Anda di halaman 1dari 7

ASPEK PSIKOLOGIS DALAM HAJI

1. Pengertian Haji
Secara etimologi (bahasa), haji berarti al-qashd ila muazhzham yang dalam
bahasa Indonesia berarti pergi menuju sesuatu yang diagungkan. Dalam arti
etimologi ini makna haji bersifat umum karena meliputi semua jenis berpergian
yang bermaksud mengagungkan sesuatu (Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010:
481).
Secara terminologi, haji didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
a. Menurut Ibnu Al-Human, haji adalah pergi menuju Baitul Haram untuk
menunaikan aktivitas tertentu pada waktu tertentu (dalam Abdul Aziz
Muhammad Azzam, 2010: 481).
b. Menurut Al-Jurjani, secara syariat haji didefinisikan sebagai perjalanan
menuju Baitullah untuk menunaikan beberapa kewajiban meliputi tawaf di
kabah, wukuf di Aarafah seraya berihram dengan niat haji (dalam Jamal EL
Zaky, 2011: 335).
c. Menurut para pakar fiqih, haji adalah mengunjungi tempat-tempat tertentu
dengan perilaku tertentu pada waktu tertentu.
Tempat tertentu yang dimaksud dalam definisi itu adalah kabah di Mekah,
Shafa dan Marwa, Muzdalifah dan Arafah. Sedangkan perilaku tertentunya
adalah ihram, thawaf, sai dan wukuf di Padang Arafah. Sementara waktu
tertentu dimaksud adalah bulan syawal, Dzulqaidah dan 10 hari pertama
Dzulhijjah (dalam Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010: 481).
Dalam Islam haji merupakan salah satu dari rukun Islam dan menempati
rukun yang kelima dari rukun Islam dan menurut A.F. Jaelani (2001: 105) haji
merupakan ibadah sekali seumur hidup dan merupakan akhir perintah dari rukun
islam sebagai kesempurnaan agama, serta merupakan amal yang bernilai jihad
fisabilillah.
Haji sebagai suatu kewajiban bagi orang Islam dicantumkan dalam firman
Allah surat Ali Imran: 97:

1



...
)(

Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa
mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari alam semesta. (QS.
Ali Imran: 97).
Berbeda dengan rukun-rukun Islam lainnya, kewajiban haji hanya sekali
seumur hidup dan pengulangan pelaksanaannya untuk yang kesekian kalinya
hanya merupakan sunnah (Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010: 481). Karena
merupakan suatu kewajiban, maka menurut Ibnu Abbas, barang siapa yang
menginginkannya atau meyakini bahwa haji tidak wajib maka ia telah kafir dan
Allah tidak memerlukannya (Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010: 483).

2. Hikmah Haji
Salah Ketika seorang mukmin menunaikan perjalanan haji, setidaknya satu
kali sepanjang hidupnya ia tengah menapaki jejak ruhani yang dulu pernah
ditorehkan oleh Nabi Ibrahim a.s. bersama Hajar dan Ismail. Karenanya
perjalanan ibadah yang melibatkan jasmani dan rohani ini mengandung
beberapa hikamh/ faedah, diantaranya:
a. Ibadah haji menegaskan kerendahan dan kehinaan manusia di hadapan
Allah.
Di dalam semua manasik (kegiatan) haji, setiap orang melepaskan segala
bentuk perhiasan, jabatan dan semua atribut duniawi lainnya. Setiap orang
hanya mengenakan kain putih (ihram) yang melambangkan kefakiran
mereka di hadapan Allah. Setiap orang akan berdiam (wukuf) di Arafah
dengan merendahkan diri di hadapan Allah, memuji, memohon ampunan
dan rahmat Allah serta bersyukur atas segala nikmat dan karunia Allah.
Ketika bertawaf mengitari kabah, mereka menyerahkan diri mereka

2
kepada Allah seraya memohon perlindungan dari dorongan hawa nafsu dan
bisikan setan yang menyesatkan.
b. Ibadah haji mendidik jiwa manusia untuk menetapi kesabaran dan
kegigihan.
Dalam pelaksanaan manasik haji, para jemaah haji akan dihadapkan kepada
berbagai kesulitan, mulai dari melakukan perjalanan jauh dari tanah air
masing-masing menuju Mekkah, panasnya suasana Arafah yang tandus
saat melakukan wukuf, saling berdesakan saat melontar jumroh, tawaf, dan
sai. Kesemuanya itu memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh
sehingga akan terlaksana semua manasik haji itu dengan sempurna. Dengan
kondisi itu dapat mendidik jiwa untuk menjadi sabar dan gigih.
c. Ibadah haji menegaskan semua manusisa sama di hadapan Allah.
Dengan simbol pakaian ihram yang wajib dikenakan oleh para jemaah haji,
maka hilanglah segala perbedaan yang ada pada manusia, baik dari sisi
bangsa, etnis, ras, bahasa, maupun status ekonomi dan soisal. Di tanah
haram semua perbedaan itu menguap. Semua manusia yang hadir disana
menyerukan kalimat yang sama yaitu Labbaika Allahumma Labbaik,
Labbaika La Syarika Laka Labbaik, Innal hamda, wannikmata Laka wal
mulk, La syarika Laka Labbaik. Dan semua manuisa melakukan manasik
haji yang sama (wukuf, melontar jumroh, tawaf, sai dan tahallul).
d. Ibadah haji membangkitkan kembali kenangan akan perjuangan para Nabi
di masa lalu.
Ziarah ke tanah suci (kota Mekkah, Madinah dan sekitarnya) akan
mengingatkan jemaah haji akan tempat-tempat jihad Rasulullah dan para
sahabatnya dengan penuh keihlasan dan dedikasi mengorbankan jiwa raga
serta hartanya demi untuk mengembangkan syariat Islam.
Dengan menyaksikan Mekah dan Kabah, jemaah haji akan mengingat
keberkahan Ibrahim, putranya Ismail dan Ibundanya Hajar, yang telah
membangun kabah, menjalani hidup di lembah padang pasir tanpa
penghuni dan tanpa tanaman, menyerahkan nasib hanya pada Allah meski

3
dengan segala kesendirian dan kebutuhan, dan kemudian menjalani ujian
penyembelihan.
Ritual ibadah haji juga mengingatkan jemaah haji akan usaha Siti Hajar
(Ibunda Ismail) yang berlari-lari antara bukit safa dan Marwa sambil
menyenandungkan permintaan tolong pada Allah demi kehidupan buah
hatinya (Ismail) yang kemudian dikabulkan Allah dengan menurunkan
Jibril untuk menggali sumur zam-zam di bawah hentakan bayi mungil
Ismail yang menangis kehausan. Dalam ibadah haji, usaha Siti Hajar ini
menjadi ritual dalam ibadah haji yaitu melakukan sai.
Ritual haji juga mengingatkan jemaah haji akan persiapan keluarga Ibrahim
dalam penyembelihan Ismail demi membuktikan mimpi sang Ayah
(Ibrahim) dan bagaimana perjuangan keluarga ini melakukan pelemparan
batu pada penampakan iblis terhadap Hajar untuk menghalangi proses
penyembelihan tersebut. Dalam ibadah haji, perjuangan keluarga Ismail ini
menjadi salah satu ritual haji yaitu melontar jumroh.
Kemudian, pada saat wukuf di Arofah, jemaah haji akan mengingat
pertemuan antara Adam dan Hawa setelah terpisah selama lebih kurang 100
tahun sejak keduanya diturunkan dari syurga. Ketika diturunkan dari
syurga keduanya berpisah tempat, Adam di India dan Hawa di Jeddah, lalu
atas izin Allah keduanya bertemu di padang Arofah, yaitu tepatnya di Jabal
Rahmah (Jamal Elzaky, 2011: 337, Abdul Aziz Muhammad Azzam, dkk,
2010: 486, Hj. Maisarah Zas, 2005: 147).

3. Aspek Psikologis dalam Ibadah Haji


Ibadah haji bukanlah perjalanan wisata, tapi perjalanan ibadah dengan
tujuan mendapatkan ridho Allah, yang melibatkan jasmani dan rohani serta
pengorbanan harta dan waktu (Jamal EL Zaky, 2011: 338).
Kedudukan ibadah haji dalam rukun islam menempati urutan terakhir, ini
berarti ibadah haji menjadi penyempurna kebutuhan ibadah seseorang Muslim
setelah ibadah shalat yang ia tunaikan setiap harinya, setelah bulan Romadhan
yang ia puasai setiap tahunnya, dan setelah ibadah zakat yang ia tunaikan

4
setelah sempurna nisabnya, lalu kemudian ia memenuhi panggilan Allah untuk
menunaikan ibadah haji (Abdul Aziz Muhammad Azzam, dkk, 2010: 488).
Dibanding ibadah lainnya, ibadah haji agak sedikit lebih berat karena dalam
ibadah haji ini jemaah haji harus mampu dengan ikhlas mengorbankan fisik,
mental, harta dan waktu demi terlaksananya manasik haji tersebut.
Dengan pengorbanan yang besar, kenapa jemaah haji tetap mau
melakukannya? Ditinjau dari penyebab munculnya perilaku dalam perspektif
psikologi, bahwa salah satu penyebab orang berperilaku karena insight
(pemahaman akan suatu konsep). Dengan mengacu kepada konsep ini, maka
ibadah haji yang dilakukan seseorang itu karena adanya pemahaman bahwa
haji merupakan suatu kewajiban (insight). Ketika jemaah haji memahami
adanya kewajiban untuk melakukan haji maka timbullah kepatuhan, ketaatan,
dan ketundukan kepada Allah yang menginstruksikan kewajiban itu. Inilah
yang menyebabkan menjaga seseorang melakukan haji dengan berbagai
perilaku yang menjadi ritual di dalam ibadah haji itu.
Mengacu kepada perilaku haji yang muncul dampak dari kepatuhan,
ketundukan dan ketaatan menjalankan kewajiban dari Allah, maka berbagai
ritual yang dilakukan dalam ibadah haji itu mengandung beberapa nilai
psikologis, diantaranya:
a. Mengontrol dorongan untuk mementingkan kehidupan yang materialistik.
Saat memulai rangkaian manasik haji, setiap jemaah haji wajib
mengenakan pakaian ihram. Ihram adalah pakaian tanpa jahitan dan
berwarna putih serta hanya menutupi sebagian tubuh (terutama bagi laki-
laki). Dengan pakaian yang sangat sederhana itu menyimbolkan agar
seseorang melepaskan diri dari kelekatan kepada hal-hal yang bersifat
duniawi dan segala perhiasannya.
Dengan pakaian ihram itu akan mengingatkan seseorang bahwa saat
pertama ia lahir tanpa membawa apa-apa, lalu kemudian dibungkus oleh
sehelai kain sederhana dan nanti saat ia meninggal dunia dia juga hanya
akan dibungkus oleh kain kafan warna putih tanpa jahitan. Hal ini akan

5
menginspirasi manusia untuk tidak terganggu oleh tuntutan kebutuhan,
kesenangan atau kenikmatan fisik yang bersifat materi belaka.
Dengan pakaian ihram, manusia harus melucuti terlebih dahulu semua
kebutuhan fisik di luar standar dan kemudian menggunakan pakaian
standar yang bersifat universal (yaitu pakaian ihram yang dikenakan oleh
semua jemaah haji). Hal ini mengindikasikan agar dalam kehidupan nyata
manusia tidak terlalu boleh mengejar dan mengutamakan kenikmatan
duniawi sehingga bisa merugikan diri dan orang lain (Jamal Elzaky, 2011:
340, Hj. Maisarah Zas, 2005: 147).
b. Melatih pengendalian dorongan libido seksual.
Mengacu kepada teori psikoanalisa dari Freud bahwa dorongan-dorongan
id yang berorientasi biologis itu (termasuk dorongan libido seksual), jika
tidak disalurkan maka seseorang akan mengalami konflik. Agar individu
terbebas dari konflik itu maka individu harus menyalurkan dorongan-
dorongan id tersebut.
Dalam kehidupan nyata, baik berdasarkan nilai moral dan agama, ada
aturan tertentu dalam menyalurkan dorongan libido seksual ini demi
mempertahankan hak dan martabat manusia. Agar pelampiasan dorongan
libido seksual itu sesuai dengan aturan yang berlaku, maka diperlukan
kemampuan mengontrol dorongan libido seksual tersebut.
Ketika mengenakan kain ihram, ada sejumlah larangan yang tidak boleh
dilakukan oleh jemaah haji. Menurut para ahli fiqih salah satu diantara
larangan itu adalah melakukan hubungan seksual suami istri dan segala
perbuatan yang menjadi pendorong untuk melakukan persetubuhan seperti:
berciuman, meraba, berpelukan dll (shahih bin Fauzan Al Fauzan, 2005:
436). Dan apabila hal itu dilakukan maka ibadah hajinya batal.
Dengan demikian melalui ihram, mengindikasikan pada manusia agar
dapat mengontrol dorongan libido seksualnya dan menyalurkannya secara
benar sesuai dengan norma dan nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.
c. Membantu manusia menemukan jati diri yang sejati.

6
Padang arafah dengan gurun pasir sahara yang tandus itu merupakan
tempat yang asing bagi sebagian besar jemaah haji dibanding wilayah
kehidupan manusia lainnya di muka bumi ini. Kondisi asing ini
mengingatkan awal kelahiran manusia di bumi yang secara psikologi
sangat asing bagi kehidupan manusia setelah berada dalam rahim ibu
dengan serba kenyamanan dan keamanan. Kondisi asing ini juga akan
dialami manusia ketika kematiannya, yakni pindah ke alam barzakh setelah
melewati alam dunia.
Dengan gambaran arafah sebagai suatu tempat kelahiran dan sekaligus juga
tempat kematian tanpa manusia harus pindah secara ruang dan waktu, hal
itu mengisyaratkan bahwa hanya selama wukuf di arafah itulah
sesungguhnya umur kehidupan setiap manusia di dunia ini.
Sementara itu padang arafah yang tandus dan gersang itu seperti
mengisyaratkan bahwa dari segi aturan Allah kehidupan dunia ini
sesungguhnya setandus padang arofah dibanding kehidupan di syurga
kelak. Selain itu kondisi padang arofah yang tandus dan gersang itu dapat
mengingatkan manusia akan padang mahsyar yang dahsyat dan sangat
menakutkan sebagai tempat pengadilan manusia yang sesungguhnya (Hj.
Maisarah Zas, 2005: 151).
Dengan perenungan akan simbol dari wukuf di padang arafah itu akan
mendorong manusia untuk menemukan dan menjawab pertanyaan siapa
dirinya, dari mana asalnya dan kemana akhir hidupnya. Inilah yang
kemudian akan mengantarkan manusia untuk menemukan jati diri yang
sesungguhnya, yaitu sebagai hamba Allah yang akan kembali menghadap
Allah dengan mempertanggung jawabkan segala yang dilakukan di dunia
dari pengadilan Allah di Padang Mahsyar.

Anda mungkin juga menyukai