Anda di halaman 1dari 10

PRINSIP PENGGUNAAN ANTIMIKROBA PADA PENYAKIT KRITIS

Rovina Ruslami, dr., SpPD, PhD

Dept. Farmakologi & Terapi, FK Unpad/RS Hasan Sadikin, Bandung

Jl. Prof. Eijkman no. 38, Bandung 40161

n.ruslami@gmail.com

Learning objective:

1. Menjelaskan konsep farmakokinetik/farmakodinamik antimikroba

a. Parameter farmakokinetik (Cmax, Tmax, AUC0-24, T½, Vd, Cl, MIC, MPC)

b. Parameter farmakodinamik: Time-dependent antimikroba (T>MIC) dan

concentration-dependendent antimikroba, post antibiotic effect (POA)

2. Menjelaskan konsep farmakokinetik/farmakodinamik antimikroba pada penyakit kritis

3. Membahas dosis pemberian antimikroba pada populasi khusus:

a. Gangguan fungsi ginjal/renal replacement therapy

b. Obesitas

4. Membahas tujuan, indikasi serta pelaksanaan de-eskalasi terapi

1
PENDAHULUAN

Pengobatan infeksi dengan sepsis pada penyakit kritis masih merupakan tantangan bagi

para klinisi karena masih tingginya morbiditas dan mortalitas. Pada penanganan penyakit

kritis pemberian antimikroba (AM) secara dini dan tepat merupakan salah satu pilar

penting disamping penanganan sumber infeksi1. Oleh karena itu optimalisasi penggunaan

AM merupakan prioritas dalam pengelolaan penyakit kritis. Optimalisasi penggunaan AM

sangat penting untuk memaksimalkan luaran terapi, tanpa harus meningkatkan resiko

mengalami toksisitas dan meminimalkan resiko resistensi AM. Pemahaman akan konsep

farmakokinetik (pharmacokinetic=PK) dan farmakodinamik (pharmacodynamic=PD) atau

yang dikenal dengan konsep PK/PD suatu AM dapat membantu kita dalam menggunakan

AM secara tepat.

KONSEP PK/PD ANTIMIKROBA

Antimikroba (AM) merupakan obat dengan karakteristik yang khas, targetnya adalah

mikroorganisme, dan daya bunuhnya tergantung kepada karakter PK/PD nya. Berbicara

mengenai PK suatu AM adalah membicarakan mengenai absorbsi suatu AM (termasuk

cara pemberian), bagaimana AM itu terdistribusi dalam tubuh, dimetabolisme dan

dieliminasi dari tubuh. Di dalam PK dikenal istilah-istilah seperti Cmax (maximum

concentration: konsentrasi puncak), AUC0-24 (Area Under the Curve: menggambarkan

seberapa besar tubuh pasien terpapar AM yang diberikan pada rentang waktu 24 jam),

Tmax (waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi puncak), Vd (volume of

distribution: menggambarkan seberapa luas suatu AM tersebar dalam tubuh), T½ (half life

= waktu paruh: waktu yang diperlukan untuk membuat konsentrasi suatu obat menjadi

setengahnya); yang berhubungan dengan Cl (Clearance: menggambarkan besarnya

bersihan tubuh dari suatu AM). Secara skematik dapat dilihat pada gambar 1.

2
Gambar 1. Parameter Farmakokinetik dan kurva AUC

Sehubungan dengan daya bunuh AM terhadap mikroorganisme, dikenal istilah MIC

(Minimal Inhibitory Concentration: menggambarkan berapa konsentrasi minimal yang

dibutuhkan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisma secara in vitro) dan istilah MPC

(Mutant Prevention Concentration: berapa konsentrasi yang dibutuhkan untuk mencegah

terjadinya muatsi suatu mikroorganisme). MPC lebih besar dari MIC dengan konsekuensi

logis dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai suatu MPC (gambar 1).

Berbicara mengenai PD atau daya bunuh AM terhadap mikroorganisme yang merupakan

targetnya, suatu AM bisa bersifat concentration-dependent dimana daya bunuhnya

berhubungan dengan seberapa tinggi konsentrasinya di dalam tubuh; makin tinggi

konsentrasi AM, makin besar daya bunuhnya. Contoh AM yang bersifat concentration-

dependent adalah aminoglikosida2.

AM lain bisa bersifat time-dependent dimana daya bunuhnya lambat dan terus menerus2,3,

karena mekanisme kerjanya adalah menghambat pertumbuhan mikroorganisme baru.

Efeknya berhubungan dengan seberapa lama AM berada di dalam tubuh dengan kadar

tertentu yang efektif menekan pertumbuhan mikroorganisme; makin lama suatu AM

berada di atas kadar efektif maka makin baik daya penekanan pertumbuhan

mikroorganisme. Contoh AM yang bersifat time-dependent adalah golongan B-lactam.

3
Untuk AM golongan ini, tidak diperlukan konsentrasi AM yang tinggi; daya bunuh akan

maksimal pada konsentrasi AM sekitar 4-5x MIC4. Jika konsentrasi AM berada dibawah

MIC, mikroorganisme akan langsung mengalami pertumbuhan, sebaliknya konsentrasi

jauh di atas MIC tidak akan memberikan nilai tambah dari segi efikasi4.

Disamping itu, AM juga mempunyai sifat yang disebut dengan PAE (Post Antibiotic

Effect), dimana AM masih mempunyai kemapuan menekan pertumbuhan mikroorganisme

sekalipun kadarnya di dalam darah sudah tidak ada. Sifat PAE ini umumnya dimiliki oleh

AM yang bersifat concentration-dependent, sedangkan AM yang bersifat time-dependent

tidak memiliki PAE. PAE berhubungan dengan tingginya Cmax dan lamanya waktu tubuh

bebas dari AM2,4.

Keberhasilan terapi (efikasi) berhubungan dengan besarnya potensi suatu AM dalam

membunuh mikroorganisme. Parameter yang paling tepat dalam menggambarkan besarnya

potensi suatu AM adalah: Cmax/MIC atau AUC/MIC untuk concentration-dependent AM,

(%) T>MIC untuk time-dependent AM (berapa lama dalam 24 jam suatu AM

konsentrasinya bearada diatas MIC)5. Tabel 1 memperlihatkan profil farmakodinamik yang

berhubungan dengan efikasi siatu AM

Tabel 1. Hubungan profil farmakodinamik dengan efikasi beberapa AM5

4
Perubahan PK/PD Antimikroba pada penyakit kritis

Pada kondisi sepsis terjadi perubahan fisiologis tubuh yang menyebabkan berubahnya

parameter farmakokinetik, yang selanjutnya akan mempengaruhi juga farmakodinamik dan

efikasi suatu AM5.

Gambar 2. Efek sepsis terhadap kadar AM dalam darah5

Gambar 2 memperlihatkan efek sepsis terhadap konsentrasi AM dalam darah secara

skematis. Pada fase awal terjadi peningkatan hemodinamik sebagai respons tubuh terhadap

infeksi; akibatnya Vd meningkat, Cl juga meningkat. Kondisi ini menyebabkan lebih

rendahnya konsentrasi AM di dalam darah pada pemberian AM dengan dosis tetap.

Sebaliknya pada fase lanjut dimana sudah terjadi disfungsi organ metabolisme dan ekskresi

(hati dan ginjal) maka Cl akan menurun dan T½ akan memanjang. Kondisi ini

menyebabkan lebih tingginya konsentrasi AM dalam darah pada pemberian AM dengan

dosis yang tetap/sama dibanding pasien yang tidak dalam kondisi kritis.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka pemberian suatu AM perlu dimodifikasi pada

penyakit kritis supaya luaran terapi adalah kesembuhan bagi pasien, bukan kegagalan

terapi akibat kadar yang suboptimal, atau malah toksisitas5. Pada sepsis tahap awal perlu

dipertimbangkan peningkatan dosis AM supaya konsentrasinya tidak menjadi suboptimal;

5
sedangkan pada sepsis tahap lanjut perlu dipertimbangkan penyesuaian cara pemberian

AM supaya konsentrasi AM tetap optimal namun tidak menimbulkan toksisitas.

PENYESUAIAN DOSIS AM PADA PASIEN DENGAN KONDISI KRITIS

Penyesuaian dosis suatu AM adalah berdasarkan karakteristik PK/PD nya. Prinsip utama

adalah tetap memberikan dosis inisial (dosis penuh) berupa bolus untuk mencapai

konsentrasi puncak yang diharapkan dengan segera, dan dilanjutkan dengan pemberian

dosis pemeliharaan yang dihitung berdasarkan kebutuhan harian pasien dengan

mempertimbangkan fungsi ginjal (klirens kreatinin). Pada AM golongan B-lactam yang

relatif lebih aman, penyesuaian dosis baru dilakukan jika klirens kreatinin menurun cukup

signifikan (biasanya jika sudah <50%).

Untuk AM golongan concentration-dependent (seperti aminoglikosida), diperlukan

konsentrasi AM yang cukup agar efikasinya terjaga. Walaupun diketahui aminoglikosida

bersifat nefrotoksik, diekskresi melalui ginjal, dan pasien dengan kondisi kritis sering

mengalami gangguan fungsi ginjal, namun penyesuaian dosis yang paling tepat adalah:

“dengan tetap memberikan dosis penuh setiap kali pemberian dengan memperpanjang

interval pemberian”6. Setelah dosis awal diberikan secara bolus, diikuti dengan pemberian

dosis pemeliharaan (setelah dihitung kebutuhan harin) dengan dosis penuh juga, namun

dengan interval yang diperpanjang. Walau interval pemberian diperpanjang, dengan

adanya PAE maka penekanan pertumbuhan AM tetap terjadi2,4. Pemberian dengan interval

yang sama namun dengan dosis yang lebih kecil akan menghasilkan konsentrasi yang lebih

rendah sehingga daya bunuh terhadap mikroorganisme juga akan lebih rendah (efikasi

lebih rendah) sehingga luaran terapi lebih buruk.

Sedangkan untuk AM yang bersifat time-dependent (seperti B-lactam) meyakinkan kondisi

kadar obat selama mungkin di atas MIC adalah lebih utama. Hal ini dapat dicapai dengan

“pemberian kebutuhan harian (dosis pemeliharaan) secara continuous infusion setelah

6
pemberian bolus”7-9. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah pemilihan cairan pelarut,

dan kestabilan obat pada suhu kamar; kondisi ini tidak sama untuk setiap AM. Untuk AM

yang tidak stabil pada suhu kamar dalam waktu yang lama, tidak dianjurkan pemberian

secara continuous infusion (misalnya amoxicillin, imipenem)3. Meropenem hanya stabil

pada suhu kamar sekitar 8 jam, maka pemberian untuk AM ini dilakukan secara bolus

intermittent3 atau extended infusion (pemberian selama 3 jam – setiap 8 jam). Pemberian

meropenem secara extended infusion lebih baik dibanding pemberian secara bolus

intermittent10

PEMBERIAN ANTIMIKROBA PADA POPULASI KHUSUS

Pada populasi khusus dimana terdapat perubahan farmakokinetik suatu AM, maka

pemberian suatu AM dengan dosis yang sama akan menghasilkan konsentrasi AM yang

mungkin lebih rendah atau lebih tinggi dari yang diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan

penyesuaian dosis pemeliharaan, dan atau waktu pemberian AM.

1. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal/renal replacement therapy

Untuk AM yang ekskresi utamanya melalui ginjal, dosis pemeliharaan dihitung sesuai

dengan kondisi ginjal (tergambar dari GFR atau klirens kreatinin); sedangkan untuk

AM yang ekskresi terutama melalui sistem bilier, tidak memerlukan penyesuaian dosis

pemeliharaan11. Klirens kreatinin dihitung dengan memakai rumus Cocroft-Gault12:

Klirens kreatinin = (140-usia) x berat badan (x 0,85 jika pasien wanita)


72 x kreatinin serum

Dosis pemeliharaan12 = dosis normal x klirens kreatinin pasien


klirens kreatinin normal

Cara pemberian dosis pemeliharaan adalah mengikuti karakteristik AM (concentration-

dependent atau time-dependent) seperti telah diuraikan di atas. Jika pasien mengalami

dialisis (renal replacement therapy), perlu diperhatikan waktu pemberian; untuk AM

7
yang terdialisis (dialyzable) maka pemberian hendaknya sesudah pasien mengalami

dialisis, atau perlu diberikan dosis tambahan setelah pasien mengalami dialisis.

2. Pasien dengan Obesitas

Pasien dengan obesitas mempunyai jaringan lemak yang lebih banyak, sehingga obat-

obat yang bersifat lipofilik (seperti golongan benzodiazepin) akan mengalami

peningkatan Vd yang akhirnya akan menurunkan efikasi. Selain itu pada pasien dengan

obesitas jumlah cairan interstisial juga meningkat yang menyebabkan Vd obat yang

bersifat hidrofilik (seperti aminoglikosida) juga akan meningkat. Pada obesitas klirens

ginjal juga meningkat. Sehingga pasien dengan obesitas memerlukan penyesuaian

dosis yaitu penambahan dosis13.

Pada prinsipnya penghitungan dosis inisial dan dosis pemeliharaan pada pasien dengan

obesitas adalah sama dengan pasien lainnya. Hanya pada pasien dengan obesitas,

perhitungan klirens kreatinin tidak bisa menggunakan rumus Cocroft-Gault. Untuk

pasien dengan obesitas (Berat Badan pasien > 130% Berat Badan Ideal) maka klirens

kreatinin dihitung dengan rumus Salazar-Corcoran113, yaitu:

Keterangan:
Wt: berat badan (kg)
Ht: tinggi badan = TB (m)
Scr: kreatinin serum

Sedangkan penghitungan berat badan ideal (BBI) adalah:


 BBI (laki-laki) = 50 + 90,55 x [(TB (dalam meter) -1,524)]
 BBI (wanita) = 45 + 90,55 x [(TB (dalam meter) -1,524)]

Terapi Deeskalasi

Prinsip terapi deeskalasi HANYA diindikasikan untuk infeksi berat yang belum diketahui

kuman penyebabnya. Per definisi terapi deeskalasi adalah pemberian AM yang lebih

powerful pada tahap awal terapi untuk periode waktu yang singkat dan kemudian segera

8
mengganti dengan AM yang kurang powerful jika penyebab infeksi sudah diketahui dan

kondisi infeksi terkontrol (Prinsip “hit hard, hit fast” dan “magic bullet theory”). Disini

pemberian AM adalah secara empirik, berdasarkan peta kuman lokal. Dengan deeskalasi

diharapkan luaran terapi dapat diperbaiki, resistensi AM dapat ditekan dan juga

memperbaiki cost-effectiveness.

Tahapannya adalah14:

1. Pemberian AM inisal yang adekuat dengan cara penggunaan AM dengan spektrum luas

2. Lalu segera menyesuaikan dengan hasil mikrobiologi (kultur & test sensitifitas kuman)

Untuk dapat dilaksanakannya terapi deeskalasi ini diperlukan penguatan infrastruktur

berupa sarana lab mikrobiologi yang memadai, meningkatkan kesadaran seluruh tenaga

kesehatan terlibat tentang pentingnya pengambilan spesimen yang tepat dengan cara yang

tepat, dan juga kepatuhan dokter dalam mengikuti panduan (SOP) yang sudah dibuat

tentang penggunaan AM.

RINGKASAN

Pada penyakit kritis terapi empiris hampir selalu menggunakan lebih dari 1 macam AM

dengan sifat PK/PD yang berbeda (concentration- & time-dependent), dan pada saat

inisiasi pemberian AM belum ada hasil pemeriksaan mikrobiologi. Pada pasien dengan

penyakit kritis terjadi perubahan fisiologis tubuh yang menyebabkan terjadinya perubahan

PK/PD suatu AM. Pemahaman konsep PK/PD akan membantu pencapaian luaran terapi

yang baik tanpa pasien harus mengalami toksisitas dan juga dapat mencegah resistensi AM.

Aplikasi konsep PK/PD pada penyakit kritis adalah dengan memberikan AM golongan

concentration-dependent dengan dosis penuh dan memperpanjang interval pemberian,

sedangkan untuk golongan time-dependent pemberian secara continuous infusion (atau

extended infusion) lebih baik daripada intermittent bolus.

9
KEPUSTAKAAN

1. Garnacho-Montero J, Garcia-Garmendia JL, Barrero-Almodovar A, et al. Impact of


adequate empirical antibiotic therapy on the outcome of patients admitted to the
intensive care unit with sepsis. Crit Care Med 2003; 31:2742–2751
2. Craig WA. Pharmacokinetic/pharmacodynamics parameters: Rationale for antibacterial
dosing of mice and men. Clin Infect Dis1998; 26:1–10
3. Mouton JW and Vinks AA. Continuous infusion of beta-lactams. Curr opin in Crit
Care Med, 2007; 13: 598-606
4. Craig WA, Ebert SC. Killing and regrowth of bacteria in vitro: a review. Scand J Infect
Dis Suppl 1991;74:63–70.
5. Roberts JA, Lipman J. Pharmacokinetic issues for antibiotocs in the critically ill patient.
Crit Care Med, 2009; 37:840-56
6. Ali MZ, Goetz MB: A meta-analysis of the relative efficacy and toxicity of single daily
dosing versus multiple daily dosing of aminoglycosides. Clin Infect Dis 1997; 24:796–
809
7. Craig WA and Ebert SC. Continuous infusion of B-lactam antibiotics. Antimicrob
Agent Chemother, 1992; 36: 2577-83
8. McKinnon PS, Paladino JA, Schentag JJ. Evaluation of area under the inhibitory curve
(AUIC) and time above the minimum inhibitory concentration (T _ MIC) as predictors
of outcome for cefepime and ceftazidime in serious bacterial infections. Int J
Antimicrob Agents 2008; 31:345–351
9. Sofia K. Kasiakou AK, Lawrence KR, Choulis N, Falagas ME. Continuous versus
Intermittent Intravenous Administration of Antibacterials with Time-Dependent Action.
A Systematic Review of Pharmacokinetic and Pharmacodynamic Parameters. Drugs
2005; 65 (17): 2499-2511
10. Lomaestro BM and Drusano GL. Pharmacodynamic Evaluation of Extending the
Administration Time of Meropenem using a Monte Carlo Simulation. Antimicrob
Agent Chemother, 2005; 49:461-3
11. Livornese LL, Slavin D, Gilbert B, et al: Use of antibacterial agents in renal failure.
Infect Dis Clin North Am 2004; 18:551–579
12. Dipiro JT, Spruill WJ, Wade WE, Blouin RA, Pruemer JM. Concepts in clinical
pharmacokinetics. 4th ed, 2005, American Society of Helath-System Pharmacist, Inc.
13. Salazar DE, Corcoran GB: Predicting creatinine clearance and renal drug clearance in
obese patients from estimated fat-free body mass. Am J Med 84: 1053–1060, 1988
14. Kollef M. Why appropriate antimicrobial selection is important: Focus on outcomes.
In: Owens RC Jr, Ambrose PG, Nightingale CH., eds. Antimicrobial Optimization:
Concepts and Strategies in Clinical Practice. New York: Marcel Dekker Publishers,
2005:41-64.

10

Anda mungkin juga menyukai