Anda di halaman 1dari 16

Teknologi Pengelolaan dan Pemanfaatan Tgl : 26 November 2022

Limbah Industri dan Domestik Pertemuan : Pertemuan ke-13


Kelas/Kelompok : A2/Kelompok 4
Dosen : Dr. Ir. Haruki Agustina, M. Env. Eng. Sc
Asisten : Dimas Aprianto, A. Md
Rifdah Shafa Aulia, A. Md
Fitri Uswatun Hasana, A. Md

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU DAN

LIMBAH PADAT DOMESTIK

KELOMPOK 4:
Anysah Tatsbita J0313201166
Gilang Dzulfi Ramadhan J0313201106
Hakiem Nashrulloh J0313201059
Siti Abdiyah Wandani J0313201061
Lailia Kusuma Ningrum J0313201157
Viola Aqillah Refianda Olii J0313201013

PROGRAM STUDI TEKNIK DAN MANAJEMEN LINGKUNGAN


SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
BAB 1

PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Limbah merupakan sampah sisa produksi yang mengandung bahan – bahan yang dapat
menimbulkan polusi dan dapat mengganggu kesehatan. Berdasarkan sumbernya air limbah
dapat berasal dari domestik dan industri. Limbah Domestik adalah limbah yang berasal dari
aktivitas hidup sehari-hari manusia yang berhubungan dengan pemakaian air. Air limbah
domestik (greywater) merupakan air buangan yang berasal dari kegiatan dapur, toilet, wastafel
dan sebagainya yang jika langsung dibuang ke lingkungan tanpa dilakukan pengolahan terlebih
dahulu akan menyebabkan pencemaran dan dampak terhadap kehidupan di air (Filliazati et al.
2013). Air limbah sebelum dilepas ke pembuangan akhir harus menjalani pengolahan terlebih
dahulu. Untuk dapat melaksanakan pengolahan air limbah yang efektif diperlukan rencana
pengelolaan yang baik, agar tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan, tidak
menimbulkan kerusakan pada flora dan fauna yang hidup di air, tidak mengakibatkan
kontaminasi terhadap sumber-sumber air minum dan tidak menimbulkan bau atau aroma tidak
sedap.
Adapun limbah industri adalah berdasarkan wujud limbah terbagi menjadi 2 jenis yaitu
limbah padat dan limbah cair. Limbah padat adalah limbah yang memiliki wujud padat yang
bersifat kering dan tidak dapat berpindah kecuali dipindahkan. Limbah padat ini biasanya
berasal dari sisa makanan, sayuran, potongan kayu, ampas hasil industri, dan lain-lain.
Sedangkan limbah cair merupakan limbah yang memiliki wujud cair. Permasalahan
lingkungan saat ini yang dominan adalah limbah cair yang berasal dari hasil kegiatan domestik
dan industri. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan pengolahan terkait limbah padat cair
domestik dan rumah tangga. Pengolahan limbah baik cair maupun padat bertujuan untuk
mengurangi pencemaran di lingkungan. Beberapa pengolahan limbah padat misalnya
pembuatan biopori. Konsep teknologi biopori merupakan salah satu langkah solutif untuk
meningkatkan jumlah resapan air kedalam tanah. Ukuran serta dimensi lubang resapan tidak
terlalu membutuhkan lahan yang besar. Hal itu dengan menyesuaikan luasan permukaan
tertutup, karakteristik hujan, tinggi muka air tanah, dan volume dan efisiensi serapan tanah
(Yohana et al. 2017).

2.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengelolaan limbah cari indutri tahu dan
limbah padat domestik melalui metode composting serta menganalisis pengaruh
pengaplikasian kompos cair terhadap pertumbuhan tanaman kangkung.
BAB 2

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Kompos Cair


a. Pengertian
Kompos cair merupakan salah satu pupuk organik cair yang bahan dasarnya berasal
dari hewan atau tumbuhan yang sudah mengalami fermentasi berupa cairan dan kandungan
bahan kimia di dalamnya maksimum 5%. Pupuk organik cair pada dasarnya lebih baik
dibandingkan dengan pupuk organik padat. Penggunaan pupuk organik cair memiliki
beberapa kelebihan yaitu pengaplikasiannya lebih mudah, unsur hara yang terdapat di
dalam pupuk cair mudah diserap tanaman, mengandung mikroorganisme yang banyak,
mengatasi defisiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara, mampu menyediakan
hara secara cepat, proses pembuatannya memerlukan waktu yang lebih cepat, serta
penerapannya mudah di pertanian yakni tinggal di semprotkan ke tanaman. Ciri fisik pupuk
cair yang baik adalah berwarna kuning kecoklatan, pH netral, tidak berbau, dan memiliki
kandungan unsur hara tinggi (Tanti et al. 2019).

b. Referensi Pengaplikasian Kompos Cair Terhadap Tanaman


Kompos cair yang digunakan dalam praktikum ini adalah campuran air limbah tahu
dicampurkan dengan EM4 dan molase. Kompos cair ini memiliki kelebihan yaitu
kandungan unsur hara yang tinggi dan dapat diaplikasikan dengan mudah. Waktu yang
diperlukan lebih singkat dari pembuatan kompos padat dan harga jualnya lebih tinggi. Hasil
dari proses pengomposan pupuk cair berbentuk cairan kental pekat berwarna coklat
kehitaman, aromanya cenderung keasaman. Cara penggunaan kompos cair yaitu cukup
dengan menyemprotkan atau disiram pada media tanam. Pupuk organik cair mengandung
berbagai mineral, juga zat-zat esessial yang dibutuhkan tanah dan tanaman, serta hormon
pertumbuhan tanaman. Tidak hanya itu, pupuk organik cair akan lebih baik merangsang
pertumbuhan tanaman dan dapat secara efektif meningkatkan kapasitas tukar kation pada
tanah, bila dibandingkan dengan pupuk kimia (Hariyadi et al. 2020).

c. Cara Pembuatan Pada Saat Praktikum


Pembuatan kompos cair dari limbah cair tahu dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Siapkan 1 liter limbah cair industri tahu dan sedimentasikan hingga padatan dalam
limbah cair mengendap.
2. Lakukan penyaringan limbah cair menggunakan kain.
3. Masukkan 800 ml limbah cair tahu yang sudah disaring ke dalam botol.
4. Tambahkan EM4 sebanyak 2 tutup botol dan molase sebanyak 1 ½ tutup botol
kemudian homogenkan.
5. Tutup rapat botol dan buka pada hari ke-4 dan tutup kembali pada hari ke-7.
6. Aplikasikan kompos cair pada tanaman kangkung setelah 14 hari pengomposan.

Pengaplikasian kompos cair pada tanaman kangkung dilakukan dengan langkah-


langkah sebagai berikut :
1. Siapkan gelas air mineral bekas diisi dengan kapas 2 layer;
2. Buat 2 perlakuan; gelas pertama menggunakan media pupuk cair 100%, gelas kedua
air dan pupuk cair (50%:50%), gelas ketiga hanya air saja;
3. Sebelum digunakan pupuk cair dilarutkan dulu dengan air (komposisi 1:10),
Disemprotkan/disiramkan ke permukaan tanah dengan komposisi 1 liter pupuk cair
dilarutkan ke dalam 10 liter air;
4. Masukan bibit kangkung ke dalam media, masing-masing 5 biji;
5. Lakukan pengamatan laju pertumbuhan tanaman tersebut selama 2 minggu;
6. Interval pemberian pupuk cair 1-2 minggu sekali.

d. Dokumentasi Praktikum Kompos Cair


Tabel 1 Pembuatan kompos cair
Dokumentasi Pembuatan Kompos Cair

Dokumentasi Pembuatan Kompos Cair


e. Hasil Pengaplikasian Terhadap Tanaman Kangkung (Pertumbuhannya dan
Parameter-Parameter Pengamatannya)
Tabel 2 Pertumbuhan kangkung selama 14 hari
Perlakuan
Tanggal
P1 P2 P3

12 November

14 November

15 November

17 November

Tanggal Perlakuan
P1 P1

19 November

21 November

f. Panjang Daun Kangkung


Pengamatan pertumbuhan kangkung dilakukan dengan 3 perlakuan berbeda. Pada
perlakuan pertama, diberikan konsentrasi kompos cair sebanyak 100% pada media tanam.
Pada perlakuan kedua, ditambahkan campuran kompos cair dan air dengan perbandingan
1:1 dan pada perlakuan ketiga diberikan 100% air pada media tanam. Pertumbuhan
kangkung dengan 3 perlakuan berbeda menunjukkan hasil yang berbeda. Pengukuran pada
tanggal 9 November menunjukkan tinggi tanaman kangkung setinggi 0,83 cm untuk P1,
6.46 cm untuk P2, dan 8.76 untuk P3. Perlakuan pertama dengan konsentrasi pupuk cair
sebanyak 100% menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat dibanding kedua perlakuan
lainnya. Sedangkan perlakuan 3 (P3) dengan komposisi 100% air menunjukkan
pertumbuhan daun dan tinggi tanaman kangkung yang paling cepat.

Menurut Aliyenah et al. (2015), pH limbah sebelum dan sesudah melalui proses
komposting cenderung asam yang disebabkan oleh adanya proses penguraian bahan
organik akibat aktivitas bakteri asam laktat, asam asetet, asam pirenat, dan asam-asam
organik. Nazarudin (2000) dalam Lulan (2019) menyebutkan, pada umumnya kisaran
derajat keasaman (pH) media yang optimal untuk pertumbuhan tanaman kangkung adalah
pada kisaran pH netral. pH air yang digunakan pada perlakuan cenderung berada pada
rentang pH netral. Hal ini menjadi faktor pendukung tanaman kangkung pada perlakuan
100% air (P3) tumbuh lebih cepat dari kedua perlakuan lainnya.

g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengaplikasian Kompos Cair


Dosis pemberian pupuk kompos cair merupakan faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengaplikasian kompos cair. Dosis pemberian pupuk kompos cair yang tepat
akan menghasilkan tanaman yang makin panjang. Hal ini disebabkan karena pemberian
pupuk kompos dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara terutama unsur hara N yang
sangat dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan vegetatif tanaman. Unsur N merupakan
penyusun asam amino, protein dan asam nukleat serta klorofil; Unsur N yang berperan
penting dalam pertumbuhan vegetatif tanaman (Lidya dan Rahmi 2019).

Unsur hara makro dan unsur hara mikro mempengaruhi keberhasilan pengaplikasian
kompos cair. Unsur hara makro dan unsur hara mikro yang dibutuhkan oleh tanaman dapat
terpenuhi, selain itu juga adanya perbaikan sifat fisik tanah dan sifat biologis tanah,
sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik dan memberikan hasil buah yang tinggi.
Sesuai dengan pendapat Lingga dan Marsono (2003) pemberian pupuk organik selain
memperbaiki kesuburan tanah, juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah.
Dengan adanya perbaikan sifat-sifat tanah tersebut, maka tanaman dapat tumbuh dengan
baik dan dapat menghasilkan produksi buah yang tinggi. (Lidya dan Rahmi 2019).

Pengamatan terhadap pertumbuhan kangkung (tinggi tanaman, jumlah daun dan warna
daun) menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata pada setiap perlakuan dengan
pemberian pupuk kompos cair. Hasil menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah
daun, dan warna daun dengan pada perlakuan dengan pupuk kompos cair lebih baik
dibandingkan tanpa pupuk kompos cair. Hal ini disebabkan tingginya kandungan unsur
hara pada pupuk kompos cair salah satunya unsur hara nitrogen pada, fungsi nitrogen
sangat esensial sebagai bahan penyusun asam-asam amino, protein dan klorofil yang
penting dalam proses fotosintesis dan penyusunan komponen inti sel yang menentukan
kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Semakin banyak jumlah klorofil yang tersedia di
daun, menyebabkan pigmen warna hijau semakin pekat dan hasil fotosintesis juga
meningkat. Kandungan klorofil yang cukup dapat membentuk atau memacu pertumbuhan
tanaman terutama merangsang organ vegetatif tanaman. Pembentukan akar, batang dan
daun terjadi dengan cepat jika persediaan makanan yang digunakan untuk proses
pembentukan organ vegetatif tersebut dalam keadaan atau jumlah yang cukup sehingga
unsur nitrogen sangat diperlukan dalam pembentukan organ baru khususnya daun tanaman
(Angraeni et al. 2018).

2.2 Kompos Padat


a. Pengertian
Kompos padat merupakan yang terbuat atau berasal dari bahan-bahan organik seperti
sampah dapur rumah tangga, restoran, daun-daun kering, kotoran lain, serta rumput hijau
ataupun tanaman hijau dapat membantu meningkatkan kesuburan tanah (Larasati dan
Puspikawati 2019). Berdasarkan pengertian tersebut, limbah atau sampah yang dihasilkan
tidak dapat langsung digunakan menjadi kompos bagi tanah maupun tanaman, tetapi perlu
dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Pengolahan kompos padat dapat dilakukan dengan
beberapa metode, diantaranya metode takakura, metode pengomposan aerob, metode
pengomposan anaerob, metode pengomposan Open Windrow, metode pengomposan
biodigester, dan metode pengomposan Lubang Resapan Biopori (LRB).

Kompos memiliki kriteria khusus untuk dapat digunakan kepada tanah. Ciri-ciri
kompos matang ditandai dengan warnanya berubah menjadi coklat kehitam-hitaman, tidak
mengeluarkan bau, memenuhi SNI kompos. Kompos organik domestik diatur dalam SNI
19-7030-2004. Berdasarkan SNI 19-7030-2004 kematangan kompos ditunjukkan oleh hal-
hal seperti C/N ratio (10-20), suhu yang sesuai dengan air tanah, berwarna kehitaman dan
teksturnya seperti tanah, berbau tanah, memiliki pH 6.5-7.5, kadar air <25%, struktur
remah dan tidak menggumpal, dan daya absorbsi tinggi. Kompos yang baik juga memiliki
kandungan unsur yang seimbang atau biasa dikenal dengan istilah C/N ratio, karena unsur
inilah yang akan membantu memenuhi kebutuhan hara tanah. Pada proses pengomposan
harus memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi waktu pengomposan.
Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan diantaranya suhu, kelembapan, C/N
ratio,jumlah mikroorganisme yang terkandung didalamnya, dan kandungan nutrisi yang
cukup.

b. Referensi Pembuatan Kompos Padat Beserta Ragam Teknologinya


Sampah organik merupakan komponen terbesar sampah rumah tangga hampir
mencapai 70%. Sampah organik tersebut dapat dikomposkan dengan menggunakan alat
pengomposan yang disebut komposter atau reaktor kompos. Penggunaan komposter
merupakan cara untuk mempercepat proses pengomposan. Di Dalam komposter, proses
penguraian bahan organik dapat berlangsung lebih optimal. Cara ini dibutuhkan karena
penguraian bahan organik selalu berlomba dengan kenaikan volume sampah. Proses
pengomposan (composting) merupakan proses perubahan bantuan organisme mesofilik
dan termofilik, proses dekomposisi oleh mikroorganisme terhadap bahan organik
biodegradable yang menghasilkan produk seperti humus. Proses pengomposan dibagi
menjadi dua cara, yaitu dengan menggunakan udara bebas (aerob) dan tanpa udara
(anaerob) (Sinaga et al. 2021).

Pada praktikum pembuatan kompos padat dilakukan dengan metode aerob-anaerob.


Pengomposan anaerob adalah proses dekomposisi sampah organik tanpa adanya oksigen.
Normalnya pengomposan aerob dilakukan dalam waktu sekitar 40-50 hari sedangkan
pengomposan anaerob dilakukan dalam waktu 10-80 hari bergantung pada inokulum
mikroorganisme yang digunakan. Produk yang dihasilkan dari proses ini meliputi
metana(CH4), karbon dioksida (CO2), dan ammonia (NH3). Metode anaerob biasanya
memerlukan inokulan mikroorganisme (starter) untuk mempercepat proses
pengomposannya yakni effective microorganisms 4 (EM4). Dipasaran terdapat juga jenis
inokulan uga jeni inokulan dari berbagai merk seperti superbio, probio, dll. Bahan baku
yang digunakan material organik yang mempunyai perbandingan C dan N tinggi lebih dari
(30:1) seperti serbuk gergaji, sekam padi dan kotoran unggas. Waktu yang diperlukan
untuk membuat kompos dengan metode anaerob bisa 10-80 hari, tergantung pada
efektifitas dekomposer dan bahan baku yang digunakan. Suhu optimal selama proses
pengomposan berkisar 35-45oC dengan tingkat kelembaban 30-40% (Nugraha et al. 2017).

Proses pengomposan ini memiliki tujuan utama untuk menghasilkan energi.


Pengomposan ini berlangsung pada kondisi suhu mesofilik atau sekitar 25-45oC. Selama
proses pengomposan berlangsung di dalam komposter, sampah organik mengalami
penguraian secara biologis oleh mikroorganisme pengurai. Mikroorganisme tersebut
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energinya. Komposter berfungsi
mengalirkan udara serta memelihara kelembaban dan temperatur sehingga
mikroorganisme pengurai dapat bekerja optimal. Komposter juga berfungsi untuk
memisahkan kompos padat dan air lindi yang dihasilkan selama proses pengomposan.
Komposter yang digunakan untuk pengamatan yakni sebuah tumbler/drum biru besar, di
dalam drum tersebut terdapat saringan yang berfungsi untuk memisahkan kompos padat
dan air lindi yang dihasilkan (dapat digunakan sebagai pupuk cair), didalam drum terdapat
pipa berlbang yang berfungsi untuk menginjeksikan oksigen yang terdapat didalam drum
keseluruh bagian kompos melalui pori-pori yang ada pada bahan baku kompos dan
berfungsi menjaga kelembaban di setiap sisi kompos sehingga proses pengomposan
berjalan dengan optimal dan merata. Serta di bagian bawah drum terdapat kran yang
berfungsi untuk mengeluarkan air lindi yang dihasilkan.

Gambar Komposter anaerob

c. Cara Pembuatan Kompos Padat Saat Praktikum


Pembuatan kompos padat dari limbah padat domestik dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut.
1. Siap alat dan bahan yang dibutuhkan;
2. Kemudian sampah daun, sayur, buah, kulit, dan ranting dicacah sampai ukuran tertentu;
3. Siapkan alat atau wadah (drum) yang sudah diberi lubang;
4. Masukkan sampah organik setiap hari kedalam wadah yang sudah disiapkan;
5. Lalu Taburkan sampah organik dengan kotoran hewan atau serbuk gergaji atau
tanah/molase/EM4 dan dilakukan secara berulang-ulang sampai wadah penuh.
Upayakan wadah selalu dalam keadaan tertutup
6. Diamkan selama 3-4 minggu, maka kompos siap untuk dipergunakan sebelum
digunakan kompos disarankan untuk diangin-anginkan.

d Dokumentasi

Gambar 1 Alat dan proses komposting secara anaerob

e. Hasil Pembuatan Kompos (Deskripsi Kompos Yang Sudah Dibuat Dari Segi Fisik)
Berdasarkan hasil pengomposan bahan organik selama 2 minggu, kompos yang dihasilkan
sudah menunjukkan ciri/karakteristik bahwa kompos tersebut sudah matang atau sudah dapat
diproduksi. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, kompos yang sudah matang berwarna
kehitaman, teksturnya remah dan tidak menggumpal, dan berbau tanah. Akan tetapi proses
pengomposan tersebut tidak menghasilkan air lindi. Hal ini dikarenakan bahan yang digunakan
yang tidak terlalu banyak menghasilkan air (tidak mengandung banyak air), serta terlalu
banyak tanah yang dicampurkan dengan bahan lainnya, sehingga kondisi yang dihasilkan pada
saat masa aktif komposting hingga akhir komposting tidak dalam kondisi yang lembab akan
tetapi dalam kondisi kering.

2.3 Kompos Biopori


a. Pengertian
Biopori merupakan ruang atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk hidup, seperti
mikroorganisme tanah dan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil)
di dalam tanah dan bercabang-cabang dan sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara ke
dalam tanah (Brata dan Nelistya 2008 dalam Widyatuty et al. 2019). Liang pori terbentuk oleh
adanya pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman, serta aktivitas fauna tanah seperti
cacing tanah, rayap, dan semut di dalam tanah. Bentuk biopori meyerupai liang kecil dan
bercabang-cabang yang sangat efektif menyerap air ke dalam tanah. Berbagai ukuran dan jenis
organisme tanah hidup di antara pori-pori dan melalui pori tersebut organisme memperoleh air
dan oksigen sedangkan untuk makanan diperoleh dari bahan organik berupa pelapukan sisasisa
tanaman dan mahluk hidup lainnya (Brata dan Nelistya 2008 dalam Widyatuty et al. 2019).

Lubang Resapan Biopori (LRB) adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke
dalam tanah dengan diameter 10 – 30 cm dan kedalaman sekitar 80 cm atau di dalam
permukaan air tanah dangkal, tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang diisi
dengan sampah organik. Menurut Brata & Nelistya (2008) dalam Widyatuty et al. (2019)
mengemukakan bahwa agar lubang biopori tetap berfungsi optimal maka secara rutin diisi
dengan bahan organik, sehingga di dalam lubang resapan biopori akan tetap berlangsung
proses pengomposan secara aerobik oleh mikroorganisme tanah. Bahan organik yang
digunakan dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain sampah dapur rumah tangga,
potongan/pangkasan tanaman, sisa produksi pertanian yang tidak dimanfaatkan dan
sebagainya. Keberhasilan teknologi lubang resapan biopori sangat tergantung pada
ketersediaan bahan makanan mikroorganisme yang berasal dari sampah organik.

b. Referensi Pengaplikasian Biopori pada Skala Domestik dan Industri


Sistem pengelolaan sampah di perumahan sebagian besar masih tergolong menggunakan
konsep tradisional yang menganut konsep kumpul, angkut, dan buang atau kumpul, buang dan
bakar. Sistem ini masih terus digunakan karena masyarakat belum mengetahui cara
pengelolaan sampah dengan baik. Dimulai dari cara mengurangi timbunan sampah domestik
(reduce), menggunakan kembali sampah domestik yang masih layak digunakan (reuse) dan
mendaur ulang sampah domestik (recycle) sehingga sampah tersebut dapat bernilai ekonomi
(Dwiyanto 2011 dalam Halifa dan Achmad 2019). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan
adalah dengan cara sederhana dan murah yaitu dengan menerapkan sistem lubang biopori.
Masyarakat dilibatkan secara langsung dalam kegiatan penanganan permasalahan sehingga
merasa ikut andil dalam mengatasi permasalahan sampah yang pada akhirnya memperbesar
rasa memiliki lingkungan sekitarnya (Sudjatmiko et al. 2016 dalam Halifa dan Achmad 2019).

Lubang biopori pada perumahan dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 30
cm. Kedalamannya sekitar 100 cm. Lubang biopori yang telah selesai dibuat kemudian
dilengkapi dengan penutup dari papan pada bagian permukaannya dan dinding bagian atas
diperkuat dengan adukan semen sehingga tidak mudah runtuh/ambrol. Kemudian mengisi
lubang dengan sampah organik yang berasal dari sampah dapur dan dilanjutkan dengan
pemeliharaan dan perawatan lubang biopori, yaitu dengan menambahkan sampah organik jika
isi lubang biopori sudah berkurang atau menyusut akibat proses pelapukan. Setelah ± 3 minggu
sampah dapur telah menjadi pupuk kompos. Hasil pupuk kompos tersebut diambil dan
kemudian dianalisis kadar NPK di Laboratorium Unit Ilmu Tanah (Halifa dan Achmad 2019).

Guna mempertahankan kesehatan tanah atau lahan perkebunan, maka perlu dilakukan
perbaikan-perbaikan dalam praktek pertanian. Konservasi merupakan cara yang tepat untuk
mengurangi kerusakan tanah atau memulihkan tanah-tanah yang sudah termasuk pada kategori
rusak. Teknik konservasi yang biasanya digunakan diperkebuan kelapa sawit adalah berupa
pengawetan tanah seperti pembuatan rorak, penanaman tanaman penutup tanah, aplikasi bahan
organik seperti tandan kosong dan pola penyusunan pelepah kelapa sawit, Pembuatan lubang
biopori (Simangunsong 2011 dalam Manurung 2017). Teknik-teknik tersebut diharapkan dapat
mengurangi erosi, meningkatkan daya infiltrasi tanah sehingga pada areal-areal yang memiliki
keterbatasan air akan menyimpan air lebih banyak dan memiliki cadangan air pada musim
kemarau.

Lubang biopori dibuat pada piringan tanaman kelapa sawit dengan posisi lubang
membentuk empat garis jari-jari. Cara pembuatan lubang biopori yaitu tanah dibor dengan
diameter lubang 10 cm, dan kedalaman 100 cm dan jarak antara lubang biopori 30 cm dan
dalam 1 pirimgan dibuat lubang biopori sebanyak 16 lubang. Setelah pembuatan lobang selesai
dilanjutkan dengan pengisian TKKS kedalam lobang biopori. Pembuatan piringan dengan cara
mencangkol tanah di sekeliling batang tanaman kelapa sawit hingga bagian dalam lebih rendah
dibandingkan dengan bagian luar piringan. Dengan jari-jari piringan 1,5 m maka piringan
tanaman kelapa sawit benar-benar membentuk piring yang diharapkan dapat menahan laju
aliran air. Rumput tahan naungan ditanam pada gawangan mati tanaman kelapa sawit. Tanah
untuk areal penanaman terlebih dahulu digemburkan dengan cangkol hingga kedalaman 20 cm
sehingga rumput yang tahan naungan dapat hidup (Manurung 2017).

c. Cara Pembuatan Biopori Saat Praktikum


Lubang resapan biopori dibuat dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Buat lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah dengan kedalaman kurang lebih 100
cm
2. Sampah daun dan sampah organik yang berasal dari sampah dapur, sisa tanaman,
dedaunan, atau pangkasan rumput dicacah menjadi bagian kecil
3. Sampah daun dan sampah organik diaduk dan ditambahkan molase dan EM4
4. Isi lubang dengan sampah organik yang telah diaduk
5. Sampah organik perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang yang isinya sudah berkurang
dan menyusut akibat proses pelapukan
6. Kompos akan terbentuk 1-3 minggu dan dilakukan pengamatan kompos padat sesuai SNI
19-7030-2004.
d. Dokumentasi

Gambar 2 Proses pembuatan lubang resapan biopori

e. Hasil Pembuatan Kompos Biopori


Hasil dari pembuatan lubang biopori adalah berupa kompos biopori. Menurut Akbar et al.
(2018) sampah organik yang telah dimasukkan kedalam lubang akan diurai oleh
mikroorganisme yang terdapat dalam lubang resapan biopori. Sisa hasil uraian dimanfaatkan
sebagai pupuk kompos biopori. Cara kerja lubang resapan biopori ini adalah dengan
adanya organisme tanah yang menguraikan sampah organik yang ditanam dalam lubang.
Sampah menjadi sumber energi bagi organisme tersebut. Sampah yang diuraikan akan
menjadi kompos. Sehingga tentu saja selain berfungsi sebagai area peresapan air,
lubang biopori juga berfungsi sebagai “produsen” kompos. Kompos tersebut dapat
dipanen dan dimanfaatkan untuk pupuk organik. Pupuk organik ini tentu sangat
bermanfaat untuk budidaya tanaman organik (Karuniastuti 2014). Sesuai SNI 19-7030-
2004 kematangan kompos dinilai berdasarkan warna kompos yang kehitaman, tekstur seperti
tanah, berbau tanah dan suhu kompos adalah maksimal suhu air tanah. Warna kompos dan
tekstur kompos berwarna coklat dan terurai dengan tanah. Berbau seperti tanah dan bersuhu
seperti tanah. Hal itu dikarenakan bahan organik yang diletakkan di dalam lubang biopori telah
terdegradasi dengan mikroba tanah.

f. Kelebihan dan Kekurangan Pembuatan Kompos Metode Biopori


Kelebihan dari metode biopori mengurangi sampah organik, menyuburkan tanah pada
lubang resapan akan membuat tanah menjadi lebih gembur karena banyak mengandung air dan
udara. Selain itu, sampah organik yang ditaruh di dalam lubang resapan akan menstimulasi
aktivitas mikroorganisme di dalam tanah, yang kemudian akan menguraikan sampah organik
dan mengubahnya menjadi pupuk kompos, mencegah banjir dan menambah cadangan air
tanah, Mengurangi terbentuknya genangan-genangan air yang menjadi tempat berkembang
biaknya nyamuk penyebab penyakit seperti demam berdarah. Kelemahan dari metode biopori
yaitu tidak dapat digunakan semua lahan seperti tanah dengan tekstur liat dan tanah berbatu.
Pada tanah liat memiliki permeabilitasnya tinggi.
BAB 3

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Air limbah domestik mengandung bahan organik (protein, karbohidrat, dan lemak) dan
anorganik (butiran, garam, dan metal) baik tersuspensi maupun terlarut. Jenis limbah cair yang
dapat dimanfaatkan menjadi kompos cair yaitu yang memiliki kandungan bahan organik yang
tinggi seperti protein. Metode pengolahan limbah cair dengan composting dapat dilakukan secara
aerob dan anaerob. Teknologi yang dapat digunakan untuk mengolah limbah cair domestik dan
limbah cair industri seperti mesin berkas elektron, bioaktivator dan komposting anaerobik.
Penggunaan teknologi tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar MA, Sukainah A, Kadirman K. 2018. Efektivitas pupuk kompos dari hasil lubang resapan
biopori terhadap tanaman sawi (brassica juncea l.). J Pendidikan Teknologi Pertanian. 4(1):
68-76.
Aliyenah, Napoleon A, Yudono B. 2015. Pemanfaatan limbah cair industri tahu sebagai pupuk
cair organik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans
Poir). J Penelitian Sains. 17(3): 102-110.
Amalia RN, Devy SD, Kurniawan AS, Hasanah N, Salsabila ED, Ratnawati DAS, Fadil FM, Syarif
NA, Aturdin GA. 2022. Potensi limbah cair tahu sebagai pupuk organik cair di rt 31
kelurahan lempake kota samarinda. J Pengabdian Masyarakat Universitas Mulawarman.
1(1): 36-41.
Angraeni F, Kasi P, Suaedi, Saiful S. 2018. Pemanfaatan pupuk organik cair rebung bambu untuk
pertumbuhan kangkung secara hidroponik. J Biology Science & Education. 7(1): 42-46.
Dahlianah I. Pemanfaatan sampah organik sebagai bahan baku pupuk kompos dan pengaruhnya
terhadap tanaman dan tanah. Klorofil. 10(1): 10-13.
Dewi YS, Treesnowati. 2012. Pengolahan Sampah Skala Rumah Tangga Menggunakan Metode
Komposting. J Ilmiah Fakultas Teknik. 8(2): 35-48.
Dini YM, Zumtoturida AA, Nurhalisa S, Saptra BH. 2020. Pengelolaan Limbah Domestik Rumah
Tangga Menjadi Biokomposter Mikroorganisme Dengan Metode Aerob-Anaerob. J
Pengendalian Pencemaran Lingkungan. 2(1): 1-7.
Fanani F, Hananto FS, Hastuti E. 2020. Monitoring profil berkas elektron menggunakan sensor
chatode Ray Tube. J Health Sains. 1(1): 47-51.
Filliazati M, Isna A, Titin AZ. 2013. Pengolahan limbah cair domestik dengan biofilter aerob
menggunakan media bioball dan tanaman kiambang. J Teknologi Lingkungan Lahan Basah.
1(1): 1- 10.
Halifa N, Achmad M. 2019. Pembuatan lubang biopori sebagai wadah pengomposan sampah
organik di perumahan vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Mantikulore Kota Palu dan
pemanfaatannya sebagai media pembelajaran. Journal of Biology Science and Education.
7(1): 422-427.
Hariyadi, Winarti S, Basuki. 2020. Kompos dan pupuk organik cair untuk pertumbuhan dan hasil
cabai rawit (Capsicum frutescens) di tanah gambut. Journal of Environment and
Management. 2(1): 61-70.
Istirokhatun T, Nugraha WD. 2019. Pelatihan pembuatan ecobricks sebagai pengelolaan sampah
plastik di RT 01 RW 05, Kelurahan Kramas, Kecamatan Tembalang, Semarang. Jurnal
Pasopati “Pengabdian Masyarakat Dan Inovasi Pengembangan Teknologi. 1(2): 85-90.
Karuniastuti N. 2014. Teknologi biopori untuk mengurangi banjir dan tumpukan sampah organik.
Swara Patra: Majalah Ilmiah PPSDM Migas. 4(2): 60-68
Larasati AA, Pupikawati SI. 2019. Pengolahan sampah sayuran menjadi kompos dengan metode
takakura. J Ikesma. 15(2): 60-68.
Lidya E, Rahmi A. 2019. Pengaruh pupuk kompos dan pupuk organik cair nasa terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman mentimun (Cucumis sativus L.) varietas misano F1. J
AGRIFOR 18(2): 231-240.
Lulan DLAN. 2019. Pengaruh ph tanah yang mendapatkan perlakuan (air cucian beras) dan
perlakuan (air biasa) terhadap pertumbuhan tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans
poir). J Dosen Unstar Rote.
Manurung S. 2017. Evaluasi sifat tanah pada beberapa teknik konservasi tanah dan air di
perkebunan kelapa sawit. J Agro Estate. 1(1): 82-68.
Martini S, Yuliwati E, Kharismadewi D. 2020. Pembuatan teknologi pengolahan limbah cair
industri. J Distilasi. 5(2): 26-33.
Mufida DK. 2015. Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan Menggunakan
Kombinasi Sistem Anaerobik-Aerobik pada Pabrik Tahu “Duta” Malang. [Skripsi].
Universitas Brawijaya. Malang.
Nainggolan R, Pratama AL, Lopang I, Kusumawati E. 2018. Pengolahan air limbah domestic
dengan menggunakan tanah gambut dan tanaman air. J Teknik dan Ilmu Komputer. 7(26):
183-189.
Nugraha N, Anggraeni ND, Ridwan M, Fauzi O, Yusuf D. 2017. Rancang bangun komposter
rumah tangga komunal sebagai solusi pengolahan sampah mandiri Kelurahan Pasirjati
bandung. CR Journal. 3(2): 1-114.
Poernomo H. 2007. Kajian teknologi pembuatan pupuk organik cair dari limbah cair pra
penyamakan kulit pasca iradiasi. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Teknologi
Akselerator dan Aplikasinya; 1007 November; Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID):
Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan. 193-202.
Rakhmayani I, Aulia NS, Noviyanti, Jati DR, Apriani I. 2020. Pembuatan pupuk kompos cair dari
air buangan industri tahu. J Teknologi Lingkungan Lahan Basah. 8(2): 97-103.
Sepriani et al. 2016. Pengaruh limbah cair industri tahu terhadap kualitas air sungai paal 4
kecamatan tikala kota manado. J Chemistry Progress. 9(1): 29-33.
Sinaga R, Christy J, Haloho RD. 2021 Rancang bangun komposter aerob dan anaerob untuk
mengurangi sampah organik rumah tangga. J Agroteknosains. 5(2): 65-74.
Sunarsih E. 2014. Konsep pengolahan limbah rumah tangga dalam upaya pencegahan pencemaran
lingkungan. J Ilmu Kesehatan. 5(1): 162-167.
Tanti N, Nurjannah, Kalla R. 2019. Pembuatan Pupuk Organik Cair Dengan Cara Aerob. J ILTEK.
14(2):2053-2056.
Utami AR. 2013. Pengolahan limbah cair laundry dengan menggunakan biosand filter dan
activated carbon. J Teknik Sipil Untan. 13(1): 59-72.
Widyastuty AASA, Adnan AH, Atrabina NA. 2019 Pengolahan sampah melalui komposter dan
biopori di desa sedapurklagen benjeng gresik. J Abadimas Adi Buana. 3(1): 21-32.
Yohana C, Griandini D, Muzambeq S. 2017.Penerapan Pembuatan Teknik Lubang Biopori
Resapan Sebagai Upaya Pengendalian Banjir. J Pemberdayaan Masyarakat Madani. 1(2):
296–308.

Anda mungkin juga menyukai