Oleh:
Rahulfi Alfajrul
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas Essay yang berjudul Digitalisasi
Pengkaderan Ikatan ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari Essay ini adalah untuk memenuhi tugas
Pelatihan Instrukter Madya (PIM). Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Digitalisasi Pengkaderan Ikatan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Panitia PIM Padang yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan Essay ini.
Saya menyadari, essay yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
essay ini.
Rahulfi Alfarul
Pendahuluan
Digitalisasi merupakan proses alih media dari bentuk tercetak menjadi bentuk
elektronik. Dengan digitalisasi pengkaderan ikatan dapat ditingkatkan serta
menyesuaikan dengan zaman sekarang. Dalam melaksanakan kegiatan digitalisasi
ikatan harus memiliki kebijakan/ aturan koleksi apa saja yang perlu dialih mediakan.
Pembahasan
Digitalisasi adalah proses alih media dari bentuk tercetak, audio, maupun video
menjadi bentuk digital. Digitalisasi dilakukan untuk membuat arsip dokumen bentuk
digital, untuk fungsi fotokopi, dan untuk membuat koleksi perpustakaan digital.
Digitalisasi memerlukan peralatan seperti komputer, scanner, operator media sumber
dan software pendukung (Sukmana, 2005). Sedangkan menurut Lasa Hs, Digitalisasi
adalah proses pengelolaan dokumen tercetak/ printed document menjadi dokumen
elektronik.
Tingkat mobilitas yang tinggi dalam distribusi media modern sudah menjadi
tuntutan yang wajar dalam masyarakat informasi. Tingkat mobilitas dan arus lalu lintas
informasi telah menjadi pola perubahan sistem distribusi dalam media massa. Selain
itu, media komunikasi modern juga memusatkan pola duplikasi, sistem satelit,
digitalisasi informasi jarak jauh, tele-text dalam seluruh proses distribusi media
komunikasi modern. Argumentasi hubungan teknologi dengan media informasi adalah
logika perkembangan yang ekspansif proses komunikasi publik secara global.
Masyarakat tidak bisa lagi mengelakkan diri dari proses komunikasi. Komunikasi
sudah menjadi kebutuhan utama. Komunikasi membutuhkan media untuk menjadi
penghantar (menyangkut teknologi informasi yang mempermudah manusia mengirim
dan menerima pesan). Ketika ruang dan waktu menjadi faktor yang membatasi proses
komunikasi maka diperlukan teknologi yang mengusahakan masalah tersebut.
Teknologi komunikasi dibuat dan dikembangkan untuk menyokong proses komunikasi
manusia.
Pertama, prinsip ‘design with user’. Program kaderisasi tidak bisa lagi
dirancang dengan sistem yang bersifat patrimonial, atas-bawah. Logika hirarki vertikal
tidak relevan di zaman digital. Pusat tidak bisa menentukan daerah. Senior tidak bisa
lagi menyetir juniornya. Aras digital mengandaikan sesuatu yang bersifat egaliter,
horizontal, berorientasi pada kenyamanan pengguna (user friendly), bukan kehendak
pembuat.
Maka program kaderisasi tidak bisa dirancang dengan sistem yang mengalir dari
atas ke bawah, tetapi sebaliknya dari bawah ke atas. Setiap program kaderisasi harus
mendengarkan apa mau ‘user’-nya, apa yang mereka harapkan. Nilai-nilai dan prinsip
organisasi harus diinjeksi kepada ‘kader’ dengan pertanyaan: Apa yang bisa organisasi
ini bantu untuk mewujudkan cita-citamu? Jika jawaban itu bisa ditemukan, mereka
akan menggerakkan organisasi karena melihat ada diri mereka di dalamnya.
Ketiga, dirancang untuk bisa diperbesar skalanya atau ‘design for scale’.
Karena sifatnya yang horizontal sebagaimana saya terangkan di poin nomor satu, maka
sistem perkaderan tidak lagi bisa didiskriminasi. Materi di pusat berbeda dengan di
wilayah dan di wilayah berbeda dengan di daerah, dan seterusnya. Karena pengetahuan
sudah bersifat terbuka, maka transfer ilmu pengetahuan tidak boleh bersifat
diskriminatif.
Tidak boleh ada prasangka bahwa orang daerah kurang bisa memahami materi
dibandingkan dengan orang kota, misalnya. Yang perlu ditentukan justru bukan
perbedaan materi, tetapi perbedaan skalanya. Skala implementasi pengetahuan yang
sama di level daerah tentu berbeda dengan di level provinsi.
Kelima, ‘be data driven’. Dengan mengadopsi teknologi digital yang ada
sekarang, materi, program, dan pelaksanaan kaderisasi haruslah berbasis pada data. Apa
yang dibutuhkan kader di Sulawesi Utara barangkali berbeda dengan yang dibutuhkan
kader di Jawa Barat dan seterusnya. Data harus menjadi basis bagi semua pembuatan
keputusan terkait kaderisasi ini. Data itu diperoleh dari kebutuhan (need) dan tuntutan
(demand) yang mengacu pada prinsip pertama tadi: ‘design with user’.
Keenam, ‘use open standards, open source, open innovation’. Karena setiap
program harus memiliki prinsip keberlanjutan, maka karakteristiknya pun harus bersifat
terbuka. Program Nasyiatul Aisyiyah harus bisa dilanjutkan Pemuda Muhammadiyah,
Program IPM harus bisa di-’scale up’ oleh IMM, dan seterusnya. Seperti permainan
‘lego’ setiap program harus bisa disusun dan dihubungkan ke program lain. Pun
program yang sama, harus bisa dilanjutkan atau dihubungkan pelaksanaan lanjutannya
oleh pihak lain dari ortom yang lain.
Ketujuh, ‘reuse and improve’. Tidak boleh ada materi, bahan, atau produk
apapun yang berhubungan dengan program bersifat sekali pakai dan dibuang. Contoh
yang paling mudah untuk mengimplementasikan ini adalah ‘spanduk’ atau
‘background’ acara, jangan lagi menggunakan bahan cetak. Mulai pikirkan untuk
menggunakan teknologi digital. Gunakan LED, projector, atau perangkat digital lain
yang bisa ‘reuse and improve’. 100 kali mencetak spanduk bisa jadi lebih mahal
dibanding sekali membeli ‘projector’.