Anda di halaman 1dari 4

Makna Ibadah Haji dan Kurban

Ibadah Haji
Pada hakikatnya, ibadah haji merupakan perjalanan spiritual menuju Allah Swt (the road to Allah).
Hal ini tercermin dalam al-Qur’an, (al-Hajj:27-28). Seorang Muslim melakukan perjalanan haji,
dengan berbagai persyaratan dan kesulitan, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah haji
memang sebuah perjalanan suci menuju tempat-tempat yang disucikan untuk mendapat kan cahaya
Ilahi. Oleh karena itu, perjalanan ibadah haji harus dilakukan dengan berbagai per siapan yang
disebut dengan istitha’ah. Muslim yang hendak menunaikan ibadah haji diharus melakukan
persiapan spiritual dengan bertobat dan meningkatkan amal ibadah; melakukan persiapan material
dengan perbekalan dalam perjalanan dan living cost bagi keluarga yang ditinggalkan; persiapan fisik
dengan latihan-latihan fisik agar ibadah haji dapat dilakukan dengan lancar.
Dalam perjalanan dan pengembaraan itulah, seorang Muslim akan mem peroleh latihan
spiritual dan penempaan jiwa. Perjalanan, pengembaraan, dan me narik diri dari kera maian,
merupakan tradisi kaum salih dalam agama-agama ma sa lampau. Dikisahkan bahwa para rahib
(pendeta) pada zaman dahulu seringkali mengasingkan diri dari ma syarakatnya, melakukan
perjalanan secara berpindah-pindah, dan mening galkan segala kesenangan duniawi. Itu semua
dilakukan deng an tujuan agar supaya memperoleh pahal akhirat. Allah Swt memuji perilaku demi
kian dalam firman-Nya,
Dalam Islam dijelaskan bahwa, Allah Swt menggantikan bentuk pengemba raan seperti itu
dengan perjalanan haji. Tidak dapat dipungkiri bahwa cara beriba dah orang-orang terdahulu telah
mengalami kemerosotan dan menyimpang dari tujuan seja tinya. Para pengikut nya tidak lagi
menghamba kepada Sang Pencipta, tetapi menghamba kepada “berhala-berhala baru”. Dalam hal ini
dikisahkan bahwa para rahib penganut agama-agama terdahulu pernah bertanya kepada Rasulullah
Saw soal kerahiban dan pengembaraan dan beliau menjawab,“Allah telah meng gantik n nya bagi
kami dengan berijtihad dan bertakbir di setiap tempat yang ting gi”. Abu Dawud meriwayatkan dari
hadis Abu Umamah bahwa sese orang pernah meminta kepada Rasulullah Saw.,“Ya Rasulullah,
izinkanlah aku untuk melakukan pengem baraan.”Beliau menjawab,“Sesungguhnya pengembaraan
ummatku adalah berji had di jalan Allah, dan haji adalah jihad di jalan Allah” (Sayyid Muhammad
bin Alawi al-Maliki, 2006).
Selain itu, Ibadah haji juga mencerminkan sebuah potret kerinduan Sang Makhluk terhadap
Sang Khalik. Dalam ibadah haji, seorang Muslim akan mene lusuri jejak se jarah, tentang Sang Nabi,
pewahyuan, perjuangan kaum Muslim pa da periode formatif, dan pembentukan komunitas kaum
beriman. Semua itu akan membawa suasana hati kaum beriman untuk semakin menghayati
agamanya. Kedua, kumandang kalimat Labbaik Allahumma labbaik….Kalimat tersebut jelas
menyiratkan sebuah perasaan kerinduan kepada Sang Khalik. Tidak berlebihan apabila dalam
berhaji, seorang Muslim akan cenderung menghabiskan waktu nya beribadat kepada Allah. Sang
Khalik sendiri bahkan menjanjikan keutamaan yang sangat besar, kemuliaan yang besar,
penghapusan segala dosa dan kesa lahan, pelipat gandaan pahala, dan dogantikannya infak dengan
ganti yang sem purna (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, 2006).
Penjelasan secara detil ibadah haji mustahil dijelaskan maknanya secara terperinci, termasuk
oleh kalangan rasional sekalipun. Terdapat beberapa ben tuk perin tah dalam haji yang tidak dapat
dicerna secara rasional murni. Secara kasat mata terdapat ritual dalam ibadah haji yang secara
lahiriyah menyengsara kan diri, misalnya ritual melontar jamarat, berlari kecil mondar-mandir antara
Shafa dan Marwah, membiarkan tubuh terbuka dalam udara panas dan dingin, berma lam di
Muzdalifah tanpa atap di bawah langit terbuka, dan wukuf di Arafah di bawah terik matahari.
Semua bentuk ritual tersebut, bila dilihat kasat mata, adalah me nyengsarakan. Tetapi bila dihayati,
terdapat makna spiritual yang dapat menya darkan manusia siapa mereka sesungguhnya.
Ritual-ritual tersebut akan sangat berbeda—misalnya—apabila dibanding kan de ngan ritual
tentang zakat. Dalam zakat terdapat unsur rasional sehingga mudah dijelas kan dari perpektif
keadilan sosial maupun filsafat tentang filant ropi (kedermawanan). Demikian juga halnya dengan
ritual puasa yang dapat di jelaskan secara rasional sebagai bentuk pembelajaran menahan dan
menunduk kan syahwat. Akan tetapi, seorang Muslim—yang secara harfiah Islam juga berarti
kepasrahan dan ketundukan mutlak—akan menunaikan ritual-ritual haji tersebut dengan ber
semangat dan tanpa bertanya-tanya. Aspek penghambaan dan ketundukan mutlak inilah yang
terkandung dalam seluruh ritual haji. Kaum beriman yang menghayati makna ini akan berimplikasi
kepada peningkatan ketaqwaan—setelah menunaikan ibadah haji.
Sebagai diketahui bahwa pelaksanaan Ibadah haji berpusat di beberapa tempat suci. Kota
Mekkah, Masjidil Haram, Ka’bah, Shafa dan Marwa, Arafah, Muzdali fah, Mina, dan Jamarat. Di tempat-
tempat itu, yang sangat terbatas, tidak kurang dari tiga juta Muslimin dari seluruh dunia datang
pada waktu hampir bersamaan untuk menunaikan ibadah haji. Haji seperti sebuah festival di mana
kota Mekkah dan tempat-tempat tersebut “hidup 24 jam” dengan berbagai aktivitas. Bergelombang
manusia menuju masjid, sebagian lainnya berbelanja, dan kelompok lainnya berzi arah mengunjungi
tempat-tempat bersejarah. Muslim yang sangat beragam dari se gi etnis dan budaya terefleksi dalam
pola perilaku yang mereka pertunjukkan da lam festival haji. Dalam sebuah catatan disebutkan
bahwa sekitar 50 persen jamaah haji berasal dari wilayah Arab, 35 persen berasal dari wilayah Asia,
10 persen berasal dari wi layah sub-Sahara Afrika, dan 5 persen berasal dari negara-negara Eropa
dan Ba rat pada umumnya ( J.L. Esposito: 1995).
Di dalam pelaksanaan ibadah haji, sebagaimana diketahui, terdapat nilai kema nusiaan
universal. Di tempat-tempat tersebut, setiap Muslim adalah sama dan sederajat. Dalam ritual“tidak
mengenakan pakaian berjahit”,hanya menge nakan baju ihram—berupa sarung dan selendang—
tanpa penutup kepala, tidak dapat dibedakan lagi stratifikasi sosial masyarakat Muslim. Semua
tunduk dan patuh kepada perintah Allah Swt dalam pakaian yang sama. Manusia adalah sama di
hadapan Allah; dan pakaian ihram tidak hanya menyimbolkan kesederhanaan dan sikap rendah hati,
tetapi juga menyampaikan pesan tentang kemanusiaan universal. Tidak boleh ada perbedaan ha kiki
antarsesama manusia—terutama yang menyangkut “nilai manusia sebagai ma nusia”.
Nilai-nilai egaliter, sebuah pandangan yang meletakkan manusia dalam ke samaan derajat,
yang merupakan doktrin utama dalam Islam, tercermin jelas dalam upacara pelaksanaan ibadah haji.
Seluruh jamaah haji mengenakan pakaian putih dan menang galkan status sosial, ekonomi, dan
politik. Semuanya bergerak dengan Ka’bah, rumah Allah, sebagai porosnya, dan keridlaan Allah
sebagai tujuan utama nya. Doktrin egalitarianisme merupakan salah satu doktrin utama dalam Islam.
Nabi Muhammad Saw selalu menekankan kesatuan antara tawhid dan egalitarin isme. Muslim yang
beriman kepada Allah, mengandung arti bahwa ia menegasikan yang selain Allah. Dan mata Allah,
semua manusia adalah sama, lepas dari etnisitas, sosial-ekonomi, afiliasi politik, dan budaya. Hanya
taqwa yang akan mengantar kan manusia dekat kepada Allah swt.
Setiap Muslim yang menunaikan ibadah haji mencita-citakan menjadi haji mabrur. Hal ini
karena terdapat ajaran bahwa haji mabrur akan dibalas oleh Allah dengan surga. Dalam konteks ini
ada hadits yang diriwaytkan oleh Abu Hurairah.Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw
pernah ditanya, “Perbuatan apa yang paling utama?”Beliau menjawab,“Beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya.” Be liau ditanya lagi,“Lalu perbuatan apa?”Beliau menjawab,“Berjuang di jalan Allah”. Be liau ditanya
lagi, “Lalu perbuatan apa?”Beliau menjawab,“Haji yang mabrur (HR. Bukhari dan Muslim). Tentang tema
serupa, Jabir ra. berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: “Siapa berhaji dengan tidak berbuat keji
dan fasik, maka ia akan tersucikan dari dosa-dosanya hingga seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks ini, banyak yang bertanya, sebenarnya, apakah definisi haji mabrur? Seorang
Muslim sebenarnya mengetahui bahwa hajinya tidak akan mabrur apabila ia masih melakukan
perbuatan keji dan fasik—setelah berhaji. Ia ia tahu jika hajinya tidak mabrur, dosanya tidak akan
diampuni, aibnya tidak akan ditutp, amalnya tidak akan diterima, dan dirinya tidak akan bersih dari
dosa-dosa seperti saat ia dila hirkan oleh ibunya. Dengan demikian, dalam diri haji mabrur
terkandung pengertian transformasi perilaku di mana seseorang menjadi lebih baik dan lebih
berkualitas perilakunya dibadningkan sebelum berhaji.
Dalam ibadah haji, seorang Muslim memperoleh pekerti yang banyak, seperti akhlak yang
terpuji dan etika kemanusiaan yang luhur yang tidak hanya dipelajari selama berhaji, tetapi juga
telah dipraktikkannya. Selama berhaji, ia telah berpakaian sederhana sebagai simbol rendah hati dan
ketundukan; ia telah belajar bersabar di tengah jutaan umat manusia sesama Muslim; ia telah
memposisikan ibadah sebagai prioritas dalam hidupanya; dan masih banyak lagi pendidikan akhlak
yang dapat dipetik dalam perjalanan ibadah haji. Sudah semestinya pendidikan akhlak ini menjadi
salah satu renungan yang harus mendapatkan penekanan para jamaah haji.
Ibadah Kurban
Di kalangan masyarakat muslim Indonesia, Idul Adha juga dikenal dengan sebutan Hari Raya
Kurban. Sebab hari ini, usai shalat ‘Idul Adha, umat Islam yang mampu me laksanakan
penyembelihan hewan kurban sebagai bukti kesetiaannya kepada miilah Ibrahim. Hari Raya Idul
Adha atau hari raya kurban di Indonesia merupakan hari raya besar kedua setelah Idul Fitri.
Sebaliknya, bagi masyarakat Muslim-Arab di Timur Te ngah, Idul Adha merupakan hari raya besar
pertama, sementara Idul Fitri dianggap sebagai hari raya biasa. Anggapan bahwa Idul Adha sebagai
hari besar, karena di dalamnya telah merekam kejadian penting, yaitu peristiwa penyembelihan
Ismail oleh ayahandanya, Nabi Ibrahim AS. Peristiwa tersebut merupakan batu ujian ketaatan Nabi
Ibrahim kepada Allah SWT. Di kemudian hari, pengurbanan ini menjadi tradisi bagi umat Islam
untuk menyembelih hewan kurban baik berupa kambing, sapi maupun kerbau (untuk sebagian
muslim Indonesia) setiap tanggal 10 Dzulhijah dan hari-hari ta syrik.
Dalam konteks ini, Ali Syariati (1997) menjelaskan bahwa sejarah berkurban diawali pada saat
Nabi Ibrahim merasakan kesepian karena hingga usia tua tak kunjung dikaruniai anak. Untuk itu,
Nabi Ibrahim AS terus berdo’a agar Allah segera memberi kannya keturunan yang saleh. Hal ini
dapat dilihat dalam QS. Al-Shaffat, 37:100.
Selang beberapa waktu, Allah menjawab do’a Nabi Ibrahim As dan memberikannya seorang
putra bernama Ismail (dari Bahasa Ibrani yisma-mendengar dan il-tuhan yang berarti: Tuhan
mendengar) melalui hamba perempuannya yang bernama Hajar. Namun di tengah kebahagiaan dan
kegembiraannya itu, Allah kem bali menguji Nabi Ibrahim dengan perintah melalui mimpi untuk
menyembelih anak yang dikasihinya. Wahyu tersebut adalah perintah Allah, Nabi Ibrahim tidak
dapat mengelak dari-Nya. Nabi Ibrahim menghadapi dua pilihan: “menyelamat kan” Ismail, atau
mentaati perintah Allah dengan mengurbankannya. Ia harus me milih salah satu. “Cinta” dan
“kebenaran” berperang di dalam batinnya. Untuk memecahkan persoalan ini, Nabi Ibrahim
berdialog dengan anaknya.
Dengan berat hati, Nabi Ibrahim menimbang-nimbang, barulah ia yakin dan tipu daya setan
tidak dapat menghancurkan keteguhan hatinya. Maka diajak put ranya ke lembah Mina untuk
melaksanakan perintah Allah. Ismail dibaringkannya seperti layaknya seekor hewan yang hendak di-
potong. Ketika pisau menyentuh leher Ismail, segeralah Allah berseru: Tatkala keduanya Telah berserah
diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).104. Dan Kami
panggillah dia: "Hai Ibrahim, 105. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu Sesung guhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 106. Sesungguhnya ini benar-benar
suatu ujian yang nyata.107. Dan Ka mi tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar
Inilah kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS, yang kemudian menjadi tradisi
bagi kaum muslimin untuk menyembelih hewan kurban, seperti domba, unta, sapid dan kerbau, jika
di Indonesia. Kurban—yang secara harfiah ber arti mendekatkan—dimaksudkan mendekatkan diri
pada Allah dengan mendekat kan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang sengsara.
Ibadah kurban mencerminkan pesan Islam: Kita mendekatkan saudara-saudara kita yang keku-
rangan. Dengan berkurban berarti kita dekat dengan mereka yang fakir. Bila kita memiliki
kenikmatan, kita disuruh berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila puasa, kita merasakan lapar
seperti orang miskin. Maka ibadah kurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti kita.
Dengan demikian, berkurban minimal memiliki dua makna. Pertama, makna sosial, untuk
membangun makna ini Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadis nya., Dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa me miliki keluasaan (untuk berkorban) namun tidak berkorban, maka
janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR.Ibnu Majah)
Hadits ini menegaskan bahwa Nabi Muhamad Saw ingin mendidik umat nya agar memiliki
kepekaan terhadap sesamanya. Dengan berkurban berarti kita te lah me numbuhkan solidaritas
sosial. Rasulullah mengajarkan kita untuk memiliki jiwa sosial. Pada setiap hari raya Idul Adha
beliau membeli dua ekor domba yang gemuk, bertan duk, berbulu putih bersih, bagus fisiknya dan
tidak cacat. Kemudian setelah salat dan khutbah beliau menyembelih seekor seraya berkata”…Ya
Allah terimalah ini dari Muhamad dan keluarga Muhammad. Lalu Nabi menyembelih seekor lagi dan
berkata: Ya Allah terimalah ini dari umatku.
Dalam konteks ini, terdapat hal penting yang mesti diperhatikan bahwa rasulullah ingin
mengajarkan dan memberikan contoh kepada umatnya agar me reka yang mampu ber kurban, mela-
kukan kurban selain untuk dirinya, juga untuk keluarga dan saudaranya yang tidak mampu. Lebih
dari itu, berkurban diharapkan umat Islam memiliki kesaleh an sosial, bukan kesalehan individual.
Makna yang kedua, bahwa apa yang dikurbankan tidak boleh menusia tetapi sifat
kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas,
menyerang dan tidak mengenal hukum dan norma apapun. Nabi Ismail As, sesungguhnya hanya
simbol dari setiap sesuatu yang melemahkan iman, setiap sesuatu yang menghalangi“perjalanan
menuju kebenaran, setiap sesua tu yang membuat kita memikirkan kepentingan orang lain, setiap
sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengarkan perintah Allah dan menyatakan kebenar an,
setiap sesuatu yang memaksa kita untuk “melarikan diri”, setiap sesuatu yang membutakan mata
dan telinga kita. Nabi Ismail hanya simbol dari seorang manu sia, benda, pangkat, realita, kedudukan
dan “ kelemahan diri kita. Semua sifat dan kelemahan inilah yang harus dikorbankan, yangharus
disembelih dan ditiadakan. Nabi Ismail AS hanya simbol dari setiap sesuatu yang merampas
kekebasan dan menghalangi, setiap sesuatu yang membuat kita tidak dapat mendengar dan menge -
tahui kebenaran, setiap sesuatu yang menyebabkan kita mengajukan alasan-alasan untuk
menghindari tanggung jawab. Sifat-sifat demikian inilah yang harus ditia dakan, disembelih dan
dijadikan korban demi mencapai kurban (kedekatan) diri kepada Allah Swt. Itu sebabnya Allah
mengingatkan dalam Qs. Al-Hajj ayat 37.
Ayat tersebut menjelaskan pada kita bahwa hewan kurban yang disembelih, bukan untuk
Allah, karena Ia tidak membutuhkan itu. Tapi buat manusia sebagai proses pembelajaran mengenai
makna hidup yang mesti dilewati, dan harus berana berkurban, jika ingin menggapai itu semua.
Terlebih menggapai ridla Allah agar menjadi muttaqien.
Sekali lagi perlu ditegaskan di sini bahwa kalimat darah dan daging dalam ayat tersebut,
bukan berarti Allah mengajarkan manusia untuk melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan
fisik. Kalimat tersebut menghendaki agar manusia, yang di dalamnya terdapat tiga unsur jiwa, yaitu
jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyyah), jiwa hewan (al-nafs al-hayawaniyah), dan jiwa manusia (al-nafs al-
naathiqah), yang memiliki sifat predator, harus ditundukkan secara sya r’i. Sebab, jika potensi predator
tidak dialihkan dengan baik sesuai perintah Islam, maka akan berdampak negatif dan akan
merugikan manusia itu sendiri, seperti marah, agresif, bahkan melakukan tindakan-tindakan
kriminal. Potensi predator dalam psikonalisa dikategorikan sebagai potensi primitif yang tertanam di
dalam id. Sama dengan dorongan seksual yang merupakan potensi tumbuhan (potensi produktif),
harus dilampiaskan secara syar’i dengan menikah, lalu bagaimanakah melampiaskan potensi
predator pada diri manusia?, di siniliah anjuran memotong sendiri dalam berqurban merupakan
suatu jawaban, memang kita merasa kasihan ketika menyem belih hewan yang telah kita pelihara,
namun sebenarnya alam bawah sadar (tanpa kita sadari) kita sedang melampiaskan potensi predator
tersebut.
Terakhir, sebagai kalimat penegas dan pamungkas perlu disampaikan pen dapat ulama besar
Imam Al Ghazali tentang kurban. Ulama yang dikenal de ngan sebutan hujjatul Islam ini jauh berabad
lalu mengingatkan kita bahwa penyembelih an hewan kurban menyimbolkan penyembelihan sifat
kehe wanan manusia. Oleh karena itu, kurban semestinya bisa pula mempertajam kepekaan dan
tanggungja wab sosial (social responsibility). Dengan menyisih kan sebagian pendapatan untuk
berkurban diharapkan timbul rasa kebersa maan di masyarakat.
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa ibadah kurban memi liki makna yang luas
dalam kehidupan, terutama dalam rangka meningkat kan solidari tas, kesetiakawanan sosial dan
introspeksi. Paling tidak, ada dua dimensi yang ditekankan di sini, yaitu ‫حب ل من اهلل و حب ل من الن اس‬
hablum minallah dan hablum minan nas. Kurban disyari’atkan sebagai bentuk kepatuhan, keimanan dan
ketakwaan kepada Allah. Hewan yang disembelih bukan berarti tumbal kepada sang khlaiq. Yang
dipersembahkan kepada Allah, esensinya hanyalah ketakwaan.

Anda mungkin juga menyukai