Anda di halaman 1dari 6

Saleh Q3

Pada 11 Juli hari ini, dunia memperingati hari kependudukan sedunia, yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 11 Juli 1989. Penetapan
itu bertepatan dengan jumlah penduduk bumi saat itu yang mencapai 5 Milyar jiwa.
Hari Kependudukan Sedunia merupakan agenda tahunan yang dirayakan setiap 11
Juli untuk meningkatkan kesadaran mengenai kondisi jumlah penduduk bumi saat
ini.
Adapun jumlah penduduk dunia terkini, menurut Laporan Prospek Populasi Dunia
2022 yang disampaikan PBB, dilaporkan telah mencapai 8 milyar jiwa pada 15
November 2022 tahun lalu.
Dari data tersebut, diperkirakan setiap tahunnya ada pertambahan penduduk sekitar
90,91 juta jiwa setiap tahunnya di bumi.
Berdasarkan angka pertumbuhan penduduk, nampak bahwa ada ketakutan negara-
negara di dunia terhadap pertambahan penduduk bumi. Walaupun di negara-negara
tertentu, justru terjadi pengurangan jumlah penduduk dari tahun ke tahun, seperti:
Jepang, Bulgaria, Lithuania, Latvia, Ukraina, Serbia, Bosnia dan Herzegovina.
Adapun di Indonesia, hingga saat ini masih menduduki peringkat keempat sebagai
negara dengan penduduk terbanyak di dunia. Berada di bawah China, India, dan
Amerika Serikat.
Kekhawatiran PBB dan sejumlah negara di dunia adalah bilamana penduduk bumi
ini mengalami pertambahan jumlah yang tidak bisa dikendalikan. Pertambahan
tersebut diyakini akan menyebabkan berkurangnya ketersediaan makanan,
berkurangnya lahan tempat tinggal, menurunnya ketersediaan air bersih, termasuk
memburuknya lingkungan hidup dan sulitnya pembiayaan pendidikan dan
kesehatan.

Daya Tampung Dunia


Pada tahun 1679, Antoni van Leeuwenhoek, seorang saintis dan penemu
mikroskop, memperkirakan bahwa bumi ini dapat menampung sebanyak 13,4 miliar
jiwa.
Sementara itu Joel E. Cohen (Kepala Laboratorium Populasi di Universitas
Rockefeller dan Universitas Columbia di New York City) membuat juga simulasi.
Berdasarkan penelitian selama lebih dari 40 tahun, dengan mengumpulkan 65
perkiraan, ia menyimpulkan bahwa bumi dapat menghidupi populasi manusia dari
jumlah 1 miliar hingga 1 triliun jiwa.
Akan tetapi Mahatma Gandhi dalam pernyataannya yang sangat popular,
menyatakan bahwa "Bumi mampu menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan
setiap orang, namun tidak akan cukup memenuhi kebutuhan untuk setiap orang
yang serakah".
Itu artinya sepanjang bumi ini dikelola dengan tertib, maka dengan jumlah penduduk
sebanyak apapun tidak akan menjadi masalah, namun walaupun dengan jumlah
penduduk yang sedikit, jika bumi ini dikelola dengan keserakahan, maka akan selalu
menjadi masalah.
Dilema Bonus Demografi
Sejak tahun 2020 sampai dengan 2035, Indonesia mengalami apa yang disebut
dengan Bonus Demografi. Atas peluang ini, muncul suatu harapan di tanah air, dan
negara membangun optimisme dengan istilah: Indonesia Emas 2035.
Bonus demografi ini artinya adalah jumlah usia kerja (usia 15 – 64 tahun) akan lebih
banyak, sekitar 69,3%, dan sekitar 30,7% sisanya adalah anak-anak dan usia lanjut,
yang sudah tidak bisa bekerja.
Puncaknya bonus demografi diperkirakan pada tahun 2028-2030.
Dalam 15 tahun ke depan, ada sekitar 4 kali pemilihan presiden. Hasilnya akan
menentukan kualitas kehidupan di negara kita nanti.
Jika bonus kependudukan ini bisa termanfaatkan dengan baik, menghasilkan
generasi emas, yakni memiliki iman dan taqwa serta penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang unggul, maka negeri kita berpeluang mendapatkan keberkahan
yang luar biasa.
Namun, sebaliknya, jika peluang kependudukan ini gagal dimanfaatkan dengan baik,
maka berpotensi menghasilkan pertambahan jumlah pengangguran, kemiskinan,
kelaparan, lalu kejahatan dan kemaksiatan bisa terjadi di mana-mana.

Bonus Demografi, Akankah Gagal?


Bonus demografi selain menjadi peluang, juga menjadi ancaman. Beberapa negara
pun gagal memanfaatkannya, seperti Brazil dan Afrika Selatan. Keduanya disebut
gagal dalam memanfaatkan bonus demografi. Secara umum, disebabkan keduanya
kurang merencanakan dan mempersiapkan penduduknya dalam menghadapi bonus
demografi.
Gambaran kondisi Indonesia ke depan akan terlihat dari kondisi kebijakan
pendidikan yang sementara berjalan serta beberapa periode politik ke depan ini.
Kenapa demikian?
Karena kebijakan pendidikan itu adalah mission statement-nya negara. Kebijakan
pendidikan hakekatnya adalah proses yang menunjukkan apa maunya negara
terhadap warga negaranya.
Jika generasi-generasi kita kesulitan melanjutkan sekolahnya atau jika anak-anak
usia sekolah banyak yang mengalami putus sekolah, maka ini adalah pertanda
pertama bagi negara kita akan berpotensi gagal mempersiapkan bonus
kependudukan saat ini.
Kemudian pertanda kegagalan yang kedua adalah jika proses pendidikan di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi gagal mewujudkan generasi-generasi saleh.
KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal dengan Gus Mus pernah
mempopulerkan istilah saleh ritual dan saleh sosial.
Saleh ritual merujuk pada ibadah yang dilakukan dalam konteks memenuhi
haqqullah dan hablum minallah seperti shalat, puasa, haji dan ritual lainnya.
Sementara itu, istilah saleh sosial merujuk pada berbagai macam aktivitas dalam
rangka memenuhi ‘haqul adami’ dan menjaga ‘hablum minan nas’.
Namun, untuk menjadi negara hebat secara komplet, maka diperlukan ‘saleh ilmiah’,
meliputi etos kerja, inovasi dan sikap ilmiah lainnya. Dalam rangka memenuhi hak
berkarya yang mabda’i (Islam ideologis).
Kenapa kesalehan ini penting?
Tidak sedikit Profesor dan Doktor yang telah digunakan jasanya mengelola
pembangunan di negara ini, tapi tidak sedikit pula yang pada akhirnya terlibat dalam
kejahatan.
Apa penyebabnya?
Mereka tidak terikat penuh dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Allah SWT.
Bukankah tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana UU No. 20 Tahun 2003 tentang
SISDIKNAS adalah “…untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri…”
Adapun pertanda kegagalan yang ketiga adalah ketika pendidikan kita tidak
menghasilkan generasi-generasi yang memiliki kemampuan inovasi teknologi yang
hebat. Bisa jadi dsisebabkan karena terbatasnya sarana dan prasarana serta
kesempatan yang disediakan oleh negara untuk mereka.
Bagian inilah yang masuk pada kategori saleh ilmiah di atas.
Jika ini terjadi, maka negara kita akan tertinggal jauh, jangankan bersaing dengan
Amerika Serikat, China, dan Jepang. Bahkan saat ini berdasarkan peringkat Global
Innovation Index (GII) 2021, Indonesia berada pada peringkat 7 dari 9 negara
ASEAN, masih kalah dengan Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan
Brunei Darussalam.

Reorientasi Perspektif Pembangunan


Dalam rangka memperbaiki fundasi, kerangka, dan isi pembangunan di negeri-
negeri kaum muslimin, diperlukan refleksi yang maju dalam memahami esensi
pembangunan.
Selama ini pembangunan di negeri-negeri kaum muslimin memaksakan cetak biru
lembaga-lembaga dunia semisal PBB dan berbagai lembaga internasional lainnya.
Berdasarkan beragam teori dari para ahli Barat. Padahal sudah puluhan tahun
dipraktekan, tetapi tak kunjung berhasil sebagaimana yang dicita-citakan.
Dalam jangka panjang tidak hanya menjadi ajang inkubasi bagi permasalahan di
dunia Islam, tetapi secara individu mengancam lebih dari 2 Milyar manusia untuk
keselamatan mereka di akhirat kelak, karena tidak sedikit dari kebijakan-kebijakan
pembangunan itu menyalahi prinsip-prinsip dasar dalam Islam.
Penting kiranya bagi para pimpinan, pejabat, dan seluruh warga negara untuk
bersegera sadar atas kekhilafan mereka dalam pembangunan, sebagaimana telah
diingatkan Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 11-12,

َ ‫ض قَالُوا ِإنَّ َما نَحْ ُن ُمصْ لِح‬


,‫ُون‬ ِ ْ‫يل لَهُ ْم اَل تُ ْف ِس ُدوا فِي األر‬
َ ِ‫َوِإ َذا ق‬
َ ‫َأال ِإنَّهُ ْم هُ ُم ْال ُم ْف ِس ُد‬
َ ‫ون َولَ ِك ْن اَل يَ ْش ُعر‬
‫ُون‬
Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka
bumi:" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang melakukan
perbaikan (pembangunan)." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang
yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak menyadarinya.
Oleh karena itu, mari kita menyadari, bahwasanya tidak ada pembangunan dan
perbaikan yang sebenarnya pada bumi maupun negeri-negeri kaum muslimin, jika
tidak didasarkan kepada Islam.
Boleh jadi kita melihat aneka kemajuan pembangunan di berbagai tempat: ada
bangunan mewah, jalan layang dan pencakar langit. Tapi, tidak sedikit yang isinya
adalah kemaksiatan-kemaksiatan, karena tiadanya keberkahan.

Islam dan Kualitas Manusia


Negeri kita akan kesulitan mewujudkan generasi emas pada tahun 2035, jika negara
tidak merencanakannya untuk menghasilkan generasi-generasi yang saleh.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa orang saleh tidak hanya
memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Tetapi secara sosial memiliki
karya yang bermanfaat bagi manusia lainnya, untuk amal jariyahnya.
Sementara itu, Imam Al-Baghawi menggambarkan orang saleh adalah sebagaimana
sosok para sahabat Rasulullah SAW.
Para sahabat Rasulullah SAW digambarkan laksana rahib Yahudi di malam hari dan
laksana prajurit di siang hari. Mereka menghabiskan malam hari untuk beribadah
kepada Allah SWT. Dan pada siang hari mereka dikisahkan sebagai pekerja keras
yang serius mengurus kebutuhan dunianya.
Dalam sebuah HR Bukhari-Muslim, Rasulullah SAW bersabda,

َ ‫ين يَلُونَهُ ْم ثُ َّم الَّ ِذ‬


‫ين يَلُونَهُ ْم‬ َ ‫اس قَرْ نِي ثُ َّم الَّ ِذ‬
ِ َّ‫َخ ْي ُر الن‬
Sebaik-baiknya manusia adalah (yang berada) pada masaku (yakni generasi
sahabat) kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya.
Alhasil, karena kesalehannya generasi para sahabat itulah yang menjadi modal
utama menaklukan Romawi dan Persia. Pada masanya kedua negara tersebut
seumpama kekuatan Amerika Serikat dan Rusia saat ini.
Intermesso: Ada Apa dengan Jepang, Korea, dan China?
Jepang berhasil memanfaatkan bonus demografinya pada tahun 1970-an untuk
menjadi negara yang maju di Asia.
Korea Selatan juga berhasil memanfaatkan bonus demografinya pada tahun 1990-
2000an untuk tumbuh dengan sangat pesat dan bahkan dalam banyak kompetisi
bisa mengalahkan Jepang.
Lalu China juga berhasil memanfaatkan bonus demografinya pada tahun 2010-an
hingga sekarang untuk menjadi raksasa dunia di dalam ekonomi.
Sejumlah teknologi penting di dunia berasal dari ketiga negara tersebut, mulai dari
HP, peralatan rumah tangga hingga kendaraan bermotor.
Pertanyaannya: Kenapa negara-negara itu menjadi hebat memanfaatkan bonus
demografinya walaupun tidak menghasilkan generasi saleh sebagaimana kriteria
Islam?
Jawabannya: justru mereka itu mengambil sebagian ciri ideal dari generasi muslim,
yang memiliki kehendak yang tinggi untuk menghasilkan karya yang bermanfaat
untuk manusia di dunia.
Mereka menerapkan prinsip-prinsip karya yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Seperti keadilan sosial, perlindungan hak-hak bernegara, dan tata pemerintahan
yang baik, dan prinsip-prinsip kemajuan. Ini mirip sebagaimana digambarkan dalam
Islamicity Index. Negeri-negeri non muslim dinilai lebih Islami dibandingkan dengan
negeri-negeri muslimin
Indeks Inovasi Global (GII) 2022 yang mengukur 132 negara di dunia yang
dilaporkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO). Dalam laporannya
melakukan pemeringkatan berdasarkan kriteria teknologi, modal manusia, institusi,
input dan output, hingga inovasi bisnis dan pasar.
GII 2022 menempatkan Swiss sebagai peringkat pertama. Korea Selatan, China,
dan Jepang masing-masing berada pada peringkat: 6, 11, dan 13. Adapun Indonesia
berada di posisi 75.
Negara-negara tersebut menjadi generasi yang disiplin, memiliki etos kerja yang
tinggi, inovatif dan berjiwa kompetitif. Yang kurang dari mereka adalah kesalehan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni Allah SWT.
Bagaimana dengan Generasi Muslim?
Pada umumnya generasi kaum muslimin, hampir bermasalah pada kesalehan
spiritual, sosial, dan ilmiah.
Tidak disiplin dan berdaya saing tinggi dalam bekerja, juga kurang terikat pada
hubungannya dengan Allah SWT. Kemudian secara literasi, pada tahun 2019,
sebanyak 65 persen masyarakat muslim Indonesia tidak bisa membaca kitab suci
Al-Quran.
Andai kita mengklasifikasikan kesan kita terhadap kesalehan spiritual, sosial, dan
ilmiah dari indeks yang ada, secara umum masih rendah. Walaupun Islamicity Index
tidak bisa menggambarkan secara lengkap keberislaman berdasarkan prinsip-
prinsip dasar Islam, namun bisa menjadi pendekatan dalam konteks sosial.
Jika kita membagi indeks-indeks di atas dalam empat kuartil (zona), maka
kategorinya sebagai berikut: Q1=76-100, Q2=51-75, Q3=26-50, dan Q4=0-25.
Dengan demikian, maka berdasarkan Islamicity Index 2022 dari 149 negara,
Indonesia masih berada pada kuartil II (Q2), peringkat 62, dengan skor 5.14 dari
total skor 8.87.
Sementara itu berdasarkan indeks inovasi global, Indonesia berada di kuartil III (Q3).
Disebut dalam laporan GII sebagai Lower middle-income group (grup pendapatan
menengah ke bawah).
Apakah ini berarti ‘indeks saleh’ generasi kita ada di Q2 untuk kesalehan sosial dan
di Q3 untuk kesalehan ilmiah? Lalu, bagaimana dengan indeks saleh kita secara
spiritual? Tentu, juga masih rendah. Wallahu alam. []

Anda mungkin juga menyukai