Anda di halaman 1dari 14

Makalah Tentang Konsep Sab'atu Ahruf

BAB II

PEMBAHASAN

A. SEPUTAR SABATU AHRUFIN

1. Definisi Sabatu Ahrufin

Dalam kerangka etimologi, para ulama secara umum cenderung berpendapat bahwa kata tujuh
dalam hadis tentang sabatu ahrufin tersebut adalah arti tujuh yang sebenarnya, dan bukan arti
kiasan. Artinya, tujuh adalah angka yang terletak antara andka enam dan delapan. Sedangkan
kata ahruf secara lughawi adalah jamak dariharf yang antara lain berarti pinggir dari sesuatu, salah
satu huruf hijaiyah, dan lain-lain.[1]

[1] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 98

Sementara dalam ranah terminologi, Sabatu ahrufin atau tujuh huruf memiliki variasi definisi dalam
pandanganpara ulama. As-Suyuti mengatakan bahwa penafsiran ulama tentang makna hadis ini tidak
kurang dari empat puluh pendapat.[1] Sedangkan Ibn Hayyan mengatakan: Ahli ilmu berbeda
pendapat tentang arti kata tujuh hurufmenjadi tiga puluh lima pendapat.[2] Walaupun kenyataannya
pendapat-pendapat tersebut saling tumpang tindih. Rekomendasi pendapat para ulama tersebut
adalah seperti di bawah ini:

1) Sabatu ahrufin adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna.
Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar ulama. Dengan catatan, jika bahasa mereka berbeda-
beda dalam mengungkapkan satu makna, maka al-Quran pun diturunkan dengan sejumlah lafaz
sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan apabila tidak terdapat
perbedaan, maka Quran hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.

Akan tetapi mereka juga berbeda pendapat dalam menentukan ketujuh bahasa tersebut. Dijelaskan
bahwa ketujuh bahasa-bahasa tersebut yaitu bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim,
dan Yaman. Menurut Abu Hatim as-Sijistani, Quran diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim,
Azad, Rabiah, Hawazin, dan Saad bin Bakar. Dan masih banyak pendapat yang lain mengenai ini.[3]

2) Ada satu kaum yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Quran diturunkan, dengan catatan bahwa
kata-kata dalam al-Quran secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu
bahasa paling fasih di kalangan Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Adapun
bahasa yang lain yang digunakan adalah bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, atau Yaman;
maka secara keseluruhan Quran mencakup ketujuh bahasa tersebut.

Pendapat ini tentunya berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh
huruf dalam pendapat ini bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna,
melainkan tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Quran. Abu Ubaid berkata: Yang
dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang
bertebaran dalam al-Quran. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian lagi bahasa Huzail, Hawazin,
Yaman, dan lain-lain. Dan berkata pula: Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena
dominan dalam al-Quran.[4]

3) Sebagian lagi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujur huruf adalah tujuh wajah,
yaitu amr (perintah), nahyu (larangan), wad (janji), waid (ancaman), jadal (perdebatan),
qasas (cerita), dan masal (perumpamaan). Atauamr. Nahyu, halal, haram, muhkam,
mutasyabih, dan amsal.

, , :
) ( . :

Dari Ibn Masud, Nabi berkata: Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengna satu
huruf. Sedang al-Quran diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu: zajr (larangan),
amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amsal.[5]

4) Ada lagi sebagian ulama yang menawarkan definisi yang lain dari sabatu ahrufin, yaitu tujuh
macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan) seperti berikut ini:[6]

a. Ikhtilaful asma (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad, muzakkar, dan cabang-
cabangnya, seperti tsaniyah, jamak, dan tanis. Contohnya pada firman Allah:
[7] , dibaca dengan bentuk mufrad dan dibaca pula dengan bentuk jamak.
Sedangkan cantuman dalam mushaf adalah , yang memungkinkan kedua qiraat tersebut
bekerja karena tidak adanya alif yang disukun. Akan tetapi, kedua kesimpulan akhir dari kedua
qiraat ini adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksudkan untuk
arti istiqraq(keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedangkan bacaan dengan bentuk mufrad
dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak, yakni semua jenis amanat yang
mengandung variasi amanat yang plural.

b. Perbedaan dari aspek irab (harakat akhir kata), seperti firman Allah: .[8]Jumhur
membacanya dengan nasab(accusative), karena berfungsi seperti , dan ini merupakan bahasa
kaum Hijaz yang dalam bahasa inilah al-Quran diturunkan. Adapun Ibn Masud membacanya
denganrafa (nominative) , sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak
memfungsikan seperti .
c. Perbedaan dalam tashrif, seperti firman Allah:

(#q9$s)s $uZ/u t/ tt/ $tR$xr&

Perubahan kata kerja dari masa lampau ( ) menjadi masa sekarang ( ) dan masa
yang akan datang ( ) sehingga pada kata dapat dibaca menjadi
.

d. Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan takhir (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf
(seperti pada firman-Nya [9] dapat dibaca dengan ) maupun dalam kata (seperti
firman-Nya [10] dapat dibaca menjadi ) .

e. Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian) baik pergantian huruf dengan huruf, maupun lafaz
dengan lafaz. Seperti kata [11]dapat dibaca menjadi .

f. Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan, seperti [ 12]menjadi


.

g. Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim(menebalkan) dan tarqiq (menipiskan), fatah dan
imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashil, isymam, dan lain-lain. Contohnya bacaan imalah dan
tidak imalah dalam ayat[ 13] yang dibaca dengan mengimalahkan kata dan .

5. Sebagian ulama berpendapat bahwa bilangan itu tidak diartikan secara harfiah (bukan bilangan
antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya lambang sebagai lambang kesempurnaan
menurut kebiasaan orang Arab. Oleh karena itu, kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan
al-Quran merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang Arab. Kata tujuh tersebut
tidaklah untuk menunjukkan bilangan tertentu.[14]

1. Hadis Yang Berbicara Tentang Sabatu Ahrufin

Ada yang berpendapat bahwa qiraat tujuh identik dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang
menyatakan bahwa al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf.[15] Adapun hadis-hadis yang
menunjukkan hal ini adalah sebagai berikut:

( :
)

Artinya:

Rasulullah bersabda, Malaikat Jibril telah membacakan [al-Quran] kepadaku atas beberapa huruf,
lalu aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahnya bacaan tersebut, maka Jibril pun
menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf [macam].(HR. Bukhari Muslim).

) ( . :
Artinya:

Rasulullah bersabda, Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam
bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Quran. (HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadis lain dikatakan, Rasulullah berkata kepadaku [Ubayy bin Kaab] Hai Ubayy, telah diutus
[Jibril] kepadaku untuk membacakan al-Quran atas satu huruf, lantas aku meminta kepadanya agar
dimudahkan umatku membacanya, maka [Jibril] berkata, bacalah al-Quran itu atas dua huruf, lalu
aku meminta lagi agar dimudahkan umatku membacanya, maka [Jibril] berkata lagi, bacalah atas
tujuh huruf.[16]

Dalam sebuah hadis yang panjang juga dijelaskan, dari Umar bin Khattab ia berkata, Aku mendengar
dari Hisyam bin Hakim membaca surah al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan
bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah
kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku berusaha sabar
menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik selendangnya dan bertanya: Siapakah yang
membacakan (mengajarkan bacaan) surah itu kepadamu? Ia menjawab: Rasulullah yang
membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya: Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah
membacakan juga kepadaku surah yang aku dengar tadi engkau membacanya (tetapi tidak seperti
bacaanmu). Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa
aku telah mendengar orang ini membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah
engkau bacakan kepadaku, maka Rasulullah berkata: Lepaskan dia, wahai Umar. Bacalah surah tadi
wahai Hisyam! Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata
Rasulullah: Begitulah surah itu diturunkan. Ia berkata lagi: Bacalah, wahai Umar! Lalu aku
membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Dan katanya lagi:
Sesungguhnya al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan tujuh huruf, maka
bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.[17] Kejadian serupa juga dialami oleh
Ubayy bin Kaab, dan Umar pada saat itu beranggapan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh
berani mengada-ada membuat silabus sendiri: semua bacaan sekecil apapun merupakan bacaan yang
sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi.[18]

Hadis yang berkenaan dengan hal ini sangatlah banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki
oleh Ibn Jarir di dalam pengantar Tafsir-nya. As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut
diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam menetapkan
kemutawatiran hadis mengenai turunnya al-Quran dengan tujuh huruf.[19] Hadis tentang
diturunkannya al-Quran dalam tujuh huruf ini sendiri memiliki kemiripan dengan pendapat kitab
Talmud tentang turunnya Taurat dengan banyak bahasa dalam waktu yang sama, namun jelas dia
tidak memiliki hubungan sama sekali.[20]
2. Tarjih Terhadap Variasi Perspektif Mengenai Sabatu Ahrufin

Manna Khalil Qattan telah melakukan tarjih dan analisa terhadap ragam pendapt para ulama
mengenai definisi dan beberapa perihal tujuh huruf bacaan al-Quran. Runutan pendapat yang paling
kuat adalah sebagai berikut:[21]

v Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam
mengungkapkan satu makna yang sama. Misalnya: aqbil, taala, halumma, ajal, dan asra. Lafaz-lafaz
yang berbeda ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Ulama-
ulama yang memegang pendapat ini antara lain Sufyan bin Uyainah, Ibn Jarir, Ibn Wahb, dan lain-lain.

v Pendapat yang menyatakan bahwa maksud dari tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari
bahasa-bahasa Arab dengan Quran diturunkan, dengan pengertian bahwa kalimat-kalimatnya secara
komprehensif tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi, karena itu maka himpunan Quran telah
mencakupnya, dapat dijawab bahwa bahasa Arab itu lebih banyak dari tujuh macam, di samping itu
Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim merupakan orang Quraisy yang mempunyai bahasa yang
sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qiraat keduanya itu berbeda, dan mustahil Umar
mengingkari bahasa Hisyam (namun ternyat Umar mengingkarinya). Hal ini menunjukkan bahwa yang
dimaksudkan dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan
lafaz-lafaz mengenai makna yang sama. Namun hal ini dibantah oleh Ibn Jarir at-Tabari.

v Ada yang mengatakan bahwa tujuh huruf tersebut adalah tujuh macam hal (makna), yaitu amr,
nahyu, halal, haram, mutasyabih, dan masal, dijawab bahwa zahir hadis-hadis tersebut menunjukkan
tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai
keleluasaan bagi umat manusia, padahal sesuatu yang satu tidak mungkin dinyatakan halal dan haram
di dalam satu ayat, dan keleluasaan pun tidak dapat direfleksikan dengan pengharaman yang halal,
penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.

v Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal
yang di dalamnya terjadi ikhtilaf.[22] Dapat dijawab, bahwa pendapat ini meskipun telah populer dan
diterima, tetapi ia tidak dapat tegak di hadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yang
menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafaz yang mempunyai makna sama.

v Pendapat yang menyatakan bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab
bahwa nash-nash hadis menunjukkan hakikat bilangan tersebut secara tegas, seperti pada hadis
tentang Jibril yang membacakan al-Quran kepada Nabi, jelas bahwa hadis-hadis tersebut
menunjukkan hakikat bilangan tertentu yang terbatas pada tujuh.

v Pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari tujuh huruf adalah tujuh qiraat, dapat dijawab
bahwa al-Quran itu bukanlah qiraat. Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
sedangkan qiraat adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafaz-lafaz wahyu tersebut.

A. SEPUTAR QIRAAT
1. Pengertian

Istilah qiraat berasal dari bahasa Arab jamak dari , secara etimologi merupakan akar kata
(masdar) dari yang berarti membaca. Jadi lafal secara bahasa berkonotasi beberapa
pembacaan.[23] Sedangkan menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab pengucapan
Quran yang dipilih oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan
mazhab lainnya.[24] Dalam kajian Ilmu Tafsir, qiraat berarti: Suatu aliran dalam melafalkan al-
Quran yang dipelopori oleh salah satu imam qiraat yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang
lain, dari segi pengucapan huruf-huruf, atau hayahnya, tapi periwayatan qiraat tersebut darinya
serta jalur yang dilaluinya disepakati.[25]

Syaikh Abdul Fath al-Qadhy berkata bahwa qiraat adalah ilmu tentang tatacara pengucapan kalimat-
kalimat (ayat-ayat) quraniyah.[26] Ibn al-Jaziri menegaskan bahwa qiraat ialah ilmu cara melafalkan
kalimat (kata-kata) al-Quran dan perbedaannya, dan tidak menyatakan qiraat sebagai suatu aliran
dan tidak pula menegaskan perlu adanya kesepakatan dalam periwayatan dalam sanad yan
dilaluinya.[27] Kedua kriteria yang terakhir merupakan sesuatu yang sangat penting. Jika kita
perhatikan, apabila qiraat diartikan sebagai suatu aliran, maka dengan sendirinya tertolaklah
anggapan bahwa qiraat tujuh berasal dari hadis Nabi berikut:

Adapun ilmu qiraat (yang benar) itu sendiri telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri,
merupakan suatu praktik sunnah yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat.[28] Ada beberapa
pendapat yang mengemukakan bahwa qiraat berkaitan dengan hadis Nabi tentang tujuh huruf
tersebut.

2. Kemunculan dan Perkembangan Qiraat

Mengenai kemunculan qiraat, para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:[29]

Bahwa qiraat muncul (diturunkan) di Mekkah sebelum hijrah. Mereka berargumen bahwa hadis-
hadis yang ada menunjukkan hal demikian. Seperti hadis Rasulullah berikut:

( :
)

Mereka juga berdalil pada hadis yang menceritakan tentang perbedaan Umar dan Hisyam tentang
surat al-Furqan. Sedangkan surat al-Furqan adalah surat makiyyah.

Qiraat diturunkan di Madinah. Mereka berpendapat bahwa perbedaan qiraat diturunkan untuk
memudahkan umat, sedangkan kebutuhan aplikasinya hanya bisa diterapkan di Madinah, karena
ketika masih di Mekkah umat Islam hanya terdiri dari satu kabilah. Adapun ketika di Madinah, umat
Islam terdiri dari beberapa kabilah.

Pendapat yang ketiga mengkompromikan kedua pendapat sebelumnya. Pendapat ini mengatakan
bahwa qiraat awalnya diturunkan di Mekkah berbarengan dengan turunnya ayat-ayat al-Quran.
Dalam surat-surat makiyyah ditemukan juga beberapa ragam qiraat. Namun, hal ini belum
diaplikasikan ketika di Mekkah karena masih menggunakan satu dialek yaitu dialek Quraisy. Baru
ketika di Madinah ragam ini diaplikasikan.

Adapun periodesasi perkembangan qiraat adalah melalui tahapan-tahapan berikut ini:

v Periode pengajaran qiraat oleh Jibril kepada Rasulullah

v Periode pengajaran qiraat oleh Rasulullah kepada para sahabat

v Periode pengajaran qiraat oleh sebagian sahabat kepada sahabat yang lain

v Periode pengajaran qiraat oleh sahabat kepada para tabiin

v Periode para ulama berkosentrasi pada ilmu qiraat

v Periode kodifikasi ilmu qiraat

v Periode formalisasi ilmu qiraat

v Periode penetapan qiraat sabah

3. Sekilas Peta Penyebaran Awal Qiraat

Qiraat ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra (ahli atau
imam qiraat) yang mengajarkan bacaan al-Quran kepada orang-orang menurut cara mereka masing-
masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal
mengajarkan qiraat adalah Ubayy, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Masud, Abu Musa Al-Asyari, dan lain-lain.
dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabiin di berbagai negeri belajar qiraat.
Keseluruhannya bersandar kepada Rasulullah.

Az-Zahabi menyebutkan dalam Tabaqatul Qurra, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli
qiraat al-Quran ada tujuh orang, yaitu: Usman, Ali, Ubayy, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, dan Abu Musa
al-Asyari. Beliau juga menjelaskan bahwa segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubayy,
di antaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Saib. Ibn Abbas sendiri belajar kepada Zaid.
Kemudian kepada para sahabat itulah menjadi tempat para tabiin menggali ilmu tentang qiraat.
Berikut ini adalah pemetaan para tabiin yang belajar qiraat berdasarkan tempat mereka bermukim.

Tempat Tinggal Nama Tabiin

Madinah Ibnul Musayyab

Urwah

Salim

Umar bin Abdul Aziz

Sulaiman dan Ata (keduanya putra Yasar)

Muaz bin Haris

Abdurrahman bin Hurmuz l-Araj

Ibn Syihab az-Zuhri

Muslim bin Jundab

Zaid bin Aslam

Mekkah Ubaid bin Umair

Ata bin Rabah

Tawus

Mujahid

Ikrimah

Ibn Abu Malikah

Kufah Alqamah

Al-Aswad

Masruq

Ubaidah

Amr bin Syurahbil


Al-Haris bin Qais

Amr bin Maimun

Abu Abdurrahman as-Sulami

Said bin Jabir

An-Nakhai

Asy-Syabi

Basrah Abu Aliyah

Abu Raja

Nasr bin Asim

Yahya bin Yamar

Al-Hasan

Ibn Sirrin

Qatadah

Syam Al-Mughirah bin Abu Syihab al-Makhzumi

Khalifah bin Sad

Kemudian pada permulaan abad pertama Hijriah di masa tabiin, tampillah sejumlah ulama yang
bertekad serta fokus terhadap masalah qiraat secara komprehensif karena keadaan menuntut
demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka
lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang
diikuti dan dipercaya. Dari generasi mereka dan sesudah mereka muncul tujuh imam qiraat terkenal,
yaitu Abu Jafar Yazid bin Qaqa, dan Nafi bin Abdurrahman (semuanya dari Madinah). Ahli qiraat di
Mekkah antara lain Abdullah bin Katsir dan Humaid bin Qais. Di Kufah adalah Ashim bin Abun Najud,
Sulaiman al-Amasy, kemudian Hamzah kemudian al-Kisai. Di Basrah ada Abdullah ibn Abu Ishaq, Isa
ibn Amr, Abu Amr Ala, Asim al-Jahdari, dan Yakub al-Hadrami. Sedangkan di Syam adalah Abdullah
bin Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris, kemudian Suraih bin Yazid al-
Hadrami. Dari banyak imam tersebut, terdapat tujuh imam yang paling terkenal yaitu Abu Amr, Nafi,
Asim, Hamzah, al-Kisai, Ibn Amir, dan Ibn Katsir.[30]

4. Ragam Qiraat
Secara garis besar ada tiga macam qiraat, yaitu qiraat mutawatir, ahad, dan syadzdzah.[31] Namun,
pendapat lain sebagaimana As-Suyuti yang menukil dari Ibn al-Jazary, mengatakan bahwa ragam
qiraat ditinjau dari segi sanadnya terbagi menjadi enam macam:[32]

1. Qiraat mutawatir, yaitu qiraat yang diriwayatkan oleh orang ramai, dari orang ramai, sampai
orang terakhir yang mustahil mereka sepakat berdusta seperti qiraat tujuh yang disepakati jalurnya.

2. Qiraat masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tapi tidak mencapai derajat mutawatir,
seperti qiraat tujuh yang tidak disepakati jalurnya.

3. Qiraat ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, tapi menyimpang dari salah satu mushaf Usmani
atau kaedah bahasa Arab, atau tidak mencapai derajat masyhur seperti di atas.

4. Qiraat syadzdzah, yaitu qiraat yang periwayatannya menyimpang dari perawi-perawi yang
terpercaya, hingga tak ditemukan qiraat serupa kecuali hanya itu.

5. Qiraat maudhu, yaitu qiraat yang palsu, yang dinisbahkan kepada perawinya, tanpa dasar
seperti qiraat yang dihimpun oleh Muhammad bin Jafar al-Khuzai yang menurutnya berasal dari
Imam Abu Hanifah.

6. Qiraat mudraj, yaitu qiraat yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qiraat yang sah.

Jika diperhatikan lebih jauh, maka kategorisasi dari enam macam qiraat di atas adalah seperti
berikut:

Qiraat mutawatir adalah qiraat nomor 1.

Qiraat ahad adalah nomor 2 dan 3.

Qiraat syadzdzah adalah nomor 4, 5, dan 6.

5. Apakah Qiraat Sabah adalah Sabatu ahrufin?

Banyak ulama yang menyangka bahwa qiraat sabah(bacaan yang tujuh) adalah sama dengan sabatu
ahrufin (huruf yang tujuh) tersebut. Namun sebenarnya dua hal ini sangat berbeda. Abu Syammah
berkata dalam kitab Al-Mursyid al-Wajiz: Segolongan orang menyangka bahwa qiraat sabahyang
berkembang sekarang, itulah yang dikehendaki di dalam hadis. Persangkaan yang demikian
berlawanan dengan ijma semua ahli ilmu.[33]Pendapat yang mengatakan bahwa sabatu ahrufindan
qiraat tujuh itu berbeda sejalan dengan definisi Ibn Abdil Barr: Maksud hadis ini hanhyalah sebagai
contoh bagi huruf-huruf yang dengannya Quran diturunkan. Ketujuh huruf itu mempunyai makna
yang sama pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satupun di antaranya yang
mempunyai makna yang saling berlawanan atau satu segi yang berbeda makna dengan segi lain
secara kontradiktif dan berlawanan, seperti rahmat yang merupakan lawan dari azab.[34]
6. Hikmah Keragaman Qiraat dan Sabatu Ahrufin

Diturunkannya al-Quran dalam tujuh huruf, yang kemudian berimplikasi kepada timbulnya varian
cara baca (qiraat), memiliki beberapa hikmah sebagai berikut:[35]

Memperkokoh kesatuan ummat.

Dengan diturunkannya al-Quran dalam variasi bacaan yang sesuai dengan kemampuan mereka, maka
timbul sikap yang menganggap bahwa al-Quran bukan hanya milik satu golongan saja, melainkan
untuk semua golongan.

Bukti keagungan al-Quran.

Variasi bacaan dalam al-Quran bukan merupakan penyebab yang dapat menghancurkannya, namun
kenyataan yang terjadi adalah justru semakin jelas dan kaya. Ini adalah bukti bahwa al-Quran sangat
agung sekaligus bukti kemukjizatan al-Quran itu sendiri.

Memberikan kelegaan pada umat.

Ibadah dalam Islam sangatlah mudah.

Dengan keragaman bacaan tersebut, maka mereka diberi keleluasaan dalam membaca kitab suci
mereka, karena tidak dipaksa untuk membaca satu qiraat tertentu.

Lebih jauh, Imam al-Jazary merekomendasikan secara terperinci hikmah-hikmah keragaman


qiraat:[36]

1) Merupakan indikasi mutlak bahwa al-Quran adalah benar-benar firman Allah. Bukti yang
menguatkan hal ini adalah ketiadaan kontradiksi dalam beberapa hal yang berbeda-beda.
Berdasarkan firman Allah:

xsr& tbr-
/ytFt tb#u)9$# 4 qs9urtb%x. `B Z x !$# (#ry`uqs9 m$Zn=Fz$# #Z
W2

2) Merupakan bukti yang kuat atas kebenaran Rasulullah SAW.

3) Mengindikasikan keagungan umat Islam. Letak keagungannya terdapat pada sikap mufakat
mereka terhadap al-Quran yang turun dengan huruf-huruf yang berbeda.

4) Menunjukkan bahwa kitab Allah terpelihara dari penyimpangan.

5) Hikmah yang paling agung adalah mempermudah umat dalam urusan qiraat dan meringankan
umat dalam hal ini.
Selain itu, variasi qiraat juga bermanfaat sebagai penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global
dalam qiraat lain. Qiraat yang beragam tersebut juga semakin memperkaya khazanah keislaman.[37]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Azami, M. M., The History of The Quranic Text: From Revelation to Complication, Jakarta: Gema
Insani Press, 2005

Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahits fi Ulum al-Quran(terj.), Jakarta: Litera AntarNusa, 2007

Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman, Ulumul Quran, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Quran: Membahas Ilmu-Ilmu Pokok Dalam
Menafsirkan al-Quran, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010

As-Suyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulum al-Quran (terj.), Surakarta: Indiva Pustaka, 2008

Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010

As-Sindiy, Abdul Qayyum bin Abdul Ghofur, Shofahat fi Ulumil Qiroat, Beirut: Maktabah al-Imdariyah,
2001

[1] Al-Itqan, jilid 1, hal. 45

[2] Manna Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, hal. 229


[3] Lihat al-Itqan, jilid I, hal. 47

[4] al-Itqan, jilid I, hal. 47

[5] Hadis riwayat Hakim dan Baihaki

[6] Manna Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, lihat juga dalam Prof. Dr. Nashruddi
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, hal. 100

[7] Surat al-Mukminun ayat 8

[8] QS. Yusuf (12:31)

[9] QS. Ar-Rad ayat 31

[10] Surat at-Taubah ayat 111

[11] QS. Al-Baqarah ayat 259

[12] QS. Yasin ayat 35

[13] QS. Thaha ayat 9

[14] Lihat juga al-Itqan, jilid I hal. 45

[15] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu, hal. 93

[16] HR. Muslim

[17] HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmizi, Ahmad, dan Ibn Jarir

[18] Prof. Dr. M. M. Al-Azami, The History of The Quranic Text: From Revelation To Complication,
Jakarta: Gema Insani Pers, 2005, terj. hal. 168

[19] Lihat al-Itqan, jilid I hal. 41

[20] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, Yogyakarta: eLSAQ, terj. 2010, hal. 55

[21] Untuk dalil-dalil yang dijadikan argumen oleh pendapat-pendapat ini silahkan lihat Manna Khalil
Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, hal. 234-244

[22] Pendapat ini didukung oleh ar-Razi, Syaikh Muhammad Bakhit al-Mutii, dan Syaikh Muhammad
Abdul Azim az-Zarqani dari kalangan mutaakhirin.

[23] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu, hal. 92

[24] Manna Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, hal. 247

[25] Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan, hal. 412


[26] Dr. Abdul Qayyum bin Abdul Ghofur As-Sindiy, Shofahat fi Ulumil Qiroat, Beirut: Maktabah al-
Imdariyah, hal. 15

[27] Seperti dikutip oleh al-Zarqani dalam kitab Munjid al-Muqriin

[28] Prof. Dr. M. M. Al-Azami, The History of The Quranic Text, hal. 168

[29] Dr. Abdul Qayyum bin Abdul Ghofur As-Sindiy, Shofahat fi Ulumil Qiroat, 21-23

[30] Manna Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, hal. 248

[31] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu, hal. 106

[32] Prof. Hasby ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, hal. 140-141

[33] Prof. Hasby ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu al-Quran, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010, hal. 127

[34] Manna Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, hal. 235

[35] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu, hal. 114-115

[36] Dr. Abdul Qayyum bin Abdul Ghofur As-Sindiy, Shofahat fi Ulumil Qiroat, Beirut: Maktabah al-
Imdariyah, hal. 112-115

[37] Manna Khalil Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, hal. 258-259

Anda mungkin juga menyukai