Anda di halaman 1dari 12

KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI TERKAIT

ETIKA PENELITIAN DAN PUBLIKASI

Muhammad Najwan1, Olvia Amerta Mawaddah2, Natasya Nurfaiza Zuriatti3


Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
Email: mnajwan717@gmail.com

Abstract

The psychology code of ethics is a science that studies ethics or guidelines


that must be observed in the attitude and behavior of all psychologists and groups of
psychological scientists in carrying out their respective professions. There are many
articles in the psychology code of ethics book which are used to understand issues in
psychological research, guidelines for psychological research and publications in the
psychology code of ethics. This research aims to dig deeper into issues, research and
publications regarding violations of the code of ethics committed by an agency and
find out more deeply about the process of violations committed by that agency. The
results of this research show that there are still many agencies that violate the code
of ethics, especially in articles relating to psychological issues, research and
publications.
Keywords: Violations of the code of ethics,Issues,Publication, psychologists

Abstrak

Kode etik psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang etika atau
pedoman yang harus diperhatikan dalam bersikap dan berperilaku oleh seluruh
psikolog dan kelompok ilmuwan psikologi dalam menjalankan profesi masing-
masing. Terdapat banyak pasal yang ada dalam buku kode etik psikologi yang
digunakan untuk mengetahui isu-isu dalam penelitian psikologi, pedoman dalam
penelitian psikologi dan publikasi dalam kode etik psikologi. Penelitian ini bertujuan
untuk menggali lebih dalam mengenai isu-isu, penelitian, dan publikasi dalam
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh suatu intansi dan mengetahui lebih
mendalam mengenai proses pelanggaran yang dilakukan oleh instansi tersebut. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa masih terdapat banyak instansi yang melanggar
kode etik, terutama pada pasai-pasal yang berkaitan dengan isu-isu, penelitian,
maupun publikasi psikologi.
Kata kunci: Pelanggaran kode etik, isu-isu, publikasi,psikolog
PENDAHULUAN

Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang menempel pada suatu profesi yang
memerlukannya dan dalam penyusunannya tersusun secara sistematis, kode etik
sendiri dipercaya sebagai tolak ukur dalam mengukur profesional seseorang dalam
bidang profesi tersebut. Salah satunya adalah psikologi, sebagai acuan dalam
bertindaknya tingkah laku, ucapan maupun perbuatan saat proses layanan ataupun
pelaksanaan seorang psikolog dan ilmuwan psikologi dalam berkegiatan. Di dalam
buku kode etik psikologi Indonesia sendiri terdapat bab yang menjelaskan mengenai
aturan kode etik,yakni isu-isu,penelitian,dan publikasi dalam psikologi.

Kehadiran kode etik profesi apapun diperuntukkan untuk menjaga martabat


serta kehormatan profesi dan melindungi masyarakat dari segala bentuk
penyimpangan maupun penyalahgunaan. Dua (2005) menggambarkan bahwa
keberadaan kode etik profesi memiliki fungsi untuk menjamin kepercayaan
masyarakat bahwa masyarakat tidak akan dipermainkan sebagai sekedar sarana
melainkan tujuan layanan yang diselenggarakan. Kehadiran kode etik berfungsi
seperti kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus
menjamin mutu moral profesi itu sendiri di mata masyarakat. Pada hakekatnya kode
etik memberikan identitas suatu profesi, mengkomunikasiakn kepada para anggota
profesi mengenai harapan profesi, dan membantu menjaga kepercayaan masyarakat
(Fisher, 2016; Oakland, 2012). Hal ini penting untuk diperhatikan karena praktik
konseling dan psikologi dibangun atas dasar kompetensi, profesionalisme, dan
kepercayaan (Scoyoc, 2004; Triliva, 2004; Levin & Bickett, 2011). Menurut
Kartadinata (dalam Sujadi, 2018)) kode etik profesi merupakan regulasi dan norma
perilaku profesional yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi dalam
menjalankan tugas profesi. Pandangan ini juga ditekannkan oleh ABKIN (dalam
Sujadi, 2018) yang menggarisbawahi keberadaan kode etik profesi untuk melindungi
atau mencegah para praktisi dari perilaku-perilaku malpraktik. Oleh karena itu, semua
anggota profesi harus menjalankan tugasnya secara profesional.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis berusaha untuk menganalisis


permasalahan terkait pelanggaran kode etik isu-isu,penelitian,dan publikasi psikologi
yang dilakukan oleh suatu intansi dan mengetahui lebih mendalam mengenai proses
pelanggaran yang dilakukan oleh instansi tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman bagi para psikolog/ilmuwan yang melakukan pelanggaran
kode etik tersebut.
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi literatur. Menurut Zed


(2014) metode studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka. Studi kepustakaan dilakukan oleh setiap peneliti
dengan tujuan utama yaitu mencari dasar untuk memperoleh dan membangun
landasan teori, kerangka berpikir dan menentukan dugaan sementara atau disebut juga
dengan hipotesis penelitian. Sehingga para peneliti dapat mengelompokkan,
mengalokasikan, mengorganisasikan dan menggunakan variasi pustaka dalam
bidangnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, para peneliti mempunyai
pendalaman yang lebih luas dan mendalam terhadap masalah yang hendak diteliti.
Data yang digunakan berasal dari jurnal, buku kode, artikel yang berisikan tentang
konsep yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENELITIAN DAN PUBLIKASI

Pasal 45 Pedoman Umum

(1) Penelitian adalah suatu rangkaian proses secara sistematis berdasar pengetahuan
yang bertujuan memperoleh fakta dan/atau menguji teori dan/atau menguji intervensi
yang menggunakan metode ilmiah dengan cara mengumpulkan, mencatat dan
menganalisis data.

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan penelitian diawali


dengan menyusun dan menuliskan rencana penelitian sedemikian rupa dalam
proposal dan protokol penelitian sehingga dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang
berkepentingan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat desain penelitian,
melaksanakan, melaporkan hasilnya yang disusun sesuai dengan standar atau
kompetensi ilmiah dan etika penelitian.

Pasal 46 Batasan Kewenangan dan Tanggung Jawab

(1) Batasan kewenangan


a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memahami batasan kemampuan dan
kewenangan masing-masing anggota Tim yang terlibat dalam penelitian tersebut.

b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi dengan pihak-pihak yang


lebih ahli di bidang penelitian yang sedang dilakukan sebagai bagian dari proses
implementasi penelitian. Konsultasi yang dimaksud dapat meliputi yang berkaitan
dengan kompetensi dan kewenangan misalnya badan-badan resmi pemerintah dan
swasta, organisasi profesi lain, komite khusus, kelompok sejawat, kelompok seminat,
atau melalui mekanisme lain.

(2) Tanggung jawab

a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi bertanggungjawab atas pelaksanaan dan hasil


penelitian yang dilakukan.

b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memberi perlindungan terhadap hak dan


kesejahteraan partisipan penelitian atau pihak-pihak lain terkait, termasuk
kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian.

Pasal 47 Aturan dan Izin Penelitian

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memenuhi aturan profesional dan
ketentuan yang berlaku, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan penulisan
publikasi penelitian. Dalam hal ini termasuk izin penelitian dari instansi terkait dan
dari pemangku wewenang dari wilayah dan badan setempat yang menjadi lokasi.

(2) Jika persetujuan lembaga, komite riset atau instansi lain terkait dibutuhkan,
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi harus memberikan informasi akurat mengenai
rancangan penelitian sesuai dengan protokol penelitian dan memulai penelitian
setelah memperoleh persetujuan.

Pasal 48 Partisipan Penelitian

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah untuk


melindungi perorangan atau kelompok yang akan menjadi partisipan penelitian dari
konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau penarikan
diri/pengunduran dari keikutsertaan.

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berinteraksi dengan partisipan penelitian


hanya di lokasi dan dalam hal-hal yang sesuai dengan rancangan penelitian, yang
konsisten dengan perannya sebagai peneliti ilmiah. Pelanggaran terhadap hal ini dan
adanya tindakan penyalahgunaan wewenang dapat dikenai butir pelanggaran seperti
tercantum dalam pasal dan bagian-bagian lain dari Kode Etik ini (misalnya pelecehan
seksual dan bentuk pelecehan lain).

(3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memberi kesempatan adanya pilihan
kegiatan lain kepada partisipan mahasiswa, peserta pendidikan, anak buah/bawahan,
orang yang sedang menjalani pemeriksaan psikologi bila ingin tidak
terlibat/mengundurkan diri dari keikutsertaan dalam penelitian yang menjadi bagian
dari suatu proses yang diwajibkan dan dapat dipergunakan untuk memperoleh kredit
tambahan.

Pasal 49 Informed Consent

dalam Penelitian Sebelum pengambilan data penelitian Psikolog dan/atau Ilmuwan


Psikologi menjelaskan pada calon partisipan penelitian dengan menggunakan bahasa
yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat umum tentang
penelitian yang akan dilakukan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan
kepada calon partisipan asas kesediaan sebagai partisipan penelitian yang menyatakan
bahwa keikutsertaan dalam penelitian yang dilakukan bersifat sukarela, sehingga
memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk terlibat. Partisipan harus
menyatakan kesediaannya seperti yang dijelaskan pada pasal yang mengatur tentang
itu.

(1) Informed consent Penelitian Dalam rangka mendapat persetujuan dari calon
partisipan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan proses penelitian.
Secara lebih terinci informasi yang penting untuk disampaikan adalah:

a) Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur, antisipasi dari keikutsertaan, yang
bila diketahui mungkin dapat mempengaruhi kesediaan untuk berpartisipasi, seperti
risiko yang mungkin timbul, ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya; keuntungan
yang mungkin diperoleh dari penelitian; hak untuk menarik diri dari keikutsertaan
dan mengundurkan diri dari penelitian setelah penelitian dimulai, konsekuensi yang
mungkin timbul dari penarikan dan pengunduran diri; keterbatasan kerahasiaan;
insentif untuk partisipan; dan siapa yang dapat dihubungi untuk memperoleh
informasi lebih lanjut.

b) Jika partisipan penelitian tidak dapat membuat persetujuan karena keterbatasan


atau kondisi khusus, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan upaya
memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang yang
mewakili partisipan, atau melakukan upaya lain seperti diatur oleh aturan yang
berlaku.

c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mengadakan penelitian intervensi


dan/atau eksperimen, di awal penelitian menjelaskan pada partisipan tentang
perlakuan yang akan dilaksanakan; pelayanan yang tersedia bagi partisipan; alternatif
penanganan yang tersedia apabila individu menarik diri selama proses penelitian; dan
kompensasi atau biaya keuangan untuk berpartisipasi; termasuk pengembalian uang
dan hal hal lain terkait bila memang ada ketika menawarkan kesediaan partisipan
dalam penelitian.

d) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha menghindari penggunaan segala


bentuk pemaksaan termasuk daya tarik yang berlebihan agar partisipan ikut serta
dalam penelitian. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan sifat dari
penelitian tersebut, berikut risiko, kewajiban dan keterbatasannya.

(2) Informed Consent Perekaman Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi sebelum


merekam suara atau gambar untuk pengumpulan data harus memperoleh izin tertulis
dari partisipan penelitian. Persetujuan tidak diperlukan bila perekaman murni untuk
kepentingan observasi alamiah di tempat umum dan diantisipasi tidak akan
berimplikasi teridentifikasi atau terancamnya kesejahteraan atau keselamatan
partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait. Bila pada suatu penelitian dibutuhkan
perekaman tersembunyi, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan perekaman
dengan tetap meminimalkan risiko yang diantisipasi dapat terjadi pada partisipan, dan
penjelasan mengenai kepentingan perekaman disampaikan dalam debriefing.

(3) Pengabaian informed consent Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak harus
meminta persetujuan partisipan penelitian, hanya jika penelitian melibatkan individu
secara anonim atau dengan kata lain tidak melibatkan individu secara pribadi dan
diasumsikan tidak ada risiko gangguan pada kesejahteraan atau keselamatan, serta
bahaya-bahaya lain yang mungkin timbul pada partisipan penelitian atau pihak-pihak
terkait.

Penelitian yang tidak harus memerlukan persetujuan partisipan antara lain adalah:

a) penyebaran kuesioner anonim;

b) observasi alamiah;
c) penelitian arsip;

yang ke semuanya tidak akan menempatkan partisipan dalam resiko pemberian


tanggung jawab hukum atas tindakan kriminal atau perdata, resiko keuangan,
kepegawaian atau reputasi nama baik dan kerahasiaan.

Pasal 50 Pengelabuan/Manipulasi dalam Penelitian

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan menipu atau menutupi
informasi, yang mungkin dapat mempengaruhi calon niat partisipan untuk ikut serta,
seperti kemungkinan mengalami cedera fisik, rasa tidak menyenangkan, atau
pengalaman emosional yang negatif. Penjelasan harus diberikan sedini mungkin agar
calon partisipan dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk terlibat atau tidak
dalam penelitian.

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi boleh melakukan penelitian dengan


pengelabuan, teknik pengelabuan hanya dibenarkan bila ada alasan ilmiah, untuk
tujuan pendidikan atau bila topik sangat penting untuk diteliti demi pengembangan
ilmu, sementara cara lain yang efektif tidak tersedia. Bila pengelabuan terpaksa
dilakukan, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan bentuk-bentuk
pengelabuan yang merupakan bagian dari keseluruhan rancangan penelitian pada
partisipan sesegera mungkin; sehingga memungkinkan partisipan menarik data
mereka, bila partisipan menarik diri atau tidak bersedia terlibat lebih jauh.

Pasal 51 Penjelasan Singkat/Debriefing

(1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memberikan penjelasan singkat segera


setelah selesai pengambilan data penelitian, dalam bahasa yang sederhana dan istilah-
istilah yang dipahami masyarakat pada umumnya, agar partisipan memperoleh
informasi yang tepat tentang sifat, hasil, dan kesimpulan penelitian; agar Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan
persepsi atau konsepsi keliru yang mungkin dimiliki partisipan.

(2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang tepat


untuk mengurangi resiko atau bahaya jika nilai-nilai ilmiah dan kemanusiaan
menuntut penundaan atau penahanan informasi tersebut.

(3) Debriefing dalam penelitian dapat ditiadakan jika pada saat awal penelitian telah
dilakukan penjelasan tentang sifat, hasil, dan kesimpulan penelitian; agar Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan
persepsi atau konsepsi keliru yang mungkin dimiliki partisipan.

(4) Jika Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menemukan bahwa prosedur penelitian
telah mencelakai partisipan; Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil
langkah tepat untuk meminimalkan bahaya.

CONTOH KASUS PELANGGARAN

David Reimer, lahir di Kanada pada 22 Agustus 1965. Ia adalah seorang anak
laki-laki yang sehat dan normal. Ketika melakukan prosedur sirkumsisi (sunat) di usia
8 bulan, terjadi kesalahan prosedur yang mengakibatkan hampir sebagian penisnya
hancur karena alat potong yang digunakan. Khawatir akan keselamatan dan
kelangsungan hidup anaknya, orang tua David membawanya ke rumah sakit dan
bertemu dengan seorang psikolog yang dianggap ahli tentang perkembangan seksual
dari seseorang waktu itu, Dr. John Money. Sang Psikolog mengeluarkan keputusan
yang kontroversial namun dengan penjelasan singkat orang tua David menerima
saran Dr. Money. Dr. Money menyarankan kepada David untuk mengubah jenis
kelamin David menjadi perempuan, dengan memotong sisa penis David serta
merekonstruksinya menjadi vagina kemudian menyuntiknya dengan hormon
estrogen, kemudian mengganti namanya menjadi Brenda. Yang tidak diketahui orang
tua David adalah, Dr. Money sedang menjadikan David sebagai subyek penelitiannya
yang ingin membuktikan bahwa pola asuh yang menentukan identitas gender
seseorang, bukan faktor alami. Penelitian yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua
David dan David sendiri ini dianggap berhasil karena semua prosedur fisik berhasil
dilakukan oleh dokter dan perilaku David atau Brenda dilaporkan menjadi lebih
fenimin, meski sejak usia 22 bulan David harus buang air melewati sebuah lubang
yang dibuat di daerah perutnya. Hal ini berlangsung sampai usia Brenda 2 tahun. Ia
menolak mengenakan pakaian perempuan dan merobek semua pakaian yang
dikenakannya, ia menolak untuk bermain boneka dan lebih memilih bermain dengan
pistol mainan. Ia juga beberapa kali memprotes dan mempertanyakan kepada orang
tua dan gurunya bahwa ia merasa sebagai laki-laki. Dr. Money yang sedang meneliti
Brenda menolak permintaan orang tua Brenda untuk menjelaskan kepada Brenda
tentang identitas gendernya yang sebenarnya. Di usia 14 tahun setelah berbagai
pertimbangan dan saran dari psikolog lain dan pernyataan Brenda yang ingin
mengakhiri hidupnya di usia 13 tahun, orang tua Brenda memberitahukan kenyataan
tentang identitas Brenda yang sebenarnya. Brenda menerimanya dengan gembira dan
kembali melalukan operasi untuk mengubah kembali jenis kelaminnya menjadi laki-
laki, sementara Dr. Money tetap menolak untuk mengungkap identitas asli Brenda.
Meski akhirnya menikah dan mempunyai 3 anak tiri, Brenda yang sekarang kembali
menjadi David mengalami depresi dan trauma yang sangat dalam terkait eksperimen
yang dilakukan Dr. Money, kematian saudara kembarnya akibat overdosis, dan
mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Di usia 20-an kembali
ia mengeluarkan pernyataan ingin bunuh diri kepada ayahnya. Ia merasa ketakutan
dan terus terbayang akan eksperimen Dr. Money yang memaksanya untuk berpose
telanjang dan memperlihatkan gambar perempuan tanpa busana untuk memaksanya
meneriman bahwa dirinya adalah perempuan, bahkan memaksanya melakukan apa
yang disebut media sebagai “permainan seksual” dengan Dr. Money bersama dengan
saudara kembarnya. Tanggal 5 Mei 2004, pada usianya yang ke-30, David tidak
sanggup lagi menanggung semua beban kehidupan dan identitas barunya. Dengan
meninggalkan surat terakhir kepada istri dan psikolognya, David menembakkan
sebuah senapan ke mulutnya di sebuah tempat parkir di dekat rumahnya dan
mengakhiri semua kebimbangan, depresi, serta ketakutannya. Orang tua David serta
merta menyalahkan metode Dr. Money yang kontroversial yang mengakibatkan
kematian yang sangat menyedihkan anak laki-laki mereka dan membawa Dr. Money
ke pengadilan dengan tuntutan praktik illegal yang menyebabkan kematian seseorang.
Dr. Money meski akhirnya divonis bebas oleh pengadilan karena dinyatakan tidak
terbukti bersalah dan menyatakan menolak untuk terlibat dalam kejadian bunuh diri
David, tetap menjadi seorang yang sangat kontroversial, ditambah lagi dengan
pernyataan para ahli yang mengatakan bahwa sebenarnya Dr. Money telah gagal
melakukan eksperimen di masa kanak-kanak dari David tetapi tetap memaksakan
keinginannya untuk melanjutkan penelitiannya dan tidak bertanggung jawab atas
keselamatan dan tekanan psikologis yang diterima oleh David. Ditambah lagi
kenyataan bahwa Dr. Money dianggap telah menutup mata dan berbohong kepada
orang tua dan publik tentang perkembangan kasus David terutama penyataan David
tentang keinginanya untuk mengakhiri hidupnya.

ANALISA KASUS

Dalam kasus tersebut ditemukan banyak pelanggaran kode etik yang


dilakukan oleh psikolog Dr. Money dari awal dan selama pelaksanaan eksperimen,
yang berakibat akhir yang tragis dari David Reimer. Awal sesi Dr. Money tidak
memberikan penjelasan yang memadai dan menyeluruh kepada orang tua dari David.
Ia hanya memberikan penjelasan singkat yang membawa orang tua David menyetujui
proses eksperimen yang dilakukan Dr. Money. Padahal sebelum proses terapi
dilakukan, klien wajib diberitahu prosedur apa yang akan dilakukan, tujuan proses
ini, serta dampak yang akan dialami klien selama proses terapi dilangsungkan.

Tidak diberikannya inform consent kepada orang tua David menambah pelanggaran
yang dilakukan oleh sang dokter selama proses terapi berlangsung, sehingga David
tidak mempunyai pilihan lain dalam proses terapinya. Hal ini jelas melanggar kode
etik psikologi tentang penelitian antara lain pasal 48 mengenai partisipan penelitian
dan pasal 49 mengenai Informed Consent. Kekuatan yang dimiliki seorang psikolog
untuk menangani seorang klien, dimanfaatkan oleh Dr. Money untuk merekayasa
penelitian yang sedang dilakukannya untuk tujuan pribadinya sendiri dan
memanipulasi tujuan penelitiannya. Hal ini menlanggar kode etik psikologi pasal 50
yaitu pengelabuan/manipulasi dalam penelitian. Hal lain adalah Dr. Money terlalu
cepat memutuskan apa yang harus dilakukan kepada klien tanpa memikirkan dampak
yang akan dialami oleh kliennya. Dampak negatif dan trauma yang dialami oleh
David sebagai dampak dari berbagai percobaan bahkan kekerasan secara seksual
yang dialami oleh David. Hal ini juga melanggar kode etik psikologi pasal 48, dimana
psikolog diharuskan untuk melindungi partisipan penelitian dari konsekuensi yang
tidak menyenangkan. Dr. Money pun tidak mengindahkan pentingnya klarifikasi
dalam terapi, yaitu agar pasien dan terapis dapat bekerjasama untuk memastikan
lancarnya proses terapi. Dr. Money pun tidak melakukan pembinaan terhadap klien
selama proses terapi berlangsung, meski dengan alasan keluarga klien tidak datang
kembali, namun Dr. Money terlihat sama sekali tidak mencoba mendekati keluarga
dan menjelaskan betapa pentingnya selalu mengontrol dan mengawasi keberadaan
David setelah ia berganti jenis kelamin dan dampak sosial dan pribadi dari diri David
sendiri, Dr. Money sudah mengabaikan faktor personal dan lingkungan dalam kasus
ini. Hal ini melanggar kode etik psikologi pasal 51 tentang penjelasan
singkat/debriefing, yaitu penjelasan setelah selesai pengambilan data penelitian dan
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meluruskan persepsi partisipan setelah
ditemukan adanya hal yang mencelakai partisipan. Terakhir, tindakan pengabaian
yang dilakukan oleh Dr. Money menghasilkan akhir yang sangat menyedihkan bagi
David Reimer, yaitu tindakan bunuh diri. Kegagalan Dr. Money dalam
mengantisipasi pemikiran David untuk melakukan bunuh diri, menyebabkan kejadian
itu tidak dapat diketahui dan dicegah. Padahal, David dengan jelas sudah
menyebutkan rencanya untuk bunuh diri paling tidak dua kali, kepada ayahnya dan
kepada Dr. Money sendiri, serta keadaan David yang beberapa kali terlihat depresi
karena merasa tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
SOLUSI KASUS PELANGGARAN

Solusi yang dapat dilakukan yaitu melaporkannya kepada pihak berwajib


karena pelaksanaan malpraktek yang dilakukan yang berujung klien berakhir tragis
dan tidak sesuai prosedur yang memadai dan tidak memberitahukan kepada klien
dampak dari proses terapi yang dilakukan, dan merekayasa penelitian, telah
memanipulasi tujuan penelitian untuk kepentingan pribadi, bisa juga membuka
malpraktek tidak sesuai prosedur dan persyaratan untuk praktek nya juga tidak ada.
Hanya demi kepentingan diri sendiri untuk penelitiannya yang menyebabkan
pelanggaran kode etik pasal 48 partisipan penelitian yang dimana membahayakan
klien, pasal 49 informed consent yang dimana tidak memberitahukan dampak dari
praktek tersebut, pasal 50 pengelabuan/manipulasi dalam penelitian yang dimana
psikolog/ilmuwan psikologi tersebut menipu dan merekayasa praktek/penelitian
untuk kepentingan pribadi, dan juga pasal 51 tentang penjelasan singkat/debriefing,
yaitu penjelasan setelah selesai pengambilan data penelitian dan mengambil langkah-
langkah yang tepat untuk meluruskan persepsi partisipan setelah ditemukan adanya
hal yang mencelakai partisipan. Selain itu bisa melaporkannya kepada HIMPSI untuk
dapat ditangani lebih lanjut mengenai prosedur-prosedur persyaratan sesuai dengan
kode etik psikologi yang ada.

PENUTUP

KESIMPULAN

Pelanggaran kode etik psikologi bukanlah suatu hal yang bisa dianggap
remeh. Dalam memberikan pelayanan psikologi kepada Masyarakat, wajib mematuhi
peraturan yang ada dan etika psikologi. Bukannya malah membuka malpraktek yang
tidak bisa dipercaya dan juga tidak ada prosedur dan persyaratan yang mendukung
serta membahayakan klien dan seluruh masyarakat yang dimana pada pasal 48
partisipan penelitian yang dimana membahayakan klien, pasal 49 informed consent
yang dimana tidak memberitahukan dampak dari praktek tersebut, pasal 50
pengelabuan/manipulasi dalam penelitian, pasal 51 tentang penjelasan
singkat/debriefing, yaitu penjelasan setelah selesai pengambilan data penelitian dan
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meluruskan persepsi partisipan setelah
ditemukan adanya hal yang mencelakai partisipan.dan bisa melaporkannya kepada
HIMPSI untuk dapat ditangani lebih lanjut mengenai prosedur-prosedur persyaratan
sesuai dengan kode etik psikologi yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan
Psikologi Indonesia.

Pedhu. (2020). Isu-isu etika penggunaan tes psikologi dalam bimbingan konseling.
Diakses dari

http://conference.um.ac.id/index.php/bk3/article/view/312/282 pada tanggal


10 september 2023,pukul 19.05 WIB

Neil D. Brick MA Ed. (2003). The Alleged Ethical Violations of Elizabeth Loftus in
the Case of Jane Doe. From: http://ritualabuse.us/research/memory-fms/the-
alleged-ethical violations-of-elizabeth-loftus-in-the-case-of-jane-doe/

Kasus pelanggaran kode etik diakses dari


https://id.scribd.com/document/382851138/147529285-Kasus-pelanggaran-
Kode-etik-doc-doc pada tanggal 10 september 2023,pukul 19.50 WIB

Anda mungkin juga menyukai