Anda di halaman 1dari 5

TUGAS REFLEKSI INDIVIDU PERTEMUAN 9 - 12

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kode Etik Psikologi

Dosen Pengampu:
Dra. Frieda Nuzulia Ratna Hadiyati, S.U

Disusun oleh:
Masyita Adlin Putri 15000119140269

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
Refleksi Pertemuan 9
Penelitian dan Publikasi: Persiapan, Partisipan, Protokol dan Informed
Consent

Pertemuan kali ini, kami mempelajari mengenai penelitian dan publikasi yang mencakup
materi persiapan partisipan, protokol, dan informed consent yang termuat pada Pasal 49
mengenai Informed Consent dalam Penelitian, dan metode penelitian, analisis nilai utilitas
penelitian, etika dan pengolahan data, serta pengelabuat yang termuat pada Pasal 50 mengenai
Pengelabuan/Manipulasi dalam Penelitian. Dalam pertemuan ini, saya belajar bahwa pentingnya
consent dalam keberjalanan berbagai praktek ilmu psikologi, termasuk proses konseling, dalam
akademik, serta dalam penelitian. Pemberian persetujuan ini menjelaskan bahwa seseorang
secara sadar memahami dan memberikan izin terkait pemberian asesmen dan juga intervensi
yang akan diberikan. Ada atau tidaknya sebuah consent memberikan perbedaan yang sangat jelas
karena seseorang menjadi paham akan seperti apa alur perlakuan yang akan diberikan, sehingga
seharusnya tidak ada hal-hal yang menyalahi kode etik ataupun norma-norma yang berlaku.
Kelengkapan hal yang dicantum dalam informed consent menjadi sebuah jaminan terhadap
keamanan dan kenyamanan individu dalam mengikuti praktek ilmu psikologi.
Sebelum mengikuti pertemuan ini, beberapa kali saya sempat berpikir informed consent
merupakan hal yang sekedar formalitas belaka. Terutama dengan isian informed consent yang
biasanya berisi template yang dipakai berulang kali. Namun, saya menjadi belajar peran penting
dari informed consent melalui pertemuan ini. Dengan banyaknya praktek psikologi, baik dalam
konseling hingga penelitian, akan menjadi sangat berbahaya jika praktek tersebut tidak
dilengkapi oleh informed consent. Partisipasi seseorang bisa saja disalahgunakan hingga dapat
membahayakan dirinya sendiri. Hal ini juga tidak hanya berpengaruh pada masa sekarang tetapi
bisa saja mempengaruhi keadaan psikologis individu di masa datang seperti kasus yang diberikan
oleh kelompok hari ini. Seperti yang termuat pada Pasal 49 mengenai Informed Consent dalam
penelitian, pengabaian informed consent merupakan pelanggaran kode etik yang akan dikenakan
sanksi yang berlaku.
Refleksi Pertemuan 10
Penelitian dan Publikasi: Pelaksanaan Berbagi Data dan Penghargaan

Pertemuan kali ini melanjutkan materi sebelumnya mengenai informed consent dengan
membahas mengenai penggunaan hewan dalam penelitian psikologi yang termuat pada Pasal 52
mengenai Penggunaan Hewan untuk Penelitian. Sebagai mahasiswa psikologi, kami telah
mempelajari berbagai studi terdahulu yang memuat teori berdasarkan penelitian-penelitian yang
dilakukan pada hewan, contoh yang paling sering diajarkan adalah melalui aliran Behaviorisme
yang penerapan teorinya masih sering digunakan hingga sekarang.
Dulu, saya sempat tertarik ketika mengetahui ternyata di cabang ilmu psikologi terdapat
penelitian yang menggunakan hewan. Terlebih lagi ketika mengetahui terdapat penerapan dari
banyak aplikasi teori berdasarkan penelitian menggunakan hewan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut saya, penelitian dengan menggunakan hewan kemudian menjadi efektif karena tidak
terlalu membutuhkan berbagai hal serumit melakukan penelitian kepada manusia.
Namun, dalam pertemuan ini, saya memahami bahwa bahkan dalam melakukan
penelitian dengan menggunakan hewan pun, penelitian tetap harus menaati kode etik yang
berlaku. Seperti diperlukannya prosedur penelitian yang jelas serta bagaimana perlakuan kepada
hewan yang harus terhindar dari perlakuan semena-mena. Hal ini kemudian mengajarkan saya
lebih jauh mengenai bagaimana ilmu psikologi sebagai ilmu yang ilmiah harus selalu
berdasarkan pada prosedur-prosedur dan kode etik yang berlaku.
Refleksi Pertemuan 11
Psikologi Forensik

Pertemuan kali ini merupakan salah satu pertemuan yang menarik bagi saya. Kali ini,
kami mempelajari mengenai Psikologi Forensik. Sebagai salah satu cabang ilmu psikologi,
Psikologi Forensik sendiri diatur dalam BAB X pada Pasal 56-61. Melalui pertemuan kali ini,
saya belajar banyak mengenai peran psikolog forensik terutama dalam persidangan, seperti
bagaimana saksi ahli psikologi yang dihadirkan dalam persidangan tidak hanya terbatas pada
ilmuwan psikologi forensik saja.
Sebelum mengikuti pertemuan ini, saya sempat berdiskusi dengan teman saya yang
merupakan mahasiswa hukum. Kami berdiskusi mengenai pelaku-pelaku persidangan serta
peranannya. Pada awalnya, saya berasumsi bahwa pernyataan ataupun bukti akan selalu
mengarah pada suatu sisi, dalam arti jika pernyataan atau bukti tersebut berasal dari pihak
penggugat, maka besar kemungkinan hal itu akan memberatkan terduga, begitu juga sebaliknya.
Karena itulah saya cukup kebingungan ketika berusaha memahami kasus yang juga
menghadirkan ahli psikologi. Namun, setelah dijelaskan bahwa setiap saksi harus bersikap netral
dan menyampaikan bukti sebenar-benarnya tanpa ada keberpihakan, saya menjadi lebih
memahami proses persidangan serta peranan dari pelaku-pelaku persidangan.
Hal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Bu Frieda yang menerangkan mengenai
peranan saksi ahli dari psikologi dalam persidangan. Saya baru menyadari bahwa ternyata tidak
hanya ilmuwan psikologi forensik saja yang bisa berperan dalam persidangan. Bu Frieda
menerangkan adanya perbedaan peran antara psikolog umum dan psikolog forensik dalam
persidangan. Seperti bagaimana psikolog juga berperan dalam membantu individu yang
mengalami kesulitan secara psikologis saat berhadapan dengan hukum serta peran psikolog yang
memberikan rekomendasi dalam juvenile justice pada bagaimana penegakan hukum diberikan
kepada anak berdasarkan analisis asesmen dan evaluasi psikologi.
Refleksi Pertemuan 12
Asesmen Psikologi

Pertemuan kali ini menjelaskan peranan kode etik psikologi dalam hal yang sudah mulai
sering dilakukan oleh mahasiswa psikologi, yaitu mengenai Asesmen Psikologi yang termuat
dalam BAB XI mengenai Asesmen pada Pasal 62-67. Asesmen psikologi terdapat dalam
berbagai bentuk, mulai dari tes, wawancara, dan juga observasi. Setiap klien dan kebutuh
memiliki kebutuhan akan asesmen yang berbeda-beda. Karena itulah seseorang yang melakukan
asesmen harus memiliki kompetensi untuk melakukan asesmen serta memahami asesmen apa
saja yang efektif untuk dilakukan kepada klien ataupun kebutuhan lainnya.
Dari contoh kasus yang dijelaskan, saya menjadi memahami lebih jauh mengenai
pentingnya asesmen dan hal-hal yang perlu diperhatikan didalamnya, termasuk jenis,
penggunaan, informed consent, interpretasi dari hasil asesmen hingga penyampaian data dan
hasil asesmen. Saya menjadi paham bahwa sebagai dasar dalam melakukan intervensi ataupun
penggunaan lainnya, asesmen menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan sehingga harus
diperhatikan berbagai detailnya. Asesmen yang tidak tepat atau bahkan salah akan menimbulkan
intervensi atau penggunaan lainnya yang salah juga dan dapat menyalahi kode etik. Karena itulah
penting untuk meningkatkan kompetensi sebagai pelaksana asesmen. Mulai dari bagaimana
memilih asesmen yang tepat hingga bagaimana interpretasi dan hasil asesmen itu kemudian
disampaikan.
Pertemuan ini juga membahas mengenai pelanggaran asesmen psikologi. Beberapa
contoh kasus yang dijelaskan membuat saya lebih paham konsekuensi dari kompetensi yang
tidak memadai dari pelaksana asesmen dapat berdampak negatif kepada klien. Hal ini
menyadarkan saya bahwa penting untuk meningkatkan kompetensi dan pengetahuan mengenai
asesmen. Sebagai mahasiswa psikologi yang sudah melakukan asesmen, saya merasa saya masih
belum memaksimalkan kompetensi ataupun persiapan yang dilakukan dalam melakukan
asesmen. Melalui pertemuan ini, saya merasa penting untuk lebih memperhatikan hal-hal yang
diperlukan dalam asesmen sehingga dapat memaksimalkan hasil asesmen dan penggunaan
asesmen selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai