks menyumbang sekitar 25% dari kematian terkait trauma dan merupakan faktor yang
berkontribusi dalam 25% kasus lainnya 6.

Trauma tumpul dada lebih sering terjadi daripada trauma tembus, di antara pasien yang datang
setelah tabrakan kendaraan bermotor, morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dikaitkan dengan
tabrakan berkecepatan tinggi dan dengan kurangnya penggunaan sabuk pengaman. Hasil yang lebih
buruk juga terlihat pada pasien dengan usia lanjut dan skor keparahan cedera (ISS) yang lebih tinggi.
Meskipun insidennya lebih tinggi, kurang dari 10% pasien yang menderita trauma tumpul pada toraks
memerlukan intervensi operatif, sedangkan 15 hingga 30% pasien yang mengalami trauma tembus
dada memerlukan intervensi operatif. Trauma tembus dada dikaitkan dengan mortalitas keseluruhan
yang lebih tinggi. Insiden bervariasi berdasarkan lokasi geografis, dominan di daerah perkotaan, rawan
kekerasan interpersonal, dan daerah konflik 7.

Patofisiologi
Komponen utama dinding dada adalah tulang rusuk, tulang rawan kosta, dan otot interkostal. Suplai
darah dan persarafan ke dinding dada disuplai oleh berkas neurovaskular, yang terdiri dari arteri, vena,
dan saraf interkostal yang berjalan pada batas inferior setiap tulang rusuk. Struktur yang disebut
pleura parietal membentuk lapisan dalam dinding dada, lapisan ini menerima persarafan somatik dari
saraf interkostal oleh karena itu peka terhadap nyeri. Lapisan pleura visceral menutupi struktur
intratoraks.8 Ruang diantara lapisan viseral dan parietal disebut sebagai pleural space dan biasanya
berisi volume kecil cairan hipotonik, sekitar 0,3 mL/kg, yang mengalami pergantian konstan dengan
kecepatan 0,15 mL/kg per jam.9 Cairan pleura ini diproduksi oleh pleura parietal itu sendiri dan
direabsorbsi oleh pembulu limfatik pleura. Ketika reabsorpsi limfatik berlebihan, efusi pleura terjadi.
Dinding dada memiliki 2 fungsi utama. Pertama, berfungsi untuk membantu proses pernapasan,
Kontraksi otot diafragma dan otot interkostal memiliki peran penting dalam proses inspirasi dan
ekspirasi.10 Kedua, dinding dada juga melindungi struktur intratoraks dari cedera eksternal. Tulang
dada dan klavikula memberikan dukungan struktural tambahan untuk dada anterior, demikian pula
skapula yang menutupi aspek superior dari dinding dada bagian posterior memberikan penghalang
pelindung tambahan terhadap trauma. Mediastinum terdiri dari jantung, aorta toraks, trakea, dan
esofagus dan secara anatomis terletak di tengah dada antara hemitoraks kanan dan kiri. Dibatasi oleh
sternum di anterior, kolumna vertebralis di posterior, dan pleura parietal dan paru-paru secara
bilateral dan memanjang dari pintu masuk toraks di superior hingga diafragma di inferior.11 Cedera
mediastinum yang paling umum pada trauma tumpul adalah cedera pada aorta, yang tingkat
keparahannya dapat berkisar dari laserasi intima hingga transeksi aorta lengkap. Pada trauma tembus,
semua struktur mediastinum sama-sama rentan, dan cedera yang diderita tergantung pada lokasi
anatomi luka tembus dan lintasannya. Yang paling penting adalah cedera di dalam "Cardiac box" yang
batasnya adalah garis midklavikula secara lateral, klavikula di superior, dan prosesus xiphoid di
inferior. Trauma di wilayah ini dikaitkan dengan peningkatan risiko cedera jantung tembus dan
perkembangan tamponade jantung, dan dekompensasi klinis yang cepat.12

Gambar 1. Anatomi cavum toraks13

Morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan trauma toraks disebabkan oleh gangguan pernapasan,
sirkulasi, atau keduanya. Gangguan pernapasan dapat terjadi karena cedera langsung pada jalan napas
atau paru-paru, seperti kasus kontusio paru, atau dari gangguan mekanisme pernapasan, seperti
patah tulang rusuk. Hasil yang umum adalah perkembangan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi dan
penurunan komplians paru. Hal ini kemudian menyebabkan hipoventilasi dan hipoksia, yang mungkin
memerlukan intubasi. Kompromi sirkulasi terjadi pada keadaan kehilangan darah yang signifikan,
penurunan aliran balik vena, atau cedera jantung langsung. Perdarahan intratoraks paling sering
bermanifestasi sebagai hemotoraks pada trauma tumpul dan tembus, dan hemotoraks masif dapat
menyebabkan hipotensi dan syok hemodinamik. 14

Inti
Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi pemasangan drainase toraks:
• Pneumotoraks15
• Hemotoraks15
• Hemopneumotoraks15
• Hidrotoraks15
• Kilotoraks 16
• Empiema16
• Efusi pleura 17
Kontraindikasi pemasangan drainase toraks :
Absolut : Bila diperlukan torakotomi emergensi maka tidak boleh dilakukan pemasangan drainase
toraks
Kontraindikasi relatif termasuk yang berikut18:
• koagulopati
• Bula paru
• Adhesi paru, pleura, atau toraks
• Efusi pleura atau empiema terlokalisir
• Infeksi kulit di atas tempat pemasangan chest tube

Peralatan dan Persiapan


Berikut merupakan alat alat yang perlu disiapkan untuk melakukan prosedur drainase toraks 19
• Sarung tangan dan gown steril
• Larutan antiseptik kulit, yodium atau klorheksidin dalam alkohol
• Doek steril
• Kasa
• jarum suntik dan jarum (21–25 G)
• Anestesi lokal lidokain 1 atau 2%
• Skalpel dan mata pisau
• Benang jahit silk atau nilon ukuran 0 atau 1-0
• Instrumen untuk pembedahan tumpul (klem)

Gambar 2. Peralatan untuk drainase toraks19


Alur Tatalaksana
Berikut merupakan runtutan prosedur pemasangan drainase toraks 19,20
1. Menentukan ada tidaknya indikasi pemasangan drainase toraks.
2. Meminta inform consent (Kecuali dalam kasus kegawatan) dan pemberian obat pre-prosedur,
pemberian benzodiazepin atau opioid sebelum prosedur disarankan karena sebagian besar
pasien mengeluhkan sakit yang luar biasa
3. Memposisikan pasien : Pasien harus diposisikan terlentang atau pada sudut 45°. Meninggikan
pasien mengurangi risiko elevasi diafragma dan salah penempatan chest tube ke dalam rongga
perut. Lengan pada sisi yang sakit harus diabduksi dan diputar ke luar, memposisikan telapak
tangan berada di belakang kepala pasien (Gambar 3).

Gambar 3. Posisi lengan dan Lokasi Safe Triangel19

4. Menentukan Lokasi pemasangan drainase dan membuat marker :


lokasi pemasangan drainase yaitu pada safe triangel (Gambar 3) , Identifikasi garis interkostal
kelima dan garis midaksilaris. Sayatan kulit dibuat di antara garis aksila tengah dan aksila
anterior di atas tulang rusuk yang berada di bawah tingkat interkostal yang dipilih untuk
penyisipan tabung dada. Penanda bedah dapat digunakan untuk menggambarkan anatomi
dengan lebih baik (Gambar 4). Cukur rambut yang berlebihan, kemudian disinfeksi seluruh
area yang akan dilakukan tindakan serta pasang doek steril, dan gunakan alat pelindung diri
serta sarung tangan steril.

Gambar 4. Pemberian marker pada area tindakan21

5. Pemberian Anastesi lokal:


Gunakan jarum 25-g untuk menyuntikkan 5 mL larutan anestesi lokal ke dalam kulit di atas
area yang akan dilakukan insisi (Gambar 5). Gunakan jarum yang lebih panjang untuk
menginfiltrasi sekitar 5 mL larutan anestesi ke area luas jaringan subkutan di atas insisi awal
yang diharapkan. Arahkan kembali jarum ke jalur yang diharapkan dari chest tube (mengikuti
batas atas tulang rusuk di bawah ruang interkostal kelima), dan menyuntikkan sekitar 10 mL
larutan anestesi ke dalam periosteum (jika ditemukan tulang), otot interkostal, dan pleura.
Aspirasi udara, darah, nanah, ke dalam spuit memastikan bahwa jarum masuk ke rongga
pleura.

Gambar 5. Anastesi lokal21

6. Insisi dan diseksi tumpul untuk membuat jalur drainase:


Gunakan pisau No. 11 atau 10 untuk membuat sayatan kulit sepanjang kira-kira 4 cm di atas
tulang rusuk yang berada di bawah tingkat masuk interkostal yang diinginkan. Sayatan kulit
harus searah dengan tulang rusuk itu sendiri. Kemudian gunakan hemostat atau klem Kelly
ukuran sedang untuk melebarkan area jaringan subkutan secara tumpul dengan memasukkan
instrumen dengan posisi tertutup kemudaian membukanya secara intermiten, seperti yang
ditunjukkan.

Gambar 6. Diseksi tumpul menggunakan klem21

7. Insersi tabung drainase (Chest tube)


Palpasi jalur insisi dengan jari seperti yang ditunjukkan, dan pastikan jalur berakhir di tepi atas
iga di atas insisi kulit. Pemasangan chest tube dilakukan sedekat mungkin dengan batas atas
tulang rusuk untuk meminimalkan risiko cedera pada saraf dan pembuluh darah yang
mengikuti batas bawah setiap tulang rusuk. Menambahkan lebih banyak anestesi lokal ke otot
interkostal dan pleura saat ini dianjurkan. Gunakan klem besar yang tertutup untuk
menembus otot interkostal dan pleura parietal dan masuk ke dalam rongga pleura seperti
gambar dibawah.

Gambar 7. Palpasi jalur insisi dan penetrasi ke dalam rongga pleura menggunakan klem21

Gerakan ini harus dilakukan secara terkontrol agar instrumen tidak masuk terlalu jauh ke
dalam dada, yang dapat melukai paru-paru atau diafragma. Saat masuk ke rongga pleura,
aliran udara atau cairan harus terjadi. Klem Kelly harus dibuka (saat masih di dalam rongga
pleura) dan kemudian ditarik dalam posisi terbuka sehingga memperbesar saluran yang
dibedah melalui semua lapisan dinding dada. Ini memfasilitasi lewatnya chest tube saat
dimasukkan.
Ukur panjang antara sayatan kulit dan puncak paru-paru untuk memperkirakan seberapa jauh
chest tube harus dimasukkan. Jika diinginkan, letakkan klem di atas tabung untuk menandai
perkiraan panjangnya. Beberapa lebih suka menjepit tabung pada titik distal, mengingat
perkiraan panjangnya. Pegang ujung proksimal chest tube dengan penjepit Kelly besar dan
masukkan melalui saluran dan ke dalam rongga dada seperti yang ditunjukkan.

Gambar 8. Insersi chest tube dengan bantuan klem21

8. Menghubungkan chest tube ke mesin water seal device (WSD) dan melakukan fiksasi:
Hubungkan chest tube ke perangkat drainase kemudian Lepaskan klem yang ada di chest tube
setelah chest tube terhubung ke perangkat drainase. Sebelum mengamankan selang dengan
jahitan, amati pergerakan mesin WSD untuk memastikan penempatan chest tube sudah
benar. Fiksasi chest tube ke kulit menggunakan jahitan sutra atau nilon 0 atau 1-0 (gambar
10).
Gambar 10. Fiksasi chest tube,19,21

9. Penutupan area pemasangan chest tube


Buat dresing untuk ditempatkan di atas selang dada dengan mengubah kasa biasa menjadi
kotak kasa berbentuk Y dan menggunakan pita perekat untuk mengencangkannya ke dinding
dada, seperti yang ditunjukkan di bawah ini. Pastikan untuk memberikan bantalan yang cukup
antara selang dada dan dinding dada (Gambar 11).

Gambar 11. Penutupan area pemasangan chest tube21

10. Memastikan lokasi pemasangan chest tube menggunakan bantuan radiografi


Penutup
Komplikasi
Komplikasi kecil dari penempatan tabung thoracostomy seperti pneumotoraks yang tidak
terselesaikan/reakumulasi atau salah penempatan tabung (terlalu dalam/menekuk) terjadi hampir
30% dari seluruh insiden 21

Prognosis
Prognosis pada prosedur pemasangan drainase toraks bergantung dari penyakit yang mendasari serta
cara pemasangan drainase yang tepat akan menurunkan resiko terjadinya komplikasi.

Take-home message
Prosedur pemasangan drainase toraks merupakan tindakan dengan kompetensi 3 sesuai SKDI 2012,
sehingga dokter umum harus mengerti tata laksana awal pada pasien yang memiliki indikasi untuk
dilaksanakan prosedur drainase toraks. Maka dari itu pembelajaran mengenai tata laksana prosedur
ini sangatlah penting untuk para dokter umum dalam menjalankan pekerjaanya.

Daftar singkatan
WSD: Water Seal Device

Referensi
1. The global burden of injuries. American Journal of Public Health. 2000;90(4):523-526.
2. Demirhan R, Onan B, Oz K, Halezeroglu S. Comprehensive analysis of 4205 patients with chest
trauma: a 10-year experience☆. Interactive CardioVascular and Thoracic Surgery.
2009;9(3):450-453.
3. Meyer D. Hemothorax Related to Trauma. Thoracic Surgery Clinics. 2007;17(1):47-55.
4. Dev S, Nascimiento B, Simone C, Chien V. Chest-Tube Insertion. New England Journal of
Medicine. 2007;357(15):e15.
5. Lecky FE, Bouamra O, Woodford M, Alexandrescu R, O'Brien SJ. In: Pape H-C, Peitzman AB,
Schwab CW, Giannoudis PV, editors. Epidemiology of polytrauma. New York: Springer:
Damage Control Management in the Polytrauma Patient; 2010. p. 13–24.4.
6. O'Connor JV, Adamski J. The diagnosis and treatment of non-cardiac thoracic trauma. J R Army
Med Corps. 2010;156(1):5–14
7. Edgecombe L, Sigmon DF, Galuska MA, et al. Thoracic Trauma. [Updated 2021 Jul 26]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534843/
8. de la Pared Torácica A, y Mama A. Anatomy of the thoracic wall, axilla and breast. Int. J.
Morphol. 2006;24(4):691-704.
9. Zocchi L. Physiology and pathophysiology of pleural fluid turnover. European Respiratory
Journal. 2002;20(6):1545-1558.
10. Bordoni B, Zanier E. Anatomic connections of the diaphragm: influence of respiration on the
body system. Journal of multidisciplinary healthcare. 2013;6:281.
11. Stoddard N, Heil JR, Lowery DR. Anatomy, thorax, mediastinum. StatPearls [Internet]. 2020
Jul 31.
12. Kim JS, Inaba K, de Leon LA, Rais C, Holcomb JB, David JS, Starnes VA, Demetriades D.
Penetrating injury to the cardiac box. Journal of Trauma and Acute Care Surgery. 2020 Sep
1;89(3):482-7.
13. Kudzinskas A, Callahan A. Anatomy, Thorax [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2022 [cited 21 March
2022]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557710/?report=classic
14. Menezes RG, Luis SA, Kharoshah MA, Madadin M. Deaths: Trauma, Thorax-Pathology.
InEncyclopedia of Forensic and Legal Medicine: Second Edition 2015 Nov 4 (pp. 168-177).
15. Bailey R. Complications of tube thoracostomy in trauma. Emergency Medicine Journal.
2000;17(2):111-114.
16. Tsukahara K, Kawabata K, Mitani H, Yoshimoto S, Sugitani I, Yonekawa H et al. Three cases
of bilateral chylothorax developing after neck dissection. Auris Nasus Larynx. 2007;34(4):573-
576.
17. Muzumdar H, Arens R. Pleural Fluid. Pediatrics In Review. 2007;28(12):462-464.
18. Tube Thoracostomy. Chest. 2003;123(5):1711-1712.
19. Laws D. BTS guidelines for the insertion of a chest drain. Thorax. 2003;58(90002):53ii-59.
20. Shlamovitz G. Tube Thoracostomy: Overview, Indications, Contraindications [Internet].
Emedicine.medscape.com. 2022 [cited 21 March 2022]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/80678-overview#a6
21. [Internet]. Img.medscapestatic.com. 2022 [cited 21 March 2022]. Available from:
https://img.medscapestatic.com/pi/meds/ckb/40/23940.jpg
22. Sethuraman K, Duong D, Mehta S, Director T, Crawford D, St. George J et al. Complications
of Tube Thoracostomy Placement in the Emergency Department. The Journal of Emergency
Medicine. 2011;40(1):14-20.
Case Study on Stabilization and Emergency Management in
Urogenital/Abdominal Trauma
Pedahuluan
Definisi
Trauma yang timbul pada abdomen, yang dapat diakibatkan oleh cedera benda tumpul maupun
cedera tembus. Trauma tersebut dapat menyebabkan perdarahan, kegagalan organ multipel,
defisiensi neurologis, defisiensi muskuloskeletal, cacat fisik dan kognitif yang permanen. Trauma
urogenital ialah trauma yang melibatkan beberapa organ tertentu seperti organ genitalia, uretra,
kandung kemih/buli-buli, ureter, dan yang paling sering terdampak yakni ginjal.

Epidemiologi
Trauma tumpul pada abdomen, ginjal, atau punggung merupakan lokasi cidera yang paling umum
terjadi. Luka Abdomen adalah daerah cedera ketiga yang paling umum, dengan pembedahan
diperlukan pada sekitar 25% kasus. Trauma dapat menyebabkan kematian yang tinggi, termasuk pada
trauma abdomen dengan mortality rate 20%. Dilaporkan bahwa 80-95% trauma ginjal disebabkan oleh
trauma tumpul pasca KLL (kecelakaan lalu lintas). Prevalensi trauma ureter sendiri terhitung ada
sekitar 1-2,5% kasus karena trauma pada traktus urinarius dan trauma karena iatrogenic menjadi
penyebab paling umum trauma ureter. Sekitar 60-90% pasien trauma buli-buli berasal dari adanya
trauma di pelvis dan 5-20% pasien trauma uretra. Dari keseluruhan kasus cidera urologi, 33-66%
melibatkan genitalia eksterna. Trauma genital jauh lebih sering terjadi pada pria daripada wanita,
terutama antara usia 15 dan 40 tahun. Trauma genital umumnya disebabkan oleh cidera tumpul
(80%). Pada laki-laki, trauma tumpul genital sering terjadi secara unilateral dengan sekitar 1% muncul
sebagai cidera skrotum atau testis bilateral.

Patofisiologi

Sumber utama morbiditas dan mortalitas pada trauma abdomen adalah perdarahan dan perforasi
viseral dengan sepsis terkait. Pada trauma urogenital, kasus terbanyak adalah trauma ginjal. Ginjal
tergolong organ yang terlindungi dengan baik di area retroperitoneum; walaupun begitu, ginjal sangat
rentan terhadap trauma tumpul yang disertai dengan deselerasi cepat karena ginjal hanya difiksasi
oleh pelvis renalis di uretero-pelvic junction dan oleh pedikel vaskular.
Lesi trauma ureter lebih jarang terjadi (prevalensinya kurang dari 1%). Penyebab paling umum dari
cidera ureter adalah penetrasi. Kasusnya kerap kali terjadi terutama pada anak-anak dan pada cidera
deselerasi energi tinggi (high energy deceleration injuries). Cidera organ terkait sering terjadi pada
kasus lesi ureter. Cidera pada buli-buli terbagi ke dalam empat jenis diantaranya, extra-peritoneal
bladder rupture (EBR), intra-peritoneal bladder rupture (IBR), kontusio buli dan avulsi pada leher
kandung kemih. EBR merupakan tipe yang paling sering ditemukan dan berkaitan dengan fraktur
pelvis.

Cidera uretra dibagi menjadi cidera anterior (uretra pars bulbaris dan penis pada laki-laki) dan cidera
posterior (proksimal membran perineum, pada uretra pars prostatik atau membranosa). Penyebab
utama cidera uretra anterior adalah trauma tumpul langsung. Cidera uretra posterior dapat
diklasifikasikan sebagai cidera total (65% dari lesi) atau parsial (35% dari kasus). Trauma penetrasi
pada uretra posterior sangat jarang terjadi dan terutama disebabkan oleh luka tembak; risiko terkait
lesi pada intra-abdomen tinggi.

Gambaran yang paling penting dari trauma tumpul pada penis adalah fraktur penis. Penyebab paling
umum adalah hubungan seksual, fleksi paksa, dan onani. Mekanisme cidera yang biasa terjadi pada
saat hubungan seksual berlangsung adalah ketika penis keluar dari vagina dan mengenai simfisis pubis
atau perineum.

Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi trauma abdomen, diantaranya
1. Blunt Trauma (Tekanan Benda Tumpul)
Trauma yang diakibatkan oleh tekanan benda tumpul seperti roda kendaraan. Dalam
pengaturan trauma tumpul, organ padat sering mengalami memar atau laserasi,
menyebabkan perdarahan yang mungkin memerlukan manajemen bedah. Selanjutnya,
tekanan benda tumpul dapat menyebabkan pecahnya rongga visera karena kompresi cepat
segmen usus yang mengandung cairan dan udara. Dapat menimbulkan perdarahan sekunder
dan kontaminasi oleh isi visceral organ berongga. Organ yang sering terkena yaitu lien, hati,
dan usus kecil.
2. Penetrating Trauma (Luka Tembus)
Trauma yang diakibatkan oleh benda tajam, seperti pisau dan senjata api. mekanisme
penetrasi secara langsung mengoyak visera padat dan berongga, mengakibatkan perdarahan
dan kontaminasi intraabdomen yang sering memerlukan perbaikan operatif. Paling sering
mengenai hati, usus kecil, dan kolon.
3. Blast Trauma (Akibat Ledakan)
Trauma yang diakibatkan oleh perangkat ledakan, seperti bom. Dapat menyebabkan perforasi
langsung pada organ berongga, hemorrhage, bahkan ruptur pada testis. Gejala yang dapat
ditimbulkan diantaranya nyeri abdomen, muntah, serta hematemesis.
Inti
Alur Tatalaksana
Pada saat merawat pasien yang mengalami trauma abdomen terdapat beberapa tahap diantaranya
Survey Primer dan Survey Sekunder. Pada survey primer dilakukan penilaian ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Disability Exposure) yang kemudian dilakukan Tindakan pencegahan
pendarahan pada pasien. Setelah pasien stabil, dilakukan survey sekunder dengan melakukakn
pemeriksaan komplit dari kepala sampai kaki. Selain itu, terdapat beberapa prinsip perawatan
trauma abdomen atau Damage Control Principles, diantaranya:

1. Memperbaiki homeostasis pasien


Dapat dilakukan dengan pemberian tranfusi masif, Massive Transfusion Protocols (MTP)
dengan rasio plasma:platelet:PRBC yaitu 1:1:1. Indikasi MTP yaitu apabila terpenuhi 2 dari 4
parameter, diantaranya mekanisme penetrasi, FAST positif, tekanan darah sistolik 90 mmHg,
dan nadi >12 bpm.
2. Mencegah koagulopati
Dapat diberikan Tranexamic Acid (TXA), untuk mencegah perdarahan masif, dan mengurangi
kebutuhan transfusi darah bagi pasien.
3. Mencegah metabolik asidosis
Dapat dilakukan dengan manajemen kontaminasi pada GI dengan perbaikan atau reseksi.
4. Mencegah hipotermia
Menutup luka trauma pada abdomen sementara untuk mencegah terjadinya hipotermia.

Manajemen trauma urogenital dapat dilakukan dengan kontrol perdarahan yang cepat dan resusitasi
cairan. Kontrol perdarahan dicapai melalui stabilisasi mekanis panggul dan tekanan balik eksternal.
Pasien dengan cedera ini mungkin awalnya dinilai dan diobati di fasilitas yang tidak memiliki sumber
daya untuk mengelola perdarahan terkait secara definitif. Dalam kasus seperti itu, dapat
menggunakan teknik sederhana untuk menstabilkan panggul sebelum pasien dipindahkan. Karena
cedera panggul yang berhubungan dengan perdarahan besar memutar hemipelvis secara eksternal,
rotasi internal ekstremitas bawah dapat membantu dalam pengendalian perdarahan dengan
mengurangi volume panggul. Dengan menerapkan dukungan langsung ke panggul pasien, dokter
dapat membebat panggul yang terganggu dan selanjutnya mengurangi potensi perdarahan panggul.
Gambar 1. Algoritma Manajemen pada Trauma Urogenital atau Pelvis

Take-home message
Trauma abdomen dan urogenital paling sering diakibatkan oleh cedera tumpul dan tusuk.
Perdarahan dan perforasi yang terjadi akibat cedera dapat meningkatkan resiko morbiditas dan
mortalitas pada korban. Oleh karena itu, trauma abdomen dan urogenital harus mendapatkan
manajemen yang tepat terutama dalam mengontrol perdarahan yang terjadi.

Referensi
1. Bouzat P, Valdenaire G, Gauss T, Charbit J, Arvieux C, Balandraud P et al. Early management
of severe abdominal trauma. Anaesthesia Critical Care & Pain Medicine. 2020;39(2):269-277.
2. Stewart R. ATLS.
3. Gawat Darurat Medis dan Bedah, Editor: Afif Nurul Hidayati, Muhammad Ilham Aldika Akbar,
Alfian Nur Rosyid. -- Surabaya: Airlangga University Press, 2018.
4. Afacan, G. . Abdominal Trauma. In: Karcioglu, O. , Topacoglu, H. , editors. Trauma Surgery
[Internet]. London: IntechOpen; 2018 [cited 2022 Feb 22]. Available from:
https://www.intechopen.com/chapters/63082 doi: 10.5772/intechopen.76474
5. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston Textbook of Surgery. 21st ed. St.
Louis: Elsevier; 2022.
6. LYNCH T, MARTINEZPINEIRO L, PLAS E, SERAFETINIDES E, TURKERI L, SANTUCCI R et al. EAU
Guidelines on Urological Trauma. European Urology. 2005;47(1):1-15.
7. Saber A, Shams M, Farrag S, Ellabban G, Gad M. Incidence, Patterns, and Factors Predicting
Mortality of Abdominal Injuries in Trauma Patients. North American Journal of Medical
Sciences. 2012;4(3):129.
8. Khan AR, Fatima N, Anwar K. Pattern and management of renal injuries at Pakistan Institute
of Medical Sciences. J Coll Phys Surg Pak, 2020(20):194–197 .
9. Syarif, Palinrungi A, Kholis K, Palinrungi M, Syahrir S, Sunggiardi R et al. Renal trauma: a 5-
year retrospective review in single institution. African Journal of Urology. 2020;26(1).
Emergency Management of Dislocated Joint – A Demonstration
Pedahuluan
Dislokasi sendi adalah pemisahan lengkap dari 2 permukaan tulang artikulasi, sering disebabkan
oleh benturan tiba-tiba pada sendi. Dislokasi parsial atau tidak lengkap disebut subluksasi. Menurut
data terbaru yang tersedia dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, diperkirakan 2,6
juta anak (0 hingga 19) di Amerika Serikat setiap tahun dirawat di ruang gawat darurat karena
cedera terkait olahraga dan rekreasi(1). Saat mengevaluasi setiap sendi yang cedera dan
kemungkinan dislokasi,status neurovaskular adalah langkah awal dan paling penting. Hal tersebut
dilakukan dengan memeriksa sensasi distal, fungsi motorik, pengisian kapiler, dan denyut nadi pada
yang terkena ekstremitas(2). Meskipun setiap sendi dapat mengalami dislokasi, bagian yang umum
mengalami dislokasi adalah bahu, jari, patela, siku, dan pinggul.Pada topik kali ini akan lebih banyak
membahas mengenai dislokasi pinggul dan bahu.

A. Dislokasi Pinggul
Dislokasi pinggul adalah peristiwa yang sering dikaitkan dengan terjadinya trauma kuat atau
pasca operasi setelah artroplasti pinggul total. Dislokasi pinggul biasanya diklasifikasikan menurut
arah dislokasi kaput femoralis baik anterior atau posterior. Umumnya, reduksi tertutup adalah
metode awal untuk perawatan dan biasanya digunakan di unit gawat darurat. Dislokasi pinggul asli
memerlukan reduksi segera karena kekhawatiran terjadinya kondrolisis (3). Lebih dari 50 % pasien
yang mengalami dislokasi pinggul juga mengalami patah tulang di tempat lain secara bersamaan(4).

Epidemiologi
Dislokasi pinggul sebagian besar terjadi pada pria berusia 16-60 tahun yang mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor, serta hampir seluruh kasus dislokasi pinggul disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan kendaraan bermotor meningkatkan risiko terjadinya
dislokasi pinggul pada penumpang yang tidak menggunakan alat penahan. Dislokasi traumatis
pinggul sebanyak 10%-15% disebabkan oleh dislokasi anterior, sedangkan sisanya disebabkan oleh
dislokasi posterior. Insiden osteonekrosis kaput femur adalah antara 2% dan 17% pasien, sedangkan
16% dari pasien mengalami artritis pasca trauma. Cedera saraf skiatik terjadi pada 10% hingga 20%
dislokasi posterior. (4)

Patofisiologi
Dislokasi pinggul hampir selalu diakibatkan oleh trauma berenergi tinggi, seperti kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian, atau kecelakaan industri. Transmisi paksa ke sendi
pinggul salah satu dari tiga sumber umum yaitu
• Permukaan anterior lutut yang tertekuk menabrak objek
• Telapak kaki, dengan lutut ipsilateral diperpanjang
• Trokanter mayor

Lebih jarang, kekuatan dislokasi dapat diterapkan ke panggul posterior dengan ipsilateral kaki atau
lutut bertindak sebagai counterforce. Arah dislokasi anterior versus posterior ditentukan oleh arah
kekuatan patologis dan posisi ekstremitas bawah pada saat cedera.(4)

❖ Dislokasi Anterior
Cedera ini disebabkan oleh rotasi eksternal dan abduksi pinggul. Derajat fleksi pinggul
menentukan apakah tipe dislokasi pinggul anterior superior atau inferior hasil. Dislokasi
inferior (obturator) adalah hasil dari abduksi simultan, rotasi eksternal, dan pinggul
lengkungan. Dislokasi superior (iliaka atau pubis) adalah hasil dari abduksi simultan, rotasi
eksternal, dan ekstensi pinggul.
❖ Dislokasi Posterior
Dislokasi posterior sekitar 85% hingga 90% mengakibatkan dislokasi pinggul traumatis.
Dampak dari trauma tersebut pada fleksi lutut (misalnya, cedera dashboard), dengan pinggul
dalam berbagai derajat dari fleksi. Jika pinggul dalam posisi netral atau sedikit adduksi pada
saat cedera, dislokasi tanpa fraktur acetabular kemungkinan akan terjadi. Jika pinggul sedikit
abduksi, biasanya terjadi fraktur terkait pada tepi posterior-superior acetabulum.

Klasifikasi
Dislokasi pinggul diklasifikasikan berdasarkan hubungan kaput femoralis ke acetabulum
dan apakah ada fraktur berkaitan atau tidak.

1. Klasifikasi dislokasi pinggul posterior Thompson dan Epstein (4)


Tipe I : Dislokasi sederhana dengan atau tanpa fragmen dinding posterior yang tidak
signifikan
Tipe II : Dislokasi terkait dengan fragmen dinding posterior tunggal yang besar
Tipe III : Dislokasi dengan fragmen dinding posterior yang kominutif
Tipe IV : Dislokasi dengan fraktur dasar acetabular
Tipe V : Dislokasi dengan fraktur kaput femur (klasifikasi Pipkin)
2. Klasifikasi dislokasi pinggul anterior Epstein
Tipe I : Dislokasi superior, termasuk pubis dan subspinous
IA : Tidak ada fraktur terkait
IB : Fraktur terkait atau impaksi kaput femur
IC : Fraktur terkait acetabulum
Tipe II : Dislokasi inferior, termasuk obturator, dan perineum
IIA : Tidak ada fraktur terkait
IIB : Fraktur terkait atau impaksi kaput femur
IIC : Fraktur terkait acetabulum

[Pembagian penyakit disesuaikan dengan penyakit yang ingin dibahas. Pembagian bisa menurut
waktu/onset, umur, frekuensi gejala, fenotip, dll (menyesuaikan dengan penyakitnya).

Inti
Peralatan dan Persiapan
a. Roentgenogram pra reduksi untuk mendiagnosis dislokasi dengan jelas dan mencari kelainan
yang menyertai cedera
b. Anestesi intravena untuk kenyamanan pasien dan merelaksasi otot-otot besar yang
mengelilingi pinggul. (3)

Alur Tatalaksana
Dalam mengatasi dislokasi pinggul maka seseorang harus segera mereduksi pinggul untuk
meminimalkan risiko osteonekrosis kaput femoralis. Prognosis jangka panjang memburuk jika
reduksi (tertutup atau terbuka) tertunda lebih dari 12 jam.
Reduksi tertutup

1. Manuver Ellis
a. Pasien ditempatkan terlentang dengan surgeon berdiri di atas pasien diatas tandu atau
meja

b. Surgeon melakukan traksi searah ketika asisten melakukan traksi kontra dengan
mentabilkan panggul pasien.

c. Bersamaan dengan meningkatkan kekuatan traksi, surgeon perlahan-lahan


meningkatkan derajat fleksi kira-kira 70°

d. Gerakan rotasi pinggul perlahan serta sedikit adduksi dapat membantu kaput femur
masuk ke acetabulum. Apabila berbunyi “clunk” hal tersebut menjadi tanda reduksi
tertutup berhasil.
2. Teknik Gravitasi Stimson
a. Pasien dibaringkan tengkurap diatas tandu dengan kaki yang sakit tergantung di sisi
tandu, sehingga posisi fleksi pinggul dan lutut masing-masing 90°

b. Asisten menahan panggul dan dokter melakukan penekanan ke arah anterior pada betis
proksimal

3. Manuver Bigelow dan Reverse Bigelow.


a. Pasien terlentang dan surgeon melakukan traksi longitudinal pada ekstremitas.
b. Paha yang diadduksi dan diputar secara internal,kemudian fleksi setidaknya 90°
c. Kaput femoralis kemudian diangkat ke dalam acetabulum dengan abduksi, rotasi
eksternal dan ekstensi pinggul
d. Pada manuver Reverse Bigelow digunakan untuk dislokasi anterior, traksi dilakukan lagi
pada garis deformitas. Pinggul kemudian di adduksi, rotasi internal secara tajam dan
ekstensi .
Setelah reduksi tertutup, radiografi panggul AP harus diperoleh untuk mengkonfirmasi
kecukupan dari reduksi. Pinggul harus diperiksa stabilitasnya saat pasien masih dalam keadaan
sedasi atau efek anestesi. Jika ada fraktur acetabular besar yang tergeser, pemeriksaan stabilitas
tidak perlu dilakukan. Jika memungkinkan, stabilitas diperiksa dengan melenturkan pinggul hingga
90 derajat dalam posisi netral di bawah fluoroskopi. Penekanan diarahkan ke posterior. Jika ada
sensasi subluksasi terdeteksi, pasien akan memerlukan studi diagnostik tambahan dan mungkin
pembedahan eksplorasi atau traksi. Setelah reduksi tertutup yang berhasil dan penyelesaian
pemeriksaan stabilitas, pasien harus menjalani evaluasi CT.

Penutup
Indikasi Rujukan
1) Dislokasi tidak dapat direduksi dengan cara tertutup
2) Reduksi non konsentrik
3) Fraktur acetabulum atau kaput femoralis yang membutuhkan eksisi atau reduksi terbuka
dan fiksasi internal
4) Fraktur collum femur ipsilateral.

Prognosis
Hasil setelah dislokasi pinggul berkisar dari pinggul yang pada dasarnya normal hingga yang
sangat menyakitkan dan sendi yang mengalami degenerasi. Sebagian besar penulis melaporkan 70%
hingga 80% hasil yang baik atau sangat baik pada dislokasi posterior sederhana. Namun, ketika
dislokasi posterior dikaitkan dengan kepala femur atau fraktur asetabulum, fraktur terkait umumnya
menentukan hasil. Dislokasi anterior pinggul tercatat memiliki insiden yang lebih tinggi terkait kepala
femoralis cedera (tipe transkondral atau lekukan). Satu-satunya pasien dengan hasil luar biasa di
sebagian besar seri penulis adalah mereka yang tidak terkait dengan cedera kepala femoralis (4).

B. Dislokasi Bahu
Dislokasi didefinisikan sebagai disosiasi simtomatik lengkap dari permukaan artikular kepala
humerus dan glenoid tanpa reduksi spontan. Kebutuhan akan reduksi manual (atau radiografi
konfirmasi) diperlukan untuk menentukan dislokasi. Subluksasi adalah disosiasi simtomatik dari
permukaan artikular dengan reduksi spontan. Gejala yang dirasakan biasanya adalah ketakutan,
perasaan kaput humerus yang keluar dari fossa glenoidalis. Nyeri juga bisa menjadi gejala, tetapi
tanpa kekhawatiran diagnosis lain harus dipertimbangkan(1).
Dislokasi bahu merupkan komponen dislokasi yang paling umum terjadi. Dislokasi bahu
mewakili 50% dari semua dislokasi sendi utama, dengan dislokasi anterior yang paling umum. Bahu
adalah sendi yang tidak stabil karena glenoid dangkal yang hanya berartikulasi dengan sebagian kecil
dari kaput humerus. Bahu adalah sendi yang paling sering terkilir di tubuh; dislokasi mungkin
anterior, posterior, inferior, atau anterior-superior. Lokasi anterior adalah yang paling umum. Pasien
dengan dislokasi bahu sebelumnya lebih rentan terhadap redislokasi. Terjadinya kembali terjadi
karena jaringan tidak sembuh dengan baik atau menjadi longgar. Pasien yang lebih muda memiliki
frekuensi redislokasi yang jauh lebih tinggi; paling disukai karena tingkat aktivitas yang lebih tinggi.
Pasien yang mengalami robekan pada rotator cuff atau fraktur glenoid juga memiliki insidensi
redislokasi yang lebih tinggi (5).
Epidemiologi
Dislokasi anterior terjadi pada 96% kasus. Dislokasi posterior, arah dislokasi kedua yang
paling umum, terjadi pada 2% hingga 4% kasus. Dislokasi bahu inferior (luxatio erecta) dan superior
jarang terjadi, terhitung sekitar 0,5% kasus. Insiden dislokasi glenohumeral adalah 17 per 100.000
penduduk per tahun. Insiden puncak untuk pria dalam rentang usia 21 hingga 30 tahun dan untuk
wanita dalam rentang usia 61 hingga 80 tahun. Tingkat kekambuhan pada semua usia adalah 50%
tetapi meningkat menjadi hampir 89% pada kelompok usia 14 sampai 20 tahun (1).
Patofisiologi
Dislokasi bahu melibatkan peregangan atau robeknya kapsul, biasanya dari glenoid, tetapi
kadang-kadang dari humerus karena avulsi ligamen glenohumeral (lesi HAGL). Kerusakan labral: Lesi
“Bankart” mengacu pada avulsi labrum anteroinferior dari tepi glenoid. Ini mungkin terkait dengan
fraktur glenoid rim (“bony Bankart”). Hal ini ditemukan pada 40% bahu yang menjalani intervensi
bedah. Lesi Hill-Sachs yaitu Cacat kaput posterolateral disebabkan oleh pengaruh fraktur pada tepi
glenoid. Hal ini terlihat pada 27% dislokasi anterior akut dan 74% dislokasi anterior berulang.

Dislokasi bahu dengan robekan rotator cuff terkait umumnya terjadi pada individu yang
lebih tua (usia > 40 tahun sekitar 35% hingga 40%, USG dapat dipertimbangkan pada pasien berusia
>40 tahun dengan dislokasi pertama kali; Pada usia >60 tahun: mungkin sekitar 80%). Waspadai
ketidakmampuan untuk mengangkat lengan pada pasien yang lebih tua setelah dislokasi.

Dislokasi anterior adalah yang paling umum, terhitung hingga 97% dari semua dislokasi
bahu. Mekanisme cedera biasanya berupa pukulan pada ekstremitas yang abduksi, rotasi eksternal
dan ekstensi. Ini juga dapat terjadi dengan kekuatan humerus posterior atau jatuh pada lengan yang
terentang. Pada pemeriksaan, lengan biasanya diabduksi dan diputar ke luar, dan akromion tampak
menonjol. Ada cedera terkait pada 40% dislokasi anterior termasuk kerusakan saraf, atau robekan
dan patah tulang yang terkait dengan labrum, fossa glenoid, dan/atau kaput humerus.

Dislokasi glenohumeral anterior dapat terjadi sebagai akibat dari trauma, sekunder dari
kekuatan langsung atau tidak langsung diantaranya

a. Trauma tidak langsung pada ekstremitas atas dengan bahu dalam abduksi, ekstensi, dan
rotasi eksternal adalah mekanisme yang paling umum.

b. Benturan langsung ke anterior pada bahu posterior dapat menyebabkan dislokasi anterior.

c. Mekanisme kejang dan sengatan listrik biasanya menghasilkan dislokasi bahu posterior,
tetapi juga dapat menyebabkan dislokasi anterior.

d. Ketidakstabilan berulang yang berhubungan dengan kelemahan bawaan atau didapat atau
mekanisme kehendak dapat menyebabkan dislokasi anterior dengan trauma minimal.

Dislokasi posterior merupakan 2% sampai 4% dari dislokasi bahu. Biasanya, cedera


disebabkan oleh pukulan ke bahu anterior dan beban aksial dari lengan yang dirotasi ke dalam
mungkin juga akibat kontraksi otot yang hebat (kejang, tersengat listrik). Pada pemeriksaan, lengan
biasanya dipegang dalam adduksi, dan rotasi internal dan pasien tidak dapat melakukan rotasi
eksternal. Risiko lebih tinggi dari cedera terkait seperti fraktur leher bedah atau tuberositas, lesi Hill-
Sachs terbalik (juga disebut lesi McLaughlin yang merupakan fraktur impaksi aspek anteromedial
kepala humerus), dan cedera labrum atau rotator cuff.
Dislokasi inferior (juga dikenal sebagai luxatio erecta) adalah jenis yang paling jarang (kurang
dari 1%). Biasanya disebabkan oleh hiperabduksi atau dengan pembebanan aksial pada lengan yang
diabduksi. Pada pemeriksaan, lengan dipegang di atas dan di belakang kepala dan pasien tidak dapat
mengadduksi lengan. Sering dikaitkan dengan cedera saraf, cedera rotator cuff, robekan pada kapsul
internal, dan insiden tertinggi cedera saraf dan arteri aksila dari semua cedera bahu.(5)
Evaluasi Klinis
• Evaluasi klinis dapat sangat membantu untuk menentukan sifat trauma, kronisitas dislokasi,
pola kekambuhan dengan kejadian yang memicu, dan adanya kelemahan atau riwayat
ketidakstabilan pada bahu kontralateral.
• Pasien biasanya datang dengan cedera bahu ditahan dalam posisi abduksi ringan dan rotasi
eksternal. Dislokasi bahu akut terasa nyeri, disertai spasme otot.
• Pemeriksaan biasanya menunjukkan bahu yang persegi karena penonjolan relatif dari akromion,
rongga relatif di bawah akromion di posterior dan massa yang teraba di anterior.
• Pemeriksaan neurovaskular yang cermat penting dilakukan, dengan memperhatikan integritas
saraf aksila. Pengujian otot deltoid biasanya tidak memungkinkan, tetapi sensasi di atas deltoid
dapat dinilai. Atonia deltoid mungkin ada dan tidak boleh dikacaukan dengan cedera saraf
aksila. Muskulokutaneus Integritas saraf dapat dinilai dengan adanya sensasi pada lengan
bawah anterolateral.
• Pasien mungkin datang setelah reduksi spontan atau reduksi lapangan. Jika pasien tidak dalam
nyeri akut, pemeriksaan dapat mengungkapkan tes ketakutan positif, di mana penempatan
pasif bahu dalam posisi provokatif (abduksi, ekstensi, dan rotasi eksternal) mereproduksi rasa
ketidakstabilan dan nyeri pasien(4).
Klasifikasi

Dislokasi

TIngkat stabilitasi

Subluksasi

Bawaan

Akut atau Kronis

Kronologi

Menetap

Berulang

Atraumatis (biasanya karena kelemahan bawaan, tidak


ada cedera, sering tanpa gejala, membaik dengan
sendirinya)
Kekuatan
Traumatis (biasanya disebabkan oleh cedera besar,
labrum anterior atau inferior mungkin terlepas (lesi
Bankart), searah, umumnya membutuhkan bantuan
untuk memperbaiki)

Sukarela

Kontribusi pasien

Tidak sukarela

Subcoracoid

Arah Subglenoid

Intratorakal
Inti
Alur Tatalaksana
a. Dislokasi bahu anterior
Kejadian dislokasi pertama kali biasanya dapat dikelola secara nonoperatif, dengan reduksi
tertutup diikuti dengan rehabilitasi bahu. Keputusan untuk melanjutkan dengan intervensi
bedah biasanya muncul dari perkembangan ketidakstabilan berulang.
Indikasi tatalaksana non operatif yaitu :
• Dislokasi akut yang pertama kali
• Dislokasi berulang tanpa pengobatan sebelumnya
• Dislokasi atraumatik berulang
• Dislokasi kronis dengan fungsi baik dan tidak ada rasa sakit
• Pasien secara medis tidak stabil untuk dilakukan pembedahan
• Epilepsi yang tidak stabil

Kontraindikasi relative tatalaksana nonoperatif yaitu :

• Dislokasi akut pertama kali tetapi tidak dapat direduksi


• Dislokasi berulang dengan manajemen nonoperatif yang gagal
• Luka terbuka
• Dislokasi kronis dengan fungsi dan nyeri yang buruk

Peralatan dan persiapan reduksi tertutup pada dislokasi anterior

• Sedasi dan relaksasi otot yang adekuat


• Perlindungan jalan napas yang sesuai tersedia
• Meja atau tempat tidur radiolusen
• Posisi pasien di ruangan untuk memungkinkan fluoroskopi
• Orthosis untuk imobilisasi lengan tersedia setelah reduksi

Posisi pasien tergantung pada teknik reduksi tertutup yang digunakan. Pasien dapat
ditempatkan terlentang, benar-benar datar atau dalam posisi kursi pantai, atau tengkurap.
Penggunaan meja radiolusen dapat membantu untuk memudahkan penggunaan dan
penentuan posisi fluoroskopi. Fluoroskopi harus diposisikan untuk mendapatkan pandangan AP
dan aksila. Hal ini dapat dicapai dengan membawa mesin masuk dari sisi tempat tidur yang
berlawanan atau dari sisi yang sama dari posisi cephalad.
Teknik

1) Traksi sederhana atau teknik Hippocratic


a. Pasien berbaring terlentang dengan kontratraksi disediakan dengan selembar kain yang
dililitkan diatas pinggang asisten dan disekitar dada bagian atas pasien

b. Surgeon berdiri diatas bahu yang terkilir dengan kain kedua dililitkan di pinggangnya dan
disekitar lengan bawah pasien dengan siku menekuk hingga 90° terhadap kontratraksi
asisten

c. Lakukan traksi lambat dan mantap pada lengan pasien dengan kain kedua untuk
mengalihkan kaput humerus menjauh dari glenoid dan melepaskan dari tepi glenoid
d. Surgeon dapat merarik traksi tanpa kain, tetapi kain menjaga tangan surgeon tetap bebas
untuk melakukan rotasi internal, rotasi eksternal, abduksi atau adduksi lengan pasien atau
memberikan tekanan langsung pada kaput humerus sesuai kebutuhan untuk membantu
membuka dislokasi
2) Teknik Stimson
a. Pasien ditempatkan tengkurap dengan lengan yang dislokasi tergantung bebas diatas meja,
memungkinkan meja untuk memberikan dasar yang stabil dimana traksi kebawah dengan
lembut ditempatkan pada lengan
b. Traksi dilakukan secara manual atau dengan menempelkan beban ke pergelangan tangan
c. Traksi lambat dan stabil dapat diberikan dengan beban yang terpasang sehingga
menghasilkan kelelahan dan relaksi otot bahu yang melepaskan kaput humerus dan
berkurang setelah traksi dilepaskan
d. Metode ini biasanya dilakukan selama 15 hingga 20 menit, namun pasien harus dipantau
secara ketat untuk menghindari periode waktu yang lama dengan posisi ini dapat
mengakibatkan cedera traksi pada saraf

3) Teknik manipulasi scapular


a. Pasien dibaringkan tengkurap seperti teknik stimson
b. Manuver awal untuk SMT adalah traksi pada lengan saat itu diadakan pada 90° fleksi
kedepan (gambar A)
c. Terlepas dari sarana traksi lengan, sedikit rotasi eksternal dari humerus dapat memfasilitasi
reduksi dengan melepaskan ligamen glenohumeral superior dan menghadirkan profil yang
menguntungkan dari kepala humerus ke fossa glenoid.
d. Setelah melakukan traksi, skapula kemudian dimanipulasi untuk menyelesaikan reduksi.
Manipulasi skapula dilakukan dengan menstabilkan aspek superior skapula dengan satu
tangan dan mendorong ujung inferior skapula medial ke arah tulang belakang.
e. Ibu jari tangan menstabilkan aspek superior skapula dapat ditempatkan di sepanjang batas
lateral skapula dan digunakan untuk membantu tekanan diterapkan oleh ibu jari tangan
yang lain (gambar B)(6).
Gambar Teknik manipulasi skapula

4) Teknik Milch
a. Pasien berbaring dalam posisi vertikal terlentang, dengan bahunya sedikit lebih tinggi dari
posisi panggulnya.
b. Praktisi memegang lengan pasien di pergelangan tangan, abduksi ke posisi di atas kepala
dan memutarnya ke luar hingga 90°.
c. Selanjutnya, praktisi mendorong kaput humerus ke arah superior dan lateral
d. Secara tradisional teknik ini dilakukan tanpa traksi, tetapi dapat dimodifikasi dengan
menerapkan traksi. Dalam teknik reduksi diri yang dijelaskan oleh Dudkiewicz, pasien
mengabduksi dan memutar secara eksternal lengannya yang sakit dengan lengan lainnya
dan mendorong kepala humerus sendiri ke posisi superior dan lateral(7).

Gambar Manuver Milch


5) Manuver Kocher
a. Pasien berbaring dalam posisi terlentang dengan lengan diadduksi ke dada dan sikunya
tertekuk 90° .
b. Praktisi kemudian memberikan rotasi eksternal di bahu sampai resistensi dirasakan.
c. Kemudian, lengan difleksikan (diangkat), mempertahankan rotasi eksternal di bahu, dan
adduksi. Lengan kemudian diputar secara internal, memulai reduksi. (7)
Indikasi tatalaksana operatif dislokasi bahu anterior yaitu

• Dislokasi akut pertama kali yang tidak dapat direduksi atau tidak stabil
• Dislokasi berulang yang mengalami kegagalan pada manajemen nonoperatif
• Luka terbuka
• Dislokasi kronis dengan fungsi dan nyeri yang buruk
• Dislokasi yang berkaitan dengan fraktur humerus proksimal yang tergeser.

Kontraindikasi tatalaksana operatif dislokasi bahu anterior yaitu

• Dislokasi akut pertama kali dapat direduksi


• Ketidakstabilan berulang tanpa pengobatan sebelumnya
• Pasien secara medis tidak stabil untuk operasi
• Dislokasi kronis dengan fungsi yang baik dan tidak ada rasa sakit
• Epilepsi tidak stabil

b. Dislokasi bahu posterior


Pasien yang sangat lemah dan tidak dapat mentolerir upaya reduksi tertutup, intervensi
(tertutup atau terbuka) harus selalu dipertimbangkan. Ada beberapa indikasi lain untuk
membiarkan dislokasi akut tidak berkurang dan diobati secara nonoperatif. Demikian pula,
dislokasi berkurang yang memiliki subluksasi persisten atau ketidakstabilan karena fraktur
glenoid besar harus selalu dipertimbangkan untuk intervensi bedah.
Indikasi tatalaksana nonoperatif ketidakstabilan posterior
• Ketidakstabilan atraumatik berulang pasien lemah
• Dislokasi kronis dengan fungsi yang baik
• Epilepsy tidak stabil

Peralatan dan persiapan reduksi tertutup pada dislokasi posterior

• radiolusen atau meja kursi pantai


• Posisi terlentang atau kursi pantai miring di ruangan untuk memungkinkan fluoroskopi
• posisi lateral dengan bean-bag jika artroskopi dipertimbangkan
• fluoroskopi datang dari kepala sejajar dengan meja untuk posisi terlentang dan kursi pantai
• fluoroskopi datang dari kaki untuk posisi lateral
• persiapan untuk prosedur terbuka atau arthroscopic
• orthosis dalam rotasi lengan netral harus tersedia pasca operasi
Teknik
Reduksi tertutup membutuhkan relaksasi otot penuh, sedasi, dan analgesia.

a. Rasa sakit akibat dislokasi glenohumeral posterior traumatik akut biasanya lebih besar daripada
dengan dislokasi anterior dan mungkin memerlukan anestesi umum untuk reduksi.
b. Dengan pasien terlentang, traksi harus diterapkan pada lengan yang diaduksi di garis deformitas
dengan lembut mengangkat kepala humerus ke dalam fossa glenoid.
c. Bahu tidak boleh dipaksa melakukan rotasi eksternal, karena ini dapat mengakibatkan humerus
fraktur kepala jika fraktur impaksi terkunci pada tepi glenoid posterior.
d. Jika radiografi prereduksi menunjukkan fraktur impaksi yang terkunci pada tepi glenoid, aksial
traksi harus disertai dengan traksi lateral pada lengan atas untuk membukakaput humerus(4).

Perawatan pasca reduksi harus terdiri dari selempang dan balutan jika bahu stabil. Jika bahu
subluxes atau redislocates di sling dan balutan, orang harus mempertimbangkan stabilisasi bedah.
Dengan defek kepala anteromedial yang besar, stabilitas yang lebih baik dapat dicapai dengan
imobilisasi dalam rotasi eksternal. Rotasi eksternal dan latihan isometrik deltoid dapat dilakukan
selama periode imobilisasi. Setelah penghentian imobilisasi, penguatan rotator internal dan
eksternal yang agresif program dilembagakan.

Indikasi tatalaksana operatif dislokasi bahu posterior


• Perawatan nonoperatif yang gagal untuk ketidakstabilan berulang
• Reduksi tertutup gagal
• Dislokasi >3–6 minggu
• Bukit Terbalik–Sachs >20–25%
• Cacat glenoid yang signifikan
• Fraktur humerus proksimal

Kontraindikasi tatalaksana operatif dislokasi bahu posterior

• Epilepsi tidak stabil


• pasien lemah

c. Dislokasi bahu inferior


Ini hasil dari gaya hiperabduksi yang menyebabkan pelampiasan leher humerus pada akromion,
yang mengungkit kaput humerus ke inferior. Aspek superior dari permukaan artikular diarahkan
ke inferior dan tidak bersentuhan dengan inferior tepi glenoid. Poros humerus diarahkan ke
superior. Avulsi dan robekan rotator cuff, cedera pektoralis, fraktur humerus proksimal, dan
cedera pada arteri aksilaris atau pleksus brakialis sering terjadi.
Tatalaksana
a. Reduksi dapat dicapai dengan menggunakan manuver traksi kontra-traksi.
b. Traksi aksial harus dilakukan sejajar dengan posisi humerus (superolateral), dengan
penurunan abduksi bahu secara bertahap. Kontratraksi harus diterapkan dengan lembaran
di sekitar pasien, sejalan tetapi berlawanan dengan vektor traksi.
c. Lengan harus diimobilisasi dalam gendongan selama 3 sampai 6 minggu, tergantung pada
usia pasien. Individu yang lebih tua dapat diimobilisasi untuk waktu yang lebih singkat
untuk meminimalkan kekakuan bahu.

Referensi
1. Gregory PR. Fractures in Adults. Vol. 11, Journal of Orthopaedic Trauma. 2015. 145 p.

2. Schupp CM, Rand SE, Hanson TW, Lee BM, Jafarnia K, Jia Y, et al. Sideline Management of
Joint Dislocations. 2016;15(3).

3. Waddell BS, Mohamed S, Glomset JT, Meyer MS. A detailed review of hip reduction
maneuvers: A focus on physician safety and introduction of the Waddell technique. Orthop
Rev (Pavia). 2016;8(1):10–5.

4. Izzaty RE, Astuti B, Cholimah N. Handbook of Fractures. Angewandte Chemie International


Edition, 6(11), 951–952. 1967. 5–24 p.

5. Abrams R, Akbarnia H. Shoulder Dislocations Overview. StatPearls [Internet]. 2021 Aug 13


[cited 2022 Mar 2]; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459125/

6. Baykal B, Sener S, Turkan H. Scapular manipulation technique for reduction of traumatic


anterior shoulder dislocations: Experiences of an academic emergency department. Emerg
Med J. 2005;22(5):336–8.

7. Alkaduhimi H, van der Linde JA, Flipsen M, van Deurzen DFP, van den Bekerom MPJ. A
systematic and technical guide on how to reduce a shoulder dislocation. Turkish J Emerg Med
[Internet]. 2016;16(4):155–68. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.tjem.2016.09.008
Case Study on A-Z from Burn Injury
Pedahuluan
Definisi
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 555 tahun 2019, luka bakar merupakan kerusakan
kulit tubuh yang disebabkan oleh trauma panas atau trauma dingin (frost bite). Penyebabnya
diantaranya adalah api, air panas, listrik, kimia, radiasi, dan trauma dingin (frost bite).

Epidemiologi
Luka bakar memiliki jumlah kasus yang relative banyak serta mempunyai resiko morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Data dari WHO menyebutkan terdapat 180.000 kematian per tahun akibat luka
bakar, terutama di negara dengan penghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia. Data pasti
kejadian di Indonesia masih belum ada. Berdasarkan data dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun
2011, dari total 145 pasien luka bakar, 127 pasien (87,6%) diantaranya sembuh, sedangkan 15 pasien
(10,3%) meninggal.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 555 tahun 2019 mengutip data yang diambil dari
RSCM tahun 2012 – 2016, penyebab luka bakar pada pasien dewasa paling banyak disebabkan oleh
api (53,1%), air panas (19,1%), listrik (14%), kontak (5%), dan kimia (3%). Sedangkan, penyebab luka
bakar pada anak yang paling sering diantara air panas (52%), api (26%), listrik (6%), kontak (15%), dan
kimia (1%). Terdapat beberapa populasi yang beresiko mengalami luka bakar, diantaranya wanita dan
juga anak-anak.

Patofisiologi
Luka bakar yang menyebabkan destruksi jaringan menimbulkan respon awal inflamasi pada host.
Respon inflamasi yang ditandai dengan peningkatan kadar sitokin, kemokin, serta protein fase akut.
Ketika kaskade inflamasi terjadi berulang kali atau tetap tidak terkendali, hal tersebut dapat merusak
jaringan dan berkontribusi pada disfungsi organ dan kematian.
Area luka bakar dibagi menjadi tiga zona berdasarkan Model Luka Bakar Jackson’s yaitu zona
koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia.

1. Zona Koagulasi
Terdapat nekrotik luka bakar di mana sel-sel rusak secara langsung dan permanen.
2. Zona Stasis
Daerah yang mengelilingi zona nekrotik memiliki derajat kerusakan sedang dengan
penurunan perfusi jaringan. Zona stasis dikaitkan dengan kerusakan pembuluh darah dan
kebocoran pembuluh darah.
3. Zona hiperemia
Pada zona ini terdapat vasodilatasi dari peradangan di sekitar luka bakar. Daerah ini
mengandung jaringan yang jelas-jelas hidup dari mana proses penyembuhan dimulai dan
umumnya tidak beresiko untuk nekrosis lebih lanjut.

Klasifikasi
Klasifikasi luka bakar berdasarkan penyebabnya:

a. Akibat api
b. Lepuh: kerusakan akibat kontak dengan cairan panas
c. Kontak: kerusakan akibat kontak dengan padatan panas atau dingin
d. Kimia: kontak dengan bahan kimia berbahaya
e. Listrik: konduksi arus listrik melalui jaringan
Klasifikasi luka bakar berdasarkan kedalamannya:

a. Superfisial: terbatas pada epidermis


b. Parsial superfisial: luka pada epidermis dan dermis papiler.
c. Parsial dalam: luka pada epidermis dan dermis retikularis
d. Penuh: luka yang meluas melalui epidermis dan dermis ke sub-lemak kulit

Inti
Alur Tatalaksana
Penanganan pada luka bakar disesuaikan dengan derajat luka itu sendiri. Pada luka bakar derajat
pertama, penanganan luka bakar cukup dengan membasuh daerah yang terbakar air keran yang
mengalir selama 20 menit dalam 15 menit pertama, dan menghentikan paparan panas lebih lanjut
serta pemberian analgetik untuk meredakan nyerinya. Penanganan luka bakar derajat dua dan tiga
membutuhkan perawatan yang lebih kompleks [11].

1. Primary Survey

Pada tahap ini, segera lakukan identifikasi kondisi-kondisi mengancam jiwa dan lakukan
manajemen emergensi yang dibagi menjadi ABCDEF:

A. (Airway)
Penalataksanaan jalan nafas dan manajemen trauma cervical. Lakukan gerakan head tilt dan
chin lift. Bila diperlukan, lakukan pemasangan jalan napas buatan yaitu oropharyngeal
airway pada pasien yang tidak sadar dan dapat dilakukan Intubasi endotrakeal bila
dibutuhkan. Lakukan proteksi pada area cervical dengan pemasangan collar brace yang rigid.
B. (Breathing)
Pernapasan dan ventilasi. Nilailah aspek pernafasan pasien dengan metode look, listen, and
feel. Evaluasi apakah frekuensi dan kedalaman pernafasan pasien sudah adekuat dan apakah
terdapat suara nafas tambahan pada pasien. Luka bakar di seluruh bagian tubuh dapat
mengganggu proses ventilasi dan harus dipantau secara ketat. Amati apakah terdapat eschar
pada pasien. Bila terdapat eschar, lakukan escharotomy pada secondary survey sesuai
dengan indikasi.
C. (Circulation)
Sirkulasi dengan kontrol perdarahan. Mengevaluasi tekanan darah, denyut nadi, warna kulit,
pengisian kapiler, dan saturasi kulit. Pasang kateter ke dalam vena, memulai pemberian
cairan dan ambil sampel darah untuk diperiksakan.
D. (Disability)
Status neurogenik. Evaluasi metode AVPU: A – Alert, V – Respons terhadap stimulus verbal,
P - Respon hanya pada stimulus yang menyakitkan, U – Unresponsive. Cek pupil.
E. (Exposure)
Pajanan dan Pengendalian lingkungan. Lepaskan semua pakaian dan perhiasan yang melekat
pada pasien. Jaga suhu tubuh pasien dengan memberikan cairan intravena yang dihangatkan
(37 - 40C) untuk mempertahankan suhu inti tubuh.. Hitung perkiraan TBSA dari pasien.
Lakukan log roll pada pasien.
F. (Fat, Analgesia, Tests, Tubes)
Resusitasi cairan yang adekuat dan monitoring. Fluid – Resusitasi cairan yang adekuat,
Analgetik – berikan morfin,dosis 0,05 mg/kgbb, Tests – Lakukan pemeriksaan laboratorium
seperti lab darah dan pemeriksaan penunjang lainnya, Tube – dapat dilakukan pemasangan
nasogastric tube dan kateter
2. Secondary Survey

Tahap ini dilakukan setelah kondisi mengancam nyawa diyakini telah diatasi. Pemeriksaan
dilakukan menyeluruh mulai dari kepala sampai kaki dengan tujuan untuk menegakkan
diagnosis yang tepat

Penutup
Indikasi Rujukan
Terdapat beberapan kriteria indikasi rujukan untuk pasien luka bakar, diantaranya:
1. Ketebalan parsial luka bakar lebih besar dari 10% total luas permukaan tubuh.
2. Luka bakar yang mengenai wajah, tangan, kaki, genitalia, perineum, atau persendian utama.
3. Luka bakar derajat tiga pada semua kelompok umur.
4. Luka bakar listrik, termasuk karena petir.
5. Luka bakar kimia.
6. Luka bakar inhalasi.
7. Luka bakar pada pasien dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya yang dapat
mempersulit manajemen, memperpanjang pemulihan, atau mempengaruhi kematian.
8. Setiap pasien dengan luka bakar dan trauma yang menyertai (seperti patah tulang) di mana luka
bakar menimbulkan risiko morbiditas atau mortalitas terbesar.
9. Anak-anak yang dibawa ke rumah sakit tanpa personel atau peralatan yang memenuhi syarat
untuk perawatan anak.
10. Luka bakar pada pasien yang memerlukan intervensi sosial, emosional, atau rehabilitatif khusus.

Prognosis
Prognosa luka bakar dipengaruhi oleh berbagai variable, yaitu : keparahan luka bakar, usia ekstrem
(manula /anak-anak), penyakit lain yang mendasari pasien, dan trauma penyerta lain. Menurut The
Australian & New Zealand Burn Association (ANZBA), rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi
dapat bila pasien masuk dalam salah satu dari kriteria berikut [13]:

1. Luka bakar lebih dari 10% Total Body Surface Area (TBSA)
2. Luka bakar lebih dari 5% TBSA pada anak
3. Luka bakar full thickness lebih dari 5% TBSA
4. Luka bakar pada area khusus (Wajah, tangan, kaki, genitalia, perineum, sendi utama, dan
luka bakar yang mengelilingi ekstremitas serta luka bakar pada dada)
5. Luka bakar dengan trauma inhalasi
6. Luka bakar listrik
7. Luka bakar karena zat kimiawi
8. Luka bakar dengan penyakit yang menyertai sebelumnya
9. Luka bakar yang disertai trauma mayor
10. Luka bakar pada usia ekstrem: anak sangat muda dan orang tua
11. Luka bakar pada wanita hamil
12. Luka bakar bukan karena kecelakaan

Take-home message
Penanganan awal yang adekuat pada luka bakar sangat bermanfaat dan wajib dipahami untuk
menyelamatkan nyawa, memberikan kesembuhan yang lebih cepat, mengurangi resiko kecacatan,
dan menyelamatkan masa depan pasien.

Referensi
1. Burns [Internet]. Who.int. 2021 [cited 22 February 2022]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/burns
2. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Luka Bakar. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2019.
3. Jeschke, M.G., van Baar, M.E., Choudhry, M.A. et al. Burn injury. Nat Rev Dis Primers 6, 11
(2020). https://doi.org/10.1038/s41572-020-0145-5
4. Advanced Burn Life Support Course. Chicago: American Burn Association; 2018.
5. Australia and New Zealand Burn Association. Emergency Management of Severe Burns
(EMSB) Australia ANZBA 2013.

Anda mungkin juga menyukai