Anda di halaman 1dari 4

BAB 1: PENDAHULUAN

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) pada tahun


2000, penyakit scabies (gudik) menduduki peringkat ke 12 penyakit yang paling sering
menjangkit masyarakat Indonesia. Scabies adalah salah satu jenis Penyakit Berbasis
Lingkungan (PBL) yang menyerang kulit dan bersifat menular yang biasa ditemukan
pada tempat yang padat penduduk dan lingkungan yang kurang higienis. Handoko
(2010) menyatakan scabies dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya
tingkat ekonomi, higienisitas yang buruk, hunian padat, promiskuitas seksual, tingkat
pengetahuan, usia dan kontak dengan penderita baik langsung maupun tidak langsung.
Penyebab penyakit ini adalah spesies tungau yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang.
Spesies ini disebut sebagai Sarcoptes scabiei dan penyakitnya disebut scabies (Nugraheni,
2008). Scabies tidak membahayakan manusia, gejala utama yang dirasakan adalah gatal

dan mengganggu produktivitas dan aktivitas. Bagian tubuh yang terserang adalah
lipatan kulit bagian tangan, kaki, dan selangkangan dimana terdapat kulit yang tipis dan
lembab.
Scabies identik dengan penyakit pondok pesantren. Bahkan ada anekdot yang
menyebar di kalangan para santri, bahwa seorang santri belum disebut mondok jika
belum terkena penyakit gudik (scabies) di pondok pesantren. Pondok pesantren
merupakan salah satu sarana pendidikan dengan kepadatan hunian yang tinggi, hal ini
menjadikan pesanten sebagai tempat yang cocok untuk berkembangbiaknya scabies.
Didukung oleh Djuanda (2010) dengan kondisi pondok pesantren yang memiliki
sanitasi buruk, dan ruangan terlalu lembab serta kurangnya paparan sinar matahari
secara langsung menyebabkan tingginya angka prevalensi scabies di pondok pesantren.
Penyebab umum tingginya penderita scabies pada santri di pondok pesantren
adalah kurangnya penerapan Perilaku Hidup Sehat dan Bersih (PHBS) seperti kurang
menjaga kebersihan lingkungan, kebersihan badan, kebersihan kuku, menggantung
pakaian di dalam kamar, tidak menjemur pakaian di bawah terik matahari, dan saling
bertukar pakai barang pribadi, seperti pakaian, alat mandi, sisir, dan handuk.
Berdasarkan argumen yang telah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
penyakit scabies memiliki hubungan yang erat dengan penyakit pondok pesantren.
Namun, berdasarkan faktanya pendapat ini tidak sesuai dengan fenomena yang terjadi di
Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya khususnya pada asrama putri. Di
Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya khususnya pada asrama putri, jarang
sekali ditemukannya kasus Santriwati yang terserang penyakit scabies atau gudik.
Jarangnya Santriwati yang terserang scabies disebabkan dengan adanya sumber air
dengan kandungan garam yang tinggi, yang memiliki banyak manfaat khususnya
terhadap pencegahan dan pengobatan penyakit kulit seperti scabies yang lebih akrab
disebut dengan “Air Asinan”, di asrama putri. Hal ini didukung oleh Noir (2013) yang
menyatakan bahwa air larutan garam memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, salah
satunya untuk mengobati dan mencegah penyakit kulit akut maupun kronis. Adapun
tujuan ujuan dari esai ini adalah mendukung penggunaan air asinan sebagai media
pencegahan penyakit scabies (gudik).

BAB 2: ISI

Scabies atau gudikan adalah penyakit gatal - gatal disebabkan oleh hewan
sejenis tungau atau kutu yang menyebabkan ruam kemerahan pada kulit yang
menyerang kependudukan yang padat seperti pada pondok pesantren. Scabies umumnya
terjangkit pada santri yang kurang menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). Menurut Departemen Kesehatan RI, PHBS merupakan sekumpulan perilaku
yang dipraktikan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan
seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan
aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya. Beberapa sifat buruk yang susah
ditinggalkan oleh para santri yaitu kebiasaan kurang menjaga personal higiene, menjaga
kebersihan lingkungan, dan menjaga asupan nutrisi mereka (Raqith, 2007).
Banyaknya kasus scabies yang menjangkit santri membuat scabies menjadi
penyakit yang identik dengan penyakit pondok pesantren. Namun, pendapat tersebut
bertolakbelakang dengan fenomena santriwati PP. Amanatul Ummah Surabaya yang
jarang terjangkit scabies. Berdasarkan wawancara dengan Ketua Santri Husada Putri
PP. Amanatul Ummah mengatakan, “Selama lima tahun tinggal di asrama putri, jarang
sekali saya menemukan adanya kasus scabies yang menjangkit santriwati”. Hal ini
didukung juga dengan hasil wawancara penulis terhadap pihak Poliklinik PP. Amanatul
Ummah Surabaya yang menyatakan bahwa dari sekitar seribu santri PP. Amanatul
Ummah, hanya terdapat 3% saja yang terkena scabies. Rata-rata dari 3% santri yang
terkena scabies adalah santriwan, sedangkan santriwati yang terkena scabies diketahui
sangat sedikit jumlahnya.
Dengan adanya hubungan yang erat antara penerapan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) dengan penyakit scabies, tentulah pencegahan penyakit scabies di
pondok pesantren umumnya adalah dengan memperbaiki Perilaku Hidup Sehat dan
Bersih (PHBS) pada santriwan atau santriwatinya. Namun, Pondok Pesantren Amanatul
Ummah Surabaya khususnya asrama putri memiliki cara sendiri terhadap pencegahan
dan pengobatan penyakit scabies disamping dengan memperbaiki Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS).
Jarangnya santriwati yang terkena scabies di asrama putri PP. Amanatul Ummah
Surabaya dikarenakan adanya sumber air dengan kandungan garam yang tinggi yang
biasanya disebut dengan “Air Asinan”. Ketua Santri Husada Putri PP. Amanatul
Ummah mendukung argumen tersebut dengan mengatakan “Air Asinan di asrama putri
PP. Amanatul Ummah Surabaya umumnya dimanfaatkan oleh Santriwati untuk
mencegah penyakit scabies. Sedangkan Santriwati yang sudah terkena scabies
memanfaatkan Air Asinan secara berkala dengan berwudhu dan mandi secara teratur
dengan sebagai media mengobatan penyakit scabies”.
Air Asinan adalah salah satu sumber air di PP. Amanatul Ummah Surabaya yang
mengandung kadar garam yang tinggi. Kandungan garam (NaCL) yang tinggi pada air
asinan bersumber dari serapan air laut. Natrium dan Klorida (NaCl) yang terkandung
dalam rendam air garam dianggap mampu memberikan efek pencegahan dan
kesembuhan terhadap penyakit kulit. Argument ini didukung oleh Kim (2015) yaitu
rendam air garam dengan kandungan NaCl yang tinggi dapat mempercepat proses
penyembuhan luka dibuktikan dari beberapa penelitian terkait air laut yang menunjukan
pengaruh dalam peningkatan penyembuhan luka. Didukung juga dengan argument
tambahan dari Noir (2013) yang menyatakan rendam air garam memiliki banyak
manfaat bagi kesehatan, salah satunya untuk mencegah dan mengobati penyakit kulit
akut maupun kronis. NaCl merupakan isotonik dan juga garam fisiologis yang baik
digunakan untuk pembersih, pembasuh dan kompres yang dapat berpengaruh terhadap
proses pencegahan dan pengobatan luka (Rosyadi, 2008).
Berdasarkan peneliian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa air dengan
kandungan garam yang tinggi seperti air asinan di asrama putri PP. Amanatul Ummah
Surabaya mampu mencegah bahkan menyembuhkan penyakit scabies.

BAB 3: KESIMPULAN

Pencegah dan pengobatan penyakit scabies di pondok pesantren umumnya


dengan memperbaiki Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada Santriwan atau
Santriwatinya. Disamping dengan memperbaiki Perilaku Hdup Bersih dan Sehat,
pencegahan dan pengobatan Scabies dapat dilakukan dengan memanfaatkan air dengan
kandungan garam yang tinggi seperti pada PP. Amanatul Ummah Surabaya yang
memanfaatkan air asinan untuk pencegahan dan pengobatan scabies.
Fenomena Santriwati PP. Amanatul Ummah Surabaya yang jarang terserang
scabies atau gudik dikarenakan adanya sumber air garam yang tinggi atau air asinan,
yang berasal dari serapan air laut, pada asrama putri PP. Amanatul Ummah Surabaya.
Dukungan terkait fenomena tersebut ditunjukan oleh penelitian-penelitian oleh Kim
(2015), Noir (2013), dan Rosyadi (2008) membenarkan argumen penulis terkait
dukungan terhadap pencegahan dan penyembuhan penyakit scabies dengan air asinan.

Anda mungkin juga menyukai