Panduan Elvira
Panduan Elvira
MANAJEMEN NYERI
Disusun Oleh:
Jalan Raya BTN Ngadi Tamedan, Desa Fiditan, Kec. Pulau dullah Utara Kota Tual - 97612
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan keluhan yang paling banyak dialami oleh pasien di rumah sakit yang
dapat menyebabkan konsekuensi fisiologis dan psikologis bagi pasien dan bahkan dapat
berdampak sosial. Dengan semakin bertambahnya umur harapan hidup masyarakat Indonesia,
meningkatnya penyakit degeneratif dan trauma serta masih tingginya prevalensi kanker di
Indonesia maka jumlah pasien dengan nyeri yang ada di rumah sakit akan semakin meningkat.
Penanganan nyeri yang tidak adekuat di rumah sakit akan menyebabkan dampak yang
sangat merugikan, bukan hanya bagi pasien karena dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas namun juga bagi rumah sakit dari segi pengeluaran pembiayaan yang digunakan
untuk mengatasi komplikasi akibat penanganan nyeri yang tidak adekuat dan menurunkan
kualitas layanan rumah sakit dan menurunkan tingkat kepuasan pasien pada pelayanan rumah
sakit.
Dalam Deklarasi Montreal tahun 2010, pada pertemuan International Pain Summit yang
diprakarsai oleh International Association Study of Pain (IASP) ditandatangani oleh anggota dari
130 negara dan 64 negara Chapter IASP dinyatakan dengan jelas untuk menjadikan pelayanan
nyeri sebagai suatu hak asasi manusia yang memerlukan perhatian utama dan untuk itu maka
semua pengambil kebijakan dalam bidang kesehatan dan pemerintahan serta tenaga kesehatan
berkewajiban untuk mengambil peran sesuai kewenangannya untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan penanganan nyeri.
Nyeri saat ini menjadi perhatian utama dalam pelayanan di rumah sakit karena penilaian
dan penatalaksanaan nyeri merupakan bagian dari hak pasien dalam pelayanan rumah sakit
sesuai dengan persyaratan akreditasi rumah sakit.
Pada Sistem Akreditasi Rumah Sakit oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit disebutkan
pentingnya penilaian dan penanganan nyeri bagi pasien di rumah sakit sebagaimana yang
tertuang dalam Standar Hak Pasien dan Keluarga (HPK), Standar Asesmen Pasien (AP),
Standar Pelayanan Pasien (PP) dan Standar Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK) sehingga
Rumah sakit dan pelayanan kesehatan berkewajiban untuk memberikan penanganan nyeri.
Selain itu pada standar akreditasi oleh Joint Commision (JCI) edisi 5 tahun 2014 jelas terdapat di
dalamnya tentang perlunya penilaian dan
penanganan nyeri di rumah sakit. Untuk itu maka Rumah sakit menjadikan penilaian nyeri
sebagai salah satu tanda vital dalam penilaian pasien yang tercantum dalam rekaman medis
dan membentuk sistem penanganan nyeri dalam rumah sakit.
Penanganan nyeri selama ini berjalan pada masing-masing unit pelayanan dan disiplin
ilmu dalam pelayanan rumah sakit sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh para tenaga
kesehatan namun dengan berkembangnya pengetahuan dan ilmu kedokteran maka
penanganan nyeri yang optimal membutuhkan penanganan yang lebih kompleks dan
multidisiplin terutama pada penanganan nyeri kronik dan kanker. Dan untuk itu diperlukan
sistem pelayanan penanganan nyeri yang terintegrasi, terkoordinasi dan holistik untuk
memberikan hasil yang optimal, efisiensi pembiayaan pelayanan dan berorientasi pada
keselamatan pasien.
Dalam upaya meningkatkan pelayanan penanganan nyeri di Rumah Sakit maka para
pengambil kebijakan dan tenaga kesehatan perlu memahami konsep dasar tentang nyeri dan
penatalaksanaannya sesuai dengan pengetahuan kedokteran berbasis ilmiah dan bukti. Untuk
itu perlu disusun pedoman tatalaksana nyeri terpadu di rumah sakit yang dapat menjadi acuan
bagi semua pihak yang terlibat dalam penanganan nyeri di rumah sakit yang dapat menjadi
acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam penanganan nyeri di rumah sakit agar terwujud
pelayanan penanganan nyeri yang optimal dan bermutu.
B. Definsi
Nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan sehubungan
dengan adanya atau berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau tergambarkan seperti ada
kerusakan. Nyeri melibatkan aspek persepsi subyektifsehingga nyeri merupakan apa yang
dilaporkan oleh pasien.
Nyeri nosiseptif dapat didefinisikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan sebagai
aktivasi nosiseptor perifer yang terletak di jaringan lain di luar sistem saraf dan dapat berasal
dari struktur somatik dan viseral. Beberapa contoh nyeri nosiseptif seperti nyeri pasca bedah,
nyeri fraktur tulang, nyeri inflamasi, nyeri obstruksi saluran cerna, nyeri miofasial dan nyeri
pada luka bakar.
Nyeri neuropatik digambarkan sebagai sensasi nyeri akibat adanya trauma atau disfungsi pada
saraf sensorik sentral atau sistem saraf perifer. Beberapa contoh nyeri neuropatik seperti
neuralgia postherpetik,causalgia, CRPS (Complex Regional Pain Syndrome), nyeri phantom
limb, neuropati entrapment dan neuropati perifer.
Mixed pain merupakan kondisi nyeri yang kompleks karena melibatkan dua jenis nyeri berupa
nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik pada saat yang bersamaan. Disfungsi atau kerusakan
susunan saraf perifer akan memicu terjadinya pelepasan mediator inflamasi dan selanjutnya
inflamasi saraf. Nyeri miofasial yang biasanya disebabkan adanya input nosiseptif dari otot
namun kemudian dapat menyebabkan terjadinya nyeri neuropatik akibat aktifitas otot yang
abnormal.
Nyeri idiopatik merupakan kondisi yang digunakan untuk kondisi nyeri kronik yang dialami
pasien dan tidak dapat didentifikasi penyebabnya (pain of unknown origin). Dapat merupakan
kondisi yang melibatkan mekanisme psikogenik sentral maupun perifer dan berhubungan
dengan kondisi psikologis seperti depresi. Beberapa contoh nyeri idiopatik seperti sindrom
fibromyalgia, irritable bowel syndrome (IBS).
Mekanisme dasar terjadinya nyeri diawali dengan adanya rangsangan nosisepsi yang
diubah menjadi rangsang listrik (transduksi) kemudian dihantarkan oleh susunan saraf perifer
ke medulla spinalis (konduksi) dan mengalami proses modulasi di kornu dorsalis medulla
spinalis dan susunan saraf pusat yang lebih tinggi (modulasi) serta kemudian dipersepsikan
sebagai nyeri di susunan saraf pusat seperti korteks somatosensorik dan struktur lainnya.
Fisiologi terjadinya nyeri dimulai dari deteksi stimulus nyeri pada level reseptor nyeri
(nociceptor), yang mana merupakan reseptor khusus pada sistem saraf perifer. Sinyal listrik
dihasilkan (transduksi) dan ditransmisikan oleh serabut saraf afferent, serabut A-ō (serabut
saraf bermielin, kecil dan lambat) dan serabut C (serabut saraf tidak bermielin, paling lambat)
pada saraf spinalis dan kranialis. Neuron aferen primer dari serabut tersebut berlokasi di
ganglia radiks dorsalis atau ganglia saraf kranialis. Aferen viseral dari serabut nyeri (A-ō dan C)
berjalan bersama dengan serabut saraf simpatis dan parasimpatis; badan sel mereka juga
ditemukan di ganglia radiks dorsalis. Otot-otot juga diinervasi oleh kedua serabut saraf baik A-ō
maupun C. Sinyal nyeri kemudian ditransmisikan ke neuron sensoris (second order) di kornu
dorsalis medula spinalis. Traktus nosisepsi asendens membawa stimulus nyeri dari kornu
dorsalis medula spinalis ke pusat yang lebih tinggi di sistem saraf pusat (CNS). Traktus
tersebut yaitu traktus spinotalamikus, traktus spinohipotalamikus, traktus spinoretikuler dan
jalur alternatif lainnya. Struktur neural kortikal dan subkortikal berkontribusi terhadap proses
dari sinyal nyeri hingga menyebabkan persepsi nyeri. Nyeri dimodifikasi oleh sistem saraf pusat
melalui inhibisi traktus desendens. Banyak neurotransmiter inhibitor dan eksitator (pemicu)
serta mediator biokimia lainnya yang memediasi proses fisiologi dari persepsi nyeri.
Kemampuan sistem somatosensori untuk mendeteksi rangsang noksius dan potensi
kerusakan jaringan merupakan mekanisme proteksi penting yang melibatkan berbagai interaksi
dari proses sentral dan perifer sebagai tambahan dari efek sensorik ini. Persepsi dan
pengalaman nyeri bersifat multifaktorial dan akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan
psikologis pada setiap individu.
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu berdasarkan onset dan waktu
terjadinya nyeri, berdasarkan patogenesis, intensitas dan penyebabnya.
Berdasarkan onset dan waktu perjalanan terjadinya nyeri maka nyeri dapat dibagi sebagai
nyeri akut dan nyeri kronik
Berdasarkan patogenesis terjadinya nyeri maka nyeri dapat dibagi sebagai nyeri nosisepsi,
nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik.
Berdasarkan intensitas nyeri maka nyeri dapat dibagi menjadi nyeri ringan,nyeri sedang dan
nyeri hebat.
Berdasarkan penyebabnya maka nyeri dapat dibagi menjadi nyeri pasca bedah, nyeri trauma,
nyeri persalinan, nyeri kanker, nyeri reumatik dan lainnya.
Nyeri kronik oleh IASP dapat diklasifikasikan sesuai dengan lokasi, sistem tubuh yang
mengalami nyeri, karakteristik pola munculnya nyeri, intensitas dan lamanya nyeri
dirasakan,serta etiologi penyebab nyeri.
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi segera setelah adanya kerusakan atau berpotensi untuk
mengalami kerusakan dan dimulai dengan terjadi rangsangan pada reseptor nyeri. Contoh
nyeri akut seperti nyeri paska bedah, nyeri pada trauma atau nyeri pada luka bakar
Nyeri akut dalam penatalaksaannya memerlukan penanganan yang segera dan efektif
terutama dengan teknik dan analgesia kuat untuk menghindari komplikasi dan penderitaan
yang sangat merugikan pasien.
Nyeri kronik adalah nyeri yang telah berlangsung sedikitnya tiga sampai enam bulan dengan
etiologi yang berhubungan kelainan neoplastik atau berhubungan dengan penyakit kronis; atau
nyeri dengan durasi yang melebihi masa penyembuhan jaringan pada suatu kerusakan
jaringan yang menyebabkan gangguan fungsi serta keadaan umum pasien. Nyeri kronik terdiri
dari nyeri kanker dan non-kanker.
Nyeri kanker adalah nyeri yang terjadi pada pasien dengan neoplastik/ keganasan dan dengan
sumber nyeri dapat berasal dari proses keganasan, penanganan seperti radioterapi,
kemoterapi dan pembedahan serta penyebab lainnya yang tidak berhubungan dengan proses
keganasan.
Nyeri kronik dan kanker melibatkan aspek biopsikososial yang membutuhkan penanganan
nyeri yang multidisiplin dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dan memperbaiki kualitas hidup.
Pada dasarnya penanganan nyeri dapat dilakukan dengan banyak modalitas yaitu dengan
farmakologi, non-farmakologi, terapi intervensi dan operatif. Jenis penanganan nyeri yang
diberikan ke pasien dengan nyeri sangat tergantung dari diagnosis, jenis dan intensitas nyeri
yang dialami.
Penanganan nyeri dengan modalitas farmakologi adalah penggunaan modalitas obat-obatan
analgesia yang digunakan untuk mengurangi nyeri yang ada berdasarkan patomekanisme
terjadinya nyeri. Analgesia yang termasuk di dalamnya adalah Analgesia Opioid, seperti Opioid
kuat (Morfin, Pethidine, Fentanyl, Hydromorphone, dan Oxycodone dan lainnya) dan opioid
lemah (Kodein, Tramadol); Analgesia Non-opioid (Parasetamol, Anti Inflamasi Non Steroid
(AINS)), Specific COX-2 inhibitor, NMDA receptor antagonist (Ketamin,
dextrometorphane);Obat anti-neuropatik, antikonvulsan, antidepresan,muscle relaxant,
Botulinum toxin, topical agents,dan lainnya.
Penanganan nyeri dengan modalitas non-farmakologi adalah penggunaan modalitas yang
berperan dalam mengurangi nyeri tanpa menggunakan obat-obat analgesia. Modalitas ini
dapat berupa terapi fisik, terapi relaksasi,hipnoterapi, terapi stimulasi saraf, terapi okupasi,
konseling psikologi dan lainnya.
Penanganan nyeri dengan modalitas terapi intervensi nyeri adalah penggunaan metode
intervensi minimal invasif ke struktur-struktur dalam mekanisme perjalanan nyeri untuk
mengurangi nyeri pasien. Modalitas yang termasuk di dalamnya adalah Injeksi muskuloskletal,
Blok saraf, Blok Neuraksial, Neurolisis kimiawi, Ablasi Radiofrequensi, dan lainnya dengan atau
tanpa menggunakan penuntun ultrasound, fluoroskopi atau pencitraan lainnya.
Penanganan nyeri dengan konsep analgesia multimodal adalah penanganan nyeri dengan
memberikan dua atau lebih obat analgesia yang bekerja di tempat mekanisme yang berbeda
dengan dosis masing-masing yang lebih kurang sehingga dapat mengurangi efek samping
namun tetap memberikan efek analgesia yang optimal. Sebagai contoh mengkombinasikan
analgesia opioid dan analgesia non-opioid atau dengan menambahkan tindakan blok saraf dan
neuraksial lainnya.
RUANG LINGKUP
1. Asesmen dan manajemen nyeri dilakukan untuk semua pasien rawat jalan maupun rawat inap
di RSUD H. NOHO RENUAT KOTA TUAL.
2. 2. Asesmen dan manajemen nyeri ini dilakukan oleh dokter dan perawat yang kompeten sesuai
perizinan, undang-undang dan peraturan yang berlaku.
BAB III
KEBIJAKAN
1. Rumah sakit memiliki proses untuk melakukan skrining, pengkajian, dan tata laksana nyeri.
2. Informasi mengenai kemungkinan adanya nyeri dan tata laksananya diberikan kepada pasien
yang menerima terapi/ prosedur/ pemeriksaan terencana yang sudah diprediksi menimbulkan
rasa nyeri
3. Pasien dan keluarga mendapatkan edukasi mengenai pengelolaan nyeri
4. Staf rumah sakit mendapatkan pelatihan mengenai cara melakukan edukasi bagi pengelolaan
nyeri
BAB IV
TATA LAKSANA
Catatan :
Nyeri tidak teratasi bila telah diberikan analgesia namun belum memberikan hasil yang optimal
setelah waktu masa kerja analgesia telah tercapai atau terdapat efek samping analgesia yang
tidak dapat ditoleransi pasien
Rumah sakit memiliki proses untuk melakukan skrining, pengkajian, dan tatalaksana untuk
mengatasi rasa nyeri, yang terdiri dari:
1. Identifikasi pasien dengan rasa nyeri pada pengkajian awal dan pengkajian ulang.
2. Memberi informasi kepada pasien bahwa rasa nyeri dapat merupakan akibat dari terapi,
prosedur, atau pemeriksaan.
3. Memberikan tata laksana untuk mengatasi rasa nyeri, terlepas dari mana nyeri berasal, sesuai
dengan regulasi rumah sakit.
4. Melakukan komunikasi dan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai pengelolaan nyeri
sesuai dengan latar belakang agama, budaya, nilai-nilai yang dianut.
5. Memberikan edukasi kepada seluruh PPA mengenai pengkajian dan pengelolaan nyeri.
1. SKRINING NYERI
Manajemen nyeri yang efektif dimulai dengan skrining awal nyeri. Tahap ini sangat penting
terhadap kualitas pelayanan dan kualitas penyembuhan pasien. Kebijakan Rumah Sakit Siloam
menetapkan bahwa semua pasien yang datang di Unit Rawat Jalan, Unit Rawat Inap dan Unit
Gawat Darurat, dilakukan skrining nyeri. Selain itu, skrining nyeri dilakukan kapan saja jika
terdapat kecurigaan adanya rasa nyeri pada pasien selama masa perawatan. Jika terdapat
nyeri, maka dilakukan asesmen nyeri dengan menggunakan teknik pengukuran yang sesuai
dengan indikasi.
1. Bertanya dengan jawaban: ya atau tidak. Pada umumnya, pada pasien yang sadar baik,
skrining nyeri dilakukan dengan menanyakan, apakah terdapat nyeri/rasa sakit. Hal ini
dikarenakan nyeri adalah perasaan yang sangat subyektif.
2. Bertanya dengan jawaban anggukan atau gelengan. Pasien yang dapat diajak berkomunikasi
namun tidak dapat berbicara diarahkan untuk menjawab pertanyaan skrining dengan
mengangguk (untuk ya,ada nyeri) atau menggeleng (untuk 'tidak ada nyeri).
3. Skrining nyeri kronis. Khusus untuk skrining pada pasien dengan kecurigaan nyeri kronis,
skrining dilakukan dengan empat pertanyaan berikut:
a. Apakah ada nyeri/rasa sakit saat ini?
b. Apakah nyeri tersebut menghalangi Anda untuk beraktivitas?
c. Apakah nyeri tersebut membuat Anda tidak bisa tidur di malam hari?
d. Apakah Anda merasakan nyeri setiap hari?
4. Teknik skrining dan asesmen CRIES (Cry, Respiration, Increasing HR/BP, Expression, and
Sleep) digunakan pada neonatus.
5. Teknik skrining dan asesmen dengan comfort scale digunakan pada pasien bayi, anak, dan
dewasa di ruang rawat intensif / kamar operasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai
menggunakan Numeric Rating Scale Wong-Baker FACES Pain Scale.
6. Tehnik skrining dan asesmen dengan Flacc PainScale digunakan pada bayi dan anak-anak (2
bulan - 7 tahun) yang tidak dapat untuk mengutarakan keparahan rasa nyeri nya atau
mengukur rasa nyeri.
II. ASESMEN DAN PENGUKURAN NYERI
a. Untuk menggali informasi riwayat nyeri pada pasien sesuai standar yang telah ada.
b. Membantu menegakkan tipe nyeri dan etiologi yang memungkinkan.
c. Untuk mengetahui efek nyeri yang dialami pasien apakah berhubungan dengan fungsi sistemik
tubuhnya.
d. Sebagai acuan untuk perencanaan dan pemberian terapi.
e. Sebagai bentuk komunikasi efektif antar petugas /tim manajemen nyeri.
Asesmen nyeri dilakukan baik dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang diagnostic lainnya dengan menggunakan berbagai macam teknik asesmen. Hasil
dari asesmen nyeri dituangkan secara tertulis dalam form dengan sistem PQRST.
Q (Kualitas) :
o Bagaimana rasanya? (gunakan kata-kata untuk menggambarkan rasa sakit seperti ditusuk,
dipukul, terbakar, berdenyut atau berputar)
R (Lokasi) :
o Dimana rasa sakitnya?
o Apa nyeri menjalar?
o Dimana? Apakah sakitnya berpindah-pindah?
o Apakah lokasinya berbeda dari pertama muncul sampai sekarang?
S (Intensitas Nyeri) :
o Berapa Skala nyeri 0 sampai 10, 0 tidak ada rasa sakit dan 10 yang paling sakit?
o Apakah mengganggu aktivitas?
o Seberapa sakit?
o Apakah sampai harus duduk, berbaring, berhenti melakukan aktivitas?
o Berapa lama sakitnya?
T (Time) :
o Kapan mulai terasa sakit?
o Berapa lama rasa sakit yang terakhir?
o Seberapa sering dan lama? Setiap hari? Minggu? Bulan?
o Munculnya tiba-tiba atau perlahan?
o Apa yang dilakukan saat pertama kali mengalaminya?
o Kapan dialaminya? Pagi? Siang? Malam?
o · Apakah sampai terbangun? Apa dampak dari rasa sakitnya?
o · Apakah itu berulang?
f. Riwayat keluarga
2) Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam, dan
sebagainya.
h. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang, asesmen dan
penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh atau
verbal akan rasa nyeri.
Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai menimbulkan
perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru
(misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik
a. Pemeriksaan umum
3) Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi, hiperpigmentasi,
ulserasi, tanda bekas jarum suntik
b. Status mental
4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada harapan, atau
cemas.
c. Pemeriksaan sendi
2) Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan gerak,
diskinesis, raut wajah meringis, atausimetris.
5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah ini.
Derajat Definisi
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
e. Pemeriksaan sensorik
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tuskan jarum-pin prick), getaran,dan suhu.
1) Evaluasi nervus kranial I - XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau servikal dan
sakit kepala
2) Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan klonus
membutuhkan kontraksi > 4 otot.
Refleks Segmen spinal
Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medial L5
Achilles S1
3) Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi upper motor neuron)
4) Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan melakukan tes dismetrik
(tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan tumit-ke-tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes
keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi).
g. Pemeriksaan khusus
1) Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak ditemukan etiologi
secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami
hipokondriasis, histeria, dan depresi.
· Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat gerakan yang sama
dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi)
b. Pemeriksaan radiologi
1) Indikasi:
b. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit inflamatorik,
dan penyakit vascular.
c. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
VAS adalah suatu cara untuk mengukur intensitas nyeri. Dikatakan sangat sensitif, dari segi
biaya lebih murah dan mudah untuk dibuat, juga lebih sensitif serta lebih akurat dalam menilai
nyeri dibandingkan pengukuran secara deskriptif. VAS sudah memiliki korelasi yang kuat
dengan pengukuran lainnya sehingga dapat diaplikasikan pada semua pasien. Tetapi
pengukuran dengan memakai VAS juga sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap
alat ukur tersebut. Sehingga diperlukannya edukasi/ informasi dari dokter tentang VAS
terhadap pasien sebelum dilakukan penilaian nyeri. Caranya dengan menarik garis horizontal
sepanjang 10 cm, pasien menujuk di sepanjang garis dengan ujung kiri tidak nyeri,ujung paling
kanan nyeri hebat, lalu di ukur dari sisi kiri ke titik yang ditunjuk oleh pasien.
Tidak Nyeri
Nyeri Hebat
Memeriksa derajat nyeri yang diderita oleh pasien di ruang rawat intensif/ high care unit/ kamar
operasi. Indikator yang dinilai pada skala ini adalah:
Indikator Skor Deskripsi
Rileks, netral 0
Tidak terlihat
adanya
ketegangan otot
normal
Gerakan 1
Lambat, gerakan hati-
perlindungan hati,menyentuh lokasi
nyeri,mencari perhatian
melaluigerakan
gerakan pasif
ventilator
Kepatuhanterhada
dangerakan
p
1 Batuk, alarm mungkin aktif
ventilator Batuk
tapi tapi berhenti secara spontan
(Pasien
masih toleran
diintubasi)
Melawan 2 Tidak sinkron:
ventilator blockingventilasi, alarm
aktif terus-menerus
Interpretasi :
Rileks, netral 0
Tidak terlihat adanya
ketegangan otot
1
Gerakan tubuh Gerakanperlindunga Lambat, gerakan hati-
n hati,menyentuh lokasi
nyeri,mencari perhatian
melaluigerakan
gerakan pasif
0
Berbicaradengan Berbicara dengan
nadanormal nadanormal atau tidak
atautidak ada suara
Vokalisasi(pasie adasuara
n
Mendesah, 1 Mendesah,mengerang
diekstubasi)
mengerang
terisak-isak
Interpretasi :
Skor 0 : Tidak Nyeri
Menangis
Pola Pernafasan
3)Skor:
3-gelisah
5-hiper alert
Ketenangan 1-tenang
2-agak cemas
3-cemas
4-sangat cemas
5-panik
Distresspernapasan 1-tidak ada respirasi spontan dan
tidak ada
batuk
batuk terus-menerus/tersedak
2-terisak-isak
3-meraung
4-menangis
5- berteriak
2-kedang-kadang bergerak
perlahan3- sering bergerak
perlahan
Indikasi :
Bayi dan anak-anak ( 2 bulan - 7 tahun ) yang tidak dapat untuk mengutarakan
keparahan rasa nyeri nya atau mengukur rasa nyeri.
Intruksi :
1) Masing masing ( 5 ) kategori dibuat skore dari 0 - 2, karena itu hasil total skor adalah
diantara 0 - 10.
a)(F)rupa
b) (L)kaki
c)(A)aktivitas
d) (C) tangisan
g. CRIES
Requires: Perlu O2 untuk SaO2<95%- Bayi yang mengalami rasa nyeri ditnadai dengan
penurunan oxygenasi. Pertimbangkan penyebab lain hypoxemia. Misalnya oversedasi,
atelectasis, pneumothorax
penilaian
0 Keduanya baik Detak Jantung dan Tekanan Darah tidak berubah atau kurang dari nilai
baseline
1 Detak Jantung atau Tekanan Darah meningkat tetapi peningkatan < 20 % nilai
baseline
2 Detak Jantung atau Tekanan Darah meningkat > 20 % dari nilai baseline
Expression: Ekspresi - guratan ekspresi yang paling sering berasosiasi dengan sakit adalah satu seringai.
Satu seringai mungkin ditandai oleh penurunan kening, mata memejam, kerutan dalam pada garis naso
1 Seringai ada
Sleepless: Susah Tisur - score susah tidur dinilai pada saat penilaian scoring ini
berlangsung
Skor :
analgetik
Instruksi:
Masing-masing (5) kategori diberikan skor dari 0-2, karena itu hasil total skor adalah
diantara 0-10.
Tim Interdisipliner bekerjasama dengan pasien / keluarga (jika bisa), dapat menentukan
intervensi yang sesuai dalam merespon skor CRIES
h. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedang, asesmen dan
penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh
atau verbal akan rasa nyeri
Pelaksanaan assessment awal pasien rawat inap selesai dalam waktu 24 jam atau lebih
cepat dengan bukti pencatatan tanggal dan jam.
Asesmen ulang nyeri dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan
menunjukkan adanya rasa nyeri.
Asesmen ulang nyeri adalah prosedur menilai ulang derajat nyeri pada pasien yang
bertujuan untuk mengevaluasi intervensi yang telah dilakukan terkait penatalaksanaan
nyeri yang telah diberikan, dengan interval waktu sesuai kriteria sebagai berikut :
2. Panduan umum :
a. Pemberian parenteral, injeksi : 15 menit
Dokter dan Perawat memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga terkait dengan
management nyeri yang akan dilakukan kepada pasien untuk mengatasi nyeri sesuai
dengan latar belakang agama, budaya, nilai-nilai pasien, dan keluarga dan
didokumentasikan pada rekam medis pasien.
Pasien dan keluarga diberikan edukasi tentang kemungkinan timbulnya nyeri akibat
tindakan yang terencana, prosedur pemeriksaan, dan pilihan yang tersedia untuk
mengatasi nyeri.
1. Pendekatan Farmakologis
c. Parasetamol
1) Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat dikombinasikan dengan
opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih besar.
2) Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa dapat diberikan
dosis 3-4 kali 500 mg perhari
1) Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang,anti-piretik
2) Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema, dan urtikaria)
karena sering terjadi reaksi anafilaktoid.
4) Ketorolak:
a) merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif untuk nyeri
sedang-berat
f. Anti-konvulsan
2) Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik. Efek
samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4 kali sehari).
i. Tramadol
1) Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping
yang lebih sedikit / ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi OAINS.
2) Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker,
osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia,neuralgia pasca-
herpetik, nyeri pasca-operasi.
5) Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg dalam 24
jam.
·Dapat
dinaikkansa
mpai
tercapaiefe
k analgesik
yangdiingin
kan.
Dapat
dinaikkansa
mpai
tercapaiefe
k analgesik
yangdiingin
kan.
j. Opioid
· Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian secara infus, opioid
long acting
b) Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan menggunakan skor
sedasi, yaitu:
0=sadasadar penuh
d) Toksisitas metabolit
·Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk penatalaksanaan nyeri pasca-
bedah
·Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal, terutama pada pasien
usia > 70 tahun
e) Efek kardiovaskular :
· Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume intravascular; serta level
aktivitas simpatetik
rendah)
24 (dosis
tinggi)
Efek
samping:·Eks ++ ++ - +
trapiramidal
- + - +
·Anti-
-
kolinergik· + + +
sedasi
Dosis (mg) 10 0,25-0,5 4 12,5
Oral, IV,
Jalur pemberian IV,IM Oral,IV Oral, IM
IM
6) Pemberian Oral:
a. sama efektifnya dnegan pemberian parenteral pada dosis yang sesuai.
7) Injeksi intramuscular:
8) Injeksi subkutan
9) Injeksi intravena:
Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis.
Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek anestesi lokal
(pada konsentrasi tinggi).
500- 4-6
Paracetamol 4000
1000 jam
325- 4-6
aspirin 6000
1000 jam
Obat untuk
nyeri
sedang
200- 4-6
Ibuprofen 3200
800 jam
250- 6-8
Naproxen 1500
500 jam
8-12
Indometacin 25 200
jam
500- 8-12
Nabumeton 2000
750 jam
30-60
(IM)
Ketorolak 120
30(IV)
100-
celecoxib 12jam 400
200
a) Penilaian ergonomis/adaptasi
b) Aktivitas hidup/modifikasi pekerjaan
c) Strategi langkah
4) Terapi manual
c) Pijatan (massage)
Merupakan manipulasi yang dilakukan pada jaringan lunak yang bertujuan untuk
mengatasi masalah fisik, fungsional atau terkadang psikologi.
Pijatan dilakukan dengan penekanan terhadap jaringan lunak baik secara terstruktur
ataupun tidak, gerakan-gerakan atau getaran, dilakukan menggunakan bantuan media
ataupun tidak.
Beberapa teknik massage yang dapat dilakukan untuk distraksi adalah sebagai berikut;
Gesekan. Memijat punggung dengan ibu jari, gerakannya memutar sepanjang tulang
punggung dari sacrum ke bahu.
Eflurasi.Memijat punggung dengan kedua tangan, tekanan lebih halus dengan gerakan
ke atas untuk membantu aliran balik vena.
Petriasi. Menekan punggung secara horizontal. Pindah tangan anda dengan arah yang
berlawanan, menggunakan gerakan meremas.
Tekanan menyikat. Secara halus, tekan punggung dengan ujung-ujung jari untuk
mengakhiri pijatan.
5) Traksi
c) Fase aplikasi: praktek dan penerapan ketrampilan dalam situasi kehidupan nyata
a) Memecahkan masalah
b) Mencari informasi
e) Perubahan lingkungan
1) Distraksi
Teknik distraksi adalah teknik yang dilakukan untuk mengalihkan perhatian klien dari
nyeri. Teknik distraksi yang dapat dilakukan adalah:
2) Terapi perilaku
Bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan nyeri dan meningkatkan
perilaku yang dapat menurunkan nyeri
Terapi musik adalah proses interpersonal yang digunakan untuk mempengaruhi keadaan
fisik, emosional, mental, estetik dan spiritual, untuk membantu klien meningkatkan atau
mempertahankan kesehatannya.
Therapy musik digunakan oleh individu dari bermacam rentang usia dan dengan
beragam kondisi; gangguan kejiwaan, masalah kesehatan, kecacatan fisik, kerusakan
sensorik, gangguan perkembangan, penyalahgunaan zat, masalah interpersonal dan
penuaan. Therapy ini juga digunakan untuk mendukung proses pembelajaran,
membangun rasa percaya diri, mengurangi stress, mendukung latihan fisik dan
memfasilitasi berbagai macam aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan.
4) Guided Imaginary
Yaitu upaya yang dilakukan untuk mengalihkan persepsi rasa nyeri dengan mendorong
pasien untuk mengkhayal dengan bimbingan. Tekniknya sebagai berikut:
b) Dengan suara yang lembut, mintakan klien untuk memikirkan hal-hal yang
menyenangkan atau pengalaman yang membantu penggunaan semua indra.
c) Mintakan klien untuk tetap berfokus pada bayangan yang menyenangkan sambil
merelaksasikan tubuhnya.
5) Relaksasi
Teknik relaksasi didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh berespon pada ansietas yang
merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan
ketegangan fisiologis. Teknik ini dapat dilakukan dengan kepala ditopang dalam posisi berbaring
atau duduk dikursi. Hal utama yang dibutuhkan dalam pelaksanaan teknik relaksasi adalah klien
dengan posisi yang nyaman, klien dengan pikiran yang beristirahat, dan lingkungan yang tenang.
Teknik relaksasi banyak jenisnya, salah satunya adalah relaksasi autogenic. Relaksasi ini mudah
dilakukan dan tidak berisiko.
Ketika melakukan relaksasi autogenic, seseorang membayangkan dirinya berada dalam keadaan
damai dan tenang, berfokus pada pengaturan napas dan detakan jantung. Langkah-langkah
latihan relaksasi autogenic adalah sebagai berikut:
Tarik napas sekuat-kuatnya lalu buang secara perlahan-lahan sambil katakan dalam
hati 'saya damai dan tenang'.
Fokuskan perhatian pada lengan dan bayangkan kedua lengan terasa berat.
Selanjutnya, secara perlahan-lahan bayangkan kedua lengan terasa kendur, ringan,
sehingga terasa sangat ringan sekali sambil katakana 'saya merasa damai dan tenang
sepenuhnya'.
Lakukan hal yang sama pada bahu, punggung, leher dan kaki.
· Bayangkan darah mengalir keseluruh tubuh dan rasakan hawa hangatnya aliran darah,
seperti merasakan minuman yang hangat, sambil mengatakan dalam diri 'saya merasa
senang dan hangat'.
· Tempelkan tangan kanan pada dada kiri dan tangan kiri pada perut.
· Bayangkan dan rasakan jantung berdenyut dengan teratur dan tenang. Sambil
katakana 'jantungnya berdenyut dengan teratur dan tenang'.
· Posisi kedua tangan tidak berubah. Rasakan pembuluh darah dalam perut mengalir
dengan teratur dan terasa hangat.
· Katakan dalam diri 'darah yang mengalir dalam perutku terasa hangat'.
Tipe
nyeri Metode Lainn
atau Metode fisik
psikologis ya
sumber
Nyeri Imobilisasi Edukasi
akut getaran atau pasien,relaksasi,
dingin pencitraan,
gangguan
respon bio,
hypnosis
Trauma Relaksasi,
Istirahat,
hipnosis,
kompres es,elevasi
gangguan,
Terapi
fisik(peregangan,pengua dukungan
tan,terapi
thermal,TENS, psykoterapi,pelati
han
getaran)
ketrampilan
Luka
bakar
Ektremitasketinggian·
Minimalkanpergantianpakaia
Edukasi
n pasien,rela
ksasi
mendalam,
gangguan,
pencitraan,
relaksasi musik
Prosed
· Aplikasi dingin
ural
(sebelum dansesudah
prosedur)Iritasi
konter(pijat
sederhana,menggaruk,teka
nan)
Istirahat
atauimobilisasi(setela
h
prosedur)
Kebidan
an
Edukasi
pasien,relaks
asi
pernafasan,gangguan
1. Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung sesaat dengan durasi beberapa menit yang
hilang timbul hingga beberapa hari. Ciri khas suatu nyeri akut adalah nyeri yang
diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilang seirama
dengan proses penyembuhannya.
2. Nyeri kronis non cancer. Tujuan dari manajemen nyeri tersebut adalah untuk
mengurangi penderitaan termasuk nyeri yang berhubungan dengan distres emosional,
meningkatkan kualitas fisik,sosial dan fungsi komunikasi serta untuk meningkatkan
kemampuan strategi menolong diri sendiri dan hubungan dengan orang lain.
a. Edukasi pasien: konseling nyeri, perubahan pola hidup yang mengurangi nyeri
c. Pendekatan fisikal non obat : terapi panas atau dingin, TENS, pemijatan, akupunctur
d. Terapi okupasi : perhatian mengenai mekanisme tubuh, terapi menjalani level aktifitas
normal sehari-hari
e. Terapi obat-obatan : Non opioid, opioid, anti depresan, obat antiepilepsi, antihistamin,
stimultan, anestetikum
f. Pendekatan psikologis: Teknik relaksasi, hipnotikum, biofeedback, modifikasi
behavior, psikoterapi
3. Nyeri karena cancer. Dibandingkan dengan nyeri akut atau nyeri kronik, maka
masalah nyeri kanker jauh lebih rumit. Hal itu disebabkan karena nyeri kanker tidak saja
bersumber dari faktor fisik akibat adanya kerusakan jaringan, tetapi juga diperberat oleh
faktor nonfisik berupa faktor psikologis, sosial budaya dan spiritual, yang secara
keseluruhan disebut nyeri total. Dengan kata lain, Nyeri total dibentuk oleh berbagai
unsur yakni, biopsikososio-kulturo-spiritual.Oleh karena itu, pengelolaan nyeri kanker
yang baikmembutuhkan pendekatan multidisplin yang melibatkan semua disiplinilmu
yang terkait. Bahkan lebih dari itu, anggota keluarga penderita pun harus dilibatkan
utamanya dalam perawatan yang tidak kurang pentingnya. Dalam panduan ini, nyeri
karena cancer tidak dibahas karena di RSUD Dr.(H.C) Ir. Soekarno tidak terdapat
pelayanan penderita cancer.
1. Nyeri Akut
1) Nyeri somatik:
a) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat kima dari
sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit.
b) Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam,
menusuk, atau seperti ditikam.
2) Nyeri visceral:
a) Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika terstimulasi akan
menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan
benda berat.
c) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi, bradikardia,
berkeringat.
3) Nyeri neuropatik:
a) Berasal dari cedera jaringan saraf
b) Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat disentuh),
hiperalgesia.
c) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera (sementara pada
nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya)
d) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi diskus,
AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi / radioterapi.
a) OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang-berat.
c) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat, dapat ditingkatkan
menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24
jam setelah langkah 1).
d) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalah
morfin, kodein.
e) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan.
f) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara bertahap
· patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak sesuai indikasi dan
onset kerjanya lama.
*Istilah:
· NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug
g) Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn) intravena untuk nyeri akut,
dengan syarat:
· Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap biasa
Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua pasien
harus diobservasi dengan ketat selama fase ini.
Keterangan:
Skor nyeri: S=tidur n =tidur
Skor sedasi:
normal
0 =tidak 0 = sadar pe 0=sadar penuh
1 = sedasisedasi ringan,kadang
Nyeri 1-3 =nyeri
mengantuk, mudah
ringan
dibangunkan
4-6 = nyeri
2=seedasi sedang, sering secara
sedang konstan mengantuk,
7-10=nyeri mudah dibangunkan
dibangunkan
haruslah dalam diketahui),atau
*Catatan:
c
·Jika tekanan rentang 30%
arilah
darah sistolik < tekanan darah saran/bantuan.
pasien (jika
· opioid
o Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif yang mengandung serat
karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut.
o Gatal: pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan
antihistamin.
o Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4mg nalokson dengan
NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10ml). Berikan 0,02 mg (0,5ml) bolus setiap
menit hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat
terapi opioid jangka panjang.
· OAINS:
3) Non-farmakologi:
a) Olah raga
b) Imobilisasi
c) Pijat
d) Relaksasi
e) Stimulasi saraf transkutan elektrik
e. Pencegahan
1) Edukasi pasien:
c) Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki pertanyaan /
ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
d) Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk
penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik,dan jadwal control).
1) Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas
seperti biasa / normal.
1) anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen nyeri sebelumnya)
3) asesmen fungsional:
a) Nyeri neuropatik:
·Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri sesuai dengan
persarafannya, baal, kesemutan, alodinia.
Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri
berlangsung selama>3bulan
mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul, dan ekstremitas bawah.
Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat kelemahan, keterbatasan gerak.
· Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor
yang memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor pekerjaan)
· Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera /
luka.
Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain ligament/otot), degenerasi
diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi, fraktur.
1) Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri (depresi, cemas, riwayat
penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur)
b) Faktor finansial
1) Prinsip level 1:
a) Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki tidur, tingkatkan
aktivitas fisik, manajemen stress, kurangi nyeri).
c) Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi fungsi untuk
membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering
mencakup manajemen stress, latihan fisik, terapi relaksasi, dan sebagainya
Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan untuk control dipengaruhi
oleh peningkatan level nyeri pasien.
a) Nyeri Neuropatik
OAINS,kortikosteroid, opioid
anestesi regional: blok simpatik, blok epidural / intratekal, infus epidural / itratekal
rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi, metode ergonomis
o terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi tegangan otot dan toleransi terhadap
nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan terancam atau tidak nyaman karena nyeri
kronis)
b) nyeri otot
lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor psikososial yang dapat menghambat
pemulihan
· berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar / awal dan ditingkatkan secara
bertahap.
Rehabilitasi fisik:
mekanik
manajemen perilaku:
stress/ depresi
antidepressant
c) nyeri inflamasi
penyebab yang sering: tumor / kista yang menimbulkan kompresi pada struktur yang
sensitif dengan nyeri, dislokasi,fraktur.
Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi, bidai, alat
bantu.
Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri saat terapi lain
diaplikasikan.
b) Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi opioid jangka panjang untuk
nyeri kronik non-kanker.
Intractability 1=pe1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara minimal
penyalahgunaan obat.
psikofarmaka
Reliabilitas
1=ba= banyak masalah:
penyalahgunaan obat, bolos
kerja / jadwalcontrol, komplians
buruk
2=terl= terkadang mengalami kesulitan dalam
komplians, tetapi secarakeseluruhan dapat
diandalkan
3=san= sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal control, dan terapi)
Dukungan
1=hid= hidup kacau, dukungan
sosial keluarga minimal, sedikit teman
dekat,kehilangan peran dalam
kehidupan normal
2=kur= kurangnya hubungan dengan oral dan kurang
berperan dalamsosisl
3=kel= keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam
Efikasi
1=fungfungsi buruk atau
pengurangan nyeri minimal meski
denganpenggunaan dosis obat
sedang-tinggi
2=fun= fungsi meningkat tetapi kurang efisien
(tidak menggunakanopioid dosis sedang-tinggi)
Keterangan:
Skor 7-13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
c) Intervensi: injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi intra-
sendi, injeksi epidural
4) Manajemen level 2
a) meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau
pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal).
b) Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif / manajemen level 1.
c) Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan dengan manajemen level 1.
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik:
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik
VIII. MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK
1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma, sakit
perut dan faktor psikologi
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap kerusakan
jaringan yang sama atau sederajat.
3. Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri
4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik:
Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik
Obat
Analgesik Non-obat
· Analgesik adjuvant Kognitif
anestesi Fisik
perilaku
5. Pemberian analgesik:
a. 'By the ladder': pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri anak
(ringan, sedang, berat).
2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke level 2(pemberian
analgesik yang lebih poten).
3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap diaplikasikan
sebagai analgesik adjuvant.
4) Analgesik adjuvant
· Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek
analgesik dalam kondisi tertentu.
· Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik adjuvant sebagai level 1.
Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik.
Kategori:
Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan masa kerja obat
dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri
pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi.
c. 'by the child': mengacu pada peemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi
masing-masing individu.
1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive, dan efektif;
biasanya per oral.
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka
mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
1) Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilihlah jalur oral.
2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat dengan dosis 50%-
200% dari dosis infus perjam kontinu prn.
3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan dosis infus IV per-
jam kontinu sejumlah: total dosis opioid prn yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24.
Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50%.
5) Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas , tingkatkan dosis sebesar
50%.
6) Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang menerima opioid >1
minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis
50% selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan
dosis morfin oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
7) Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi dan
menimbulkan mioklonus, hiperrefleks, dan kejang.
1) Konseling
2) Manipulasi chiropractic
3) Herbal
6. Terapi non-obat
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek yang besar
dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti music, cahaya,
warna, mainan, permen, computer, permainan, film, dan sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan nyeri dan
meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri.
Terapi non-obat
Kognitif Perilaku Fisik
1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang - orang yang berusia ≥ 60 tahun.
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya dibandingkan
dewasa muda.
3.Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia
trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit degenerative.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga tubuh, punggung, tungkai
bawah, dan kaki.
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatric.
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
6. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan menggunakan
Functional Pain Scaleseperti di bawah ini:
nyeri
0 Tidak nyeri
7. Intervensi non-farmakologi
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi, umpan balik
positif, hypnosis.
b. Opioid:
1) risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek).
2) Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk mencegah konstipasi
(preparat senna, sorbitol).
6) Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid sebesar 50-100%
dari dosis semula.
c. Analgesik adjuvant
· Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan menjadi
300 mg/hari
9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan gastrointestinal
meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi.
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering
tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi.
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.
15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi.
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi analgesik, antidepressant, dan sedasi secara rutin harian.)
17.Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan
hingga tercapai dosis yang diinginkan.
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan imunitas tubuh
c. Control nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan gelisah.
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak. Polifarmasi dapat
meningkatkan risiko jatuh dan delirium.
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek samping
gastrointestinal lebih besar)
c. Propoxyphene: neurotoksik
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan kombinasi
preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents).
21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen
pada nyeri akut).
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan OAINS dan analgesik adjuvant
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hati-
hati dalam memberikan obat kombinasi
Berikan edukasi bahwa nyeri padapersalinan adalah sebuah "sinyal” untuk memberitahukan
kepada ibu bahwa dirinya telah memasuki tahapan proses persalinan. Tata laksana
dilakukan mulai dari Tatalaksana non-farmakologi sampai dengan Farmakologis.
· Lakukan relaksasi, seperti tarik nafas dalam, bernafas dengan irama/ pola teratur, dan
atau meditasi pernafasan yang menenangkan
DOKUMENTASI
1. Setiap kegiatan yang sudah dilakukan didokumentasikan ke dalam rekam medis pasien.
2. Asesmen nyeri rawat jalan didokumentasikan dalam rekam medis rawat jalan
3. Asesmen nyeri rawat inap didokumentasikan dalam rekam medis pasien rawat inap
4. Asesmen nyeri di dokumentasikan di lembar Early Warning System (EWS), lembar konsultasi dan
lembar monitoring atau lembar observasi pasien
6. Pemberian edukasi nyeri didokumentasikan di formulir lembar edukasi pasien dan keluarga
terintegrasi di status rekam medis pasien