Dosen Pengajar :
Lydia Surijani Tatura, St., M.Si
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
FAKULTAS TEKNIK
DISUSUN OLEH :
NIM: 551419004
DOSEN PENGAJAR :
FAKULTAS TEKNIK
TAHUN 2020/2021
551419004 – Amalia Eka Putri Abdullah
Pada analisa dan pembahasan dari jurnal ini adalah, pada kondisi eksisting variable yang
diteliti, kebanyakan memuat 2 jawaban yang berbeda. Seperti pada ketersediaan prasarana
drainase ada suatu daerah yang Tersedia jaringan drainase dengan kondisi lancar dan bersih
, Namun ada juga yang Tersedia jaringan drainase dengan kondisi tersumbat sampah . Jadi,
dapat kita ketahui bahwa hasil analisa dari Kondisi Eksisting di Permukiman Kawasan
Pesisir Semarang ini, dia tergantung pada cuaca alam yang terjadi.
Berdasarkan pada hasil analisa yang telah dilakukan juga, terdapat 4 (empat) macam
tipologi permukiman kumuh di Pinggiran Selatan Kota Surabaya, yaitu :
1. Tipologi 1 terdiri dari area Karangpilang dan Waru Gunung dengan kategori di semua
aspek buruk.
2. Tipologi 2 terdiri dari area Kebraon, Gayungan, Rungkut Menaggal dan Gunung Anyar
dengan ciri yaitu aspek fisik kategori sedang, aspek sosial dan hukum kategori baik, serta
aspek ekonomi kategori buruk.
3. Tipologi 3 terdiri dari area Pagesangan, Kebonsari, Dukuh Menanggal,Panjang Jiwo dan
Gunung Anyar Tambak dengan ciri semua aspek baik, kecuali aspek ekonomi kategori
buruk.
4. Tipologi 4 terdiri dari area Kutisari dan Kendangsari, yang memiliki ciri yaitu aspek fisik
kategori sedang, aspek sosial dan aspek ekonomi kategori buruk dan aspek hukum kategori
baik. Agar dapat mencegah dan menurunkan luasan kumuh di Pinggiran Selatan Kota
Surabaya, maka Perlunya melakukan pembangunan prasarana dasar permukiman seperti
drainase, jalan, persampahan dan sanitasi. Rendahnya tingkat pendidikan berpengaruh pada
tingkat pendapatan dan kebersihan lingkungan. Pendapatan ini dapat ditingkatkan melalui
sosialisasi UKM saat kegiatan PKK. Sedangkan peningkatan kebersihan dapat melalui
kader lingkungan yang mensosialisasikan sadar lingkungan tanpa membuang sampah di
sungai dan menggerakkan kerja bakti demi meningkatkan kesehatan masyarakat.
Hasil analisa klaster menjadi dasar dalam menentukan tipologi Rusunawa di kota
Surabaya. Tipologi pertama adalah Rusunawa yang masuk dalam klaster 1 dan tipologi
kedua adalah Rusunawa yang masuk dalam klaster 2. Klaster 1 merupakan Rusunawa
yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sedangkan klaster 2 adalah
Rusunawa yang dikelola oleh Pemerintah Kota Surabaya. Ditinjau dari aspek
pengelolaannya, perbedaan signifikan di antara kedua klaster adalah pada penentuan
tarif sewa. Klaster Rusunawa Provinsi memiliki tarif sewa yang jauh lebih tinggi
dibandingkan Klaster Rusunawa Kota. Perbedaan tarif sewa ini menunjukkan bahwa
pengelola di kedua klaster memiliki cara pandang yang berbeda dalam menentukan
standar tarif Rusunawa yang sesuai dan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah
(MBR) di Kota Surabaya. Selain itu, perbedaan tersebut juga menggambarkan
disimilaritas kebijakan subsidi sewa unit Rusunawa di kedua klaster.
Berdasarkan hasil analisis klaster hierarki, tipologi Rusunawa di Kota Surabaya terbagi
menjadi dua yaitu : Klaster Rusunawa Provinsi dan Klaster Rusunawa Kota. Kedua
klaster ini memiliki perbedaan tidak hanya dari status pengelolanya saja, akan tetapi
juga dari besaran tarif sewa. Meskipun sama-sama ditujukan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah, tarif sewa Rusunawa klaster Provinsi jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan Rusunawa klaster Kota. Sedangkan ditinjau dari aspek
pengelolaan lainnya, kedua klaster memiliki persamaan dari sisi kebijakan target
sasaran penghuni, durasi sewa dan latar belakang pekerjaan penghuninya.
KESIMPULAN :
Berdasarkan review ketiga jurnal di atas, dapat disimpulkan bahwa, Tipologi pada
permukiman Penduduk ini dia berbeda-beda tergantung dengan Lokasi Permukiman
tersebut. Seperti pada Jurnal pertama, Ternyata beberapa lingkungan masuk dalam
tipologi dengan ketentuan aspek yang berbeda-beda. Ada yang buruk, ada yang sedang,
bahkan ada yang lebih parah. Sementara itu, untuk Jurnal kedua, Tipologi Rusunawa
Ditinjau dari aspek pengelolaannya seperti dilihat dari bentuk dan Kondisi bangunan
tersebut. Dimana untuk rusunawa provinsi dia kualitasnya lebih tinggi, bersih, dan tidak
kumuh. Sementara untuk rusunawa kota tarifnya lebih murah dari Provinsi. Dan terakhir,
Jurnal ketiga dilihat dari kriteria permukimannya. Ada yang kumuh da nada yang tidak
kumuh. Kawasan permukiman kumuh dicirikan dengan kondisi lingkungan yang buruk
hingga sedang, sebagian besar penduduknya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) yang
bekerja sebagai buruh industri. Pada kawasan permukiman tidak kumuh menunjukkan
kondisi lingungan yang baik, sebagian besar penduduknya mempunyai pendidikan
SMA/SMK yang bekerja dalam bidang industri/kerajinan.
Review Artikel
Dosen Pengajar :
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Artikel 1 :
Setelah menelaah jurnal tersebut, dapat diperoleh kesimpulan, secara tipologis, terdapat beberapa
ciri khas Desa Polaman. Ciri-ciri desa Polaman adalah sebagai berikut:
Artikel 2
Hasil Review :
Kesimpulan dari review jurnal tersebut yaitu berdasarkan hasil penelitian telah ditentukan bahwa
area permukiman daerah pesisir Tanjung Batu mempunyai pola permukiman yang tidak terlalu
padat dengan dinominasi oleh rumah panggung yang berbahan kayu. Dengan fasilitas yang sangat
minim. Pola kehidupan masyarakat Tanjung Batu 70% berpenghasilan dari nelayan baik itu
nelayan ikan maupun rumput laut. Adapun sebagian masyarakat yang bekerja pada pabrik yang
berada di Tanjung Pasir yaitu pabrik udang.
Artikel 3
Hasil Review :
Berdasarkan pembahasan serta penelitian yang telah dilakukan penulis dalam jurnalnya, maka
kesimpulan yang diperoleh untuk karakteristik fisik permukiman di wilayah Tanjung Pinggir yaitu
:
1) Permukiman masyarakat berada pada kontur 0 – 100 meter, membentuk pola
permukiman linear dengan orientasi bangunan menghadap jalan.
2) Kondisi rumah atau bangunan di wilayah Tanjung Pinggir tidak terlalu baik, karena
wilayah tersebut didominasi oleh bangunan non permanen.
3) Cakupan prasarana permukiman di wilayah tersebut cukup baik, namun untuk beberapa
prasarana seperti persampahan dinilai cukup buruk.
4) Penggunaan lahan yang sebagian besarnya terfokus pada sektor industri menyebabkan
perekonomian di daerah tersebut tidak mampu berkembang jauh, sehingga sebagian
besar masyarakat berusaha mencari penghidupan melalui mata pencaharian tambahan
seperti nelayan.
Kesimpulan
Kesimpulan yang saya dapat dari ketiga artikel diatas yaitu tipologi rumahnya menggunakan
arsitektur tradisional (dibuktikan dari segi aritektural berbahan kayu, pada artikel 2), terletak di
kawasan pedesaan, adapun juga pesisir pantai. Ini bisa jadi karena keadaan ekonomi yang belum
memadai di daerah tersebut. Kebanyakan pemukiman terletak pada kontur yang berkelok dan
cukup tinggi, tata letak pemukiman yang tidak teratur, sarana dan prasarana yang belum tercukupi
sehingga daripada penyelesaian permasalahan tersebut saya memiliki saran :
NIM : 551419026
Secara adminstratif daerah penelitian meliputi 10 desa dari 4 kecamatan. Desa-desa tersebut
meliputi Jangkaran, Sindutan, Palihan dan Glagah yang termasuk wilayah administrasi Kecamatan Temon.
Desa Karang Wuni termasuk wilayah administrasi Kecamatan Wates, sedangkan Desa Garongan, Pleret,
dan Bugel, termasuk wilayah Kecamatan Panjatan, serta Karangsewu dan Banaran termasuk wilayah
Kecamatan Galur.
Kampung Tua Belian adalah salah satu permukiman pesisir yang berada di kecamatan Batam Kota,
Kota Batam, Kepulauan Riau, Indonesia. Wilayah ini memiliki luas sekitar 14,60 km2, dengan tercatat
jumlah penduduk sebanyak 71.484 jiwa pada tahun 2020 dengan tingkat kepadatan 4.896 jiwa/km2. Batam
dikenal sebagai salah satu kota multikultural di Indonesia. Berbagai etnis, agama kepercayaan dan identitas
warga yang bermacam-macam terlihat kemajemukan masyarakatnya. Tidak hanya Melayu, kini masyarakat
kota Batam juga didominasi oleh suku Jawa, Tionghoa, Minangkabau, dan Batak. Ada juga beberapa
kelompok etnis lain seperti Bali, Sunda, Minahasa, Bugis, Nias, Timor, dan lainnya.
Mata pencaharian penduduk Kampung Tua Belian rata rata saat ini sudah bukan nelayan lagi walaupun
berada di daerah pesisir. Mayoritas penduduk sudah berganti mata pencaharian sebagai profesi lain di
tengah kota yang notabene cukup dekat dengan kawasan permukiman tersebut. Lokasinya yang strategis
membuat sebagian penduduk yang sudah bekerja sebagai profesi lain tetap memilih menetap di kampung
tersebut.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, ditemukan bahwa terdapat tiga tipologi fungsi arsitektur
utama yang ada di permukiman pesisir Kampung Tua Belian, yakni bangunan hunian atau rumah tinggal,
bangunan komersial seperti kios atau toko, serta bangunan fasilitas publik seperti masjid, sekolah, dan
posyandu. Dari segi fasad bangunan, terlihat bahwa mayoritas bangunan sudah memiliki gaya modern
dengan unsur Melayu yang sangat minim. Unsur-unsur Melayu dapat terlihat sekilas dari penggunaan warna
bangunan-bangunan yang ada di tepi jalan utama yakni warna hijau dan kuning, serta pada penggunaan
kanopi tambahan yang ditunjang pilar atau tiang dan adanya area selasar di depan rumah yang berfungsi
untuk menerima tamu. Fenomena ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun rencana
pengembangan wilayah permukiman pesisir Kampung Tua Belian, apakah akan tetap mengusung identitas
Kampung Tua Melayu atau bergeser menuju permukiman pesisir yang lebih modern.
Kota Semarang memiliki sejarah yang panjang. Mulanya hanya dari dataran lumpur, yang kemudian
berkembang menjadi salah sebagai kota yang penting. Sebagai kota besar, ia menyerap banyak pendatang.
Kemunculan Kampung Kota merupakan suatu fenomena yang sejak lama telah ada. Meningkatnya laju
pertumbuhan penduduk yang cukup besar seperti pendatang merupakan salah satu tanda perkembangan
kota. Hal-hal yang demikian menjadi salah satu dari banyak penyebab munculnya Kampung Kota yang
terdapat di Kota Semarang maupun sebaliknya. Disisi lain, dalam Kampung Kota yang padat juga terdapat
berbagai masalah yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan kondisi sosial budaya ekonomi penduduknya
yang selanjutnya dapat menyebabkan munculnya pemukiman kumuh dalam Kampung Kota tersebut.
Kawasan Kampung Gandekan adalah salah satu Kampung Kota tertua di Kota semarang.
Karakteristik Tipologi Kawasan Pemukiman Kumuh di Kampung Gandekan ini memiliki sarana dan
prasarana air bersih yang belum terdistribusi merata, pembuangan air kotor dan pembuangan sampah belum
memenuhi persyaratan kesehatan. Kampung Gandekan jufa memiliki banyak kualitas bangunan yang rendah
dan tidak layak huni. Kampung Gandekan memiliki tingkat kepadatan yang tinggi. Sebagian besar bangunan
yang terdapat di Kampung Gandekan tidak memiliki sertifikat hak milik tanah dan bangunan. Salah satu
penyebab tingginya tingkat kepadatan perumahan di Kampung Gandekan adalah karena adanya penduduk
pendatang yang tinggal dan menetap karena alasan letak lokasi kerja dan keberadaan keluarga yang sudah
tinggal di lokasi. Hal ini menyebabkan rumah tumbuh padat dan tidak teratur dan kondisi sarana-prasarana
yang buruk. Kondisi sosial ekonomi penduduk Kampung Gandekan umumnya berpenghasilan sangat
rendah, menyebabkan rendahnya motivasi penduduk untuk memiliki rumah yang layak dan sehat. Kemudian
implikasi dari tingginya tingkat kepadatan bangunan di lokasi menyebabkan kurangnya vegetasi dan ruang
terbuka hijau di wilayah penelitian. Kampung Gandekan juga termasuk dalam kategori kawasan yang
memiliki tingkat kekumuhan rendah dan memiliki 2 (dua) jenis tipologi yakni Tipologi II (Tingkat
Kekumuhan Sedang) dan Tipologi III (Tingkat Kekumuhan Rendah)
KESIMPULAN :
Setelah menganalisis ketiga jurnal/artikel di atas, terdapat perbedaan salah satunya pada objeknya,
ketiganya memiliki permasalahan yang berbeda-beda terhadap tipologinya. Salah satu perbedaan yang
sangat menonjol dari ketiganya adalah ekonomi. Pada jurnal pertama dan kedua memiliki kondisi ekonomi
yang cukup baik atau menengah dengan adanya sektor pertanian (jurnal 1) dan nelayan serta beberapa
mayoritss masyarakat yang telah beralih profesi yang lebih baik. Namun pada jurnal ketiga, pada umumnya
kondisi ekonomi masyarakatnnya masih sangat rendah, menyebabkan rendahnya motivasi penduduk untuk
memiliki rumah yang layak dan sehat.
Nama : aldi ulyas
Nim : 551418028
Kesimpulan
Tipologi fungsi pada rumah di permukiman tepian sungai DPB memiliki keberagaman
tipe fungsi pada rumahnya,TIpologi fungsi ini dipengaruhi oleh faktor jenis pekerjaan dan
ekonomi penghuni rumah. Pengaruh dari faktor budaya bermukim ini memunculkan beberapa tipe
pada fungsi rumah di permukiman tepian sungai DPB. Terdapat 5 tipe yang mewakili tipologi
fungsi yang ada rumah di permukiman tepian sungai DPB, yaitu
(2). Rumah fungsi hunian dengan bentuk denah memanjang kebelakang. (3). Rumah
fungsi hunian+dagang dengan bentuk denah melebar.
(5). Rumah fungsi hunian+dagang dengan bentuk denah kombinasi dari denah memanjang dan
melebar. Masing -masing fungsi bangunan memfasilitasi kegiatan yang dilakukan oleh
penghuni rumah. Selain fungsi hunian yang umum terdapat pada kawasan permukiman ini,
terdapat pula fungsi bangunan dengan fungsi sebagai rumah dagang. Fungsi bangunan
sebagai rumah dagang ini berfungsi untuk memfasilitasi kegiatan yang berkaitan dengan
perdagangan, kegiatan perdagangan yang dilakukan adalah menjual kebutuhan sehari-hari yang
diperlukan oleh masyarakat. Untuk memudahkan penghuni melakukan kegiatan
perdagangan terdapat pula rumah yang memiliki dua fungsi, yaitu berfungsi sebagai rumah
hunian sekaligus berfungsi untuk berdagang
1: Tipologi Fasad Bangunan pada Penggal Jalan Permukiman Perkotaan Studi Kasus:
Kampung Arab Pekojan, Jakarta Barat
Kesimpulan
Jurnal Arsitektur, Bangunan, & Lingkungan |Vol.5 No.3 Juni 2016 : 105-162Ardi Kurniadi,
Tipologi Fasad Bangunan pada Penggal Jalan Permukiman Perkotaan114Kampung Arab Pekojan,
Jakbarhanya tinggal berjumlah sedikit (38%), dan banyaknya temuan terkait keberadaan
bangunan baru dengan elemen-elemen fasad yang lebih modern sehingga terkesan kontras
dan berbeda dari fasad bangunan asli nya sebagai komponen utama pembentuk
kawasan permukiman berkarakter yang belum terpenuhi5.2.
kesimpulan
(1) ruang mihrab yang berorientasi ke arah kiblat dan berfungsi sebagai tempat imam shalat,
(2) ruang shalat yang berbentuk bujur sangkar dan berfungsi sebagai tempat jamaah shalat, serta
(3) teras keliling yang berfungsi sebagai tempat shalat jika jamaah telah memenuhi ruang dalam,
sekaligus untuk menghindari tampias jika hujan. Selain itu, juga disimpulkan tentang tipologi
wujud masjid tradisional Kalimantan Selatan, yaitu atap berbentuk perisai bersudut runcing (60o )
dan atap landai (20o ), denah berbentuk bujursangkar atau persegi, wujud keseluruhan merupakan
simbolisasi dari pohon hayat, serta terdapat simbol burung enggang di puncak atap masjid (pataka/
patala). Kedua simbol ini merupakan simbol identitas dalam mitologi Suku Dayak. Dari hasil studi
di lapangan, salah satu kasus yang dapat menjadi referensi mengenai bagaimana tipologi ruang dan
wujud masjid tradisional Kalimantan Selatan sesungguhnya, adalah Masjid Su’ada Wasah. Hal ini
dikarenakan bangunan masjid ini merupakan satu-satunya masjid yang masih mempertahankan
keasliannya, baik kondisi, konstruksi, tata ruang, maupun ornamennya.
Tipologi Ruang dan Wujud Masjid Tradisional Kalimantan Selatan yang Terwakili dalam
Arsitektur Masjid Su’ada Wasah (Sumber: Hasil Analisis, 2009) Dari temuan penelitian ini juga
disarankan dilakukannya penelitian lanjutan, terutama yang ..... menyangkut penelitian terhadap
objek yang lebih detail dari Masjid Tradisional Kalimantan Selatan, atau penelitian terkait lainnya.
Selain itu, disarankan pula kepada pihak-pihak terkait agar dapat mempertimbangkan tipologi
ruang dan tipologi wujud masjid tradisional Kalimantan Selatan menjadi referensi dalam upaya
pembangunan kembali atau rekonstruksi atau rehabilitasi bangunan-bangunan, terutama bangunan
masjid tradisional di Kalimantan Selatan.
TUGAS
Dosen Pengajar
Heryati, S.T.,M.T.
NIM : 551419052
JURUSAN ARSITEKUR
FAKULTAS TEKNIK
Berdasarkan ketiga jurnal dan dari setiap masing – masing kesimpulan bahwa :Jurnal 1
Model pola spasial yang didasarkan pada segregasi sosial masyarakat yang dapat
diidentifikasi pada permukiman Solo Baru adalah sebagai berikut:
Model 1 : bentuk segregasi sosial yang terlihat jelas dimana ada pemisahan antara strata
permukiman elit dengan permukiman lain di sekitarnya. Pemisahan ini ditandai dengan
adanya keberadaan pagar atau dinding pembatas yang membatasinya sehingga muncul
kesan eksklusivitas dari permukiman elit.
Model 2 : merupakan bentuk segregasi sosial yang tidak terpisah secara jelas hanya
kelebaran jalan (kelas jalan) secara linier yang menandai pemisahan segregasi sosial.
Segregasi ini dapat dilihat di kawasan permukiman strata menengah dan kelas bawah
sehingga antara strata menengah dengan bawah seolah – olah satu kesatuan
Model 3: bentuk segregasi sosial yang ditandai dengan adanya pemisahan strata sosial
bawah yang menempati bagian belakang dari kavling bangunan golongan strata sosial
menengah sehingga akses menuju permukiman strata bawah mengambil sela antar
bangunan dari strata sosial menengah. Terlihat jelas adanya pemisahan permukiman
berdasarkan tipe kavling rumah.
Model 4: merupakan bentuk segregasi pola spasial yang baik, ditunjukkan adanya lahan
pertanian sebagai pembatas segregasi sosial menengah dan bawah yang direduksi oleh
kehadiran open space (area persawahan) sebagai ruang transisi yang juga berfungsi
sebagai ruang komunal antar segregasi sosial.
Jurnal 2
METODOLOGI
Lokasi penelitian yang dijadikan sampel adalah Kelurahan Jamika dengan kepadatan penduduk = 500 jiwa/ha (BPS,
2005). Lokasi ini berada di Kecamatan Bojongloa Kaler dan merupakan kawasan perumahan perkotaan dengan
kepadatan penduduk tertinggi di tingkat kelurahan Kota Bandung.
Kriteria kepala keluarga yang dipilih sebagai sampel penelitian adalah penduduk dengan lama tinggal di kawasan
perumahan tersebut selama 3tahun atau lebih dengan asumsi bahwa mereka mengenal kondisi kawasan perumahan
tersebut sebagai tempat tinggal mereka. Cara pemilihan sampel digunakan stratifikasi yang proporsionaluntuk setiap
kelompok sampel.
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner terstruktur yang dirancang untuk dapat menjaring karakteristik fisik
perumahan serta karakteristik sosial dan ekonomi penduduk. Setiap kuesioner yang sudah diisi secara lengkap
dikompilasi dengan format excel untuk mempermudah dalam mengolah data menjadi informasi dalam bentuk
format excel ataupun SPSS. Hasil kompilasi data divalidasi dengan cara crosscheck melalui metode focus group yang
dilakukan di kantor kelurahan yang dihadiri oleh ”mantri” statistik, tenaga lapangan, beberapa orang penduduk
setempat dan tokoh masyarakat. Pada tahap berikutnya, data diberikan coding, nominal angka atau pembobotan.
Pengolahan untuk analisis data dilakukan dengan beberapa cara, descriptive statistics frequency, two step cluster,
dan K-mean cluster. Pada dasarnya ketiga cara tersebut sama yaitu proses identifikasi data melalui klasifikasi
sampel data atas dasar kesamaan karakteristik dan faktor dominan.
TINJAUAN PUSTAKA
Tipologi
Menurut Kamus Sosiologi yang disusun oleh Marshall tahun 1994 tipologi diartikan sebagai klasifikasi. Dalam
ensiklopedia tipologi diterjemahkan sebagai klasifikasi sistematis. The Great Soviet Encyclopedia (1979) tipologi
dapat didefinisikan sebagai klasifikasi sistematis berdasarkan karakteristik tertentu. Dalam konteks perkotaan
istilah tipologi diartikan oleh Lozano (1990) sebagai pengenalan suatu objek atau elemen yang inti dasarnya
mempunyai kemungkinan untuk dapat ditemukan di tempat lain yang sejenis. Istilah tipologi ini biasa digunakan
dalam mengidentifikasi pola-pola ruang perkotaan (Lozano, 1990). Tipologi dapat terbentuk dari berbagai varian
dengan berbagai kombinasi tanpa kehilangan ciri atau karakteristik utama dari objek tersebut dan dibentuk melalui
proses selektif berdasarkan pada objek atau elemen dasar.
Dalam perkembangannya tipologi tidak hanya dapat terbentuk dari objek atau elemen fisik, tetapi juga kondisi-kondisi
sosial, ekonomi dan budaya mempengaruhi terbentuknya tipologi. Sebagai contoh komponen teknologi berperan
penting dalam membentuk tipologi perkotaan, karena teknologi merupakan salah satu dari komponen
Jurnal 3
Metodologi
Penetapan lokasi lingkungan permukiman kumuh dilakukan dengan menggunakan kriteria yang
terdapat dalam buku Pedoman Identifikasi Permukiman Kumuh (Direktorat Pengembangan
Permukiman, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, 2006), yang
meliputi 6 kriteria:
a) Vitalitas Non Ekonomi,
b) Vitalitas Ekonomi Kawasan,
c) Status Kepemilikan Tanah,
d) Keadaan Prasarana dan Sarana,
e) Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota,
f) Prioritas Penanganan.
Jadi kesimpulan dari ketiga jurnal yang di Review bahwasanya tipoogi untuk setiap Kawasan
harus sesuai dengan karakteristik yang sudah ditentukan walaupun ketiga jurnal sudah
melengkapi karakteristik tersebut, namun masih banyak lagi yang harus diperhatikan dalam
pembuatan Kawasan contohnya lebih memperhatikan tipologi dari setiap Kawasan yang akan
di bangun karna menyangkut kelangsungan masyarakat juga .