Anda di halaman 1dari 16

2.

3 Polip Nasal
2.3.1 Definisi
Polip nasi ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat
digerakkan. Polip timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang
diakibatkan proses inflamasi biasanya bilateral.2,4

2.3.2 Epidemiologi
Polip nasi biasanya diderita oleh orang dewasa usia 30-60 tahun.
Laki-laki lebih dominan dengan perbandingan 2:1 sampai 4:1.Prevalensi
polip hidung dari seluruh orang dewasa Thailand sekitar 1-4%.Prevalensi
pada anak-anak jauh lebih rendah. Prevalensi polip hidung di Swedia
sekitar 2,7% dengan laki-laki lebih dominan 2,2:1. Di Finlandia,
prevalensi polip nasi sekitar 4,3%. Di Amerika Serikat dan Eropa,
prevalensi polip 2,1-4,3%.2,,4

Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri Herawati melaporkan


penderita polip nasi sebesar 4,63% dari semua pengunjung poliklinik
THT-KL RS.Dr. Soetomo Surabaya. Rasio pria dan wanita 2-4:1. Di
RSUPH.Adam Malik Medan selama Maret 2004 sampai Februari 2005,
kasus polip nasi sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9
wanita(35%). Selama Januari sampai Desember 2010 didapatkan kasus
polip nasi sebanyak 43 orang terdiri dari 22 pria (51,2%) dan 21
perempuan (48,8%). Indrawati (2011) melakukan penelitian di RS DR.
SardjitoYogyakarta, melaporkan terdapat 24 penderita polip dimana tipe 1
sekitar20,8%, tipe 2 sekitar 58,3%, tipe 3 sekitar 16,7% dan tipe 4 sekitar
4,2%.2
Faktor genetik dianggap berperan dalam etiologi polip nasi.Sekitar
14% penderita polip memiliki riwayat keluarga menderita polip nasi.Etnis
dan geografis memiliki peranan dalam patofisiologi polip. Pada populasi

1
Caucasian dominan polip eosinofilik sementara di Asia dominan
neutrofilik.2,4

2.3.3 Etiologi
Polip nasal
biasanyaterbentuksebagaiakibatreaksihipersensitifataureaksialergipadamuk
osahidung.
Perananinfeksipadapembentukanpoliphidungbelumdiketahuidenganpastitet
apiadakeragu – raguanbahwainfeksidalamhidungatau sinus paranasal
seringkaliditemukanbersamaandenganadanyapolip.
Polipberasaldaripembengkakanlapisanpermukaanmukosahidungatau sinus,
yang kemudianmenonjoldanturunkedalamronggahidungolehgaya berat.1-
Polipbanyakmengandungcairaninterselulerdanselradang
4,6

(neutrofildaneosinofil) dantidakmempunyaiujungsarafataupembuluhdarah.
Polipbiasanyaditemukanpada orang dewasadanjarangpadaanak – anak.
Padaanak – anak, polipmungkinmerupakangejaladarikistik fibrosis.17

Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain


alergi terutama rinitis alergi, sinusitis kronik, iritasi, dan sumbatan hidung
oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum danhipertrofi konka.17

2.3.4 Patofisiologi
Alergi ditengarai sebagai salah satu faktor predisposisi polip
hidung karena mayoritas polip hidung mengandung eosinofil, ada
hubungan polip hidung dengan asthma dan pemeriksaan hidung
menunjukkan tanda dan gejala alergi. Suatu meta-analisis menemukan
19% dari polip hidung mempunyai Ig E spesifik yang merupakan
manifestasi alergi mukosa hidung.17,18
Ketidakseimbangan vasomotor dianggap sebagai salah satu faktor
predisposisi polip hidung karena sebagian penderita polip hidung tidak
menderita alergi dan pada pemeriksaan tidak ditemukan alergen yang
dapat mencetuskan alergi.Polip hidung biasanya mengandung sangat
sedikit pembuluh darah. Regulasi vaskular yang tidak baik dan

2
meningkatnya permeabilitas vaskular dapat menyebabkan edema dan
pembentukan polip hidung.2,18
Fenomena Bernouilli terjadi karena menurunnya tekanan akibat
konstriksi. Tekanan negatif akan mengakibatkan inflamasi mukosa hidung
yang kemudian memicu terbentuknya polip hidung.Ruptur epitel mukosa
hidung akibat alergi atau infeksi dapat mengakibatkan prolaps lamina
propria dari mukosa. Hal ini akan memicu terbentuknya polip hidung.2,18
Infeksi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan
polip hidung. Hal ini didasari pada percobaan yang menunjukkan rusaknya
epitel dengan jaringan granulasi yang berproliferasi akibat infeksi bakteri
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus atau Bacteroides
fragilis (merupakan bakteri yang banyak ditemukan pada rhinosinusitis)
atau Pseudomonas aeruginosa yang sering ditemukan pada cystic
fibrosis.19

2.3.5 Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin. Berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif
(bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah
ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip
dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun
warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung
jaringan ikat.5
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostiomeatal
di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan
endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang
tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip
koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan

3
disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang
berasal dari sinus etmoid.5

2.3.6 Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan
mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan
submukosa yang sembab. Sel-sel nya terdiri dari limfosit, sel plasma,
eosinofil, neutrophil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet.
Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama
dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara,
menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.5

2.3.7 Gejala Klinis


Gejalautama yang ditimbulkanolehpoliphidungadalah rasa
sumbatan di hidung. Sumbataninitidakhilang – timbuldanmakin lama
semakinberatkeluhannya. Padasumbatan yang
hebatdapatmenyebabkangejalahiposmiaatau anosmia.
Bilapolipinimenyumbat sinus paranasal,
makasebagaikomplikasinyaakanterjadi sinusitis
dengankeluhannyerikepaladan rinore.4,18

Bilapenyebabnyaadalahalergi, makagejala yang


utamaialahbersindaniritasi di hidung.
Biladisertaiinfeksisekundermungkindidapatkan post nasal drip
danrinorheapurulen. Gejalasekunder yang
dapattimbulialahbernapasmelaluimulut, suarasengau, halitosis,
gangguantidurdanpenurunankualitashidup.
Dapatmenyebabkangejalapadasalurannapasbawah,
berupabatukkronikdanmengi, terutamapadapenderitapolipnasidengan
asma.4,18

4
Padapemeriksaanfisik, polipnasi yang
masifdapatmenyebabkandeformitashidungluarsehinggahidungtampakmeka
rkarenapelebaranbatanghidung. Padarinoskopi anterior
poliphidungseringkaliharusdibedakandarikonkahidung yang
menyerupaipolip (konkapolipoid).
Perbedaannyaadalahmassaberwarnapucatberasaldari meatus medius,
bertangkai, mudahdigerakkan, konsistensilunak, tidaknyeribiladitekan,
tidakmudahberdarahdanpadapemakaianvasokonstriktor (kapas adrenalin)
tidak mengecil.4,18

2.3.8 Diagnosis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat
dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen,
hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin, bersin, rasa nyeri pada
hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder
mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang
dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala
pada salurannapas bawah, berupa batuk kronik dan mengi terutama pada
penderita polip nasidengan asma. Selain itu harus ditanyakan riwayat
rintisalergi, asma, intoleransi terhadap aspirin danalergi obat lainnya serta
alergi makanan.5,18
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar
sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior terliha tsebagai massa yang berwarna pucat
yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.5
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu
diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang
tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan
pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat
dilihat tangkai polip yang berasai dari ostium asesorius sinus maksila.2,4,5

5
Gambar 12. Polip di hidung
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan
lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara
cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermafaat pada kasus polip.
Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk
melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada
proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis
dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. CT scan
diindikasikan pada kasus polip yang gagal terapi medikamentosa, ada
komplikasi sinusitis dan rencana tindakan bedah terutama bedah sinus
endoskopi fungsional.5
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas penegakan
diagnosa polip hidung. Menurut Hellquist (1996), ada empat tipe
histopatologi polip hidung, antara lain : Edematous, Eosinophilic Polyp
(Allergic Polyp), Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp),
Chronic Inflammatory Polyp (Fibroinflammatory Polyp) dan Polyp with
Stromal Atypia.18,19

2.3.9 Stadium polip17,20


Tabel 1. Stadium Polip Menurut Mackay and Lund 1995.

Kondisi Polip Stadium

Tidak ada polip 0

6
Polip terbatas pada meatus media 1
Polip sudah keluar dari meatus media tetapi belum 2
memenuhi rongga hidung
Polip yang massif (memenuhi rongga hidung) 3

Tabel 4. Stadium Polip Menurut Yamada et al 2000.


Kondisi Polip Stadium

Tidak ada polip 0


Polip di meatus media dan belum mencapai batas bawah 1
konka media
Polip belum mencapai titik tengah antara batas bawah 2
konka media dan batas atas konka inferior
Polip belum melewati batas bawah konka inferior 3
Polip melewati batas bawah konka inferior 4

2.3.10Penatalaksanaan4,17,18,21
Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien.Penyakit
ini sering berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai
bertahun-tahun.Dengan demikian pengobatannya bertujuan untuk
mengurangi besarnya atau menghilangkan polip agar aliran udara hidung
menjadi lapang dan penderita dapat bernafas dengan baik.Selanjutnya
gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman kembali
normal.Terdapat beberapa pilihan pengobatan untuk polip nasi mulai dari
pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional sederhana dengan
menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi yang memakai
alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap
tinggi sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang.
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah

7
menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah
rekurensi polip.Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi
disebut juga polipektomi medikamentosa.Dapat di berikan topikal atau
sistemik.Polip eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap
pengobatan kortikosteroid intranasi dibandingkan polip tipe
neutrofilik.Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa
atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah.Dapat
dilakukan ekstraksi polip (polipektomi)menggunakan senar polip atau
cunam dengananalgesi Iokal etmoidektomi intranasal atauetmoidektomi
ekstranasal untuk polip etmoid,operasi Caldwell-Luc untuk sinus
maksila.Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitasendoskop maka dapat
dilakukan tindakanBSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional).Berdasarkan guideline PERHATI-KL, stadium 1 (menurut
Mackay and Lund) dapat diterapi dengan medikamentosa (polipektomi
medikamentosa), untuk stadium 2 dapat diterapi medikamentosa atau
operasi dan stadium 3 dianjurkan untuk dioperasi.
Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.
Pengelolaanpolip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi
sayangnya penyebabpolip nasi belum diketahui secara pasti. Karena
penyebab yang mendasari terjadinyapolip nasi adalah reaksi alergi,
pengelolaanya adalah mengatasi reaksi alergi yangterjadi. Polip yang
masih kecil dapat diobati dengan konservatif.

1. Terapi Konservatif
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi
disebut juga polipektomi medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2,
sebaiknya diberikan kortikosteroid intranasal selama 4-6 minggu. Bila
reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip atau gejalanya
hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak adaperbaikan maka diberikan
juga kortikosteroid sistemik.
a. Kortikosteroid spray

8
Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif
unutkpolip yang masif. Kortikosteroid topikal, intranasal spray,
mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif
untukmencegah kekambuhan.
b. Kortikosteroid sistemik
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangkapendek pada
polipnasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan
kortikosteroidsistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali
setahun,terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan
operasi.Prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian
dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).
c.Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5
lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator
inflamasi.

2. Terapi operatif
Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar,
berulang,dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal sehingga
tidak dapat diobati dengan terapikonservatif. Antibiotik sebagai terapi
kombinasi pada polip hidung bisa kita berikansebelum dan sesudah
operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuklangkah
profilaksis pasca operasi .

9
Gambar 13. Algoritma Penatalaksanaan Polip Hidung & Sinus Paranasal

10
2.4.10 Prognosis
Untukpolip yang ukurannyasudahbesardilakukanektraksipolip
(polipektomi) denganmenggunakansenarpolip. Selainitubilaterdapat
sinusitis, perludilakukandrainase sinus.
Olehkarenaitusebelumoperasipolipektomiperludibuatfoto sinus paranasal
untukmelihatadanya sinusitis yang menyertaipolipiniatautidak. Selainitu,
padapasienpolipdengankeluhansakitkepala, nyeri di daerah sinus
danadanyaperdarahanpembuatanfoto sinus paranasal tidakbolehdilupakan.
Prosedurpolipektomidapatmudah dilakukan dengan senar polip setelah
pemberian dekongestandananestesilocal.

2.3.11 Prognosis

Umumnyasetelahpenatalaksanaan yang dipilih prognosis


poliphidunginibaik (dubiaetbonam) dangejala-gejala nasal dapatteratasi.
Akan
tetapikekambuhanpascaoperasiataupascapemberiankortikosteroidmasihseri
ngterjadi. Untukitu follow-up pascaoperatifmerupakanpencegahandini
yang
dapatdilakukanuntukmengatasikemungkinanterjadinyasinekiadanobstruksi
ostia pascaoperasi,
bagaimanapatensijalannafassetelahtindakansertakeadaan sinus,
pencegahaninflamasipersisten, infeksi, danpertumbuhanpolipkembali,
sertastimulasipertumbuhanmukosa normal.
Untukitusangatpentingdilakukanpemeriksaanendoskopi post operatif.
Penatalaksanaanlanjutandengan intra nasal
kortikosteroiddidugadapatmengurangiangkakekambuhanpolip hidung,22,23

11
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa


hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat.Rinitis dan sinusitis
umumnya terjadi bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang diterima adalah
rinosinusitis.Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.
Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatanpada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
Etiologi polip terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu
pada proses alergi,sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya
rinosinusitis.
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia,
adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata,
adanya sekret hidung. Penegakan diagnosis polip nasi dapat didapatkan
dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai, mudah
digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor lokal.Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif
maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri
dan keluhan dari pasien sendiri.
Diagnosis sinusitis ditegakkan berdasarkan klinis, baik gejala maupun
tanda yang didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau prosedur
diagnostik lain seperti pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnosis sinusitis akut
berdasarkan EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps) tahun 2012, yaitu adanya onset tiba-tiba 2 atau lebih gejala, dimana salah
satunya yaitu hidung tersumbat atau sekret nasal (anterior atau postnasal drip)
disertai sensasi nyeri atau tertekan pada wajah dan perubahan kemampuan

12
menghidu. Pemeriksaan fisik berupa rinoskopi anterior yang menunjukkan adanya
pembengkakan, kemerahan dan pus.
Antibiotik merupakan pengobatan yang paling sering digunakan dalam
tatalaksana sinusitis akut. Tatalaksana sinusitis viral lebih difokuskan pada kontrol
gejala, karena ini merupakan suatu keadaan yang akan membaik spontan (self
limited disease). Antibiotik yang direkomendasikan yaitu amoksisilin sebagai
terapi lini pertama. Pemberian analgesik dan antipiretik akan membantu
mengurangi gejala nyeri dan demam. Penggunaan dekongestan, baik lokal
maupun sistemik dapat membantu meringankan gejala yang dikeluhkan pasien.
Tindakan operatif dibutuhkan bila pasien mengalami gejala yang terus menerus
dan bila terbukti adanya kelainan pada mukosa yang persisten.
Gejala akan membaik secara sempurna dengan pengobatan medis hingga
mencapai 90% kasus. Komplikasi rinosinusitis bakterial akut diperkirakan terjadi
1 dari 1000 kasus. Komplikasi sinusitis dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kategori yaitu komplikasi orbital, intrakranial dan pada tulang.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Mackay DN. Antibiotic therapy of the rhinitis & sinusitis. Dalam : Settipane
GA, penyunting. Rhinitis. Edisi ke-2. Rhode Island: Ocean Side
Publication;1991. p. 253-5.

2. Mangunkusumo Endang, Soetjipto Damajanti. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta:
FKUI,2010: h. 152

3. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

4. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA,


Iskandar. Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.hal.122-124.

5. Hwang PH, Abdalkhani A. Anatomy and Physiology of the Nose and


Paranasal Sinuses. In James B, Snow JR, Wackym PA, eds. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 17th ed. Vol 1. Connecticut: BC
Decker Inc, 2009:484-494

6. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta. 2000

7. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al
eds. Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier Mosby, 2005; 1-4.

8. USA: American Academy of Otolaryngology—Head and Neck Surgery


Foundation;2015:p1-39.

9. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses


and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat
Disease With Head and Neck Surgery. 3 rd Ed. Thieme: New York.
2009.p.155-66.

10. Anonim. 2001. Sinusitis, dalam Kapita Selekta Kedokteran, ed. 3. Media
Ausculapius FK UI. Jakarta : 102-106.

11. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies
LR,Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th
ed.Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90

14
12. Sobol SE, Schloss MD, Tewfik TL. Acute Sinusitis Medical
Treatment.August 8, 2005. Available from: http://www.emedicine.com.
Accessed December 20, 2010

13. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Infections of the Upper Respiratory
Tract.In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL,editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New
York, NY:McGraw Hill; 2005. p. 185-93

14. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F,
Soejak S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-
91

15. Anugrahani A, Madaidipoera T, Dermawan A. Korelasi Otitis Media dengan


Temuan Nasoendoskopi pada Penderita Rinosinusitis Akut. ORLI. 2015:
45(2): 101-108.

16. Behrbohm H, Kaschke O, Nawka T, Swift A. Chapter II. Nose, Nasal Sinuses
and Face, Acute and Chronic Rhinosinusitis. In : Ear, Nose and Throat
Disease With Head and Neck Surgery. 3 rd Ed. Thieme: New York.
2009.p.155-66.

17. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on


rhinosinusitis and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139

18. Mansjoer,Arif,Kuspuji Triyanti,Rakhmi Savitri, dkk. 2001. Polip Hidung.


Kapita Selekta Kedikteran ed.III jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Hal: 113-4.

19. Soetjipto, Damayanti dan Retno Wardani. 2008. Hidung. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi VI. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. Hal:118-22.

20. Adams, George, Lawrence Boies and Peter Hiegler. 2009. Rhinosinusitis
Alergika. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok ed.VI.
Philadelphia: W.B. Saunders. Hal.210-217.

21. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia (PERHATI-KL). 2007.


Polip Hidung dan Sinus Paranasal (Dewasa) Penatalaksanaan. Guideline
Penyakit THT di Indonesia. Hal.58.

22. Ahmad MaymaneJahroni. The Epidemological& Clinical aspect of


NasalPolyps that Require Surgery. Iranian Journal Of
Otorhynolaryngology.2012: 2 (4) : 72-75

15
23. Assanasenparaya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps.
Current Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9: 27-36

16

Anda mungkin juga menyukai