Anda di halaman 1dari 7

PENGANTAR SEJARAH KODIFIKASI

H. Sukardi, M.Ag

Pendahuluan

Kebangkitan Islam merupakan awal dari pandangan dunia baru yang meniscayakan
perubahan revolusioner di seluruh tingkat kehidupan. Setelah wafatnya Rasulullah saw,
komunitas muslim merasa sangat perlu manjaga kesinambungan wahyu serta keterangan-
keterangan rinci mengenai kehidupan dan tindakan beliau. Betapa kedua tugas monumental ini
diletakkan pada jantung sikap orang Islam terhadap pengelolaan informasi profetik. Derasnya
ekspansi yang dilakukan komunitas muslim ke luar batas-batas semenanjung Arab
menyebabkan kebutuhan untuk melestarikan dan penyebaran khabar menjadi sesuatu yang
sangat mendesak. Orang-orang dari ragam etnis di luar Arab yang telah masuk dalam komunitas
tentulah membutuhkan informasi mengenai Islam yang akurat dan otentik. Alquran telah
dikodifikasi dan diperiksa oleh Nabi saw sendiri [tawqifiy]. Didapati bukti kuat berdasar
otoritas para sahabat Rasulullah saw, kuttab al-wahyiy, dan para ahli baca bahwa Alquran
dihimpun dengan sangat hati-hati. Sementara itu, diduga bahwa hadis Nabi saw baru dihimpun
selang beberapa lama sepeninggal beliau. Alasan yang menarasi terjadinya situasi ini adalah:

1. Adanya larangan dari Nabi didasari kekhawatiran tercampurnya hadis dengan teks
Alquran1;
2. Kuatnya hafalan para sahabat Nabi, sementara mayoritas dari mereka tidak memiliki
pengetahuan yang memadai dalam hal tulis menulis2; dan
3. Hadis hadis di masa awal Islam dipandang masih orisinal.

Namun demikian, alasan ini tidak boleh diartikan bahwa hadis sama sekali tidak pernah
ditulis di jaman Nabi saw. Ada bukti kuat berupa catatan riwayat bahwa hadis sesungguhnya
telah ditulis sejak masa Rasulullah saw dan para sahabat, di antaranya, yaitu:

o Pertama, riwayat Imam Ahmad3 dari Abdullah Ibn Amr Ibn al-`Ash r.a.:

.‫قلت اي رسول هللا إان نسمع منك أحاديث ال حنفظها أفال نكتبها قال بلى فاكتبوها‬

Artinya: Aku [Abdullah Ibn Amr r.a.] bertanya: Ya Rasulullah, sesungguhnya kami
mendengar hadis-hadis dari engkau, kami tak dapat menghafalnya, bolehkah kami
menulisnya? Beliau saw menjawab: Ya, tulislah!

.‫قلت اي رسول هللا إين أمسع منك أشياء أفأكتبها قال نعم قلت يف الغضب والرضا قال نعم فإين ال أقول فيهما إال حقا‬

Artinya: Aku [Abdullah Ibn Amr r.a.] bertanya: Ya Rasulullah, aku mendengar
beberapa hal dari engkau, bolehkah aku menuliskannya? Beliau saw menjawab: Ya!.
Aku bertanya lagi: Dalam keadaan engkau marah dan senang?. Beliau menjawab: Ya,
karena aku tidak akan bicara pada ketika marah dan senang kecuali kebenaran.

1
Al-Asqalaniy, Ibn Hajar, Fath al-Bariy, komentar atas hadis No. 113 dalam Sahih al-Bukhari.
2
Azhami, Muhammad Musthafa, al-Hadits al-Nabawiy,
3
HR. Imam Ahmad, Musnad Abdillah Ibn Amr Ibn al-Ash, Mawsu`ah al-Hadits al-Nabawiy al-Syarif (CD), edisi
ke-2, Islam Spirit, tt.
Imam Abu Dawud dalam Sunan4-nya menyampaikan sebuah riwayat dari Abdullah Ibn
Amr berikut ini:

‫ أتكتب كل شىء تسمعه‬:‫ فنهتين قريش وقالوا‬،‫اّلل عليه وسلم أريد حفظه‬
‫اّلل صلى ه‬
‫كنت أكتب كل شىء أمسعه من رسول ه‬
‫اّلل‬
‫اّلل صلى ه‬
‫ فذكرت ذلك لرسول ه‬،‫ فأمسكت عن الكتاب‬،‫اّلل عليه وسلم بَ َشٌر يتكلم يف الغضب والرضا‬
‫اّلل صلى ه‬‫ورسول ه‬
."‫حق‬
ٌّ ‫ "اكتب فوالذي نفسي بيده ما خيرج منه إال‬:‫ فأومأ ابصبعه إىل فيه فقال‬،‫عليه وسلم‬

Artinya: Aku menuliskan apa pun yang aku dengar dari Rasulullah saw [agar] aku dapat
menghafalnya, tetapi orang-orang Quraysy mencegahku (melakukan itu). Mereka
beralasan: Apakah kamu menulis apa pun yang kamu dengar, padahal Rasulullah saw
adalah manusia biasa yang berbicara [bisa dalam keadaan] marah dan suka cita?
Maka aku pun berhenti menulis. Hal itu kemudian aku sampaikan kepada Rasulullah
saw, lalu beliau menempelkan jarinya ke mulut sambil berkata: Tulislah! Demi Allah,
tidak ada yang keluar darinya [lisan ini] kecuali kebenaran.

o Kedua, riwayat al-Bukhari5, Muslim dan yang lainnya dari Abu Hurayrah - di akhir
hadis disebutkan:

.)‫ (اكتبوا أليب فالن‬:‫ فقال‬،‫ اكتب يل اي رسول هللا‬:‫ فجاء رجل من أهل اليمن فقال‬.....

Artinya: ...... kemudian seseorang dari penduduk Yaman datang dan berkata: Ya
Rasulullah, tuliskanlah untukku!. Maka beliau pun berkata: Tuliskanlah untuk Abu
Fulan! (dalam beberapa riwayat orang tersebut diidentifikasi bernama Abu Syah).

o Ketiga, riwayat al-Bukhari6 dari Abu Hurayrah:

‫ فإنه كان يكتب وال‬،‫ إال ما كان من عبد هللا بن عمرو‬،‫ما من أصحاب النيب صلى هللا عليه وسلم أحد أكثر حديثا عنه مين‬
.‫أكتب‬

Artinya: Tidak ada di antara sahabat Nabi saw yang melebihi hadisku selain Abdullah
Ibn Amr, karena dia menulis sementara aku tidak.

o Keempat, riwayat al-Hakim7 yang menceritakan sebuah peristiwa yang dialami oleh al-
Hasan Ibn Amr Ibn Umayyah al-Dhamiriy :

‫حدثت عن أيب هريرة حبديث فأنكره فقلت إين قد مسعته منك قال إن كنت مسعته مين فإنه مكتوب عندي فأخذ بيدي إىل‬
‫بيته فأراين كتااب من كتبه من حديث رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فوجد ذلك احلديث فقال قد أخربتك إين إن كنت‬
‫حدثتك به فهو مكتوب عندي‬

Artinya: Aku menceritakan sebuah hadis dari Abu Hurayrah, namun Abu
Hurayrah mengingkari (riwayat)-nya. Aku pun berkata: Sungguh aku

4
Abi Dawud, al-Sunan dalam Kitab al-`Ilm: Bab fi Kitab al-`Ilm, No. 3646, Mawsu`ah al-Hadits al-Nabawiy al-
Syarif (CD), edisi ke-2, Islam Spirit, tt.
5
HR. Al-Bukhariy, al-Jami` al-Shahih dalam Bab Kitabah al-`Ilm, No. 112
6
______________, ibid, 113
7
HR. Al-Hakim, al-Mustadrak dalam Kitab Ma`rifah al-Shahabah radhiya Allah `anhum, No. 6169.

2
mendengarnya darimu! Ia berkata: Jika kamu mendengarnya dariku, maka
pastilah itu tercatat (dalam catatan) yang ada padaku. Abu Hurayrah mengamit
tanganku dan membawaku ke rumahnya, lalu memperlihatkan kepadaku satu
kitab di antara beberapa kitab hadisnya (yang berhasil dicatatnya) dari
Rasulullah saw, dan ia mendapati hadis itu di dalamnya. Ia pun berkata: Aku
telah memberitahukanmu, bahwa bila aku menyampaikan suatu hadis, maka
pastilah itu tercatat padaku!

Dan riwayat Ibn Wahb8 :

‫احلسن بن عمرو بن أمية قال حتدث عند أيب هريرة حبديث فأخذ بيدي إىل بيته فاراان كتبا من حديث النيب صلى هللا عليه‬
‫وسلم وقال هذا هو مكتوب عندي‬

Artinya: Al-Hasan Ibn Amr Ibn Umayyah berkata: Ketika disampaikan sebuah hadis
di hadapan Abu Hurayrah, segera saja ia mengamit tanganku mengajak ke rumahnya,
lalu ia memperlihatkan satu kitab hadis (yang dia catat) dari Rasulullah saw seraya
berkata: Ini dia hadisnya tercatat pada (kitab)-ku!

o Kelima, riwayat Abu Dawud9:

‫ وعليه خامت‬،‫اّلل بن أنس كتاابً زعم أن أاب بكر كتبه ألنس‬


‫ أخذت من مثامة بن عبد ه‬:‫ ثنا محاد قال‬،‫حدثنا موسى بن إمساعيل‬
ِّ
‫اّلل‬ ‫ "هذه فريضة الصدقة اليت فرضها رسول ه‬:‫ فإِّذا فيه‬،‫اّلل عليه وسلم حني بعثه مص هدقاً وكتبه له‬
‫اّلل صلى ه‬ ‫اّلل صلى ه‬
‫رسول ه‬
....... ‫اّلل عليه وسلم‬
‫اّلل عزوجل هبا نبيه صلى ه‬
‫عليه وسلم على املسلمني اليت أمر ه‬

Artinya: Telah menceritakan kepadaku Musa Ibn Ismail, [ia berkata] telah
menceritakan kepadaku Hammad, ia berkata: Aku mendapatkan satu kitab dari
Tsumamah Ibn Abdillah Ibn Anas yang disebutkannya bahwa Abu Bakar (al-
Shiddiq) menuliskannya untuk Anas (Ibn Malik) dan di dalamnya terdapat
stempel (dari cincin) Rasulullah saw ketika dia mengutus Anas sebagai saksi
yang menguatkan dengan membekalinya sebuah catatan yang berisi: Ini adalah
kefarduan sedekah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw kepada kaum
muslimin sebagaimana yang telah diperintahkan Allah `Azza wa Jalla kepada
Nabi-Nya saw.

Metode dan Sistematika Penulisan Hadis

Penghimpunan hadis semakin masif dilakukan pada akhir masa tabi`in berbarengan
dengan ekspansi para ulama ke luar jazirah. Di samping itu, timbulnya paham-paham baru dari
kelompok Khawarij, Rawafidh dan Munkir al-Aqdar (pengingkar takdir) turut pula mendorong
kerja kodifikasi hadis ini.

Orang pertama yang melakukannya, dalam catatan Ibn Hajar10, adalah al-Rabi` Ibn
Shubaih dan Said Ibn Arubah. Tulisan mereka meliputi berbagai tema meski masih serba

8
Ibn Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Barri, Kitab al-`Ilm, No. 113
9
HR. Abu Dawud, al-Sunan dalam Bab fi Zakat al-Sa’imah, No, 1567. Hadis ini pun diriwayatkan oleh imam-
imam hadis yang lain, di antaranya Ibn Majah.
10
Al-Asqalaniy, Fath al-Bariy: Muqaddimah.

3
terbatas. Disusul kemudian oleh Malik Ibn Anas yang menulis hadis penduduk Hijaz dengan
menambahkan pula pendapat para sahabat, tabi`in dan ulama sesudahnya. Pada masa ini pula
tampil Abu Muhammad Abdul Malik Ibn Abdul Aziz Ibn Jurayj di Makkah, Abu Amr
Abdurrahman al-Awza`iy di Syam, Abu Abdullah Sufyan al-Tsawriy di Kuffah, Hammad Ibn
Salamah Ibn Dinar di Bashrah, ada Hasyim di Wasith, Ma`mar di Yaman, Abdullah Ibn al-
Mubarak di Khurasan, dan Jarir Ibn Abdul Hamid di Ray.

Metode dan sistematika tadwin yang dilakukan oleh para ahli hadis di atas serta merta
diikuti oleh ulama lain yang sejaman dengan mereka, hingga lahirnya gagasan pada sebagian
mereka - di paruh pertama abad ke-2 - untuk menulis kitab yang hanya menghimpun hadis-
hadis Nabi dengan metode Musnad. Orang pertama yang melakukannya adalah Ubaydullah Ibn
Musa al-Absiy, lalu Nu`aim Ibn Ahmad al-Khaza`iy. Metode ini kemudian diikuti oleh para
penulis lainnya, seperti Imam Ahmad Ibn Hanbal, Ishaq Ibn Rahwayh dan Utsman Ibn Abi
Syaybah. Di samping itu, ada di antara para penulis musnad yang melakukan penulisan musnad-
nya dengan sistematika mubawwab.

Ibn al-Atsir al-Jazariy11 mengatakan:

Ketika Islam tersiar, negeri-negeri Islam meluas, para sahabat menyebar ke pelosok negeri yang
berbeda, ekspansi Islam menjangkau jauh ke berbagai wilayah, para penghulu sahabat
meninggal, dan murid mereka terpencar, sementara sistem pengawasan terhadap tulisan masih
langka - para ulama berpikir perlu segera melakukan upaya penghimpunan hadis dengan cara
menuliskannya. Hal demikian karena segala yang terlintas dalam benak bisa saja terlupakan,
hapalan bisa pula hilang, semata mengingat bisa lepas, tetapi tidak demikian dengan pena,
[karena pena] dapat memelihara dan tidak lupa.
Kondisi hadis tidak terkodifikasi terjadi sampai jaman Abdul Malik Ibn Jurayj dan Malik Ibn
Anas. Sampai ada pendapat, bila kitab pertama [di luar mushhaf] yang ditulis adalah kitab Ibn
Jurayj, di samping ada yang berpendapat Muwaththa’-nya Malik dan kitabnya al-Rabi` Ibn
Shubayh di Bashrah.

Kegiatan penulisan ini terus berlangsung sampai jaman Abu Abdillah Muhammad Ibn
Ismail al-Bukhari dan Abu al-Husayn Muslim al-Hajaj al-Nisaburiy. Kedua beliau hanya
mencatat hadis-hadis yang telah dipastikan kesahihannya. Alasan inilah yang mengantarkan
kedua kitab tersebut dinamai Kitab Shahih. Kedua kitab imam hadis ini mendapat penerimaan
yang luas di kalangan masyarakat Islam di seluruh penjuru bumi. Metode dan corak penulisan
kedua beliau kemudian diikuti oleh para penulis lainnya, seperti Abu Isa Muhammad Ibn Isa
al-Tirmidzi, Abu Dawud Sulayman Ibn al-Asy`ats al-Sijistaniy, Abu Abdirrahman Ahmad Ibn
Syu`ayb al-Nasa’iy, serta ulama lainnya.

Ilmu dalam kajian hadis, sebagaimana pula ilmu-ilmu lainnya, dimulai dari sesuatu yang
sederhana lalu meningkat kompleksitasnya pada masa berikutnya, dan demikian seterusnya,
hingga mencapai puncaknya pada jaman al-Bukhari dan Muslim ini. Al-Mubarakfuri12
mengutip analisis al-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffazh bahwa :

Pada masa thabaqah ini terjadi perpindahan kekuasaan dari Bani Umayyah kepada Bani
Abbasiyah di tahun 132 H. Pada masa pergantian kekuasaan ini banyak jatuh korban [termasuk
para ulama]. Tidak ada jumlah pasti berapa ulama yang mati terbunuh [pada peristiwa ini], baik

11
Al-Hafizh al-Mubarak Ibn Muhammad Ibn al-Atsir al-Jazariy, Jami` al-Ushul min Ahadits al-Rasul,
Muqaddimah.
12
Al- Imam al-Hafizh Abu al-Ali Muhammad Ibn Abd al-Rahman Ibn Abd al-Rahim al-Mubarakfuriy, Tuhfat al-
Ahwadziy bi Syarh Jami` al-Tirmidzi, I:26-27, Dar al-Fikr, Beirut, tt.

4
di Khurasan, Iraq, Jazirah, dan Syam. Pada saat yang sama, di Bashrah muncul Amr Ibn Ubayd
al-Abid dan Washil Ibn Atha` al-Ghazal yang menyuarakan konsep i`tizal [menarik diri dari
komunitas salaf al-shalih] serta menyebarkan wacana tentang ‘takdir’ di lingkungan umat
Islam. Di Khurasan muncul al-Jahm Ibn Shafwan yang mengajarkan ta`thil al-Rabb dan
pemakhlukkan Alquran. Ada pula Muqatil Ibn Sulayman yang mengajarkan itsbat al-shifat wa
jism. Kondisi inilah yang mendorong ulama tabi`in dan salaf al-shalih lainnya bangkit
melakukan perlawanan terhadap bid`ah dan kreasi hukum mereka dengan cara menulis [kitab-
kitab yang memuat] sunnah [Nabi], [kitab yang berisi kajian] furu` dan bahasa Arab, yang
berpuncak pada masa Harun al-Rasyid.

Sejarah mencatat bahwa para ulama memiliki tujuan dan sasaran berbeda dalam menulis
hadis-hadis Nabi. Tujuan para ahli hadis tersebut didasari oleh minat, perhatian dan kepentingan
mereka masing-masing. Berikut ini adalah deskripsi mengenai hal tersebut:

o Pertama, ada ulama yang membatasi perhatiannya pada penghimpunan hadis semata-
mata dengan maksud memelihara orisinalitas teks dan mengambil simpul hukum
daripadanya. Ulama yang masuk ke dalam kategori ini di antaranya adalah Ubaydullah
Ibn Musa al-Dhabby dan Abu Dawud al-Thayalisiy pada generasi pertama serta Imam
Ahmad pada masa berikutnya.

o Kedua, ada ulama yang menempatkan hadis pada tema-tema tertentu sesuai dengan
judul bab yang terdapat dalam kitab. Contoh terbaik untuk metode dan model ini adalah
seperti yang dilakukan oleh Malik Ibn Anas dengan al-Muwaththa’-nya, dan kelak al-
Bukhari dan Muslim dalam al-Jami al-Shahih-nya.

o Ketiga, ada ulama yang memunculkan hadis-hadis yang mengandung lafal dan makna
musykil (sulit), lalu menghimpunnya dalam satu kitab, membahas matan-nya yang
dirasa asing, mengkaji i`rab sekaligus maknanya. Kitab ini tidak mendiskusikan
hukumnya, seperti dilakukan oleh Abu Ubayd al-Qasim Ibn Salam dan Abu Muhammad
Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaybah.

o Keempat, ada pula ulama yang menulis kitab hadis dengan tujuan mengekspose hukum
yang terkandung di dalamnya disertai pandangan kalangan fuqaha. Contoh untuk kerja
ini adalah kitab Ma`alim al-Sunan wa A`lam al-Sunan karya Abu Sulayman Ahmad Ibn
Muhammad al-Khaththabi.

o Kelima, ada juga ulama yang hanya menghimpun matan-matan hadis yang dinilai
kurang dikenal, serta mengekspose lafal-lafal asing tersebut secara tersusun sekaligus
memberikan penjelasan tentangnya, seperti yang dilakukan Abu Ubayd Ahmad Ibn
Muhammad al-Harawiy.

o Keenam, sebagian ulama yang memunculkan hadis yang mengandung hukum syara`
namun terbatas, atau hadis tentang targhib dan tarhib [metode juz`iy], dengan cara
menghimpun matan dan memberi penjelasannya. Kitab yang masuk kategori ini adalah
al-Mashabih karya Abu Muhammad al-Husayn Ibn Masud al-Bughawiy.

Demikianlah, seluruh ahli yang terlibat dalam kegiatan ini telah menunjukkan dedikasi
dan kerja kerasnya yang sangat luar biasa dalam menyelamatkan eksistensi hadis Nabi saw.
Tujuan mereka yang paling pertama dan utama adalah menapis hadis-hadis Nabi saw melalui
analisis terhadap transmisi dan mekanisme periwayatan [sanad/isnad], menilai tingkat hapalan
para perawi, memeriksa personalitas perawi dan keseluruhan hal yang berkaitan dengan

5
mereka. Model atau corak penulisan – pada masa ini – belum menjadi sebuah tendensi yang
menarik minat mereka.

Kemudian ulama generasi berikutnya datang dan meneruskan kerja mereka dengan misi
melakukan perbaikan pada sistematika penulisan dengan tetap memerhatikan keunggulan-
keunggulan pada karya ilmiah generasi sebelumnya. Bentuk penyempurnaan yang
dilakukannya menyentuh dua dimensi, yakni: dimensi penulisan dan dimensi isi. Di samping
itu, ada juga yang menulis dengan metode ikhtisar, taqrib, istinbath al-ahkam, dan tasyrih `ala
alfazh al-gharib.

Salah satu tren penulisan kitab hadis di masa itu adalah menghimpun kitab-kitab hadis.
Kitab Jami` al-Ushul karya Imam Abu al-Sa`adat Mubarak Ibn Muhammad Ibn al-Atsir dan
Jam`u al-Jawami` karya al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuthiy adalah
dua contoh di antaranya.

Kualifikasi Kitab Hadis

Para ahli telah memastikan bahwa ada perbedaan penetapan kriteria dalam pengutipan
hadis di kalangan para ahli hadis. Masing-masing wilayah pusat pembelajaran hadis – dalam
kegiatan ini – menetapkan kriterianya sendiri-sendiri. Kriteria yang ditetapkan para ahli hadis
di Hijaz dikenal lebih ketat dan kuat dibanding para ahli hadis lainnya. Hal itu terjadi karena
akurasi mereka yang tinggi dalam menentukan kadar kualitas personal dan intelektual perawi.
Tokoh mereka yang paling menonjol adalah Malik Ibn Anas, yang kemudian diikuti oleh al-
Syafi`iy, al-`Atabi dan Ibn Wahb, serta Imam Ahmad Ibn Hanbal di kemudian hari.

Sementara itu al-Bukhari lebih memilih menghimpun ketiganya sekaligus, yakni: Hijaz,
Iraq dan Syam. Al-Bukhari sendiri menerapkan kriteria yang disepakati oleh ketiga madzhab
ini.

Kitab-kitab hadis memiliki kualifikasi yang berbeda. Dilihat dari tingkat validitas dan
popoularitasnya, kitab-kitab hadis diklasifikasi ke dalam empat thabaqat, yaitu:

o Thabaqat Pertama, adalah kitab-kitab yang memuat hadis-hadis berkategori mutawatir


(bertransmisi silinder gemuk - menurut pandangan yang popular – hadis yang memiliki
minimal dua puluh sanad);

o Thabaqat Kedua, yaitu kitab-kitab yang menampung hadis-hadis mustafidh (ber-sanad


konsisten lebih dari tiga sejak dari permulaan hingga akhir sanad) dengan syarat
disepakati oleh keberlakuannya oleh mayoritas fuqaha, tidak menyelisihi pandangan
ulama Haramayn, atau minimal ada pernyataan dari para ahli bahwa hadis tersebut
populer dan secara efektif menjadi sebuah singularitas kebergamaan pada sebagian
besar sahabat dan tabi`in;

o Thabaqat Ketiga, ialah kitab-kitab yang menuliskan hadis-hadis yang memiliki


transmisi sahih atau hasan dan diakui validitasnya oleh ulama hadis, serta tidak
dinyatakan matruk oleh salah seorang pun ahli hadis; dan

o Thabaqat Keempat, yakni kitab-kitab yang memuat hadis-hadis dha`if, mawdhu`, putus
transmisi (inqitha` al-sanad), mengalami pembalikan (maqlub) baik pada transmisi
maupun kandungan beritanya, hadis-hadis yang berasal dari para penutur yang tidak

6
dikenal (majhul) oleh kalangan ahli hadis, dan hadis-hadis yang dipandang menyelisihi
riwayat yang secara berkesinambungan telah disepakati oleh para ahli terdahulu (syadz).

Validitas sebuah hadis ditentukan oleh dua hal, yaitu: sahih sanad dan sahih matan.
Kitab hadis manapun yang menghimpun hadis-hadis seperti ini memiliki aksepibilitas tinggi di
kalangan masyarakat muslim. Berdasarkan hasil telaah para ahli hadis, kitab hadis yang
memiliki penerimaan tertinggi – dengan menbanding keempat thabaqat di atas – adalah al -
Jami` milik Imam al-Bukhari, kitab Shahih karya Imam Muslim, dan al-Muwaththa’ hasil kerja
intelektual Imam Malik Ibn Anas. Sekedar contoh, pada masa Malik Ibn Anas terdapat kitab-
kitab jenis muwaththa’ lainnya, seperti karya Muhammad Ibn Abi Dzi’bin, Sufyan Ibn
`Uyaynah, Sufyan al-Tsawriy, Ma`mar, dan karya teman-teman satu kelas Malik lainnya.
Tetapi kitab-kitab tersebut tidak mampu mengungguli al-Muwaththa’ karya Malik. Demikian
pula kitab al-Umali karya Abu Yusuf Ya`qub Ibn Ibrahim al-Kufi (113-182 H) dan kitab al-
Atsar karya Muhammad Ibn Hasan al-Syaybani (132-189 H) - keduanya murid teratas Abu
Hanifah, keberadaannya tidak sepopuler al-Muwaththa’ Malik.

Menyusul kemudian kitab-kitab hasil karya para penulis yang dikenal luas memiliki
akurasi intelektual yang tinggi, kualitas individual yang prima, hapalan yang luar biasa,
pengetahuan yang mendalam mengenai disiplin ilmu-ilmu hadis, dan tidak bersikap akomodatif
terhadap kriteria lain yang dianggapnya terlalu longgar (tasahul).

Selanjutnya kitab-kitab yang ditulis oleh para ahli, baik sebelum atau sesudah era al-
Bukhari dan Muslim – dalam rupa masanid, jawami` dan mushannafat – yang menghimpun
hadis-hadis sahih, hasan dan dha`if, ma`ruf dan gharib, syadz dan munkar, yang salah dan benar
(dalam penuturan), serta hadis-hadis yang tepat dan terbalik (dalam susunan sanad maupun
matan-nya).

Berikutnya kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari kalangan yang disebalkan


riwayatnya oleh para ahli yang berada pada dua thabaqat pertama, karena dipandang tidak
memiliki kapasitas yang memadai untuk meriwayatkan hadis. Mereka dinilai banyak
mengambil riwayat dari para pengikut hawa nafsu, orang-rang yang berkategori lemah dalam
periwayatan, cerita israiliyat, ahli hikmah, dan lain sebagainya.

Kemudian pada level terendah adalah kitab-kitab yang memuat pendapat kalangan
fuqaha, sufi, sejarawan, ahli kalam, dan yang semisal dengan mereka. Kitab-kitab jenis ini
sesungguhnya tidak masuk dalam kategorisasi kitab hadis. Hanya secara faktual – karena
kandungannya – kitab-kitab ini sering dimasukkan ke dalam kelompok kitab-kitab hadis.

Melihat isi dan kualitas masing-masing kitab di atas, para ahli hadis sudah barang pasti
memilih kitab-kitab pada tahabaqat yang pertama dan kedua. Sementara kitab-kitab hadis yang
masuk dalam kategori ketiga merupakan konsumsi ekslusif para ahli yang memiliki kedalaman
pengetahuan dalam kajian `ilal al-hadits dan mukhtalaf al-hadits.

Anda mungkin juga menyukai