Anda di halaman 1dari 37

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada hakekatnya anak-anak belajar komunikasi dengan orang lain dengan berbagai
cara, namun ada hal-hal umum terjadi pada hampir setiap anak. Oleh karena itu dalam
pembelajaran keterampilan berbahasa seorang guru harus mampu menggunakan model,
metode, dan teknik serta strategi tertentu yang sesuai agar pembelajaran lebih efektif.
Banyak siswa masih belum mampu bercerita dengan baik dan benar khususnya
siswa kelas VIII MTsN 6 Aceh Tengah. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pembelajaran keterampilan bercerita, antara lain faktor dari
guru dan faktor dari siswa itu sendiri. Faktor dari guru dalam proses kegiatan belajar
mengajar (PBM) hanya memberikan pembelajaran keterampilan bercerita secara teoritis,
kurang praktik dan kurangnya alat peraga. Faktor dari siswa kurangnya perbendaharaan
kosa kata yang akhirnya dalam merangkai bahasa secara lisan masih bercampur dengan
bahasa daerah.
Pengalaman empiris di akhir semester I tahun 2020 peserta didik kelas VIII MTsN
6 Aceh Tengah Kecamatan Bintang Kabupaten Aceh Tengah menunjukkan adanya
penguasaan Kompetensi Dasar Menanggapi cerita tentang peristiwa yang terjadi di
sekitar yang disampaikan secara lisan hasilnya kurang memuaskan, artinya penguasaan
pada kompetensi tersebut yang menjadi dasar dan prasarat penguasaan kompetensi dasar
tidak tuntas dikuasai oleh peserta didik. Data menunjukkan dari sejumlah 43 siswa kelas
VIII, siswa yang memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum(KKM) 65,
hanya 34 siswa (79%), sedangkan yang memperoleh nilai di atas KKM yaitu sebanyak 9
siswa (21%)
Melihat hasil belajar yang demikian guru akan mengupayakan perbaikan
pembelajaran khususnya dalam penggunaan model pembelajaran agar penguasaan
keterampilan menanggapi cerita tentang peristiwa yang terjadi di sekitar yang
disampaikan secara lisan di kelas VIII semester II tahun 2020 yang akan datang menjadi
lebih baik. Oleh karena itu untuk meningkatkan keterampilan berbicara dipilih
pembelajaran dengan pendekatan kooperatif yang dapat menumbuhkan rasa saling asah,
asih, dan asuh (saling mencerdaskan).
2

Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama siswa. Sarwiji Suwandi
( http.www.pdk.go.id/ journal/ 32 ) menyimpulkan bahwa sebagian besar pembelajaran
bahasa Indonesia belum mampu mewujudkan siswa mahir berbahasa Indonesia.

B. Rumusan Masalah dan Pemecahannya


1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut: Apakah penerapan pendekatan kooperatif dengan metode struktural dapat
meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas VIII MTsN 6 Aceh Tengah ?
2. Pemecahan Masalah
Pembelajaran yang sesuai dengan proses berpikir siswa, tentunya akan
membuat siswa menyenangi proses pembelajaran tersebut. Dengan melakukan
pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan pendekatan Kooperatif secara baik
paling tidak akan mampu mendekatkan siswa dengan ide dan keterampilan berbicara
dalam menanggapi cerita tentang peristiwa yang terjadi di sekitar siswa.
Demikian halnya dengan guru melakukan pembelajaran Bahasa Indonesia
melalui pendekatan kooperatif, dengan harapan keterampilan berbicara siswa
meningkat.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan pendekatan kooperatif
metode struktural pada siswa kelas VIII MTsN 6 Aceh Tengah.

D. Manfaat Hasil Penelitian


Hasil penelitian ini dihaharapkan bermanfaat bagi:
1. Siswa:
a. Siswa lebih lancar dalam berbahasa Indonesia secara lisan.
b. Meningkatkan kemampuan berpikir siswa dalam menanggapi
peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
c. Meningkatkan kreatifitas siswa
d. Menambah perbendaharaan kosa kata
3

2. Guru:
a. Dapat membantu guru memperbaiki proses pembelajaran
keterampilan berbicara ( berbahasa Indonesia ).
b. Dapat menambah wawasan guru mengenai pembelajaran berbicara
dengan teknik bermain peran
3. MTsN 6 Aceh Tengah:
a. Mmbantu tercapainya tujuan pendidikan di sekolah.
b. Meningkatkan profesionalisme dan kinerja guru secara umum
c. Meningkatkan kredibilitas sekolah.
4

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Hakikat Pengajaran Bahasa Indonesia
Pengajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
menggunakan bahasa Indonesia dalam segala fungsinya, yaitu sebagai sarana
komunikasi, sarana berpikir/bernalar, sarana persatuan, dan sarana kebudayaan.
Kurikulum Bahasa Indonesia tahun 1984 ditekankan pada pengembangan kemampuan
berkomunikasi dengan bahasa. Kemampuan ini dikaitkan dengan factor-faktor
penentu di dalam berkomunikasi. Faktor-faktorini mencakup:……siapa yang berbahasa
dengan siapa; untuk tujuan apa; dalam situasi apa; dalam konteks apa; dan dengan
jalur mana (lisan atau tulisan); media apa (tatapnya); dalam peristiwa apa (bercakap-
cakap, ceramah, upacara, laporan, lamaran kerja, pernyataan cinta, dan sebagainya).
(GBPP Bahasa Indonesia, 1986).
Untuk mencapai tujuan ini dalam pengajaran bahasa Indonesia menurut
Kurikulum 1984 itu diterapkan pendekatan komunikatif.
Berawal dari rintisan Abdullah Ahmad dengan Madrasah Addinyah-nya di
Padang Panjang tahun 1909,17 sampai sekarang, madrasah telah menjalani polarisasi
pengembangan seiring dengan tuntutan zamannya. Madrasah telah menjadi salah satu
wujud entitas budaya bangsa Indonesia yang telah menjalani proses sosialisasi yang
relatif intensif, dan dalam waktu yang cukup panjang itu telah memainkan peran
tersendiri dalam panggung pembentukan peradaban bangsa
2. Kedudukan , fungsi, dan Nilai Pengajaran Bahasa Indonesia
Pengajaran bahasa Indonesia wajib diberikan ke semua lembaga pendidikan
formal. Dalam mata pelajaran ini siswa tidak boleh mendapat nilai kurang dari 6.
Artinya, semua siswa sekurang-kurangnya harus mempunyai kemampuan sedang dalam
penggunaan bahasa Indonesia. Ini tentu saja menuntut upaya guru dan siswa serta
perhatian orang tua di rumah.
Pengajaran bahasa di MTsN mempunyai peranan yang sangat penting dalam
membentuk kebiasaan, sikap, serta kemampuan dasar yang diperlukan siswa. Untuk
perkembangan selanjutnya. Selain itu pengajaran tersebut harus dapat membantu siswa
dalam pengembangan
5

kemampuan berbahasa yang diperlukannya, bukan saja untuk berkomunikasi ,


melainkan juga untuk menyerap berbagai nilai serta pengetahuan yang dipelajarinya.
Bukankah melalui bahasa ini siswa itu mempelajari nilai-nilai moral/agama, serta nilai-
nilai sosial yang berlaku pada masyarakat bangsanya. Bukankah melalui bahasa itu pula
ia mempelajari berbagai cabang ilmu? Pembinaan bahasa yang baik di tingkat MTSN
akan memberikan sumbangan yang besar dalam pengembangan siswa pada taraf
selanjutnya.
Sasaran pembinaan bahasa Indonesia bagi siswa MTSN ialah (1) agar siswa
memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, dapat menghayati
bahasa dan sastra Indonesia. Sasaran tersebut sesuai dengan (2) situasi dan tujuan
berbahasa, (3) tingkat pengalaman anak sekolah dasar, dan (4) fungsi utama pendidikan
sekolah dasar dalam mengindonesiakan ank-anak Indonesia yang pada umumnya lahir
dan besar sebagai insan daerah.
Dalam proses pengindonesiaan di atas sangat besarlah perana bahasa. Hal ini
harus benar-benar disadari oleh para guru MTSN khususnya.
3. Berbicara
Berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan.
Peranan berbicara merupakan kegiatan berbahasa yang berhubungan erat dengan
menyimak,menulis,dan membaca. Kemampuan berbicara perlu dimiliki oleh setiap
anggota masyarakat,apapun profesinya. Namun kemampuan ini terutama harus dimiliki
oleh pelajar, guru, dramawan, pemimpin, penyuluh, juru penerang, dan lain-lain yang
profesinya memang berhubungan erat dengan kegiatan berbicara.

4. Aspek Berbicara.
Di dalam GBPP Bahasa Indonesia aspek berbicara tidak dicantumkan sebagai
pokok bahasan tersendiri. Ini tidak berarti bahwa keterampilan berbicara tidak dibina
melalui pengajaran Bahasa
6

Indonesia. Di dalam GBPP tersebut jelas bahwa guru MTSN bertanggung jawab atas
pembinaan oleh guru antara lain ialah lafal, intonasi, serta penggunaan kata.
Jenis berbicara yang perlu dikembangkan pada siswa MTSN ialah
a. berbicara dalam bentuk mengemukakan gagasan
b. menjawab pertanyaan
c. bercakap-cakap /berdialog
d. bercerita

5. Proses Berbicara
Kegiatan berbicara dilakukan untuk mengadakan hubungan sosial dan untuk
melaksanakan suatu layanan. Yang termasuk golongan yang pertama misalnya
percakapan dalam suatu pesta, di kafetaria, pada saat antre di bank, dan sebagainya.
Sedangkan yang termasuk kelompok kedua misalnya mengikuti wawancara untuk
memperoleh pekerjaan, memesan makanan di rumah makan, membeli perangko,
mendaftarkan sekolah, dan sebagainya.
Dalam proses belajar berbahasa di sekolah, anak-anak mengembangkan
kemampuan secara vertikal tidak secara horizontal. Maksudnya, Mereka sudah dapat
mengungkapkan pesan secara lengkap meskipun belum sempurna. Makin lama
kemampuan tersebut menjadi semakin sempurna dalam arti strukturnya menjadi benar,
pilihan katanya semakin tepat, kalimat-kalimatnya semakin bervariasi, dsb. Dengan kata
lain perkembangan tersebut tidak secara horizontal mulai fonem, kata, fase, kalimat, dan
wacana seperti halnya jenis tatana linguistic.
Ellis (lewat Numan, 1991: 46) mengemukakan adanya tiga cara untuk
mengembangkan secara vertikal dalam meningkatkan kemampuan berbicara :
1. menirukan pembicaraan orang lain (khususnya guru)
2. mengembangkan bentuk-bentuk ujaran yang dikuasai ; dan
7

3. mendekatkan atau menyejajarkan dua bentuk ujaran, yaitu bentuk ujaran sendiri yang
belum benar dan ujaran orang dewasa (terutama guru) yang sudah benar.
Kesulitan dalam berbicara, seperti halnya kesulitan dalam menyimak, disebabkan
oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang menimbulkan kesulitan dalam berbicara
adalah yang datang dari teman bicara. Seperti kita ketahui , dalam setiap kegiatan
berbicara teman bicara menapsirkan makna pembicaraan agar komunikasi dapat
berlangsung terus sampai tujuan pembicaraan tercapai.
Berikut ini proses pembelajaran berbicara dengan berbagai jenis kegiatan,
yaitu percakapan berbicara estetik, berbicara untuk menyampaikan informasi atau
untuk mempengaruhi, dan kegiatan dramatik (Tompkins dan Hoskisson, 1995: 124-
147).

6. Berbicara Estetik (mendongeng) : Ahmad Rofiuddin, Darmiyati Zuhdi (14-17)


Salah satu bentuk kegiatan berbicara estetik ialah bercerita, guru
menyajikan karya sastra kepada murid-muridnya dengan teknik bercerita, dan
murid juga diminta untuk bercerita mengenai karya sastra yang telah dibaca :
a. Memilih cerita
Cerita-cerita tradisional, misalnya cerita rakyat, sering dipilih untuk kegiatan
bercerita (mendongeng). Namun bentuk karya sastra anak-anak yang lama juga
dapat digunakan. Hal yang paling penting dalam memilih cerita adalah memilih
cerita yang menarik. Pertimbangan yang lain: (1) cerita tersebut sederhana, dengan
alur cerita yang jelas; (2) cerita tersebut memiliki awal, pertengahan, dan akhir
yang jelas; (3) tema cerita jelas; (4) jumlah pelaku cerita tidak banyak; (5) cerita
mengandung dialog; (6) cerita menggunakan gaya bahasa pengulangan; dan (7)
cerita menggunakan gaya keindahan.
8

b. Menyiapkan diri untuk bercerita


Murid- murid hendaknya membaca kembali dua atau tiga kali cerita yang akan
diceritakan untuk memahami perwatakan pelaku- pelakunya dan dapat menceritakan
secara urut. Kemudian murid- murid memilih frasa-frasa atau kalimat yang akan
diambil untuk membuat ceritanya nanti secara hidup, sehingga lebih menarik
perhatian pendengar, termasuk penggunaan suara yang bervariasi.
c. Menambah barang-barang yang diperlukan
Murid-murid dapat menggunakan beberapa teknik untuk membuat ceritanya
lebih hidup. Tiga barang yang dapat digunakan untuk cerita lebih menarik ialah
gambar-gambar yang ditempelkan di papan planel, boneka, dan benda-benda yang
menggambarkan pelaku binatang atau barang-barang yang diceritakan.

7. Strategi Meningkatkan Kemampuan Berbicara dan Berpikir


Kesempatan yang baik untuk mengembangkan keterampilan berbicara ialah pada
tahap publikasi dalam proses menulis. Banyak anak yang senang mengubah
karangannya dalam bentuk drama pendek yang diperankan di kelas.
Pada kesempatan memerankan adegan inilah anak-anak memiliki kesempatan untuk
berlatih berbicara. Mereka dapat pula memperlihatkan dan mempelajari keterampilan
berakting dari teman-temannya.
Untuk mengembangkan keterampilan berpikir, di kelas seharusnya anak-anak
tidak hanya dilatih mengemukakan fakta tetapi perlu ditekankan pada kemampuan
untuk menjelaskan dan mengevaluasi. Hal ini biasanya kurang memperoleh perhatian
guru dalam proses pembelajaran.
Langkah pertama untuk meningkatkan keterampilan berpikir anak- anak ialah
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka kepada mereka, misalnya ketika
membaca bacaan tentang suatu ekspedisi, lebih baik diajukan pertanyaan “Apa yang
ingin anda bawa dalam ekspedisi
9

tersebut seandainya ikut di dalamnya?”. Dengan demikian anak-anak akan terpacu


untuk memikirkan berbagai kemungkinan, tidak hanya sekedar mencari jawaban yang
benar dalam teks (Yeager,1991:102)
Setelah beberapa minggu, guru mulai mengenal perubahan pada murid-murid
dalam saling menanggapi pertanyaan sesama murid atau pertanyaan guru.
Murid-murid memikirkan dengan sungguh-sungguh jawaban yang akan mereka
sampaikan dan mengungkapkan jawaban dengan lebih jelas. Mereka tidak menjawab
secara tepat tetapi bernada memprotes, sebaliknya mengemukakan jawaban dengan hati-
hati dan jujur. Segera setelah anak-anak mulai dapat berpikir tentang proses mereka
sendiri dalam berpikir ( metakognisi ), mereka siap untuk menggunakan strategi berpikir
yang khas, misalnya membedakan fakta dan pendapat, mengenal hubungan sebab
akibat, dan melakukan kegiatan berpikir yang lebih sulit, yaitu menilai hasil,
mengevaluasi argumen, dan menyelidiki hal-hal yang melandasi tanggapan emosional (
Yeager, 1991:102 ).
Keterampilan berbicara lebih mudah dikembangkan apabila murid- murid
memperoleh kesempatan untuk mengkomunikasikan sesuatu secara alami kepada orang
lain, dalam kesempatan-kesempatan informal. Selama kegiatan belajar di sekolah, guru
menciptakan berbagai lapangan pengalaman yang memungkinkan murid-murid
mengembangkan kemampuan berbicara. Kegiatan-kegiatan untuk melatih keterampilan
berbicara itu antara lain menyajikan informasi, berpartisipasi dalam diskusi, dan
berbicara untuk menghibur atau menyajikan pertunjukan ( Ross dan Roe, 1990: 133-143
), seperti yang disajikan berikut ini.
Salah satu bentuk kegiatan penyajian informasi yang sesuai bagi anak-anak kelas
VIII MTsN ialah menyampaikan laporan secara lisan. Untuk mengingatkan agar anak-
anak menggunakan cara-cara yang efektif dalam menyajikan laporan secara lisan,
masalah mereka menceritakan hal-hal yang mereka inginkan dari seorang pembicara

8. Tes Keterampilan Berbahasa


Tes keterampilan berbahasa dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu: tes
menyimak, tes berbicara, tes membaca, dan tes menulis. Tes kemampuan berbicara
merupakan tes berbahasa yang difungsikan untuk mengukur kemampuan testi dalam
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa lisan (Akhadiyah, 1988). Seperti halnya
tes menyimak, tes kemampuan berbicara dapat dikategorikan sebagai tes diskrit atau tes
nondiskrit. Beberapa model tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan berbicara
adalah
10

: tes kemampuan berbicara berdasarkan gambar (termasuk “ The Bilingual Syntax


Meassure”) dan “ The Illyin Oral Interview” (Oller, 1979), wawancara, bercerita,
dskusi, ujaran terstruktur (mengatakan kembali, membaca kutipan, mengubah kalimat,
dan membuat kalimat, Akhadiyah, 1988).
Madsen (1981)telah mengidentifikasi adanya 25 teknik tes yang digunakan dalam
tes berbicara. Dari 25 teknik tes ini selanjutnya dikelompokkan ke dalam 5 kategori
(berdasarkan strategi dan fokus penilaiannya), yaitu: (1) wacana komunikatif yang
bersifat langsung dan alami, (2) wacana komunikatif semu yang bersifat kurang
langsung tapi masih alami, (3) wacana yang berhubungan yang bersifat tidak langsung
dan kurang alami, dan (4) respon terkontrol bersifat diskrit, (5) keterampilan linguistik
yang bertujuan untuk mengukur aspek keterampilan linguistik: sintak, fonologi, dan
kosakata.
Dalam tes diskrit, pengetesan kemampuan menyimak dilakukan terpisah dengan
pengetesan kemampuan berbicara. Fokus pengetesan diarahkan pada aspek:
pengucapan, kelancaran, gramatika, dan kosa kata. Dalam tes yang menggunakan
pendekatan nondiskrit, juga dapat dijumpai adanya tes menyimak dan berbicara yang
dilakukan secara terpisah, serta tes kemampuan menyimak dan berbicara yang
dilakukan secara serentak, seperti dalam tes interaksi lisan.
Pembedaan antara tes menyimak dan berbicara kemungkinan besar dapat
menghilangkan karakteristik komunikasi, yang mengharuskan adanya interaksi,
inisiasi, dan perkembangan tema yang koheren. Dalam berkomunikasi, seseorang harus
dapat menyimak dan berbicara dengan baik, dan dalam interaksi lisan dijumpai adanya
pergantian peran yang bersifat konstruktif dengan stimuli yang tidak dapat diprediksi.
Ada beberapa upaya yang dilakukan untuk menstandarkan alat penilaian kemampuan
(kelancaran) berbicara, tetapi seringkali terbentur pada masalah tuntutan keotentikan
dan keilmiahan pengukuran. Misalnya metode pengukuran yang berupa perekaman
percakapan di laboratorium dan respon testi. Teknik ini tetap dipandang kurang bersifat
interaktif, sebab rangsangan suara yang telah direkam sebelumnya tidak memungkinkan
testi untuk turut serta mengarahkan percakapan atau mengembangkan tema. Upaya lain
berupa penilaian lisan didasarkan pada kegiatan membaca teks dialog dan testi diminta
untuk meresponnya secara bebas. Jenis ini pun terbentur pada masalah yang sama,
yakni tidak adanya interaksi lisan yang sebenarnya (Carrol, 1980:54). Berdasarkan hal
inilah, maka penggunaan tes interaksi lisan dipandang lebih tepat untuk mengukur
kemampuan komunikasi lisan.
11

Fokus penilaian dalam tes interaksi lisan tidak pada aspek: pengucapan,
kelancaran, gramatika, kosa kata, efektifitas dan ketepatan komunikasi. Skala penilaian
seharusnya mendasarkan diri pada faktor kewacanaan dan ciri komunikasi yang
didasarkan pada: ukuran kemampuan, kekomplekan, rentangan, ketepatan, keflesibelan,
kecermatan, ketepatan, kemandirian, pengulangan dan keraguan. Penilaian seharusnya
tidak memprioritaskan aspek performansi bahasa, seperti: kosa kata, gramatika, dan
ketepatan pengucapan (Carrol, 1980:54). Penilaian kemampuan interaksi lisan akan
lebih efektif jika dilakukan dalam latar interaksi yang otentik, dengan melukiskan topik
secara spesifik, menggunakan beberapa macam pelaku interaksi, dengan menggunakan
secara detail, kriteria didasarkan pada keefektifan dan ketepatan komunikasi.

Dari karakteristik tes interaksi lisan yang dipaparkan di atas, dapat dikatakan
bahwa tes interaksi lisan termasuk kategori tes bahasa komunikatif. Porter (1991).
Menyatakan adanya 3 ciri tes bahasa yang bersifat komunikatif, yaitu: (1) Tes
didasarkan pada kebutuhan pembelajar; penilaian kemampuan berbahasa pembelajar
yang tidak didasarkan pada kebutuhan pembelajar tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perbedaan kebutuhan pembelajar akan sangat menentukan tingkat penguasaan linguistik
dan tingkat kelancaran yang harus dikuasainya. Dan ini akan sangat mempengaruhi
tingkat kekomplekan isi tes, criteria penilaian, dan format laporannya. (2) Tes harus
didasarkan pada penggunaan bahasa dalam konteks dan relevan dengan tujuan
pembelajar. Setiap konteks menuntut penggunaan kemampuan linguistik yang berbeda,
dan tujuan yang berbeda akan menghadirkan konteks yang berbeda pula. Jika macam-
macam konteks dan tujuan merupakan cirri pokok dalam komunikasi yang alami, maka
disarankan bahwa konteks dan tujuan menuntut kemampuan linguistik yang berbeda-
beda. Konteks dan tujuan ini perlu dipadukan dalam tes. Tes harus menggunakan teks
yang otentik atau teks yang memiliki atau memenuhi ciri-ciri otentik. Ketiga ciri tes
komunikatif tersebut dapat dijumpai dalam tes interaksi lisan.
Kegiatan pengetesan dalam interaksi lisan dapat dipilah menjadi 3 tahap: tahap
pemanasan, kegiatan utama, dan tahap penutup. Tahap pemanasan dimaksudkan untuk
menciptakan hubungan yang akrap; kegiatan utama dimaksudkan untuk melakukan
penilaian terhadap kompetensi lisan yang dimiliki testi; dan tahap penutup dimaksudkan
untuk memberikan penilaian akhir. Format ini dapat digunakan untuk interaksi lisan
perorangan maupun untuk kelompok (Carrol dan Hall, 1985).
12

9. Tes Berbicara
Untuk dapat berbicara dengan baik, seorang pembicara harus menguasai
komponen-komponen yang menetukan kegiatan berbicara, baik yang berkenaan dengan
faktor kebahasan maupun faktor nonkebahasan.
Tes kemampuan berbicara merupakan tes berbahasa yang difungsikan untuk
mengukur kemampuan testi dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa lisan.
Tes kemampuan berbicara bukan hanya mengukur aspek penguasaan bahasa lisan,
tetapi juga factor lain yang terlibat dalam kegiatan berkomunikasi lisan, seperti:
pemahaman tentang tujuan berbicara, lawan berbicara, situasi pembicaraan, latar
pembicaraan, serta peristiwa pembicaraan. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tes
kemampuan berbicara merupakan tes yang difungsikan untuk mengukur kemampuan
testi dalam menggunakan bahasa lisan.
Secara umum, bentuk tes yang digunakan dalam tes kemampuan berbicara adalah
tes subyektif yang berisi perintah melakukan kegiatan berbicara. Beberapa tes yang
dapat digunakan untuk mrngukur kemampuan berbicara dapat dikemukakan seperti
berikut (Harris, 1969, Akhadiyah, 1988; Crrol dan Hall, 1983).

10. Pembelajaran
Banyak definisi para ahli berkaitan dengan pembelajaran, diantaranya Winkel (M.
Sobry Sutikno, 2009: 31) mengartikan pembelajaran sebagai seperangkat tindakan yang
dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhatikan
kejadian-kejadian eksternal yang berperanan terhadap rangkaian kejadian-kejadian
internal yang berlangsung di dalam diri peserta didik. Dimyati dan Mujiono (M. Sobry
Sutikno, 2009: 31) mengartikan pembelajaran sebagai kegiatan yang ditujukan untuk
membelajarkan siswa.
Lindgren (M.Sobry Sutikno, 2009: 32) menyebutkan bahwa focus system
pembelajaran mencakup tiga aspek, yaitu: siswa, proses belajar, dan situasi belajar.
Dalam proses pembelajaran, kedudukan guru sudah tidak dapat dipandang sebagai
penguasa tunggal dalam kelas atau sekolah, tetapi dianggap sebagai manager of learning
(pengelola belajar) yang perlu senantiasa siap membimbing dan membantu para siswa
dalam menempuh perjalanan menuju kedewasaan mereka sendiri yang utuh
menyeluruh. Dalam mengelola pembelajaran, pendidik lebih dituntut untuk berfungsi
dalam melaksanakan empat macam tugas sebagai berikut
1. Merencanakan, baik untuk jangka panjang (satu semester) maupun jangka pendek (satu)
2. Mengatur, yang dilakukan pada waktu implementasi, tugas ini adalah mengenai apa
yang mencakup rencana dan pengetahuan tentang bentuk dan macam kegiatan yang
13

harus dilaksanakan dan bagaimana semua komponen dapat bekerjasama untuk


mencapai tujuan yang telah ditentukan.
3. Mengarahkan, karena memang salah satu tugas pendidikan dalam memberikan
motivasi, mengarahkan, dan memberikan inspirasi kepada siswa untuk belajar.
4. Mengevaluasi, untuk mengetahui apakah perencanaan, pengaturan, dan pengarahan
dapat berjalan dengan baik atau masih perlu diperbaiki. Untuk itu pendidik harus
mempunyai patokan mengenai penampilan para siswa yang dianggap telah memadai,
baik selama maupun setelah ia mendidik mereka.

Ciri-ciri pembelajaran menurut Oemar Hamalik (M. Sobry Sutikno,2009: 34) :


1. Rencana ialah penataan ketenagaan, materi, dan prosedur, yang merupakan unsur-unsur
sistem pembelajaran dalam rencana khusus.
2. Kesalingtergantungan antara unsur-unsur sistem pembelajaran yang serasi dalam suatu
keseluruhan. Tiap unsur bersifat esensial, dan masing-masing memberikan
sumbangannya kepada sistem pembelajaran.
3. Tujuan, sistem pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai. Sistem
ini menjadi dasar perbedaan antara sistem yang dibuat oleh manusia dan sistem yang
alami.
Menurut kamus Bahasa Indonesia model berarti pola acuan ragam, macam dan
sebagainya, barang tiruan yang kecil dan tepat seperti yang ditiru.

11. Pengertian Pembelajaran Kooperatif


Pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning) adalah pendekatan pembelajaran
yang terfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-
elemen yang saling berkaitan, elemen-elemen pembelajaran kooperatif menurut Lie (
2004 ) adalah (1) saling ketergantungan positif; (2) interaksi tatap muka; (3)
akuntabilitas individual; (4) keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau
keterampilan sosial yang sengaja diajarkan.
Keuntungan Penggunaan Pembelajaran Kooperatif:
A. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial.
B. Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, keterampilan, informasi,
perilaku sosial, dan pandangan-pandangan.
14

12. Metode Struktural


Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kagan dan kawan-kawan. Meskipun
memiliki banyak kesamaan dengan metode lainnya, metode struktural menekankan pada
struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa.
Berbagai struktur tersebut dikembangkan oleh Kagan dengan maksud menjadi alternatif
metode resitasi, yang ditandai dengan pengajuan pertanyaan oleh guru kepada siswa
dalam kelas dan para siswa mengacungkan tangan dan ditunjuk oleh guru. Struktur-
struktur Kagan menghendaki agar para siswa bekerjasama saling bergantung struktur
yang memiliki tujuan umum untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada
pada struktur tujuannya untuk mengerjakan keterampilan sosial.

13. Pengertian Mencari Pasangan


Teknik belajar mengajar mencari pasangan (make a Mattch) dikembangkan oleh
Larana Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan
sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.
Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia
anak didik. Langkah teknik pembelajaran mencari pasangan:
a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topic yang mungkin
cocok untuk sesi revieu (persiapan menjelang tes atau ujian).
b. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
c. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.
Misalnya, pemegang kartu yang bertuliskan Lima akan berpasangan dengan pemegang
kartu PERU. Atau pemegang kartu yang berisi nama KOFI ANNAN akan berpasangan
dengan pemegang kartu SEKRETARIS JENDRAL PBB.
15

d. Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang kartu
yang cocok. Misalnya, pemegang kartu 3+9 akan membentuk kelompok dengan kartu
pemegang kartu 3x4 dan 6x2.
e. Dalam setiap para siswa mendiskusikan menyelesaikan tugas secara bersama – sama.
f. Presentasi hasil kelompok

B. Temuan Hasil Penelitian Yang Relevan


Dalam penelitian ini menggunakan kajian empiris/penelitian yang relevan
yang dilakukan oleh Muhammad Arifin (Skripsi Program Studi S1- PGMTSN
Jurusan Kependidikan Sekolah Dasar & Prasekolah Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang) tahun 2020 dengan judul penelitian Meningkatkan
Kemampuan Berbicara dengan Pembelajaran Kooperatif Model Struktural pada
Siswa Kelas IV MTSN 1 Aceh Tengah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif model


struktural dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa kelas VIII MTSN
Rebalas Grati Pasuruan. (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php
/KMTSNP/article/view/4557)

C. Kerangka Berpikir
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang sulit karena kurangnya
perbendaharaan kosa kata yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, dalam pembelajarannya
berbicara perlu dicari inovasi baru yang mampu merangsang siswa untuk
mengembangkan perbendaharaan kosa kata. Di samping siswa dapat mengalami dan
menemukan sendiri yang ia pelajari juga dapat bekerja sama dalam suasana gotong
royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan
meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Teknik mencari pasangan bisa digunakan
untuk meningkatkan keterampilan berbicara. Dengan begitu, materi berbicara dekat
dengan kehidupan siswa, dialami siswa, dapat merangsang siswa belajar berbicrara.
Pembelajaran yang sarat dengan kriteria di atas adalah
16

pembelajaran keterampilan berbicara berbasis kooperatif melalui teknik


mencari pasangan (bermain peran).

Kerangka Berpikir:

GURU AWAL
KONDISI BELUM MENGGUNAKAN
GURU BELUM PENDEKATAN KOOPERATIF
HASIL SISWA MASIH
MENGGUNAKAN
MODEL KOOPERATIF

SIKLUS I

GURU MENGGUNAKAN PENDEKATAN KOOPERATIF


TINDAKAN

SKLUS II

KONDISI AKHIR
KETERAMPILAN BERBICARA MENINGKAT

D. Hipotesis Tindakan
Jika Pendekatan Kooperatif metode Struktural dengan teknik mencari pasangan
( bermain peran ) diterapkan pada pembelajaran berbicara maka dapat meningkatkan
keterampilan berbicara siswa kelas VIII MTSN 6 Aceh Tngah
17

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian tindakan kelas ini dilakukan di MTsN 6 Aceh Tengah.
Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2020.

B. Subjek Penelitian
Subjek dalam Penelitian yaitu siswa kelas VIII MTsN 6 Aceh Tengah.

C. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah:


1. Informan dalam penelitian yaitu guru yang mengampu kelas VIII MTsN 6
Aceh Tengah
2. Tempat dan kegiatan berupa pembelajaran yang menggunakan Pendekatan
kooperatif metode struktural teknik mencari pasangan dengan bermain
peran menggunakan media elektronik berlangsung didalam kelas VIII
MTsN 6 Aceh Tengah
3. Dokumen yang ada meliputi kurikulum, rencana pelaksanaan
pembelajaran, foto kegiatan pembelajaran, hasil tes siswa.

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik yang dipakai untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah catatan lapangan (lembar observasi), dan tes, serta penugasan.
1. Teknik Analisis data Penelitian
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis diskriptif kuantitatif untuk mengetahui adanya perbedaan
tingkat pemahaman siswa terhadap materi berbicara antara sebelum dan
sesudah tindakan. Selain itu digunakan juga teknik analisis deskriptif
kualitatif untuk mengetahui secara lebih memadai proses pembelajaran
Bahasa Indonesia.
2. Kriteria Keberhasilan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Indikator keberhasilan dikelompokkan menjadi dua aspek, yaitu
indikator keberhasilan proses dan indikator keberhasilan produk.
18

Indikator keberhasilan proses dilihat dari perkembangan proses


pembelajaran berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang
dilakukan oleh guru dan siswa. Keberhasilan proses tersebut didasarkan
atas temuan dari tahapan pemantauan (tahapan observasi dan monitoring).
Sementara itu, indikator keberhasilan produk didasarkan atas
keberhasilan siswa dalam berbicara yang merupakan refleksi tingkat
pemahaman dan keterampilan siswa dalam pembelajaran berbicara dengan
bermain peran.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan ini dilakukan melalui dua siklus. Adapun
mengenai pelaksanaan tindakan seecara umum melalui tahapan sebagai
berikut
SIKLUS I
a. Tahap Persiapan
Dalam tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan adalah :
1) Mengidentifikasi Masalah (mendiskusikan permasalahan) yang
muncul berkaitan dengan rendahnya kemampuan keterampilan
berbicara siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.
2) Merancang pelaksanaan tindakan untuk memecahkan permasalahan
yang berkaitan dengan materi pembelajaran “ menanggapi cerita
tentang peristiwa yang terjadi di sekitar yang disampaiakan secara
lisan “

3) Menyusun format observasi dan instrumen penelitian untuk


mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia,
keterampilan berbicara.
4) Menetapkan jenis data yang akan dikumpulkan dan teknis analisis data
yang digunakan dalam PTK ini.
b. Tahap Implementasi Tindakan
Adapun tindakan yang disepakati adalah sebagai berikut :
1) Membuka pertemuan
2) Mengabsen kehadiran siswa
3) Guru menjelaskan teknik pembelajaran .
4) Guru memutar CD berisi cerita “Sangkuriang”
19

5) Guru membagikan kartu yang isinya tokoh- tokoh dalam cerita.


6) Setiap siswa mendapatkan satu kartu.
7) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu cocok dengan
kartunya.
8) Setiap kelompok berdiskusi tentang cerita yang telah ditampilkan
melalui CD agar dibuat sekenario drama untuk meningkatkan
perbendaharaan kata. Dalam satu kelompok saling membantu.
9) Setiap kelompok mempraktikkan peran tokoh sesuai skenario drama
yang telah dibuat, dan kelompok lain menyimak.
10) Kegiatan evaluasi.
11) Melaksanakan tugas sesuai petunjuk guru.

c. Tahap Observasi.
Dilakukan observasi dan monitoring, serta evaluasi terhadap
pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan. Kriteria keberhasilan tindakan
adalah bahwa para siswa memiliki keterampilan berbicara dengan bermain
peran. Evaluasi dilakukan dengan wawancara agar siswa dapat berbicara
dengan bahasa yang baik dan benar. Tes digunakan untuk mengungkap
tingkat pemahaman siswa mengenai konsep berbicara. Cara berbicara
yang

baik atau tepat antara sebelum dan sesudah tindakan ada pada siklus satu
dan dua.

d. Tahap Analisis dan Refleksi.


Pada tahap ini dilakukan analisis, sintesis dan memaknai hasil
tindakan pertama untuk kemudian disimpulkan apakah perlu merevisi
gagasan umum atau mungkin memikirkan dan merencanakan kembali
jenis tindakan berikutnya yang perlu diterapkan agar siswa dapat memiliki
keterampilan berbicara dengan baik. Begitu seterusnya sampai tindakan ini
dapat tercapai. Dalam implementasi tindakan ini guru menggunakan
metode Struktural dan teknik pembelajaran mencari pasangan, tanya
jaewab, ceramah, observasi, tugas, kerja kelompok, diskusi, presentasi.
20

SIKLUS II
A. Tahap Persiapan
Dalam tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan adalah :
1) Mengidentifikasi Masalah pada siklus I.
2) Merancang pelaksanaan tindakan untuk memecahkan permasalahan
yang berkaitan dengan materi pembelajaran “ menanggapi cerita
tentang peristiwa yang terjadi di sekitar yang disampaiakan secara
lisan “
3) Menyusun format observasi dan instrumen penelitian untuk
mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia ,
keterampilan berbicara.
4) Menetapkan jenis data yang akan dikumpulkan dan teknis analisis data
yang digunakan dalam PTK ini.
B. Tahap Implementasi Tindakan
1) Membuka pertemuan
2) Mengabsen kehadiran siswa
3) Guru menjelaskan teknik pembelajaran
4) Guru memutar CD berisi cerita “Timun Emas”
5) Guru membagikan kartu yang isinya tokoh- tokoh dalam sebuah cerita.
6) Setiap siswa mendapatkan satu kartu.
7) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu cocok dengan
kartunya.
8) Setiap kelompok berdiskusi tentang cerita yang telah ditampilkan
melalui CD agar dibuat sekenario drama untuk meningkatkan
perbendaharaan kata Dalam satu kelompok saling membantu.
9) Setiap kelompok mempraktikkan peran tokoh sesuai skenario drama
yang telah dibuat, dan kelompok lain menyimak.
10) Kegiatan evaluasi.
11) Melaksanakan tugas sesuai petunjuk guru.
21

C. Tahap Observasi.
Dilakukan observasi dan monitoring, serta evaluaisi tehadap
pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan. Kriteria keberhasilan tindakan
adalah bahwa para siswa memiliki keterampilan berbicara dengan bermain
peran. Evaluasi dilakukan dengan wawancara agar siswa dapat berbicara
dengan bahasa yang baik dan benar. Tes digunakan untuk mengungkap
tingkat pemahaman siswa mengenai konsep berbicara. Cara berbicara yang
baik atau tepat antara sebelum dan sesudah tindakan ada pada siklus satu
dan dua.

D. Tahap Analisis dan Refleksi.


Pada tahap ini dilakukan analisis, sintesis dan memaknai hasil
tindakan pertama untuk kemudian disimpulkan apakah perlu merevisi
gagasan umum atau mungkin memikirkan dan merencanakan kembali
jenis tindakan berikutnya yang perlu diterapkan agar siswa dapat memiliki
keterampilan berbicara dengan baik. Begitu seterusnya sampai tindakan ini
dapat tercapai. Dalam implementasi tindakan ini guru menggunakan
metode Struktural dan teknik pembelajaran mencari pasangan, tanya
jawab, ceramah, observasi, tugas, kerja kelompok, diskusi, presenta
22

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Kondisi Awal

Keterampilan berbicara secara lisan dalam pembelajaran Bahasa


Indonesia masih kurang baik dan benar khususnya siswa VIII MTsN 6
Aceh Tengah. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pembelajaran keterampilan bercerita, antara lain faktor dari
guru dan faktor dari siswa itu sendiri. Faktor dari guru dalam proses
kegiatan belajar mengajar (PBM) hanya memberikan pembelajaran
keterampilan bercerita secara teoritis, kurang praktik dan kurangnya alat
peraga. Faktor dari siswa kurangnya perbendaharaan kosa kata yang
akhirnya dalam merangkai bahasa secara lisan masih bercampur dengan
bahasa daerah.
Pengalaman empiris di akhir semester I tahun 2020 peserta didik
kelas VIII MTsN 6 Aceh Tengah menunjukan adanya penguasaan
Kompetensi Dasar Menanggapi cerita tentang peristiwa yang terjadi di
sekitar yang disampaikan secara lisan hasilnya kurang memuaskan, artinya
penguasaan pada kompetensi tersebut yang menjadi dasar dan prasarat
penguasaan kompetensi dasar berikut tidak tuntas dikuasai oleh peserta
didik. Data menunjukkan dari sejumlah 43 siswa kelas VIII , siswa yang
memperoleh nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum(KKM) 65,
hanya 34 siswa (79%), sedangkan yang memperoleh nilai di atas KKM
yaitu sebanyak 9 siswa (21%)
Melihat hasil belajar yang demikian guru akan mengupayakan
perbaikan pembelajaran khususnya dalam penggunaan model
pembelajaran agar penguasaan keterampilan menanggapi cerita tentang
peristiwa yang terjadi di sekitar yang disampaikan secara lisan di kelas
VIII semester II tahun 2020 yang akan datang menjadi lebih baik. Maka
untuk meningkatkan keterampilan berbicara dipilih pembelajaran dengan
model kooperatif yang dapat menumbuhkan rasa saling asah, asih, dan
asuh (saling mencerdaskan). Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi
23

juga dari sesama siswa. Sarwiji Suwandi (http.www.pdk.go.id/ journal/32)


menyimpulkan bahwa sebagian besar pembelajaran bahasa Indonesia
belum mampu mewujudkan siswa mahir berbahasa Indonesia.

2. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian


Siklus I

a. Perencanaan

1) Dilaksanakan selama 105 menit.

2) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

3) Rancangan RPP tentang materi pokok berbicara


4) Mempersiapkan fasilitas dan sarana pendukung:
a) Ruang belajar yang digunakan adalah ruang kelas VIII MTsN 6
Aceh Tengah
b) Buku Pelajaran :
i. Buku Bahasa Indonesia Kelas VIII (BSE), Umri Nuraini,
Indriyani halaman 15 s/d 18.
ii. Buku Saya SenangBerbahasa Indonesia Kelas 5
(ERLANGGA), Hanif Nurcholis,Mafrukhi, halaman 105.

c) Alat Peraga

i. Televisi, DVD, CD cerita, Kartu nama

5) Menyiapkan lembar penilaian

6) Menyiapkan lembar observasi untuk supervisor.

7) Supervisor melakukan observasi terhadap proses pembelajaran


pada siklus I.

b. Pelaksanaan

1) Pra Pembelajaran
a) Siswa dan guru berdo’a bersama.
b) Guru mengabsen siswa
c) Guru dan siswa mempersiapkan media dan alat peraga yang
diperlukan
24

2) Kegiatan Awal
Apersepsi : Motivasi (Menanyakan pada peserta didik) “Mengapa
kita harus mempunyai perbendaharaan kosa kata (Bahasa
Indonesia) yang banyak? Pengetahuan prasarat “Apa yang
dimaksud bercerita?

3) Kegiatan Inti
a) Guru menjelaskan teknik pembelajaran.

b) Anak di ajak memperhatikan sebuah cerita rakyat lewat layar


televisi / DVD.
c) Siswa mencatat pokok – pokok cerita yang didengar.

d) Guru membagi kartu ke semua siswa masing – masing satu


kartu yang berisi nama tokoh dalam cerita.
e) Siswa mencari pasangan tokoh - tokoh yang bisa membentuk
kelompok cerita.
f) Penjelasan guru langkah-langkah bermain peran.

g) Siswa berdiskusi dengan kelompoknya membuat scenario


cerita
h) Setiap kelompok memainkan drama sesuai scenario yang
dibuat.
i) Guru menilai peran siswa dalam memainkan drama.

4) Kegiatan Akhir
a) Siswa dengan bimbingan guru menyimpulkan hasil
pembelajaran.
b) Guru memberi penegasan materi yang telah dipelajari bersama.
c) Guru memberi penghargaan kelompok berupa predikat
kejuaraan dan hadiah sesuai dengan hasil penilaian.
d) Guru memberi pengarahan tentang pentingnya mempunyai
banyak perbendaharaan kata.
e) Guru memberi tugas agar selama di lingkungan sekolah (Jam
sekolah) anak diharuskan menggunakan bahasa Indonesia
dalam berkomunikasi dengan guru maupun dengan teman agar
anak memiliki banyak perbendaharaan kata (bahasa Indonesia)
25

c. Pengamatan/observasi

Selama pelaksanaan pembelajaran siklus I peneliti


berkolaborasi dengan supervisor sebagai pengamat/observer. Tugas
observer adalah mengamati jalannya pembelajaran pada siklus I
dengan panduan lembar observasi yang telah tersedia.
Adapun hal-hal yang dinilai dalam pengamatan meliputi :
1. Pra Pembelajaran
2. Kegiatan Membuka Pelajaran
3. Kegiatan Inti Pembelajaran
4. Pelaksanaan materi pelajaran
5. Strategi pola pembelajaran
6. Pemanfaatan media pembelajaran
7. Penilaian proses dan hasil belajar
8. Penggunaan bahasa
9. Penutup
Adapun hal-hal yang diobservasi tentang kegiatan siswa dalam
proses belajar mengajar meliputi :
1. Keaktifan siswa
2. Kerjasama dalam diskusi
3. Penggunaan bahasa
4. Banyak siswa yang mengerjakan tugas lain
5. Banyak siswa yang mengganggu teman

d. Refleksi

Pengumpulan data dilakukan bersama oleh guru sebagai peneliti


dan supervisor yang diperoleh melalui observasi selama proses
pembelajaran pada siklus I. Pembelajaran pada siklus I setelah
diadakan penilaian pengamatan dan penilaian perbuatan sudah
menunjukkan kemajuan bila dibandingkan nilai yang dicapai oleh
siswa kelas VIII pada tahun 2020.
26

SIKLUS II

a. Tahap Persiapan
1) Mengidentifikasi Masalah pada siklus I.
2) Merancang pelaksanaan pembelajaran.( RPP )
3) Menyusun format observasi dan instrumen penelitian untuk
mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran Bahasa
Indonesia tentang ketrampilan berbicara.
4) Menetapkan jenis data yang akan dikumpulkan dan teknis analisis
data yang digunakan dalam PTK ini.
b. Tahap Implementasi Tindakan
1) Membuka pertemuan
2) Mengabsen kehadiran siswa
3) Guru menjelaskan teknik pembelajaran .
4) Guru memutar CD berisi cerita berjudul “Timun Emas”
5) Guru membagikan kartu yang isinya tokoh- tokoh dalam sebuah
cerita.
6) Setiap siswa mendapatkan satu kartu.
7) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu cocok
dengan kartunya.
8) Setiap kelompok berdiskusi tentang cerita yang telah ditampilkan
melalui CD agar dibuat sekenario drama untuk meningkatkan
perbendaharaan kata Dalam satu kelompok saling membantu.
9) Setiap kelompok mempraktikkan peran tokoh sesuai skenario
drama yang telah dibuat, dan kelompok lain menyimak. ( Guru
melakukan penilaian )
10) Anak mengisi angket

c. Tahap Observasi.
Dilakukan observasi dan monitoring, serta evaluaisi tehadap
pelaksanaan tindakan yang telah dilakukan. Kriteria keberhasilan
tindakan adalah bahwa para siswa memiliki keterampilan berbicara
dengan bermain peran. Evaluasi dilakukan dengan wawancara agar
siswa dapat berbicara dengan bahasa yang baik dan benar.
27

Tes digunakan untuk mengungkap tingkat pemahaman siswa


mengenai konsep berbicara. Cara berbicara yang baik atau tepat antara
sebelum dan sesudah tindakan ada pada siklus satu dan dua.
d. Tahap Analisis dan Refleksi.
Dalam kegiatan refleksi pembelajaran, peneliti berdiskusi
dengan supervisor dan teman sejawat mengenai Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang telah diimplementasikan di kelas pada
proses pembelajaran siklus II. Refleksi Pembelajaran sangat
diperlukan sebagai upaya untuk mengkaji apa yang telah dan belum

terjadi, apa yang dihasilkan, mengapa hal tersebut terjadi, dan apa
yang perlu dilakukan selanjutnya.
Untuk itu selama proses pembelajaran, observer baik
supervisor maupun teman sejawat harus melakukan pengamatan
secara teliti terhadap interaksi antar siswa, siswa dan bahan ajar, siswa
dengan guru dan siswa dengan lingkungannnya.
1) Adapun hasil dari refleksi adalah :
a) Kegiatan pembelajaran berlangsung dengan baik , hal ini
terbukti dari keaktifan siswa selama mengikuti kegiatan
pembelajaran.
b) Siswa merasa senang ketika bermain peran.
c) Siswa merespon pertanyaan dan tugas dari guru dengan baik .
d) Masih ada siswa yang kurang kurang percaya diri dalam
berbicara.

2) Hal-hal yang perlu dilaksanakan untuk menindaklanjuti hasil


refleksi adalah :
a) Guru harus senantiasa mengkondisikan siswa agar siap
melakukan aktivitas belajar.
b) Pertanyaan yang bersifat umum lebih dahulu baru ke individu
supaya semua siswa aktif berfikir.
c) Guru lebih intensif dalam memotivasi siswa untuk berani
menyatakan gagasan.
28

3. Deskripsi Hasil Penelitian


a. Siklus I

1) Deskriptif Kuantitatif

Analisis deskriptif kuantitatif untuk mengetahui peningkatan


pemahaman siswa terhadap materi pokok berbicara melalui model
Kooperatif metode Struktural Teknik Mencari Pasangan

Dari 43 anak pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang


berbicara dengan KKM 65 diperoleh nilai rata-rata 78,43. 40 anak
(93 %) mencapai nilai ketuntasan,sedangkan 3 anak (7%) belum
mencapai nilai ketuntasan.

2) Deskriptif Kualitatif

Analisis deskriptif kualitatif untuk mengetahui tingkat


kualitas proses pembelajaran melalui Pendekatan Kooperatif
metode Struktural Teknik Mencari Pasangan.

Dari data hasil angket diketahui bahwa sebagian besar


siswa menyukai mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang berbicara
yang dilakukan dengan cara bermain peran, karena bisa menambah
perbendaharaan bahasa Indonesia, kerjasama terjalin, saling tukar
pendapat dengan teman. Secara kualitatif semua kelompok diskusi
melaksanakan tugas diskusi dengan baik. Hal ini diketahui dari
rata-rata nilai semua indikator yang mencapai 78,43 serta dari 43
anak 36 anak (84 %) menyukai pembelajaran bahasa Indonesia
dengan menggunakan pendekatan kooperatif.
29

3) Penetapan Skala Penilaian Pada Siklus I

Rentang Huruf Kategori Frekuensi Persentase


Nilai

80 – 100 A Sangat Baik 24 56 %

70 – 79 B Baik 13 30 %

60 – 69 C Cukup Baik 6 14 %

50 – 59 D Buruk 0 0

10 - 49 E Sangat Buruk 0 0

b. Siklus II

1) Hasil Pelaksanaan SIKLUS II

Pelaksanaan pembelajaran untuk siklus II berjalan sesuai


rencana tanpa hambatan yang berarti. Seluruh siswa kelas V yang
berjumlah 43 anak (laki-laki 23 dan perempuan 20) semuanya
hadir. Siswa juga mengikuti pembelajaran dengan baik,
bersemangat, dan semakin bergembira yang dikuatkan dengan
pendapat siswa yang telah dihimpun. Adapun hasil evaluasi yang
dilaksanakan juga meningkat. Pada siklus I tercatat nilai belum
tuntas (di bawah KKM) 3 anak (7 %) dan yang tuntas 40 anak (93
%). Namun, setelah diadakan tindakan pada siklus II tercatat nilai
belum tuntas 1 anak (2 %) dan yang mencapai nilai ketuntasan 42
anak (98 %). Proses pembelajaran juga bisa dikatakan memuaskan,
meskipun masih ada kekurangan yang masih perlu untuk
disempurnakan. Berdasarkan hasil observasi dari kepala sekolah
dan teman sejawat, guru dalam mempersiapakan maupun
melaksanakan pembelajaran sudah cukup baik, apersepsi sudah
dapat menarik perhatian siswa, siswa sudah tidak pasip lagi, tetapi
siswa sudah mau menyampaikan pendapatnya dalam berdiskusi,
siswa saling bekerja sama tukar pendapat.
30

4. Hasil Perbandingan Nilai Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II

Tidak
Uraian KKM Jml Rata- Tuntas Tuntas
Anak Rata Jml % Jml %
kelas Anak anak
Pra
Siklus 65 43 61,00 9 21 34 79
Siklus I 65 43 78,43 40 93 3 7
Siklus II 65 43 84,96 42 98 1 2

5. Diagram Perbandingan Nilai Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II

50 Pra Siklus Siklus I Siklus II

40

30

20

10

0
<
69 70-79 80-10

Hasil Nilai
31

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yangt telah dilaksanakan yang terdiri dari


dua siklus, terdapat peningkatan dalam kegiatan belajar mengajar dari siklus I
ke siklus II, seperti yang terlihat dalam rata-rata hasil belajar dan lembar
pengamatan.

Dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan


kooperatif metode structural dengan menggunakan teknik mencari pasangan
keterampilan berbicara siswa meningkat. Hal tersebut dapat terlihat dalam
kegiatan pembelajaran dapat membuat siswa lebih senang dan aktif dalam
belajar sehingga siswa mampu memahami konsep menanggapi cerita tentang
peristiwa yang terjadi di sekitar yang disampaikan secara lisan.

1. Pembahasan Siklus 1
Dari penelitian pada siklus 1 (pertama), hasil yang didapat kurang
memuaskan. Dari hasil pembelajaran dapat dilihat bahwa masih ada siswa
yang belum menguasai materi. Walaupun nilai rata-rata kelas sudah 78,43
ini dirasa masih belum maksimal, karena masih ada siswa yang nilainya di
bawah KKM

Refleksi dilakukan oleh peneliti dan supervisor dengan


memperhatikan saran guru teman sejawat serta kepala sekolah. Adapun
hasill refleksi yang dilakukan oleh peneliti dan supervisor yaitu melalui
penilaian proses dan hasil belajar dapat diketahui bahwa siswa lebih
meningkat pemahamannya tentang materi berbicara.

a. Berdasarkan kriteria

1) Indikator Keberhasilan Proses.

a) 75 % siswa mampu memahami materi berbicara.

b) 75 % siswa aktif dalam pembelajaran dan kerja kelompok.


32

2) Indikator Keberhasilan Hasil

Indicator keberhasilan hasil penelitian ini yaitu jika 93 % hasil


evaluasi siswa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM 65)

b. Aktifitas belajar siswa


Aktifitas belajar siswa dan aktifitas diskusi kelompok dapat
diketahui bahwa sebagian besar siswa aktif dalam mengikuti proses
pembelajaran dan melaksanakan semua tugas dengan baik. Hal ini
menunjukkan siswa antusias dan menyukai pembelajaran dengan
menggunakan Pendekatan Kooperatif metede Struktural dengan teknik
Mencari Pasangan .

c. Kekurangan pada siklus I

Dari semua keberhasilan tersebut, ada pula beberapa


kekurangan yang muncul selama pelaksanaan siklus I. Kekurangan
atau kelemahan tersebut antara lain :

1) Masih ada beberapa siswa yang hasil nilainya masih di bawah


KKM

2) Waktu yang tersedia terbatas sehingga ada aktifitas belajar yang


pelaksanaannya kurang maksimal.
3) Penggunaan media dan alat peraga kurang optimal
4) Kehadiran supervisor sedikit mempengaruhi aktifitas belajar siswa,
karena perhatian siswa terbagi oleh keberadaan supervisor.
5) Masih ada beberapa siswa yang kurang aktif dan kreatif dalam
mengikuti aktifitas belajar.

d. Rekomendasi untuk pembelajaran pada siklus II :

1) Perlu disusun RPP perbaikan untuk siklus II dengan


memperhatikan semua kekurangan yang muncul pada siklus I.
2) Peneliti harus memperbaiki alokasi waktu untuk setiap poin
kegiatan belajar.
3) Siswa perlu lebih dipersiapkan dengan menjelaskan tentang
kehadiran supervisor dan adanya pemotretan.
33

e. Perbaikan rancangan pembelajaran untuk siklus II :


Rancangan pembelajaran untuk suklus II disusun berdasarkan
hasil refleksi pada siklus I dengan mengacu pada kendala dan masalah
yang ditemukan pada siklus I serta usulan dari supervisor dengan tetap
menerapkan Pendekatan Kooperatif metode structural teknik Mencari
Pasangan pada pembelajarannya.

2. Pembahasan Siklus II
a. Penetapan Skala Penilaian Pada Siklus II

Rentang Nilai Huruf Kategori Frekuensi Persentase

80 – 100 A Sangat Baik 30 70 %

70 – 79 B Baik 12 28 %

60 – 69 C Cukup Baik 1 2%

50 – 59 D Buruk 0 0

10 - 49 E Sangat Buruk 0 0

b. Rekapitulasi Ketuntasan Hasil Belajar Siklus II

Hasil dari siklus II jumlah anak mencapai ketuntasan 42 anak


(98%), sedangkan yang tidak tuntas 1 anak (2 %),nilai rata-rata kelas
84,9.

Dari data yang diperoleh bahwa siswa cukup berhasil dalam


menguasai materi karena persentase untuk perolehan rentang nilai 80 –
100 mencapai 70 % (kategori sangat baik/A).

c. Kendala dan masalah yang muncul dalam pelaksanaan pembelajaran


untuk siklus II

Pada siklus II masih ada 1 siswa yang masih kesulitan dalam


penggunaan bahasa Indonesia secara benar dan santun (secara lisan).
Siswa yang masih kesulitan dalam penggunaan bahasa Indonesia
secara lisan, dikarenakan hal-hal sebagai berikut :
34

1) Siswa kurang aktif dalam berdiskusi


2) Siswa dalam berkomunikasi kurang percaya diri

d. Upaya Perbaikan
Upaya – upaya guru di dalam mengatasi masalah – masalah
tersebut di atas, agar siswa kelas VIII MTsN 6 Aceh Tengah mampu
berkomunikasi memakai bahasa Indonesia secara lisan dengan benar
dan santun, guru mewajibkan siswa menggunakan bahasa Indonesia
dalam berkomunikasi di sekolah baik di dalam kelas maupun di luar

kelas ( kecuali dalam mata pelajaran bahasa daerah). Siswa harus


banyak bertanya seandainya mengalami kesulitan dalam penggunaan
bahasa Indonesia (baik kepada guru maupun kepada teman ) agar
mempunyai banyak perbendaharaan bahasa Indonesia. Siswa juga
disarankan agar gemar membaca buku.
35

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penerapan pendekatan kooperatif metode struktural dengan teknik


mencari pasangan dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada MTsN 6
Aceh Tengah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa hal yang sebaiknya di


lakukan oleh guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran untuk
memperoleh hasil yang memuaskan, di antaranya:

1. Guru perlu mengadakan evaluasi dalam setiap pembelajaran Bahasa


Indonesia guru mengetahui kekurangan-kekurangan untuk di perbaiki dan
keberhasilan-keberhasilan yang di capai untuk di pertahankan.
2. Guru hendaknya memiliki kemampuan yang baik dalam menganalisa
permasalahan yang terjadi dalam suatu pembelajaran Bahasa Indonesia.
3. Guru harus pandai menumbuhkan minat, daya tarik dan motivasi siswa
terhadap mata pelajaran Bahasa Indonesia khususnya materi berbicara.
4. Guru harus dapat memberi kesempatan siswa untuk berperan aktif dalam
proses pembelajaran.
5. Guru hendaknya menggunakan alat peraga / media dalam pembelajaran
6. Guru harus menciptakan lingkungan yang kondusif guna mendukung
keberhasilan pembelajaran.
36

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Rofi’udin, Darmiyati Zuhdi, 2001 Pendidikan Bahasa dan Sastra


Indonesia di Kelas Tingg,. Universiatas Negeri Malang
H Martinis Yamin, Gaung Persada Press, Komplek Kejaksaan Agung Blok E1/ 3,
Cipayung Ciputat 15419. Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP.
Sabarti Akhadiyah M.K, dkk 1991/199. Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan,
Bahasa Indonesia I dan III, Depdikbud.Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi
Sugianto, 2008, Panitia Sertifikasi Guru ( PSG ), untuk Rayon 13 Surakarta.
Isjoni, 2009, Cooperatif Learning, Alfabeta Bandung,
Marthinis Yamin, 2007,Kiat Membelajarkan siswa, Jakarta,Gaung Persada Press
Jakarta
Oemar Hamalik, 2009, Proses Belajar Mengajar, Bumi Aksara Jakarta,
Sobry Sutikno, 2009, Belajar Dan Pembelajaran, Prospect Bandung,
Pupuh Fathurohman, 2009, Strategi Belajar Mengajar, Refika Aditama Bandung
Muhammad Arifin, 2009, Meningkatkan Kemampuan Berbicara dengan
Pembelajaran Kooperatif Model Struktural pada Siswa Kelas IV MTSNN
Rebalas Grati Pasuruan, diakses pada tanggal 29 Juni 2010 pukul 19.48,
dari http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/KMTSNP/article/view/4557
37

Anda mungkin juga menyukai