Anda di halaman 1dari 5

MITOS DALAM PUSARAN RITUAL HAJI

Oleh. S. Alfaris, M. Ag1

Pendahuluan
Haji adalah rukun Islam kelima (kewajiban ibadah) yang harus dilakukan oleh
orang Islam yang mampu dengan mengunjungi Ka’bah pada bulan haji dan
mengerjakan amalan haji, seperti ihram, tawaf, sai, dan wukuf.2Sejalan dengan itu,
Sayyid Sabiq dalam Fiqhussunnah menyebutkan bahwa haji adalah kesengajaan
menuju Makkah untuk menunaikan ibadah tawaf, sa’i, wukuf di Arafah dan
semua rangkaian peribadatan (manasik) dalam rangka memenuhi perintah Allah
dan mengharapkan ridha-Nya.3 Pernyataan senada namun lebih ringkas
disebutkan pula oleh Imam Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat, menurut beliau haji
adalah menyengaja menuju rumah Allah azza wajalla dengan sifat khusus di
waktu khusus dengan syarat-syarat khusus pula untuk mendekatkan diri kepada
Allah azza wajalla.4
Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa haji merupakan
sebuah ritual atau ibadah yang ditetapkan oleh syariat baik waktu, tempat, syarat
maupun tata caranya dan ia merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh
ummat Islam laki-laki dan perempuan bagi yang mampu menuju ke sana
(Makkah). Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhanahu wata’ala,
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji
ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.
Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QS. Ali 'Imran: 97).

Selain itu, disebutkan pula dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam kitab sahihnya dari sahabat Abdullah Ibn Umar radhiyallahu ta’ala
anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
"Islam dibangun atas lima dasar: Yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Allah, bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya,
mendirikan salat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadan." (HR.
Muslim)

Berangkat dari firman Allah dan hadis Nabi di atas, para ulama kemudian
bersepakat (ijma’) bahwa haji hukumnya adalah fardhu ‘ain (wajib) seumur
hidup sekali bagi yang mampu. Maka berdasarkan ketetapan ini, tidak diragukan
lagi, dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan dalam menetapkan hukum

1
Guru FikihdanUshulFikihPada MAN 3 Palembang
2
Lihat KBBI
3
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, (Beirut: DarulFikr, 2006), hal. 371
4
l Jurjani, Mu’jamAt-ta’rifat, Kairo: DarulFadhilah, Tt), hal. 82
ibadah haji, yakni bersumber langsung dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’
(konsensus) para ulama Islam.
Haji Itu Bersumber Dari Syariat Bukan Mitos
Mahmud Syaltut dalam bukunya al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah menyebutkan,
bahwa syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia
berpegang teguh kepada-Nya di dalam perhubungannya dengan Tuhannya,
dengan saudaranya sesama Muslim, dengan saudaranya sesama manusia,
hubungannya dengan alam seluruhnya, dan hubungannya dengan kehidupan.5
Dengan demikian syariat berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah
yang wajib dituruti (ditaati) oleh setiap muslim yang meliputi perkara aqidah
(keimanan); fiqih (pemahaman manusia terhadap hukum-hukum Allah dalam
ibadah dan muamalah); dan akhlaq (kesusilaan). Peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh Allah tersebut dapat kita temukan atau tertuang dalam banyak
firman-Nya di dalam Al-Quran dan juga sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam,
baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Begitupun dengan syariat
haji, ia merupakan peraturan (syariat) yang ditetapkan oleh Allah yang berkaitan
dengan hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya (ibadah). Hal
itu tentunya juga dapat dilihat di beberapa ayat-ayat Al-Quran dan sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berbicara tentang syariat ibadah haji
secara khusus.
Adapun mitos, ia hanyalah uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci
(sacred), yaitu kejadian-kejadian yang luar biasa, dan mengatasi pengalaman
manusia sehari-hari. Penuturan itu umumnya diwujudkan dalam dongeng-
dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu makastu ditentang
mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore). 6Mitos merupakan
keyakinan yang tidak bias diterangkan dengan akal sehingga keberadaannya
sangat sulit dibuktikan secara ilmiah atau empiris, namun pengaruhnya amat kuat
dalam menggerakkan perilaku orang yang mempercayainya.7
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada sumber yang otentik yang
dapat diidentifikasi secara ilmiah dan dijadikan sebagai referensi atas lahirnya
sebuah mitos kecuali hanya dari pergulatan perasaan yang sangat subyektif saja.
Berbeda halnya dengan agama (syariat), pengalaman-pengalaman spiritualnya
dapat dilacak secara langsung dan obyektif melalui kitab suci dan sabda Nabi
shallallahu alaihi wasallam ataupun dari pernyataan-pernyataan para ulama yang
otoritatif.
ImplikasiTeologis Dari SebuahMitos

5
Mahmud Syaltut, Al-Islam AqidahWaSyariah, (Tk: DarulQalam, 1966), hal. 12
6
DawamRahardjo, RekonstruksidanRenunganReligiusIslam :Mitosdalam Agama danKebudayaan,
(Jakarta : Paramadina, 1966), hal. 199
7
KomaruddinHidayat, “MitologidanRadikalisme Agama”, http//www.unisosdem.org.
Berdasarkan sumber-sumber hukum tersebut, kita pun pada akhirnya harus
mengakui sekaligus meyakini bahwa ibadah haji dan semua hal yang berkaitan
dengannya adalah mutlak di bawah otoritas syariat (baca: Tuhan). Itu artinya tidak
ada ruang bagi makhluk (manusia) untuk mengotak-atik ketentuan haji dan semua
yang berkaitan dengannya melalui upaya menghubung-hubungkannya atau
mendasarkannya pada asumsi-asumsi, persepsi, hawa nafsu, dugaan-dugaan, ide-
ide dan gagasan, logika, terlebih lagi jika didasari dengan mitos. Untuk yang
terakhir ini tentu sangat bertolak belakang dan bertentangan dengan syariat Islam
yang murni yang bersumber langsung dari rabb semesta alam.
Berbicara tentang mitos, dalam konteks ibadah haji, kisah-kisah tentang
pengalaman spiritual jamaah haji memang begitu populer di masyarakat kita,
seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kisah perjalanan ruhani jamaah
haji meskipun terkadang tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali. Kisah-kisah
itu begitu membumi, dinikmati, dan tidak sedikit yang meyakini akan
kebenarannya. Kisah yang paling popular dan seakn sudah menjadi kepercayaan
umum diantaranya adalah apa yang dialami di tanah suci merupakan cermin
kehidupan orang yang bersangkutan. Jika perjalanan haji nya mulus, maka ia
dianggap sebagai orang “baik-baik” tetapi jika sebaliknya, berarti ia adalah
“pendosa”. Dan konsekwensinya ia harus menerima ganjaran yang setimpal atas
perbuatannya tersebut. Seseorang yang banyak melakukan dosa, maksiat dan
kesalahan sebelumnya, maka ia akan mendapatkan balasan secara spontan dan
tunai saat menjalankan ibadah haji di kota suci Makkah dan Madinah.
Kisah-kisah lainnya dalam bentuk pengalaman buruk seperti tersesat, kehilangan
sandal, kecopetan, ditipu orang atau terinjak-injak oleh jamaah lain saat berdesak-
desakkan dan sebagainya, selalu dikaitkan dengan perilaku buruk (dosa) yang
dilakukan seseorang baik ketika di tanah air maupun selama berada di tanah
haram. Pengalaman buruk itu dianggap sebagai pembalasan atau kuwalat.
Kepercayaan seperti ini mengakar kuat dalam diri masyarakat kita dan diyakini
hingga orang yang mengalami peristiwa tersebut tidak berani mengungkapkannya
secara terbuka. Karena hal itu dianggap sebagai aib diri dan harus ditutupi serapat-
rapatnya.
Selain itu tidak sedikit pula kisah-kisah pengalaman spiritual jamaah haji yang
dianggap baik dan layak untuk diceritakan sebagai sebuah kebanggaan seperti
merasa mendapat pertolongan gaib dari malaikat dalam wujud manusia tinggi
besar yang membantunya menghalau jutaan jamaah ketika mencoba mencium
Hajar Aswad. Adapula yang meyakini bahwa orang yang baru saja pulang ke
tanah air dari tanah suci masih diikuti malaikat. Hal tersebut diartikan bahwa
mereka adalah orang suci karena baru pulang dari tempat yang suci selama lebih
kurang 40 hari. Sehingga orang-orang yang bisa berada di dekat jamaah haji yang
baru pulang tersebutbisa“kecipratan” sedikit kesucian dan kebersamaan dengan
malaikat sekaligus minta didoakan karena doanya dikabulkan oleh Allah. Masih
banyak lagi hal-hal yang dikaitkan dengan kegaiban yang dikisahkan saat
menjalankan ibadah haji atau setelahnya. Belum lagi perbuatan-perbuatan ‘aneh’
yang dilakukan oleh jamaah haji seperti berjalan mundur setelah melaksanakan
tawaf wada (perpisahan) ketika akan meninggalkan kota Makkah, menggunting
kain penutup Ka’bah (kiswah) dan lain sebagainya.
Tanpa disadari sesungguhnya kisah-kisah yang telah disebutkan, tentu akan
membawa dampak teologis (baca: keimanan) pada kehidupan pribadi maupun
masyarakat. Secara teologis kepercayaan dan keyakinan terhadap mitos sangatlah
tidak dibenarkan meskipunp ada mitos yang dianggap“baik”. Apalagi pada mitos
yang dianggap “buruk” seperti pembalasan yang akan diterima oleh jamaah saat
berada di tanah suci. Dimana mitos seperti ini akan memunculkan kekhawatiran
dalam diri dan ketakutan-ketakutan yang tidak berdasar. Prof. Dawam Raharjo
dalam bukunya Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam : Mitosdalam Agama dan
Kebudayaan, mengatakan,
“Ketakutan atau keberanian kita terhadap sesuatu terkadang ditentukan oleh mitos-mitos
yang berkeliaran di sekitar kita. Banyak hal yang sulit untuk percayai berlakunya, tapi
ternyata berlaku hanya karena penganutnya begitu mempercayai suatu mitos. Dan
ketakutan kita akan sesuatu lebih disebabkan karena ketakutan akan sebuah mitos bukan
ketakutan akan keadaan yang sebenarnya”.8

Ketakutan-ketakutan yang muncul dari keberadaan mitos dalam perspektif agama


akan merusak keimanan seseorang. Dimana suatu ibadah, dalam pandangan
syariat, tidaklah benar jika dilandasi dengan ketakutan-ketakutan pada mitos.
Sedangkan pada mitos-mitos yang dianggap baik seperti merasa mendapat
pertolongan gaib dari malaikat dalam wujud manusia pada gilirannya akan
memunculkan keyakinan di masyarakat yang beranggapan bahwa tidaklah
bermakna haji seseorang kalau tidak dikaitkan dengan berbagai keajaiban yang
dialami selama malaksanakan ibadah haji.
Kedua bentuk mitos di atas, yang dianggap baik dan buruk, sama-sama tidak bias
diterima oleh syariat karena memang tidak bersumber dari agama. Dimana setiap
perkara yang tidak diperoleh dari sumber-sumber agama dalam terminology
syariat disebut dengan istilah bid’ah. Yakni apa saja yang menyelisihi
(bertentangan) Al Kitab dan As Sunnah atau Al-Ijma’ (kesepakatan) salaf (generasi
terdahulu) dalam hal keyakinan dan ibadah.”9 Intinya, keyakinan kepada kisah-
kisah yang disandarkan pada mitos akan membawa dampak buruk bagi keimanan
seorang muslim, bahkan jika dipercayai sepenuh hati dapat menggugurkan
keimanan nya karena termasuk perbuatan syirik yang diharamkan syariat.
Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda,
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan
Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib

8
DawamRahardjo, RekonstruksidanRenunganReligiusIslam :Mitosdalam Agama
danKebudayaan,hal 199.
9
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, Asy Syamilah, 18/346
malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar.” [HR
Al-Bukhari No. 5757 dan Muslim No. 2220]
Allahua’lam

Anda mungkin juga menyukai