Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“VARIASI BAHASA”
Dosen Pengampu: Anwar Nada S.Pd.,M.Pd.

Oleh Kelompok: IV
Maula Banapon: (03082211039)
Suryani M. Ibrahim: (03082011049)
Putri Riska Amalia: (03082211026)
Nurlela S. Abdullah: (03082211035)
Rohani Kaba: (03082211036)
Marisa Taher: (03082211027)
Tiara Putri Panigfat: (03082211031)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNVERSITAS KHAIRUN TERNATE
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala
limpahan rahmatnya kami dapat menyusun makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat serta
salam kami curahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya,
sahabatnya, dan seluruh umatnya sampai akhir zaman.

Makalah ini membahas tentang variasi bahasa. Adapun isi makalah ini jauh dari kata
sempurna karena keterbatasan kemampuan kami, baik kemampuan mengolah konsepsi ataupun
kemampuan apersepsi. Sehingga harap di maklumi apabila isi makalah kami banyak kekurangan,
itu sebabnya kritik dan saran sangat kami harap untuk perbaikan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca, dan menjadi
tambahan bagi khazanah ilmiah kita semua.

Ternate,25 januari 2023


DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................
C. Tujuan......................................................................................
D. Manfaat....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN....................................................................
A. Variasi Bahasa.........................................................................
B. Variasi dari Segi Penutur.........................................................
C. Variasi dari Segi Pemakaian....................................................
D. Variasi dari Segi Keformalan...................................................
E. Variasi dari Segi Sarana...........................................................
F. Jenis Bahasa.............................................................................
G. Jenis Bahasa Berdasrkan Sosiologis........................................
H. Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik..................................
I. Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Bahasa Pemerolehan...........
J. Lingua Franca..........................................................................
BAB III PENUTUP............................................................................
A. Simpulan..................................................................................
B. Saran........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa adalah lambing bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap yang mempunyai makna
atau arti. Bahasa merupakan alat komunikasi yang di gunakan oleh mahluk hidup untuk
berinteraksi sesamanya, terutama manusia. Macam macam bahasa di dunia ini sungguh
beragam, terutama di Indonesia yang mempunyai banyak suku bangsa, budaya dan
bahasa. Proses menguasai bahasa melibatkan soal soal luaran seperti latar belakang social
penutur, kedudukan, dan kebudayaan penutur dalam masyarakat.
Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik,
sehingga kridalaksana (1974) mendefenisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik
yang berusaha menjelaskan ciri ciri variasi bahasa dan menetapkan korelasi ciri ciri
variasi bahasa tersebut dengan ciri ciri social kemasyarakatan. Kemudian dengan
mengutip pendapat fishman (1971:4) kridalaksana mengatakan bahwa sosiolinguistik
adalah ilmu yang mempelajari ciri dan fungsi berbagai variasi bahasa, serta hubungan di
antara bahasa dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diambil dari makalah ini adalah:
1. Sebutkan dan jelaskan macam macam variasi bahasa!
2. sebutkan dan jelaskan macam macam variasi bahasa!

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi penyelesaian tugas pada mata
kuliah “BAHASA INDONESIA”. Selain itu juga untuk menyajikan penjelasan mengenai
materi jenis variasi bahasa.

D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah:
1. Kita dapat mengetahui dan mejelaskan macam macam variasi bahasa.
2. Kita dapat mengetahui dan menjelaskan macam macam jenis bahasa
BAB II
PEMBAHASAN
A.Variasi Bahasa

Sebagai sebuah langue, sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami
sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada
dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa
yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan
bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para
penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka
lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman
bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh
penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Misalnya bahasa Inggris
yang digunakan hampir di seluruh dunia; bahasa Arab yang luas wilayahnya dari Jabal Thariq di
Afrika Utara sampai ke perbatasan Iran (dan juga sebagai bahasa agama Islam dikenal hampir di
seluruh dunia); dan bahasa Indonesia yang wilayah penyebarannya dari Sabang sampai Merauke.
Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam
bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman
fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya
keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok
yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau
keragaman itu tidak akan ada; artinya, bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam
bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan
masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak.
Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman
sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial.
Variasi bahasa dibedakan berdasarkan penutur dan penggunaanya. Berdasarkan penutur
berarti siapa yang menggunakan bahasa itu, di mana tinggalnya, bagaimana kedudukan sosialnya
di dalam masyarakat, apa jenis kelaminnya, dan kapan bahasa itu digunakannya. Berdasarkan
penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalur dan alatnya,
dan bagaimana situasi keformalannya.

B. Variasi dari Segi Penutur


Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang
disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap
orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini
berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya.
Namun yang paling dominan adalah “warna” suara itu, sehingga jika kita cukup akrab dengan
seseorang, hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat
mengenalinya. Mengenali idiolek seseorang dari bicaranya memang lebih mudah daripada
melalui karya tulisnya. Namun kalau kita sering membaca karya Hamka, Alisyahbana, atau
Shakespeare, maka pada suatu waktu kelak bila kita menemui selembar karya mereka, meskipun
tidak dicantumkan nama mereka, maka kita dapat mengenali lembaran itu karya siapa.
Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi
bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah,
atau area tertentu.  Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur,
maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Para penutur
dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki
kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan
kelompok penutur lain, yang berada dalam dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai
dialeknya juga.
Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek temporal,
yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya,
variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi yang digunakan tahun lima
puluhan, dan variasi yang digunakan pada masa kini.
Variasi bahasa keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau
dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para
penuturnya.
Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas
sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek,
basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan dengan
yang disebut bahasa prokem.
Yang dimaksud dengan akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih
bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut bahasa
bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa.
Yang dimaksud dengan basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau
bahkan dianggap paling rendah. Bahasa Inggris yang digunakan oleh para cowboy dan kuli
tambang dapat dikatakan sebagai basilek.
Yang dimaksud dengan vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian
bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan.
Pada zaman Romawi sampai zaman pertengahan, bahasa-bahasa di Eropa dianggap sebagai
bahasa vulgar, sebab pada waktu itu para golongan intelek menggunakan bahasa Latin dalam
segala kegiatan mereka.
Yang dimaksud dengan slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia.
Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh
diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosa kata yang digunakan dalam
slang ini selalu berubah-ubah.
Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan
sehari-hari. Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis.
Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh
kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami
oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan
tersebut tidak bersifat rahasia.
Yang dimaksud dengan argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada
profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosakata.
Yang dimaksud dengan ken (Inggris = cant) adalah variasi sosial tertentu yang bernada
“memelas”, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh
para pengemis.

C. Variasi dari Segi Pemakaian


Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakaianya,  atau fungsinya disebut
fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan
bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa
berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan
atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian,
perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini
yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata. Setiap bidang kegiatan ini biasanya
mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain.
Namun demikian, variasi berdasarkan bidang kegiatan ini tampak pula dalam tataran morfologi
dan sintaksis. Variasi bahasa atau ragam bahasa sastra biasanya menekankan penggunaan bahasa
dari segi estetis, sehingga dipilihlah dan digunkanlah kosakata secara estetis memiliki ciri eufoni
serta daya ungkap yang paling tepat. Struktur morfologi dan sintaksis yang normatif dikorbankan
dan dihindarkan untuk mencapai efek keeufonian dan kedayaungkapan yang tepat yang paling
tepat. Begitu juga kalau dalam bahasa umum orang mengungkapkan sesuatu secara lugas dan
polos, tetapi dalam ragam bahasa sastra akan diungkapkan secara estetistis. Dalam bahasa umum
orang, misalnya, akan mengatakan, “saya sudah tua”, tetapi dalam bahasa sastra Ali Hasjmi,
seorang penyair Indonesia, mengatakan dalam bentuk puisi.

Ragam bahasa jurnalistik juga mempunyai ciri tertentu, yakni bersifat sederhana,
komunikatif dan ringkas. Sederhana karena harus dipahami dengan mudah; komunikatif, karena
jurnalistik harus menyampaikan berita secara tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang
(dalam media cetak), dan keterbatasan waktu (dalam media elektronika). Dalam bahasa
Indonesia ragam jurnalistik ini dikenal dengan sering ditanggalkannya awalan me- atau
berawalan ber- yang di dalam ragam bahasa baku harus digunakan umpamanya kalimat,
“gubernur tinjau daerah banjir” (dalam bahasa baku berbunyi, kalimat “gubernur meninjau
daerah banjir”). Contoh lain, “ anaknya sekolah di bandung’’ (dalam bahasa baku adalah,
“anaknya bersekolah di Bandung”).
Ragam bahasa militer dikenal dengan cirinya yang ringkas dan bersifat tegas, sesuai
dengan tugas dan kehidupan kemiliteran yang penuh dengan disiplin dan instruksi. Ragam
militer di Indonesia dikenal dengan cirinya yang memerlukan keringkasan dan ketegasan yang
dipenuhi dengan berbagai akronim itu memang sering kali sukar dipahami, tetapi bagi kalangan
miiliter itu sendiri tidak menjadi persoalan.
Ragam bahasa ilmiah yang juga dikenal dengan cirinya yang lugas, jelas, dan bebas dari
keambiguan, serta segala macam-macam metafora dan idiom. Bebas dari segala keambiguan
karena bahasa ilmiah harus memberikan informasi keilmuan secara jelas, tanpa keraguan akan
makna, dan terbebas dari kemungkinan tafsiran makna yang berbeda. Oleh karena itulah juga,
bahasa ilmiah tidak menggunakan segala macam metafora dan idiom.
Varasi bahasa berdasarkan fungsi ini lazim disebut register. Dalam pembicaraan tentang
register ini biasanya dikaitkan dengan dialek. Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu
digunakan oleh siapa, dimana, dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu
digunakan untuk kegiatan apa. Dalam kegiatannya mungkin saja seseorang hanya hidup dengan
satu dialek misalnya, seorang penduduk desa terpencil di lereng gunung atau di tepi hutan.
Tetapi, dia pasti tidak hidup hanya dengan satu register, sebab dalam kehidupannya sebagai
anggota masyarakat, bidang kegiatan yang harus dilakukan pasti lebih dari satu. Dalam
kehidupan modern pun ada kemungkinan adanya seseorang yang hanya mengenal satu dialek;
namun, pada umumnya dalam masyarakat modern orang hidup lebih dari satu dialek (regional
maupun sosial) dan menggeluti sejumlah register, sebab dalam masyarakat modern orang sudah
pasti berurusan dengan sejumlah kegiatan yang berbeda.

D. Variasi dari Segi Keformalan


Berdasarkan tingkatan keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five
Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (Inggris:Style), yaitu gaya atau ragam
beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau
ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). Dalam pembicaraan selanjutnya
kita sebut saja ragam.
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-
situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi. Misalnya, dalam upacara kenegaraan, khotbah di
masjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab undang-undang, akta notaries, dan surat-surat
keputusan disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak
boleh diubah. Dalam bentuk tertulis, ragam beku ini kita dapati dalam dokumen-dokumen
bersejarah, seperti undang-undang dasar, akte notaris, naskah-naskah perjanjian, jual beli, atau
sewa menyewa. Perhatikan contoh berikut yang diangkat dari naskah Undang-Undang dasar
1945.
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
Kalimat yang dimulai dengan kata bahwa, maka, hatta, dan sesungguhnya menandai
ragam beku dari variasi bahasa tersebut. Susunan-susunan kalimat dalam ragam beku biasanya
panjang-panjang, bersifat kaku; kata-katanya lengkap. Dengan demikian, para penutur dan
pendengar ragam beku dituntut keseriusan dan perhatian yang penuh.
Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato
kenengaraan, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan
sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara matang sebagai suatu standar.
Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar yang hanya
digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi. Jadi, percakapan antar
teman yang sudah karib atau percakapan dalam keluarga tidak menggunakan ragam resmi ini.
Tetapi pembicaraan dalam acara peminangan, pembicaraan dengan seorang dekan di kantornya,
atau diskusi dalam ruang kuliah adalah menggunakan ragam resmi ini.
Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam
pembicaraan biasa di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil
atau produksi. Jadi dapat dikatakan ragam usaha ini adalah ragam bahasa yang paling
operasional. Wujud ragam bahasa ini berada di antara ragam formal dan ragam informal atau
ragam santai.
Ragam santai atau ragam casual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak
resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu beristirahat,
berolahraga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam santai ini dapat menggunakan bentuk alegro,
yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur-unsur
leksikal dialek dan unsur bahasa daerah. Demikian juga dengan struktur morfologi dan
sintaksisnya. Seringkali struktur morfologi yang normatif tidak digunakan.
Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para
penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga, dan atau antar teman
yang sudah karib itu. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yangt tidak lengkap,
pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan
sudah ada saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama. Perhatikan ketiga kalimat
contoh berikut:
(a) Saudara boleh mengambil buku-buku ini yang saudara sukai
(b)  Ambillah yang kamu sukai!
(c) Kalau mau ambil aja!
Tingkat keformalan kalimat (a) lebih tinggi daripada kalimat (b); dan kalimat (b) lebih
tinggi daripada kalimat (c). Kalimat (a) termasuk ragam usaha, sebab kurang lebih
bentuk kalimat seperti itulah yang biasa kita gunakan. Kalimat (b) termasuk ragam
santai; sedangkan kalimat (c) termasuk dalam ragam akrab, sebab hanya kepada teman
kariblah bentuk ujaran seperti itu yang kita gunakan.

E. Variasi dari Segi Sarana


Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan.
Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam
berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam
bertelepon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan
pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak
sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini adalah karena dalam berbahasa lisan
atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur
nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik tangan,
gelengan kepala, dan sejumlah gejala-gejala fisik lainnya. Padahal di dalam ragam bahasa
tulis, hal-hal yang disebutkan itu tidak ada. Lalu, sebagai gantinya harus dieksplisitkan
secara verbal. Umpamanya kalau kita menyuruh seseorang memindahkan sebuah kursi
yang ada di hadapan kita, maka secara lisan sambil menunjuk atau mengarahkan
pandangan pada kursi itu kita cukup mengatakan, “Tolong pindahkan ini”. Tetapi dalam
bahasa tulis karena tiadanya unsur penunjuk atau pengarahan pandangan pada kursi itu,
maka kita harus mengatakan, “Tolong pindahkan kursi itu!”, jadi, dengan secara eksplisit
menyebutkan kata kursi itu.
Dari contoh tersebut dapat pula ditarik kesimpulan bahwa dalam berbahasa tulis
kita harus lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang kita susun bisa dapat
dipahami pembaca dengan baik. Kesalahan atau kesalahpengertian dalam berbahasa lisan
dapat segera diperbaiki atau diralat, tetapi dalam berbahasa tulis kesalahan atau
kesalahpengertian baru kemudian bisa diperbaiki.

F.  Jenis Bahasa
Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik tidak sama dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa secara
geneologis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klasifikasi secara geneologis dan tipologis
berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa-bahasa itu; sedangkan penjenisan secara sosiolinguistik
berkenaan dengan faktor-faktor eksternal bahasa atau bahasa-bahasa itu yakni faktor sosiologis,
politis, dan kultural.

G. Jenis Bahasa Berdasarkan Sosiologis


Penjenisan berdasarkan faktor sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas
pada struktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan
sistem linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penjenisan
secara sosiologis ini penting untuk menentukan satu sistem linguistik tertentu, apakah
bisa disetujui atau tidak oleh anggota masyarakat tutur untuk menggunakannya dalam
fungsi tertentu, misalnya sebagai bahasa resmi kenegaraaan, dan sebagainya.
Stewart (dalam Fishman (ed.) 1968) menggunakan empat dasar untuk
menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis, yaitu (1) standardisasi, (2) otonomi, (3)
historisitas, dan (4) vitalitas. Keempat faktor itu oleh Fishman (1972:18) disebut sebagai
jenis sikap dan perilaku terhadap bahasa.
Standardisasi atau pembakuan adalah adanya kodifikasi dan penerimaan terhadap
sebuah bahasa oleh masyarakat pemakai bahasa itu akan seperangkat kaidah atau norma
yang menentukan pemakaian “bahasa yang benar”. Jadi, standardisasi ini mempersoalkan
apakah sebuah bahasa memiliki kaidah-kaidah atau norma-norma yang sudah
dikodifikasikan atau tidak yang diterima oleh masyarakat tutur dan merupakan dasar
dalam pengajaran bahasa, baik sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua.
Dasar kedua dalam penjenisan sosiologis ini adalah otonomi atau keotonomian.
Sebuah sistem linguistik disebut mempunyai keotonomian kalau sistem linguistik itu
memiliki kemandirian sistem yang tidak berkaitan dengan bahasa lain (Fishman
1968:535). Jadi kalau ada dua sistem linguistik atau lebih tidak mempunyai hubungan
kesejarahan, maka berarti keduanya memiliki keotonomian masing-masing.
Dasar ketiga dalam penjenisan sosiologi bahasa adalah faktor historisitas atau
kesejarahan. Sebuah sistem linguistik dianggap mempunyai historisitas kalau diketahui
atau dipercaya sebagai hasil perkembangan yang normal pada masa yang lalu (Fishman
1968:535). Factor kesejarahan ini berkaitan dengan tradisi dari etnik tertentu.
Dasar keempat dalam penjenisan bahasa secara sosiologis adalah faktor vitalitas
atau keterpakaian. Menurut Fishman (1968:536) yang dimaksud dengan vitalitas adalah
pemakaian sistem linguistik oleh satu masyarakat penutur asli yang tidak terisolasi.
Bahasa yang berjenis standar seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Indonesia
memiliki keempat dasar penjenisan (klasifikasi). Bahasa yang berjenis klasik seperti bahasa
Latin dan bahasa Sansekerta hanya memiliki tiga dasar penjenisan, yaitu standardisasi, otonomi,
dan historisitas, dan tidak mempunyai vitalitas karena tidak ada penuturnya lagi.
Bahasa artifisial adalah bahasa buatan, seperti bahasa Volapuk dan bahasa Esperanto.
Bahasa jenis ini memiliki ciri standardisasi dan otonomi, tetapi tidak memiliki ciri historisitas
dan vitalitas.  Sedikit tambahan, yang dimaksud dengan bahasa artifisial ini adalah bahasa yang
dibuat, disusun dengan maksud untuk dijadikan bahasa pengantar (lingua franca) internasional.
Jenis bahasa vernakular menurut Pei dan Gaynor (1954:227) adalah bahasa umum yang
digunakan sehari-hari oleh satu bangsa atau satu wilayah geografis, yang bisa dibedakan dari
bahasa sastra yang dipakai terutama di sekolah-sekolah dan dalam  kesusastraan. Bahasa jenis
vernakular ini memiliki ciri otonomi, historisitas, dan vitalitas, tetapi tidak mempunyai ciri
standardisasi.
Jenis bahasa yang disebut dialek memiliki ciri vitalitas dan historisitas, tetapi tidak
memiliki cirri standardisasi dan otonomi, sebab keotonomian bahasa ini berada di bawah langue
bahasa induknya.
Bahasa yang berjenis kreol hanya memiliki vitalitas, tidak memiliki ciri standardisasi,
otonomi, dan historisitas. Pada mulanya sebuah kreol berasal dari sebuah pijin, yang dalam
perkembangannyadigunakan pada generasi berikutnya, sebagai satu-satunya alat komunikasi
verbal yang mereka kuasai.
Bahasa yang berjenis pijin tidak memiliki keempat dasar penjenisan. Bahasa jenis ini
terbentuk secara alami di dalam suatu kontak sosial yang terjadi antara sejumlah penutur yang
masing-masing memiliki bahasa ibu (Bolinger 1975:364).

H. Jenis Bahasa Berdasarkan Sikap Politik


Berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya
bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Pembedaan ini
dikatakan berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan
kepentingan kebangsaan. Ada kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu
mengacu pada satu sistem linguistik yang sama, dan ada kemungkinan pula pada sistem
linguistik yang berbeda. Di Indonesia keempat jenis bahasa itu mengacu pada satu sistem
linguistik yang sama; sedangkan di India, di Filipina, dan di Singapura tidak.
Sebuah sistem linguistik disebut sebagai bahasa kebangsaan, adalah kalau sistem
linguistik itu diangkat oleh suatu bangsa (dalam arti kenegaraan) sebagai salah satu
identitas kenasionalan bangsa itu.
Yang dimaksud dengan bahasa negara adalah sebuah sistem linguistikyang secara
resmi dalam undang-undang dasar sebuah negara ditetapkan sebagai alat komunikasi
resmi kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegaraan, dan
kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu.
Yang dimaksud dengan bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik yang
ditetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan, seperti seminar, konferensi, rapat,
dan sebagainya. Dalam sidang internasional di PBB bahasa Inggris, bahasa Prancis,
bahasa Spanyol, bahasa Cina, dan bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi
persidangan.

I. Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan


Berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa
pertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa
ibu dan bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang
disebut bahasa ibu adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara
alamiah dari ibu atau keluarga yang memelihara seorang anak.
Bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama (disingkat B1) karena bahasa itulah
yang pertama-tama dipelajarinya. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain, yang
bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua
(disingkat B2). Andaikata kemudian si anak mempelajari bahasa lainnya lagi, maka
bahasa yang dipelajari terakhir ini disebut bahasa ketiga (disingkat B3). Begitu pula
selanjutnya, ada kemungkinan seorang anak mempelajari bahasa keempat, kelima, dan
seterusnya. Pada umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa
daerahnya masing-masing. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua karena baru
dipelajari ketika masuk sekolah, dan ketika dia sudah menguasai bahasa ibunya, kecuali
mereka yang sejak bayi sudah mempelajari bahasa Indonesia dari ibunya.

J. Lingua Franca
Yang dimaksud dengan Lingua Franca adalah sebuah sistem linguistik yang
digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai
bahasa ibu yang berbeda. Dulu bahasa Latin di Eropa adalah sebuah lingua franca bagi
bangsa-bangsa Eropa. Bahasa Melayu pernah menjadi lingua franca bagi suku-suku-suku
bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Secara sendiri-sendiri baik bangsa-bangsa di
Eropa maupun suku-suku bangsa di Indonesia itu mempunyai bahasa vernakular yang
berbeda. Lalu, untuk komunikasi antarbangsa atau antarsuku bangsa diperlukan adanya
sebuah bahasa yang menjadi lingua franca.
Pemilihan satu sistem linguistik menjadi sebuah lingua franca adalah berdasarkan
adanya kesalingpahaman di antara sesama mereka. Bahasa Latin dulu dipahami oleh
semua bangsa di Eropa; dan bahasa Melayu juga dipahami oleh semua suku bangsa di
Nusantara. Dewasa ini bahasa Latin tidak lagi menjadi lingua franca di Eropa.
Kedudukannya sudah diganti oleh bahasa Inggris (dan bahasa Prancis). Bahasa
Indonesia/Melayu/Malaysia dewasa ini masih tetap menjadi lingua franca di kawasan
Asia Tenggara. Bahasa Inggris di India dan di Filipina yang diangkat secara politis
menjadi bahasa resmi kenegaraan adalah juga berdasarkan karena bahasa Inggris itu telah
menjadi lingua franca di kedua negara itu. Kalau dalam sidang-sidang umum PBB boleh
digunakan bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Cina, dan Arab adalah karena alasan kelima
bahasa itu banyak dipahami oleh bangsa-bangsa di dunia. Jadi, sesungguhnya kelima
bahasa itu adalah juga lingua franca.
Karena dasar pemilihan lingua franca adalah keterpahaman atau
kesalingpengertian dari para partisipan yang menggunakannya, maka “bahasa” apa pun,
baik sebuah langue, pijin, maupun kreol, dapat menjadi sebuah lingua franca itu.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh semua orang, baik dari kalangan
atas maupun kalangan rendah. Itulah yang menyebabkan mengapa banyak sekali variasi dalam
bahasa. Variasi bahasa adalah macam-macam bentuk bahasa yang berbeda. Variasi bahasa
disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok
yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen.
Variasi bahasa dari segi penutur terbagi menjadi empat macam, yaitu: idiolek, dialek,
kronolek/dialek temporal dan sosiolek. Variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan,
status, dan kelas sosial. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan,
status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang
disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang
menambahkan dengan yang disebut bahasa prokem.
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakaianya,  atau fungsinya disebut
fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan
bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa
berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan
atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian,
perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan.
Variasi bahasa dari segi keformalan pemakaian dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan,
gaya, atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan. Variasi dari segi keformalan terbagi atas
lima macam gaya (style), yaitu: gaya/ragam beku (frozen), gaya resmi (formal), gaya
usaha (konsultatif), gaya santai (casual), dan gaya akrab (intimate).
Variasi dari segi sarana adalah dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni
misalnya dalam bertelepon dan betelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa
tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur
yang tidak sama.
Penjenisan bahasa secara sosiolinguistik tidak sama dengan penjenisan (klasifikasi) bahasa
secara geneologis (genetis) maupun tipologis. Penjenisan atau klasifikasi secara geneologis dan
tipologis berkenaan dengan ciri-ciri internal bahasa-bahasa itu; sedangkan penjenisan secara
sosiolinguistik berkenaan dengan faktor-faktor eksternal bahasa atau bahasa-bahasa itu yakni
faktor sosiologis, politis, dan kultural.
Penjenisan bahasa berdasarkan faktor sosiologis, artinya penjenisan itu tidak terbatas pada
struktur internal bahasa, tetapi juga berdasarkan faktor sejarahnya, kaitannya dengan sistem
linguistik lain, dan pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Jenis bahasa berdasarkan sikap politik atau sosial politik kita dapat membedakan adanya
bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Pembedaan ini dikatakan
berdasarkan sikap sosial politik karena sangat erat kaitannya dengan kepentingan kebangsaan.
Ada kemungkinan keempat jenis bahasa yang disebutkan itu mengacu pada satu sistem linguistik
yang sama, dan ada kemungkinan pula pada sistem linguistik yang berbeda.
Jenis bahasa berdasarkan tahap pemerolehannya dapat dibedakan adanya bahasa ibu, bahasa
pertama, dan bahasa kedua (ketiga dan seterusnya), dan bahasa asing. Penanaman bahasa ibu dan
bahasa pertama adalah mengacu pada satu sistem linguistik yang sama. Yang disebut bahasa ibu
adalah satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga
yang memelihara seorang anak.

B.  Saran
Sebagai masyarakat pemakai bahasa, kita harus bisa menggunakan bahasa yang baik dan
benar. Bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah yang berlaku dan bahasa yang
benar adalah bahasa yang sesuai dengan konteks waktu, tempat, situasi, ataupun lawan bicara.
Oleh karena itu, kita harus menjadi masyarakat pengguna variasi bahasa yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Indonesia. Jakarta: Balai Pusataka.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal: Jakarta:
Rineka Cipta.
http://wikipedia.variasi-bahasa//html.
http://wikipedia.jenis-bahasa//html.

Anda mungkin juga menyukai