Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

ASAL USUL NENEK MOYANG BANGSA INDONESIA


DAN JALUR REMPAH

A. Asal Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia


Kalau kita menengok ke belakang untuk mencoba merunut asal mula nenek moyang
bangsa Indonesia, kita akan mendapatkan berbagai gambaran yang cukup beragam. Sebagian
besar teori tentang Kebudayaan Prasejarah Indonesia yang datang dari Barat menjelaskan
bahwa nenek moyang bangsa Indonesia datang dari Asia Tenggara (Indochina/Yunnan).
Diduga mereka datang dalam dua gelombang migrasi besar yang diperkirakan terjadi sekitar
tahun 5000 SM dan tahun 2000 SM. Mereka menyeberang ke kepulauan di Samudera India,
kemudian menyebar dari Madagaskar hingga ke Filipina dan Melanesia, yang akhirnya hidup
menyatu dengan penduduk asli setempat. Inilah yang disebut sebagai nenek moyang bangsa
Indonesia.
Salah satu pendukung teori nenek moyang bangsa Indonesia di atas adalah von Heine
Geldern. Menurut beliau, nenek moyang bangsa Indonesia yang menurunkan generasi paling
banyak sekarang ini berasal dari benua Asia (Yunnan, Cina Selatan). Pendapat Geldern
didukung bukti berupa kesamaan peninggalan benda-benda antara daerah Yunnan dan
Indonesia. Benda-benda yang sama itu, antara lain kapak lonjong dan kapak persegi. Nenek
moyang yang berasal dari Yunnan migrasi ke kepulauan Nusantara karena terdesak oleh
bangsa lain yang lebih kuat. Selain itu, mereka hidup di alam yang tidak banyak memberikan
kesejahteraan hidup. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, nenek moyang bangsa
Indonesia tersebut datang dengan dua gelombang. Gelombang pertama disebut Melayu Tua
(Proto Melayu) dan berikutnya disebut dengan Melayu Muda (Deutero Melayu).

Peta Persebaran Nenek Moyang Indonesia

1
1. Nenek Moyang Indonesia Golongan Proto Melayu
Nenek moyang bangsa Indonesia dari golongan Melayu Tua (Proto Melayu) tiba
sekitar tahun 2.000 SM. Kedatangan nenek moyang tersebut sambil membawa
kebudayaan neolitikum (batu baru). Mereka tersebar menjadi dua cabang. Cabang pertama
dari proto melayu adalah bangsa yang membawa peralatan kapak lonjong. Mereka disebut
sebagai ras Papua-Melanesoid. Arah persebarannya dari Yunnan melewati Filipina,
kemudian tersebar ke Sulawesi Utara, Maluku, dan ada juga yang sampai ke Papua.
Cabang yang kedua dari nenek moyang dari golongan Proto Melayu disebut Ras
Austronesia. Kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia ini bermula dari Yunnan
melewati Malaya, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan pula-pulai lainnya. Datangnya
nenek moyang tersebut sambil membawa kebudayaan kapak persegi. Setibanya di
kepulauan Indonesia, sebagian dari mereka berasimilasi dengan ras Austro-Melanesoid.
Sebagian lagi tetap mempertahankan ras aslinya.
2. Nenek Moyang Indonesia Golongan Deutro Melayu
Nenek moyang bangsa Indonesia dari golongan Melayu Muda (Deutro
Melayu) tiba di kepulauan Indonesia sekitar tahun 500 SM. Nenek moyang tersebut
datang sambil membawa kebudayaan logam yang berasal dari Dongson, Vietnam Utara.
Kebudayaan logam tersebut antara lain; candrasa, nekara, manik-manik, arca, dan bejana
perunggu. Jalur penyebaran nenek moyang bangsa Indonesia dari golongan ini dimulai
dari daratan Asia ke Thailand, Malaysia Barat, dan berlanjut ke tempat-tempat di
Indonesia. Gelombang terakhir nenek moyang ini masih tergolong ras Austronesia.
Selanjutnya, semakin berkembang ras Papua-Melanesoid, Austronesia, dan sisa ras
Austro-Melanesoid melahirkan bermacam-macam suku bangsa yang tersebut di seluruh
pelosok Indonesia.
Tabel 1. Ciri-ciri ras Proto Melayu dan Deutro Melayu
Proto Melayu Deutro Melayu
1. Mereka bersal dari Cina bagian 1. Mereka berasal dari bangsa Indocina
selatan (Yunan) dan masuk ke Utara yang masuk ke Indonesia
Indonesia sekitar tahun 1.500-500 sekitar tahun 500 SM;
SM; 2. Bangsa ini telah mampu membuat
2. Memiliki kebudayaan batu muda benda-benda berbahan dasar logam,
(Neolitikum); seperti perunggu dan besi;
3. Orang-orang bangsa Proto Melayu 3. Hasil-hasil kebudayaan yang
memiliki rambut lurus, kulit kuning dihasilkan berupa kapak corong,
yang berwarna kecoklatan, dan nekara, bejana perunggu; dan
bermata sipit; dan 4. Suku Melayu, Makassar, Jawa,
4. Mendiami daerah-daerah Indonesia Sunda, Bugis, Minang adalah
bagian Timur, seperti Dayak, Toraja, keturunan asli bangsa ini.
Mentawai, Nias, dan Papua.

2
3. Asal Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia Menurut Ahli
Beberapa ahli sejarah mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai asal-usul
nenek moyang bangsa Indonesia. Beberapa pendapat tersebut antara lain sebagai
berikut:
a. Menurut Drs. Moh. Ali
Drs. Moh. Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunnan. Nenek
moyang bangsa Indonesia berasal dari hulu-hulu sungai besar di Asia yang datang ke
Indonesia secara bergelombang. Gelombang pertama dari tahun 3000-1500 SM dengan
ciri-ciri kebudayaan Neolitikum dengan perahu bercadik satu. Gelombang yang kedua
terjadi dari tahun 1500-500 SM dengan ciri-ciri menggunakan perahu bercadik dua.

Perahu Bercadik yang dipakai Nenek Moyang

b. Menurut Moens
Moens berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Mongol dan terdesak
oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat. Akibatnya mereka menyebar ke arah selatan
hingga sampai ke wilayah Indonesia.
c. Menurut Prof. H. Kroom
Prof. H. Kroom menyatakan bahwa asal-usul bangsa Indonesia dari daerah Cina
Tengah karena pada daerah Cina Tengah terdapat sumber-sumber sungai besar. Mereka
menyebar ke wilayah Indonesia sekitar tahun 2000 SM sampai tahun 1500 SM.
d. Menurut Moh. Yamin
Prof. Moh. Yamin menentang semua pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Ia
berpendapat bahwa asal bangsa Indonesia adalah dari Indonesia sendiri. Bahkan
bangsa-bangsa lain yang ada di wilayah Asia berasal dari Indonesia. Pendapat Moh.
Yamin didukung oleh suatu pernyataannya tentang Blood Und Breden Unchiro yang
berarti adalah daerah dan tanah bangsa Indonesia adalah berasal dari Indonesia sendiri.
Ia menyatakan bahwa fosil dan artefak lebih banyak dan lengkap ditemukan di wilayah
Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Asia. Misalnya dengan
penemuan manusia purba sejenis Homo soloensis dan Homo wajakensis.
3
B. Corak Kehidupan dan hasil-Hasil Budaya Manusia Pada Masa Praaksara
1. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana: Budaya
Paleolitik
a. Gambaran Umum
Zaman ini disebut zaman batu tua atau paleolitikum (dari bahasa Yunani Palaios yang
berarti purba dan Lithos yang berarti batu) karena alat penujang utama untuk berburu
dan mengumpulkan makanan sebagian besar terbuat dari batu yang masih kasar atau
belum diasah/dihaluskan. Masa ini diperkirakan terjadi antara munculnya manusia
purba pertama sampai sekitar 12.000 tahun yang lalu (kala Pleistosen).
Di Indonesia pada masa ini, hidup manusia purba jenis Meganthropus, Pitecanthropus,
dan Homo. Fosil Meghantropus Paleojavanicus ditemukan oleh G.H.R Von
Koningswald antara tahun 1936-1941 di Sangiran, Jawa Tengah. Manusia purba
kedua yang berhasil ditemukan adalah Pithecantropus Ererctus (Manusia kera yang
mampu berdiri tegak dan lurus). Manusia purba ini pertama kali ditemukan oleh
Eugene Dubois pada 1891-1892 di Trinil, jawa Timur.
Temuan Hasil Manusia modern awal yang paling tua di Indonesia adalah Homo
Wajakensis (Manusia Wajak), kemudian Homo Soloensis dan Homo Floresiensis.
b. Corak Kehidupan Sosial Ekonomi
Makanan manusia purba pada masa ini bergantung sepenuhnya pada alam dengan
berburu dan mengumpulkan makanan. Berburu hewan menjadi aktivitas pokok untuk
bertahan hidup, hewan-hewan yang diburu antara lain rusa, kuda, babi hutan, kijang,
kerbau, kera, gajah, dan kuda nil.
Oleh karena berburu menjadi sarana utama untuk bertahan hidup, kehidupan purba
Indonesia pada masa ini, sejak Pitecanthropus sampai Homo Sapiens, bersifat
nomaden atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain mengikuti gerak
hewan buruan serta sumber air.
Manusia purba pada masa ini hidup dalam kelompok-kelompok kecil, interaksi
antaranggota kelompok saat berburu menimbulkan sistem komunikasi dalam bentuk
bunyi mulut, yakni dalam bentuk kata-kata atau gerak badan )bahasa isyarat_ yang
sederhana.
c. Hasil-Hasil Budaya
Pada zaman ini, di Indoensia di kenal dua kebuayaan yaitu kebudayaan Pacitan dan
kebudayaan Ngandong.
Kebudayaan Pacitan. Pertama kali dikenalkan tahun 1935 oleh sarjana Belanda, von
Koenigswald mengadakan penggalian di Kali Baksoko, Punung, Pacitan-Jawa Timur.
Di lokasi tersebut, von Koenigswald menemukan perkakas dalam beberapa lapisan
endapan sungai, 30 meter di atas dasar sungai yang sekarang. m. Dalam
penggaliannya tersebut, ditemukan alat-alat batu berupa :

4
1) Kapak genggam (kapak tak bertangkai yang digunakan dengan cara digenggam);
2) Kapak perimbas (bentuk dan cara penggunaannya hampir sama dengan kapak
genggam, namun ukurannya jauh lebih besar dari kapak genggam);
3) Kapak penetak (bentuk dan cara peggunaannya jampir sama dengan dengan kapak
genggam maupun kapak perimbas, namun ukurannya jauh lebih besar dari kedua
alat sebelumnya, karena berfungsi untuk membelah kayu, pohon, bamabu, atau
disesuaikan dengan kebutuhan pada saat itu);
4) Pahat genggam (memiliki bentuk lebih kecil dari ketiga alat sebelumnya). Menurut
ahli, pahat genggam ini berfungsi untuk emnggemburkan tanah, mencari
umbiumbian, dan lain-lain.
5) Flakes (alat serpih), ukurannya jauh lebih kecil dari alat-alat di atas (Herimanto,
2012:45).

Kebudayaan Ngandong. Selain di Pacitan, peralatan zaman batu tua juga banyak
ditemukan didaerah Ngandong dan Sidorejo dekat Ngawi (Madiun) Jawa Timur.
Sama halnya dengan kebudayaan Pacitan, alat-alat yang ditemukan di Ngadong juga
berupa kapak-kapak genggam dari batu dan alat-alat serpih (flakes). Akan tetapi ada
satu hal yang membedakan dengan kebudayaan Pacitan adalah ditemukannya alat-alat
dari tulang dan tanduk pada kebudayaan Ngandong. Alat-alat dari tulang tersebut
berupa alat penusuk (belati), ujung tombak dengan gergaji pada kedua sisinya, alat
pengorek ubi dan keladi, serta alat dari duri ikan pari yang yang digunakan sebagai
mata tombak. Pada kebudayaan Ngandong juga ditemukan alat-alat dari tanduk yang
memanjang dan diruncingkan.

5
2. Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Lanjut : Budaya Mesolitik
a. Gambaran Umum
Penyebutan zaman batu tengah/madya atau Mesolithikum (dari bahasa Yunani Mesos
yang berarti tengah dan Lithos yang berarti batu). Zaman mesolitikum berlangsung
pada kala Halosen, dan ditandai dengan adanya usaha untuk lebih menghaluskan alat-
alat yang digunakan dalam bentuk perkakas dengan cara menggosok-gosokkan
permukaan alat tersebut. Pendukung kebudayaan ini adalah manusia cerdas (Homo
sapiens).
b. Corak Kehidupan Sosial-Ekonomi
Kehidupan pada zaman ini masih berburu, namun mereka sudah mempunyai tempat
tinggal agak menetap dan bercocok tanam secara sederhana. Salah satu corak khas
dari zaman Mesolitikum adalah adanya sampah-samaph dapur (Kjokkenmoddinger)
berisi kulit siput dan kerrang yang merupakan bekas tempat tinggal manusia pada
aman itu. Sampah dapur (Kjokkenmoddinger) banyak ditemukan di sepanjang pesisir
atau pinggir pantai, khususnya di wilayah pantai timur Sumatera. Tumpukan ini akibat
setiap generasi bertempat tinggal sama sehingga membuang sampah pada tempat yang
sama pula. Hal ini juga membuktikan bahwa mereka tinggal menetap.
Mereka juga sudah mengenal pembagian kerja : laki-laki berburu sedangkan
perempuan mengumpulkan makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan
kecil, memasak, memelihara api, dan membimbing anak.
Adapun ciri khas yang lain adalah adanya kehidupan di gua-gua (Abris Sous Roche),
terutama yang hidup di daerah pedalaman seperti di Jawa, Sulawesi dan Nusa
Tenggara Timur.
Selain itu, kehidupan bercocok tanam sederhana mulai muncul. Kegiatan bercocok
tanam dilakukan berpindah-pindah menurut keadaan kesuburan tanah. Hutan atau
padang rumbut yang akan dijadikan lahan pertanian dirambah dahulu engan sistem
tebang dan kemudian dibakar. Di lahan tersebut, mereka menanam mbiumbian
seperti keladi. Mereka juga sudah menanam satu jenis padi liar yang didapatkan di
hutan. Setelah masa panen selesai, lahan pertanian tersebut mereka tinggalkan dan
berpindah ketempat yang baru dan hidup seperti di tempat sebelumnya.
c. Hasil-Hasil Budaya
Kebudayaan Mesolitikum meliputi tiga macam kebudayaan yang masing-masing
memiiki coraknya sendiri-sendiri. Kebudayaan tersebut sebagai berikut :

Kebudayaan Kapak Genggam Sumatera (Pabble Culture). Tahun 1925, PV van


Callenfels mengadakan penelitian di sepanjang pesisir patai Sumatera Timur Laut,
tapatnya diantara Langsa (Aceh) dan Medan.

6
Kebudayaan Tulang Sampung (Sampung Bone Culture). Tahuan 1928-1931, van
Stein Callenfels pernah mengadakan penelitian di gua Lawa, dekat Sampung,
Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Kebudayaan Toala (Flake Culture). Tahun 1893 sapai 1896, Fritz Sarasin dan Paul
Sarasin, seorang berkebangssan Swiss, melakukan penelitian di gua-gua di daerah
Lumacong Sulawesi Selatan, yaitu suatu daerah yang pada saat itu masih didiami oleh
suku bangsa Toala. Dalam penelitiannya tersebut ditemukan alat-alat serpih (flake),
mata panah bergerigi, serta alat-alat dari tulang.

d. Bentuk Kepercayaan Awal


Ketika bertempat tinggaal di dalam goa, selain membuat alat yang diperlukan, mereka
juga melukiskan sesuatu di dinding gua. Lukisan tersebut biasanya tentang
pengalaman, perjuangan, dan harapan hidup. Kemudian cap-cap tangan juga dibuat
dengan dengan cara merentangkan jari-jari tangan di permukaan dinding gua atau
dinding karang yang kemudian disiram dengan cat merah. Sumber inspirasi dari
lukisan-lukisan meraka adalah cara mereka hidup ketergantungan pada alam. Dengan
demikian lukisan-lukisan dinding gua tersebut melukiskan kehidupan sosial ekonomi
dan alam kepercayaan manusia pada waktu itu.
Selain lukisan-lukisan di dinding gua atau di dinding-dinding karang, alam
kepercayaan masyarakat pada masa itu juga terlihat dalam peristiwa atau upacara
penguburan. Bukti penguburan ditemukan di Gua Lawa (Jawa Tengah), Gua Sodong
(Jawa Tengah), dan Bukit Kerang di Sumatra Utara.

7
3. Masa Bercocok Tanam (Neolitik)
a. Gambaran Umum
Masa bercocok tanam ini disebut Zaman Neolitikum atau zaman batu muda (dari
bahasa Yunani Neo yang artinya baru dan Lithos yang artinya batu).
Melalui bercocok tanam terjadi perubahan besar dalam kehidupan manusia, yaitu dari
food gathering (berburu dan mengumpulkan makanan) ke food producing
(menghasilkan makanan sendiri). Bisa dikatakan tradisi food producing merupakan
sebuah revolusi (perubahan yang besar) dalam peradaban manusia. Selain itu, sebutan
zaman batu baru juga hendak menunjukkan bahwa alat-alat dari batu untuk
menunjang kegiatan bercocok tanam semakin halus dan indah, seperti kapak persegi
dan kapak lonjong.
Perkembangan kebudayaan pada zaman ini sudah sangat maju apabila dibandingkan
dengan masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya migrasi secara bergelombang
dari bangsa Proto Melayu dari wilayah Yunan di Cina Selatan ke wilayah Asia
Tenggara, termasuk ke Indonesia. Para pendatang baru tersebut membawa
kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong serta menyebarkannya ke daerah-daerah
yang mereka tempati. Kedua kebudayaan itulah yang menjadi ciri khas kebudayaan
neolitikum.
b. Corak Kehidupan Sosial Ekonomi
Sebagai konsekuensi dari tradisi baru (bercocok tanam), mereka sudah tinggal
menetap (sedenter). Perkampungan terdiri atas tempat-tempat tinggal sederhana yang
didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Bangunan tempat tinggal dibuat
dari kayu atau bamboo.
Gotong royong juga telah menjadi bagian dari corak kehidupan masyarakat.
menebang hutan, membakar semak belukar, menabur benih, memetik hasil, membuat
gerabah, kegiatan tukar-menukar, berburu dan menangkap ikan dilakukan secara
gotong royong.
Sistem kepemimpinan mulai berlaku dalam sebuah kelompok. Pemimpin dipilih
berdasarkan prinsip primus inter pares yang menandakan bahwa pemimpin tersebut
dipilih diantara mereka yang memeliki kelebihan fisik (kuat) maupun spritual
(keahlian)
Disamping berkembangnya kehidupan sosial manusia, pada waktu itu berkembang
juga sistem perekonomian dalam kehidupan masyarakat purba. Sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan hidup, dikenal sistem perdagangan dengan sistem barter.
Barang-barang yang dipertukarkan adalah hasil cocok tanam, hasil kerajinan tangan
seperti gerabah, beliung, dan perhiasan, atau mungkin pula garam dan ikan laut
yang diasinkan dan dikeringkan.

8
c. Hasil Budaya
Kebudayaan Kapak Persegi. Von Heine Galdern, telah melakukan penelitian
terhadap kapak persegi dengan memperhatikan penampang-alangnya yang kadangkala
berbentuk per segi panjang atau trapesium sehingga memberinya nama kapak persegi.
Satu hal yang istimewa ialah, bahwa diantara penemuan kapakkapak persegi itu, ada
yang terbuat dari batu-batu indah (chalchedon) yang dibuat sangat indah dan halus,
sehingga para ahli memperkirakan bahwa benda tersebut kemungkinan tidak untuk
bekerja, melainkan hanya sebagai lambang kebesaran, jimat, alat upacara, atau
sebagai alat tukar (barter).

Kebudayaan Kapak Lonjong. Kapak lonjong adalah kapak yang penampangnya


berbentuk lonjong atau bulat telur. Bentuk ujungnya agak lancip biasanya itempatkan
di tangkai, sedangkan ujung lainnya yang berbentuk bulat melebar di asah sehingga
memiliki ketajaman. Disinilah bedanya dengan beliung persegi yang tidak pernah
memiliki tajaman simeteris (Poesponegoro, 2010:218).

Selain kapak persegi dan kapak lonjong, alat-alat budaya lainnya yang ditemukan
pada zaman neolitikum adalah:
1) Perhiasan. Berupa gelang dan kalung yang terbuat dari batu-batu indah. Penuman
ini banyak tersebar di pulau Jawa.
2) Pakaian. Pakain pada zaman itu terbuat dari kulit kayu dan bahan tekstil.
Ditemukan juga periuk belaga yang diberi hiasan tenunan dan diperkirakan berasal
dari zaman yang sama, juga memberikan bukti lain bahwa disamping ada
kepandaian membuat pakaian dari kulit kayu juga dari bahan tekstil tang telah
dihias.

9
3) Tembikar. Pada zaman ini tembikar (peliuk belaga/gerabah) memegang peran penting
terutama sebagai alat penampung (wadah).
d. Sistem Kepercayaan
Konsepsi kepercayaan terhadap roh nenek moyang (animisme) dan benda-benda gaib
(dinamisme) mulai berkembang (Noor, 2015:102). Roh dianggap mempunyai
kehidupan sendiri dialamnya seperti layaknya manusia yang masih hidup. Hal ini
terlihat dari prosesi upacara penguburan. Pelaksanaan penguburan dilakukan
dilakukan dengan cara langsung maupun tidak langsung ditempat yang sering
dihubungkan dengan asal usul anggota atau tempat yang dianggap sebagai tempat
tinggal roh nenek moyang.
Ketika prosesi penguburan, jasad akan dibekali dengan berbagai benda yang dianggap
nantinya akan berguna di alam mereka dan terjamin kehidupannya. Benda-benda
tersebut seperti perhiasan dan priuk dikubur bersama dengan jasad orang yang telah
meninggal.

4. Masa Bercocok Tanam Tingkat Lanjut : Budaya Megalitik


Pada masa ini, tradisi bercocok tanam sudah semakin berkembang. Namun, ada yang
khas pada masa ini, yaitu alat-alat budaya terbuat dari dan berupa batu besar. Oleh
karena itu, masa ini dinamakan zaman Megalitikum (dari bahasa Yunani Mega yang
berarti besar dan lithos yang berarti batu).
Zaman megalitikum atau zaman batu besar adalah kebudayaan yang menghasilkan
benda/bangunan monumental yang terbuat dari batu-batu besar dan masif. Maksud dari
pembuatan benda/bangunan tersebut sebagai saranan pemujaan atau penghormatan
kepada roh nenek moyang. Kebudayaan ini muncul pada zaman neolitikum dan
berlangsung terus hingga zaman logam.
Hasil-hasil terpenting kebudayaan megalitikum di Indonesia antara lain sebagai berikut.
a. Menhir. Bentuk fisik menhir seperti tiang atau tugu yang berfungsi sebagai tanda
peringatan dan melambangkan roh nenek moyang, sehingga menjadi bangunan
pemujaan
b. Dolmen. Dolmen berbentuk seperti meja batu yang berkakikan menhir. Fungsi
dolmen sebagai tempat pemujaan san sesaji roh nenek moyang.
c. Waruga. Waruga adalah kubur batu yang mempunyai bentuk kubus atau bulat dengan
tutup yang berbentuk menyerupai atap rumah.
d. Sarkofagus. Berbentuk seperti palung atau lesung, tetapi mempunyai tutup dan
berfungsi sebagai keranda jenzah.
e. Kubur batu. Bentuknya hamper sama seperti peti mayat dari batu. Pada keempat
sisinya berdindingkan papan-papan batu.

10
f. Punden berundak. Bangunan pemujaan yang tersusun bertingkat-tingkat dan diatasnya
terdapat menhir.
g. Arca-arca. Arca merupakan patung dengan bentuk sederhana dan kasar, umumnya
patung kepala raja. Beberapa arca sederhana menggambarkan para leluhur binatang
(gajah, kerbau, monyet).

11
5. Zaman Perundagian : Zaman Logam
a. Gambaran Umum
Kata perundagian diambil dari kata dasar undagi dalam bahasa Bali. Undagi adalah
seorang atau sekelompok atau golongan masyarakat yang mempunyai kepandaian
atau keterampilan jenis usaha tertentu, misalnya pembuatan gerabah, perhiasan kayu,
sampan, dan batu.
Walaupun telah menginjak zaman logam, namun sebagian kecil masyarakat tetap
meneruskan tradisi kebudayaan batu. Adanya zaman logam yang menggantikan
zaman batu sebenarnya hanyalah untuk menyatakan bahwa pada zaman itu logam
mulai dikenalkan dan dipergunakan untuk bahan membuat alat-alat keperluan
hidupnya. Jadi meskipun terdapat alat-alat logam, namun alat-alat dari batu masih
dipergunakan dalam kehidupan manusia.
b. Corak Kehidupan Sosial Ekonomi
Selain sebagai pemburu binatang liar, pertanian dan perladangan menjadi mata
pencaharian yang tetap, sehingga diciptakanlah alat-alat logam untuk mendukung
kegiatan pertanian dan perladangan.
Kaitannya dalam pembuatan alat-alat dari bahan logam, saat itu telah dikenal teknik
atau cara yang dikenal dengan teknik cetakan setangkap (bivalve) dan teknik cetakan
lilin (a cire perdue). Jika menggunakan teknik setangkap maka cetakan tersebut dapat
digunakan berkali-kali.

Namun sebaliknya jika menggunakan teknik cetakan lilin, maka cetakan tersebut
hanya dapat dipergunakan sekali saja. Biasanya teknik setangkap digunakan untuk
mencetak benda-benda yang tidak mempunyai bagian yang menonjol. Sedangkan
teknik cetakan lilin digunakan untuk mencetak bendabenda yang berbentuk atau
memiliki bagian-bagian yang menonjol.

12
Masyarakat pada masa perundagian juga telah mengenal pengaturan air untuk
kegiatan pertanian, sehingga pertanian tidak tergantung sepenuhnya pada hujan. Hasil
pertanian kemudian disimpan untuk musim kemarau atau dijadikan sebagai bahan
dagang. Perdagangan telah dilakukan antar pulau di Indonesia dengan menggunakan
perahu bercadik. Sistem perdagangan masih menggunakan sistem barter (tukar
menukar barang yang diperlukan masing-masing pihak). Benda-benda yang ditukar
adalah benda yang mengandung magis dan bersifat khas, seperti nekara perunggu, dan
manik-manik.
Terbentuknya masyarakat yang teratur dengan adanya golongan undagi ternyata
berdampak pada berkembangnya daya cipta dalam berbagai bidang teknologi. Teknik
penuangan perunggu tidak hanya menghasilkan ciptaan benda-benda yang sederhana,
seperti kapak, perunggu, gelang, dan mata tombak, tetapi juga pada benda-benda
seperti patung, nekara, dan benda-bena upacara (seperti candrasa) yang diperindah
dengan pola geometris, topeng, dan binatang. Pembuatan gerabah mengalami
kemajuan yang pesat dan tidak lagi hanya dibuat dengan tangan dan papan batu, tetapi
telah menggunakan roda pemutar.
c. Hasil-Hasil Budaya
Para ahli berpendpaat bahwa zaman logam di Indonesi adalah zaman perunggu. Hasil
kebudayaan zaman perunggu yang cukup penting diantaranya adalah kapak corong
dan nekara.
Kapak Corong. Kapak corong adalah kapak perunggu yang bagian atasnya
berlubang, berbentuk corong yang digunakan untuk memasukkan tangkai kayu
(Herimanto, 2012:66). Melihat bentuknya tersebut, kapak corong sering pula disebut
dengan nama kapak sepatu. Kapak corong banyak ditemukan di daerah Sumtera
Selatan, Bali, Silawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, dan Papua.
Berdasarkan tandatanda tang ditemukan pada kapak corong, menunjukkan bahwa
benda tersebut dibuat dengan teknik a cire perdue.

13
Nekara. Hasil kebudayaan perunggu lainnya adalah nekara. Nekara adalah gendering
besar yang dibuat dari bahan perunggu, berpinggang dibagian tengahnya dan tertutup
dibagian atasnya. Nekara banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Pulau Sangean,
Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Berdasarkan hasil penelitian,
nekara digunakan sebagai peralatan upacara, sebagaimana hiasan-hiasan pada dinding
nekara yang menunjukkan hal tersebut.

Bejana Perunggu. Salah satu bentuk produk budaya Dongson adalah bejana
perunggu yang ditemukan di wilayah Indonesia seperti di Kerinci, Madura, Lampung,
Kalimantan dan Subang. Fungsi bejana perunggu untuk kepentingan upacara.
Bejana Perunggu Madura. Sekitar tiga puluh tahun kemudian bejana perunggu
Indonesia kedua ditemukan di Asemjaran, Sampang, Madura tepatnya di tahun 1951
(Heekeren, 1958: 35).

d. Bentuk Kepercayaan
Kepercayaan kepada pengaruh arwah nenek moyang terhadap perjalanan hidup
manusia serta upacara-upacara religious yang menyertainya semakin berkembang
pada masa perundagian. Diyakini arwah nenek moyang itu akan melindungi dan
menyertai perjalanan hidupnya manusia apabila arwah-arwah itu selalu diperhatikan
dan dipuaskan melalui upacara-upacara.

14
C. Hasil Kebudayaan pada Masyarakat Praaksara Tingkat Lanjut : Tradisi Lisan
1. Tradisi, Tradisi Lisan, dan Folklor
Tradisi berasal dari bahasa latin tradition, yang berarti menyampaikan atau
meneruskan. Dalam KBBI, kata tradisi diartikan sebagai hal yang disampaikan atau
yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pada masyakarat Praaksara penyampaian kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di
masyarakat dilakukan dengan cara bertututr atau dengan berbicara secara lisan.
Karena penyampainnya dilakukan secara lisan, tradisi ini dikenal dengan istilah tradisi
lisan.
Menurut Kuntowijoyo, tradisi lisan merupakan salah satu sumber sejarah, sebab
dalam tradisi lisan terekam masa lampau manusia yang belum mengenal tulisan entah
terkait dengan kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, nilai-nilai atau pengalaman
sehari-hari mereka.
Tradisi lisan terangkum dalam apa yang disebut Folklor. Folklor adalah bagian dari
kebudayaan suatu masyarakat yang tersebar dan bersifat tradisional yang diwariskan
secara lisan dan turun temurun. Berikut ini ciri-ciri Folklor :
a. Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan.
b. Bersifat tradisional, artinya terikat dalam bentuk dan aturan yang baku.
c. Bersifat anonym, artinya nama penciptanya tidak dikeetahui
d. Memiliki gaya bahasa yang suka melebih-lebihkan serta sering
menggunakankata-kata klise. Misalnya jika ingin menggambarkan kecantikan
sesorang akan dikatakan “Wajahnya bersinar seperti bulan purnama”
e. Menggunakan kalimat pembuka dengan kata-kata “Menurut empunya cerita…”
f. Memiliki fungsi penting dalam kehidupan bersama dalam suatu masyarakat
g. Merupakan milik bersama masyarakat pendukungnya.
2. Jenis-Jenis Folklor
a. Mitos
adalah cerita prosa rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa
yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh
empunya cerita atau penganutnya.
b. Legenda
adalah prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai sesuatu yang
benar-benar terjadi. Bedanya dengan mitos, tokoh dalam legenda lebih bersifat
duniawi.
- bersifat duniawi, artinya bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang
dan terjadi pada masa yang belum terlampau lama;
- di tokohi oleh manusia, yang ada kalanya mempunyai sifat dan kekuatan yang
luar biasa, serta seringkali di bantu oleh makhluk makhluk ghaib;

15
- milik bersama suatu komunitas tempat legenda tersebut lahir;
- seringkali mengalami penyimpangan dari versi sebelumnya(terutama karna
tidak ditulis);
- diwariskan secara turun temurun;dan
- banyak mengandung ajaran tentang kebaikan dan kejahatan sehingga dapat
dijadikan pedoman hidup.
c. Dongeng
adalah cerita fiktif atau imajinatif yang diceritakan turun-temurun. di dalam
dongeng mungkin kita akan menemukan manusia bisa terbang atau hewan akan
bisa berbicara.
d. Nyanyian Rakyat
Menurut ahli folklore jan Harold brunvand, nyaniyan rakyat adalah jenis folkor
yang terdiri dari teks dan lagu. dalam nyanyian rakyat, kata-kata dan lagu
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
e. upacara
merupakan rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan
tertenntu seperti adat istiadat, agama, dan kepercayaan.
3. Tradisi Lisan yang Masih Lestari
a. Wayang
Wayang diperkirakan mulai dikenal orang sejak masa praaksara, yaitu sebagai
media yang digunakan dalam upacara mengundnag roh nenek moyang. Karena
wayang banyak disukai orang dan mudah diterima di berbagai kalangan, muncul
berbagai jenis wayang, diantaranya :
1) wayang kulit : tokoh-tokohnya terbuat dari kulit (kulit sapi atau kambing),
dengan tampilan warna-warni menarik untuk memghidupkan karakternya.
2) wayang wong : tokoh-tokohnya manusia dengan kostum yang sesuai dengan
tuntutan cerita.
3) wayang golek : tokoh-tokohnya dibuat dari kayu, seperi wayang dari Jawa
Barat.
b. Wayang Beber
adalah bentuk wayang yang agak berbeda dengan wayang-wayang yang lain.
Wayang beber menggunakan media gambar yang lakon-lakonnya dilukis di atas
kertas (daluang) dengan ukuran 200x70 cm, lalu dibentangkan (dibeber)
c. Mak Yong
adalah sejenis pertunjukan tradisi lisan yang berasal dari Pattani, Thailand bagian
selatan.Mak Yong masuk ke Indonesia melalui Riau, lalu Sumatra Utara, kemudian
Kalimantan Barat. Ada banyak unsur seni dalam pementasan mak yong, seperti
drama, tari, musik, dan mimic.

16
d. Didong
didong merupakan kesenian tradisional masyarakat Gayo, Provinsi Aceh. kata
didong berasal dari kata dendang yang artinya sama dengan denang atau donang
yang dalam bahasa gayo, yaitu menghibur diri sendiri dengan menyanyi. Unsur-
unsur yang ada dalam didong adalah seni sastra, seni tari, dan seni suara.
e. Rabab Pariaman
adalah salah satu tradisi lisan yang berasal dari Sumatra Barat. Rabab adalah
sejenis alat music gesek yang menggunakan tempurung kelapa sebagai badannya,
ditutup dengan bambu dan diberi kayu dan hiasan bunga pada kepalanya. Cara
membunyikannya dengan busur gesek yang terbuat dari kawat nilon halus.
Bentuknya secara keseluruhan dan cara memainkannya persis seperti biola.
f. Tanggomo
tanggomo merupakan salah satu bentuk puisi tradisional dalam tradisi lisan yang
berasal dari Provinsi Gorontalo. Pertunjukan puisi tersebut dinyanyikan oleh
seorang penyanyi yang disebut to motanggomo.

17

Anda mungkin juga menyukai