Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Kelerengan
Kemiringan lahan adalah perbedaan ketinggian tertentu pada relief yang ada

pada suatu bentuk lahan. Penentuan kemiringan lahan rata-rata pada setiap

kelompok pemetaan dapat dilakukan dengan membuat hubungan antara titik-titik.

Panjang satu garis menunjukkan kelerengan yang sama. Kemiringan lahan

menunjukkan karakter daerah yang harus dipertimbangkan dalam arahan

penggunaan lahan. Kemiringan lahan tiap daerah berbeda-beda tetapi secara umum

dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok. Kemiringan lahan dipengaruhi

oleh ketinggian lahan terhadap laut karena semakin dekat dengan laut cenderung

semakin rata (Sinery, Rudolf, Hermanus, Samsul, dan Devi, 2019). Menurut

Gunawan (2011), kelas kelerengan lahan digolongkan dalam lima tipe sebagai

berikut.

1. Bergunung dengan kelerengan lebih dari 45 % (lebih besar dari 24°)

2. Berbukit dengan kelerengan 25-45 % atau 14°-24°

3. Bergelombang dengan kelerengan 15-25 % atau 8°-14°

4. Landai dengan kelerengan 8-15 % atau 5-8°

5. Datar dengan kelerengan 0-8 % atau 0-5°

Kemiringan lereng dan panjang lereng merupakan dua sifat utama dari

topografi yang mempengaruhi erosi. Kemiringan lereng dan panjang lereng

memberikan dampak terhadap laju aliran permukaan yang membawa lapisan tanah

atas beserta unsur hara dari tempat satu ke tempat lainnya yang lebih rendah

(Haridjaja, Murtilaksono, Soedarmo dan Rachman, 1991). Menurut Martono

(2004), besar kemiringan lereng akan mempengaruhi laju kecepatan aliran

6
permukaan, dimana semakin curam suatu lereng akan semakin cepat alirannya,

sehingga dapat diartikan kesempatan air yang meresap ke dalam tanah lebih kecil

dan akan memperbesar aliran permukaan, yang akan berakibat pada besarnya erosi

tanah. Menurut Mulyani dan Kartasapoetra (1991), panjang lereng dan kecepatan

aliran permukaan berpengaruh besar terhadap terjadinya erosi. Semakin panjang

lereng dan semakin cepat aliran permukaan maka erosi akan semakin besar.

Kecepatan aliran permukaan dipengaruhi oleh kondisi lahan. Apabila pengolahan

lahan memanjang lereng tanpa adanya sistem teras yang benar akan menyebabkan

terjadinya pengangkatan material tanah.

Pada lereng atas akibat adanya tumbukan air hujan, menyebabkan

hancurnya agregat-agregat tanah. Partikel-partikel tanah yang terlepas diangkut

oleh aliran permukaan menuruni lereng. Pada lereng yang lebih bawah, erosi yang

terjadi akan lebih besar lagi karena disamping adanya pengaruh dari daya rusak

butir hujan, juga dipengaruhi oleh aliran permukaan dari lereng bagian atas

sehingga menyebabkan tanah yang terangkut lebih banyak. Bila kecepatan aliran

permukaan berkurang, terjadilah pengendapan bahan. Pengendapan bahan ini

bersifat sementara, dan biasanya terjadi pada lereng tengah. Kecepatan aliran

permukaan yang tinggi menyebabkan kapasitas penghancuran semakin tinggi pula.

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa peristiwa erosi terjadi pada lereng atas,

tengah dan bawah (Bermanakusumah, 1978).

7
2.2 Hubungan antara Kelerengan dan Erosi

Erosi adalah peristiwa terangkutnya tanah atau bagian tanah dari suatu

tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain dengan media alam. Selain

itu erosi juga didefinisikan sebagai kehilangan tanah yang lebih cepat dari proses

erosi geologi. Di daerah beriklim tropis basah, agen erosi yang paling utama adalah

angin, sedangkan di daerah beriklim kering adalah angin. Secara umum, proses

erosi oleh air terjadi melalui tiga kombinasi proses, yaitu : (1) penghancuran

struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi kinetik hujan yang kemudian

diikuti oleh perendaman air yang tergenang; (2) pengangkutan butir-butir primer

tanah tersebut oleh air melalui limpasan (runoff), partikel bergerak mengikuti arah

lereng; dan (3) proses sedimentasi butir-butir tanah yang terangkut, proses ini

terjadi setelah energy aliran permukaan menurun. Umumnya partikel yang

mempunyai massa yang lebih berat mengalami sedimentasi lebih awal. Sedimentasi

ini bisa terjadi di dalam sungai, waduk, danau, saluran irigasi, di atas tanah

pertanian, dsb. Dua unsur pokok topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran

permukaan dan erosi adalah kemiringan dan panjang lereng. Unsur lain yang juga

berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Semakin besar

kemiringan lereng, selain akan menyebabkan semakin besarnya jumlah dan

kecepatan runoff, juga memperbesar energi angkut air (Satriawan dan Fuady,

2015).

Utomo (1994) menyatakan bahwa erosi terjadi dengan 3 proses, yaitu

penghancuran, pengangkutan dan pengendapan. Air hujan yang mengenai

permukaan tanah dengan energi tertentu akan menghancurkan agregat tanah.

Agregat tanah yang hancur akan menutup pori-pori tanah yang akan mengurangi

8
kemampuan tanah dalam menyerap air hujan (infiltrasi). Dengan adanya

peningkatan intensitas hujan, maka akan meningkatkan aliran permukaan, sehingga

daya angkut akan partikel-partikel tanah yang telah terlepas tersebut semakin

banyak dan akan menyebabkan hasil sedimentasi tinggi.

Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) mempengaruhi

besarnya erosi yang terjadi. Sifat lereng yang mempengaruhi energi penyebab erosi

adalah :

a) Kemiringan lereng

b) Panjang lereng

c) Bentuk lereng

Kemiringan mempengaruhi kecepatan dan volume limpasan permukaan.

Pada dasarnya makin curam suatu lereng, maka persentase kemiringan lereng

semakin besar, sehingga semakin cepat laju limpasan permukaan. Hal ini akan

menyebabkan volume limpasan yang semakin besar, karena singkatnya waktu

untuk infiltrasi, dengan demikian laju erosi semakin besar (Andawayanti, 2019).

Parameter kelerengan dapat dibagi menjadi dua, yaitu sudut lereng dan

energi lereng. Sudut lereng adalah sudut yang terbentuk terhadap bidang horizontal.

Energi lereng adalah besarnya energi potensial yang dipengaruhi oleh topografi di

wilayah tersebut (Pinczes, 1981). Apabila tekuk lereng semakin besar, maka

koefisien aliran dan daya angkut meningkat, kestabilan tanah dan kestabilan lereng

menurun, erosi percik meningkat dan perpindahan material tanah lebih besar.

Kedua faktor tersebut merupakan pemicu terjadinya erosi (Zachar, 1982).

Tingginya curah hujan mengakibatkan terjadinya limpasan permukaan.

Limpasan permukaan yang menghasilkan erosi terjadi karena tanah tidak dapat lagi

9
mampu menahan air yang mengalir di atas permukaan tanah, dan yang terjadi yaitu

pelepasan partikel-partikel tanah pada permukaan tanah dan bahkan dapat

menyebabkan hilangnya top soil (tanah lapisan atas), sehingga dapat berpengaruh

pada salah satu komposisi penyusun tanah yaitu bahan organik sebagai penyedia

unsur hara tanah dan tanaman pada lapisan tanah atas atau lapisan olah tanah.

Kehilangan hara dari permukaan tanah merupakan salah satu akibat utama dari

terjadinya erosi. Peristiwa ini terjadi karena unsur hara tanah umumnya banya

terdapat pada lapisan atas tanah (top soil) khususnya N, P, K sebagai penyubur

tanaman, sehingga aliran permukaan yang terjadi selain membawa tanah menjadi

erosi juga membawa hara tanah keluar dari petak lahan (Tambun, Fitryane, dan

Daud, 2014).

2.3 Kesuburan Tanah dan Unsur Hara

Tanah adalah media untuk pertumbuhan tanaman dan memasok unsur hara

untuk tanaman. Pada umumnya tanah memasok 13 dari 16 unsur hara esensial yang

diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, terutama tanaman pangan. Unsur hara

esensial tersebut harus terus-menerus tersedia dalam takaran yang berimbang.

Namun demikian, hal ini tidak selalu terjadi pada semua jenis tanah. Beberapa tanah

tertentu yang tidak dapat memenuhi tujuan tersebut disebut sebagai tanah tidak

subur. Sebaliknya, ada beberapa tanah yang dapat memenuhi tujuan tersebut dan

tanah tersebut disebut tanah subur. Oleh karena itu, kesuburan tanah adalah aspek

hubungan tanah-tanaman, yaitu pertumbuhan tanaman dalam hubungannya dengan

unsur hara yang tersedia dalam tanah. Tanaman tergantung pada tanah tidak hanya

sebagai tempat untuk bertumpu, tetapi juga sebagai pemasok unsur hara yang

diperlukan untuk proses-proses fisiologi dan pembentukan struktur tanaman.

10
Semua unsur hara yang telah diketahui sebagai unsur hara esensial untuk

pertumbuhan dan produksi tanaman diperoleh dari tanah, kecuali karbon yang

diperoleh dari udara melalui stomata. Hidrogen dan oksigen diperoleh dari air

melalui akar tanaman. Unsur hara lainnya, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, sulfur

dan unsur hara mikro diperoleh langsung dari tanah. Oleh karena itu tanaman

tergantung pada tanah untuk memperoleh unsur hara. Semua unsur hara tanaman

berada dalam tanah. Namun demikian keberadaan unsur hara di dalam tanah tidak

selalu dapat diartikan bahwa tanah tersebut subur. Tanaman menyerap unsur hara

dalam bentuk ion yang terlarut dalam larutan tanah. Selain itu, untuk mencapai

pertumbuhan tanaman yang optimum unsur hara harus tersedia dalam jumlah yang

cukup. Oleh karena itu, tanah harus dapat memasok unsur hara dalam jumlah cukup

dalam bentuk yang dapat diserap oleh tanaman selama siklus hidupnya. Secara

sederhana kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah untuk menyediakan

unsur hara dalam jumlah yang cukup dalam bentuk ion yang dapat diserap oleh

tanaman yang tumbuh. Atas dasar pandangan tersebut, maka kajian kesuburan

tanah meliputi pengamatan bentuk unsur hara tanaman di dalam tanah, bagaimana

unsur-unsur tersebut menjadi tersedia untuk tanaman, dan faktor-faktor yang

mempengaruhi penyerapan unsur hara oleh tanaman. Hasil kajian tersebut dapat

digunakan sebagai landasan pengelolaan kesuburan tanah untuk memperbaiki

pertumbuhan dan produksi tanaman (Handayanto, Nurul, dan Amrullah, 2017).

Tanaman menggunakan bahan organik untuk mendapatkan energi dan

pertumbuhannya. Dengan fotosintesis, tanaman mengumpulkan karbon yang ada di

atmosfir yang kadarnya sangat rendah, ditambah air diubah menjadi bahan organik

oleh klorofil dengan bantuan sinar matahari. Unsur yang diserap untuk

11
pertumbuhan dan metabolisme tanaman dinamakan hara tanaman. Mekanisme

pengubahan unsur hara menjadi senyawa organik atau energi disebut metabolisme.

Dengan menggunakan hara, tanaman dapat memenuhi siklus hidupnya. Fungsi hara

tanaman tidak dapat digantikan oleh unsur lain dan apabila tidak terdapat suatu hara

tanaman, maka kegiatan metabolisme akan terganggu atau berhenti sama sekali. Di

samping itu, umumnya tanaman yang kekurangan atau ketiadaan suatu hara akan

menampakkan gejala pada suatu organ tertentu yang spesifik yang biasa disebut

gejala kekahatan. Gejala ini akan hilang apabila hara tanaman ditambahkan ke

dalam tanah atau diberikan lewat daun. Unsur hara yang diperlukan tanaman

adalah: Karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N), Phosphat (P),

Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Seng (Zn), Besi (Fe),

Mangan (Mn), Tembaga (Cu), Molibden (Mo), Boron (B), Klor (Cl), Natrium (Na),

Kobal (Co), dan Silikon (Si) (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

2.4 Lahan Kritis

Lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan

fisik, kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang

akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian,

permukiman dan kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan (Puslittanak, 1997).

Lahan kritis merupakan lahan atau tanah yang saat ini tidak produktif karena

pengelolaan dan penggunaan tanah yang tidak atau kurang memperhatikan syarat-

syarat konservasi tanah dan air, sehingga lahan mengalami kerusakan, kehilangan

atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang telah ditentukan atau diharapkan

(Romenah, Eko dan Asih, 2010). Secara umum lahan kritis merupakan salahsatu

indikator adanya degradasi lingkungan sebagai dampak dari berbagai jenis

12
pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana (Nugroho dan Prayogo,

2008).

Lahan kritis merupakan keadaan lahan yang terbuka sebagai akibat adanya

erosi yang berat dan menyebabkan produktivitas pada lahan tersebut menjadi

rendah (Poerwowidodo, 1990). Kekritisan lahan pada mulanya dapat menyangkut

salah satu atau beberapa komponen lahan seperti iklim, tanah, topografi, flora,

fauna, atau beberapa diantaranya sekaligus. Akan tetapi, komponen-komponen

lahan berada dalam ikatan sistem, kekritisan salah satu komponen lambat laun dapat

menjalar ke komponen yang lain. Iklim merupakan faktor pembentuk tanah,

menentukan ketersediaan air dan mempengaruhi kehidupan flora dan fauna, maka

kekritisan iklim bisa menggandeng kekritisan tanah, air, flora, dan fauna. Kekritisan

tanah dan flora sangat terkait satu sama lain. Dalam menangani kekritisan lahan

perlu diketahui terlebih dahulu komponen-komponen lahan yang menjadi penyebab

utama terjadinya kekritisan. Disamping itu penilaian kekritisan lahan perlu

dibedakan menurut macam penggunaan lahan, apakah untuk pertanian tanaman

semusim, pertanian tanaman tahunan, pemukiman, industri atau kritis untuk semua

macam penggunaan lahan (Suwardji dan Priyono, 2004).

Pengelolaan lahan harusnya sesuai dengan kemampuan lahan agar tidak

menimbulkan kerusakan lahan dan menurunkan produktivitas lahan. Proses

evaluasi lahan dan perencanaan tataguna lahan perlu dilakukan karena menjadi

dasar dalam pengambilan kebijakan tentang penggunaan lahan, sehingga kita dapat

merencanakan dan mengembangkan sumber daya lahan yang menjamin kelestarian

pemanfaatan sumberdaya lahan masa kini dan masa yang akan datang. Pemanfaatan

lahan memerlukan pertimbangan yang tepat, agar fungsi lahan dapat berlangsung

13
secara lestaridan berkesinambungan. Hal ini disebabkan karena erosi tingkat berat

dapat terjadi oleh hujan yang mempunyai nilai erosivitas tinggi, tanah yang peka

erosi, kemiringan lereng melebihi batas kemampuan lahan untuk tanaman pangan,

cara pengelolaan tanah dan tanaman antara lain kebiasaan membakar dan cara

pembukaan lahan yang salah serta tindakan konservasi lahan yang belum memadai

(Suwardjo, Sinukaban dan Barus, 1984).

Upaya perbaikan kondisi lahan kritis melalui program rehabilitasi lahan

akan dapat terlaksana dengan baik apabila informasi obyektif kondisi lahan sasaran

rehabilitasi dapat teridentifikasi secara menyeluruh. Penyediaan data dan informasi

tersebut sangat diperlukan terutama dalam menunjang formulasi strategi

rehabilitasi lahan yang berdayaguna, sehingga diharapkan dapat diperoleh acuan

dalam pengalokasian sumberdaya secara proporsional. Dengan demikian, maka

dengan tersedianya data dan informasi yang tepat diharapkan dapat tercipta daya

dukung sumberdaya lahan yang optimal dan lestari (Sunartomo, 2011).

14

Anda mungkin juga menyukai