Anda di halaman 1dari 2

Bagi anak, pendidikan merupakan hak.

Bagi orang tua dan guru, pendidikan merupakan


kewajiban. Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS at-
Tahrim[66]: 6).

Ali Ibnu Abu Thalib menjelaskan, cara untuk menjaga diri dan keluarga adalah dengan
mengajar dan mendidik anak-anak. Mendidik anak berarti memuliakan mereka.
Menelantarkan anak berarti menjerumuskan diri dan keluarga ke dalam neraka.

Mendidik dan mengajar adalah tugas orang tua dan guru sebagai pendidik. Kedua ikhtiar ini
membutuhkan kesabaran dan keikhlasan. Caranya pun harus dilakukan dengan penuh kasih
sayang. Bukan dengan cara menghardik dan menghajar.

Karena, sikap kasar cenderung merusak pikiran dan jiwa anak-anak. Merawat anak-anak
mesti dengan rasa welas asih. Menghardik berbeda dengan mendidik. Menghajar berbeda
dengan mengajar. Menghardik dan menghajar tak mungkin terjadi jika guru menjadikan rasa
kasih sayang sebagai cara terbaik mendidik anak-anak.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak punya belas kasihan, niscaya tidak
akan dikasihani” (HR Bukhari). Guru harus mendidik dengan kasih sayang dan penuh
perhatian.

Mendidik dengan kasih sayang bisa tampak melalui sikap hidup yang ditunjukkan guru
kepada murid. Guru punya kewajiban sekaligus etika dalam mendidik anak dengan landasan
kasih sayang. Pertama, guru adalah orang tua bagi murid-murid.

Sesungguhnya aku bagi kalian tiada lain hanyalah seperti orang tua kepada anaknya. Aku
mengajari kalian.” (Ibnu Majah melalui Abu Hurairah).

Kedua, guru menyadari anak merupakan amanah titipan dari Allah SWT. Tak ada istilah anak
kandung dan anak tiri. Semua murid harus diperlakukan bak anak kandung. Guru
bertanggung jawab penuh atas cara dan proses pendidikan murid di sekolah.

Imam Al Ghazali berkata, “Hak guru atas muridnya lebih agung dibanding hak orang tua
terhadap anaknya. Orang tua sering hanya menjadi penyebab adanya anak di alam fana dan
guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal.” Peran guru sungguh amat penting dan
strategis bagi pendidikan anak di sekolah.

Ketiga, cara perhatian guru kepada murid yang proporsional. Guru tak berlebihan dalam
memberikan penghargaan dan hukuman. Jangan pelit tapi juga tak mengumbar pujian. Jangan
enggan dan ragu, tapi juga tak setiap saat memberikan teguran.

Sikap baik ini membangun cara pandang guru yang tepat terhadap sosok anak pintar dan anak
nakal. Anak pintar dan nakal bisa jadi sumber cobaan bagi guru. Anak pintar bisa menjebak
guru jadi bersikap terlena dan merasa hebat.

Mendidik anak pintar menjadi sosok rendah hati pun bukan perkara mudah. Sebaliknya, anak
nakal bisa meruntuhkan batas kesabaran guru. Tak jarang guru yang tak mampu menguasai
hawa nafsunya bisa menghardik, bahkan memukul anak.
Ibnu Khaldun pernah berkata, “Barang siapa yang menerapkan pendidikannya dengan cara
kasar dan paksaan terhadap orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya, para budak, atau
para pelayannya, maka orang yang dididik olehnya akan dikuasai oleh serbaketerpaksaan.
Keterpaksaan akan membuat jiwanya merasa sempit dan sulit untuk mendapatkan
kelapangan.”

Jika guru menggunakan cara-cara kekerasan saat mendidik anak, makna mendidik jadi
kehilangan esensinya. Nilai-nilai kemanusiaan pada diri anak menjadi tergerus. Dampaknya
akan membuahkan anak didik yang berjiwa lemah, labil emosinya, lemah tekad dan inisiatif,
serta punya citra diri yang buruk.

Mendidik dan memberikan tuntunan merupakan sebaik-baik hadiah paling indah bagi anak.
Dan sebaik-baik cara mendidik anak adalah proses yang didasari rasa kasih sayang.

Karena itu berarti guru menyadari bahwa dirinya sedang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan
dan menjunjung tinggi nilai Ilahiah dalam mengajar dan mendidik anak.

Anda mungkin juga menyukai