Anda di halaman 1dari 47

RESUME LAPORAN KASUS

BIDANG ILMU PERIODONSIA


“ SPLINTING “

Dosen Pembimbing:
drg. Christiana Cahyani P, M. Phil

Disusun Oleh:
Thalia Gustita Hayuti
G4 B019023
Komponen Pembelajaran Resume Diskusi
Daring

Nilai

Tanda Tangan DPJP drg. Christiana Cahyani drg. Christiana Cahyani


P, M. Phil P, M. Phil

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Indeks Kebersihan Gigi dan Mulut


Masyarakat harus lebih memperhatikan pentingnya menjaga
kebersihan mulut, karena pada saat ini masyarakat banyak yang mengeluhkan
masalah seperti sakit gigi yang disebabkan oleh kurangnya menjaga
kebersihan gigi dan mulut (Nurhidayat dan Wahyono, 2012). Keadaan
kebersihan gigi dan mulut seseorang dapat ditentukan dengan cara mengukur
dengan indeks. Indeks merupakan suatu angka yang didapatkan dengan cara
mengukur jumlah dari permukaan gigi yang ditutupi plak maupun kalkulus.
Nilai atau angka kebersihan gigi dan mulut yang telah diperoleh dapat
digunakan sebagai bahan untuk melihat kemajuan atau kemunduran
kebersihan gigi dan mulut seseorang. Terdapat beberapa jenis indeks
kebersihan mulut, yaitu indeks plak, indeks debris, indeks kalkulus (Putri I. N,
2012)
1. O’Leary (The Plaque Control Record)
Indeks plak O’Leary adalah gambar dan warna yang digunakan untuk
menunjukkan lokasi plak sehingga memungkinkan dokter gigi untuk
mengevaluasi kemajuan pasien setelah melakukan kontrol plak. Tahapan
dalam pengukuran indeks plak O’Leary adala sebagai berikut:
a. Setiap gigi dibagi menjadi 4 bagian, yaitu mesial, distal, bukal, dan
palatal/lingual
b. Pada borang pemeriksaan semua gigi yang hilang diberi tanda ‘x’, dan
gigi yang masih ada dicatat. Semua pontik dan bridge harus diberi skor
yang sama seperti gigi yang asli.
c. Instruksikan pasien untuk berkumur dahulu, fungsinya untuk
menghilangkan sisa makanan atau debris yang masih menempel pada
gigi.
d. Semua perukaan gigi diolesi disclosing solution menggunakan
microbrush dan intruksikan psien meratakan pada seluruh permukaan
gigi menggunakan lidah.
e. Pasien diinstruksikan berkumur dengan menggunakan air, untuk
memeriksa plak pada daerah dentogingival junction bias menggunakan
ujung sonde. Bila plak ditemukan pada daerah dentogingival junction,
maka pada borang pemeriksaan diberi warna hitam atau merah.
Mendapatkan nilai indeks plak dihitung dengan cara:
Total permukaan gigi yang diberi skor
𝑥 100%
jumlah permukaan gigi yang ada di dalam rongga mulut pasien
Kriteri skor plak sebagai berikut:
Skor 0-30% = excellent
Skor 21-40% = good
Skor 41-60% = fair
Skor >60% = poor
(O’Leary, 1972 dalam Pintauli dan Hamada, 2010).

2. OHI-S
Pengukuran kebersihan gigi dan mulut dapat menentukan keadaan
kebersihan rongga mulut seseorang. OHI-S merupakan salah satu
pengukuran oral hygiene dan menilai efektivitas menyikat gigi. Komponen
yang dilakukan perhitungan skor pada metode ini mengukur debris indeks
dan kalkulus indeks. Debris indeks merupakan perhitungan skor terhadap
endapan lunak pada permukaan gigi yang berupa plak, material alba, dan
food debris. Kalkulus indeks merupakan perhitungan skor terhadap
endapan keras yang terjadi akibat pengendpat garam-garam anorganik
(Putri, Herijulianti, dan Nurjanah, 2010).
Perhitungan skor dilakukan pada enam permukaan gigi indeks yang
cukup menjadi perwakilan seluruh permukaan gigi yang ada di dalam
rongga mulut. Permukaan gigi yang diperiksa adalah:
a. Pemukaan bukal gigi 16
b. Permukaan labial gigi 11
c. Permukaan bukal gigi 26
d. Pemukaan lingual gigi 36
e. Permukaan labial gigi 31
f. Permukaan lingual gigi 46
Gigi indeks yang tidak ada pada suatu segmen dapat digantikan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Gigi molar pertama tidak ada, penilaian dapat digantikan pada
gigi molar kedua, jika molar satu dan molar kedua tidak ada,
penilaian dapat digantikan pada molar ketiga, jika molar pertama,
kedua dan ketiga tidak ada maka tidak ada penilaian pada segmen
tersebut
b. Gigi insisiv pertama kanan atas tidak ada, penilaian dapat
digantikan dengan gigi insisiv pertama kiri dan jika gigi insisiv
kiri bawah tidak ada maka penialaian dapat digantikan dngan
insisiv pertama kanan bawah, namun apabila insisiv pertama
kanan atau kiri tidak ada, maka tidak ada penialaian pada segmen
tersebut.
c. Gigi indeks dianggap tidak ada apabila gigi hilang karena dicabut,
gigi yang merpakan sisa akar, gigi yang merupakan mahkota jaket
sudah hilang atau rusak lebih dari ½ bagian pada permukaan
indeks akibat karies maupun fraktur, gigi yang erupsinya belum
mencapai ½ tinggi mahkota klinis.
d. Penilaian dapat dilakukan jika terdapat minimal dua gigi indeks
yang diperiksa.
Penilaian skor debris indeks terdapat kriteria, diantaranya:
Skor Kondisi
0 Tidak ada stain atau debis
1 Plak menutup tidak lebih dari 1/3 permukaan servikal atau
terdapat stain ekstrinsik di permukaan
2 Plak menutupi lebih dari 1/3 tetapi kurang daro 2/3 permukaan
yang diperiksa
3 Plak menutupi lebih dari 2/3 permukaan yang diperiksa
Perhitungan skor Debris Indeks (DI) digunakan rumus :

Debris indeks = jumlah skor debris

jumlah gigi yang diperiksa

Penilaian skor kalkulus indeks terdapat kriteria, diantaranya:


Skor Kondisi
0 Tidak ada kalkulus
1 Kalkulus supragingiva menutup lebih dari 1/3 permukaan
servikal yang diperiksa
2 Kalkulus supragingiva menutp lebih dari 1/3 tetapi kurang dari
2/3 permukaan yang diperiksa, atau ada bercak-bercak kalkulus
subgingiva di sekeliling servikal gigi
3 Kalkulus supragingiva menutup lebih dari 2/3 permukaan atau
ada kalkulus subgingiva disekeliling servikal gigi
Perhitungan skor Calculus Index (CI) digunakan rumus :

Kalkulus indeks = jumlah skor kalkulus

jumlah gigi yang diperiksa

Penilaian oral hygiene dengan OHI-S menjumlahkan hasil perhitungan debris


indeks dengan kalkulus indeks. Ketentuan kriteria penilaian oral hygiene
dengan OHI-S yaitu:
a. Baik = jika nilainya 0-1,2
b. Sedang = jika nilainya 1,3-6,0
c. Buruk = jika nilainya 3,1-6,0
(Putri, Herijulianti, dan Nurjanah, 2010).
3. OHI
Oral Hygiene Index (OHI) terdiri atas dua komponen yaitu debris
indeks dan kalkulus indeks. Gigi dibagi menjadi 6 segmen yaitu 3 segmen
rahang atas dan 3 segmen rahang bawah. Tiap komponen pergigi dinilai
bagian bukal dan lingualnya. Skor total debris indeks masing-masing
ditaksir dengan nilai 0 sampai 3. Setiap segmen dipilih satu gigi yang
memiliki skor terburuk. Debris indek merupakan jumlah seluruh skor
debris perwakilan segmen dibagi jumlah segmen. Kalkulus indeks
merupakan jumlah seluruh skor kalkulus perwakilan segmen dibagi jumlah
segmen (Jacob, 2011).
Kriteria debris :
Skor Kriteria
0 Tanpa debris atau stain
1 Debris tak lebih dari 1/3 permukaan atau tanpa debris tapi
dengan stain
2 Debris > 13 permukaan gigi dari servikal
3 Debris > 2/3 permukaan gigi dari servikal
Kriteria kalkulus :
Skor Kriteria
0 Tanpa kalkulus
1 Kalkulus tak lebih dari 1/3 permukaan dari servikal
2 Kalkulus > 1/3 tapi < 2/3 permukaan dari servikal atau sub
gingival kalkulus melingkar
3 Kalkulus > 2/3 permukaan dari servikal
Kriteria OHI dengan menjumlahkan DI dan CI :
0-2,4 = baik
2,5-6 = sedang
6,1-12 = buruk
(Greene dan Vermillion, 1960)
B. Pemeriksaan Jaringan Periodontal
1. Pemeriksaan subjektif
Pada pemeriksaan subjektif perhatikan riwayat kelainan sistemik,
apakah pasien mengkonsumsi obat-obatan yang dapat memicu perubahan
pada kondisi gingiva dan periodontal dan perhatikan riwayat kesehatan gigi
pasien (Manson dan Eley, 2013).
2. Pemeriksaan objektif
a. Pemeriksaan gingiva
Prinsip pada pemeriksaan gingiva, gingiva harus dalam
kondisi kering saat diperiksa. Pemeriksaan gingiva meliputi
pemeriksaan palpasi menggunakan jari telunjuk dengan gerakan
memutar ke arah koronal untuk melihat ada tidaknya supurasi.
Beberapa yang diperhatikan saat pemeriksaan gingival yaitu:
1) Warna
Warna gingiva normal umunya berwarna merah jambu (coral
pink). Hal inidisebabkan oleh adanya pasokan darah, tebal dan
derajat lapisan keratin epitelium serta sel-sel pigmen. Warna
ini berpariasi untuk setiap orang dan erathungungannya dengan
pigmentasi kutaneous.
2) Ukuran
Ukuran gingiva ditentukan oleh jumlah elemen seluler, intra
seluler, dan pasokan darah. Perubahan gingiva merupakan
gambaran yang sering dijumpai pada penyakit periodontal.
3) Kontur
Kontur dan besar gingiva sangat bervariasi. Keadaan ini
dipengaruhi oleh bentuk dan susunan gigi pada
lengkungannya, lokalisasi dan luas area kontak proksimal dan
dimensi embrasure gingiva oral maupun vestibular. Papila
interdental menutupi bagian interdental sehingga tampak
lancip.
4) Konsistensi
Gingiva melekat erat ke struktur di bawahnya dan tidak
mempunyai lapisan submukosa sehingga gingiva tidak dapat
digerakkan dan kenyal.
5) Tekstur
Permukaan gingiva cekat berbintik-bintik seperti kulit jeruk.
Bintik-bintik ini disebut stipling. Stipling akan terlihat jelas
jika permukaan gingiva dikeringkan. Stipling ini bervariasi dari
individu yang lain dan pada permukaan yang berbeda pada
mulut yang sama. Stipling akan lebih jelas terlihat pada
permukaan vestibulum di bandingkan permukaan oral.
Stipling terjadi karena proyeksi lapisan papilar lamina
propuria, yang mendorong epitelmenjadi tojolan-tonjolan bulat
yang berselang-seling dalam pelekukan epitel.
6) Kecenderungan perdarahan saat palpasi atau prbing denga
tekanan lembut
Gingiva yang sehat tidak akan berdarah pada saat sonde
(probe) periodontal dimasukkan ke dalam sulkus dengan hati-
hati, atau bila gingiva bebas dipalpasi degan jari
b. Pemeriksaan periodontal
Pemeriksaan periodontal berupa pemeriksaan poket di setiap
permukaan gigi. Pemeriksaan poket dilakukan dengan menggunakan
probe WHO dengan membagi gigi menjadi enam bagian dengan
teknik probing. Teknik probing meliputi.
1) Insersikan probe paralel atau sejajar dengan sumbu axis gigi.
2) Pada sisi proksimal, probe tetap digerakkan sejajar sumbu
axis gigi hinga menyentuh titik kontak, probe dimiringkan
agar bisa mengukur poket pada proksimal.
3) Probe digerakkan naik turun pada soket dengan gerakan
walkingstroke dan tidak boleh keluar masuk soket.
4) Pada gigi dengan kontur cembung, probe diadaptasikan
mengikuti bentuk permukaan gigi
c. Pemeriksaan clinical attachment loss (CAL)
Pada kondisi patologis, terdapat poket periodontal, di mana dasar
sulkus yang normalnya terletak pada CEJ akan bermigrasi dan tidak
melekat pada CEJ. Tingkat perlekatan klinis dihitung dengan
menjumlahkan kedalaman probing dan jarak gingival margin ke CEJ.
(Manson dan Eley, 2013)
d. Poket Periodontal
Poket merupakan proses patologi pendalaman sulkus gingiva,
dengan kedalaman > 3 mm. Poket terjadi karena adanya pergerakan
tepi margin gingiva ke koronal, migrasi epitel junctional ke apikal,
atau kombinasi keduanya. Poket dapat berisi debris dengan bakteri,
GCF (gingival crevicular fluid), deskuamasi sel epitel, leukosit,
serum, fibrin, dan eksudat purulen. Patogenesis terjadinya poket
menurut Fedi dkk. (2012) sebagai berikut.
1) Initial lesion, terjadi peningkatan aliran GCF, gerakan
leukosit ke JEdan hilangnya serabut kolagen.
2) Early lesion, terjadi peningkatan akumulasi sel limfosit di JE
dankerusakan serabut kolagen.
3) Established lesion, terjadi migrasi JE ke apikal dengan
pembentukan poket atau tidak tetapi terjadi kerusakan tulang
yang cukup besar.
4) Advanced lesion, terjadi kerusakan tulang dengan
pembentukan poketperiodontal.
Poket dapat dibedakan berdasarkan morfologi dan berdasarkan
jumlahpermukaan yang terkena, diklasifikasikan sebagai berikut.
1) Berdasarkan morfologi dan hubungan dengan struktur
terdekatnya
a) Poket gingival

Poket gingiva disebut dengan false pocket atau


pseudopocket. Pendalaman sulkus gingiva terjadi akibat
pembesaran gingiva karena adanya migrasi margin gingiva
ke koronal, tidak terjadi adanya migrasi JE ke apikal atau
resorbsi tulang.
b) Poket periodontal

Poket periodontal disebut dengan true pocket. Pendalaman


sulkus gingiva terjadi akibat migrasi JE ke apikal disertai
dengan destruksiatau resorbsi puncak tulang alveolar. Poket
periodontal dibedakan menjadi dua, yaitu.
i. Poket supraboni

Dasar poket atau JE terletak lebih koronal


dibandingkan dengan puncak tulang alveolar. Destruksi
tulang terjadi secara horizontal.
ii. Poket infraboni

Dasar poket atau JE terletak lebih apikal


dibandingkan dengan puncak tulang alveolar. Destruksi
tulang terjadi secara vertikal.
2) Berdasarkan jumlah permukaan yang terkena

a) Simple pocket, hanya mengenai satu permukaan gigi

b) Compound pocket, mengenai satu atau lebih permukaan gigi


(bukal,distal, mesial, dan lingual).
c) Complex pocket, mengelilingi permukaan gigi dan
meliputi satuatau lebih permukaan tambahan (bifurkasi).
(Fedi dkk., 2012).

Macam- macam probe menururt Carranza (2015) adalah sebagai


berikut:
a. Probe Marquis
Probe marquis mempunyai kalibrasi 3, 6, 9 dan 12 mm, dimana
untuk setiap 3mm-nya diberi warna yang berbeda sehingga
mempermudah pembacaan. Tetapi kelemahannya adalah sukar
untuk membaca ukuran diantara kelipatan 3.
b. Probe UNC-15
Probe UNC-15 bagian ujungnya mempunyai panjang 15 mm
yang diberi kalibrasi setiap 1 mm, dan pada 5, 10, dan 15 mm
diberi kode warna hitam.
c. Probe William
Probe William mempunyai kalibrasi 1,2,3,5,7,8,9, dan 10 mm.
d. Probe Periodontal Michigan “O”
Probe Periodontal Michigan “O” memiliki kalibrasi 3,6,8 mm
e. Probe Periodontal WHO
Probe WHO (World Health Organization) mempunyai disain
unik dimana bagian ujungnya berupa bola kecil seperti jarum
bola berdiameter 0,5 mm, 33 Alat periodontal kalibrasi 3,5, 8,5
dan 11,5 mm dengan kode warna antara 3,5
- 5,5 mm.
f. Probe Naber
Probe naber memiliki ujung yang tumpul, digunakan untuk
mendeteksi daerahfurkasi dengan kalibrasi 3,6,9, dan 12 mm.
3. Papillary Bleedng Index (PBI)
Papillary Bleeding Index adalah penilaian untuk mengetahui
perdarahan gingival. Alat yang digunakan untuk mengetahui
perdarahan gingiva adalah prob berujung tumpul dan yang sering
digunakan yaitu prob WHO. PBI dilakukan pada seluruh gigi kecuali
molar ketiga dengan menyapukan prob ke dalam sulkus pada sisi
mesial distal hingga ke interdental papil. Setelah seluruh sulkus
dimasukkan prob, tunggu selama 20-30 detik. Skor dapat dituliskan
berdasarkan kriteria berikut:
Skor Kriteria
0 Tidak ada perdarahan setelah probing
1 Muncul titik perdarahan
2 Terlihat perdarahan berupa garis atau ada lebih dari satu titik
perdarahan
3 Interdental papil terlihat dipenuhi dengan sedikit atau banyak
darah
4 Perdarahan yang banyak , darah mengalir ke daerah interdental
sampai menutpi gigi dan atau gingival
(Wolf, 2006)
Skor PBI dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan gingivitis
Skor Keterangan
0-0,9 Gingiva sehat
1-1,9 Gingivitis ringan
2-2,9 Gingivitis sedang
3-4 Gingivitis berat
(Wolf, 2006)
4. Resesi Gingiva
Resesi gingiva merupakan keadaan atau kondisi tepi gingiva yang
lebih kearah apikal dari CEJ dan biasanya disertai dengan terbukanya
permukaan akar gigi (Krismariono, 2014). Klasifikasi resesi gingiva
adalah sebagai berikut:
a) Kelas I
Resesi pada marginal gingiva yang belum meluas ke mucogingiva
junction. Pada kelas ini belum terjadi kehilangan tulang atau
jaringan lunak di daerah interdental. Resesi ini dapat berukuran
kecil atau besar.

Gambar 1.4 Klasifikasi resesi gingiva kelas I Sumber:


Krismariono, 2014
b) Kelas II
Resesi pada marginal gingiva meluas ke mocogingiva junction,
tetapi belum terjadi kehilangan tulang atau jaringan lunak di
daerah interdental. Resesi ini dapat berukuran kecil atau besar.

Gambar 1.5 Klasifikasi resesi gingiva kelas II. Sumber:


Krismariono, 2014.
c) Kelas III
Resesi pada marginal gingiva meluas ke mocogingiva junction
disertai dengan kehilangan tulang dan jaringan lunak di daerah
interdental atau terdapat malposisi gigi yang ringan.

Gambar 1.5 Klasifikasi resesi gingiva kelas III Sumber:


Krismariono, 2014.
d) Kelas IV
Resesi pada marginal gingiva meluas ke mocogingiva junction
disertai dengan kehilangan tulang dan jaringan lunak yang parah
di daerah interdental atau terdapat malposisi gigi yang parah.

Gambar 1.6 Klasifikasi resesi gingiva kelas IV Sumber: Krismariono,


2014.
5. Pemeriksaan Pembesaran Gingiva
Pembesaran gingiva dapat dklasifikasikan menurut Bökenkamp dan
Bohnhorst (1994) dengan pemberian nilai yaitu 0 jika tidak terdapat
pembesaran gingiva; 1 jika terdapat pembesaran pada papila
interdental; 2 jika terdapat pembesaran gingiva pada papila interdental
dan margin gingiva; dan 3 jika terdapat pembesaran gingiva hingga
menutupi 3/4 mahkota gigi atau lebih. Pembesaran gingiva juga dapat
diklasifikasikanberdasarkan lokasi dan distribusinya, yaitu:
a. Localized: pembesaran gingiva pada satu gigi atau beberapa gigi.
b. Generalized: pembesaran gingiva pada seluruh rongga mulut.
c. Marginal: pembesaran pada marginal gingiva.
d. Pappilary: pembesaran pada interdental papilla.
e. Diffuse: pembesaran pada marginal, gingiva cekat, dan papilla.
Discrete: pembesaran seperti tumor.
6. Pemriksaan Keterlibatan Furkasi
Pemeriksaan ini biasa sulit dilakukan terutama pada bagian gigi
atas posterior. Probe khusus untuk memeriksa keterlibatan furkasi yaitu
dengan menggunakan probe Nabers. Furcation involvements dengan
radiografi seharusnya dapat terlihat, tetapi tidak selalu dapat
diinterpretasikan keakuratan dari kehilangan tulang di area furkasinya.
Biasanya gigi molar atas adalah area yang sulit dilakukan pengambilan
radiografi dengan tepat. Deteksi keterlibatan furkasi melalui
penampakan klinis akan mudah diperoleh apabila resesi yang terjadi
pada gigi yang bersangkutan sudah sangat banyak, sehingga tampak
furkasi secara kasat mata (Eaton dan Ower, 2015).
Glickman mengklasifikasikan lesi furkasi menjadi 4 derajat
berdasarkan perlekatan jaringan pendukungnya yaitu sebagai berikut:
1) Derajat I : Keterlibatan awal pembukaan furkasi dan
kehilangan tulang dapat dirasakan karena meningkatnya
kedalaman poket
2) Derajat II : Lesi furkasi cul-de-sac dengan komponen
horizontal yang nyata, mempengaruhi satu atau lebih daerah
furkasi pada gigi yang sama
3) Derajat III : Tulang tidak melekat pada daerah furkasi, muara
defek terisijaringan lunak, probing tidak tembus
4) Derajat IV : Kerusakan tulang pada daerah furkasi dan jaringan
lunak yang telah mengalami resesi sampai ke apikal, probe
dapat melalui seluruh dimensi furkasi.

Penilaian keterlibatan furkasi dapat dilakukan dari arah horizontal


maupun vertikal, yaitu sebagai berikut.
a. Penilaian Furkasi Arah Horizontal

1) Kelas F1: Furkasi dapat diprobe hingga 3 mm arah horizontal.

2) Kelas F2: Furkasi dapat diprobe melebihi 3 mm arah


horizontal, tetapitidak menembus furkasi.
3) Kelas F3: Furkasi dapat diprobe hingga menembus furkasi,
kondisi inidisebut through and through.
b. Penilaian Furkasi Arah Vertikal

1) Subkelas A: probe dapat masuk arah vertikal 1-3 mm

2) Subkelas B: probe dapat masuk arah vertikal 4-6 mm

3) Subkelas C: probe dapat masuk arah vertikal lebih dari 7 mm


7. Pemeriksaan Supurasi

Adanya supurasi yang dikombinasi dengan poket periodontal dan


BOP positif dapat mengidikasikan adanya penyakit aktif pada sisi yang
terlibat dan peningkatan kehilangan perlekatan. Cara pemeriksaan
supurasi dilakukan dengan meletakkan jari pada margin gingiva dan
secara lembut menekan gingiva tersebut ke arah mahkota gigi. Supurasi
terbentuk pada dinding dalam poket dan dari luar seringnya terlihat tidak
ada perubahan (Perry dkk., 2014).
8. Mobilitas Gigi

Mobilitas gigi atau kegoyangan gigi yakni gerakan yang dapat dilihat
secara visual dari posisi normalnya ketika diberi sedikit tekanan.
Mobilitas gigi merupakan parameter klinis dalam menegakkan diagnosis
dan prognosis pada penyakit periodontal (Azodo, 2016). Etiologi dapat
disebabkan adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi, trauma
oklusi (trauma akibat tekanan fungsional ataupun parafungsional yang
menyebabkan kerusakan terhadap perlekatan pada jaringan periodontal
karena melebihi kapasitas adaptif dan reparatifnya), dan adanya perluasan
peradangan dari gingiva ke jaringan pendukung yang lebih dalam serta
proses patologi rahang seringkali terjadi pada pasien dengan trauma
karena oklusi disertai periodontitis kronis (Ambarawati, 2019; shekar,
2011; Kini, 2011). Kegoyangan gigi dapat diklasifikasikan menjadi
berikut: (Newman, 2006)

Gambar 1. Cek mobilitas gigi


a. Derajat 0 : Kegoyangan fisiologis

b. Derajat 1 : Kegoyangan gigi dalam arah horizontal 0,2-1 mm

c. Derajat 2 : Kegoyangan gigi dalam arah horizontal 1


mm namun tanpa kegoyangan gigi ke dalam arah
vertikal
d. Derajat 3 : Kegoyangan gigi lebih dari 1 mm dan
terdapat gerakan ke arahvertical
9. Pemeriksaan Ketinggian Tulang alveolar

Interpretasi akurat untuk mendeteksi hubungan tulang alveolar dengan


jaringan lunak periodontal dapat dilakukan menggunakan teknik radiografi
dan bone sounding (Hapernau dkk., 2015). Keputusan untuk melakukan
pemeriksaan radiografi dibuat setelah adanya pemeriksaan klinis. Pasien
dengan CAL kurang dari 6mm perlu dikakukan radiografi teknik bitewing
horizontal untuk bagian posterior. Jika CAL lebih dari 6mm, bitewing
vertikal lebih dipilih daripada horizontal. Mungkin juga diperlukan teknik
periapikal paralel pada seluruh sisi dengan poket periodontal (Eaton dan
Ower, 2015).

10. Pemeriksaan Fenetrasi dan Dehisensi

Fenestrasi adalah kondisi defek pada gingiva fasial dimana terdapat


gambaran seperti jendela yang memperlihatkan akar gigi, namun permukaan
tulang fasial yang menutupi akar gigi tidak sepenuhnya hilang. Dehisensi
adalah kndisi defek pada gingiva fasial dan tulang fasial yang menutupi akar
gigi hilang, sehingga akar gigi terlihat.

C. Diagnosis Penyakit Periodontal Menurut AAP

Diagnosis pada penyakit jaringan periodontal mengacu pada klasifikasi yang


dikeluarkan oleh American Academy of Periodontology (AAP) tahun 1999.
Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut.
• Penyakit gingiva diinduksi plak gigi
Penyakit Gingiva • Lesi gingiva diinduksi bukan plak gigi

• Lokalisata
Periodontitis Kronis • Generalisata

• Lokalisata
Periodontitis Agresif • Generalisata

Periodontitis • Berhubungan dengan kelainan hematologis


Manifestasi • Berhubungan dengan kelainan genetik
Penyakit Sistemik • Tidak spesifik
Penyakit • Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG)
Periodontal • Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP)
Nekrotik
• Abses gingiva
Abses
• Abses periodontal
Jaringan
• Abses perikoronal
Periodontal
• Lesi endodontik – periodontik
Periodontitis yang
• Lesi periodontik – endodontik
Berhubungan
• Lesi kombinasi
Dengan Lesi
Endodontik
• Faktor lokal gigi yang memodifikasi
Kondisi dan penyakit gingiva yang diinduksi plak atau
Deformitas Bawaan periodontitis
atau Didapat
• Deformitas mukogingival dan kondisi di
sekitar gigi
• Deformitas mukogingival dan kondisi di
edentulous ridge
• Trauma oklusal
Penyakit gingiva pada klasifikasi oleh AAP 1999 dapat dikembangkan
lagi menjadilebih spesifik yaitu sebagai berikut.
Gingivitis • Dengan kontribusi faktor local
berhubungan • Tanpa kontribusi faktor lokal
dengan plak
Terkait dengan • Gingivitis yang
system berhubungan
endokrin dengan pubertas
• Gingivitis yang
berhungungan
dengan siklus
menstruasi
• Gingivitis yang
Penyakit gingiva berhubungn
dimodifikasi dengan kehamilan
Penyakit faktor sistemik ✓ Gingivitis
gingiva ✓ Pyogenic
diinduksi granuloma
plak • Gingivitis yang
terkait dengan
Diabetes Mellitis
Terkait dengan • Gingivitis terkait
kelainan darah leukemia
• Penyait darah
lainnya
Penyakit gingiva • Gingiva enlargement terkait obat-
dimodifikasi obatan
obat-obatan • Gingivitis terkait obat-obatan
✓ Gingivitis terkait kontasepsi
oral
• Lainnya
Penyakit gingiva • Akibat kekurangan asam askorbat
dimodifikasi • Lainnya
malnutrisi
Penyakit gingiva • Neisseria gonorrhoeae
karena bakteri • Treponema palidum
spesifik • Spesies Streptokokus
Lainnya
Penyakit gingiva Infeksi Herpes • Primary herpetic
karena virus Virus gingivistomatitis
• Recurrent oral
herpes
• Varicella zoster
Lainnya
Penyakit gingiva • Infeksi kandidiasis
karena jamur • Linear gingivostomatitis erythema
• Histoplasmosis
• Lainnya
Lesi gingiva • Hereditary gingival fibromatosis
karena genetik • Lainnya
Menivestasi Lesi • Lichen planus
kondisi sistemik mukokutaneus • Pemphigoid
pada gingiva • Pemphigus
vulgaris
• Erithema
multiforme
• Lupus
erythrmatous
• Pemakaian obat-
obatan
Lainnya
Reaksi alergi • Material restorasi
dental
✓ Mekuri
✓ Nikel
✓ Akrilik
✓ Lainnya
• Reaksi yang
disebabkan oleh
✓ Pasta gigi
✓ Obat
kumur
✓ Permen
karet
✓ Makanan
dan zat
tambahan
pada makanan
• Lainnya

Lesi traumatik • Cedera akibat bahan kimia


(buatan, • Cedera fisik
iatrogenik, • Thermal injury
kecelakaan)
Reaksi gingiva terhadap benda asih
Lesi gingiva tidak spesifik
D. Prognosis Penyakit Perodontal
Prognosis merupakan prediksi dari kemungkinan perawatan, durasi dan
hasil akhir suatu penyakit berdasarkan pengetahuan umum dari patogenesis
dan kehadiran faktor risiko penyakit. Prognosis muncul setelah diagnosis
dibuat dan sebelum rencana perawatandilakukan.
1. Sangat baik (Excellent); Jika tidak ada kehilangan tulang, kondisi gingiva
sangat baik, kooperasi pasien baik dan tidak ada penyakit sistemik atau
faktor lingkungan tertentu.
2. Baik (Good); Jika memenuhi satu atau beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. Sokongan tulang yang tersisa cukup
b. Kemungkinan untuk mengontrol faktor etiologi cukup
c. Pasien cukup kooperatif, tidak ada faktor sistemik/lingkungan atau
jika ada dapatterkontrol dengan baik.
3. Sedang (Fair); Jika memenuhi satu atau beberapa ketentuan sebagai
berikut:
a. Sokongan tulang yang tersisa tidak cukup
b. Beberapa gigi goyang
c. Keterlibatan furkasi grade 1
d. Resorbsi tulang 25%
e. Memungkinkan perawatan yang baik, pasien cukup kooperatif
f. Terdapat beebrapa faktor sistemik/lingkungan.
4. Buruk (Poor); Jika memenuhi satu atau beberapa ketentuan sebagai
berikut:
a. Mobilitas gigi positif
b. Keterlibatan furkasi grade 1 dan 2
c. Kooperasi pasien diragukan
d. Terdapat faktor sistemik/lingkungan
5. Dipertanyakan (Questionable); Jika memenuhi satu atau beberapa
ketentuan sebagaiberikut:
a. Resorbsi tulang 50%
b. Keterlibatan furkasi grade 2 dan 3
c. Mobilitas gigi derajat 2 atau 3
d. Terdapat faktor sistemik/lingkungan
6. Tidak ada harapan (Hopeless); Jika memenuhi satu atau beberapa
ketentuan sebagaiberikut:
a. Resorbsi tulang lebih dari 50%
b. Area tersebut tidak dapat dirawat
c. Indikasi ekstraksi
d. Terdapar faktor sistemik tidak terkontrol/lingkungan
E. Rencana Perawatan Penyakit Periodontal
Rangkaian prosedur perawatan pada penyakit periodontal adalah sebagai
berikut.
1. Fase I (Non Surgical Phase)
Merupakan terapi awal atau etiotropik yang bertujuan mengelemininasi
faktor etiologi dan faktor predisposisi terjadinya penyakit periodontal.
Fase ini meliputi DHE, control diet, scalling and root planning, koreksi
restorasi atau protesa, dan terapi antimikroba.

2. Fase II (Surgical Phase)


Merupakan terapi bedah periodontal yang bertujuan untuk
mengontrol atau mengeliminasi penyakit periodontal meliputi kuretase,
gingivektomi, operasi flap, serta bedah resektif dan regenerative tulang.
Fase II juga bertujuan untuk mengkoreksi kondisi anatomis yang dapat
mendukung terjadinya penyakit periodontal dan terganggunya estetika
seperti pelebaran attached gingiva dengan graft gingiva, perbaikan
papilla gingiva, frenektomi, crown lengthening, augmentasi ridge,
implant, dan pendalaman vestibulum.
3. Fase III (Restorative Phase)
Merupakan terapi rekonstruksi meliputi restorasi final gigi geligi,
serta protesa lepasan atau cekat.
4. Fase IV (Maintenance Phase)
Merupakan terapi pemeliharaan yang bertujuan mempertahankan
kjesehatan jaringan periodonsium setelah terapi-terapi sebelumnya
dengan mengontrol infeksi periodontal dan mencegah terjadinya
rekurensi penyakit periodontal. Hal ini meliputi kunjungan berkala untuk
mengevaluasi kondisi plak dan kulkulus, poket dan inflamasi gingiva,
oklusi, mobilitas gigi, dan perubahan-perubahan patologis lainnya

termasuk efek restorasi terhadap jaringan periodonsium termasuk juga


DHE
F. Periodontitis

Periodontitis merupakan penyakit yang menyebabkan peradangan jaringan


periodontal disebabkan mikroorganisme spesifik dan mengakibatkan kerusakan
ligament periodontal serta tulang alveolar secara progresif (Carranza, 2002).
Periodontitis dapat dibagi menjadi tiga yaitu periodontitis kronis yang
disebabkan oleh akumulasi plak, periodontitis agresif yang disebabkan oleh
bakteri dan respon imun tubuh yang rendah pada inflamasi serta periodontitis
yang disebabkan oleh penyakit sistemik (Takajuk, 2006). Penampakan secara
klinis yakni adanya clinical attachment loss (CAL) disertai pembentukan poket
periodontal dan perubahan ketebalan serta ketinggian pada tulang alveolar. Pada
penurunan tulang alveolar dapat dilihat dengan radiografi menyebabkan
kegoyangan gigi atau mobilitas gigi (Carranza, 2002).
G. Splinting
Splint termasuk alat stabilisasi digunakan untuk imobilisasi atau menstabilkan
gigi goyang karena suatu lesi trauma atau penyakit periodontal. Jaringan
periodontal rusak dapat dilakukan splint untuk mendistribusikan daya oklusal
sehingga daya tersebut tidak melebihi kapasitas yang bisa diterima struktur
pendukung (Aprillia, 2011). Pada splint, prinsip pembuatannya mengikat
beberapa gigi menjadi kesatuan sehingga tekanan dapat didistribusikan ke semua
gigi yang diikat. Perawatan splint disebut splinting. Pada perawatan splinting
hanya menghilangkan faktor penyebab, mengurangi mobilitas gigi dan
mengontrol mobilitas saat splint tetap terpasang. Splint dilepas maka gigi akan
goyang kembali, sehingga hilangkan penyakitnya dan dengan proses regenerasi
jaringan pendukung gigi dapat diperoleh reduksi dari mobilitas gigi
(Paddmanabhan, 2012; Marselly, 2012).
Tujuan dari splinting adalah sebagai sandaran yang terbentuk pada jaringan
periodonsium, membantu perbaikan akibat trauma, mengurangi mobilitas secara
cepat yang diharapkan dan diharapkan permanen, beban yang diterima oleh salah
satu gigi disalurkan ke beberapa gigi lainnya, kontak proksimal stabil, mencegah
impaksi makanan dan mencegah migrasi gigi (Ambarawati, 2019).

H. Indikiasi Splinting

a. Perubahan kualitas jaringan pendukung yang disebabkan


oleh penyakitperiodontal dan traumatic oklusi.
b. Stabilisasi pada trauma dental.
c. Trauma jangka panjang karena perawatan periodontal.
d. Stabilisasi kegoyangan gigi yang tidak berkurang dan tidak
menunjukkan respon pada perawatan occlusal adjustment
dan terapi periodontal.
e. Stabilisasi selama perawatan ortodontik.
(Newman, 2006)
I. Kontraindikasi Splinting

a. Adanya kegoyangan gigi yang sedang hingga parah disertai adanya


inflamasi periodontal dan / trauma oklusal primer
b. Tidak terpenuhinya jumlah gigi yang dijadikan tumpuan untuk stabilisasi
c. Pasien tidak dapat memelihara kesehatan rongga mulut
d. Belum ada rencana perawatan yang pasti
(Newman, 2006)
J. Klasifikasi Splinting
Terdapat beberapa jenis splinting diantaranya (Mangla, 2018) :
1. Berdasarkan waktu stabilisasi atau durasi pemakai splint
a. Splinting sementara (Short term temporary splint): digunakan kurang
dari 6 bulan. Contohnya removable splint seperti oklusal splint dengan
wire,Hawley dengan splinting arch wire
b. Splinting semipermanen /provisional (Medium-term provisional splint)
: digunakan beberapa bulan hingga tahun seperti splint akrilik, metal
band
c. Splinting permanen (Long term permanent splint): dipakai tidak
terbatas untuk menjaga stabilitas jangka panjang. Contohnya : fixed
splint, intracoronal/extracoronal splint, full/partial veneer crowns
solderedtogether, inlay/onlay soldered together.
2. Berdasarkan tipe materialnya / bahan dasar splint (Ansari, 2014) :
a. A splint
Dibuat dengan menghubungkan gigi geligi dengan kawat melalui
saluran yang dibuat terlebih dahulu pada permukaan oklusal atau lingual gigi
kondisi goyah ataupun gigi penyangga, kemudian kawat diletakkan dan
disementasi dengan resin komposit atau akrilik.

Gambar 2. Splint ligeratur


b. Orthodontic band-arch wire splint
Splint jenis ini bisa digunakan pada kasus kegoyangan gigi
melibakan banyak gigi dengan menempatkan orthodontic
bands dihubungkan dengan lengkung kawat.

Gambar 3. Orthodontic band-arch wire splint


c. Cap splint
Splint terbuat dari emas atau akrilik diinsersikan setelah 6-8 jam atau 24jam

Gambar 4. Cap splint

d. Proximal bonding with composite


Splint dengan aplikasi etsa asam kemudian resin komposit pada proksimal
gigi goyah serta gigi penyangga

Gambar 5. Proximal bonding with composite


e. Bonded orthodontic wire
Splint diletakkan di permukaan labial gigi goyah maupun penyangga yang
telah diberi etsa asam dan resin komposit atau bracket sebagai tahanan kawat
splint.

Gambar 6. Bonded orthodontic wire

f. Bonding with a fiberglass splint


Splint ini dilakukan preparasi, kemudian etsa asam lalu fiber glass strip serta
diaplikasikan resin komposit

Gambar 7. Bonding with a fiberglass splint

g. Titanium Trauma Splint (TTS)


Splint terbuat dari titanium murni ketebalan 0,2 mm yang mudah
diadaptasikan kontur lengkung rahang. Disain berbentuk jala rhomboid
membuatnya fleksibel tanpa mentransfer kekuatan ortodontik pada gigi diberi
splint. Komposit konsisten fluid dapat diaplikasikan mengisi jala rhomboid
dan disinar light-cure.
Gambar 8. Titanium Trauma Splint

3. Berdasarkan lokasi penempatan splint gigi (Bathla, 2017):


a. Extracoronal:
Ekstracoronal splint termasuk jenis splint yang sederhana dan sifatnya
reversible, namun kekurangannya mengganggu pembersihan plak dan
tindakan pemeliharaan. macam-macamnya :
1) Welded-band Splints : stabilisasi sementara gigi posterior, yang
memisahkan gigi dengan meletakkan brass wire ligatures interdental
selama 24 jam sebelum splinting.
2) Continuous Clasps : terbuat dari akrilik, emas, atau stanless steel. Splints
ini diletakkan di gigi tiruan sebagian dan dapat dilepas.
3) Acrylic Bite Guards: terbuat dari akrilik heat-cured di permukaan oklusal
gigi geligi, memanjang 1-2 mm ke arah fasial, ukurannya tipis tidak
melebihi 1 mm agar nyaman serta tidak menghalangi pergerakan
mandibula. Biasanya digunakan malam karena tidak estetik, pada kasus
hipermobilitas parah digunakan 24 jam.
4) Rochette Splint : terbuat dari chrome-cobalt yang dilekatkan pada
permukaan lingual gigi dengan material komposit, bentuknya tipis
sehingga tidak membutuhkan preparasi banyak, dan tidak mengganggu
secara estetik.
5) Wire Ligation : menggunakan kawat stainless steel diletakkan di apikal
kontak poin namun lebih ke insisal dari singulum. Ketebalan kawat
diameter 0,3-0,4 mm. Hasil splinting ini cukup memuaskan untuk gigi
geligi anterior. Menurut Malik (2012) jenis splinting ini antara lain Essig,
Ivy eyelet, Gilmer, Risdon, dan Stout’s multiloop wiring.
a) Metode Essig, kawat panjang dilewatkan mengelilingi leher gigi-gigi
yang akan difiksasi dan gigi penyangganya, kemudian diikat. Lalu
kawat kecil dimasukkan di setiap interdental gigi-gigi untuk
mengikatkan kawat yang melintasi leher bukal-lingual gigi,
kemudian diikat kembali.
b) Metode Ivy eyelet, kawat dibentuk lingkaran kecil dan dipilinsehingga
kawat memliki dua ekor serta dimasukkan melewati interdental dari
bukal ke lingual gigi yang difiksasi, satu ekor diarahkan ke distal gigi
dan dilanjutkan masuk ke interdental menuju bukal, sedangkan ekor
lainnya diarahkan ke mesial gigi dan dilanjutkan masuk ke
interdental menuju bukal. Kedua kawat kemudian diarahkan menuju
lingkaran kecil di bagian bukal, lalu disatukan dan diikat. Semua
akhiran ikatan pada ligasi kawat berakhir di bagian bukal dan ketika
ikatannya sudah cukup maka ujungnya dibengkokkan supaya tidak
melukai mukosa.

A B

C D
Gambar 9. Macam-macam wire ligation, A) Teknik Essig; B) Teknik Ivy
eyelet, C) Teknik Gilmer dan D) Teknik Stout’s multiloop wiring
b. Intracanal
Splinting intrakoronal umumnya membutuhkan prosedur preparasi atau
pengurangan jaringan keras sehingga splint tidak terlihat ketika sudah
diaplikasikan dan sifat estetiknya baik. Jenisnya yaitu :
1) Acrylic Splints (A-splint)
Dilakukan preparasi terlebih dahulu di oklusal atau lingual lebarnya 3 mm
dan kedalamannya 2 mm. Kemudian kawat stainless steel diletakkan di
daerah preparasi tersebut kemudian difiksasi dengan self- cure acrylic
atau komposit. Splint ini biasanya digunakan untuk menstabilkan gigi
geligi yang berdekatan dan untuk perawatan jangka lama.

Gambar 10. Acrylic splinting


2) Composite Splints
Dibuat preparasi dahulu sedikit lebih apikal dari titik kontak gigi sebatas
enamel, dipoles dengan pumis, lalu diberi calcium hydroxide [Ca(OH)2] pada
dentin yang terekspos untuk melindungi pulpa, lalu diletakkan kawat ataupun
glass fiber di sepanjang daerah preparasi, kemudian ditutup dengan
komposit yang sebelumnya telah diberi etsa asam dan bonding agent
(Kathariya, 2016).

Gambar 11. Composite splint


K. Prosedur Tindakan
1. Splinting dengan Kawat
a. Essig wiring
1) Persiapkan kawat mayor diameter 0,5 mm dan kawat minor 0,3
mm
2) Luruskan kawat
3) Masukkan kawat mayor dari bagian distal gigi,
menelusuri bagian lingual dan keluar kawat ke
bagian distal gigi lain
4) Kedua ujung dipilin searah jarum jam dan tidak terlalu kencang
5) Memasukkan kawat minor pada setap interdental
gigi dari arah labial gigi dibawah kawat mayor dan
dikeluarkan di atas kawat mayor
6) Pilin kawat minor sisi labial
7) Potong dan rapihkan sisa kawat yang berlebih agar tidak melukai
b. Eyelet ivy
1) Persiapkan kawat diameter 0,5 mm
2) Luruskan kawat
3) Membuat loop
4) Masukkan kawat di interdental antara gigi
mobilitas, dengan loopterdapat di bagian labial
5) Kawat menyusuri bagian lingual gigi dan dikeluarkan di distal gigi
6) Salah satu kawat dimasukkan ke dalam loop
7) Pilin kawat sisi labial
8) Pilin loop sisi labial
9) Potong dan rapihkan sisa kawat yang berlebih agar tidak melukai
c. Splinting wire intracoronal
1) Siapkan alat dan bahan
2) Bersihkan dari plak dan deposit pada area dilakukan splinting
3) Menekuk kawat jadi dua bagian dan dipilin
4) Preparasi gigi untuk menempatkan kawat bagian lingual
5) Aplikasi etsa dan bonding pada gigi yang akan di splinting
kemudian light cured
6) Aplikasi komposit
7) Letakkan ujung kawat dan light cured
8) Aplikasi komposit hingga kawat tertutup
9) Cek oklusi serta lakukan polishing
d. Splinting fiber intracoronal
1) Area yang akan displinting isolasi dengan rubber dam
2) Bersihkan gigi dari plak
3) Preparasi minimal pada permukaan fasial interproksimal
dengan burchamfer
4) Penentuan panjang splint dengan dental floss di permukaan gigi
5) Splint fiber diberi resin bonding
6) Gigi dietsa asam fosfat bagian lingual gigi selama
30 detik dibilas dandikeringkan
7) Bahan cetak polysiloxane viskositas medium ditempatkan di
bagianembrasure gingival
8) Aplikasi bonding permukaan interproksimal dan daerah fasial
dandilakukan light cure
9) Aplikasi selapis resin komposit permukaan fasial dari semua
bagianinterproksimal gigi yang akan di splint
10) Splint fiber diletakkan diatas resin komposit, ditekan dengan
plasticfilling hingga tertanam di dalam komposit dan lightcured
11) Aplikasi flowable komposit diatas fiber, kelebihan resin dibuang,
lightcured 20 detik pada masing-masing permukaan lingual.

L. KIE (Komunikasi Infromasi dan Edukasi)


Melakukan KIE (Komunikasi Infromasi dan Edukasi kepada pasien, yaitu:
1.Menjaga kebersihan rongga mulut dengan menggosok gigi 2x sehari
(dipagi hari sesudah sarapan dan dimalam hari ebelum tidur), menggosok
gigi minimal 30 menitsesudah makan.
2.Menggunakan bulu sikat gigi yang halus.
3.Diet lunak, menghindari makanan keras selama 24 jam kedepan
4.Tidak boleh merokok selama 24 jam kedepan
5.Segera kembali apabila kawat patah atau ada yang tajam,serta ada keluhan.
6.Melakukan kontrol 1 minggu kedepan setelah perawatan.
BAB II

LAPORAN KASUS
“SPLINTING”

KASUS

Pasien MKK, perempuan, usia 73 tahun, dirujuk ke Klinik Kedokteran Gigi


institusi yang mengeluh tentang mobilitas gigi lateral mandibula kanan
ketidaknyamanan pada gigi insisivus dan pengunyahan. Di pemeriksaan intraoral,
kami mencatat resesi dan kehilangan gingiva papila interdental, tetapi tanpa jaringan
poket periodontal. Kontak gigi terjadi pada permukaan insisal gigi 31 dan 32; gigi 41
dan 42 menunjukkan atrisi pada permukaan insisal Gigi dilakukan tes sensitivitas
pulpa dan menunjukkan hasil positif. Tes mobilitas menunjukkan derajat 2 pada gigi
42, akibat pengeroposan tulang karena sebelumnya perawatan periodontitis kronis
yang berhubungan dengan trauma oklusi.
IDENTITAS PASIEN
1. Jenis Kelamin : Perempuan
2. Usia : 73 tahun
HASIL PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Subjektif (S)
CC : mengeluh tentang mobilitas gigi lateral mandibula kanan
ketidaknyamanan pada gigi insisivus dan pengunyahan.
PI : T.A.K
PMH :.T.A.K
PDH : T.A.K
FH : T.A.K
SH : T.A.K
2. Pemeriksaan Objektif (O)
a. Keadaan umum pasien : TAK
b. Pemeriksaan ekstra oral:
1) Wajah : TAK
2) Mata : TAK
3) Leher : TAK
4) Tangan dan Jari : TAK
5) Limfonodi : TAK
6) TMJ : TAK
c. Pemeriksaan intra oral :

Kunjungan II: Kunjungan III:


Pemeriksaan Kunjungan I:
1 minggu 4 tahun
Lesi Intraoral Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pembengkakan Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Gingiva
Stippling Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Bleeding on probing Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Probing Depth Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Resesi Gingiva & Resesi gingiva Resesi gingiva Resesi gingiva
CAL pada gigi: pada gigi: pada gigi:
43,42,41,31,32 43,42,41,31,32, 43,42,41,31,32,3
,33,34 33,34 3,34
Dehisence/ Dehisensi Dehisensi Dehisensi
43,42,41,31,32, 43,42,41,31,32, 43,42,41,31,32,3
Fenestration
33,34 33,34 3,34
Kegoyangan Gigi Kegoyangan Kegoyangan Tidak ada
gigi derajat 2 gigi derajat 2
pada gigi 42 pada gigi 42
d. Resume pemriksaan penunjang (bila ada):
Radiografi periapikal

Ligamen periodontal tampak melebar, kehilangan tulang horizontal


mencapai setengah dari permukaan akar gigi, dan tulang resorpsi pada
alveolus ridge.
e. Kesimpulan pemeriksaan :
Berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat Resesi gingiva dan dehisensi
pada gigi 43,42,41,31,32,33,34. Terdapat mobilitas gigi derajat 2 pada
gigi 42.

PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis : Periodontitis kronis lokalisata
DD : Periodontitis agresif
Prognosis : Fair (sedang)

RENCANA PERAWATAN
Rencana perawatan adalah splinting pada gigi 43 hingga 33 dengan resin
komposit resin yang diperkuat oleh twisted glass fiber. Setelah isolasi rubber
dam, gigi 42 ditempatkan pada posisinya dan disejajarkan dengan gigi
anterior lainnya.

PROSEDUR PERAWATAN
Kunjungan 1:
1. Profilaksis gigi dengan pumice dan Robson brush (Mcrodont)
menggunakan low speed.
2. Permukaan enamel diaplikasikan 37% phosphoric acid (FGM) selama 30
detik.
3. Kemudian dicuci selama 30 detik dan dikeringkan.
4. Dilanjutkan dengan aplikasi bahan adhesive (Scotchbond-3M ESPE).
5. Glass fiber (Interlig angelus) dipotong dan disesuaikan ke ermukaan
lingual gigi sesuai instruksi pabrik.
6. Kemudian semua ribbon ditutupi dengan resin komposit (Filtek XT, 3M
ESPE). Bahan yang sama ini digunakan untuk mendapatkan titi kontak
roksimal antara gigi 42 dan 43 dan merekronstruksi sebagian permukaan
insisal.
7. Pasien diinstruksikan untuk menjaga kebersihan rongga mulut dengan
menyikat hinggainterdental, mengganti sikat gigi setiap 3 bulan, dan
kontrol kembali setelah 1 minggu untuk finishing dan polishing.

Kunjungan 2 (setelah 1 minggu):


Pada kunjungan kedua dilakukan finishing dan polishing dengan sandpaper
disc (Sof-lex, 3M) dan felt disc dengan pasta polishing.

Kunjungan 3 (setelah 4 tahun):


Pada kunjungan setelah 4 tahun tampak jaringan periodontal sehat dan utuh.
Splinting juga berfungsi mempertahankan kenyamanan pengunyahan. Secara
radiografi tidak ada penyakit periodontal lebih lanjut, dan tampak
pengurangan ruang ligament periodontal dan deposisi tulang pada daerah
apikal, lateral dan alveolar ridge.
PEMBAHAASAN

Periodontitis kronis merupakan penyakit peradangan pada jaringan


periodontal yang disebabkan terutama oleh bakteri spesifik pada subgingiva, yang
dapat menimbulkan respon inflamasi gingiva, dan berlanjut ke struktur jaringan
penyangga gigi yaitu sementum, ligamentum periodontal dan tulang alveolar.
Keadaan ini mengakibatkan hilangannya perlekatan gingiva dan terjadinya kerusakan
tulang alveolar lebih dalam, pembentukan poket periodontal, migrasi patologis yang
menimbulkan diastema, dan kegoyangan gigi yang dapat berakibat tanggalnya gigi.
Penyebab utama keradangan gingiva pada periodontitis adalah plak bakteri
subgingiva. Kegoyangan gigi adalah masalah yang sering terjadi pada gigi yang dapat
berakibat terhadap hilangnya gigi dikarenakan penyakit ataupun cedera pada gingiva
atau tulang yang mendukung gigi (Newman, 2012).
Kegoyangan pada gigi dapat bersifat fisiologis ataupun patologis. Pada kasus
ini kegoyangan gigi 42 selain karena periodontitis kronis, juga diperparah akibat
trauma oklusi. Gigi berakar tungal akan lebih rentan mengalami mobilitas disbanding
gigi berakar ganda. Gigi yang mengalami mobilitas rentan semakin parah dari waktu
ke waktu dan menyebabkan fungsi pengunyahan tidak nyaman seperti kasus ini
(Newman, 2012).
Terapi periodontal yang dapat meningkatkan dukungan penyangga pada gigi
goyang sehingga meningkatkan pula kekuatan giginya adalah splinting. Splinting gigi
baik temporer maupun permanen, merupakan terapi tambahan dan tidak bisa
mengobati penyakit periodontal. Akan tetapi splinting dapat membantu dalam
mencegah migrasi patologi, mempertahankan gigi pada posisinya, memfasilitasi
selama perawatan scalling, kuret, dan bedah periodontal, menstabilkan gigi sehingga
beban oklusi dapat terbagi ke beberapa gigi dan tidak tertumpu pada 1 gigi saja (Bhat,
2015).
Bahan splinting twisted glass fiber memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan kawat stainless steel dan resin komposit. Menggabungkan twisted glass
fiber dengan resin komposit dapat meningkatkan kekuatan ikatan dan modulus
elastisitas. Twisted glass fiber menunjukkan keberhasilan jangka panjang dan estetika
yang baik dengan gabunga resin komposit. Bahan ini juga resistensi yang efektif
terhadap oklusi dan kekuatan pengunyahan.
Pada kasus ini menghindari menutup bagian interdental gigi yang mengalami
diastema. Hal tersebut untuk memudahkan pasien dalam menjaga kebersihan gigi di
bagian interdentalnya. Mengontrol jumlah plak dalam rongga mulut sehingga dapat
membantu penyembuhan jaringan periodontal. Hasil laporan kasus ini menunjukkkan
hasil sukses jangka menngah.
DAFTAR PUSTAKA

Ambarawati, G. A. D., 2019, Penatalaksanaan Mobilitas Gigi Dengan Splinting


Fiber Komposit, MEDICINA, 50(2): 226-229.
Ansari, I., Maria R., Virang B., Parverkar P., 2014, Splinting: A Review, NJDSR, 1
(2): 102-105.
Aprillia, A., 2011, Peranan Gigi Tiriuan Sebagai Splin Periodontal, Fakultas
Kedokteran GigiPadjadjaran, Bandung.
Azodo, C. C., Erhabor, P., 2016, Management Of Tooth Mobility In The
Periodontology Clinic: An Overview And Experience From A Tertiary
Healthcare Setting, Afr J Med Health Sci, 15: 50-7.
Bhat VS, Prasad K, Malli P. Periodontal ProsthesisReview. Nitte University Journal
of Health Science. 2015;5(1):97-102.
Bathla, S., 2017, Textbook of Periodontics 1st Edition, Jaypee Brothers Medical
Publisher, NewDelhi.
Carranza, F.A., Takei, H.H., Newman, M., G, 2002, Carranza’z Clinical
Periodontology, 9th Edition, Saunders, Philadelphia.
Eaton, K., Ower, P., 2015, Pratical Periodontics, Elsevier, London.
Fedi, P.F., Vernino, A.R., Gray, J.L. 2012. Silabus Periodonti. Edisi 4. Jakarta : EG
Greene, J., C., Ven-nillion, J., R. 1960. The Simplified Oral Hygiene Index. JADA.
6(8):7-13.
Hapernau, L.A., Kao, R. T., Lundergan, W. P., Sanz, M., 2015, Hall’s Critical
Decisions in Periodontology and Dental Implantology, Ed. 5, People’s
Medical Publishing House, Shelton.
Jacob, P. S, 2011, Factors Influencing Pain Expenrience During Scaling and Root.
Kathariya, R., Archana D., Rahul G., Nan-Dita B., Venu V., Mohammad Y. S. B.,
2016, To Splint or Not to Splint: The
Current Status of Periodontal Splinting, J Int Acad Periodontol, 18(2): 45–
56.
Malik, N., 2012, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery, Jaypee Brothers
Medical Publishers, New Delhi, p. 373-376
Mangla, C., Kaur, S., 2018, Splinting: A Dilemma in Periodontal Therapy,
InternationalJournal of research in Health and Allied Sciences, 4(3): 78-82.
Manson JD, Eley BM. 2013. Buku Ajar Periodonti. Edisi 2. Jakarta: Hipokrates.
Newman, M. G., Takei, H. H., Carranza, F. A., 2006, Carranza’s Clinical
Periodontology 9thEdition, W.B, Saunders Company, Philadelphia, USA.
Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR.2012. Carranza’s Clinical Periodontology
12th Edition. WB Saunders Company. Philadelphia, USA.
Nurhidayat, O., Eram, T., Wahyono, B., 2012, Perbandingan Media Power Point
Dengan Flip Chart Dalam Meningkatkan Pengetahuan Kesehatan Gigi dan
Mulut, Unnes Journal of Public Health ISSN 2252-6781, 1 (1) : 31-35.
Paddmanabhan, P., Preethe, Chandrasekaran, S. C., Ramya, V., Manisundar, 2012,
Tooth Splinting Using Fiber Reinforced Composite & Metal – A
Comparison, Indian Journalof Multidisciplinary Dentistry, 2(4): 592-7.
Perry, D. A., Beemsterboer, P.L., Essex, G., 2014, Periodontology for the
Dental Hygienist,Elsevier Saunders, St. Louis.
Piantuli, S. Hamada, T. 2010.Menuju Gigi dan Mulut Sehat.Medan : USU Press
Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. 2010. Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan
Keras dan Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran.
Wolf HF dan Thomas MH, 2006, Color atlas of dental hygiene periodontology,
Stuttgart, Thieme.

Anda mungkin juga menyukai