Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Umumnya di Indonesia kata ustadz disematkan pada pengajar baca-
tulis di taman pendidikan Al-Qur’an, serta pendidikan disekolah berbasis
agama (madrasah diniyah) di pesantren, bahkan penceramah yang
diorbitkan di televisi.mudarris, mu’allim, dan mu’adib memiliki artiyang
sama dengan ustadz yakni seorang pendidik atau guru. Perbedaan dari
setiap kata tersebut terletak pada ruang gerak dan ruang lingkuo
pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan. Pengajar atau pendidik
merupakan orang yang menyampaikan ilmu, baik pengalaman,
keterampilan maupun ilmu pengetahuan. Ustadz atau pendidik di
pesantren harus mendidik peserta didiknya tentang akhlak dan budi
pekerti, serta membangun aspek jasmani dan ruhaniyah peserta didiknya
yang biasa disebut dengan kata santri (Idris. 2008).
Mengabdi pada hakikatnya melayani. Mengabdi berarti siap menjadi
pelayan sesuai dengan kemampun yang dimiliki. Berdasarkan hasil data
awal yang diperoleh dari wawancara dengan subjek M bahwasanya
pengabdian dibagi menjadi dua kategori yakni pengabdian ilmu dan
pengabdian pemikiran dan tenaga. Pengabdian ilmu seperti halnya
pengabdian pada umumnya, yakni menyampaikan ilmu yang sudah
diterima oleh pengabdi/ustadz kepada santri yang ada taman pendidikan.
Pengabdian merupakan kegiatan timbal balik, dimana setelah
mendapatkan ilmu dari guru, santri harus menyampaikan kepada orang
lain atau masyarakat yang membutuhkan sentuhan dari alumni atau
pengabdi. Bahkan pengabdian tidak hanya dilakukan didalam pesantren
saja, melainkan juga dilakukan diluar pesantren dengan anjuran atau
rekomendasi dari pengasuh pesantren. Pengabdian ilmu merupakan
pengabdian dimana pengabdi atau ustadz yang mengabdi menyampaikan
ilmu-ilmu yang dimiliki.
1
Pengabdian pemikiran dan tenaga merupakan pengabdian dimana
individu menyalurkan ide-ide kreatif atau menyalurkan sumbangsih
perubahan pondok menjadi lebih baik, bisa dalam bentuk konsep-konsep
yang kemudian disampaikan kepada pengasuh atau pihak yang berwenang,
guna untuk meberikan perubahan yang lebih baik tanpa menghilangkan
ciri khas dari sebuah pesantren. Seperti halnya saat ini mengaji melalui
online atau masih banyak yang lain. Mayoritas ustadz yang mengabdi di
pesantren merupakan alumni pesantren itu sendiri dan lebih banyak
pengabdi yang belum menikah atau berkeluarga. Sedangkan pengabdi
yang sudah menikah atau berkeluarga tidak terlalu banyak, hanya beberapa
orang saja. Banyak sekali ustadz yang mengabdi, setelah menikah lebih
memilih untuk hidup bersama keluarga dan tidak melanjutkan pengabdian
di pesantren (18 Oktober 2020).
Ustadz yang mengabdi dipesantren tidak banyak yang tinggal
dilingkungan pesantren, mayoritas ustadz tinggal di rumah yang tak jauh
dari pesantren bahkan ada yang berada jauh dari pesantren. Ustadz yang
mengabdi dipesantren memiliki peran yang ganda, dimana pada saat
berada dipesantren menjadi seseorang yang disegani dan menjadi
seseorang yang lebih banyak disorot oleh anak didiknya bahkan
masyarakat sekitar. Sedangkan pada saat dirumah seorang ustadz memiliki
peran sebagai ayah dan juga suami yang menjadi panutan bagi anggota
keluarganya. Seperti halnya penuturan menurut Hawari (dalam Febriani &
Diana, 2019) keharmonisan keluarga bisa terwujud apabila unsur
berfungsi memenuhi peran yang dimaksudkan, menganut nilai-nilai
agama. Seorang ustadz juga berperan sebagaimana mestinya yangmana
pada saat dirumah mengajarkan bagaiaman perikalu baik yang diajarkan
sesuai dengan nilai agama.
Seorang ustadz tidak hanya sebatas mengajarkan atau menyampaikan
ilmu secara konseptual, akan tetapi memberikan penjelasan secara detail
pada anak, peserta didik atau santri bagaimana maksud dari yang
disampaikan dengan cara pada saat jadwal jam mengajar. Sebagai seorang

2
suami pun tetap memenuhi kewajibannya, yang mana tetap menjaga
komunikasi antar keluarga baik dengan istri, anak maupun orangtua.
Hubungan yang seperti inilah menjadikan keluarga lebih harmonis,
dimana menurut Hurlock (1999) suami istri yang bahagia ketika memiliki
cinta yang matang, melakukan peran masing-masing serta mampu
menerima peran dalam menjadi orangtua. Hubungan interpersonal inilah
yang menjadi awal dari keharmonisan keluarga. Mengabdikan diri tidaklah
mudah apalagi bagi ustadz yang notabennya sudah memiliki keluarga,
namun tetap meluangkan waktunya untuk mengabdikan diri dipondok.
Beberapa narasumber yang sudah ditemui bukan hanya sebagai pengabdi
dipesantren, akan tetapi tetap memiliki pekerjaan diluar pesantren untuk
mengisi waktu luang.
Keluarga yang harmonis merupakan impian setiap manusia, seperti
halnya ustadz yang mengabdi di pesantren. Keluarga yang mampu
memahami kelemahan masing-masing anggota, menghargai individualitas,
serta rukun dalam mengatasi setiap masalahn merupakan salah satu ciri
keluarga yang harmonis. Jika semua anggota keluarganya merasakan
kebahagiaan, sedikitnya ketegangan dalam keluarga, kekecewaan, dan
merasa puas akan berbagai situasi dan keberadaan dalam keluarga meliputi
aspek fisik, mental, emosi, dan social. Kebahagiaan keluarga merupakan
salah satu prasyarat terciptanya keharmonisan dalam keluarga, lebih
tepatnya salah satu prasyarat bagi pasangan untuk mengatasi konflik yang
terjadi dalam keluarga (Nancy, 2013).
Menurut Gunarsa (2000) ketika anggota keluarga merasakan
kebahagiaan dapat diketahui dari berkurangnya stress, frustasi, serta
penerimaan terhadap segala sesuatu dan keberadaannya. Adanya
kedamaian, cinta kasih serta saling membahagiakan setiap pasangan
maupun anggota keluarga merupakan unsur penting dalam menjadikan
keluarga yang ideal.
Hawari (dalam Febriani & Diana, 2019) keharmonisan keluarga
tercapai ketika setiap bagian dalam keluarga berfungsi dengan baik,

3
berperan, dan memegang teguh nilai-nilai agama, sehingga terciptalah
interaksi social yang baik dalam keluarga. Mengenai aspek-aspek
keharmonisan keluarga yakni: mewujudkan kehidupan beragama dalam
keluarga, menyisihlan waktu bersama keluarga, memiliki hubungan yang
bai kantar keluarga, saling menghormati setiap anggota keluarga,
sedikitnya konflik dalam keluarga, serta eratnya ikatan antar anggota
keluarga.
Seperti halnya ustadz yang mengabdi di pesantren, kegiatan ustadz-
ustadz tersebut tidak hanya sebatas mengajar, namun juga ikut
menyalurkan konsep bagaimana agar pondok tersebut lebih maju lagi atau
agar ada pondok tersebut menuju perubahan yang lebih baik tanpa harus
menghilangkan peraturan-peraturan yang sudah ada. Menurut salah satu
narasumber yang ditemui dikediamannya, pengabdian kepada pondok
tidak hanya berada didalam pondok tersebut melainkan dengan melayani
masyarakat juga termasuk pengabdian yang telah diajarkan di pesantren.
ilmu yang telah didapat dari pesantren disampaikan kepada masyarakat
yangmana individu tersebut tetap membawa nama pesantren. Ada juga
yang mengikuti program pengabdian dari pesantren, dimana pesantren
mengirim santrinya baik secara individu maupun kelompok ke tempat
yang membutuhkan sentuhan-sentuhan ilmu baik agama maupun formal.
Lain halnya ketika ustadz yang mengabdi dipesantren serta mengajak
sang anak untuk ikut serta hidup didalamnya. Setiap waktu mengajar
terkadang sang anak ikut dalam kegiatan belajar mengajar, bermain
bersama para santri, sampai dengan hidup di pesantren layaknya seorang
santri. Sehingga jarang sekali sang anak bermain bersama orangtuanya.
Bahkan setiap harinya sang anak tidur bersama dengan para santri, makan,
bahkan mandi pun dimandikan para santri, sehingga sering dijuluki santri
kecil.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maria & Fabiola (2013)
memperoleh hasil yang menunjukkan perbedaan yang signifikan pada
keharmonisan perkawinan ditinjau dari istri bekerja dan istri tidak bekerja

4
yang terdiri dari rata-rata skor keharmonisan perkawinan istri tidak bekerja
sebesar 236,60> rata-rata skor keharmonisan perkawinan istri bekerja
sebesar 250,73.
Penelitian menurut Subhan (2018) stress menjadi keadaan yang
mempengaruhi kondisi fisik dan mental ketika seseorang dihadapkan pada
sebuah kesempatan, sehingga ditemukan hasil bahwa adanya hubungan
stress kerja dengan keharmonisan keluarga seperti produktivitas kerja,
dapat memicu ketidak harmonisan keluarga, kurangnya perhatian serta
komunikasi yang erat dengan anak dan keluarga. Dari penelitian ini dapat
diketahui ketika seseorang memiliki kondisi fisik dan mental yang kurang
baik dapat mempengaruhi keharmonisan dalam keluarga orang juga, dan
tidak hanya terjadi pada orang-orang yang bekerja diluar maupun diluar
pesantren.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Irma (2018) dimana pada
penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskritif kualitatif yang
memmperoleh hasil dimana ketidakhadiran seorang anak pada pasangan
yang pernikahan tidak menjadikan factor untuk keluarga tersebut tidak
harmonis dalam kehidupan berumah tangga.
Menurut penuturan salah satu narasumber Z bahwa ketika seorang
santri atau alumni sudah diberikan sebuah tanggung jawab untuk
mengabdi di pesantren baik secara langsung maupun tidak akan
mendapatkan keberkahan tersendiri dari pesantren tersebut. Begitu juga
ketika sudah berkeluarga, rasa lelah tersebut akan tergantikan dengan
banyaknya keberkahan yang didapat selama berada di pesantren, bukan
hanya pengabdi yang mendapatkan keberkahan, bahkan keluarga pun juga
ikut merasakan keberkahan.
Dari beberapa penelitian yang telah dijabarkan kebanyakan penelitian
yang ditemui lebih menekankan pada penelitian kuantitatif, namun peneliti
juga menemukan salah satu penelitian kualitatif yang membahas tentang
keharmonisan keluarga dengan subjek keluarga yang belum memiliki
keturunan, sedangkan peneliti belum menemukan penelitian yang

5
membahas tentang keharmonisan ustadz yang mengabdi dipesantren serta
danya fenomena dimana beberapa alumni pesantren yang sudah memiliki
keluarga dan memutuskan untuk mengabdikan diri di pesantren dengan
tujuan untuk menyampaikan ilmu yang dimiliki. Maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran serta bagaiamana keharmonisan
keluarga tersebut bisa terjalin dan factor apa saja yang mempengaruhi
keharmonisan keluarga tersebut di samping kesibukannya dalam
mengabdikan diri di pondok.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diabarkan sebelumnya, maka
peneliti menemukan beberapa yang akan dibahas dalam penelitian ini,
yakni :
1. Mengapa ustadz yang sudah memiliki keluarga memilih untuk
mengabdi di pesantren?
2. Bagaimana ustadz yang berada dipesantren memaknai keluarga yang
harmonis ?
3. Faktor apa saja yang membuat ustadz dipesantren memiliki keluarga
yang harmonis ?
C. Keaslian Penelitian

6
Penelitian-penelitian terdahulu yang membahas terkait tentang
keharmonisan keluarga, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh
Maria & Fabiola (2013) memperoleh hasil yang menyatakan bahwa
adanya perbedaan yang signifikan pada keharmonisan perkawinan ditinjau
dari istri bekerja dan istri tidak bekerja yang terdiri dari rata-rata skor
keharmonisan perkawinan istri tidak bekerja sebesar 236,60 > rata-rata
skor keharmonisan perkawinan istri bekerja sebesar 250,73.
Fiandari & Santi (2014) memperoleh hasil dari analisis yang
menunjukkan nilai rxy sebesar -0,354 (p<0,01), yang berarti ada hubungan
negative yang sangat signifikan antara keharmonisan keluarga dengan
sikap terhadap seks pranikah, yang mana dalam hal ini variabekl
keharmonisan keluarga memberikan sumbangan sebesar 12,5% terhadap
sikap seks praniukah, sedangkan 87,5% dipengaruhi oleh factor lainnya
yang tidaak diteliti dalam penelitian tesebut.
Müzeyyen & Sibel (2010) diperoleh hasil yang mana terdapat
hubungan yang positif antara pola asuh anak yang otoriter terhadap
keharmonisan pernikahan, sedangkan terdapat hubungan yang negative
antara pola asuh otoriter dan pola asuh permisif terhadap keharmonisan
pernikahan. Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan oleh peniliti dengan
kesimpulan bahwa skor pada pola asuh otoriter terhadap keharmonisan
pernikahan tergolong tinggi, sedangkan skor pada pola asuh otoriter dan
pola asuh permisif terhadap kehamonisan perkawinan tergolong rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Mahmud & Anisatus (2016) bersifat
kualitatif yang mana penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang
menggambarkan fakta yang didapat kemudian menganalisis secara cermat
dan teliti menggunakan teknik triangulasi. Dari penelitian tersebut
diperoleh hasil bahwa dalam keluarga yang berpoligami dengan cara siri
dapat berjalan dengan baik dan hermonis apabila suami dapat menjalankan
peran sebagai kepala rumah tangga dan bias berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anaknya.

7
Pada penelitian Dwi & Herien (2017) dengan subjek sebanyak 35
keluarga menunjukkan bahwa konflik pada keluarga petani tergolong
rendah dan keharmonisan keluarga tergolong tinggi. Sedangkan
keharmonisan keluarga petani, jika semakin tua seorang ibu, maka potensi
konflik pada keluarga akan semakin rendah dan keharmonisan semakin
tinggi. Dan pada penelitian ini mengatakan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara konflik dengan keharmonisan keluarga.
Penelitian terkait dengan keharmonisan keluarga juga dilakukan oleh
Venti, Diah & Megawati (2014) yangmana pada penelitian ini
menganalisis pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan
keluarga dari suku yang sama maupun berbeda. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pada keluarga yang berbeda suku terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara pola komunikasi pada
keluarga yang berbeda suku (r=0,405, p<0,05) dan keluarga yang se-suku
(r=0,771, p<0,05). Penyesuaian dengan keharmonisan keluarga juga
memiliki hubungan yang positif signifikan pada keluarga yang berbeda
suku (r=0,432, p<0,05) dan pada keluarga yang se-suku (0,553, p<0,05).
Dalam hal ini memiliki arti bahwa semakin baik pola komunikasi dan
penyesuaian, maka semakin harmonis hubungan sebuah keluarga tersebut.
Menurut penelitian Subhan (2018) stress sebagai suatu keadaan yang
dapat mempengaruhi kondisi fisik dan mental sesorang pada saat dia
dihadapkan pada sebiah kesempatan. Sehingga hasil dari penelitian yang
dilakukan tersebut menjelaskan bahwa adanya hubungan stress kerja
dengan keharmonisan keluarga, seperti produktivitas kerja, dapat menjadi
pemicu tidak harmonisnya keluarga, kurangnya perhatian serta komunikasi
yang erat dengan anak dan keluarga.

8
Pada penelitian yang dilakukan oleh Irma (2018) yang membahas
tentang harmonisasi keluarga pasangan suami istri yang tidak memiliki
keturunan memperoleh hasil yangmana bahwa ketidakhadiran anak pada
pasangan pernikahan tidak menjadi factor untuk keluarga tersebut tidak
harmonis dalam berumah tangga. Penelitian ini menggunakan metode
pendekatan deskriptif kualitatif kepada pasangan menikah yang tidak
memiliki anak dimana pasangan suami istri tersebut masih bertahan dan
harmonis rumah tangganya dengan usia pernikahan yang relatif lama.
Penelitian yang dilakukan oleh Febriyani dan Diana (2019) tentang
hubungan antara keharmonisan keluarga dengan konsep diri pada anak.
Penelitian ini menyatakan bahwa adanya hubungan yang positif anata
keharmonisan dengan konsep diri pada anak, yangmana hubungan tersebut
tergolong postif dan signifikan. Jadi ketika indivodu tersebut berada
dilingkungan keluarga yang harmonis, maka semakin positif pula konsep
diri dari individu tersebut, begitupun sebaliknya.
Pada penelitian Nabil (2016) yang membicarakan tentang Family
Harmony and Psychological Adjustment Among Gifted and Ordinary
Student menemukan hasil dimana tingkat penyesuaian diri orang tuan
terhadap anak berbakat dengan anak biasa tergolong tinggi, terdapat
perbedaan yang signifikan (α≤0.05) antara penyesuaian diri orang tua anak
yang berbakat dengan orangtua anak biasa dalam mendukung anak yang
berbakat, secara statistic terdapat korelasi yang kuat (α≤0.05) antara
penyesuaian diri orangtua anak biasa dengan orangtua anak berbakat, tidak
ada perbedaan pada penyesuaian diri orangtua anak yang berbakat dengan
anak biasa baik dalam segi ekonomi, tingkat pendidikan, jmlah anggota
keluarga, dan terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat penyesuaian
diri anak berbakat dalam hal perubahan tingkat ekonomi mereka.

9
Penelitian yang dilakukan oleh Dwi dan Herien (2017) memiliki hasil
dimana penelitian menunjukkan bahwa konflik pada keluarga petani
tergolong rendah dan keharmonisan keluarga tergolong tinggi. Akan tetapi
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konflik dengan
keharmonisan keluarga.
Penelitian yang dilakukan oleh Safaria (2015) yang berjudul Are daily
spiritual experiences, self-esteem, and family harmony predictors of
cyberbullying among high school student memiliki hasil dimana pada 150
siswa dari tiga sekolah di Yogyakarta terdapat perbedaan yang signifikan
dalam tingkat keharmonisan keluarga dan pengalaman menjadi korban
diantara pelaku bullying. Hasilnya pun menunjukkan bahwa pelaku
cyberbullying yang telah melakukan lebih dari dua kali memiliki tingkat
keharmonisan yang tinggi, sedangkan pelaku yang hanya melakukan satu
atau dua kali memiliki tingkat keharmonisan keluarga yang lebih rendah.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Adrienne, Kimberly, dan
Patricia (2004) yang berjudul Family Environments and Family Harmony:
An Exploration Across Severity, Age, and Type of DD yang memiliki
hasil bahwa tidak adanya hubungan signifikan antara keharmonisan
keluarga dengan tingkat keparahan DD (Down Syndrome) atau usia anak.
Yang mana dalam penelitian ini masih membutuhkan variable yang lebih
umum sehingga dari hipotesis yang telah dibuat tidak sesuai dengan hasil
akhir dari penelitian tersebut.

10
Dari beberapa penelitian diatas, peneliti menemukan bahwa penelitian
sebelumnya lebih banyak mencari penyebab lain dalam menghadirkan
keharmonisan dalam keluarga, dan juga banyak sekali penelitian dengan
metode kuantitatif, namun ada satu penelitian terdahulu yang sama dengan
penelitian ini dari segi metode penelitiannya yakni kualitatif, dimana pada
penelitian sebelumnya menggunakan subjek keluarga yang tidak memiliki
keturunan, sedangkan peneliti menggunakan subjek seorang ustadz yang
mengabdi di pesantren yang menurut peneliti jarang sekali orang melihat
hal tersebut. Sehingga ustadz yang mengabdikan dirinya di pesantren
memberikan nilai tersendiri bagi peneliti, dan memunculkan berbagai
keingintahuan peneliti tentang gambaran dari keharmonisan keluarga
disamping dengan kegiatan pengabdian di pesantren, alasan ustadz yang
sudah memiliki keluarga dan tetap mengabdi, dan apa saja faktor yang
menjadikan keharmonisan keluarga pada ustadz yang mengabdi.
D. Tujuan Penelitian
1. Menggambarkan motif ustadz yang sudah memiliki keluarga
memimilih mengabdikan diri di pesantren
2. Mendiskripsikan makna dari keharmonisan keluarga menurut ustadz
yang mengabdi di pesantren
3. Menjelaskan faktor yang memicu keharmonisan pada keluarga ustadz
yang mengabdi di pesantren

11
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat memberikan informasi baru, dan memberikan
masukan yang bermanfaat, menambah pengetahuan khusunya di
bidang kajian psikologi keluarga.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pembaca, bahwa penelitian ini dapat memberikan wawasan
dan informasi yang lebih luas seputar keharmonisan keluarga.
b. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat
memberikan sedikit ide untuk melakukan penelitian yang serupa
dengan subjek atau variable yang lebih luas lagi.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika dalam penyusunan skripsi terpaku pada panduan
skripsi Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya
tahun 2018. Di dalam panduan tersebut tersusun secara sistematis mulai
dari bagian awal seperti halaman pengesahan, halaman persembahan, kata
pengantar, motto, abstrak, dan 5 bab yang setiap bab-nya membahas
tentang kajian yang berbeda sebagaimana pada skripsi umumnya.
Pada bab 1 terdiri dari 6 Sub bahasan meliputi latar belakang
penelitian yang berisi tentang kajian fenomena untuk dilakukan penelitan,
kemuadian ada focus masalah yang berisi tentang apa saja yang akan
diungkap pada penelitian ini, keaslian penelitian berisi tentang penelitian-
penelitian sebelumnya yang mengarah pada tema penelitian, tujuan
penelitian, kemudian manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis
dan manfaat praktis, dan yang terakhir sistematika pembahasan.
Bab 2 yakni kajian pustaka yang berisi tentang teori yang
mendukung tema skripsi, serta terdapat sub-bahasan perspektif teoritik
yang berisi tentang definisi operasional tentang tema yang diangkat.
Bab 3 terdiri dari 7 sub-bahasan yang mana pada bab ini memuat
uraian terkait metode dan langkah-langkah penelitian secara operasional
yang menyangkut pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran penelitian,

12
lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data
dan pengecekan keabsahan temuan data.
Pada bab 4 berisi tentang uraian tentang data dan temuan yang
diperoleh saat melakukan penelitian menggunakan metode dan prosedur
yang diuraikan dalam bab sebelumnya.
Bab 5 berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi
tentang makna dari temuan-temuan yang telah dijabarkan dalam bab
sebelumnya,

13
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Keharmonisan Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Menurut Kertamuda (dalam Tatik, 2014) bahwa keluarga merupakan suatu
komunitas kecil, yang berperan penting dalam membentuk kepribadian dan
karakter anggotanya. Keluarga juga berperan penting dalam menentukan dan
mengambil keputusan serta orang bergantung baik secara ekonomi maupun pada
bentuk kehidupan social lainnya. Sedangkan menurut Gerungan (2004) keluarga
merupakan kelompok social yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia
belajar dan menyatakan diri sebagai manusia dalam hubungan interaksi dengan
kelompok.
Gunarsa (2004) mengemukakan pengertian dari keluarga yaitu bagian
terkecil dalam masyarakat yang perannya sangat besar terhadap perkembangan
social, terlebih pada awal perkembangan kepribadian. Menurut Sulaeman (1994)
keluarga merupakan sekelompok orang yang tinggal bersama dalam sebuah rumah
dan masing-masing anggota memiliki perasaan yang sama sehingga terjadi saling
memengaruhi, saling memperhatikan, dan saling memahami.
2. Keharmonisan Keluarga
Dalam islam keluarga harmonis biasa disebut dengan keluarga yang
Sakinah Mawaddah Rahmah, dimana setiap katanya memiliki arti tersendiri.
Sakinah dapat diterjemahkan sebagai kedamaian. Allah mendatangkan kedamaian
ke dalam hati orang-orang yang beriman supaya dapat menerima ketetapan yang
telah ditetapkan dengan tabah dan tidak gentar. Mawaddah menurut Quraish
Shihab dalam bukunya Pengantin Al-Qur’an kata tersebut memiliki arti sederhana
dari segi bahasa yakni “cinta”. Istilah tersebut memiliki makna setiap orang yang
memiliki cinta di dalm hatinya akan terbuka, penuh harapan, dan hatinya akan
selalu berusaha menjauhi hal yang buruk. Sedangkan kata Rahmah dapat diartikan
sebagai “kasih sayang” yang memiliki makna perasaan kasih sayang mendorong
seseorang untuk memberikan kekuatan, kebaikan, dan kebahagiaan bagi orang
lain dengan lembut dan penuh kesabaran (Adib dkk, 2017).
14
Harmonis menurut Salin dan Salim (1991) artinya selaras, serasi dan rukun.
Oleh karena itu, harmoni adalah suatu kondisi mengenai keserasian, keselarasan,
dan dapat berjalan dengan baik. Keharmonisan keluarga muncul ketika suami istri
itu hidup rukun karena merasa cukup puas terhadap segala sesuatu yang ada dan
apa yang telah tercapai dalam melaksanakan tugas-tugas internal, menyangkut
juga nafkah seksual, pergaulan antar keluarga dan pergaulan dalam masyarakat
dalam keadaan rumah tangga yang harmonis.
Pernikahan antara dua orang yang sudah dewasa, saling percaya dan saling
memahami satu sama lain untuk menjalin hidup dengan konsep dan cita-cita yang
sama merupakan salah satu definisi dari pernikahan yang harmonis. Menurut
Walgito (1991) keharmonisan kehidupan keluarga adalah berkumpulnya unsur
fisik maupun psikis yang berbeda antara pasangan suami istri yang berlandaskan
bebebrapa unsur seperti saling memberi, dan menerima kasih sayang yang tulus
dan memiliki nilai-nilai serupa dalam setiap perbedaan.
Hawari (dalam Febriani & Diana, 2019) keharmonisan keluarga akan
tercapai setiap anggota keluarga dapat berfungsi dan mengedepankan peran yang
benar dan memegang teguh nilai-nilai agama, maka akan interaksi sosial antar
anggota tersebut. Adapun aspek keharmonisan keluarga yakni: terciptanya
kehidupan beragama dalam keluarga, memiliki waktu bersama dalam keluarga,
memiliki komunikasi yang baik antar keluarga, saling menghargai antar sesama
anggota keluarga, kualitas dan kuantitas konflik yang minim, adanya hubungan
atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.
Sedangkan menurut Suparlan (dalam Desyta, 2015) Adanya hubungan
saling ketergantungan antar anggota keluarga dalam hal emosi dan perasaan yang
mewujudkan kemampuan untuk saling merasakan penderitaan, kepuasan
hubungan seksual, cinta kasih, kebahagiaan bersama dan kepentingan pribadi
adalah wujud dari penyesuaian dan kompromi antar anggota keluarga demi
mewujudkan hubungan yang harmonis.
Keluarga merasa bahagia ketika setiap anggota menerima keadaan dan
keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi) yang meliputi aspek mental, fisik,
dan social, serta berkurangnya ketegangan, kekecewaan menurut Gunarsa (2000).

15
3. Ciri-ciri Keharmonisan Keluarga
Menurut Gunarsa (1999) menyebutkan beberapa hal yang harus dipenuhi
agar mencapai keluarga yang bahagia yakni :
a. Perhatian
Pehatian dapat diartikan sebagai menaruh hati. Menaruh hati terhadap
seluruh anggota keluarga adalah kunci utama hubungan yang baik di
antara para anggota keluarga. Masing-masing dari anggota keluarga
harus memahami kejadian dan peristiwa yang terjadi di dalam keluarga,
mengikuti dan memperhatikan perkembangan dari seluruh anggota
keluarganya, dan orang tua mengarahkan perhatiannya untuk mancari
lebih dalam akar permasalahan yang terjadi di dalam keluarga, maka
perlu adanya perhatian terhadap perubahan yang terjadi pada anggota
keluarga.
b. Penambahan Pengetahuan
Keluarga, baik orang tua maupun anak harus menambah pengetahuan
tanpa henti. Di luar rumah mereka harus memetik kesimpulan atau
menarik pelajaran dan inti dari segala yang dilihat dan dialaminya.
Kebanyakan orang cenderung memperhatikan kejadian-kejadian diluar
rumah tangga, sehingga kejadian dirumah terdesak dengan
kemungkinan timbulnya suatu permasalahn yang tidak disangka-
sangka, karena kelalaian kita.
c. Pengenalan Diri
Dengan pengetahuan yang berkembang terus menerus sepanjang hidup,
maka usaha untuk pengenalan diri akan lebih mudah dicapai. Mengenal
setiap anggota sama halnya dengan mengenal diri sendiri. Pengenalan
diri yang baik akan memumupuk pengertian.
d. Pengertian
Ketika pengetahuan dan pengenalan diri sudah dicapai dengan baik,
maka lebih mudah mengetahui semua kejadian atau peristiwa yang
terjadi dalam keluarga. Masalah akan lebih mudah diatasi ketika latar
belakang kejadian atau permasalahan cepat terungkap. Dengan adanya

16
pengertian setiap amggota keluarga, maka sedikit banyak mampu
mengurangi timbulnya masalah yang dialami atau yang ada dalam
keluarga.
e. Penerimaan
Sikap menerima terhadap anggota keluarga sebagai langkah
selanjutnya, yang artinya dengan segala kelemahan, kekurangan, dan
kelebihan yang dimilikinya, ia seharusnya dapat diterima di dalam
keluarganya. Setiap orang harus yakin bahwa ia akan diterima dan
menjadi anggota keluarga tersebut. Setiap anggota keluarga berhak atas
kasih sayang orangtuanya, begitu pula sebaliknya. Setiap anggota
keluarga juga memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Menerima kekurangan yang tidak mudah untuk diubah secara langsung
sangat diperlukan agar tidak menimbulkan kekesalan, atau kekecewaan
yang disebabkan kegagalan, dan dapat merusak suasana keluarga dan
mempengaruhi perkembangan-perkembangan lainnya.
f. Peningkatan Usaha
Peningkatan usaha sangat diperlukan dalam keluarga, diaman hal
tersebut dilakukan agar tidak terjadi keadaan yang statis dan
membosankan. Peningkatan usaha dilakukan sesuai dengan kemampuan
baik secara materi dari pribadinya maupun dari kondisi lainnya. Sebagai
hasilnya akan timbul perubahan-perubahan lagi setiap harinya.
g. Penyesuaian
Penyesuaian mengikuti perubahan tiap anggota keluarga. Penyesuaian
terhadap perubahan yang diakibatkan perkembangan biologis,
4. Aspek-Aspek Keharmonisan Keluarga
Untuk mencapai keharmonisan dalam keluarga, kita perlu
memperhatikan beberapa aspek sebagai suatu dasar hubungan
perkawinan bahagia. Menurut Adrian (artikel psikologi keluarga, 4
Oktober 2010) terdapat enam aspek sebagai dasar hubungan
perkawinan bahagia, antara lain :
a. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga

17
Salah satu tanda keluarga harmonis adalah terciptanya kehidupan
yang dijiwai oleh nilai-nilai agama dalam keluarga. Beberapa penelitian
ditemukan bahwa keluarga yang tidak religious, memiliki komitmen
yang rendah atau bahkan sama sekali tidak terdoktrin nilai-nilai agama
sehingga cenderung mengalami konflik dan pertengkaran dalam
keluarga. Oleh karena itu, menjaga nilai-nilai moral dan etika dalam
kehidupan sangatlah penting.
b. Mempunyai waktu bersama keluarga
Keluarga yang harmonis akan selalu menyediakan waktu bersama
keluarga. Baik hanya menemani anak bermain, makan bersama,
mendengarkan keluhan anggota keluarga atau bahkan hanya sekedr
berkumpul bersama di ruang keluarga, karna dalam hal ini anak atau
anggota keluarga akan merasa bahwa dirinya sangatlah dibutuhkan dan
diperhatikan oleh anggota keluarga yang lainnya.
c. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga
Komunikasi yang baik adalah kunci utama dalam terwujudnya
keharmonisan. Anggota keluarga akan merasa nyaman dan aman
apabila hubungangan anggota keluarga yang lain tampak rukun dan
saling menghargai satu sama lain, karena kerukunan akan membawa
rasa aman dan tentram bagi anggota keluarga yang lain, komunikasi
yang baik dalam keluarga juga akan dapat membantu untuk
memecahkan permasalahan yang dihadapi didalam bahkan diluar
rumah.
d. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga
Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat
bagi setiap anggota keluarga untuk saling menghargai satu sama lain,
mulai dari menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan
keterampilan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas.
e. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim
Keluarga yang didalamnya sering terjadi konflik atau pertengkaran
kecil menjadikan suasana tidak menyenangkan. Sehingga salah satu

18
factor menciptakan keluarga yang harmonis yakni meminimalisir
konflik dalam keluarga.
f. Hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga
Hubungan erat antar anggota keluarga sangat berpengaruh terhadap
keharmonisan sebuah keluarga. Ketika suatu keluarga tidak
memilikihubungan yang erat maka rasa saling memiliki dan rasa
kebersamaan pun tidak terjalin dengan baik.
5. Pengertian Ustadz
Pengertian ustadz menurut Megasari (dalam jurnal silvia & Linda,
2014) merupakan seorang yang ahli dalam berdakwah serta dipandang
sebagai ahli agama, selain sebagai tempat bertanya masyarakat awam,
tingkah lakunya juga dijadikan panutan. Ustadz dalam konteks pendidikan
Islam ustadz dikenal sebagai “pendidik” atau juga sering disebut dengan
“murobbi, mu’allim, mu’addib”. Penulis menggunakan istilah pendidik
dengan kata ustadz untuk menyesuaikan dengan judul yang penulis ambil.
Adapun judulnya adalah “Keharmonisan Keluarga Pada Ustadz Yang
Mengabdi Di Pesantren”.
Menurut muntahibbun (2011) Seorang pendidik tidak hanya
menyampaikan ilmu yang dimiliki, melainkan juga memberikan
perubahan nilai-nilai seperti halnya adab atau kepribadian pada anak didik.
Pendidik juga bertanggungjawab membri bimbingan dalam perkembangan
jasmani maupun rohani kepada anak didik dalam mencapai
kedewasaannya.
Menurut Wiji Suwarno (2008) pendidik merupakan orang yang
mampu mempengaruhi orang lain (anak didik) dengan sengaja dengan
tujuan untuk mencapai kesempunaan yang lebih tinggi. Kata ustadz
berasal dari Bahasa Persia yang diserap oleh Bahasa Arab, yang
artinya”pengajar” atau “orang yang menguasai suatu bidang tertentu dan
mengajarkannya”. Dalam kerangka social budaya di Timur Tengah, Mesir
misalnya, gelar ustadz disematkan kepada mereka yang memiliki
kedudukan level tinggi di tingkat keoengajaran. Akan tetapi, sebutan

19
ustadz lazim dsematkan pada siapapun yang memberikan atau
mengajarkan berbagai segala hal yang berkaitan dengan agama. Seperti
halnya pengajar baca-tulis Al-Qur’an di TPA, pengajar di sekolah agama
(madrasah diniyah).
Menjadi ustadz yang mengabdi dipesantren sama halnya seperti guru
yang mengajarkan baca tulis Al-Qur’an di TPA/TPQ. Akan tetapi ruang
lingkup mengajarnya lebih luas lagi dimana ustadz memiliki peran dalam
berdakwah, memberitahukan syari’at agama kepada para santri, serta
memiliki kewajiban berat yakni mampu menjadikan santrinya sebagai
manusia yang berakhlaqul karimah dan meningkatkan iman dan taqwa
kepada Allah SWT (Menurut Drajat,2002 dalam Jainudin, 2018).
6. Pengertian Pengabdian
Pengabdian merupakan budaya pesantren tradisional (salaf) untuk
mengajar dan mendidik para santri di pesantren. pengabdian dalam kamus
agama lebih dikenal dengan sebutan khidmah. Khidmah memiliki makna
melayani. Pengabdian adalah kesetiaan tanpa adanya rasa pamrih seorang
mu’allim atau ustadz kepada santri dalam menyampaikan ilmu yang
dimiliki. Adapun pengabdian atau khidmah dibagi menjadi tiga, dimana
salah satunya khidmah seorang ustadz yang mengabdi pada wilayah
pengajaran, pendidikan dan kegiatan belajar mengajar santri (Sa’diyah,
2015).
Yang dimaksud pengabdian atau khidmahnya ustadz di pesantren
yakni memiliki adab yang baik, jauh dari kesan materialistik, yang artinya
ketika seseorang sudah bertekad untuk berkhidmah tanpa adanya paksaan
hal tersebut datang dari dalam hati dengan penuh keikhlasan, sehingga
dapat menghapuskan sifat materialis, kapitalis, egoisme dan lain
sebagainya.
B. Perpektif Teori
Menurut Hawari (dalam Febriani & Diana, 2019) keharmonisan
keluarga akan dapat terwujud apabila masing-masing unsur dalam
keluarga dapat berfungsi dan berperan dengan sebagaimana mestinya serta

20
tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama, maka interaksi social antar
unsur dalam anggota tersebut akan dapat tercipta.
Sahli (1994), ketika pasangan hidup dalam ketenangan jiwa dan raga,
keharmonisan keluarga terbentuk karena mereka sangat puas dengan
segala yang ada dan apa yang telah dicapai dalam menjalankan tugas
keluarga, mendukung keluarga baik dalam keluarga yang harmonis
maupun didalam lingkungan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa keharmonisan dalam
keluarga terbentuk apabila masing-masing keluarga melakukan perannya,
menghargai pencapaian yang dimiliki setiap anggota keluarga, serta
berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Sehingga ustadz yang mengabdi
dipesantren merasakan keharmonisan pada keluarganya dengan dalih bawa
ketenangan jiwa dan raga yang terbentuk dari kepatuhan yang dilakukan
atas kemauan sendiri tanpa adanya harapan untuk mendapatkan imbalan.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Mengapa ustadz sudah memiliki keluarga memilih untuk mengabdi di
Pesantren ?
1) Bagaimana gambaran keharmonisan keluarga pada ustadz yang
mengabdi di pesantren?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan keharmonisan keluarga pada ustadz
yang mengabdi di pesantren?

21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Metode Penelitian
Penelitian kualitatif dan pendekatan fenomenologi digunakan dalam
penelitian ini. Alasan peneliti menggunakan metode ini karena focus di
penelitian merupakan kehidupan ustadz yang mengabdi di pesantren. focus
penelitian fenomenologi ini bukan hanya sebetas fenomena belaka, tetapi
merupakan pengalaman secara sadar secara langsung dari sudut pandang
orang yang mengalami (Kuswanto, 2009). sehingga peneliti mengunakan
metode ini untuk menemukan, mempelajari, dan memahami fenomena
yang dialami individu dan lingkungannya yang unik.
B. Kehadiran Peneliti
Proses pengumpulan data dilakukan oleh peneliti secara penuh dan
mendominasi dengan adanya penggunaan jenis metode penelitian
kualitatif. Pengambilan data dilakukan oleh peneliti melalui proses
wawancara secara aktif. Penelitian ini dapat dipastikan bahwa peneliti
berperan aktif dalam penelitian ini dilihat melalui informan penelitian
yang telah mengetahui status penelitidan juga kehadirannya untuk
pengambilan data sebagai interviewer. Alat perekam digunakan oleh
peneliti untuk melakukan wawancara sebagai instrument pendukung untuk
menghasilkan data, serta kamera untuk pengambilan gambar sebagai
dokumentasi dari kegiatan wawancara tersebut.
C. Lokasi Penelitian
Kegiatan Wawancara dilakukan secara umum di berbagai tempat,
ada 3 tempat wawancara yang dilakukan bersama informan. Lokasi utama
bertempat di rumah kreatif Tambakberas Timur yang berlokasi di Jl.
Kamboja (dekat langar Al-Asy ‘Ary gedang Timur) Tambak Rejo, Kec.
Jombang, Kab. Jombang. Yangmana informan pertama ini merupakan
seorang ustadz yang mengajar seni budaya di Yayasan Pondok Pesantren
yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Tambakberas Jombang.
Kemudian, tempat yang kedua yaitu Pesantren Nurul Karomah 2 yang
22
berlokasi di Jl. Kendangsari Gg Masjid. Lokasi ketiga berada di
keadiaman narasumber, beliau merupakan salah satu pendidik yang
mengabdikan dirinya dipesantren seak sebelum menikah sampai sekarang.
Kediaman beliau berlokasi di Bulut RT 1 RW 5 Ngumpul Jogoroto
Jombang.
D. Sumber Data
Informan yang digunakan dalam penelitian kali ini ada 3 orang
yakni seorang ustadz yang mengabdi dipesantren. Adapun informan yang
ditemui peneliti merupakan salah satu pendidik di sekolah formal yang
mana sekolah tersebut berada dibawah naungan pondok pesantren.
Sumber data yang digunakan yakni sumber data penelitian
kualitatif yang berupa sumber data primer yang merupakan kata dan
kalimat, kemudian mencatat dan mengamati tindakan informan yang
sedang diwawancara begitu juga dengan alat pendukung berupa alat
perekam audio. Sedangkanuntuk sumber data yang kedua yakni data
sekunder dijadikan pendukung yang didapatkan melalui wawancara
terhadap significant other (istri) yang mana sumber tersebut berupa
rekaman audio.
Ustadz yang telah mengabdi dalam pondok pesantren merupakan
informan yang memiliki karakteristik sebagaimana berikut :
a. Ustadz yang sudah menikah, yang mana usia pernikahannya
tidak kurang dari 5 tahun, yang dibuktikan dengan buku nikah
b. Sedang mengabdi di pesantren atau ustadz yang memiliki
riwayat mengabdi dipesantren, yang dibuktikan dengan surat
keterangan mengabdi atau SK pendidik (jika ada)
c. Bermukim atau memiliki rumah sendiri diluar pesantren.
Ada 3 informan dalampenelitian ini yakni :
1) M.A merupakan salah satu pendidik di sekolah formal yang
berada dibawah naungan pesantren daerah Jombang.

23
2) M. merupakan salah satu pendidik yang mengabdi ponpes Nurul
Karomah yang berada di tengah padatnya permukiman
masyarakat Kota Surabaya.
3) A.S. beliau merupakan salah satu pendidik/ustadz yang
mengabdi di salah satu pesantren yang ada di bawah naungan
Yayasan pondok Darul Ulum Jombang. Serta beliau merupakan
pendidik di sekolah formal yang berada dilingkup pesantren
tesrebut.
E. Prosedur Pengumpulan Data
a. Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan pertama yakni wawancara,yang
dijadikan untuk mengetahui Pengetahuan, pengalaman subjek,
persepsi yang telah dimiliki dalam keharmonisan rumah
tanggannya (Creswell,2015). Wawancara yang dilakukan yakni
berjenis tatap muka atau wawancara secara langsung, kemudian
melalui telepon serta media-media yang mendukung, sehingga
peneliti mendapatkan data tentang ustadz yang mengabdi di
pesantren.
b. Dokumentasi
Dokumentasi diperlukan untuk mengungkapkan terkait data
laporan, biografi, atau dokumen privat yang dimiliki subjek serta
cara pandang subjek terhadap kehidupan (creswell, 2015).
Sehingga bentuk dokumentasi yang dibutuhkan untuk penelitian ini
adalah Akte nikah, surat atau bukti lain yang menyatakan bahwa
subjek sedang atau pernah mengabdi di pesantren, serta foto
sebagai bukti secara umum.
F. Analisis Data
Penelitian ini memerlukan analisis data dalam mengungkapkan
beberapa hal, adapun analisis data menurut Creswell (2015) yang akan
dipergunakan peneliti, yakni antara lain :

24
a. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Hal ini
melibatkan transkip penyusunan data, memilah data, mengetik data
hasil lapangan, dan juga wawancara untuk dijadikan suatu konsep
yang tersusun.
b. Melakukan pengkodean, yakni dengan pengelompokan data ke
dalam kategori yang lebih sempit, lalu memberikan merek atau
label untukpembuktian kode tersebut.
c. Makna yang diambil oleh peneliti untuk data merupakan makna
yang luas data tersebut, juga memberikan gambaran keladian apa
saja yang dapat diambil atau yang dapat dipetik dari data yang
diperoleh tersebut.
d. Kerangka tertentu dibuat oleh peneliti sebagai focus penelitian
guna mengetahui perbandingan atau bahkan melihat hubungan
antar kategori tersebut.
e. Peneliti menyajikan data penelitian yang dikemas secara ringkas
dalam bentuk teks, gambar, atau tabel untuk lebih memahamkan
pembaca

25
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. SETTING PENELITIAN
Peneliti mencari dan mendapatkan informasi terkait 3 orang informan
yang merupakan ustadz yang mengabdi dipesantren. Selanjutnya, peneliti
menindak lanjuti tentang informasi itu, mencari informasi tentang kegiatan
orang tersebut, mecari tahu kebiasaannya, dan menghubungi calon informan
tersebut. Sehingga, dapat dipastikan informan tersebut dapat dijadikan
sebagai objek penelitian yang telah memenushi syarat yang telah dijelaskan di
bab 3. Setelah sudah dipastikan dengan pasti, peneliti menghubungi informan
menanyakan kebersediaan untuk menjadi informan penelitian lalu menemui
informan yang dituju untuk menjelaskan serta melalukan proses wawancara
secara bertahap. Deskripsi mengenai setting dan informan akan dijabarkan
sebagai berikut:
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

26
Jombang merupakan salah satu kota yang memiliki julukan kota
Santri, dimana banyak sekali terdapat pondok pesantren yang berdiri sejak
puluhan tahun bahkan sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Penelitian ini
dilaksanakan disalah satu pondok pesantren tertua yang ada di Jombang
yakni Pondok Pesantren Bahrul Ulum, tepatnya di kediaman salah satu
informan yang bertempat di sekitar wilayah PonPes Bahrul Ulum tersebut.
Beliau merupakan salah satu ustadz atau pendidik yang tergolong lama
dalam mengabdikan dirinya di pesantren, walaupun beliau tidak murni
mengabdikan dirinya di dalam pesantren, namun beliau masih tetap
mengabdikan dirinya di salah satu Lembaga Pendidikan yang dinaungi oleh
Yayasan PonPes Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang.
Penelitian kedua dilakukan di salah satu kota yang mana adalahibu
kota provinsi Jawa Timur dan memiliki sebutan kota metropolitan kebua
setelah Jakarta. Kota Surabaya tergolong kota metropolitan dimana banyak
sekali sektor perindustrian serta banyaknya pusat perbelanjaan yang tersebar
di kota Surabaya. Akan tetapi walaupun tergolong kota yang sangat modern,
masih ada beberapa pondok pesantren yang berdiri di kota ini. Salah satunya
di daerah Surabaya Timur terdapat Pondok Aitam Nurul Karomah, yang
letaknya berada ditengah padatnya penduduk. Salah satu informan
penelitian merupakan ustadz yang mengabdi di pondok tersebut serta tinggal
tepat sebelahan pondok tersebut.
Penelitian ketiga dilakukan di kota santri, sama seperti informan
pertama. Namun informan ketiga ini merupakan salah satu ustadz yang
mengabdi di salah satu pesantren yang berada dinaungan Pondok Pesantren
Darul ‘Ulum (Rejoso). Kemuadian beliau juga menjadi pendidik di
Lembaga Pendidikan yang berada dalam naungan PonPes tersebut. Lokasi
penelitian ini berlangsung di kediaman beliau yang letaknya tergolong
lumayan jauh dari tembat beliau mengajar.
2. Gambaran Umum Informan Penelitian

27
Penelitian ini menemukan 3 informan yang telah memenuhi kriteria,
serta 3 significant other yang telah sudah disebutkan dalam penjabaran
krtiteria di bab 3.
a. Profil Informan 1
Informan pertama dengan berinisialkan M.A adalah salah satu
pendidik yang mengabdikan diri disalah satu Lembaga Pendidikan di
bawah naungan Pondok Pesantren. M.A merupakan alumni dari
pesantren tersebut, sehingga beliau memiliki keinginan untuk tetap
berada dipesantren tersebut dengan tujuan mengabdikan dirinya,
menyampaikan apa yang sudah beliau dapat dari pesantren dan ilmu
yang dimilikinya. M.A tinggal di salah satu rumah yang sederhana
Bersama dengan keluarga kecilnya. Kegiatan sehari-harinya selain
mengabdi, beliau merupakan seorang pelukis serta beliau menjual alat-
alat yang dibutuhkan untuk melukis, sehingga kondisi rumah beliau
sangat indah karna banyak sekali lukisan beliau bahkan putra beliau.
Menurut informan pengertian tentang mengabdi adalah
memberikan apa yang kita punya kepada lembaga Pendidikan maupun
di masyarakat. M.A merupakan alumni jurusan seni dari pesantren
tersebut. Menurut M.A keluarga yang mengabdi di dunia pendidikan
baik pesantren atau non pesantren itu niat hanya memberikan sesuatu
yang kita punya jadi bukan untuk mencari finansial, sehingga kerjasama
antar M.A, istri, dan keluarga besarnya memiliki prinsip yang sama. Inti
dari prinsip tersebut, informan meyakinkan bahwa mengabdi dan
memberikan ilmu akan memberikan keberkahan dan keikhlasan
terhadap diri sendiri. M.A juga menanamkan nilai-nilai agama
dikeluarga seperti untuk ke anak-anak mengalir mengikuti arahan
seperti adab akhlak itu mengalir terbentuk oleh lingkungan.
b. Profil Significant Other 1
Profil selanjutnya merupakan istri dari M.A dengan inisial S.R. S.R
merupakan ibu rumah tangga serta mulai mempelajari dunia seni. S.R
merupakan teman M.A sejak duduk di bangku sekolah menengah atas

28
sampai dengan kuliah. S.R seorang yang lemah lembut dan sangat
tertutup, dilihat dari cara S.R berbicara dengan anak-anak dan suaminya
serta bagaimana cara S.R memberikan jawaban saat wawancara.
Keseharian S.R adalah seorang ibu rumah tangga serta menjadi
pengerajin tas sulaman dan lukisan. S.R belajar dari sang suami untuk
tetap selalu update keilmuan yang belum dimiliki maupun belum
dikuasai. Menurut S.R, M.A banyak sekali memberikan pengalaman
hidup yang belum pernah dilakukan seperti halnya pengabdian.

c. Profil Informan 2
Informan selanjutnya dengan inisial M adalah salah satu
pendidik di pesantren yang terdapat di Kota Surabaya sekaligus buruh
di kota tersebut. Menurut M definisi keluarga harmonis itu adalah
keluarga yang saling melengkapi, seorang suami adalah manusia yang
tidak sempurna pasti ada kekurangan antara kita, pada dasarnya ketika
ada kekurangan maka istri yang menutup kekurangan kita, jadi keluarga
itu adalah kebersamaan antara sumai dan istri bisa bersam sama dalam
kondisi susah atau senang tetap bersama-sama, itu adalah keluarga
harmonis.
M juga mengabdi di pesantren sudah sangat lama, alasan M
mengabdi adalah agar memberi manfaat bagi orang lain. Menurut M
dasar pertama agar bermanfaat bagi orang lain adalah menjadikannya
dan keluarga dapat memberikan manfaat di tengah-tengah masyarakan
umat islam. Kemudian dasar kedua adalah wajib dan mau menolong
agama Allah, karena dengan kita menolong agama Allah maka kita juga
akan dibantu oleh Allah. M mendefinisikan bahwa pengabdian yang
dilakukan tidak boleh dihitung dengan materi intinya harus lillahita’ala.
Selain menjadi pengajar di pesantren tersebut, M juga merupakan
pekerja di salah satu pabrik di Kota Surabaya. Informan merasa sangat
bersyukur selama ini mendapatkan jam kerja tetap, tidak pernah
berubah-ubah pagi-sore sehingga malam hari M bisa melakukan

29
aktifitas di pondok pesantren. Menurut M padatnya kegiatan tidak boleh
sampai menurangi intensitas bersama keluarga sehingga mampu
menciptakan keharmonisan dalam keluarga. Keharmonisan keluarga
menurut M ialah komunikasi yang bai kantar anggota keluarga.
d. Profil Significant Others 2
Menurut A.N cara M menanamkan nilai agama kepada keluarga
yaitu kepala keluarga memberikan contoh yang baik seperti waktu
sholat, berpuasa, kewajiban, dan hak apa yang diamalkan oleh umat
islam dan itu di contohkan kepada seluruh keluarganya.
Lalu mneurut A.N definis keluarga harmonis adalah mampu
menerima kekurangan, yang bisa menerima kesalahan yang ada pada
diri istri dan anak, kesalahan itu bukan hanya langsung di terima begitu
saja, tapi memberi tahu bagaimana yang baik, cara memberi tahu juga
dengan baik. Seperti contoh jika ada kesalahan, maka M tidak akan
langsung menghakimi kesalahan tersebut, M akan memberitahukannya
secara perlahan dan memberi pengertian.
M juga tidak lupa memberikan rasa kebersamaan terhadap
keluarga, seperti halnya yang disampaikan oleh istri subjek bahwa cara
M adalah mengesampingkan gadget untuk sementara waktu, bermain
bersama anak, tidak harus rekreasi atau jalan-jalan diluar, cukup
sederhana namun bermakna. Pendapat A.N terhadap pengabdian M di
pesantren, A.N sangat mendukung dan setuju tentang pengabdian
tersebut. Dikarenakan keluarga besar dari A.N dan M merupakan
keluarga santri.
e. Profil Informan 3
Informan ketiga dengan inisial A.S. subjek sudah mulai
mengabdi sejak tahun 1990-an sebelum menikah sampai dengan
sekarang sudah memiliki 2 putra dan 1 putri. Banyak lembaga yang
telah disinggahi A.S mengabdi diantaranya mulai dari MI, MTS, dan
yang terakhir Madrasah Aliah Darul Ulum, beliau juga mengabdi di
salah satu peantren. A.S mengajar ekstrakurikuler kaligrafi di pesantren

30
tersebut. Menurut A.S definisi mengabdi adalah suatu pengorbanan
yang harus dengan sepunuh hati dan anak niat untuk mengabdi didalam
hati dan diri sendiri. Cara menananmkan nilai agama A.S kepada
keluarga adalah dengan cara memberi contoh serta senantiasa
mengajak. Karena dengan cara tersebut akan lebih terlihat nyata untuk
dicontoh dan akan lebih melekat kepada setiap anggota keluarga
dimanapun mereka berada.
Kemudian A.S juga mendefinisikan keluarga harmonis itu
apabila didalam rumah tangga ada timbal balik, saling memberi dan
menerima. Menurut A.S tidak ada kendala apapun dalam
menyampaikan kepada keluarga terkait pengabdab yang dilakukan
olehnya, karena menurut beliau pengabdian merupakan tugas dan
tanggung jawab setiap orang. Keluarga besar beliau tergolong orang
yang paham dunia pesantren dan sudah berkecimpung di dunia
pesantren, sehingga keluarga A.S sangat mendukung dengan keputusan
beliau untuk mengabdikan diri di pesantren.
f. Profil Significant Other 3
F merupakan istri dari A.S dan beliau dulu juga mengabdi di
salah satu pesantren di Darul Ulum Jombang. Menurut F mengenai A.S
mengabdi di pondok itu tidak menjadi masalah, karena F sendiri datang
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur untuk mengenyam Pendidikan
pesantren serta mengabdi di pesantren. Keluarga dari F juga dari
pondok, begitu juga dari keluarga A.S juga dari pondok. Menurut F
alasan yang diberikan A.S terkait mengabdi di pondok sudah sangat
bisa diterima olehnya, serta F juga memiliki prinsip yang sama seperti
A.S sehingga tidak ada penolakan terkait pengabdian yang dilakukan
oleh A.S.
F juga mengungkapkan bahwa keharmonisan keluarga ialah
sebuah keluarga yang mengerti tanggung jawab. faktor utama keluarga
harmonis ialah komunikasi. Menurut F Komunikasi dan saling

31
memahami adalah kunci utama dalam menyampaikan pendapat untuk
menyelesaikan sebuah persoalan.
B. HASIL PENELITIAN
Hasil dari data yang telah diperoleh berdasarkan wawancara terkait
dengan keempat informan di penelitian ini, dapat dijabarkan sebagai
berikut :
1. Deskripsi Temuan Penelitian
a. Faktor Keharmonisan Keluarga
Menurut Gunarsa (1999) menyebutkan bahwa tercapainya sebuah
keluarga harus memenuhi persyaratan di bawah ini, yakni :
1. Perhatian
a) Subjek pertama menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:
Subjek menyatakan jika di dalam rumah tidak memiliki
aturan yang khusus, namun disaat tertentu ada kesempatan agar
keluarganya tetap memiliki kebersamaan dengan cara berlibur,
makan bersama, dan menikmati keindahan alama seperti pantai
dan gunung. Ditunjukkan oleh:
“Kita pas lagi bekerja full bekerja, disaat tertentu ada kesempatan
kita keluar bareng- bareng sudah ndak pulang jadi kalau ke pantai
ya kita tidur di pantai” (Wcr. M.A. 90).

“Iya, itu untuk menyatukan anak kadang untuk keseharian kita


makan di luar disitu ada paggung dengan keluarga, beda lo makan
di menja dengan makan lesehan, lebih familiar dilesehan misal
menunggu dinginya nasi sambil sambil sharing apa, tadi adek di
sekolah ada tugas apa? Ada kegiatan apa? Misal itu pendekatan
kepada anak-anak saya pakai itu saat berkmupul saat kita
rekereasi dan semua dari anak yang kecil kecil sampek yang besar
dan juga ibunya saya ajak ke alam, baik di pantai atau di
gunung.” (Wcr. M.A.95).

32
b) Seperti aoa yang sudah dipaparkan, subjek kedua menunjukkan
ciri-ciri tersebut:
Keluarga subjek kedua tidak mewajibkan kumpul keluarga
harus diluar rumah. Keluarga subjek kedua menggunakan
rutinitas sehabis sholat isya akan meluangkan waktu kurang lebih
1 jam untuk berkomunikasi dengan keluar mengenai kegiatan hari
ini yang dilakukan. Ditunjukkan oleh:
“Jadi dengan keluarga dalam aktifitas yang padat ada waktu-
waktu khusus tertentu untuk keluarga, ketika sudah free sehabis
isyak nah itu kita manfaatkan jeda waktu satu jam untuk kumpul
keluarga, nggak harus rekreasi, tidak harus kita keluar-keluar
bersama ya mungkin sekali waktu lah ya, cuman setiap hari habis
isyak makan bersama anakdan istri dan kita berkomunikasi itu
bercamnda bersama dan itu lebih akrab dan saling curhat. Misal
anak habis main dan cerita, sehingga kita sebagai orang tua harus
menanggapi dan merespon sehingga jangan sampai anak teman
curhatnya tidak dengan ortang tua, orang tua ga boleh cuek dan
orang tua harus menaggapi sehingga anak akan selalu terbuka
dengan orang tua apa saja masalahnya pasti dia akan bercerita
karena bentuk perhatian kita kepada anak membuat kenyamanan
dalam curhat mbak” (Wcr. M.130-150).
c) Seperti apa yang telah dipaparkan di bawah ini, subjek ketiga juga
menunjukkan ciri-ciri tersebut:
“Keluarga yang harmonis itu apabila didlam rumah tangga itu ada
imbal balik, saling memberi dan menerima, jadi ee kita itu nggak
muluk-muluk, hidup itu secara kebutuhan primer itu sudah
tercukupi maka sekunder mengalir dengan sendirinya, sehingga
sangat kecil sekali terjadinya cekcok. Intinya saling memahami,
tapi laki-laki itu kebanyakan egois terus terang, kalau ibuk itu
aturan yang sudah ditetapkan tapi ayahnya sering melanggar.

33
Mungkin kodratnya laki-laki sukanya merubah,coba difikir-fikir”
(Wcr. A.S.225-230).

2. Pengertian
Seperti apa yang telah dipaparkan di bawah ini, subjek pertama
menunjukkan ciri-ciri tersebut:
Subjek menerapkan cara untuk mengatasi permasalahan yang ada
didalam keluarganya yaiut dengan melakukan pendekatan
persuasif. Pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk mendekati
anak secara halus dan perlahan agar anak tidak semakin sulit.
Anak memiliki sifat dan karakter berbeda, maka dari itu cara yang
dilakukan dengan pendekatan. Ditunjukkan oleh:
“Ada 2 hal dalam pendekatan kepada anak yang memiliki
karakter yang berbeda-beda jadi anak itu ada yang tipenya halus
dan dengan pedekatan persuasif dan pendekatan yang halus
apabila di kerasi maka dia akan berontak tipe itu, jadi kita ajak
ngobrol biasa tapi saya ajak bareng semua anak sehingga semua
tahu ketika mendapat masalah yang serupa bisa menyelesaikanya
Kadang ada anak yang malu ngobrol dengan orang tua, atau mau
cerita masalahnya. Memang ada, kita juga harus tau probelmnya
apa, misal musim daring dan kemudian anak ada kesulitan
mencari bunga, mana benang sari mana putik nah keulitan itu kita
ajak bareng biar tau semua, yang satunya metik yang satunya
motret satunya nyatet sehingga pekerjaan itu selesai nah itu saat
daring. Misal ada anak yang punya masalah disekolah ada cekcok
dengan teman biasanya dia cerita sendiri setelah itu kenapa
ditanya, diberikan solusi dan kita sampaikan keada anak, misal
ada perselisihan dirumah ya kita panggil dua-daunya dan kita
tanya apasih yang diperbutkan, nah dirumah kan hp satu dibuat
bersama sehingga kita ikut campur tangan misal hp sudah
digunakan apa nggak kalau nggak ya disimpan ayah. Untuk shock

34
terapy kalau ayahnya yang gerak semua takut” (Wcr. M.A.115-
140).

“Kalau anak-anak dulu kayak eee itu ini misal anak bawa hp ke
sekolah kan ndak boleh sebelum daring loya, ya kita kasih sock
terapy hpnya kita ambil dan nggakboleh dikembalikan seperti itu,
ketika dia main laptop dan terus-terusan kalau saya melihat type
anak ya, kalau dia terbuka ya langsung diberi tahu mbak, ini
resikonya ketika laptop waktunya istirahat tapi masih digunakan
terus maka akan rusak, kalau nggak percaya lanjutkan, kemudian
unbtuk type anak yang berbeda lagi ya beda penanganannya,
harus rusak dulu baru dikasih tahu biar tahu kalau laptp itu barang
yang mudah panas dan betul kalau rusak ya nggak nggak
dibelikan lagi” (Wcr. M.A.150-160).

a) Seperti apa yang telah dipaparkan di bawah ini, subjek kedua juga
menunjukkan ciri-ciri tersebut:
Menurut subjek M bahwa didalam keluarga juga terdapat
perbedaan pendapat dan perselisihan. Namun subjek sebagai
imam memutuskan untuk memikirkan secara natang dan tidak
boleh ingin menang sendiri. Harus dipertimbangkan dengan
matang lalu diambil kesimpulan sebagai jalan tengahnya.
Ditunjukkan oleh:
“Kalau dikeluarga perselisihan itu pasti ada, tapi disitu
perselisihan itu bukan suatu masalah, apalagi saya sebagai laki-
laki sebagai imam ketika memutuskan sesuatu harus dipikirkan
lagi, meski perbedaan pendapat dengan istri ya paling tidak kita
tidak boleh menang sendiri, harus dipertimbangkan di ambil
tengah-tengah bagai mana enaknya, jadi intinya ketika kita
dengan keluarga itu komunikasinya harus baik, tidak menangnya
sendiri. Karena tujuan keluarga adalah sakinah mawadah

35
warahmah meskipun ada perselisihan harus di musyawarahkan,
saling menjaga, saling jujur dan saling percaya antara suami dan
istri” (Wcr.M.110-125).

b) Seperti apa yang telah dipaparkan di bawah ini, subjek ketiga


juga menunjukkan ciri-ciri tersebut:
Subjek ketiga menanggapi konflik di dalam keluarga dengan cara
saling memahami. Ditunjukkan oleh:
“Saya kalau masalah konfik hampir kalau didalam kelaurga itu
hanya masalah anak, bukan masalah ekonomi, kalau masalah
ekonmi itu tergantung manusia bagaimana cara apa namanya
memanage. Pernah juga waktu kemarin-kemarin ya cari hutang,
kebetulan ibukknya bendahara sekolahan, ya pinjem disitu dulu
nah kalau cair baru dikembalikan heheh, kalau konfikdidalam
keluarga itu masalah anak, jadi orang tua mengharapkan sesuai
fakta atau yang di harapkan, contoh anak saya yang poertama
setelah mondok 3anak itu begini begitu tapi ternyata tidak tahun
itu dia minta ditahfizul Qur’an setelah saya masukan selama 6
bulan diwisuda binadhor ternyata nggak krasan minta pindah,
sama juga pindahnya di tahfizul Qur’an juga, setelahg itu aliyah
kelas 3 mintak boyong dan sekara sudah mulai kuliah dan
sekarang masuk di PMII itu dia seperti itu, jadi konflik yang
terjadi masalah anak, kalau ekonomi kita sudah saling memahami,
yang penting untuk kebutuhan makan dan lain-lain inysa Allah
sudah cukup. (Wcr.A.S.105-125).

3. Penerimaan
a) Subjek pertama memunculkan ciri-ciri tersebut:
Subjek menjelaskan bahwa keluarga ada yang mengabdi di
dunia pendidikan baik pesantren ataupun non pesantren.
Keluarga mendukung dan mengajarkan bahwa finansial bukan

36
sebuah patokan, namun keikhlasan yang menjadi faktor
utamanya. Ditunjukkan oleh:
“Dikeluarga kita kan mengabdi di dunia pendidikan baik di
pesantren atau di non pesantren itu intinya kita hanya
memberikan sesuatu yang kita punya jadi bukan untuk mencari
financial, sehingga kita klop mbak baik dari saya, istri saya,
keluarga saya, mertua saya punya prinsip begitu, jadi kalau mau
terjun di dunia pendidikan baik di pesantren atau non pesantren
ya disitu kita sifatnya mengabdi bukan mencari financial. Kalau
kita mencari financial disitu nanti keikhlasan kita akan
berkurang, ya kalau di pesantren ada keyakinan barokah yang
tidak dimiliki di lembaga pendidikan yang lain lah, jadi lembaga
pendidikan dipesantren mayoritas pasti cari barokah atau
berkah. Ada keberkakahan tersendiri yang tidak dirasakan oleh
temen-temen yang diluar pesantren” (Wcr.M.A.20-35).

b) Subjek kedua memunculkan ciri-ciri sebagai berikut:


Subjek M mendapat dukungan penuh dari keluarga karena
sejak remaja, subjek telah mengabdi di pesantren, sehingga
subjek sudah mengetahui banyak sedikitnya ilmu pesantren
beserta isinya. Ditunjukkan oleh:
“Sebenarnya dari keluarga sendiri sudah tahu bahwa saya dari
remaja sudah berkecimpung dipondok jadi sedikit-sedikit
tahulah apa yang ada dipesantren sehingga dari keluarga saya
sendiri tahu kalau saya dari remaja hudupnya di pesantren meski
nggak full tapi kalau malam saya pasti di pesantren. Jadi dari
keluarga sangat mendukung apabila saya mengabdi di pondok,
bukan masalah materi atau apa tapi kemanfaatnya itu lebih
diutamakan dan bermanfaat sesama manusia, jadi dari keluarga
tidak ada yang berselisih pendapat, intinya keluarga sangat
mendukung ketika mengabdi di pondok” (Wcr.M.70-80).

37
c) Subjek ketiga memiliki ciri-ciri tersebut yaitu:
Subjek sudah mengabdi sejak tahun 1990-an, sejak tahun
tersebut subjek memiliki banyak pengalaman di berbagai
pesantren yaitu MI, MTS, Madrasah Aliyah Darul Ulum.
Respon keluarga baik dikarenakan ayah dari subjek juga seorang
guru. Ditunjukkan oleh:
“Saya itu ngabdi dari tahun 90, mulai dari MI,MTS,Aliah Darul
Ulum.” (Wcr.A.S.5)

“Saya basicnya memang bapak saya seorang guru, otomatis


setiap harinya ya kayak di sekolahan intinya waktunya sholat ya
sholat, mandi ya mandi, ngaji ya ngaji gitu jadisesuai dengan
aturan orang tua ke saya ebagai orang tua menerapkan apa yang
diajarkan orang tua saya dulu kepada anak-anak.”(Wcr.A.S.35).

4. Penambahan pengetahuan
a) Subjek pertama menunjukkan ciri-ciri tersebut:
Subjek mengajarkan kepada anak tentang kerjasama
terhadap sesama terutama kepada seluruh anggota keluarga.
Pada musim pandemi saat ini, muncul banyak kendala yang
dihadapi oleh anak-anak subjek salah satunya dalam
pembelajaran sekolah daring. Subjek mengajarkan untuk saling
membantu dalam mengerjakan tugas. Dalam arti seperti tugas
praktek, namun untuk tugas lisan dan tuylis dikerjakan individu.
Ditunjukkan oleh:
“Memang ada, kita juga harus tau probelmnya apa, misal musim
daring dan kemudian anak ada kesulitan mencari bunga, mana
benang sari mana putik nah kesulitan itu kita ajak bareng biar
tau semua, yang satunya metik yang satunya motret satunya
nyatet sehingga pekerjaan itu selesai nah itu saat daring. Misal

38
ada anak yang punya masalah disekolah ada cekcok dengan
teman biasanya dia cerita sendiri setelah itu kenapa ditanya,
diberikan solusi dan kita sampaikan keada anak, misal ada
perselisihan dirumah ya kita panggil dua-duanya dan kita tanya
apasih yang diperbutkan, nah dirumah kan hp satu dibuat
bersama sehingga kita ikut campur tangan misal hp sudah
digunakan apa nggak kalau nggak ya disimpan ayah. Untuk
shock terapy kalau ayahnya yang gerak semua takut.”
(Wcr.M.A.135-140).

b) Subjek kedua memunculkan ciri tersebut :


Subjek sejak dini mengenalkan dunis santri terhadap anak-
anknya karena dunia santri dapat memberikan ilmu dan
gambaran kepada anak-anaknya, seperti contoh dalam hal
berpakaian, cara bergaul, dan tingkah lakunya. Ditunjukkan
oleh:
“Kalau dalam konteks keseharian anak-anbak kita kenalkan ke
dunia santri, karena notabennya orang islam dari anak-anak kita
mulai kenalkan dunia santri, santri itu apa, bagaimana tingkah
lakunya, cara bergaul, cara berpakaian dan semua kita
memberikan contoh keada anak-anak.” (Wcr.M.45).

c) Subjek ketiga memunculkan ciri tersebut :


Selain mengabdi di pondok pesantren, subjek juga memiliki
kegiatan lain yaitu melukis media anak TK dan RA, melukis
dinding (mural), dan bermain drumband. Ditunjukkan oleh;
“Jadi saya selain mengabdi kalau ada yang membutuhkan
contohnya melukis untuk media anak-anak TK RA, jadi melukis
di dinding, sebelum pandemi saya ngajar dramben hehe.”
(Wcr.A.S.65).

39
5. Pengenalan diri
a) Subjek pertama memunculkan ciri sebagai berikut :
Awal mula subjek mengabdi di daerah Tambak Beras
adalah karena sejak ia menjadi santri disana, subjek sudah
berkeinginan untuk kembali ke pesantren tersebut dengan
mengabdi. Subjek akhirnya mengambil kuliah jurusan seni
sehingga subjek dapat mengembangkan bakat dan minatnya
untuk berkomitmen mengabdi di pesantren. Ditunjukkan oleh:
“Alasan saya kenapa memilih tambak beras karena saya alumni
sini dan karena saya keluar disini saya harus kuliah seni, karena
disini tidak ada seni sehingga jika saya lulus kuliah saya akan
kembali kesini menjadi guru seni, memang sudah terencana
sejak jadi santri disini, dulu tidak tercover minat bakat siswa dan
sekarang mulai terbuka dan dulu hanya pesantren saja jadi tidak
terbuka dan pengembangan minat bakat ndak ada.”
(Wcr.M.A.60-65).

b) Subjek kedua memunculkan ciri sebagai berikut :


Subjek mendapat dukungan penuh oleh keluarganya sejak
remaja. Subjek sudah mendalami dunia santri sejak remaja
sehingga subjek sudah mendapat dan memahami dunia santri
walaupun tidak banyak yang didapatkan. Ditunjukkan oleh:
“Sebenarnya dari keluarga sendiri sudah tahu bahwa saya dari
remaja sudah berkecimpung dipondok jadi sedikit-sedikit
tahulah apa yang ada dipesantren sehingga dari keluarga saya
sendiri tahu kalau saya dari remaja hudupnya di pesantren meski
nggak full tapi kalau malam saya pasti di
pesantren.”(Wcr.M.70).

c) Subjek ketiga memunculkan ciri sebagai berikut :

40
Subjek mengabdikan diri di dunia santri sejak tahun 1990-
an. Sejak tahun 1990-an hingga saat ini, subjek telah mengabdi
di berbagai tempat seperti MI, MTS, dan yang terakhir hingga
saat ini adalah Madrasah Aliyah. Di madrasah aliyah, subjek
mengajar kaligrafi. Ditunjukkan oleh:
“Saya itu ngabdi dari tahun 90, mulai dari MI,MTS,Aliah Darul
Ulum.” (Wcr.A.S.5).

“Kalau saya saat ini di MI,MTS,Aliah Darul Ulum. Cuman


tempatnya beda, kalau aliyah di daerah ndiwek kalau dari sini
kurang lebih 6 Km. kalau darul ulum pondok disini cuman saya
ngajarnya darul ulum pondok kan sudah memisahkan diri, saya
non formalnya di pondoknya hanya ngajar kaligrafi.”
(Wcr.A.S.25).

6. Peningkatan usaha
d) Subjek pertama memunculkan ciri sebagai berikut :
Selain mengabdi, subjek juga menjadi pelukis dan membuka
usaha lainnya. Banyak usaha yang saat ini dilakukan oleh subjek
yaitu berjualan pasir laut, peralatan melukis, kanvas dan pigura.
Ditunjukkan oleh:
“ngabdi cari uang ya cari uang kita kerja, makanya selain dari
pondok bapak ya ngelukis nah dari situ.: (Wcr.R.35).

“Ada mbak, ya jual pasir, cat ya yang sekiranya menghasilan lah


nah didepan juga ada pasir laut, ketika jalan-jalan bareng bapak
gitu pulangnya bawa pasir. Kayak kemarin kayu gitu kita juga
jual kanvas tripot/jagrak lukisan yang masih ranah dunia seni,
pigora, kertas semen jadi kanvas heheh.” (Wcr.R.440.45).

e) Subjek kedua memunculkan ciri sebagai berikut :

41
Subjek kedua memiliki kegiatan lain selain mengabdi yaitu
menjadi buruh pabrik. Subjek menjadi buruh pabrik saat pagi
hingga sore hari, kemudian di malam hari subjek mengabdi di
pesantren bersama anak-anak. Subjek sangat bersyukur karena
selama bekerja menjadi buruh pabrik tidak pernah mendapatkan
kerja shift pagi, sehingga subjek tidak terkendala dengan
pengabdiannya di pesantren. Ditunjukkan oleh:
“kalau siang saya kerja di pabrik dan kalau malam ngopeni
santri semampunya sekuatnya, kegiatan-kegiatan pondok
aktifitas itu sudah menjiwai kehidupan di peantren, kalau
dibilang capek ya capek, tapi saya menyebutnya adalah
panggilan jiwa saya untuk mengabdi, jadi dipondok isi kegiatan
kita sebagai tanggung jawab kita didalam pondok di dalam
masyarakat saat dibutuhkan masyarakat.” (Wcr.M.95.100).

“Iya, tapi alhamdulillah saya bekerja di pabik itu saya tidak


pernah kena sift jadi masuknya pagi terus nggak ada masuk sore
atau malem, jam 8 pagi sampek jam 4 sore saya bekerja.”
(Wcr.M.105).

f) Subjek ketiga memunculkan ciri sebagai berikut :


Subjek memiliki kegiatan lain selain mengabdi yaitu sebagai
pelukis untuk anak TK dan terkadang melukis di dinding
(mural). Sebelum pandemi, subjek juga memilki kegiatan
bermain drumband. Ditunjukkan oleh:
“Jadi saya selain mengabdi kalau ada yang membutuhkan
contohnya melukis untuk media anak-anak TK RA, jadi melukis
di dinding, sebelum pandemi saya ngajar dramben hehe..
(Wcr.A.S.65).
b. Aspek – Aspek Keharmonisan Keluarga

42
Menurut Adrian (2010) menerbitkan artikel psikologi
keluarga yang menjelaskan beberapa aspek sebagai dasar
hubungan pernikahan bahagia, diantaranya ialah:
1. Menciptakan Kehiduppan Beragama dalam Keluarga
a) Subjek pertama menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
Subjek menanamkan nilai-nilai agam dengan cara mengalir
saja. Prinsip – prinsip subjek untuk keluarga dalam beragama
adalah kebersamaan dan keihklasan. Ditunjukkan oleh:
“Untuk ke anak-anak mengalir saja ya, jadi tawadhunya anak-
anak adab akhlak itu mengalir terbentuk oleh lingkungan ya, jadi
apa ya memang lingkungan sangat berpengaruh.” (Wcr.M.A.40).

“Kalau saya sih kebersamaan dalam prinsip itu, yaitu tadi kembali
ke rasa keihlasan kita dan semua didukung dengan keluarga,
ketika keluarga kita tidak mendukung ya percuma kita
dilingkungan sini kan ndak mungkin untuk apasih? Tapi karena
kita sudah terbentuk mungkin Allah memberi jalan seperti itu ya
mengalir saja. “ (Wcr.M.A.50-55).

b) Subjek kedua menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :


Subjek menjelaskan jika sebagai orang tua harus mendidik
dan memebrikan contoh baik kepada anak. Orang tua adalah figur
bagi anak untuk dicontoh. Sebagai seorang umat islam waji b
mengetahui agama islam secara keseluruhan. Prinsip subjek untuk
mencapai cita-cita dan tujuan adalah berdasarkan agama.
Ditunjukkan oleh:
“Kepada anak-anak kita sebagai orang tua ini juga berkewajiban
mendidik dan memberikan sebuah contoh perilaku yang baik, jika
anak berperilaku kurang baik maka kita memberikan teguran dan
pengarahan jika yang dilakukan itu kurang baik dan memberikan
pengertian kepada anak-anak bahwa itu adalah kesalahan itu

43
diberi pengarahan motivasi dan diarahkan yang baik, orang tua
dalam konteks agama kita ini sebagai orang islam misal akhlak
adab harus sesuai dengan ajaran islam contoh cara berpakaian
sebagai orang tua misal punya anak cewek ya harus memilihkan
pakaian yang bisa menutup aurat kalau keluar rumah, tapi kalau
didalam rumah masih anak-anak masih bisa ditoleransi kalau
sudah keluar rumah harus memakai baju muslim. Dalam tingkah
laku keseharian sebelum melakukan apapun harus berdoa, karena
sudah diajarkan diagama islam. Kalau dalam konteks keseharian
anak-anbak kita kenalkan ke dunia santri, karena notabennya
orang islam dari anak-anak kita mulai kenalkan dunia santri,
santri itu apa, bagaimana tingkah lakunya, cara bergaul, cara
berpakaian dan semua kita memberikan contoh keada anak-anak.”
(Wcr.M.20-45).

“Kita inikan orang islam jadi harus wajib mengetahui agama


islam secara keseluruhan, jadi segala hal sesuatu yang kita
lakukan yang kita sebagai tujuan sebagai cita-cita keluarga
dengan berdasarkan agama, semua tujuan apapun dalam
berkeluarga harus tau islam secara keseluruhan, dasar-dasar
agama dengan ilmu harus paham. Dan itu yang mengantarkan kita
kepada keluarga yang agamis, keluarga yang bisa menerapkan
norma-norma islam, jangan meniru ajaran-ajaran yang milenial
seperti sekarang, kita lebih ke ala-ala kampungan ya gapapa,
karena islam islam ya seperti itu tidak mengikuti tren gak masalah
yang intinya dalam berkeluarga harus pahgam betul mengenai
agama islam, untuk mengetahui ajaran islam ya dengan ngaji dan
mencari ilmu dan berguru seperti itu, kiat-kiatnya seperti itu dan
itu yang saya rasakan heheh nggak tau yang lain seperti apa.”
(Wcr.M.165-185).

44
c) Subjek ketiga memunculkan ciri-ciri tersebut:
Subjek menanamkan nilai agama kepada anak sejak usia dini.
Sejak kecil diajarkan doa-doa, belajar wudhu, sholat dan
mengikuti kegiatan di TPQ. Bahkan subjek juga mengajarkan
surat pendek beserta pengetahuan fiqih. Ditunjukkan oleh:
“Intinya menanamkan keagamaan pada anak memang di ajari
sejak dini, sejak kecil kita ajari doa-doa dan kebetulan disini ada
TPQ jadi secara tidak langsung dia pasti mendengar. Kalau di
TPQ kota kan cuman sebatas diajari mengaji.” (Wcr.A.S.55).

“Saya ajari doa-doa sholat, praktek sholat, belajar wudhu gitu.


Ada juga hafalan surat pendek, juga diselipi pengetahuan fiqih
mgoten mbak.” (Wcr.A.S.60).

2. Mempunyai waktu bersama keluarga


a) Subjek pertama memunculkan ciri-ciri tersebut:
Subjek mengatakan apabila didalam rumahnya tidak aturan khusus,
namun disaat tertentu ada kesempatan agar keluarganya tetap
memiliki kebersamaan dengan cara berlibur, makan bersama, dan
menikmati keindahan alama seperti pantai dan gunung. Ditunjukkan
oleh:
“Kita pas lagi bekerja full bekerja, disaat tertentu ada kesempatan kita
keluar bareng- bareng sudah ndak pulang jadi kalau ke pantai ya kita
tidur di pantai” (Wcr. M.A. 90).
“Iya, itu untuk menyatukan anak kadang untuk keseharian kita makan
di luar disitu ada paggung dengan keluarga, beda lo makan di menja
dengan makan lesehan, lebih familiar dilesehan misal menunggu
dinginya nasi sambil sambil sharing apa, tadi adek di sekolah ada
tugas apa? Ada kegiatan apa? Misal itu pendekatan kepada anak-anak
saya pakai itu saat berkmupul saat kita rekereasi dan semua dari anak

45
yang kecil kecil sampek yang besar dan juga ibunya saya ajak ke
alam, baik di pantai atau di gunung.” (Wcr. M.A.95).

b) Subjek kedua memunculkan ciri tersebut, sebagaimana yang telah


dipaparkan dibawah ini:
Dalam keluarga subjek kedua tidak mewajibkan kumpul
keluarga harus diluar rumah. Keluarga subjek kedua menggunakan
rutinitas sehabis sholat isya akan meluangkan waktu kurang lebih 1
jam untuk berkomunikasi dengan keluar mengenai kegiatan hari ini
yang dilakukan. Ditunjukkan oleh:
“Jadi dengan keluarga dalam aktifitas yang padat ada waktu-waktu
khusus tertentu untuk keluarga, ketika sudah free sehabis isyak nah
itu kita manfaatkan jeda waktu satu jam untuk kumpul keluarga,
nggak harus rekreasi, tidak harus kita keluar-keluar bersama ya
mungkin sekali waktu lah ya, cuman setiap hari habis isyak makan
bersama anakdan istri dan kita berkomunikasi itu bercamnda
bersama dan itu lebih akrab dan saling curhat. Misal anak habis
main dan cerita, sehingga kita sebagai orang tua harus menanggapi
dan merespon sehingga jangan sampai anak teman curhatnya tidak
dengan ortang tua, orang tua ga boleh cuek dan orang tua harus
menaggapi sehingga anak akan selalu terbuka dengan orang tua apa
saja masalahnya pasti dia akan bercerita karena bentuk perhatian
kita kepada anak membuat kenyamanan dalam curhat mbak” (Wcr.
M.130-150).

c) Subjek ketiga memunculkan ciri tersebut, seperti apa yang telah


dipaparkan dibawah ini:
Keluarga subjek ketiga menggunakan waktu kebersamaannya
dengan cara diterapkan sifat saling menerima, membantu dan
saling memahami saya. Ditunjukkan oleh:

46
“Keluarga yang harmonis itu apabila didalam rumah tangga itu ada
imbal balik, saling memberi dan menerima, jadi ee kita itu nggak
muluk-muluk, hidup itu secara kebutuhan primer itu sudah
tercukupi maka sekunder mengalir dengan sendirinya, sehingga
sangat kecil sekali terjadinya cekcok. Intinya saling memahami,
tapi laki-laki itu kebanyakan egois terus terang, kalau ibuk itu
aturan yang sudah ditetapkan tapi ayahnya sering melanggar.
Mungkin kodratnya laki-laki sukanya merubah,coba difikir-fikir”
(Wcr. A.S.225-230).

3. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga


a) Subjek pertama menunjukkan ciri-ciri tersebut:
Subjek memiliki cara tersendiri untuk dapat selalu
harmonis dengan keluarga yaitu dengan komunikasi. Cara
komunikasi subjek dengan keluarga adalah dengan menjadi sebuah
air ditengah permasalahan keluarganya. Subjek juga
menyempatkan waktu untuk mengajak seluruh keluarganya yaitu
anak-anak dan istrinya untuk makan bersama diluar. Tujuannya
agar menyatukan semua anaknya sehingga dapat memahami setiap
cerita kegiatan masing-masing anak. Ditunjukkan oleh:
“Dulu itu kyai bilang jika ada api maka jadilah air, nah gitu ketika
ada di keluarga ada yang panas maka jadilah dingin mencari timing
yg tepat untuk menyelesaikan problem, pasti adalah problem-
problem. Jadi cari wkatu yang tepat misal jalan-jalan pagi dan selfi-
selfi nah pas selfie kan nggak mungin cemberut kan pasti
tersenyum nah disitu ada pohon cinta dan saya selalu posting di
media untuk memotivasi yang lain dan hidup itu harus enjoy dan
ada keselarasan harus harmoni sama anak-anak sama istri.”
(Wcr.M.A.80).

47
“Iya, itu untuk menyatukan anak kadang untuk keseharian kita
makan di luar disitu ada paggung dengan keluarga, beda lo makan
di meja dengan makan lesehan, lebih familiar dilesehan misal
menunggu dinginya nasi sambil sambil sharing apa, tadi adek di
sekolah ada tugas apa? Ada kegiatan apa? Misal itu pendekatan
kepada anak-anak saya pakai itu saat berkmupul saat kita rekereasi
dan semua dari anak yang kecil kecil sampek yang besar dan juga
ibunya saya ajak ke alam, baik di pantai atau di gunung.”
(Wcr.M.A.95.100).

b) Subjek kedua memunculkan ciri-ciri tersebut:


Dalam keluarga pasti akan selalu ada perselisihan, subjek
memilki cara untuk mengatasi perselisihan yaitu dengan cara
komunikasi. Setiap anggota keluarga subjek bebas menyampaikan
pendapat untuk menemukan titik jawaban. Ditunjukkan oleh:
“Kalau dikeluarga perselisihan itu pasti ada, tapi disitu perselisihan
itu bukan suatu masalah, apalagi saya sebagai laki-laki sebagai
imam ketika memutuskan sesuatu harus dipikirkan lagi, meski
perbedaan pendapat dengan istri ya paling tidak kita tidak boleh
menang sendiri, harus dipertimbangkan di ambil tengah-tengah
bagai mana enaknya, jadi intinya ketika kita dengan keluarga itu
komunikasinya harus baik, tidak menangnya sendiri. Karena tujuan
keluarga adalah sakinah mawadah warahmah meskipun ada
perselisihan harus di musyawarahkan, saling menjaga, saling jujur
dan saling percaya antara suami dan istri.” (Wcr.M.110-125).

c) Subjek ketiga menunjukkan ciri-ciri berikut:


Menurut subjek, komunikasi sangat penting. Karena
komunikasi dapat mengetahui bagaimana sifat seseorang dan
komunikasi juga dpaat memperbaiki diri sendiri. Ditunjukkan oleh:

48
“Dengan cara komunikasi, misal tanya-tanya, misalkan ada
pertanyaan yang membuat tersinggung dia nah ini ada sesuatu yang
disembunyikan, misal dia ditanyak jawabanya tebuka nah itu
orangnya jujur, kalau ada yang ditutup-tutupi dan gak jelas, nah ini
perlu dicurigai dan harus hati-hati. Tapi yakinlah bahwa wanita
yang baik dia akan mendapatkan laki-laki yang baik, itu dari diri
kita, bagaimana kita mendapatkan orang baik ya kita memperbaiki
diri kita, apabila diri kita sudah berusaha dengan baik maka Allah
memberikan yang terbaik pula, kebanyakan itu senasib biasanya
seperti itu.” (Wcr.A.S.185-195).

4. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga


a) Subjek pertama memunculkan ciri-ciri berikut:
Subjek mengajarkan kepada anak jika mereka harus
menghargai barang yang mereka punya dan mneghargai aturan
yang telah dibuat oleh subjek. Anak akan terbiasa menghargai
barang jika ada 2 kemungkinan yaitu barang tersebut rusak atau
barang tersebut disita oleh subjek. Secara tidak langsung anak juga
akan menghargai perjuangan orang tuanya yang memberikan
fasilitas tersebut. Ditunjukkan oleh:
“Kalau anak-anak dulu kayak eee itu ini misal anak bawa hp ke
sekolah kan ndak boleh sebelum daring ya, ya kita kasih shock
terapy hpnya kita ambil dan nggak boleh dikembalikan seperti itu,
ketika dia main laptop dan terus-terusan kalau saya melihat type
anak ya, kalau dia terbuka ya langsung diberi tahu mbak, ini
resikonya ketika laptop waktunya istirahat tapi masih digunakan
terus maka akan rusak, kalau nggak percaya lanjutkan, kemudian
untuk type anak yang berbeda lagi ya beda penanganannya, harus
rusak dulu baru dikasih tahu biar tahu kalau laptop itu barang yang
mudah panas dan betul kalau rusak ya nggak nggak dibelikan lagi
kalau nggak mau ya nabung nanti ditambahi ayah nah itu sebagai

49
shock terapy, akhirnya rasa memilikinya kan ada, kalau misal rusak
dibelikan lagi kan akhirnya meremahkan nantik anaknya, biar
belajar. Ketika ada shock terapy kan dia bisa berfikir kalau rusak
harus nabung dan jangka waktunya juga lama. Disitu mbak letak
sock terapy nya agar anak bisa memiliki rasa memiliki.
(Wcr.M.A.150-160).

b) Subjek kedua memunculkan ciri-ciri berikut:


Subjek kedua mendefinisikan bahwa keluarga harmonis
sekaligus saling melengkapi. Keluarga yang saling melengkapi dan
membantu akan terasa indah dan damai dirasakan. Setiap anggota
keluarga dapat bekerja sama dan gotong royong untuk melengkapi
kekurangan dalam keluarga tersebut. Ditunjukkan oleh:
“Keluarga harmonis itu adalah keluarga yang saling melengkapi,
suami kita manusia itu tidak ada yang sempurna pasti ada
kekurangan antara kita. pada dasarnya ketika ada kekurangan maka
istri yang menutup kekurangan kita, jadi keluarga itu adalah
kebersamaan antara sumai dan istri bisa bersam sama dalam
kondisi susah atau senang tetap bersama-sama, itu adalah keluarga
harmonis.” (Wcr.M.10-15).

c) Subjek ketiga memunculkan ciri-ciri tersebut:


Menurut subjek, keluarga harmonis juga didefinisikan
sebagai saling membantu, menerima dan timbal balik yang
seimbang agar kebutuhan primer dan sekunder seimbang dapat
terpenuhi. Ditunjukkan oleh:
“Keluarga yang harmonis itu apabila didalam rumah tangga itu ada
imbal balik, saling memberi dan menerima, jadi ee kita itu nggak
muluk-muluk, hidup itu secara kebutuhan primer itu sudah
tercukupi maka sekunder mengalir dengan sendirinya, sehingga
sangat kecil sekali terjadinya cekcok. Intinya saling memahami,

50
tapi laki-laki itu kebanyakan egois terus terang, kalau ibuk itu
aturan yang sudah ditetapkan tapi ayahnya sering melanggar
Mungkin kodratnya laki-laki sukanya merubah,coba difikir-fikir.”
(Wcr.A.S.220-230).

5. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim


a) Subjek pertama memunculkan ciri-ciri berikut:
Subjek memiliki cara untuk mengatasi perselisihan atau
konflik didalam keluarganya, subjek akan menjadi air jika ada
permasalahan didalam keluarganya. Subjek juga akan mencari
waktu untuk menenangkan keluarganya dikala permasalahan
mendatangi. Ditunjukkan oleh:
“Dulu itu kyai bilang jika ada api maka jadilah air, nah gitu ketika
ada di keluarga ada yang panas maka jadilah dingin mencari timing
yg tepat untuk menyelesaikan problem, pasti adalah problem-
problem. Jadi cari waktu yang tepat misal jalan-jalan pagi dan selfi-
selfi nah pas selfie kan nggak mungin cemberut kan pasti
tersenyum nah disitu ada pohon cinta dan saya selalu posting di
media untuk memotivasi yang lain dan hidup itu harus enjoy dan
ada keselarasan harus harmoni sama anak-anak sama istri.”
(Wcr.M.A.80-85).

b) Subjek kedua menunjukkan ciri-ciri tersebut:


Menurut pendapat kedua dikemukakan oleh istri subjek,
yang berpendapat bahwa cara subjek meminimalisir konflik
didalam keluarga adalah kejujuran. Subjek selalu memantau dan
mengontrol kegiatan anak dan istri. Saat bekerja di pabrik juga
sering mengirim pesan sms hanya untuk mengetahui kabar dan
kegiatan mereka dirumah. Ditunjukkan oleh:
“Kejujuran, apapun yang dilakukan kita harus jujur, melakukan
apapun jujuro dan insyaAllah keharmonisan akan terjalin, sesuatu

51
yang merusak dalam rumah tangga adalah salah satunya adalah
tidak jujur. Kalau saya mau kemana-mana bilang, misal ke pasar,
ke mall. Sampai harus tau apa yang saya kerjakan dan anak-anak
kerjakan, dia juga mengontrol kalau siang pun itu anak-anak
ngapain saya ngapain pasti suami ngontrol, di pabrikpun juga sms,
tanya-tanya yang dirumah, karena dari dulu sebelum menikah
sampek sekarang ya komunikasi terus lewat sms padahal sekarang
kan ketemu terus ya, namanya komunikasi itu penting ya tetap kita
lakukan.” (Wcr.A.N.75-90).

c) Subjek ketiga menunjukkan ciri-ciri tersebut:


Menurut subjek, didalam keluarganya jarang sekali terjadi
konflik, jika konflik mengenai ekonomi sangat jarang karena
subjek dan istri ikhlas dengan hasil pengabdiannya. Namun konflik
lain yang sering yaitu tentang anak. Banyak sekali ujian yang
didaptkan subjek dan istri mengenai anak-anak mereka.
Ditunjukkan oleh:
“Saya kalau masalah konfik hampir kalau didalam keluarga itu
hanya masalah anak, bukan masalah ekonomi, kalau masalah
ekonmi itu tergantung manusia bagaimana cara apa namanya
memanage. Pernah juga waktu kemarin-kemarin ya cari hutang,
kebetulan ibukknya bendahara sekolahan, ya pinjem disitu dulu
nah kalau cair baru dikembalikan heheh, kalau konfik didalam
keluarga itu masalah anak, jadi orang tua mengharapkan sesuai
fakta atau yang di harapkan, contoh anak saya yang pertama setelah
mondok, 3 anak itu begini begitu tapi ternyata tidak tahun itu dia
minta ditahfizul Qur’an setelah saya masukan selama 6 bulan
diwisuda binadhor ternyata nggak krasan minta pindah, sama juga
pindahnya di tahfizul Qur’an juga, setelah itu aliyah kelas 3 mintak
boyong dan sekarang sudah mulai kuliah dan sekarang masuk di
PMII itu dia seperti itu, jadi konfik yang terjadi masalah anak,

52
kalau ekonomi kita sudah saling memahami, yang penting untuk
kebutuhan makan dan lain-lain inysa Allah sudah cukup.”
(Wcr.A.S.105-125).

6. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga


a) Subjek pertama menunjukkan ciri-ciri tersebut:
Menurut subjek, waktu luang untuk kebersamaan dengan keluarga
sangatlah penting. Subjek juga menganggap itu adalah hal untuk
menyatukan hubungan antar keluarga agar semakin harmoni. Selain
itu, subjek juga mengutamakan komunikasi diluar rumah seperti
berjalan-jalan, makan bersama dan liburan, tujuannya agar
semuanya tetap berjalan dengan baik. Ditunjukkan oleh:
“Kita pas lagi bekerja full bekerja, disaat tertentu ada kesempatan
kita keluar bareng- bareng sudah ndak pulang jadi kalau ke pantai
ya kita tidur di pantai” (Wcr.M.A.90)

“Iya, itu untuk menyatukan anak kadang untuk keseharian kita


makan di luar disitu ada paggung dengan keluarga, beda lo makan
di menja dengan makan lesehan, lebih familiar dilesehan misal
menunggu dinginya nasi sambil sambil sharing apa, tadi adek di
sekolah ada tugas apa? Ada kegiatan apa? Misal itu pendekatan
kepada anak-anak saya pakai itu saat berkmupul saat kita rekereasi
dan semua dari anak yang kecil kecil sampek yang besar dan juga
ibunya saya ajak ke alam, baik di pantai atau di gunung.”
(Wcr.M.A.95-100).

b) Subjek kedua memunculkan ciir-ciri tersebut:


Subjek menerapkan komunikasi sebagai hal utama untuk
tetap harmonis dan terciptanya hubungan erat antar anggota
keluarga. Cara subjek untuk hal tersebut adalah dengan cara
menggunakan waktu sebaik mungkin terutama sehabis sholat isya

53
meluangkan waktu kurang lebih 1 jam. Tidak wajib untuk diluar
rumah, namun sesekali diperlukan kata subjek. Ditunjukkan oleh:
“Jadi dengan keluarga dalam aktifitas yang padat ada waktu-waktu
khusus tertentu untuk keluarga, ketika sudah free sehabis isyak nah
itu kita manfaatkan jeda waktu satu jam untuk kumpul keluarga,
nggak harus rekreasi, tidak harus kita keluar- keluar bersama ya
mungkin sekali waktu lah ya, cuman setiap hari habis isyak makan
bersama anakdan istri dan kita berkomunikasi itu bercamnda
bersama dan itu lebih akrab dan saling curhat. Misal anak habis
main dan cerita, sehingga kita sebagai orang tua harus menanggapi
dan merespon sehingga jangan sampai anak teman curhatnya tidak
dengan ortang tua, orang tua ga boleh cuek dan orang tua harus
menaggapi sehingga anak akan selalu terbuka dengan orang tua apa
saja masalahnya pasti dia akan bercerita karena bentuk perhatian
kita kepada anak membuat kenyamanan dalam curhat mbak.”
(Wcr.M.130-150).

c) Subjek ketiga memunculkan ciri-ciri tersebut:


Sumber yang ketiga disampaikan oleh istri subjek, bahwa
cara subjek mengeratkan antar anggota keluarga adalah dengan
cara kebiasaan. Istri subjek juga mengajarkan bahasa jawa halus
agar saling menghormati sesama, kemudian mengajarkan saling
membantu antar saudara. Ditunjukkan oleh:
“Alhadmulillah keluarga kecil saya ini saya nggak pernah
menanamkan apa-apa harus gini harus itu, kan anak saya ada 3
mbak, 2 putra di pondok dan 1 putri di rumah, jadi karena
kebiasaan saat kecil apa-apa dikerjakan semua, makan misalkan
ketika yang satu nggak mendahului makan ya nggak ada yang
makan tapi koyok habis magrib kan ngaji itu ya saling nunggu biar
bareng. Saya tanamkan bahasa nggak ngoko, jadi saya contohkan
bahasa yang halus, jadi adik ke kakak ya pakai bahasa halus

54
sekarang sama sepupu-sepupu satu kampus tetep pakai dek dan
mas gitu, kita tanamkan ke biasaan. Saya kasih cerita aja kalau
anak laki-laki tanggung jawabnya besar misalkan ayah dan ibuk
udah nggak ada ya adik- adiknya menjadi tanggung jawabnya dan
adiknya juga gitu harus taat kepada kakaknya misalkan ayah ibuk
sudah nggak ada nantik yang jadi orang tua ya mas itu. Jadi harus
saling mendukung.” (Wcr.F.55-70).

Dari hasil deskripsi temuan penelitian tersebut dapat diambil


kesimpulan bahwa keharmonisan keluarga sangat terjelaskan dalam
diri subjek. Subjek mendapat dukungan penuh dari keluarga terkait
dengan pengabdian di pondok pesantren. Subjek juga menerapkan
keihklasan dan niat dalam diri mereka untuk melakukan dan menjalani
pengabdian. Karena jika tidak ikhlas dan niat maka semua akan sia-sia
hasilnya. Subjek juga tidak lupa membagi waktu untuk keluarga disaat
kesibukan melanda. Pentingnya komunikasi dan waktu untuk keluarga
bertujuan agar keutuhan dan keharmonisan keluarga tetap terjaga
sampai kapanpun. Dengan komunikasi, subjek juga dapat mengetahui
kabar dan perkembangan keluarga mereka, saling bertukar cerita dan
memberi solusi untuk permasalahan yang ada.
Keharmonisan sebuah keluarga adalah bilamana ditandai dengan
kurangnya ketegangan, puas dan sebuah kekecewaan dengan semua
keadaan dan eksistensi atau aktualisasi diri (kehadiran diri), antara lain
aspek mental, sosial, dan fisik, selanjutnya adalah merasa kebahagiaan
dalam keluarga (Gunarsa : 2004)
c. Keluarga Harmonis menurut Hukum Islam
Islam mengajarkan, harmonisnya sebuah keluarga dapat dimulai
dengan syariat islam berupa pernikahan. Keluarga dapat terbentuk
dengan adanya sebuah hubungan pasangan danmemenuhi ajaran Allah
SWT dan rasulnya untuk melangsungkan pernikahan. Mencari cara
yang terbaik untuk mencegah suatu hal yang tak diinginkan dalam

55
memilih seorang pasangan yang sesuai dengan ajaran islam
merupakan dasar untuk memulai sebuah keluarga, (baca persyaratan
pernikahan dan juga rukun nikah di dalam islam).
Anjuran Rasul SAW bagi laki-laki untuk memilih calon istri yang
baik dalam beragama dan sholehah, karena istri yang dapat
mengingatkan jalan yang akan ditempuh suami apakah benar atau
salah dan kesholehan seorang istri dapat menjadikan sebuah keluarga
kenyamanan dan ketentraman dalam pernikahan. Hadist berikut
menyebutkannya sebagaimana seharusnya (baca ciri seorang istri
shalihah dan terbaik menurut islam)
‫ِّين‬
ِ ‫ت الد‬ ْ َ‫ ف‬، ‫ َولِ َح َسبِهَا َو َج َمالِهَا َولِ ِدينِهَا‬o‫تُ ْن َك ُح ْال َمرْ َأةُ َألرْ بَ ٍع لِ َمالِهَا‬
ِ ‫اظفَرْ ِب َذا‬
َ‫ت يَدَاك‬ ْ َ‫ت َِرب‬
“Wanita dinikahi karena empat hal; hartanya, nasabnya,
kecantikannya dan agamanya, Maka pilihlah karena faktor agama
niscaya engkau beruntung” (HR. Al Bukhari)

Islam memiliki pandangan dan suatu krakteristik atau kriteria


tentang keharmonisan. Pilar keimanan atau pondasi dan ketaqwaan
kepada Allah SWT dan juga mendapatkan sifat sakinah, mawaddah,
dan warahmah di dalamnya, akan menciptakan keluarga yang
harmonis. Hal tersebut biasanya ada dalam doa yang diberikan pada
pasangan yang baru menikah dengan harapan mereka bisa membentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah tersebut.
d. Cara Membangun Keluarga Harmonis
Kewajiban dalam rumah tangga yakni menjalankan setiap
kewajiban umat muslim dan selalu berusaha dalam memenuhi segala
kriteria keluarga untuk memenuhi keluarga yang harmonis. Adapun
untuk membangun rumah tangga yang memiliki keharmonisan di
dalamnya memiliki bebrapa cara sebagai berikut:
1. Menjalankan Kewajiban sebagai Suami Istri

56
Kewajiban antar suami dan istri harus dapat dijalankan
untuk mewujudkan terciptanya keluarga harmonis. Suami
dijadikan sebagai pemimpin keluarga dan memenuhi segala hal
yang dibuthkan oleh keluarga termasuk istri. Sedangkan tugas istri
yakni menjaga dan melayani seorang suami, serta mengkondisikan
kebutuhan keluarganya. Jika kewajiban tersebut terlaksana,maka
akan tercipta keluarga yang harmonis dan memiliki ketentraman.
2. Mencurahkan Perhatian
Akibat dari sikap cuek yang ditunjukkan oleh suami
maupun istri tidak akan mampu menjaga sebuah rumah tangga
yang harmonis. Suaministri yang saling memberi, perhatian satu
sama lain, dan lembut dalam bersikap akan memiliki keharmonisan
dalam rumah tangga, dibandingkan dengan hubungan pasangan
yang tidak saling perhatian atau cuek dan tidak saling sapa atau
berkomunikasi. Membantu meringankan pekerjaan dan memberi
sedikit hadiah terhadap suami ialah bentuk sebuah perhatian bagi
suami. Sementara menyemangati dan melayani suami dapat
menyenangkan hati suami.
3. Bersabar Satu Sama Lain
Sebuah keluarga tidak jarang muncul sebuah konflik antara
suami dan istri. Saling percaya dan saling jujur merupakan dasar
untuk menghindari sebuah konflik anatara satu dan yang lain.
Bersabar juga merupakan dasar yang harus dimiliki oleh setiap
suami dan istri, jika salahsatu melupakan kewajiban atau membuat
suatu kesalahan maka salah satunya harus menerima dan bersabar,
seperti contoh jika seorang istri marah karena kelelahan, maka
seorang suami harus bersabar dan menasehati istrinya yang
berperilaku nusyuz.
4. Saling Menjaga Ibadah
Pernikahan memiliki tujuan yakni selain membentuk
sebuah keluarga juga untuk menjalankan perintah Allah SWT

57
untuk menghindari zinah. Ketaatan suami isti kepada Allah SWT,
menjalankan perintah-Nya, dan saling mengingatkan untuk
beribadah kepada Allah SWT merupakan suatu usaha membentuk
sebuah keluarga yang sakinah.
5. Bersyukur kepada Allah SWT
Salah satu pondasi untuk memiliki keluarga yang harmonis
dan rumah tangga yang baik adalah dengan bersyukur kepada
Allah. Suami harus beryukur memiliki istri yang telah dipilih, dan
begitu pula istri harus bersyukur memiliki suami yang telah dipilih,
meskipun saling memiliki kekurangan atau mungkin sama-sama
saling memberi, karena percayalah bahwa semuanya atas seizin
dan kehendak dari Allah SWT. Bersyukur dengan apa yangtelah
didapatkan maupun untuk diberikan kepada suami atau sebaliknya,
dapat mejadikan rumah tangga yang baik, karena pada persoalan
saat ini banyak sekali perbuatan kriminal karena hanya ingin
memenuhi kebutuhan dan keinginan seorang istri semata.
2. Hasil Analisis Data
Wawancara yang didapatkan peneliti memunculkan beberapa data
yang mendalam, serta dokumentasi, data yang diperoleh tersebut dianalisis
dan dijelaskan secara mendalam yang sesuai dengan focus penelitian yakni
gambaran keluarga harmonis pada ustadz yang mengabdi di pesantren,
serta factor yang mendukung terbentuknya keluarga yang harmonis. Untuk
lebih jelasnya perhatikan bahasan berikut :
Tabel 4.1
Aspek Keluarga Harmonis dan Gambaran Perilaku
Aspek Gambaran Perilaku
Keharmonisan Informan 1 Informan 2 Informan 3
Keluarga
Menciptakan - Berperilaku baik - Berperilaku baik - Berperilaku baik
kehidupan - Ikhlas - Sopan - Sopan
beragama dalam - Sopan - Santun - Santun

58
keluarga - Santun - Tidak pamrih - Ikhlas
- Tidak pamrih - Berkumpul - Tidak pamrih
bersama
- Membuat
kesepakatan dalam
keluarga
Mempunyai - Berkumpul - Berkumpul - Makan bersama
waktu bersama bersama bersama - Sholat berjama’ah
keluarga
Mempunyai - Membuat - Membuat - Membuat kesepakatan
komunikasi kesepakatan dalam kesepakatan dalam dalam keluarga
yang baik antar keluarga keluarga
anggota
keluarga
Saling - Tidak menyela saat - Tidak menyela - Tidak menyela saat
menghargai anggota keluarga saat anggota anggota keluarga lain
antar sesama lain berbicara keluarga lain berbicara
anggota - Tidak saling sedang - Tidak saling
keluarga menyalahkan berbicara menyalahkan
- Tidak saling
menyalahkan
Kualitas dan - Menanamkan nilai - Menanamkan - Menanamkan nilai
kuantitas konflik kejujuran nilai kejujuran kejujuran
yang minim - Komunikasi setiap - Menjaga - Menjaga komunikasi
anggota keluarga komunikasi antar anggota
terkait konflik antar anggota keluarga
yang terjadi keluarga
Adanya - Melakukan sholat - Melakukan - Melakukan sholat
hubungan dan berjamaah sholat berjamaah
ikatan yang erat - Membiasakan berjamaah - Membiasakan
antar anggota makan bersama - Membiasakan makan bersama

59
keluarga keluarga makan bersama keluarga
keluarga
Ngalap barokah Belajar di - Belajar di - Belajar di pondok
orang alim pesantren, pondok pesantren
mengabdi pesantren

Hasil analisis data diatas menunjukkan bahwa keluarga harmonis yang


digambarkan oleh subjek sangat mempengaruhi suatu kondisi
keluarga.keharmonisan merupakan suatu kondisi hubungan interpersonal
yang dijadikan landasan keluarga bahagisa (Surya:2001). Adanya tanggung
jawab untuk membina keluargadapat didasari dengan saling menerima,
menghormati, menghargai, mencintai, dan saling mempercayai satu sama lain
adalah pembuktian dari keluarga yang harmonis (Purba : 2012)
Keharmonisan keluarga juga dipengaruhi oleh komunikasi. Pentingnya
komunikasi antar anggota keluarga adalah untuk menyampaikan dan berbagi
pendapat, agar tetap harmonis secara komunikasi dan jika ada permasalahan
akan diselesaikan secara baik dan menemukan hasil atas permasalahan dari
komunikasi tersebut. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keluarga
harmonis (Dewi & Sudhana, 2012) sebagai berikut:
a. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal ialah suatu proses penerimaan dan pengiriman
pesan kelompok kecil atau antara dua orang saja, baik secra tidak langsung
atau secara langsung (Dewi & Sudhana, 2012). Komunikasi antar orang
secara langsung atau tatap muka merupakan komunikasi interpersonal,
kemungkinan untuk menangkap reaksi yang dimunculkan dapat dilihat baik
secara non verbal atau secara verbal (Mulyana, 2008). Sifat diadik yang
merupakan komunikasi dalam situasi lebih dalam, personal maupun lebih
intim adalah salah satu tipe komunikasi interpersonal dalam interaksi antar
suami dan istri.
Kelangsungan berumah tangga dapat dijaga melalui komunikasi
interpersonal yang dijalani oleh suami istri. Komunikasi interpersoanl dapat

60
berjalan baik secara efektif dapat dicapai ketika pasangan suami istrisaling
menciptakan dan menumbuhkan sikap positif kepada pasangannya.
Terwujudnya keluarga yang harmonis dalam pernikahan ditunjukkan dengan
salaing menerima, percaya, menghargai, mengerti, dan saling mencintai
ketika kebutuhan komunikasi interpersonal juga dimunculkan dengan tanda
melalui sikap empati, terbuka, postif, mendukung kesetaraan antar suami dan
istri untuk menjadi lebih baik (Dewi & Sudhana, 2012).
Keharmonisan keluarga juga memiliki aspek yang dimunculkan oleh
informan. Adapun aspek yang dimunculkan sebagai berikut :
a. Menciptakan Kehidupan Beragama dalam Keluarga
Salah satu kunci dari keluarga harmonis yakni dengan memunculkan
kegiatan beragama dikehidupan berumah tangga. Terdapat nilai-nilai
etika dan juga moral dalam kehidupan, sehingga hal ini dianggap
untuk menciptakan kepentingan dalam kehidupan keluarga yang
harmonis seperti halnya kehidupan di lingkungan pesantren yangmana
pendidikan agama sangat diutamakan, sehingga ketiga informan sangat
menjunjung tinggi kehidupan ditengah pesantren dan mengharapkan
keturunan-keturunannya bisa mengabdi di pesantren sebagaimana yang
telah dilakukan.
b. Mempunyai Waktu Bersama Keluarga
Keluarga harmonis senantiasa meluangkan waktu, meski hanya
sekedar untukberkumpul bersama, menemani anak-anak bermain,
makan bersama, dan mendengar keluhan atau masalah yang ada di
keluarga atau setiap peribadi masing-masing. Ditengah padatnya
kegiatan dipesantren, informan tidak melupakan tanggungjawabnya
serta perannya sebagai kepala keluarga, serta bukan alasan untuk tidak
menyediakan waktu bersama dengan keluarga. Ada komunikasi yang
baik antar anggota keluarga
c. Adanya komunikasi yang bai kantar anggota keluarga
Demi terciptanya keluarga yang harmonis, diperlukan komunikasi
yang baik kantar anggota keluarga. Seorang anak akan merasa aman

61
apabila orangtuanya tampak rukun. Kerukunan tersebut didapat ketika
komunikasi antar anggota keluarga terjaga dengan baik, dalam hal ini
d. Saling menghargai antar sesame anggota keluarga
Keluarga yang harmonis yaitu keluarga yang menyediakan tempat bagi
anggota keluarga lain serta menerima perubahan yang terjadi dan
mengajarkan keterampilan dalam berinteraksi sejak dini dalam
lingkungan yang lebih besar. Ketiga informan memberikan kebebasan
kepada anggota keluarga terutama kepada anak-anaknyauntuk
mengeksplor dunia luar pesantren, bermain bersama teman-teman
sebaya.
e. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim
Didalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran,
keluarga yang harmonis akan berusaha menyelesaikan masalah yang
ada dengan kepala dingin, serta mencari jalan penyelesaian terbaik.
Sehingga ketiga informan mengatakan yang terpenting dalam
hubungan keluarga adalah komunikasi, dimana Ketika komunikasi
terjalin dengan baik, maka kualitas serta kuantitas konflik dalam
keluarga tidak akan besar.
f. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga
Eratnya hubungan antar anggota keluarga menentukan keharmonisan
dalam sebuah keluarga. Dalam mewujudkan hubungan keluarga yang
harmonis dapat dicapai melalui komunikasi yang baik antar anggota
keluarga serta saling menghormati. Dalam hal ini, kehidupan ustadz
atau informan yang mengabdi di pesantren menunjukkan bahwa
hubungan antar sesame anggota keluarga sangat erat. Hal ini diketahui
ketika informan mengatakan setiap seminggu sekali bahkan setiap hari
menggunakan waktu sebaik mungkin untuk meluangkan waktu
bersama, mulai dari hal kecil sholat beramaah bersama, makan
bersama di tepi pantai sehingga kegiatan tersebut menjadikan ikatan
antar anggota lebih erat.
C. PEMBAHASAN

62
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 3 subjek dalam keharmonisan
keluarga dilakukan secara seimbang dan penuh dukungan dari keluarga.
Minuchin (1974) mengemukakan teori mengajukan skema konsep dalam
konteks sosial dan tiga komponen yang dimiliki yang memandang keluarga
sebagai sistem bekerja. Pertama keluarga dapat beradaptasi dengan perubahan
usaha dan situasi guna meningkatkan tumbuhnya psikososial setiap anggta
dan mempertahankan kontinuitas. Kedua sistem sosiokultual yang berupa
transformasi dan terbuka merupakan struktur keluarga. Ketiga perkembangan
keluarga dapat tercapai melalui bebrapa tahap yang memiliki syarat
penstrukturan(Lestari, 2012).
Serangkaian tuntutan fungsional ialah struktur keluarga, cara anggota
keluarga tidak mengorganisasikan dalam berinteraksi. Pola transaksi
merupakan sebuah keluarga yang berupa sistem operasi. Pola kapan,
bagaimana, dan dengan siapa berelasi dan pola-pola tersebut dapat
menyokong sistem merupakan pengulangan transaksi yang dibentuk. (Lestari,
2012).
Keluarga menghadapi bebrapa tekanan, yakni dari luar dan dalam,
tekanan dari dalam dapat terjadi karena perbedaan sikap yang berkembang
dari anggota keluarganya, sedangkan tekanan luar yakni tekanan
pengakomodasian sosial yang mengacau kepada anggota keluarga secara
sigifikan. Restrukturisasi memungkinkan dalam menghadapi tekanan yang
dijelaskan di atas dan dapat mempertahankan kontinuitasnya. Sehingga dalam
hal ini perubahan konstan pada setiap anggota keluarga ketika berelasi agar
tetap bertumbuh, dan seistem keluarga tetapharus mempertahankan
kontinuitasnya (Lestari, 2012).
Kombinasi dari relasi dan kualitas individu dua pihak muncul karena
keluarga dianggap sebgai sistem yang berkaitan dan berhubungan serta sistem
hierarki yang terdapat subsistem yang membuat kualitas keluarga (Lestari,
2012). relasi untuk yang pertama dimulai dari antar suami selanjutnya relasi
dari orangtua dan anak, yang terakhir yakni antar saudara. Pengaruh negatif
dan positif tergantung dengan pola hubungan yang telah terjadi yang mana

63
pada kenyataannya relasi dalam keluarga juga bersifat dinamis. (Lestari,
2012).
Usaha mewujudkan keluarga yang harmonis haru dilakukan secara
terusmenerus oleh suami dan istri karena itu merupakan tanggung jawab
keduanya. Keharmonisan yang positif sangat berpengaruh dalam pernikahan,
juga terhadap kesejahteraan, kesehatan psikologis, dan hal itu perlu
diupayakan oleh suami dan istri (Williams, 2003).
Pengelolan konflik yang tiba-tiba muncul dalam keluarga haru dapat
dikondisikan oleh suami istri agar meningkatkan dan menciptakan
keharmonisan, sehingga kemunculan konflik bukan menambah efek negatif
melainkan mampu mengeratkan ikatan hubungan suami istri.(Supraktiknya,
1995). Begitu pula dengan kehidupan keluarga
Beberapa halyang dapat memunculkan dan menimbulkan sebuah
permasalahan dalam kehidupan pernikahan antara lain yakni masalah
mengurus anak, keuangan, hubungan antar teman, perbedaan gaya hidup,
perbedaan kepribadian, keagamaan, mertua, dan juga perbedaan politik
(Benokraitis, 1996). Keharmonisan sebuah keluarga yakni ketika hubungan
atau relasi antar suami istri memiliki keeratan juga terhadap antar keluarga
satu sama lain. Lain halnya dengan ustadz yang mengabdi di pesantren,
dimana adanya kepercayaan adanya keberkahan yang didapatkan dari sebuah
pengabdian yang telah dilakukan. Finansial bukanlah salah satu tolak ukur
dari keluarga yang harmonis.

64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasa hasil penelitian dan juga pembahasan mengenai keharmonisan
keluarga, bahwa sikap yang harus dipertahankan dalam sebuah keluarga ialah
keharmonisan keluarga.Orang tua berperan penting dalam menciptakan
keharmonisan keluarga, karena hal tersebut berpengaruh untuk anak-anak mereka.
Pengabdian yang dilakukan subjek tidak mengurangi rasa harmonis dalam
keluarga mereka, mereka saling memahami dan pengertian kondisi satu sama lain.
Saling pengertian dan memahami kondisi juga menjadi hal penting, karena tidak
ada hal atau seseorang yang sempurna. Saling memahami kekurangan akan
membuat seseorang paham bahwa makhluk sosial seperti kita memang saling
membutuhkan diantara satu dengan yang lain.
Keharmonisan keluarga dapat terwujud jika muncul tanggung jawab
bersama antar suami dan isti, serta anggota keluarga yang lainnya. Dalam upaya
untuk mewujudkan keharmonisan sebuah keluarga, perlu ada kesetaraan atau
keseimbangan antar kewajiban dan hak di setiap anggota keluarga, kemampuan
dalam mengelola konflik yang terjadi ditengah keluarga, menanamkan nilai-nilai
agama dalam keluarga seperti halnya membrikan penghormatan bagi orang yang
lebih tua, berbicara tidak menggunakan suara yang lantang dan lain sebaginya.
Menjaga keharmonisan keluarga dapat diwujudkan dengan cara menjaga
komunikasi antar anggota keluarga dengan baik.. Begitupun orang yang mengabdi
di pesantren juga memerlukan sebuah komunikasi dan memunculkan topik
pembicaraan antar anggota keluarga, sehungga dapat meminimalisir konflik, serta
memiliki hubungan yang baik antar anggota keluarga dan mempererat ikatan antar
anggota keluarga.
B. Saran
1. Bagi subjek

65
Diharapkan agar berusaha selalu dan konsisten menciptakan
keharmonisan keluarga agar tetap saling terjaganya hubungan erat dalam
keluarga.
2. Bagi keluarga
Bagi keluarga subjek agar terus dan tetap mendukung subjek dalam
segala pengabdiannya, dan membantu subjek menciptakan keharmonisan
dalam keluarga.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti yang selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan lebih
luas lagi seputar keharmonisan keluarga secara lebih dalam lagi dan dengan
penggunaan metode, subjek atau variable lainnya. Sehingga banyak variasi
dalam penelitian selanjutnya.

66

Anda mungkin juga menyukai