Anda di halaman 1dari 13

KODE ETIK PSIKOLOGI BAB VIII

Dosen Pengampu: Titin Florentina Purwasetiawatik S.Psi., M.Psi., Psikolog

PENELITIAN DAN PUBLIKASI

DISUSUN OLEH:

AMALIA NAILA NATHANIA SAFIRA NINE MARCELITA


PRAMEISWARI SARRA
(4522091142) (4522091090) (4522091034)

UNIVERSITAS BOSOWA
FAKULTAS PSIKOLOGI
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan Makalah Penelitian dan Publikasi guna menyelesaikan tugas Kode Etik
Psikologi. Shalawat serta salam tidak lupa kami curahkan kepada nabi besar
Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam
yang terang benderang seperti saat ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada Dosen Kode Etik Psikologi kami, ibu Titin Florentina, S.Psi. M.Psi
Psikolog, yang telah membimbing dan mengarahkan kami untuk menyelesaikan
tugas ini.

Dalam menyelesaikan makalah ini kami telah berusaha mencapai hasil


yang sempurna. Tetapi kami tentunya hanya manusia biasa yang dapat melakukan
keasalahan sehingga menyebabkan adanya kekurangan dalam proses penyusunan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membantu
perbaikan makalah ini.

Makassar, __ Oktober 2022

Kelompok 6
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kode etik tidak terlepas dari setiap aktivitas profesional. Penyusunan kode
etik bertujuan untuk menetapkan standar perilaku atau pedoman bagi para
profesional, khususnya dalam hal ini di bidang Psikologi, dalam menjalankan
fungsinya dengan mengacu pada kesejahteraan orang-orang yang terlibat dalam
aktivitas tersebut. Tidak terkecuali dalam aktivitas penelitian ilmiah, di mana
kegiatan penelitian tersebut hampir selalu melibatkan manusia sebagai responden.
Guna melindungi hak dan kesejahteraan responden, serta melindungi peneliti dari
hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dan reputasinya sebagai
seorang profesional, maka disusunlah kode etik yang berfungsi sebagai safeguard
(pelindung), dan mengatur responsibility dari profesional yang bertindak sebagai
peneliti.
Dalam melakukan pengambilan data sebagai salah satu bagian dari
kegiatan penelitian, Graziano (2000) mengatakan bahwa seorang peneliti tidak
hanya melakukan persiapan yang bersifat teknis seperti memilih partisipan,
kontrol, pengukuran, dan sebagainya, namun juga melakukan persiapan yang
berkaitan dengan etika penelitian. Etika penelitian, dalam hal ini berkaitan dengan
bagaimana seorang peneliti akan memperlakukan organisme, manusia dan hewan,
untuk tujuan penelitian. Pedoman etika penelitian meliputi penelitian yang
dilakukan terhadap manusia maupun hewan, yang menekankan pada perlakuan
yang manusiawi dan sensitif terhadap partisipan yang seringkali menghadapi
berbagai tingkat risiko dan ancaman dalam menjalani prosedur penelitian.
Sebelum meminta kesediaan partisipan, peneliti harus yakin bahwa prosedur
penelitiannya telah sesuai dengan nilai-nilai etis.
Dalam kode etik yang mengatur aktivitas penelitian, terdapat isu-isu yang
terkait dengan deception (penipuan), invasion of privacy (pelanggaran terhadap
rahasia pribadi), dan hak partisipan untuk memperoleh informasi yang terkait
dengan penelitian serta kebebasan memilih, yang umum diterapkan. Deception
atau ‘penipuan’ umum dilakukan dalam penelitian meski sifatnya ringan,
misalnya ketika peneliti tidak memberitahukan maksud sebenarnya dari
treatment yang diberikan kepada responden. Invasion of privacy potensial terjadi
dalam penelitian yang melibatkan area sensitif yang terkait dengan penyesuaian
psikologis seperti perilaku seksual, sikap atau pikiran tertentu terhadap kelompok
sosial tertentu yang mungkin berdampak pada rasa aman secara sosial yang
dialami oleh responden, atau hubungan dengan pasangan. Akses peneliti terhadap
data rekam medis pasien atau data perkembangan prestasi belajar siswa yang
bersifat rahasia, juga berpotensi terhadap terjadinya pelanggaran tersebut. Hal
lainnya yaitu hak partisipan untuk memperoleh informasi yang terkait dengan
penelitian, menuntut peneliti untuk memperoleh persetujuan baik secara lisan
maupun tertulis mengenai kesediaan partisipan untuk berpartisipasi dalam
penelitian. Dalam hal ini, peneliti tidak diperkenankan untuk memaksa orang lain
untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian yang dilakukan.
Isu-isu tersebut di atas juga berkaitan dengan situasi-situasi dilematis yang
dihadapi peneliti dalam menjalankan kegiatan penelitian, di antaranya adalah
adanya konflik kepentingan. Di satu sisi, peneliti berupaya untuk memenuhi
tuntutan masyarakat akan solusi dari permasalahan yang terjadi, namun di sisi
lain, upaya yang ia lakukan untuk memperoleh solusi tersebut dapat melanggar
hak individu atas rahasia pribadi. Permasalahan moral (moral problem) juga
seringkali muncul, di mana dalam upaya memperoleh informasi yang akurat,
beberapa peneliti melakukan deception yang dapat membuat partisipan merasa
tidak nyaman. Selain itu, penelitian juga berpotensi menyebabkan partisipan
mengalami kerugian sebagai akibat dari partisipasinya tersebut. Untuk
mengurangi kerugian yang mungkin akan dialami oleh partisipan, maka
disusunlah kode etik penelitian sebagai pedoman bagi peneliti untuk
meminimalisir dampak yang merugikan terhadap partisipan.
Ilmu pengetahuan bukanlah pengalaman indvidu, tetapi merupakan
pengetahuan yang dimiliki bersama atas aspek fisik dan sosial. Publikasi sangat
esensial bahkan dapat menjadi acuan untuk menentukan siapa yang pertama
menemukan, tetapi kejadian plagiarisme perlu dicermati dalam berbagai bentuk.
Keterbukaan diperlukan, tetapi kejujuran dan saling menghargai harus dijunjung.
Informasi ilmiah yang akan disampaikan ke publik sebaiknya telah ditelaah
dahulu oleh para peer-reviewer.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penelitian

Satu dari berbagai kegiatan profesional yang dilakukan oleh psikolog dan
ilmuwan psikologi adalah melakukan penelitian. Penelitian merupakan salah satu
bidang esensial yang perlu dilakukan karena ilmu pengetahuan itu terus
berkembang. Bidang ini bukan hanya penting bagi ilmuwan psikologi, tetapi juga
bermanfaat untuk praktisi psikologi yang memanfaatkan temuan riset dalam
kegiatan praktik profesionalnya.

Etika seorang psikolog dan ilmuwan psikologi dalam melakukan


penelitian menjadi penting karena berbeda dengan aktivitas psikologi pada
umumnya yang langsung berhubungan dengan klien, penelitian melibatkan
konteks yang lebih umum sehingga penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran
etika dapat memberikan dampak yang lebih besar (Carol, Schneider, dan Wesley,
1985). Banyak bentuk penelitian yang berpotensi menghasilkan temuan penting
tetapi terbentur oleh isu etik dalam pelaksanaannya. Studi paling kontroversial
pernah dilakukan oleh Dr. Shiro Ishii (Unit 731) pada masa Perang Dunia II yang
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana manusia mampu bertahan terhadap
manipulasi biologis dan kimia. Tentu cara paling efektif adalah dengan
mengujicobakan berbagai bentuk virus dan rekayasa genetika pada manusia.
Itulah yang dilakukan oleh Dr. Ishii terhadap 3.000 orang yang menjadi tawanan.
Eksperimen ini dianggap sebagai salah satu eksperimen paling kejam yang pernah
dilakukan oleh manusia sepanjang sejarah. Lantas apakah hasilnya bermanfaat?
Sangat bermanfaat. Namun, apakah sebanding dengan resikonya? Tidak sama
sekali. Oleh karena itu, prinsip etika umum yang perlu dipegang oleh setiap ahli
profesi, apapun bidangnya, sebetulnya sederhana, yaitu “do no harm”. Saat ini,
meski berbagai kode etik psikologi sudah ditetapkan dan terus diperbarui,
pelanggaran terhadap etika penelitian kerap ditemukan, sekalipun tidak selalu
tampil dalam kasus besar fenomenal.
B. Etika dalam Merekrut Partisipan Penelitian

Prinsip etika paling awal yang perlu dipikirkan dalam melakukan


penelitian adalah pertimbangan etis dalam merekrut partisipan. Prinsip etik
penting yang perlu ditetapkan dalam merekrut partisipan adalah prinsip otonomi
(dimana partisipan berhak menentukan secara sukarela partisipasinya dalam
studi), prinsip mengapresiasi hak-hak manusia (dimana partisipan dilindungi hak
dan privasinya), serta prinsip kedermawanan (dimana setiap usaha perlu dilakukan
untuk meminimalisasi potensi bahaya pada partisipan di tengah upaya
mengoptimalkan studi) (Scott-Jones, 2000).

Isu etis pertama terkait rekrutmen partisipan adalah iklan atau undangan
untuk berpartisipasi dalam studi. Umumnya, iklan atau undangan untuk
berpartisipasi dalam studi menggambarkan apa tujuan studi dan kaulifikasi apa
yang diperlukan untuk berpartisipasi. Hal ini juga berlaku ketika prosedur
peneglabuan diperlukan, di mana partisipan tetap perlu tahu dan mendapat
informasi tentang studi secara umum. Terkait waktu partisipasi, cukup banyak
dijumpai studi yang desainnya tidak cukup efektif untuk menjawab pertanyaan
penelitian sehingga waktu partisipan pun terbuang sia-sia (Pomerantz, 1994).
Studi seperti ini biasanya tetap lolos dalam uji etik karena metodenya dianggap
tidak membahayakan.

Isu etis kedua adalah imbalan titik sejumlah studi memberikan imbalan
uang yang sangat besar untuk menarik minat berpartisipasi titik sangat penting
bagi peneliti untuk tidak mengeksploitasi calon-calon partisipan yang karena
kondisi ekonominya akan kesulitan untuk menolak berpartisipasi sekalipun
partisipasinya berisiko. Analisis perhitungan pemberian imbalan perlu dilakukan
dengan mempertimbangkan risiko, waktu, dan upaya yang dikeluarkan oleh
partisipan untuk berpartisipasi dalam studi titik dalam studi studi medis, imbalan
finansial yang diberikan bisa sangat besar titik misalnya, pada tahun 2019 sebuah
pusat riset vaksin di Australia memberikan jumlah imbalan yang bisa mencapai
3000 dolar Australia dalam (sekitar 30 juta rupiah). Namun, imbalan ini dianggap
sepadan dengan risiko dan upaya yang harus dikeluarkan oleh partisipan,
mencakup waktu rawat inap yang dihabiskan oleh partisipan saat dimonitor
kesehatannya selama dua hingga lima hari dan risiko kesehatan yang mungkin
muncul akibat reaksi tubuh terhadap vaksin yang diberikan. Sebaliknya, untuk
sebuah studi berbasis kuesioner terhadap masyarakat umum yang hanya
membutuhkan waktu 20 menit, imbalan hingga berjuta-juta rupiah dapat menjadi
berlebihan.

Ketiga, isu etis dapat muncul ketika menjadikan mahasiswa sebagai


partisipan titik studi yang menggunakan mahasiswa sebagai subjek penelitian juga
dapat menimbulkan isu etik. Misalnya, imbalan nilai (seberapapun proporsinya)
bagi mahasiswa yang berpartisipasi dalam studi dapat menjadikan partisipasi studi
sebagai paksaan. Dalam code of conduct APA (2010), Pasal 8.04d, disebutkan
dengan jelas bahwa imbalan partisipasi studi yang ditawarkan kepada mahasiswa
perlu menyertakan alternatif yang sepadan bagi siswa yang tidak ingin
berpartisipasi.

Keempat rekrutmen partisipan juga perlu didasari oleh pertimbangan


risiko dan mitigasi risiko dari keikutsertaan dalam studi titik penjelasan mengenai
risiko studi perlu diberitahukan kepada individu sebelum berpartisipasi titik begitu
pula langkah-langkah untuk memitigasi risiko perlu diinformasikan kepada
partisipan titik misalnya, partisipasi terhadap studi wawancara mengenai
pengalaman kekerasan dalam rumah tangga. Selama wawancara, pengalaman
tentang KDRT kembali diingat dan ini dapat mengaktifkan gejolak emosi negatif.
Oleh karena itu, untuk studi demikian, partisipan perlu diberikan informasi
mengenai layanan konseling yang dapat ia akses jika mengalami permasalahan
psikologis pasca berpartisipasi.

Kesimpulannya, rekrutmen studi yang etis adalah yang tidak


menggunakan pendekatan paksaan memanfaatkan waktu yang sudah
didedikasikan oleh partisipan dengan optimal, dan mempertimbangkan
kesejahteraan psikologis partisipan pasca berpartisipasi.

a. Informed Consent dalam Penelitian


Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 49
Code of Conduct (APA): Pasal 8.02-8.03, 8.05
Hal yang wajib ada dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh psikolog
terhadap klien, tidak terkecuali dalam penelitian, adalah informed consent.
Konsep tentang informed consent pertama kali digunakan dalam dunia
kedokteran pada saat akan melakukan tindakan medis (Carrol, Schneider,
dan Wesley, 1985).
Informed consent merupakan surat kontrak berisi informasi tertulis
dengan bahasa yang mudah dipahami tentang penelitian yang akan
dilakukan (Pomerantz, 2011). Partisipan diminta untuk menandatangani
surat tersebut jika bersedia berpartisipasi dalam penelitian karena bersifat
kontrak. Namun, biasanya dalam informed consent diberitahukan pula
bahwa partisipan bebas untuk keluar dan menarik kesediaannya untuk
berpartisipasi dalam penelitian kapanpun dirinya merasa tidak nyaman
(diatur dalam pasal 48 ayat 3 kode etik psikologi Indonesia). Sebuah
informed consent yang dianggap valid adalah yang diinformasikan dengan
jelas sesuai kompetensi masing-masing pihak, serta disetujui secara
sukarela atau bukan dengan paksaan (Carrol, Schneider, dan Wesley,
1985).
Informed consent juga menjadi bentuk kesepakatan antara
partisipan dengan peneliti, di mana partisipansetuju untuk menoleransi
berbagai konsekuensi yang muncul akibat partisipasinya dalam studi,
mencakup kebosanan, pengelabuan, dan ketidaknyamanan demi kemajuan
ilmu pengetahuan (misalnya kau merasa sakit karena jarum suntik) di
mana di sisi lain peneliti menjamin keselamatan dan kesejahteraan
partisipan. Setiap penelitian tentu mengandung risiko. Secara umum risiko
penelitian dapat dibagi menjadi dua:
1. Berisiko minimal (low/minimal risk), artinya risiko yang
ditimbulkan tidak lebih dari ketidaknyamanan yang biasa
dialami oleh partisipan kesehariannya. Misalnya, kelelahan
membaca dan menulis respons dalam survei atau rasa bosan
akibat aktivitas studi.
2. Berisiko (greater than low/minimal risk), artinya risiko yang
ditimbulkan tidak lebih dari ketidaknyamanan yang biasa
dialami oleh partisipan di kesehariannya. Misalnya, rasa frustasi
dan tertekan akibat topik studi yang menstimulasi memori
tertentu serta risiko kesehatan fisik dan mental di kemudian hari.

Dalam Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI, 2010) maupun


Code of Conduct (APA, 2010) ditentuka bahwa lembar informed consent
perlu mencantumkan hal-hal sebagai berikut.

1. Tujuan penelitian.
2. Jangka waktu penelitian.
3. Prosedur penelitian.
4. Antisipasi keikutsertaan, seperti risiko yang mungkin timbul,
ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya.
5. Keuntungan yang mungkin diperoleh dari penelitian.
6. Hak untuk menolak berpartisipasi atau mengundurkan diri.
7. Konsekuensi dari penolakan berpartisipasi atau mengundurkan
diri.
8. Kerahasiaan data dan keterbatasannya.
9. Insentif bagi partisipan.
10. Orang-orang yang dapat dihubungi untuk memperoleh
informasi lebih lanjut.

Meminta partisipan untuk menyepakati informed consent dapat


menjadi tantangan jika calon partisipan adalah anak-anak; bahasa
partisipan berbeda dengan bahasa peneliti atau bahasa penulisan inform
consent (Miller, 2008); dan partisipan memiliki keterbatasan fisik atau
mental untuk memahami informed consent. Jika berhadapan dengan
kondisi-kondisi ini maka psikolog atau ilmuwan psikologi harus
memastikan bahwa esensi informed consent diterima, dipahami, dan
disepakati calon partisipan. Jika partisipan memiliki keterbatasan khusus
yang membuatnya tidak mampu memahami dan/atau menandatangani
lembar informed consent maka psikolog atau ilmuwan psikologi harus
memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan dari pihak
berwenang yang mewakili partisipan.

Walau demikian, ada tiga jenis kegiatan penelitian yang


diperbolehkan untuk tidak menggunakan informed consent:

1. Penyebaran kuesioner anonim (sama sekali tidak mengambil


informasi identitas partisipan).
2. Observasi alamiah
3. Penelitian arsip

Untuk penelitian observasi alamiah (nonlaboratorium), dengan


tidak menggunakan informed consent justru melindungi subjek studi dari
perasaan gugup, cemas, dan tertekan karena mengetahui dirinya diamati
(Herrera, 1999). Alhasil mengantisipasi kemungkinan tidak efektifnya
studi karena prosedur informed consent, pedoman umum mengenai riset di
Amerika Serikat pun mengizinkan tidak digunakannya informed consent
sepanjang 3 kondisi ini terpenuhi (Fishcman, 2000):

1. Studi mengandung risiko minimal.


2. Hak-hak dan kesejahteraan partisipan tetap diperhatikan.
3. Studi tidak memungkinkan untuk dilakukan jika inform consent
diminta kepada partisipan.
b. Efektivitas Informed Consent

Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari


sebuah informed consent dalam suatu penelitian dengan membandingkan
apakah informed consent yang lengkap (atau ringkas) atau yang
ditandatangani (atau yang hanya dibaca) yang lebih efektif (Mann, 2006).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa informed consent yang
menguraikan prosedur serta hal-hal lainnya dengan lebih lengkap
cenderung kurang dimengerti daripada informed consent yang hanya
merangkum poin-poin penting yang relevan.

Di samping itu, partisipan yang menandatangani informed consent


juga terbukti tidak memahami aspek-aspek penting dari penelitian yang
tercantum dalam lembar tersebut, mencakup risiko, keuntungan, serta
prosedur penelitian. Mengingat lembar tersebut dianggap tidak valid jika
informasinya tidak dipenuhi maka dapat diindikasikan bahwa ada cukup
banyak penelitian yang tidak memiliki informed consent yang valid.

Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa menandatangani


informed consent untuk membuat partisipan merasa bahwa ia tidak lagi
berhak untuk menyalahkan atau menuntut peneliti atas apapun yang
terjadi. Hal ini tidak terjadi pada partisipan yang membaca, tetapi tidak
menandatangani informed consent.

Anda mungkin juga menyukai