Anda di halaman 1dari 5

Al ahruf as sab'ah

Abu Ya’la mengeluarkan sebuah riwayat di dalam kitab Musnad-nya bahwa Utsman pernah
berkata di atas mimbar: “Saya ingin menyebut seseorang yang mendengar Rasulullah saw.
bersabda: Innal Qur’aana unzila‘alaa sab’ati ahrufin, kulluha syaafin kaafin (sesungguhnya Al-
Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, kesemuanya lengkap dan mencukupi).” Dan ketika
Utsman berdiri, merekapun berdiri, sehingga tidak terhitung (banyaknya yang hadir) maka
mereka menjadi saksi atas hal tersebut, lalu Utsman berkata, “Dan saya juga bersaksi bersama
mereka.”Saya akan mengemukakan dari periwayatan mereka apa yang sekiranya diperlukan,
bahwa telah diperselisihkan tentang makna hadits tersebut, sebagaimana berikut ini.
1. Hadits ini termasuk yang musykil (sulit) untuk diketahui maknanya,karena huruf secara
bahasa dapat diartikan dalam berbagai makna,antara lain huruf hija’ atau kalimat atau makna
atau al-jihah/arah.Pendapat ini dikatakan oleh Sa’dan an-Nahwi.

2. Sesungguhnya bukanlah yang dimaksud dengan tujuan di sini jumlah yang sebenarnya. Tetapi
yang dimaksud adalah mudah, gampang, dan leluasa, sedangkan kata sab’ah dipakai untuk
mengungkapkan banyak dalam bilangan satuan, sebagaimana tujuh puluh dalam bilangan
puluhan, tujuh ratus dalam bilangan ratusan, dan (di dalam hadits ini) tidak dimaksudkan
jumlah tertentu. Ini adalah pendapat ‘Iyadh dan orang-orang yang bersamanya.

Pendapat ini dibantah (ditolak) oleh apa yang ada di dalam hadits Ibnu Abbas. Di dalam kedua
kitab Shahih (Bukhari dan Muslim),sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Aqra’ani Jibril ‘alaa
harfin,fa raaja’tuhu falam azal astaziiduhu wa yaziiduni hatta antahii ilaa sab’ati ahrufin.”
Artinya: Jibril telah membacakan kepadaku berdasarkan satu huruf, kemudian aku merujuk
kepadanya dan aku terus meminta tambahan kepadanya dan ia pun menambahiku, hingga aku
sampai pada tujuh huruf.

Di dalam haditsnya, Ubay (bin Ka’ab), di dalam Shahih Muslim dikatakan, “Sesungguhnya
Tuhanku telah mengutus (Jibril) kepadaku agar aku membaca Al-Qur’an berdasarkan satu
huruf. Kemudian aku kembali kepadanya agar ia memberikan keringanan pada umatku,maka ia
mengutus kepadaku agar aku membacanya berdasarkan dua huruf. Kemudian aku kembali
kepadanya agar ia memberi keringanan pada umatku, kemudian ia mengirim utusan kepadaku
agar aku membacanya berdasarkan satu huruf.”
Di dalam suatu riwayat yang ada pada Imam an-Nasa’i dikatakan,“Sesung guhnya Jibril dan
Mikail telah datang kepadaku (Muhammad), kemudian Jibril duduk di sebelah kananku dan
Mikail di sebelah kiriku, kemudian Jibril berkata, ‘Bacalah (ya Muhammad) Al-Qur’an ini
berdasarkan satu huruf,’ kemudian Mikail berkata, ‘(Ya Muhammad), mintalah tambahan,
hingga mencapai tujuh huruf.’”
Di dalam hadits Abi Bakrah dari Imam an-Nasa’i dikatakan: “Bacalah (ya Muhammad), maka aku
memandang Mikail, tetapi ia diam, makaaku mengetahui bahwa jumlah/bilangannya telah
habis.”Berdasarkan riwayat ini semua maka menunjukkan bahwa jumlah tersebut (yakni tujuh
huruf) itu merupakan jumlah sebenarnya yang dimaksudkan dan merupakan batas terakhir.

3. Pendapat yang ketiga ini mengatakan bahwa yang dimaksud (dengan tujuh huruf) adalah
“tujuh qira’at”, dan sebagai catatan bahwasanya tidak ada di dalam Al-Qur’an satu kalimat (satu
kata) pun yang dibaca berdasarkan sab’atu aujuh (tujuh cara), kecuali sedikit, seperti “wa
‘abada ath-thaaghuut ” (QS. al-Ma’idah: 60) dan “Fa laa taqul lahumaa uffin” (QS. al-Isra’: 23).

4. Pendapat tersebut dijawab bahwa yang dimaksud (dengan tujuh huruf) adalah setiap kalimat
dibaca dengan satu, dua, atau tiga cara atau bahkan lebih, sampai tujuh. Sesuatu yang musykil
(sulit) apabila ada yang dibaca melebihi tujuh, dan jawaban ini pantas untuk menjadi pendapat
yang keempat.

5. Pendapat yang kelima mengatakan bahwa yang dimaksud (tujuh huruf)adalah tujuh cara
membaca dengan mengubah bacaannya. Pendapatini dikemukakan oleh Imam Ibnu Qutaibah,
sebagaimana yang ia
katakan sebagai berikut:

Pertama, sesuatu yang berubah harakatnya, tetapi tidak hilang makna dan bentuknya, seperti:
“Wa laa yudhaarra kaatibin” (QS. al-Baqarah: 282), dengan dibaca fathah dan rafa’ (dhammah).

Kedua, suatu perubahan pada fi’il (kata kerja), seperti: “baa’ada” dan“baa’id” (Saba’: 19),
mengubah dari fi’il maadhi ke fi’il amar(thalab).

Ketiga, suatu perubahan pada titik saja, seperti: “Nunsyizuhaa” (QS.al-Baqarah: 259) menjadi :
“Nansyuruhaa”.

Keempat, suatu perubahan dengan mengganti suatu huruf dengan huruf lain yang berdekatan
makhrajnya, seperti: “Wa thalhin mandhuud” menjadi “Wa thal’in mandhuud” (QS. al-Waqi’ah:
29).
Kelima, suatu perubahan dengan taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), seperti:
“Wa jaa’at sakratul mauti bil haq” dengan“wa jaa ‘at sakratul haqqi bil mauti” (QS. Qaf: 19).
Keenam, suatu perubahan dengan menambah atau mengurangi, seperti:“Wa maa khalaqadz-
dzakara wal untsaa” menjadi “Wadz-dzakarawal untsaa”.

Ketujuh, suatu perubahan dengan mengganti suatu kalimat dengan kalimat yang lainnya,
seperti: “Kal ‘ihnil manfuusy” menjadi “Kash-shuufil man fuusy” (QS. al-Qari’ah: 5).
Pendapat Ibnu Qutaibah ini digarisbawahi oleh Qasim bin Tsabit, iaberkata bahwa rukhsah
(keringanan) itu memang ada, tetapi sebagian besar para shahabat pada saat itu tidak terbiasa
menulis dan tidak mengenal tulisan, tetapi mereka mengenal huruf-huruf dan makhrajnya.
Kemudian komentar ini dijawab: bahwasanya tidak harus dari yang demikian itu meremehkan
apa yang dikatakan oleh Ibnu Qutaibah,karena mungkin saja jumlah tersebut telah terjadi
kesepakatan, tetapi hal itu dapat diketahui dengan riset atau penelitian.

Ibnu Hajar berkata: Imam al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Hibban bahwa perbedaan
pendapat tentang penafsiran al-ahruf as-sab’ah itu ada tiga puluh lima pendapat, tetapi Imam
al-Qurthubi tidak menyebutkan dari jumlah itu kecuali lima pendapat saja. Saya pun tidak
mendapatkan perkataan Ibnu Hibban mengenai hal tersebut setelah saya teliti.

Saya (Imam Suyuthi) berpendapat bahwa Ibnu an-Naqib telah

menceritakan hal itu dari Ibnu Hibban di dalam mukadimah Tafsir-nya melalui periwayatan dari
Asy-Syaraf al-Muzani al-Mursi, Ibnu an-Naqib berkata: Ibnu Hibban mengatakan: Ahlul Ilmi
berbeda pendapat tentang makna al-ahruf as-sab’ah menjadi tiga puluh lima pendapat sebagai
berikut:
1. Zajr, amar, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.

2. Halal, haram, amar, nahi, zajr, khabar tentang apa yang akan terjadi nanti, dan amtsaal.

3. Wa’ad, wa’id, halal, haram, mawa’idz, amtsaal, dan ihtijaj.

4. Amr, nahi, bisyarah, nadzarah, akhbar, dan amtsaal.

5. Muhkam, mutasyabih, nasikh, mansukh, khusus, umum, qhasas.

6. Amar, zajar, targhib, tarhib, jadal, qashas, dan matsal.

7. Amar, nahi, had, ilmu, sir, zahir, dan batin.


8. Nasikh, mansukh, wa’ad, wa’id, rughm, ta’dib, dan indzar.
9. Halal, haram, iftitah, akhbar, fadhail, dan ‘uquubaat.
10. Awamir, zawaajir, amtsaal, anbaa’, ‘atbun, wa’dzun, dan qashas.
11. Halal, haram, amtsal, manshus, qashas, dan ibaahaat.
12. Zahir, batin, fard, nadb, khusus, umum, amtsaal.
13. Amar, nahi, wa’ad, wa’id, ibaahah, irsyaad, dan i’tibaar.
14. Muqaddam, muakhar, faraaidh, huduud, mawa’idz, mutasyabih, dan amtsaal.
15. Mufassar, mujmal, maqdhiy, nadb, hatm, dan amtsal.

16. Amar hatm, amar nadb, nahi hatm, nahi nadb, akhbar, dan ibaahaat.

17. Amar fardh, nahi hatm, amar nadb, nahi mursyid, wa’ad, wa’id, dan qashas.
18. Sab’u jihaat (tujuh arah) yang tidak boleh dilalui oleh suatu kalam, yaitu lafadz khusus
dikehendaki khusus, lafadz umum dikehendaki umum, lafadz umum dikehendaki khusus, dan
lafadz khusus dikehendaki umum, lafadz yang memerlukan takwil, lafadz yang tidakdipahami
kecuali oleh para ulama, dan lafadz yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh ar-raa sikhun
(orang-orang yang mendalam ilmunya).
19. Menampakkan rububiyyah, menetapkan wahdaniyah, ta’dzim- uluhiyyah, at-ta’abbud lillah,
menjauhi kemusyrikan, terdorong untuk memeroleh pahala, dan memberi peringatan untuk
takut terhadap siksa.

20. Sab’u lughaat (tujuh bahasa), di antaranya lima dari Hawazin dan dua dari seluruh Arab.

21. Tujuh bahasa yang berbeda-beda untuk seluruh Arab, setiap huruf dari tujuh itu bagi
kabilah yang terkenal.

22. Tujuh bahasa, yang empat untuk ‘Ajuz Hawazin, Sa’ad bin Bakar, Jusyam bin Bakar, Nadhar
bin Mu’awiyah, dan tiga untuk Quraisy.

23. Tujuh bahasa, yaitu bahasa Quraisy, bahasa Yaman, bahasa Jurhum, bahasa Hawazin,
bahasa Qudha’ah, bahasa Tamim, dan bahasa Thiyi’.
24. Bahasa kedua Ka’ab: Ka’ab bin Amr dan Ka’ab bin Luayy. Keduanya memiliki tujuh bahasa.
25. Bahasa yang beraneka ragam untuk berbagai kawasan Arab dalam satu makna, seperti
halumma, haat, ta’aal, aqbil.

26. Tujuh qiraa’at bagi tujuh shahabat, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu
Abbas, dan Ubay bin Ka’ab, radhiyallahu anhum.

27. Hamz, imalah, fath, kasr, tafkhim, mad, dan qashr.

28. Tashrif, mashadir, ‘arudh, gharib, saja’, dan bahasa yang beraneka ragam. Kesemuanya di
dalam sesuatu yang satu.

29. Kalimat yang satu di-i’rab dengan tujuh macam, sehingga maknanya menjadi satu,
meskipun lafadznya berbeda.

30. Ummahaatul hija’ (pokok-pokok huruf hijaiyah), seperti alif, ba’, jim,dal, ra’, siin, dan ‘ain,
karena pada tujuh huruf inilah kalam Arab beredar.

31. Tujuh huruf itu adalah nama-nama Allah, seperti Al-Ghafur, Ar-Rahim, As-Sami’, Al-Bashir,
Al-‘Alim, dan Al-Hakim.
32. Tujuh huruf itu adalah ayat tentang shifaat adz-dzat, ayat yang tafsirnya di ayat yang lain,
ayat yang penjelasannya ada di dalam Sunah Shahihah, ayat tentang kisah para nabi dan rasul,
ayat tentang penciptaan segala sesuatu, ayat tentang sifat surga, ayat tentang sifat neraka.

33. Ayat tentang sifat Sang Pencipta, ayat tentang menetapkan wahdaniyah bagi Allah, ayat
tentang menetapkan sifat-sifat-Nya, ayat tentang menetapkan rasul-rasul-Nya, ayat tentang
menetapkan kitab-kitab-Nya, ayat tentang menetapkan al-Islam, dan ayat tentang menafikan
kekufuran.

34. Sab’u jihaat (tujuh sisi) dari sifat-sifat Dzat bagi Allah yang tidak terjadi padanya takyiif.

35. Beriman kepada Allah, menentang kemusyrikan, menetapkan berbagai perintah, menjauhi
berbagai larangan, teguh di ataskeimanan, mengharamkan apa-apa yang diharamkan Allah, dan
menaati Rasul-Nya.

Ibnu Hibban berkata, “Inilah 35 pendapat bagi ahlul ilmi dan ahli bahasa tentang makna inzalul
Qur’an ‘ala sab’ati ahrufin (diturunkannya Al-Qur’an berdasarkan tujuh huruf), dan ini
merupakan berbagai pendapat yang mirip antara satu dengan lainnya yang semuanya serba
mungkin,tetapi mungkin juga yang lainnya.”
Al-Mursi berkata, “Pendapat-pendapat ini sebagian besar saling masuk satu sama lain, dan saya
tidak mengetahui sandarannya, tidak pula dari mana diambil. Saya juga tidak mengetahui
mengapa setiap orang dari mereka mengkhususkan tujuh huruf itu dengan apa yang telah
disebutkan, padahal semuanya ada di dalam Al-Qur’an. Saya tidak mengetahui makna
pengkhususan di sini, padahal di dalamnya ada beberapa hal yang saya tidak memahami makna
yang sebenarnya, dan sebagian besar bertentangan dengan hadits Umar bersama Hisyam bin
Hukaim yang ada dalam kitab Shahih, padahal keduanya tidak berbeda dalam menafsirkan Al-
Qur’an dan hukum-hukumnya, hanya berbeda dalam membaca huruf-huruf-nya. Sebagian
besar dari orang awam mengira bahwa yang dimaksud dengan ‘tujuh huruf ’ itu adalah ‘qira’ah
sab’ah’, dan anggapan ini merupakan kebodohan yang buruk.”

Anda mungkin juga menyukai