Anda di halaman 1dari 121

MAKALAH

SEJARAH PERKOTAAN
SEJARAH YOGYAKARTA
Dosen Pengampu: Suparman Arif S.Pd., M.Pd
Yusuf Perdana S.Pd., M.Pd

Oleh :
Kelompok 5
Reynaldi Jovanda 1913033002
Alifa Cantika Dewi 1913033014
Nunung Yuliana 1913033020
Reni Royani 1913033016
Kiki Zaidah 1913033045
M. Fajar Maulana 1913033049

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah Sejarah
Perkotaan. Penulis dengan judul “Sejarah Yogyakarta.” Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen mata
kuliah Sejarah Perkotaan Bapak Suparman Arif S.Pd., M.Pd dan Bapak Yusuf
Perdana S.Pd., M.Pd. yang telah membimbing dalam menulis makalah
ini.Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bandar Lampung, 15 Februari 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1.....................................................................................................................Latar
Belakang .................................................................................................... 1
1.2.....................................................................................................................Rum
usan Masalah ............................................................................................. 2
1.3.....................................................................................................................Tujua
n ................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
2.1. Gambaran Umum Wilayah Yogyakarta.................................................... 3
2.1.1. Sejarah Kota Yogyakarta Dari Masa Ke Masa................................ 9
2.1.2. Yogyakarta Sebagai Kota Tradisional ............................................ 30
2.1.3. Tata Ruang Kota Yogyakarta ......................................................... 32
2.1.4. Kota Yogyakarta Berdasarkan Teori Konsentris ............................ 35
2.2. Unsur-Unsur Kebudayaan Yogyakarta ..................................................... 44
2.2.1. Sistem Religi ................................................................................... 44
2.2.2. Sistem Kemasyarakatan dan Perkembangan Sosial ....................... 45
2.2.3. Pengetahuan dan Pendidikan .......................................................... 50
2.2.4. Bahasa ............................................................................................. 58
2.2.5. Mata Pencaharian dan Ekonomi ..................................................... 60
2.2.6. Kesenian ......................................................................................... 73
2.2.7. Teknologi dan Peralatan ................................................................. 83
2.3. Tempat Peninggalan Bersejarah Kota Yogyakarta .................................. 89
2.3.1. Candi Prambanan ............................................................................ 89
2.3.2. Sejarah Mlioboro ............................................................................ 92
2.3.3. Kotagede ......................................................................................... 94
2.3.4. Keraton Yogyakarta ........................................................................ 97
2.3.5. Tamansari ....................................................................................... 99

iii
2.3.6. Benteng Vredeburg .........................................................................103
2.3.7. Goa Selarong ..................................................................................104

BAB III KESIMPULAN ............................................................................... 108


3.1. Kesimpulan ............................................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 111

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan daerah otonomi setingkat
provinsi yang dikepalai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Kepala
Daerah DIY dan Paku Alam VIII sebagai Wakil Kepala Daerah DIY. Undang-
Undang yang membentuk Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai otonomi tingkat
Provinsi adalah Undang-Undang No. 3 jo 19 Tahun 1950. Kesultanan Yogyakarta
mengalami perpecahan setelah Belanda menganggap Sultan Yogyakarta tidak
patuh terhadap mereka. Kerajaan Yogyakarta dipecah menjadi Kesultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman (wilayah kekuasaan lebih sempit).
Pembagian wilayah tersebut menjadi cikal bakal Daerah Istimewa Yogyakarta
yang merupakan Negara Bagian dari masa penjajahan Belanda, Inggris, Hindia
Belanda, dan Jepang. Perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan RI tidak
bisa dilepaskan dari Yogyakarta. Yogyakarta ditetapkan sebagai ibukota
pemerintahan RI pada awal Tahun 1946, Yogyakarta juga menyimpan sejarah
yang sangat penting. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari pemimpin
Yogyakarta itu sendiri, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tidak lama
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan di Jakarta, Sri Sultan
menyambutnya bersama Paku Alam VIII dengan pernyataan bahwa Yogyakarta
adalah bagian dari RI. Pernyataan tersebut segera ditanggapi oleh Soekarno
dengan sambutan yang menyenangkan. Hubungan antara keduanya pun mulai
terjalin (Patari, 2015: 70).
Kebudayaan memiliki arti luas yang melibatkan pikiran, karsa dan hasil
karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya sehingga dapat dicetuskan oleh
manusia setelah mengalami proses belajar. Konsep ini menyangkut hampir
seluruh kegiatan manusia di dalam mengarungi kehidupannya. Unsur universal
kebudayaan yang ada di seluruh dunia meliputi: religi, organisasi kemasyarakatan,
pengetahuan, bahasa, mata pencaharian, kesenian, dan teknologi dan peralatan.
Namun, pengembangan kebudayaan asli yang sebenarnya dapat dilakukan di
Indonesia, hanya pada satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan tersebut, yaitu

1
kesenian karena unsur yang lain mengalami akulturasi. Berdasarkan pemikiran
tersebut maka titik fokus upaya pelestarian kebudayaan di Yogyakarta adalah
pada unsur kebudayaan yang dapat dikembangkan dan dapat diunggulkan agar
menjadikan Yogyakarta sebagai pusat pariwisata kebudayaan terkemuka di Tahun
2020.

1.2 Rumusan Masalah


Mengacu pada latar belakang permasalahan diatas kawasan kota Yogyakarta
memiliki perkembangan historis yang sangat kompleks dan sosial budaya yang
menarik, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah perkembangan Kota Yogyakarta pada masa kolonial
sampai sekarang?
2. Apa sajakah 7 unsur budaya kota Yogyakarta?
3. Apa saja peninggalan kesejarahan kota Yogyakarta?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diketahui tujuan dari penulisan
makalah ini sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan kota Yogyakarta pada masa kolonial
sampai sekarang.
2. Untuk mengetahui 7 unsur budaya pada kota Yogyakarta.
3. Untuk mengetahui peninggalan kesejarahan kota Yogyakarta.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gambaran Umum Wilayah Yogyakarta
Keberadaan suatu kota atau kawasan dipengaruhi oleh citra kawasan tersebut.
Manusia secara alami akan mengingat suatu tempat dimana mereka merasa
nyaman. Hal tersebut yang menyebabkan terjadinya persebaran manusia di
seluruh dunia. Persebaran yang terjadi berkembang menjadi suatu kebudayaan
yang berbeda-beda dipengaruhi beberapa faktor sehingga setiap kawasan
mempunyai ciri khas tersendiri dibanding kawasan lainnya. Pada masa modern,
justru manusia membuat perbedaan kawasan secara sengaja untuk menunjukkan
eksistensi dan karakter dari kawasan tersebut. Keadaan geografis masing-masing
kawasan yang berbeda-beda menyebabkan ciri khas suatu kawasan tidak hanya
dapat dilihat dari unsur alam, namun juga tata kota dan bangunan. Saat ini dikenal
unsur-unsur meskipun terkadang mempunyai sedikit kesamaan dengan kawasan
lain yang berdekatan. Unsur pembentuk karakter kawasan diantaranya adalah
landmark, vista, lanskap, dan focal point (Haryono, 2015: 96).
Landmark secara umum dapat diartikan juga sebagai penanda. Dalam suatu
kawasan keberadaan suatu landmark berfungsi untuk orientasi diri bagi
pengunjung. Landmark dapat berupa bentuk alam seperti bukit, gunung, danau,
lembah, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, landmark dapat berupa
gedung, monumen, sculpture, tata kota, alur jalan, dan vegetasi. Menurut
Wikipedia Indonesia, landmark adalah sesuatu objek geografis yang digunakan
oleh para pengelana sebagai penanda untuk bisa kembali ke suatu area.
Arti vista secara harafiah berhubungan dengan view yang berarti pandangan
sejauh yang dapat tertangkap oleh mata manusia. View hanya dapat dibatasi oleh
sesuatu yang menghalangi. View merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
perencanaan kawasan. Bagaimana suatu kawasan mempunyai nilai estetika yang
baik sangat ditentukan oleh faktor view. Hal ini berhubungan dengan kontur, gaya
bangunan, jalur jalan dan elemen-elemen lain seperti furnish cape, taman kota,
dan public area. Vista yang berhubungan dengan path, edge, district, dan node
akan sangat mempengaruhi citra kota. Path atau jalur yang vital seperti jalur
transportasi menurut adalah sesuatu yang mewakili gambaran kota secara

3
keseluruhan. Edge adalah batas wilayah yang dapat berupa dinding, sungai, atau
pantai. District adalah kawasan kota dalam skala dua dimensi yang mempunyai
kemiripan dalam bentuk, pola dan fungsinya. Node adalah sebuah titik temu
berbagai aktivitas ataupun arah pergerakan penduduk kota, seperti persimpangan,
pasar, square, dan sebagainya (Haryono, 2015: 98).
Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang
dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dengan karakter menyatu secara
alami dan harmonis untuk memperkuat karakter lanskap tersebut. Lanskap
mencakup semua elemen pada tapak, baik elemen alami (natural landscape),
elemen buatan (artificial landscape) dan penghuni atau makhluk hidup yang ada
di dalamnya. Dapat disimpulkan, pengertian lanskap adalah suatu lahan atau tata
ruang luar dengan elemen alami dan elemen buatan yang dapat dinikmati oleh
indera manusia. Material lanskap digolongkan menjadi dua jenis yaitu softscape
dan hardscape. Softscape adalah istilah yang digunakan untuk unsur-unsur
material yang berasal dari alam. Elemen softscape merupakan elemen yang
dominan, terdiri dari tanaman atau pepohonan dan air. Berikut ini merupakan
gambaran lanskap kota Yogyakarta jika dilihat dari element softscape dan
hardscape:
a. Lanskap Softcape Kota Yogyakarta

Gambar 2.1. Peta sumbu imajiner kota Yogyakarta


Sumber: Bappeda Kota Yogyakarta, 2013

4
Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada Pulau Jawa bagian tengah, dengan sisi
selatan dibatasi Samudera Indonesia, sedangkan di bagian lainnya dibatasi oleh
wilayah provinsi Jawa Tengah yang meliputi:
1. Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukoharjo, di sebelah Timur Laut
2. Kabupaten Wonogiri di sebelah Timur dan Tenggara
3. Kabupaten Purworejo di sebelah Barat
4. Kabupaten Magelang di sebelah Barat Laut
5. Kabupaten Boyolali di sebelah Utara

Gambar 2.2: Peta Wilayah Kota Yogyakarta


Sumber: Bappeda Kota Yogyakarta, 2013

Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas satu kota dan empat kabupaten
dengan 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan, dengan perincian:
1. Kota Yogyakarta terdiri atas 14 kecamatan dan 45 kelurahan/desa;
2. Kabupaten Bantul terdiri atas 17 kecamatan dan 75 kelurahan/desa;
3. Kabupaten Kulon Progo terdiri atas 12 kecamatan, 88 kelurahan/desa;
4. Kabupaten Gunung
kidul terdiri atas 18 kecamatan dan 144 (LKJPJ DIY, 2014: 25-26).

5
Kondisi Klimatologis di Yogyakarta, Iklim dan cuaca mempunyai sifat
spesifik untuk suatu tempat, sehingga keadaannya sangat bervariasi dari satu
tempat ke tempat lain. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan kondisi hidrologi
dan tanaman yang mampu beradaptasi pada daerah yang berbeda kondisi
iklimnya. Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/Tahun
dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. 
Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin
barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim
kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140°
dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam. Curah hujan tahunan di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta berkisar antara 718 mm/Tahun sampai 2992.3
mm/Tahun, curah hujan yang rendah umumnya dijumpai di wilayah Gunung
Kidul dan Bantul, sedangkan curah hujan yang relatif tinggi dijumpai di wilayah
Sleman. Curah hujan terbesar selama kurun waktu 1994-1997 terjadi di
Kabupaten Sleman, yaitu Tahun 1995 dengan intensitas 2992.3 mm/Tahun. Curah
hujan paling kecil terjadi di Kabupaten Gunung Kidul yaitu 197.6 mm/Tahun
pada Tahun 1997. Berdasarkan fakta ini dapat diketahui bahwa Kabupaten Sleman
merupakan daerah yang memiliki potensi sumberdaya air yang besar ditinjau dari
banyaknya input dari air hujan. Selain itu potensi sumberdaya air berdasar input
curah 144 (LKJPJ DIY, 2014: 27).

b. Lanskap Elemen Keras (Hardscape) Kota Yogyakarta

Hardscape adalah unsur-unsur material buatan atau elemen selain vegetasi


yang dimaksudkan adalah benda-benda pembentuk taman, terdiri dari bangunan,
gazebo, kursi taman, kolam ikan, pagar, pergola, air mancur, lampu taman, batu,
kayu, dan lain sebagainya. Berikut ini contoh landskap hardscape kota Yogyakarta
yang digambarkan dengan alun-alun.
Alun-alun Selatan Keraton Yogyakarta saat ini begitu hidup berkembang
sebagai ruang publik terutama setiap malam dengan berbagai kegiatan menarik.
Perubahan pemaknaan terjadi seiring perkembangan jaman. Alun-alun kidul
mengkondisikan tata ruang keraton agar tidak membelakangi arah laut Selatan,

6
dan dipercaya sebagai permintaan Ratu Kidul (penguasa ghaib Laut Selatan).
Fungsi alun-alun selatan yang semula sekedar pengkeran (halaman belakang)
mulai berubah menjadi terbuka untuk publik sejak peringatan 200 Tahun Kota
Yogyakarta Tahun 1956. Peringatan itu berupa pekan raya yang sangat besar dan
ditandai dengan pembangunan dua monumental building, yaitu Gedung Dwisoto
Warso (di sebelah selatan Masjid Agung, kawasan alun-alun utara) dan gedung
Sasono Hinggil Dwi Abad (sisi utara alun-alun selatan). Hal ini menjadi semacam
intervensi dari lingkungan privat di alun-alun selatan dengan bangunan publik
yang sangat mudah diakses publik. Dari sini berkembang dinamika antara lain
Kedaulatan Rakyat (harian di Yogyakarta) mengadakan pertunjukan wayang kulit
rutin setiap bulan.

Gambar 2.3 Alun-Alun Selatan


Sumber: https://g.co/kgs/jMskuK
Alun-Alun Utara adalah alun-alun belakang kepunyaan raja seluas
160x160 meter persegi, dipinggirnya dibangun bata setinggi 2 meter lebih 20
(centimeter). Pagar tadi merupakan bangunan baru di Zaman Sultan HB VII
dengan gerbang gapura 3 sebagai tanda penghormatan Dewa Siwa yang disebut
bermata tiga. Di sekeliling alun-alun terdapat lima jalan yaitu Jl Gajahan, Jl
Patehan, Jl Langenastran Lor, Jl Langenastran Kidul dan Jl Gading. Angka lima

7
ini melambangkan pancaindera, sedangkan permukaan pasir pada alun-alun
melambangkan bahwa segala sesuatu yang terlihat masih belum teratur seperti
pasir. Berdasarkan wawancara dengan Prof Dr R.M. Soedarsono dan diperkuat
dengan keterangan dari kanjeng Gusti bulan Maret 2015, alun-alun selatan
merupakan simbol pelereman (penenangan). Di tengah alun-alun, baik alun-alun
utara maupun selatan terdapat dua buah pohon beringin (Widiyati, 2017:19).

Gambar 2.3 : Alun-alun utara Yogyakarta


Sumber: https://g.co/kgs/jMrkuK
Sejak menjelang Tahun 2000 gajahan (kandang gajah yang terletak di sisi
barat alun-alun selatan) diaktifkan lagi. Selain untuk atraksi wisata keraton,
keberadaan gajahan ini justru menjadi awal perkembangan ruang publik.
Munculnya masalah pemeliharaan dan tidak terkontrol nya alun-alun
mengakibatkan gajahan tidak diaktifkan lagi sejak Tahun 2010, namun hal ini
tidak menghentikan kegiatan kreatif alun-alun selatan. Para pelaku usaha tetap
bertahan. Kegiatan ritual masangin (berjalan menembus di antara dua pohon
beringin), kuliner lesehan serta kereta lampu (odong-odong) menjadikan suasana
malam di alun-alun selatan berkembang menjadi ruang publik melebihi ramainya
alun-alun utara. Hal ini menarik mengingat alun-alun sebenarnya adalah halaman
pribadi istana milik raja, bukan milik publik (Widiyati, 2017:17).

8
2.1.1. Kota Yogyakarta Dari Masa Ke Masa
Sejak sebelum berdirinya Keraton Yogyakarta atau pada masa Kerajaan
Mataram menguasai wilayah ini hingga saat ini wilayah Yogyakarta telah
mengalami perkembangan dari masa ke masa. Perkembangan ini juga tidak lepas
dari pihak kolonial dan pemerintah. Berikut akan di jelaskan mengenai sejarah
perkembangan Kota Yogyakarta dari masa ke masa.
A. Sejarah Kota Yogyakarta Pada Masa Kerajaan Mataram (Pra Kolonial)

Antara Tahun 1568–1586 di pulau Jawa bagian tengah, berdiri Kerajaan Pajang
yang diperintah oleh Sultan Hadiwijaya, di mana semasa mudanya beliau terkenal
dengan nama Jaka Tingkir. Dalam pertikaian dengan Adipati dari Jipang yang
bernama Arya Penangsang, beliau berhasil mucul sebagai pemenang atas bantuan
dari beberapa orang panglima perangnya, antara lain Ki Ageng Pemanahan dan
putera kandungnya yang bernama Bagus Sutawijaya, seorang Hangabehi yang
bertempat tinggal di sebelah utara pasar dan oleh karenanya beliau mendapat
sebutan: Ngabehi Loring Pasar. Sebagai balas jasa kepada Ki Ageng Pemanahan
dan puteranya itu, Sultan Pajang kemudian memberikan anugerah sebidang daerah
yang disebut Bumi Menataok, yang masih berupa hutan belantara, dan kemudian
dibangun mejadi sebuah “Tanah Perdikan”. Sesurut Kerajaan Pajang, Bagus
Sutawijaya yang juga menjadi putra angkat Sultan Pajang, kemudian mendirikan
Kerajaan Mataram di atas Bumi Mentaok dan mengakat diri sebagai Raja dengan
gelar Panembahan Senopati. Salah seorang putera beliau dari pekawinannya
dengan Retno Dumilah, putri Adipati Madiun, memerintah Kerajaan Mataram
sebagai Raja ketiga, dan bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo, Beliau adalah
seorang patriot sejati dan terkenal dengan perjuangan beliau merebut kota Batavia,
yang sekarang disebut Jakarta, dari kekuasaan VOC, suatu organisasi dagang
Belanda (Aditya, 2018: 8).

B. Kota Yogyakarta Pada Masa Kolonial


Pada awalnya Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang dan hal
itu dapat membantu perekonomian masyarakat Indonesia dari segi perdagangan.
Masyarakat Indonesia yang mempunyai kebudayaan ramah menerima baik bangsa
asing yang datang ke Indonesia. Belanda menyalahgunakan kepercayaan yang
diberikan oleh masyarakat yang ada di Indonesia untuk menjajah. Hal itu terjadi

9
setelah melihat kemakmuran bumi Indonesia. Lalu muncul niat mengusai wilayah
Indonesia termasuk Yogyakarta. Kota Yogyakarta adalah kota yang mempunyai
berbagai keistimewaan dan menyimpan sejarah yang panjang. Terbentuknya kota
Yogyakarta diawali ketika penandatanganan Perjanjian Giyanti yaitu pada tanggal
13 Februari 1755. Pada Perjanjian Giyanti tersebut, Belanda membagi wilayah
kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Surakarta yang tetap diperintah oleh
Susuhunan dan Yogyakarta yang diperintah oleh Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi memakai nama Hamengku Buwono atau disebut sultan
HB, serta hanya keturunan sahnya yang berhak menduduki tahta kerajaan. Sultan
yang baru kemudian menerima separuh dari Mataram dan menamakan kerajaan
serta ibukotanya yang baru Ngayogyakarta Hadiningrat atau Yogyakarta
(Soemardjan, 1981: 20).
Waktu terus berjalan dan peristiwa silih berganti. Pada permulaan abad ke-18,
Kerajaan Mataram diperintah oleh Sri Sunan Paku Buwono ke II. Setelah beliau
mangkat, terjadilah pertikaian keluarga, antara salah seorang putra beliau dengan
salah seorang adik beliau, yang merupakan pula hasil hasutan dari penjajah
Belanda yang berkuasa saat itu. Pertikaian itu dapat diselesaikan dengan baik
melalui Perjanjian Ginyanti, yang terjadi pada Tahun 1755, yang isi pokoknya
adalah Palihan Nagari, yang artinya pembagian Kerajaan menjadi dua, yakni
Kerajaan Surakata Hadiningrat dibawah pemerintah putra Sunan Paku Buwono
ke-III, dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah pemerintahan adik
kandung Sri Sunan Paku Buwono ke-II yang kemudian bergelar Sultan Hamengku
Buwono I. Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat ini kemudian lazim disebut
sebagai Yogyakarta dan sering disingkat menjadi Jogja. Pada Tahun 1813, Sri
Sultan Hamengku Buwono I, menyerahkan sebagian dari wilayah Kerajaannya
yang terletak di sebelah Barat sungai Progo, kepada salah seorang putranya yang
bernama Pangeran Notokusumo untuk memerintah di daerah itu secara bebas,
dengan kedaulatan yang penuh. Pangeran Notokusumo selanjutnya bergelar
sebagai Sri Paku Alam I, sedang daerah kekuasaan beliau disebut Adikarto.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, beliau menyatakan sepenuhnya berdiri di
belakang Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari negara persatuan

10
Republik Indonesia, yang selanjutnya bersatatus Daerah Istimewa Yogyakarta
(setingkat dengan Provinsi), sampai sekarang (Aditya, 2018: 9).

Pada masa kolonial Belanda, pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta diatur


kontrak politik yang dilakukan pada Tahun 1877, 1921, dan 1940, antara Sultan
dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa Keraton tidak
tunduk begitu saja kepada Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengakui
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman sebagai
kerajaan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya
sendiri yang dikenal dengan istilah Zilfbesturende Landschappen. Kontrak politik
terakhir Kasultanan Ngayogyakarta tercantum dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47,
sedangkan kontrak politik Kadipaten Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor
577 (Surjomihardjo, 2008: 50).

Sebagai kota ibukota Negara, Yogyakarta disebut Kutho Negoro. Ibukota


negara ini di bawah pemerintahan Sultan langsung. Sultan adalah penguasa
tunggal, pusat dari kegiatan sosio kultural, sebagaimana ciri sistem pemerintahan
otokratis/theokratis. Pada era ini, kesultanan mempunyai dua sub sistem
pemerintahan, yaitu Parentah Jero (dalam), yang mengurusi rumah tangga
keraton dan berbagai ritual budaya kesultanan serta Parentah Jobo (luar) yang
mengurusi persoalan pemerintahan kesultanan di luar keraton. Kuatnya kekuasaan
keraton menunjukkan kuatnya budaya feodal di masyarakat Yogyakarta masa itu
(Suryanto, dkk, 2015: 8).
Ketika Sultan HB I sibuk merancang dan melaksanakan pembangunan
kompleks ibukotanya, pejabat-pejabat VOC mempertimbangkan langkah
selanjutnya untuk memperkuat posisinya di Yogyakarta. Nicolaas Hartingh
mengusulkan kepada penguasa VOC di Batavia agar mempertimbangkan lokasi
pembangunan infrastruktur pertahanan baru yang diperlukan di kota Yogyakarta.
Ketika pembangunan kompleks keraton sedang berlangsung dan lokasi tepatnya
telah diketahui, maka Hartingh menghadap kepada Sultan HB I dengan tujuan
meminta tanah untuk keperluan pembangunan benteng VOC. Alasan yang
digunakan Hartingh adalah untuk melindungi Sultan dari serangan musuh-
musuhnya sehingga VOC perlu menempatkan satu kesatuan yang akan tinggal di
sebuah benteng. Hal tersebut disetujui oleh Sultan dan Hartingh memilih lokasi

11
tepat di depan keraton. Tahun 1760 pembangunan benteng mulai dilaksanakan.
Pada masa penjajahan Inggris, Yogyakarta harus terpecah lagi menjadi dua yaitu
Yogyakarta dan Pakualam (Marihandono, 2008: 23).
Ketika Sultan HB I sibuk merancang dan melaksanakan pembangunan
kompleks ibukotanya, pejabat-pejabat VOC mempertimbangkan langkah
selanjutnya untuk memperkuat posisinya di Yogyakarta. Nicolaas Hartingh
mengusulkan kepada penguasa VOC di Batavia agar mempertimbangkan lokasi
pembangunan infrastruktur pertahanan baru yang diperlukan di kota Yogyakarta.
Ketika pembangunan kompleks keraton sedang berlangsung dan lokasi tepatnya
telah diketahui, maka Hartingh menghadap kepada Sultan HB I dengan tujuan
meminta tanah untuk keperluan pembangunan benteng VOC. Alasan yang
digunakan Hartingh adalah untuk melindungi Sultan dari serangan musuh-
musuhnya sehingga VOC perlu menempatkan satu kesatuan yang akan tinggal di
sebuah benteng. Hal tersebut disetujui oleh Sultan dan Hartingh memilih lokasi
tepat di depan keraton. Tahun 1760 pembangunan benteng mulai dilaksanakan.
Pada masa penjajahan Inggris, Yogyakarta harus terpecah lagi menjadi dua yaitu
Yogyakarta dan Pakualam (Marihandono, 2008: 23).
Menurut Gubernur J. Vos pada Tahun 1771 pembangunan benteng di
Yogyakarta belum banyak terselesaikan. Bahkan sampai pergantian Gubernur
pada Tahun 1774 di bawah pimpinan Gubernur J.R Van Der Burg baru
diusahakan untuk mendesak sultan agar giat membangun benteng tersebut.
Bahkan sampai Tahun 1781, yang saat itu Gubernur pantai utara Jawa dijabat oleh
J. Siberg dilaporkan bahwa pembangunan benteng sangat lambat, sebab sultan
hanya sibuk dengan membangun istananya saja. Walaupun demikian benteng
tersebut sudah terbentuk wujudnya, rumah komandan belum selesai dan sebagian
gedung masih belum diberi langit-langit (Wibowo, 2019:3).
Baru pada Tahun 1787 pembangunan benteng Kompeni itu dapat diselesaikan
dengan nama resmi Rustenbergh. Pembangunan benteng kompeni itu ternyata
memakan waktu lama kurang lebih 28 Tahun. Benteng Rustenbergh ini pertama
kali di bawah penguasaan VOC kemudian dalam perkembangannya antara Tahun
1788-1799 mengalami kebangkrutan diambil alih oleh Bataafsche Republic
(Pemerintah Belanda) (Wibowo, 2019:4).

12
Menurut Gubernur J. Vos pada Tahun 1771 pembangunan benteng di
Yogyakarta belum banyak terselesaikan. Bahkan sampai pergantian Gubernur
pada Tahun 1774 di bawah pimpinan Gubernur J.R Van Der Burg baru
diusahakan untuk mendesak sultan agar giat membangun benteng tersebut.
Bahkan sampai Tahun 1781, yang saat itu Gubernur pantai utara Jawa dijabat oleh
J. Siberg dilaporkan bahwa pembangunan benteng sangat lambat, sebab sultan
hanya sibuk dengan membangun istananya saja. Walaupun demikian benteng
tersebut sudah terbentuk wujudnya, rumah komandan belum selesai dan sebagian
gedung masih belum diberi langit-langit (Wibowo, 2019:3).
Baru pada Tahun 1787 pembangunan benteng Kompeni itu dapat diselesaikan
dengan nama resmi Rustenbergh. Pembangunan benteng kompeni itu ternyata
memakan waktu lama kurang lebih 28 Tahun. Benteng Rustenbergh ini pertama
kali di bawah penguasaan VOC kemudian dalam perkembangannya antara Tahun
1788-1799 mengalami kebangkrutan diambil alih oleh Bataafsche Republic
(Pemerintah Belanda) (Wibowo, 2019:4).
Tempat yang paling ramai di Yogyakarta adalah malioboro. Malioboro
sendiri sudah ada bersamaan dengan berdirinya Keraton Yogyakarta. Jalan raya
ini telah dibangun dan digunakan untuk tujuan seremonial tertentu selama lima
puluh Tahun sebelum orang Inggris mendirikan pemerintahannya di Jawa (1811-
1816). Jika ditelusuri lebih lanjut dalam beberapa sumber mengenai lokasi yang
menjadi cikal-bakal keraton Yogyakarta, kemungkinan jalan yang sekarang
menghubungkan Tugu dengan Keraton Yogyakarta tersebut telah ada sebelumnya
sebagai jalan penghubung menuju Pesanggrahan Gerjitawati atau Ayogya suatu
tempat yang diperkirakan berada di lokasi yang kini dijadikan istana Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Pangeran Mangkubumi dan jalan tersebut sering
dilalui oleh rombongan Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura yang membawa
jenazah raja atau keluarga kerajaan yang akan disemayamkan di Imogiri dengan
singgah terlebih dahulu di Pesanggrahan Gerjitawati sebelum meneruskan
perjalanan ke Imogiri (Fauziah, 2018: 173).
Malioboro sebagai penghubung antara tugu dan keraton tidak dapat
dilepaskan dari konsep filosofi tata kota Keraton Yogyakarta. Secara simbolis
filosofis, garis filosofi dengan simpul-simpulnya berupa Panggung Krapyak

13
Keraton Yogyakarta Tugu Golong Gilig melambangkan konsep ‘sangkan
paraning dumadi’ atau asal dan tujuan dari adanya hidup. Dari Panggung Krapyak
menuju Keraton Yogyakarta menggambarkan perjalanan manusia sejak di dalam
kandungan, lahir, beranjak dewasa, menikah hingga memiliki anak (sangkaning
dumadi) (Priyono, dkk., 2015: 61-76). Sedangkan dari Tugu Golong Gilig ke arah
selatan menggambarkan perjalanan manusia ketika hendak menghadap Sang
Khalik (paraning dumadi), meninggalkan alam fana (dunia) menuju alam baka
(akhirat) (Priyono, dkk., 2015: 77-102).
Sebagai rajamarga atau jalan kerajaan, Malioboro berfungsi sebagai jalan
raya seremonial yang sesuai dengan tradisi India, terutama pada hari perayaan,
dihiasi dengan untaian bunga (malyabhara). Jalan yang membentang lurus dari
utara ke selatan ini menjadi saksi bisu prosesi kedatangan para gubernur jenderal
dan pejabat Eropa lainnya baik sipil maupun militer serta tamu kerajaan lain dari
arah utara menuju keraton saat kunjungannya di Yogyakarta yang disambut oleh
sultan dan para prajurit keraton bersenjata. Seremonial masuknya gubernur
jenderal melewati Jalan Malioboro memenuhi dua tujuan penting bagi orang Jawa,
yaitu untuk memberikan penghormatan yang layak diterima oleh tamu terhormat
dan untuk “menjinakkan” kekuasaannya yang besar.
Kota Yogyakarta telah masuk dalam era kota kolonial. Salah satu ciri utama
dari kota kolonial di Indonesia adalah yang membangun kota bagi orang Belanda
sehingga bentuk fisiknya disesuaikan dengan kebutuhan, kepentingan, dan selera
orang Belanda yang berasal dari Eropa. Pada awal abad ke-20 kota-kota di Hindia
Belanda memiliki ciri-ciri yang sekaligus menunjukkan sejarah kota yaitu;
a. Kawasan kota tradisional dengan pembagian spasial berdasarkan status
sosialnya serta kedudukan pemukiman dengan keraton.
b. Kawasan kota bagi pedagang asing terutama pedagang Cina.
c. Sektor kolonial dengan benteng dan barak.
d. Kawasan kota bagi kelas menengah pribumi.
e. Kawasan kota bagi imigran dari desa. Terdapat pula berbagai fasilitas yang
menunjang seperti gedung sekolah, tempat beribadah, rumah sakit di sela-sela
kawasan kota Hindia Belanda dan sebagainya (Kuntowijoyo, 2003: 63).

14
Di Yogyakarta pada masa kolonial belanda terdapat permukiman orang
Tionghoa, kemudian orang-orang Tionghoa yang telah lama menetap di
Yogyakarta membangun Chinese Societeit Hwa Kiauw di ruas Kadasterstraat No.
4 (sekarang digunakan sebagai gedung Perpustakaan Museum Sonobudoyo) pada
1775. Chinese Societeit Hwa Kiauw atau yang di dalam buku-buku telepon
terbitan masa kolonial sering disebut dengan Societeit Mataram Hwa Kiauw ini
adalah tempat orang-orang Tionghoa biasa berkumpul, bercengkerama, serta
menikmati berbagai macam hiburan dan kesenian. Di Tahun 1931 pihak Hwa
Kiauw memperluas bangunan sositet dengan membeli sebuah rumah di ruas
Kadasterstraat milik seorang tuan tanah bernama R. M. E. Raaff yang kemudian
direnovasi dengan ditambah beberapa ornamen baru. Selain itu, mereka juga
telah membeli rumah lain yang lebih kecil ukurannya di Societeitstraat yang
setelah diperbaiki dijadikan klinik rawat jalan gratis untuk orang-orang yang
membutuhkan dari segala lapisan masyarakat (Fauziah, 2018: 179).
Selama periode cultuurstelsel (1830-1870) para pemodal swasta mulai
menyewa tanah kesultanan dan membuka berbagai usaha industri dan perkebunan
di Yogyakarta. Sejak saat itu semakin banyak pengusaha swasta, terutama Eropa,
yang datang. Guna mengakomodir jemaat Eropa beragama Protestan yang kian
bertambah maka dibangun Protestansche Kerk (sekarang GPIB Margo Mulyo) di
selatan Kantor Residen untuk menggantikan gereja di dalam Benteng Vredeburg.
Gereja yang dibangun selama 15 Oktober 1853- 13 Oktober 1957 dan didesain
oleh Ir. P.A. Holm ini diresmikan tanggal 15 Oktober 1857 (Fauziah, 2018: 179).
Perancangan kota-kota kolonial telah mencerminkan budaya yang orang-orang
Eropa bawa ke tanah jajahan seperti di Indonesia. Keberadaan rancangan kota
yang baik menyebabkan terjadinya kontras antara kawasan kota yang dihuni oleh
orang Eropa dengan kawasan kota yang dihuni oleh orang pribumi. Puncak dari
perencanaan kota-kota kolonial di Indonesia terjadi beberapa saat setelah
diundangkannya Undang-Undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) pada Tahun
1903. Berdasarkan Undang-Undang tersebut dibentuklah kota-kota otonom yang
menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri dan tidak banyak tergantung
kepada pemerintahan pusat di Batavia (Basundoro, 2012: 21).

15
Perkembangan kota yang terjadi pada masa pemerintahan kolonial
menyebabkan banyak imigran datang ke daerah Yogyakarta, khususnya dari
Eropa. Banyaknya orang Eropa yang datang ke Yogyakarta menyebabkan
kebutuhan akan sebuah permukiman baru semakin meningkat sehingga dibangun
kota yang khusus diperuntukkan bagi orang Eropa khususnya orang Belanda.
Pada masa sekarang Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah tujuan
wisata setelah kedua sebelum Pulau Bali memiliki banyak destinasi wisata yang
sangat popular secara nasional dan internasional. Era industri 4.0 ditandai dengan
strategi-strategi dari masing-masing daerah untuk mengenalkan obyek wisata agar
banyak dikunjungi wisatawan khususnya wisatawan asing. Mereka berlomba-
lomba menawarkan keunggulan masing-masing obyek wisata yang ada
didaerahnya. Sebagai kota budaya dan kota pendidikan, Provinsi Yogyakarta
selalu menjadi tujuan para pelajar untuk menimba ilmu di kota yang mempunyai
tempat bersejarah sehingga menjadikan Yogyakarta sebagai kota perjuangan di
masa revolusi kemerdekaan Indonesia saat itu. Pemerintah pusat dalam hal ini
Kementerian Pariwisata menjadikan Yogyakarta dengan berbagai obyek wisata
yang ada sebagai bagian Kawasan Strategis Pariwsata Nasional (KSPN) dimana
obyek-obyek wisata meliputi Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Ratu Boko
dan Keraton Yogyakarta sehingga perlu dikembangkan serta dipasarkan untuk
menarik devisa negara nasional maupun daerah (Hadi, 2018:71).
C. Sejarah Perkembangan Kota Yogyakarta Pada Masa Jepang
Pada 1940, GRM Dorojatun dinobatkan Sultan Hamengku Buwono IX. Tak
lama kemudian Jepang datang. Di Jakarta, pada 1 Agustus 1942, dia dilantik
untuk kali kedua sebagai Sultan Yogyakarta oleh Panglima Besar Tentara
Pendudukan Jepang. Sultan menerima wewenang dari Jepang untuk mengurus
pemerintahan Kesultanan yang dinamai Kochi (Daerah Istimewa).  Jepang mulai
mendarat di Jawa pada tanggal 1 Maret 1942, dan hanya membutuhkan waktu satu
minggu untuk memaksa pemerintah Hindia Belanda menyerah. Terjadi kerusuhan
di berbagai tempat yang memaksa para pengusaha dan pedagang Cina
memindahkan barang-barang simpananya ke luar kota atau pedalaman. Golongan
orang Cina banyak yang menjadi korban jarahan, baik harta maupun jiwa (Peck
Yang, 2004:88).

16
Kerusuhan timbul dimana-mana, gedung-gedung besar, dan pabrik-pabrik
Belanda dijarah oleh masyarakat yang tidak hanya terjadi di perkotaan namun
juga di pedesaan. Oleh karena itu, Jepang segera mengambil langkah-langkah
untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Jepang segera melarang dan
menumpas huru-hara yang sempat muncul. Terhadap aktivitas politik (termasuk
komite-komite) dikeluarkan undang-undang yang melarang berdirinya segala
bentuk organisasi politik demi kestabilan pemerintah Jepang di Jawa
(Kwartanada,1996:28).

Penjajahan yang dilakukan oleh Jepang menyebabkan banyak perusahaan-


perusahaan milik Belanda mengalami kebangkrutan. Terjadi pembatasan
perdagangan ekspor impor yang mengacaukan keseluruhan rantai perdagangan
tingkat perantara. Orang Cina di Yogyakarta dari zaman kolonial Belanda sampai
pendudukan Jepang masih bekerja sebagai pedagang perantara. Tekanan
pemerintah Jepang menyebabkan peranan orang Cina sebagai pedagang perantara
mengalami kemunduran (Kurniawan,2011:53).

Untuk mempermudah pengawasan pada komunitas Cina, Jepang mendirikan


Kakyo Han yaitu kantor urusan Cina di setiap kota besar di Jawa yang berpusat di
Jakarta. Tugas kantor ini mengawasi gerak masyarakat Cina, menyebarkan
peraturan yang berkenan dengan Cina, dan menarik pajak dari penduduk Cina.
kantor ini berada di bawah pengawasan langsung Kempetai (Suyono,2005:247).

Pada masa pendudukan Jepang keadaan sosial di daerah Yogyakarta sangat


menyedihkan. Pemerintahan Jepang secara terang-terangan kurang
memperhitungkan nilai-nilai sosial dan kultural penduduk pribumi. Daerah-
daerah membentuk Panitia Penyerahan Romusha (PPR) yang berkewajiban untuk
menyerahkan tenaga romusha berdasarkan laporan sementara atau daftar
sementara. Penyerahan romusha ada yang karena kehendak sendiri untuk menjadi
romusha tetapi ada juga yang karena paksaan. Putra-putra petani juga ada yang
mendaftarkan diri sebagai Heiho, atau pembantu serdadu Jepang. Penyerahan padi
kepada pemerintah tentara pendudukan mengakibatkan bertambahnya
kesengsaraan rakyat. Tekanan untuk menjadi romusha di kota tidak begitu berat

17
seperti di desa, meskipun juga terdapat kemelaratan dan kesengsaraan
(Soemardjan,1990:45).

Pada saat itu keadaan pegawai negeri sebagai kelas konsumen sangat
menyedihkan, gajinya kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari,
mereka terpaksa menjual barang-barang yang tadinya dikumpulkan pada waktu
masih makmur. Mulai zaman Jepang hingga zaman Republik pegawai negeri tidak
lagi mendapat fasilitas-fasilitas seperti di zaman lampau, karena adanya perbedaan
di dalam politik dan pandangan hidup pemerintahan masing-masing. Masuknya
Jepang ke Yogyakarta telah menyebabkan ditutupnya tambang mangaan didesa
kliripan. Setelah pertambangan itu dibuka kembali oleh Jepang, banyak
dibutuhkan tenaga buruh. Kebutuhan tenaga buruh untuk pertambangan mangaan
pada masa pendudukan Jepang ini sangat banyak dibanding dengan pada masa
penjajahan Belanda. Pemberian upah yang sangat rendah, mengakibatkan
timbulnya kemelaratan yang merajalela. Kesehatan mereka tidak terjamin. Tidak
ada jaminan keamanan terhadap buruh yang sedang bekerja. Semua hasil-hasil
tambang tersebut diangkut ke Jepang. Usaha Jepang ini berlangsung dari Tahun
1942-1945 (Masjkuri,1977:291-293).

Menjelang kedatangan balatentara Jepang di Yogyakarta, banyak terjadi


perampokan-perampokan yang dilakukan oleh penduduk. Sasaran perampokan
adalah toko-toko, gudang-gudang dan pabrik-pabrik. Keadaan ini menimbulkan
kekacauan di lapangan ekonomi, di tambah pada masa itu pegawai pemerintah
tidak menerima gaji dalam beberapa bulan. Banyak orang menjual barang-
barangnya untuk ditukar dengan makanan, maka timbul perdagangan barang-
barang bekas di sepanjang jalan. Harga-harga bahan makanan pokok seperti beras
dan gula membumbung tinggi. Orang- orang mulai makan ketela sebagai
pengganti beras. Kenaikan harga ini kemudian ditindak tegas oleh tentara Jepang,
tetapi ternyata kenaikan harga tersebut sudah tidak dapat dikendalikan lagi.
Kenaikan harga ini disebabkan jumlah barang-barang kebutuhan sangat terbatas,
dan nilai uang merosot. Tentara membeli barang-barang bahan makanan sendiri
dengan maksud untuk mempertahankan harga pasar dan menolong penduduk desa
yang sudah menjual hasil tanamannya (Masjkuri,1977:291-293).

18
Padi yang terkumpul harus dijual ke pabrik beras dengan harga yang sudah
ditetapkan pemerintah. Keadaan ini hanya berlaku sementara, karena pabrik-
pabrik padi kemudian tidak mau membayar harga yang telah ditetapkan oleh
pemerintah tentara pendudukan Jepang, sehingga hal ini sangat merugikan petani.
Memburuknya keadaan peperangan, membuat tindakan Jepang menjadi lebih
kejam. Petani diwajibkan menyerahkan padi kepada pemerintah tanpa ganti
kerugian. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah mengadakan hubungan
langsung dengan rakyat, tetapi selalu mempergunakan peraturan-peraturan. Kini
pemerintah tentara pendudukan Jepang langsung berhubungan dengan petani,
mereka keluar masuk desa sendiri. Sehingga kekejaman pemerintah Jepang
langsung dirasakan oleh masyarakat desa (Masjkuri,1977:1944).

Tindakan pemerintahan Jepang yang sangat kejam di tambah kurangnya


bahan makanan pakaian dan barang-barang lainnya selama perang menimbulkan
ketidakpuasan dari semua kalangan penduduk, terutama dikalangan rakyat jelata.
Ketidakpuasan ini berangsur-angsur berkembang menjadi berkembang menjadi
perasaan dendam terhadap pemerintah Jepang, dan seiring dengan merosotnya
keadaan ekonomi akhirnya mejadi suatu kebencian. Rakyat menderita kelaparan
sehingga banyak masyarakat yang meninggal (Soemardjan,1990:286).

D. Sejarah Perkembangan Kota Yogyakarta Pada Masa Pasca Kemerdekaan


Berita tentang proklamasi Indonesia yang disiarkan melalui berita Domei
Jakarta tersebut ternyata berhasil juga sampai dan diterima oleh Kantor Berita
Domei Yogyakarta, yang saat itu bertempat di Gedung Perpustakaan Negara
bagian atas Jalan Malioboro Yogyakarta. Tersiarnya berita proklamasi
kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta juga didengar oleh Sri Sultan Hamengku
Buwana IX sebagai penguasa Kasultanan Yogyakarta dan juga oleh Sri Paduka
Paku alam VIII sebagai penguasa Kadipaten Pakualam. Sri Sultan maupun Sri
Paku Alam cepat dan tanpa ragu-ragu lagi menanggapi proklamasi kemerdekaan
dan pada tanggal 19 Agustus 1945 segera mengirim kawat kepada Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang prinsipnya mengucapkan selamat
atas berdirinya Negara Republik Indonesia dan terpilihnya keduanya sebagai
presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Di samping itu, Sri Sultan
berkenan pula memberi sambutan atas pernyataan kemerdekaan Indonesia

19
sebagaimana termuat dalam Harian Sinar Matahari tanggal 20 Agustus 1945
(Suratamin, 2018: 2).

Dengan amanat-amanat tadi Sri Paduka Sultan Hamengku Buwana IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII bermaksud mengisi proklamasi 17 Agustus 1945 untuk
menjadikan kenyataan bahwa semua kekuasaan pemerintah ada di tangan bangsa
sendiri. Baik Sri Sultan Hamengku Buwana IX maupun Sri Paku Alam VIII telah
merebut kekuasaan pemerintah bala tentara Jepang. Sejak saat itu tidak ada lagi
pemerintah yang dualistis, asing, dan nasionalis melainkan hanya ada satu
kekuasaan pemerintah nasional yang dipimpin oleh kedua Sri Paduka (Suratamin,
2018: 3).

Belanda ingin menghancurkan Republik Indonesia dengan melenyapkan


pemerintahan RI. Aksi Belanda ditujukan di Jakarta atas dasar bahwa suatu negara
dimata internasional harus mempunyai wilayah, rakyat, dan pemerintahan,
sehingga Belanda mengganggu jalannya pemerintahan di Jakarta. Situasi Jakarta
yang tidak aman mengakibatkan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Pada
malam hari, tanggal 4 Januari 1946, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh.
Hatta, dan beberapa pejabat tinggi lainnya beserta keluarga naik kereta api
istimewa dari jalan kereta api di belakang rumah Presiden Soekarno. Tentara
Belanda memeriksa semua kereta api yang masuk dan keluar. Gerbong para
pemimpin RI tidak digandengkan dengan gerbong lain dan dibiarkan gelap,
sehingga patroli-patroli Inggris dan Belanda mengira gerbong tersebut kosong.
Esok paginya mereka tiba di Yogyakarta. Di Kesultanan Yogyakarta mereka
disambut tidak saja oleh rakyat, tetapi juga oleh Sultan Yogya dan Adipadi
Pakualaman. Sejak tanggal 4 Januari 1946, Yogyakarta menjadi ibukota RI.
Gedung Agung adalah istana kepresidenan yang digunakan Presiden Soekarno di
Yogyakarta (Triyana, 2013: 210).

Yogyakarta dipilih sebagai ibukota RI berdasarkan pertimbangan adanya


dukungan dari Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman serta rakyat Yogyakarta
terhadap Pemerintah RI. Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang
dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 segera tersiar ke seluruh pelosok tanah
air. Tersiarnya berita proklamasi kemerdekaan di Yogyakarta didengar oleh Sri

20
Sultan Hamengkubuwono IX. Kemudian Sultan mengundang Paku Alam VIII, Ki
Hadjar Dewantara, dan beberapa tokoh lain untuk membicarakan tentang berita
proklamasi kemerdekaan. Pertemuan tersebut akhirnya mendapat kesimpulan
bahwa rakyat Yogyakarta menyambut proklamasi dengan rasa puas dan lega. Pada
tanggal 19 Agustus 1945 tanpa ragu-ragu sedikitpun Sultan memerintahkan KRT.
Honggowongso untuk mengirim telegram kepada Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Moh. Hatta berupa ucapan selamat atas berdirinya Negara Republik
Indonesia dan selamat atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil
Presiden RI. Hal ini menunjukkan bahwa Kesultanan Yogyakarta sebagai wilayah
dengan kekuasaan monarki yang pertama kali mengakui kedaulatan Negara
Republik Indonesia (Kementerian Penerangan,1953:78).

Kesultanan Yogyakarta adalah sebagai pusat pergerakan (revolusi) yang tidak


lepas dari peran Sultan Hamengkubuwono IX. Kebesaran hati Sultan
membuktikan bahwa ia bukan hanya seorang bangsawan, melainkan juga
negarawan yang berpikir maju. Kerelaan untuk menyediakan Gedung Agung
untuk menjalankan pemerintahan RI di Yogyakarta merupakan wujud janji Sultan
untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Ketegasan seorang Sultan untuk
menopang perjuangan Soekarno-Hatta serta jaminan keamanan oleh masyarakat
saat itu menjadi penentu nasib RI selanjutnya. Menjadikan Yogyakarta sebagai
ibukota merupakan suatu pilihan yang tepat. Semangat kemerdekaan yang tinggi
dari penduduk dan yang ditunjang oleh sikap tegas dari Sri Sultan merupakan
modal yang sangat besar. Yogyakarta berada dalam suasana demam kemerdekaan,
sehingga nampak rakyatnya menyambut peristiwa itu dengan semangat yang
tinggi (Triyana, 2013: 211).

Ali Sastroamijoyo memberikan gambaran bahwa suasana Yogyakarta waktu


itu adalah suasana kebebasan dan keamanan. Terasa sekali sebagai suatu kota
yang hidup di tengah-tengah pergolakan revolusi. Banyak pemuda-pemuda
berambut gondrong dan bersenjata masih berkeliaran. Pada umumnya pakaiannya
compang-camping. Sikap dan tingkah laku mereka masih seperti pejuang pejuang
yang baru saja menang perang (Triyana, 2013: 211).

21
Dampak dari perpindahan Ibukota RI dari Jakarta Ke Yogyakarta bagi
Kesultanan Yogyakarta menyebabkan terjadinya inflasi, Inflasi yang terjadi di
Yogyakarta berdampak terhadap kehidupan kaum bangsawan. Kekurangan
perumahan dan bangunan yang gawat di Yogyakarta sangat membantu kaum
bangsawan dalam mengatasi masalah keuangannya. Banyak keluarga bangsawan
yang menyewakan tempat kediamannya kepada sejumlah sekolah atau kantor
untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Mereka juga menjual rumah besarnya
dan pindah ke rumah biasa sambil menanamkan sebagian uangnya pada berbagai
perusahaan dagang baru (Soemardjan, 2009:141).

Perpindahan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta menyebabkan


berpindahnya para pemimpin, para pegawai, dan sekian banyak rakyat untuk
melanjutkan perlawanan kepada Belanda. Perpindahan penduduk itu
menyebabkan bertambahnya penduduk kota Yogyakarta dari 170.000 jiwa
menjadi 600.000 jiwa Bertambahnya penduduk di Yogyakarta juga dialami
setelah perjanjian Renville. Penduduk dari berbagai daerah mengungsi ke
Yogyakarta karena kekurangan pangan akibat blokade Belanda. Pendudukan
Belanda di Jakarta mengakibatkan hilangnya kekuasaan Indonesia atas
universitas-universitas yang telah ada. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Maret
1946, Universitas Gajah Mada dibuka di Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwono
IX menyediakan bagian depan istananya sebagai tempatnya. Salah seorang
penasihat Sultan yang terdekat di Yogyakarta yaitu Selo Soemardjan mengatakan
bahwa revolusi tidak mungkin mendobrak pintu-pintu istana, karena pintu-pintu
itu sudah terbuka lebar. Yogyakarta sebagai salah satu pusat pendidikan dan
kebudayaan memiliki peranan dan potensi yang besar dalam memberikan
sumbangan dan pembangunan. Para pelajar yang datang ke Yogyakarta dari
berbagai daerah menjadikan daerah ini sebagai media dan tempat interaksi yang
dapat melahirkan jiwa persatuan dan kesatuan (Ricklefs, 2018: 462).

E. Perkembangan Kota Yogyakarta Pada Masa Sekarang

1. Sarana dan Prasarana

Perhubungan adalah upaya memperpendek waktu tempuh jarak untuk


meningkatkan mobilitas atau gerak manusia, adalah untuk upaya barang, dan

22
informasi. Perhubungan tersebut meliputi perhubungan darat, perhubungan laut,
perhubungan udara, dan pos telekomunikasi. Sektor perhubungan memiliki fungsi
yang sangat penting dalam pembangunan daerah yaitu untuk mendukung aktivitas
perekonomian dan pendistribusian barang dan jasa ke seluruh wilayah. Kontribusi
sektor perhubungan (transportasi dan komunikasi) terhadap total PDRB DIY
selama periode 2013-2015 berkisar antara 5 hingga 6 persen. Dalam kurun waktu
tersebut kontribusi angkutan dan komunikasi cenderung tetap. Peran angkutan
darat terhadap pembangunan ekonomi DIY merupakan yang terbesar
dibandingkan angkutan lain, yaitu 3,5 persen pada Tahun 2013 menjadi 3,44
persen pada Tahun 2015. Sementara itu pergudangan dan jasa angkutan; pos dan
kurir memberikan kontribusi sekitar 1 hingga 2 persen selama periode yang sama
(Mutijo, 2016:25).

Jalan raya sebagai bagian terbesar dari sistem transportasi membutuhkan


perhatian lebih dalam desain tata kelola. Kelemahan dalam desain tata kelola akan
menyebabkan kemacetan, ketidaknyamanan pengguna jalan, dan kerawanan yang
dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Permasalahan yang dihadapi dalam
penanganan angkutan jalan raya adalah adanya ketidakseimbangan antara
pertumbuhan jumlah penduduk dan pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak
didukung dengan ketersediaan jalan yang memadai (Mutijo, 2016:25). Melihat
dari uraian di atas, Perkembangan sarana dan prasarana di kota Yogyakarta antara
lain:

1) Angkutan Jalan Raya

Dalam kurun waktu 10 Tahun, jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di


DIY meningkat sekitar 123,61 persen. Pada Tahun 2015, populasi kendaraan
bermotor mencapai 2,196 juta unit kendaraan, di mana sekitar 87,26 persen di
antaranya berupa sepeda motor. Sepeda motor dipandang sebagai alat transportasi
yang relatif murah yang mampu dijangkau oleh penduduk dengan pendapatan
relatif rendah. Dengan menggunakan sepeda motor dapat memudahkan mobilitas
hingga wilayah yang tidak dijangkau oleh kendaraan umum. Selain itu mampu
mengatasi problem kemacetan yang semakin parah terutama pada jam-jam
tertentu. Kemacetan ini juga sebagai imbas semakin meningkatnya jumlah mobil

23
penumpang, yang mencapai 9,41 persen. Peningkatan populasi kendaraan
bermotor berakibat juga peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas. Meningkatnya
jumlah penggunaan sepeda motor berimbas pada semakin berkurangnya pengguna
angkutan umum sehingga juga berakibat pada berkurangnya jenis angkutan
umum. Sumber Masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi
dengan pertimbangan waktu perjalanan yang lebih efektif dan disamping karena
Kantor jenis layanan angkutan umum yang terbatas. Jumlah angkutan umum pada
Tahun 2015 sebanyak 984unit atau turun dari Tahun 2014 yang mencapai 1.103
unit. Demikian pula untuk ijin trayek yang dikeluarkan juga menurun dari 33unit
pada 2014 menjadi 26 unit pada Tahun 2015. Penumpang Salah satu indikator
yang digunakan untuk melihat kinerja operasional angkutan umum adalah load
factor (faktor muat). Load factor merupakan rasio perbandingan antara jumlah
penumpang yang diangkut dalam kendaraan terhadap jumlah kapasitas tempat
duduk penumpang di dalam kendaraan pada periode waktu tertentu. Biasanya
dinyatakan dalam persen, jika load factor melebihi angka 1 berarti kinerja operasi
angkutan umum semakin buruk. Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan,
Komunikasi, dan Informatika DIY diketahui bahwa load factor mencapai sebesar
34,49 persen pada Tahun 2013 dan terus meningkat hingga menjadi 39,05 persen
pada Tahun 2015. Angka load factor yang meningkat menunjukkan penumpang
yang terangkut lebih banyak. Dengan demikian pada Tahun 2015 pelayanan
angkutan umum menjadi lebih baik dibandingkan Tahun 2013 (Mutijo, 2016:27-
28).

2) Angkutan Rel

Tahun 2015 tercatat penumpang moda kereta api sebanyak 3,54 juta orang atau
meningkat sebesar 29,31 persen dari Tahun sebelumnya. Penumpang tersebut
terdiri dari penumpang eksekutif sebanyak 27,69 persen, penumpang bisnis 18,46
persen, dan penumpang ekonomi yang mendominasi hingga mencapai 53,85
persen. Selain penumpang, kereta api juga digunakan untuk angkutan barang
terutama BBM dan barang hantaran lainnya. Untuk angkutan barang pada Tahun
2015 mencapai 199,6 ribu ton dimana 95,53 persen diantaranya merupakan
angkutan BBM. Kepastian waktu tempuh, aman, dan ramah lingkungan, angkutan
BBM dengan kereta api bermanfaat untuk mengurangi kemacetan dan polusi. Jika

24
dilihat pendapatan dari PT Kereta Api DAOP IV DIY Tahun 2015 mengalami
kenaikan sebesar 35,84 atau tercatat mencapai 700,14 milyar rupiah. Sebagian
besar pendapatan tersebut bersumber dari penjualan tiket penumpang sekitar
92,08 persen dan pengiriman barang sebesar 7,92 persen (Mutijo, 2016:29).

3) Angkutan Udara

Pada Tahun 2015, lalu lintas udara yang melalui Bandar Udara Adisutjipto
dipadati oleh 3,02 juta penumpang yang melakukan penerbangan dalam negeri
dan 181,77 ribu penumpang yang berangkat melakukan penerbangan luar negeri.
Sementara itu penumpang yang datang dari dalam negeri mencapai 2,97 juta
penumpang dan yang datang dari luar negeri mencapai 163,44 ribu penumpang.
Sebagian besar penumpang dalam negeri tersebut berangkat dan datang dari kota-
kota seperti Jakarta, Denpasar, Balikpapan, dan Banjarmasin. Jumlah pesawat
yang melayani rute dalam negeri sempat mengalami penurunan hingga mencapai
30 persen pada Tahun 2014 baik itu rute yang berangkat maupun yang datang di
Bandar Udara Adisutjipto berangkat ke dalam negeri. Namun kemudian
mengalami peningkatan hingga 6,64 persen untuk pesawat yang berangkat dan
5,69 persen untuk pesawat yang datang ke bandara satu-satunya di DIY tersebut.
Sementara itu, untuk rute penerbangan luar negeri baik yang berangkat maupun
yang datang di Bandar Udara Adisutjipto pada Tahun 2015 mengalami penurun
tiga persen dari Tahun sebelumnya (Mutijo, 2016:29).

4) Komunikasi

Kegiatan komunikasi dan penyampaian informasi selain menggunakan media


telepon, sekarang ini juga sudah banyak yang memanfaatkan teknologi internet.
Dengan media internet, semua informasi tentang apapun dari jaman dahulu hingga
kini termuat cukup lengkap di internet. Sebelum maraknya jenis telepon pintar,
keberadaan warung internet (warnet) sangat membantu masyarakat dalam mencari
informasi. Namun demikian, hingga kini keberadaan warnet masih cukup banyak
walaupun sudah mengalami perubahan fungsi. Meskipun masih ada yang
memanfaatkan warnet sebagai tempat mencari informasi, tidak sedikit yang
menggunakan warnet sebagai tempat untuk bermain game online. Perkembangan
jumlah sarana komunikasi di DIY dari Tahun 2013 hingga Tahun 2015 tidak

25
mengalami perubahan jumlah, kecuali untuk stasiun TV jejaring yang baru mulai
berkembang pada Tahun 2015, Sarana komunikasi yang ada di DIY berupa media
cetak, stasiun radio, dan stasiun TV. Untuk stasiun TV sendiri sekarang
berkembang menjadi stasiun TV lokal yang memancarkan siaran untuk wilayah
tertentu (Mutijo, 2016:30).

2. Tata dan Ruang

Penyelenggaraan pembangunan penataan ruang diarahkan untuk mewujudkan


pemanfaatan ruang dan penataguna tanah. Tujuan penataan ruangan adalah untuk
mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Penataan
ruangan di DIY hingga Tahun 2013 telah berhasil mencapai ketersediaan rencana
tata ruang pada kawasan strategis sebanyak 12 kawasan strategis, sedangkan
pengendalian tata ruang pada kawasan perkotaan dan kawasan lindung bawahan
mencapai sekitar 20 persen. Untuk peningkatan kesesuaian pemanfaatan terhadap
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota dan RTRW Provinsi dari
yang ditargetkan sebesar 60 persen pada Tahun 2014 ternyata realisasinya
mencapai 64,21 persen (data LKPI DIY 2012-2014). Pemanfaatan ruang di DIY
harus dilakukan sejalan dengan peraturan RTRW dengan harapan dapat
mengurangi laju konversi terhadap luasan lahan khususnya lahan pertanian
produktif untuk mendukung LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan).
Untuk mencapai hal tersebut dilakukan dengan cara sosialisasi rencana tata ruang,
penyusunan regulasi meliputi norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan
ruang serta penyusunan rencana detail tata ruang kawasan strategis provinsi.
RTRW di DIY yang ditetapkan telah merumuskan beberapa penetapan kawasan
lindung (lindung bawahan dan lindung setempat), kawasan suaka alam, kawasan
suaka margasatwa, serta kawasan rawan bencana (Mutijo, 2016:31).

3. Perumahan

Secara kewilayahan, sebagian besar rumah tangga di seluruh kabupaten/kota di


DIY pada Tahun 2015 sudah menghuni rumah tinggal yang memenuhi kriteria
layak huni. Pada Tahun tersebut persentase rumah tangga di Kabupaten Kulon
Progo dan Kabupaten Sleman sudah mencapai lebih dari 99,0 persen yang
menggunakan beton dan genteng untuk jenis atap terluas, sedangkan sisanya

26
menggunakan asbes. Untuk Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul, sekitar 96,6
persen rumah tangga menempati rumah dengan atap menggunakan beton dan
genteng, sisanya menggunakan seng dan asbes. Sementara itu, persentase rumah
tangga yang jenis atap memenuhi kriteria layak untuk Kota Yogyakarta lebih
rendah dibandingkan empat kabupaten di DIY yaitu sekitar 92,8 persen. Rumah
Analisis Informasi Statistik Pembangunan Daerah 2016 pengguna atap dari asbes
di wilayah Kota Yogyakarta paling tinggi dibandingkan wilayah lain yaitu
mencapai 4,7 persen (Mutijo, 2016: 33).

Pada Tahun 2015, rumah tangga di Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan
Kota Yogyakarta yang menempati rumah tinggal dengan lantai bukan tanah
mencapai lebih dari 94,9 BPS. persen. Sementara untuk Kabupaten Kulon Progo
dan Kabupaten Gunung Kidul masih berkisar antara 86 hingga 87 persen rumah
tangga yang menghuni rumah dengan lantai bukan tanah. Jika dikaitkan dengan
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing wilayah di DIY,
dapat dikatakan kondisi tersebut cukup relevan dimana PDRB Kabupaten Kulon
Progo dan Kabupaten Gunung Kidul cenderung lebih rendah jika dibandingkan
dengan tiga wilayah lain di DIY. Untuk mengatasi permasalahan menyediakan
rumah sehat dan layak huni, pemerintah menyadari pentingnya pembangunan
demi perumahan vertikal khususnya di daerah perkotaan yang pada umumnya
mempunyai keterbatasan lahan. Pembangunan rumah susun tersebut untuk
menggantikan pemukiman kumuh yang biasanya terjadi di pusat-pusat kota.
Sampai dengan Tahun 2013 pemerintah DIY telah berhasil membangun 28 twin
blok rusunawa dengan kapasitas sekitar 2.616 unit. Sejumlah rusunawa tersebut
tersebar di Kabupaten Kulon Progo, Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta.
Sebagian besar unit rusunawa tersebut berada di wilayah Sleman yang mencapai
hingga 46,94 persen dari keseluruhan unit yang ada di DIY (Mutijo, 2016:34-35).

4. Infrastruktur Pendidikan
1) Infrastruktur Pendidikan Dasar dan Menengah

Jumlah institusi pendidikan pra sekolah (Taman Kanak-kanak/TK) negeri dan


swasta di DIY tercatat sebanyak 2.135 unit sekolah dengan kapasitas ruang kelas
mencapai 5.219 kelas untuk menampung sebanyak 90.913 siswa dengan jumlah

27
pendidik sebanyak 6.923. Artinya, setiap sekolah TK rata-rata menampung 43
orang murid dan setiap kelas rata-rata menampung 17 orang murid. Sementara
rasio murid-guru pada jenjang TK tercatat sebesar 13. Ketiga angka rasio tersebut
masih berada dalam taraf ideal yang memungkinkan proses belajar mengajar
dapat berlangsung Angka rasio berdasarkan kabupaten dan kota menunjukkan
secara efektif dan efisien, pola yang bervariasi. Ketiga angka rasio pada jenjang
TK di Kabupaten Gunung Kidul tercatat lebih rendah, karena sebaran sekolah per
luas wilayah di Gunung Kidul tercatat paling tinggi. Konsekuensi nya, meskipun
jumlah siswa pra sekolahnya tidak mendominasi jumlah unit sekolah TK di
Gunung Kidul tercatat paling banyak dengan tujuan memperbesar peluang akses
penduduk terhadap unit pendidikan pra sekolah. Jumlah infrastruktur SD/MI baik
negeri maupun swasta tercatat sebanyak 2.009 unit dengan ruang kelas sebanyak
14.541 unit untuk menampung 309,9 ribu murid SD. Secara rata-rata, terdapat 4-5
unit SD/MI di setiap desa/kelurahan di DIY. Pada Tahun ajaran 2015/2016 setiap
sekolah pada jenjang SD/MI menampung sebanyak 154 siswa dan setiap kelas
menampung 21 siswa. Rasio murid dengan guru pada jenjang SD/MI tercatat
sebesar 14 (Mutijo, 2016:56).

Fasilitas sekolah pada jenjang SLTP baik negeri maupun swasta, dibawah
Dikbud maupun non Dikbud tercatat sebanyak Fasilitas sekolah pada jenjang
SLTP baik negeri maupun swasta, dibawah di bawah 530 sekolah dengan
kapasitas 5.663 kelas yang menampung sebanyak 156,9 ribu siswa, Pada
umumnya, fasilitas sekolah pada jenjang SLTP berlokasi di pusat pemerintahan
kecamatan atau desa yang mudah diakses oleh penduduk usia sekolah. Pada
Tahun ajaran 2015/2016, setiap SMP/MTS di DIY menampung sebanyak 154
siswa dengan rata-rata jumlah kelas paralel antara 3 sampai 4 kelas. Rasio murid-
kelas tercatat sebesar 28 murid per kelas dan relatif stabil dalam tujuh Tahun
terakhir. Jumlah sekolah pada jenjang SMU/MA dan SMK masing-masing
tercatat sebanyak 204, dan 220 unit. Pada umumnya, fasilitas sekolah pada
jenjang menengah ini berlokasi di pusat pemerintahan kecamatan. Dengan kondisi
infrastruktur dan sarana transportasi yang kualitasnya semakin membaik, peluang
penduduk usia sekolah untuk mengakses sekolah menengah menjadi semakin
besar. Pada Tahun ajaran 2015/2016, setiap SMU/MA dan SMK rata-rata

28
menampung sebanyak 325 dan 373 murid. Rata-rata jumlah kelas paralel pada
jenjang SMU/MA dan SMK berada di atas 4 kelas di setiap sekolah. Daya
tampung setiap kelas masing-masing mencapai 25 orang untuk jenjang SMU/MA
dan 30 untuk jenjang SMK. Rasio murid-guru pada kedua jenjang masing-masing
tercatat sebesar 10 dan 9 murid per guru. Perkembangan rasio murid- kelas
jenjang SMU/MA selama beberapa Tahun terakhir bervariasi di bawah 30,
sementara pada jenjang SMK bervariasi di bawah 35 (Mutijo, 2016:57).

2) Infrastruktur Pendidikan Tinggi

Jumlah perguruan di DIY pada Tahun 2015 tercatat sebanyak 118 unit, terdiri
dari 106 perguruan tinggi swasta serta 12 perguruan tinggi negeri dan kedinasan.
Keberadaan perguruan tinggi tersebut tersebar di semua kabupaten/kota dan yang
paling dominan terdapat di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Perguruan
tinggi swasta terdiri dari 17 universitas, 5 institut, 36 sekolah tinggi, 41 akademi,
dan 7 politeknik. Berdasarkan data dari Kopertis V, pada Tahun 2015 semua
perguruan tinggi swasta di DIY menampung sebanyak 205.254 mahasiswa dari
berbagai daerah di Indonesia, Jumlah total program studi yang diselenggarakan
oleh perguruan tinggi swasta tercatat sebanyak 510 program, mulai dari Diploma I
sampai Mahasiswa yang sedang menempuh program Sarjana (51) mendominasi
komposisi mahasiswa di perguruan tinggi swasta dengan S-3 proporsi 81 persen.
Berikutnya secara berturut-turut adalah mahasiswa program Diploma III sebanyak
12,7 persen dan program Magister (S2) sebesar 3,7 persen. Jumlah perguruan
tinggi negeri dan kedinasan di DIY tercatat sebanyak 12 unit dengan rincian, 5
universitas, 1 institut, 4 sekolah tinggi, serta 1 unit akademi dan politeknik.
Jumlah mahasiswa yang tercatat pada beberapa perguruan tinggi negeri dan
kedinasan sebanyak 131.163 orang dengan jumlah dosen pengajar sebanyak 5.395
Mayoritas mahasiswa menempuh orang. pendidikan di tiga universitas ternama di
DIY, yakni Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, dan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan proporsi masing- masing sebesar
44 persen, 22 persen, dan 16 persen. Kehidupan masyarakat yang kondusif,
infrastruktur pendidikan yang representatif, dan biaya hidup yang relatif murah
menjadi daya tarik bagi pelajar/mahasiswa dari luar daerah untuk melanjutkan
studi di sekolah dan perguruan tinggi di DIY (Mutijo, 2016:58-59).

29
2.1.2. Yogyakarta Sebagai Kota Tradisional
Begitu banyak kota-kota di Indonesia hingga hari ini yang merupakan
warisan kota tradisional. Arti kota tradisional secara umum sering diartikan adalah
kota pusat kerajaan-kerajaan awal di Nusantara atau ibukota kerajaan yang ada
hingga datangnya kekuatan Barat atau tepatnya sebelum pengaruh dan kekuasaan
kolonial berlangsung. Umumnya kota-kota tradisional itu adalah pusat kerajaan-
kerajaan di masa lalu. Banyak diantara kota tersebut yang dibangun dengan
pertimbangan magis-religius atau makro-kosmos dan kepercayaan setempat. Ada
kota tradisional yang dibangun berdasar garis imajiner kepercayaan tradisional,
ada yang berdasar mata angin, atau atas dasar yang lain. Pola sosio kultural
terlihat jelas dalam penataan permukiman nya, misalnya di sekitar istana atau
kraton dapat dibangun rumah para bangsawan, pejabat kerajaan, dan juga abdi
dalem, tempat ibadah, dan pasar (Makkelo, 2017:86-87).

Titik Nol Kilometer yang dikenal sebagai pusat Kota Yogyakarta ini
mempunyai garis sumbu imajiner yang menghubungkan antara pantai Laut
Selatan, Keraton hingga Gunung Merapi. Selain garis imajiner, Yogyakarta juga
memiliki sumbu filosofis yakni Tugu Pal, Keraton dan Panggung Krapyak, yang
dihubungkan secara nyata berupa jalan. Selain itu, kawasan di sekitar titik nol
kilometer adalah kawasan wisata sejarah karena di kanan kiri ada bangunan-
bangunan kuno yang sering juga disebut loji. Loji merupakan bangunan-bangunan
tua yang besar sisa sejarah peninggalan Belanda. Loji adalah gedung besar atau
kantor atau benteng Kompeni masa penjajahan Belanda di Indonesia. Pada daerah
Yogyakarta, dapat ditemukan sejumlah loji yang menarik untuk dilihat. Bagi
mereka yang menyukai fotografi, Loji ini dapat dijadikan obyek fotografi yang
akan menampilkan suasana klasik dan dapat menghantarkan kita pada sebuah
kemegahan di masa lampau (Putri, 2019:34).

Garis imajiner pada kota tradisional dapat dilihat dari batas kerajaan
seperti tembok-tembok besar, lembah, dan gunung. Artinya pada masa kota
tradisional masyarakat khususnya kerajaan sudah mementingkan batas-batas
negara kekuasaan atau daerah kekuasaan. TPI (Tempat Pemeriksaan Imigrasi)
pada masa kota tradisional dapat juga disebut dengan daerah perdamaian antara

30
kerajaan satu dengan kerajaan lainnya dimana biasanya di wilayah tersebut sering
terjadi pemeriksaan kepada masyarakat yang lalu-lalang.

Kota tradisional ditandai dengan pembagian spasial yang jelas berdasarkan


status sosial dan dekatnya kedudukan pemukim dengan istana. Pembagian
pemukiman sudah sangat jelas nampak dalam kota-kota tradisional, demikian juga
pemolaan secara kultural, misalnya tampak dalam pembagian dua pemukiman
Hindu dan Budha di zaman Majapahit. Dalam kota tradisional terdapat simbol-
simbol dari kekuasaan raja, diwujudkan dalam bangunan fisik, upacara-upacara,
dan hak-hak istimewa lainnya (Makkelo, 2017:85-86).

Pengorganisasian sebuah daerah sebagai kota tidak dilakukan dalam


konteks yang netral atau kosong. Penyusunan perkotaan serta pemakaian hierarki-
hierarki did alamnya selalu dilakukan dalam konteks yang nyata berdasarkan
parameter-parameter tertentu. Secara dasar diamati ada perbedaan-perbedaan
pokok antara kota dalam konteks urban modern dan dalam konteks luar
tradisional. Berikut adalah ciri-ciri kota tradisional berdasarkan ruang, ekonomi,
politik, dan sosial budaya.

1. Kota Tradisional secara ruang/morfologi


 Kota disusun dengan memusatkan bangunan-bangunan simbolis dan publik,
serta tempat tertentu.
 Hubungan dengan lingkungan yang dekat.
 Wilayah-wilayah dibatasi secara jelas berdasarkan kelompok etnis.
2. Kota tradisional secara ekonomi
 Sistem tukar menukar atau sistem keuangan yang sederhana.
 Kekayaan berdasarkan pemilikan tanah atau barang.
 Landasan pada teknologi pertanian lokal.
 Masyarakat cenderung berfokus pada penyediaan kebutuhan sendiri.
3. Kota tradisional secara politik
 Tradisi tradisi rohaniah.
 Ahli-ahli tertentu memiliki monopoli pengetahuan yang disebarkan secara
luas. Ancaman hukum secara informal.
 Hukum bersifat represif. Kontrak secara fortal.

31
 Penting hubungannya dengan yang berkuasa.
 Latar belakang keluarga penting.
4. Kota tradisional secara sosial budaya:
 Penekanan pada hubungan dalam keluarga besar.
 Rasa kebersamaan.
 Komunikasi secara berhadapan muka.
 Budaya homogeni.
 Kepercayaan ritual (Martini, 2011: 136).

2.1.3. Tata Ruang Kota Yogyakarta


A. Sistem Macapat Sebagai Penataan Ruang Kota Yogyakarta
Macapat dalam kosmologi Jawa bersumber dari konsep yang disebut Panca-
kusik, konsep tentang kosmik Hindu dari India. Dijelaskan dalam dongeng-
dongeng kuno dari India melambangkan para dewa dalam berhubungan dengan
manusia membutuhkan sarana, yaitu salah satu yang paling utama adalah di
ciptakannya Gunung Dunia. Gunung Kalasa dan Sungai Gangga memancarkan
dirinya dan kemudian menjadi satu Samudra. Kemudian di sekeliling Gunung di
ciptakan gunung lain dari empat penjuru yang dikendalikan oleh empat dewa.
Dewa iswara di timur, Dewa Brahma di Selatan, Dewa Mahadewa di sebelah
Barat dan Dewa Visnu di Utara (Hidajat, 2006: 16).

Konsep macapat, Macalima atau Panca-kusika secara terus menerus


terimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Model pemikiran kosmik
Jawa selalu bersumber pada konsep tersebut. Bahkan pemahaman orang Jawa
terhadap asal-usul manusia di sandarkan pada konsep tersebut, yaitu seperti yang
dipahami oleh Revianto Budi Santoso. Orang Jawa dalam memahami eksistensi
Bumi (dunia) ketika menghayati kelahiran seorang bayi, ari-ari sang bayi
merupakan bagian dari salah satu “empat saudara kandung” yang menjaga
individu, yaitu kakang kawah (air ketuban), adhi ari-ari (Tembuni), getih (darah),
dan puser (tali pusat) dikubur di dekat rumah. Penguburan tersebut dimaksudkan
untuk menyusul “kakaknya” sang air ketuban yang telah tumpah ke bumi terlebih
dahulu. Sebuah periuk tanah yang di lubangi alasnya diletakan terbalik lalu
dikubur. Maksudnya adalah untuk menyatukan semua perwujudan dengan tanah.

32
Implementasi fenomena kelahiran bayi tersebut juga meyakini adanya “ruang”
kosmik, sebuah dimensi yang dibutuhkan pemahaman yang lebih konkrit, yaitu
dengan memahami kiblat, yaitu kedudukan arah mata angin. Arah mata angin
yang disebut kiblat bentuk pemahaman ruang menurut konsep Hindu (Hidajat,
2006: 18).

Macapat merupakan klasifikasi simbolik berkategori empat, menunjuk kepada


arah mata angin. Dalam masyarakat Jawa, sistem simbolik ini sering dipadukan
dengan sistem simbolik berkategori lima, dikenal dengan Mancapat-macalima.
Sistem klasifikasi simbolik ini di kembangkan dari pandangan jawa kosmos.
Keempat penjuru mata angin, di yakini sebagai tempat bertahtanya para dewa.
Sistem klasifikasi berkategori lima mengandung arti kemantapan dan keselarasan
dunia. Klasifikasi berkategori lima, dalam masyarakat Jawa dikenal dengan
Macalima. Macalima merupakan pengembangan sistem klasifikasi simbolik
berkategori empat, dengan penambahan satu titik pusat (Tjahjono, 1988: 40).

Sistem mancapat-macalima dalam penataan ruang wilayah Yogyakarta


merupakan warisan dari Kerajaan Mataram Islam. Kota Gede, Yogyakarta
merupakan ibukota kerajaan Mataram Islam yang pertama kali. Pada awlnya
Kotagede ini berfungsi sebagai pusat administrasi, sehubungan dengan tugas Kyai
Ageng Pemanahan. Kedudukan Kotagede sebagai pusat pemerintahan kerajaan
Mataram berlangsung hanya sampai Tahun 1625. Terletak di sebelah tenggara
(sekitar 4 km) dari Kota Yogyakarta sekarang. Kota gede sebagai ibukota kerajaan
menunjukan struktur kota yang berciri organis (tidak teratur). Pasar terletak di
sebelah selatan jalur jalan arah Timur-Barat, hal ini berbeda dengan kota Mataram
lainnya. Komplek Masjid (dengan makam, dan pemandian) terletak di sebelah
Barat kampung alun-alun sekarang. Letak Keraton yang diperkirakan sebagai
kampung Kedaton sekarang, berada di sebelah selatan alun-alun. Sebelah barat
pasar terdapat komplek permukiman pedagang/pengrajin. Pola Jalan yang berarah
ke Timur berperan utama secara ekonomis, menghubungkan pemukiman
masyarakat pedagang, pengrajin dan petani. Pola jalan kea rah Utara berperan
utama secara administrative, menghubungkan Kota Gede dengan Keraton Pajang.
Pasar sebagai pusat kegiatan perekonomian kota. Keraton dikelilingi oleh tembok,

33
sedangkan pemukiman para abdi dalem berada di luar tembok keraton (Junianto,
2019: 245).

B. Sistem Catur Gatra Tunggal Dalam Penataan Ruang Kota Yogyakarta

Kota Gede yang didirikan pada abad ke-16 merupakan salah satu Kota Jawa
yang menganut prinsip penataan Catur Gatra Tunggal yang berarti empat
komponen dalam satu kesatuan. Dalam konsep Catur Gtra Tunggal tersebut
empat wahana menjadi kesatuan tunggal terpisah namun dihubungkan oleh
koridor-koridor jalan. Konsep dasar tersebut menggunakan empat komponen
penting kota, yaitu:

a. Keraton (istana) sebagai pusat pemerintahan.


b. Alun-alun sebagai ruang public terletak di sebelah utara keraton.
c. Masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan di sebelah barat laut keraton.
d. Pasar sebagai pusat perekonomian.
Empat komponen Catur Gatra Tunggal tersebut dikelilingi oleh benteng
dengan Jagang (Parit) dibagian luar sebagai pelindung apabila terjadi serangan
dari pihak luar. Komponen-komponen kota dibangun secara bertahap diawali
dengan pembangunan pasar, kemudian hunian-hunian penduduk termasuk
keraton. Setelah itu, komponen-komponen pokok lain yang didirikan secara
berurutan antara lain benteng dengan Jagang, taman, Masjid Agung dan Makam
Raja Mataram. Saat ini di Kota Yogyakarta hanya tinggal dua komponen yang
tertinggal dari empat komponen utama kota, yaitu masjid Agung dan Pasar Kota
Gede. Beberapa peninggalan lainnya yang masih adalah Makam Raja Mataram
dan Sendang Seliran. Dalam perkembangannya meskipun komponen tersebut
sudah beralih fungsi, namun komponen tersebut masa terlihat dari toponim kota
yang ada pada saat ini. Seperti halnya alun-alun telah berubah jadi pemukiman
yang padat, bangunan keraton menjadi makam yang di kelilingi rumah-rumah
penduduk yang dikenal dengan nama Kampung Kedathon, serta pusat kota bukan
lagi Keraton melainkan pasar (Sylvia, dkk, 2013: 31).
2.1.4. Kota Yogyakarta Berdasarkan Teori Konsentris
Teori Konsentris yang diciptakan oleh Ernest W. Burgess (1952) didasarkan
pada pengamatannya di Kota Chicago menyatakan bahwa perkembangan suatu

34
kota akan mengikuti pola lingkaran konsentrik, dimana suatu kota akan terdiri dari
zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini mencerminkan tipe
penggunaan lahan yang berbeda. Berdasarkan teori konsentris, suatu kota dapat
dibagi menjadi zona-zona sebagai berikut:

1. Daerah Pusat Bisnis (Central Business District/CBD).


2. Daerah Transisi (The Zone Of Transition).
3. Daerah Pemukiman Para Pekerja (The Zone Of The Workingmen’s Homes).
4. Daerah Tempat Tinggal Golongan Kelas Menengah (The Zone Of Middles
Class Delivers).
5. Daerah Para Penglaju (The Commuters Zone) (Sriartha, 2004: 16).

Gambaran tentang struktur ruang perkotaan pada era Tahun 1923


dikemukakan oleh Burges dalam model Zona Konsentris (Concentric Zone
Model). Pada model tersebut dinyatakan bahwa kawasan pusat kota (Central
Business District/ CBD) merupakan pusat segala kegiatan ditandai dengan
aksebilitas tinggi dan terdapatnya Retail Business District (RBD) dengan kegiatan
dominan Department Store, office buildings, banks, hotels. Pada awalnya, Tahun
1985 darah yang mengalami kepadatan penduduk paling tinggi adalah pusat kota
demikian juga sampai pada Tahun 2002, namun demikian pada prediksi Tahun
2014 menunjukan pergeseran kepadatan penduduk sehingga terjadi pemadatan
penduduk di daerah pinggiran kota. Hal ini terjadi karena keterbatasan ruang di
pusat kota sehingga perkembangan pemukiman dan tempat tinggal bergeser ke
arah pinggiran kota.

Jika dilihat dari perkembangan Teori Konsentris, maka perkembangan Kota


Yogyakarta tidak bisa di lepaskan dari adanya keraton sebagai pusat
pemerintahan. Keraton yang memiliki peran penting dalam perkembangan Kota
Yogyakarta ini dapat dilihat dari Sultan yang dipilih untuk menjadi gubernur
Yogyakarta (Rini Rachmawati, 2008: 77).

Perkembangan penduduk di Kota Yogyakarta dan pinggiran kota diikuti oleh


perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dari lahan terbuka
menjadi lahan terbangun pada periode waktu Tahun 1990-1999 sebesar 0.38
kilometer persegi per-tahun. Proses Urban Sprawl terutama menuju ke arah utara

35
yaitu Kabupaten Sleman di tunjukan oleh hadirnya beberapa fasilitas kota seperti
Kampus, Shopping Centre, dan perumahan skala besar. Pelayanan ekonomi
seperti mall dan supermarket/hypermarket tumbuh dengan pesat di pusat kota,
seperti di kawasan Malioboro dan kawasan Jalan Solo. Hal ini mengakibatkan
pada kedua kawasan tersebut tumbuh berbagai aktivitas seperti munculnya
pedagang kaki lima yang menjual makanan maupun barang-barang kerajinan dan
megambil ruang-ruang yang ada pada kedua kawasan tersebut. Tingginya
pengunjung mall/supermarket pada kawasan Malioboro menyebabkan tingginya
volume kendaraan yang lewat pada ruas jalan Malioboro. Sempitnya ruang parkir
yang tersedia menjadikan ruang public untuk pejalan kaki (trotoar) beralih fungsi
sebagai ruang parkir bahkan sebagai tempat berjualan para pedagang kaki lima.
Titik-titik kemacetan selalu terjadi pada ruas jalan dan beberapa pertemuan jalan
(perempatan). Hal ini menimbulkan kurangnya kenyamanan dalam berlalu lintas
dan dalam beraktivitas wisata di pusat kota (Kawasan CBD) (Rini Rachmawati,
2008: 80). Melihat dari uraian di atas, kota Yogyakarta dapat dibagi menjadi 5
wilayah zona berdasarkan teori Konsentris, yaitu sebagai berikut:

A. Bantul Sebagai Wilayah Central Business District

Bantul merupakan suatu Kabupaten di Yogyakarta yang memiliki tingkat


perkembangan industri yang tinggi. Kontribusi sektor industri di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta terhadap total PDRB untuk Tahun 2000 sebesar 16,40 %
atau urutan ketiga setelah sektor pertanian dan perkebunan. Selama periode 1998-
2000, jumlah pertumbuhan industri besar dan sedang (IBS) di provinsi
Yogyakarta mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Tahun 2003 jumlah IBS
di Kabupaten Bantul mencapai kurang lebih 140 perusahaan yang tersebar di 15
kecamatan. Industri furniture merupakan industri yang banyak jumlahnya.
Golongan ini meliputi pembuatan furniture untuk rumah tangga maupun
perkantoran yang bahan baku utamanya adalah kayu, rotan, dan bambu. Di
Kabupaten Bantul sendiri jumlah industri kayu jumlahnya sekitar 59 perusahaan
berkategori IBS atau sekitar 41,55% dari total industri di Kabupaten Bantul.
Sedangkan industri tekstil menempati peringkat kedua dengan presentase 19,72%
disusul kemudian industri makanan dan bahan bangunan masing-masing sejumlah
13,38%. Melihat karakteristik tersebut wilayah Kabupaten Bantul ini merupakan

36
salah satu wilayah CBD (Central Business District) dengan ciri perkembangan
industri yang besar sehingga mendorong perekonomian wilayah Yogyakarta.

Gambar 2.5. Peta Wilayah Kabupaten Bantul


Sumber: hhtps://dptr.bantulkab.go.id/hal/peta-tata-ruang
Salah satu indikator tingkat kesejahteraan pekerja adalah besarnya balas jasa
yang akan diterima oleh pekerja atau biasa yang disebut tingkat upah. Tingkat
upah mempengaruhi pendapatan masyarakat yang berdampak langsung pada
pencapaian tujuan pembangunan, dimana jika daya beli masyarakat meningkat
maka transaksi ekonomi pada sebuah daerah akan berkembang dan apabila
transaksi ekonomi berkembang maka pemerintah memiliki sumber pendapatan
untuk meningkatkan kas anggaran belanja (Fajriyanto, Dkk. 2004: 22).

B. Kampung Code Sebagai Wilayah Transisi

Wilayah Transisi/Peralihan (The Zone Of Transition) adalah sebuah wilayah


zona 2 dalam teori konsentris yang dimana daerah ini kebanyakan dihuni oloh
golongan penduduk yang kurang mampu dalam kehidupan sosial ekonominya.
Penduduknya sebagian besar terdiri dari pendatang yang tidak stabil (Musiman),
terutama di tinjau dari tempat tinggalnya. Di beberapa tempat pada daerah ini
terdapat kegiatan industri ringan. Berdasarkan karakteristik tersebut wilayah di
Yogyakarta yang termasuk kedalam zona peralihan adalah wilayah Kampung
Code.

37
Gambar 2.6. Kawasan Kampung Code
Sumber: https://solo.tribunnews.com/amp/2018/02/04/bikin-ingin-foto-terus-5-
wisata-kampung-paling -berwarna-di-dunia
Kampung Code Utara terletak di sisi selatan Jembatan Sudirman atau Jembatan
Gondolayu. Kampung code telah diakui pemerintah dengan dimasukan kedalam
sistem administratif birokrasi RT.01 RW 01, Kelurahan Kotabaru, Kecamatan
Gendokusuman, Kota Yogyakarta. Kampung code merupakan salah satu
pemukiman illegal yang ada di Kota Yogyakarta sebagai akibat arus urbanisasi.
Meskipun pemukiman Kampung Code Utara berada di tanah yang bukan hak
milik karena berada di tepi Sungai Code yang merupakan tanah milik Keraton
Yogyakarta, namun pemukiman ini sudah diakui keberadaannya sejak dirintis
hingga saat ini. Tidak seperti kampung lainnya, seluruh masyarakat di kampung
ini tidak memiliki sertifikat tanah. Pemukiman Kampung Code Utara juga
merupakan satu-satunya pemukiman kaum miskin dan tidak berpendidikan
pendatang di Kota Yogyakarta yang dirancang oleh seorang arsitek sekaligus
rohaniwan bernama Mangunwijaya. Potensi pemukiman Kampung Code Utara
yang letaknya di tepi sungai Code memberikan beberapa keuntungan dan
solidaritas masyarakat yang tinggi karena perasaan senasib dan sepenanggungan
sebagai kaum miskin pendatang di kota Yogyakarta. Selain itu, karena
pemukiman ini terletak di tepi Sungai Code, masyarakat bisa melakukan kegiatan
pertambangan pasir, perkebunan, dan perikanan di bantaran sungai. Namun,
terdapat permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain adalah legalitas tanah,

38
kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, dan resiko banjir lahar hujan.
Meskipun kondisi pemukiman tidak ideal namun penduduk di kampung ini
enggan untuk pindah karena menurut mereka pemukiman ini sudah sesuai dengan
kebutuhan mereka dan dekat dengan tempat kerja, dan sarana transportasi
(Ayodiya, 2014: 24-46).

C. Zona Pemukiman Pekerja atau buruh

Zona ini paling banyak ditempati oleh para pekerja, baik pekerja pabrik
ataupun industri. Diantaranya adalah pendatang baru dari zona 2, yang
menginginkan tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerjanya. Belum terjadi
invansi dari fungsi industri dan perdagangan di daerah ini karena letaknya masih
dihalangi oleh zona peralihan. Kondisi pemukiman lebih baik dibandingkan
dengan zona 2 walaupun sebagian besar penduduknya masih dalam kategori
“Low-medium status” (Jamaludin, 2015: 56).

Gambar 2.7 Peta Wilayah Kabupaten Sleman


Sumber: https://www.reseacrhgate.net/figure/gambar-3-peta-potensi-desa-wisata-
kabupaten-sleman
Kabupaten Sleman merupakan salah satu lokasi yang memiliki pertumbuhan
perumahan pemukiman yang sangat pesat, dan terus meningkat sejak Tahun 2004

39
hingga saat ini. Letaknya yang strategis dan memiliki kenyamanan untuk
dijadikan tempat hunian, membuat pengembang perumahan di Kabupaten Sleman
terus mengembangkan usahanya. Lokasi-lokasi yang tidak jauh dari pusat kota,
nyaman, asri, fasilitas yang lengkap dan mudah di akses oleh penghuni
merupakan sasaran utama pembangunan perumahan oleh developer. Perumahan di
Kabupaten Sleman ini membentuk pola mengelompok. Faktor yang
mempengaruhinya adalah pertambahan penduduk, fasilitas pendukung aksebilitas,
dan ketersediaan fasilitas ekonomi. Orang-orang yang tinggal di perumahan
Kabupaten Sleman ini umumnya adalah para pekerja, Buruh yang lokasi kerjanya
dekat dengan tempat dia tinggal sehingga memudahkan mereka dalam menuju
tempat kerjanya (Octorio, 2014: 7).

D. Zona pemukiman kelas menengah di Kota Yogyakarta

Zona pemukiman kelas menengah (Residential Zone) adalah kompleks


perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu.
Rumah-rumah di kawasan ini lebih baik dibanding rumah di kawasan pekerja dan
transisi (Jamaludin, 2015: 56).

Gambar 2.8 Citra Satelit Kawasan Perumahan Kaliurang

40
Sumber: Google Maps
Di Daerah Istimewa Yogyakarta zona pemukiman kelas menengah ini dapat
kita lihat di wilayah Kaliurang Kota Yogyakarta sebagai wilayah. Di kaliurang ini
telah banyak perumahan-perumahan kelas menengah atas yang umumnya
ditempati oleh warga yang berpenghasilan tinggi. Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat mengakibatkan wilayah tata gua lahan menunjukan
perkembangan yang begitu pesat.

E. Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta sebagai wilayah Zona Para Penglaju

Zona Penglaju atau Commuter Zone adalah zona yang tercipta akibat interaksi-
interaksi dan interaksi elemen sistem kehidupan perkotaan dan mengenai sistem
kehidupan manusia maka sifatnya pun sangat dinamis dan tidak statis. Timbulnya
penglaju merupakan suatu akibat adanya proses desentralisasi pemukiman sebagai
dampak sekunder dari aplikasi teknologi di bidang transportasi dan komunikasi
(Jamaludin, 2015: 56).

Kelompok penglaju biasanya memilih untuk bertempat tinggal pada daerah


belakang Hinterland yang berada disekitar kota induknya. Kebanyakan dari
mereka memilih bekerja di kota induk sehingga sehari-hari mereka mejadi
penglaju/komuter dan melakukan pergerakan setiap harinya. Sirkulasi yang
bersifat harian ini membuat kaum komuter/penglaju banyak menghabiskan waktu
mereka di perjalanan. Berangkat di pagi hari dan pulang setelah matahari
terbenam. Para komuter biasanya menghadapi masalah mahalnya harga sewa
tanah di dekat tempat mereka bekerja sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain
kecuali tinggal di tempat yang cukup jauh dari tempat bekerja (Adhi, 2012: 71).

41
Gambar 2.9 Peta Wilayah Kabupaten Kulon Progo
Sumber: http://geoportal.kulonprogo.go.id/documents/18
Kabupaten Kulon Progo adalah kabupaten yang mengalami kebocoran.
Kecamatan Wates sebagai ibukota kabupaten yang memiliki fungsi pelayanan dan
penyediaan kebutuhan tidak mampu menjangkau seluruh wilayah Kulon Progo
hingga kecamatan-kecamatan pinggiran. Akibatnya, kecamatan-kecamatan Kulon
Progo yang berbatasan langsung dengan kabupaten lainnya cenderung mencari
pemenuh kebutuhan keluar daerah Kulon Progo. Daerah ini termasuk daerah
Hinterland nya Kota Yogyakarta. Banyak para penglaju yang tinggal di daerah
ini, karena harga sewa tanah yang murah dibandingkan dengan tanah di pusat
kota, dan jarak wilayah Kulon Progo dengan daerah pusat kota juga tidak terlalu
jauh masih bisa di tempuh menggunakan moda transportasi yang ada (Susilo,
2017:4).

42
2.2. Unsur Kebudayaan Yogyakarta
Kehadiran orang Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa, tentu saja
membawa banyak perubahan dalam masyarakat salah satunya budaya. Pada abad
ke-16, orang Belanda datang ke Indonesia hanya untuk berdagang, tetapi
kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Pada awal kehadirannya mereka
mendirikan gudang-gudang untuk menimbun barang dagangan yang berupa
rempah-rempah. Gudang-gudang itu berlokasi di Banten, Jepara, dan Jayakarta
(Soekiman, 2016: 4).
Kehadiran orang Belanda di Indonesia, yang kemudian menjadi penguasa
di pulau Jawa, ikut berpengaruh pada gaya hidup, bentuk bangunan, rumah
tradisional, serta fungsi ruangannya. Alat perlengkapan rumah tangga tradisional
Jawa yang biasa digunakan masyarakat setempat juga mengalami perubahan.
Dengan demikian kebudayaan Barat (Belanda) dalam hal gaya hidup
berumahtangga sehari-hari, serta ketujuh unsur universal kebudayaan-bahasa,
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencarian hidup dan sistem
ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi ikut
terpengaruh pula. Hal inilah yang membuat unsur kebudayaan Yogyakarta banyak
mendapat pengaruh dari Belanda (Soekiman, 2016: 4). Berikut adalah 7 Unsur
kebudayaan yang ada di Kota Yogyakarta.
2.2.1. Sistem Religi
Yogyakarta merupakan wadah dari beragam kelompok agama dengan
berbagai kepentingan. Kultur toleran membuka ruangan bagi berbagai kelompok
untuk mengartikulasikan tidak hanya ekspresi keagamaan, namun juga
kepentingan kelompoknya. Dalam konteks ini, masing-masing kelompok agama
menempati posisi tertentu dalam relasi dengan kelompok agama lain. Hasilnya
adalah warna tersendiri bagi dinamika toleransi Yogyakarta. Pendekatan kultural
melihat pada karakter sinkretik orang Jawa, yang dapat mengadaptasi dan
memadukan berbagai perbedaan dalam unsur agama. Karakter sinkretik pula yang
memudahkan orang Jawa dengan latar belakang Hindu-Buddha yang kuat untuk
begitu mudah dan toleran menerima kehadiran Islam atau Kristen. Tidak
mengherankan jika proporsi mayoritas dari kelompok Islam tidak lantas memicu
konflik dalam relasi antar pemeluk agama berbeda. Sinkretisme orang Jawa

43
kemudian dilihat sebagai salah satu faktor yang menjelaskan situasi toleransi
inter-religi di Yogyakarta (Widya, 2008: 39).
Islam sebagai agama mayoritas yang diyakini di Indonesia tidak dapat
dipungkiri memainkan peran signifikan dalam mewarnai dinamika toleransi di
Yogyakarta. Diyakini oleh 77% masyarakat Yogyakarta, Islam ditempatkan
sebagai kelompok dominan dalam relasi intra-religi. Disengaja atau tidak, situasi
ini menempatkan kelompok non-Islam dalam kategori non-dominan. Dari segi
jumlah, pada Tahun 2006/2007 terdapat 523.858 jiwa penduduk Yogyakarta pada
Tahun 2006/2007, 13%-nya beragama Katolik dan 8.6%-nya beragama Protestan.
Dalam provinsi paling kecil, yaitu mereka yang beragama Hindu dan Buddha,
sebanyak 0.57% dan 0.42% (Widya, 2008: 46).
Ilmuwan percaya bahwa wilayah tanah Jawa sebelum kedatangan Islam
merupakan bekas wilayah kerajaan Hindu dan Budha. Dalam kaitannya dengan
persebaran agama Islam di wilayah Jawa, pengaruh Kerajaan Demak yang terletak
di Pesisir Utara laut Jawa, memberi warna tersendiri bagi topografi awal potensi
keagamaan masyarakat Yogyakarta. Pusat-pusat persebaran Islam yang awalnya
dilakukan dari pesisir utara secara perlahan masuk ke arah Selatan menuju pusat
kepercayaan agama Hindu-Budha. Pengalihan pusat pemerintahan dari Demak ke
Pajang yang kemudian disusul dengan berdirinya kerajaan Islam Mataram yang
menjadi cikal bakal wilayah Yogyakarta adalah momen Islamisasi Jawa dari
pesisir utara menuju wilayah tengah. Perpindahan pusat kerajaan Islam di wilayah
Mataram sangat mempengaruhi kebijakan sultan dalam mengambil keputusan
politis untuk mendapatkan simpati rakyat yang pada waktu itu mayoritas Hindu-
Budha. Pada perkembangan selanjutnya, tradisi Islam asli masuk ke dalam
kebudayaan masyarakat Yogyakarta, justru terinfiltrasi menjadi bentuk-bentuk
kepercayaan yang berbau Jawa. Situasi inilah yang melahirkan Islam bercorak
Jawa atau Islam Kejawen. Berkembangnya Islam Kejawen ini nampaknya
didukung oleh pengaruh kekuasaan Sultan yang begitu besar. Segala bentuk mitos
kekuatan supranatural yang dimiliki ikut menguatkan posisi kebudayaan Jawa
sebagai tradisi sakral yang dijunjung tinggi (Hasim, 2009: 9).

44
2.2.2 Sistem Kemasyarakatan Dan Perkembangan Sosial
A. Sistem Sosial Masyarakat Yogyakarta
Stratifikasi sosial adalah pembedaan atau pengelompokan masyarakat ke
dalam lapisan sosial masyarakat secara bertingkat. Sama seperti masyarakat
daerah lainnya, masyarakat kota Yogyakarta juga memiliki sistem stratifikasi
sosial nya sendiri. Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial banyak dijumpai di
berbagai kelompok masyarakat. Ukuran stratifikasi sosial atau perbedaan status
kelompok-kelompok masyarakat berbeda satu dengan yang lain. Ada yang
menggunakan ukuran kekayaan, pendidikan, darah bangsawan, atau kekuasaan
dan lain sebagainya. Stratifikasi ini telah terlihat jelas besarnya pengaruh suatu
kelompok maka semakin tinggi kedudukannya dalam masyarakat dan sebaliknya
(Murdiyatmoko, 2017: 12).
Pada masyarakat pedesaan di kota Yogyakarta, kekayaan tidak mendasari
adanya stratifikasi sosial ini. Orang-orang yang dianggap memiliki kedudukan
yang tinggilah yang dianggap sebagai orang yang memiliki kelebihan, misalnya
kelompok pegawai pemerintahan. Di berbagai kegiatan dan jabatan pemerintah
biasanya dipegang oleh kelompok ini. Kepala desa dan sekretaris desa, dan
pengurus organisasi sosial biasanya dijabat oleh orang yang berpendidikan
perguruan tinggi.
Sampai awal abad ke- 20 atau sampai pemerintahan Hamengkubuwono VIII
(era kolonial), masyarakat Yogyakarta masih berbudaya tradisional feodal.
Konsep feodal yang membentuk piramida kekuasaan dan berorientasi memusat
(konsentris) tersebut diwujudkan dalam tata ruang wilayah oleh
Hamengkubuwono I.

45
Gambar 2.10: Struktur Sosial Masyarakat Jawa di Era Kolonial
Sumber: Suryanto, dkk, 2015: 9
Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa tata ruang wilayah daerah
Yogyakarta menunjukan adanya stratifikasi sosial berdasarkan pembagian wilayah
menjadi 4 bagian yaitu:
1. Keraton
Keraton adalah pusat kekuasaan, tempat tinggal sultan dan keluarganya serta
beberapa kantor pangeran. Orang-orang yang tinggal di daerah ini disebut
Sentono Dalem.
2. Ibukota atau Kutho Negara
Di Kutho Negara ini tinggal kaum bangsawan dengan jabatan tinggi seperti
pejabat tinggi Keraton (Bupati, Panji, dan Ngabei).
3. Negoro Agung
Wilayah ini merupakan wilayah peletakan kepentingan kebendaan para
bangsawan. Para bangsawan ini disebut Patuh, dimana Patuh tidak boleh tinggal
di wilayah lungguhnya, tetapi harus di Kutho Negara. Dengan demikian Sultan
bisa mengawasi langsung aktivitas para Patuh
4. Monconegoro
Monconegoro adalah wilayah yang tidak langsung terawasi Sultan, karena
letaknya yang jauh dari pusat kerajaan. Wilayah ini tidak langsung dikuasai tetapi
mengakui kekuasaan Sultan. Karena lokasinya yang paling jauh tersebut, maka

46
merupakan daerah yang paling lemah ikatannya dengan kesultanan (Suryanto,
dkk, 2015: 9).
Di samping kelas-kelas sosial tersebut di atas, di era kolonial juga muncul
kelas-kelas lain yang sejajar. Kelas tersebut dibentuk oleh keberadaan orang-
orang asing di Yogyakarta. Pejabat tinggi Belanda dan pemilik usaha perkebunan
berkedudukan setara dengan para bangsawan. Di bawah para pejabat yang
berkebangsaan Belanda, terdapat kelas menengah yang sejajar dengan para
priyayi, yaitu penduduk pribumi yang bekerja di kantor atau perusahaan Belanda.
Menurut PJM Nas (2007), urbanisasi merupakan suatu proses pembentukan kota,
suatu proses yang digerakkan oleh perubahan struktural dalam masyarakat
sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur
mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun
akan memperoleh sifat kehidupan kota. Situasi itulah yang menyebabkan
berhadapannya dua kelompok sosial tersebut disebut sebagai dualisme kehidupan
kota-kota kolonial di wilayah Hindia Belanda (Suryanto, dkk, 2015: 10).
Masyarakat yogyakarta juga meyakini adanya makrokosmos dan mikrokosmos,
Bagi orang Jawa, sosok raja dan keraton memiliki peran penting sebagai pusat
kekuatan kosmos. Berikut akan dijelaskab mengenai sistem pelapisan sosial
masyarakat yogyakart yogyakarta serta makrokosmos dan mikrokosmos
kehidupan orang jawa:

B. Makrokokosmos dan Mikrokosmos dalam Kehidupan Orang Jawa


Situasi Yogyakarta memperlihatkan gerakan dari berbagai kelompok dalam
mengartikulasikan kepentingan ekonomi-politiknya. Namun demikian, keraton
sampai sejauh ini masih dilihat sebagai kekuatan kultural yang mampu
mempertahankan toleransi. Karena potensi konflik berakar pada persoalan
ekonomi-politik, maka kekuatan politiklah yang sebenarnya memberikan
kemampuan kepada keraton untuk menjaga toleransi. Kekuasaan raja, yang
kemudian diasosiasikan dengan keraton, memang menempati posisi penting
dalam kehidupan orang Jawa. Salah satu titik penting dalam kosmos orang Jawa
adalah lingkaran yang memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan
pengalaman religius. Bagi orang Jawa, sosok raja dan keraton memiliki peran

47
penting sebagai pusat kekuatan kosmos. Kekuasaan raja kemudian dilegitimasi
oleh wahyu atau wangsit sebagai pengesahan bagi dirinya untuk melaksanakan
kekuasaan dewa dalam mensejahterakan rakyat (Suseno, 1984: 83-84).
Masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak kecil.
Masyarakat baginya pertama-tama terwujud dalam keluarganya sendiri dimana ia
termasuk sebagai anak dan sebagai adik atau kakak, kemudian ada para tetangga,
keluarga yang lebih jauh dan akhirnya seluruh desa. Dalam lingkungan ini ia
menemukan identitas. Terpisah dari hubungan- hubungan itu ia merasa sendirian
dan seakan-akan tidak sanggup untuk berbuat apa-apa sampai ia menemukan
hubungan sosial baru (Suseno, 1984: 85).
Dalam pandangan masyarakat Jawa, alam semesta disebut Jagad gedhe,
sedangkan manusia merupakan representasi dari Jagad cilik. Diantara keduanya
terdapat hubungan yang erat yang tidak terpisahkan. Hubungan antara Jagad
gedhe (makrokosmos) dan Jagad cilik (mikrokosmos) inilah yang merupakan
manifestasi dari persoalan-persoalan dalam kosmologi Jawa. Masyarakat Jawa
memiliki konsep tentang kepercayaan, mitos, norma, dan pandangan hidup yang
didalamnya terkandung sebuah keyakinan tentang adanya Jagad cilik dan Jagad
gedhe yang berpengaruh pada semua aspek kehidupan karena terdapat
kemanunggalan kekuatan (manunggaling kawulo gusti). Kemanunggalan tersebut
dapat dimaknai bahwa manusia telah menjalin hubungan dengan kekuatan diluar
dirinya yang jauh lebih besar, dengan harapan akan dapat terus di pertahankan
dalam rangka meningkatkan kekuatan dirinya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa
senantiasa menjaga keseimbangan dan keselarasan antara mikrokosmos dan
makrokosmos karena seluruh aspek kehidupannya dipengaruhi oleh kedua
kekuatan tersebut (Haryati, 2017: 181).
Dasar etika Jawa menempatkan individu di bawah kosmos, dalam artian
individu harus menyelaraskan diri dengan kosmos. Etika jawa berkembang dari
homoteologi. dalam paham homoteologi diyakini bahwa manusia yang memiliki
kedudukan tinggi dalam hierarki sosial Jawa akan memperoleh penghormatan
yang tinggi pula. Makin tinggi kedudukan seseorang, makin ia menjadi wadah
kekuatan kosmos ilahi. Konsekuensinya, siapa yang berpangkat atau

48
berkedudukan lebih tinggi harus memelihara bawahannya, yang sama pangkatnya
harus solider.
Masyarakat Jawa masih menggolong-golongkan antara orang priyayi dan
orang biasa. Orang priyayi terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar,
sedangkan orang kebayaan yang disebut dengan istilah Wong cilik terdiri dari
petani, tukang, dan pekerja kasar. Dari hal tersebut muncul strata sosial yang akan
mempengaruhi kedudukan seseorang dalam masyarakat. Orang yang di anggap
terhormat akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi di bandingkan dengan
orang biasa. Golongan orang yang memiliki kedudukan yang lebih rendah dengan
ikhlas dan tanpa pamrih mengabdikan diri dan hidupnya kepada golongan yang
memiliki kedudukan tinggi. Golongan yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi
memiliki kewajiban untuk mengayomi golongan yang berkedudukan lebih rendah.
Bila seorang penguasa tidak memiliki kemampuan untuk memberikan
pengayoman kepada masyarakat, penguasa tersebut dalam wujud jasad nya adalah
manusia, tetapi dalam wujud sukmanya dia telah kehilangan kemanusiaannya.
Keselarasan tidak akan terwujud jika seseorang tidak bisa menyelaraskan
dirinya dengan kosmos nya. Semakin ia mampu menyelaraskan diri dengan
kosmosnya, maka semakin bermorallah dia. Begitu juga sebaliknya, jika
seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menyelaraskan diri dengan
kosmosnya, dia tidak akan menjadi manusia yang bermoral. Manusia seperti
itulah yang kehilangan kemanusiaannya. Pengabdian, baik pengabdian bawahan
kepada atasan ataupun sebaliknya menjadi hal yang lebih utama daripada harta
dan kedudukan (Kurnianto, 2015: 38).
2.2.3 Pengetahuan dan Pendidikan
A. Pada Masa Belanda
Terjadinya pengaruh Barat ke Indonesia khususnya di Yogyakarta telah
membawa pengaruh terhadap Yogyakarta terutama bidang pendidikan secara
langsung telah menjadi pendorong berkembangnya pendidikan ala Barat di
Yogyakarta pada Tahun 1900-1942. Pendidikan Barat yang masuk di Yogyakarta
merupakan sebuah dinamika yang unik di dalam lingkungannya pada saat itu.
Dalam sejarahnya, Yogyakarta yang merupakan pusat dari kebudayaan Jawa serta
pendidikan yang berpangkal pada tradisionalisme dalam perkembangannya telah

49
berakulturasi dengan budaya Barat, khususnya aspek pendidikan. Keterbukaan
pihak Kasultanan Yogyakarta dalam menerima pengaruh Barat khususnya
pendidikan secara langsung telah menjadi pendorong berkembangnya pendidikan
ala Barat di Yogyakarta. Setelah masuknya pengaruh Barat ke Indonesia
khususnya di Yogyakarta telah membawa pengaruh terhadap Yogyakarta terutama
dalam bidang pendidikan. Pada mulanya sistem pendidikan yang digunakan
meneruskan sistem yang digunakan Zaman Mataram. Semenjak Tahun 1900
pemerintah Hindia Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah berorientasi Barat
(Moestoko, 1979:63). Sekolah-sekolah model barat tersebut diantaranya yaitu:
1. Europeesche Lagere School (ELS)
Sekolah khusus untuk anak-anak Belanda ini disebut ELS (Europese Lagere
School). Dengan pengantar Bahasa Belanda, sekolah ini juga menyediakan
fasilitas pendidikan yang bermutu tinggi, mengacu pada standar pendidikan yang
ada di Negeri Belanda. Sekolah ini hanya menerima sebagian kecil anak-anak
Indonesia dari kalangan priyayi yang kaya. Bahkan beberapa peraturan sengaja
dibuat untuk membatasi akses bagi masuknya anak-anak Indonesia ke sekolah ini
dengan adanya aturan-aturan tersebut, ditambah dengan biaya sekolah yang tinggi
dan pengantar pelajaran dengan Bahasa Belanda, maka jumlah anak-anak
Indonesia yang bersekolah berhasil dibatasi (Purwanto, 2017: 12).
2. Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Alasan utama didirikannya HIS adalah karena dorongan keinginan kuat dari
kalangan orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat. Adanya peraturan
yang menyulitkan anak-anak Indonesia untuk masuk ke ELS, dan pendirian HBS
yang memfasilitasi anak-anak Cina layaknya anak Belanda menjadi faktor
pendorong menguatnya tuntutan pendirian HIS. Sebenarnya bagi anak-anak
Indonesia saat itu telah disediakan Sekolah Kelas Satu. Akan tetapi keterbatasan
kurikulum dan tidak adanya pelajaran Bahasa Belanda membuat orang Indonesia
tetap merasa tidak puas dengan pendidikan rendah ini. Sekolah Kelas Satu tidak
memberikan jalan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi (Purwanto, 2017: 16).
3. Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Algemeene Middelbare School
(AMS)

50
Kemajuan pendidikan di Indonesia mulai tampak saat dijalankannya Politik
Etis, yang menggaungkan kewajiban moral bangsa yang berkebudayaan tinggi
terhadap bangsa yang tertindas. Selama dijalankannya Politik Etis, terjadi
peningkatan jumlah sekolah rendah, sekolah-sekolah yang berorientasi Barat pun
didirikan bagi orang Cina maupun Indonesia. Jenjang pendidikan pun semakin
lengkap dengan didirikannya MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan
AMS (Algemene Middlebare School). Kedua sekolah ini lebih memberi
kesempatan bagi anak-anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan lanjutan dan
menjadi pintu masuk ke universitas (Purwanto, 2017: 10).
4. Vervolg (Sekolah Kejuruan)
Sekolah Lanjutan (Vervolgschool), sekolah lanjutan ini yang dimaksud adalah
sekolah lanjutan dari sekolah desa yang dibuka pada Tahun 1916. Lama belajar
sekolah ini 2 Tahun dan disediakan untuk murid-murid yang berprestasi baik dari
sekolah desa.
Sekolah ini merupakan sekolah sambungan dari Sekolah-Sekolah lanjutan ini
setara dengan kelas 4 dan kelas 5 di Sekolah Rendah Kelas Dua, sehingga sekolah
ini didirikan di tengah-tengah lingkungan sekolah desa. Sekolah ini sangat jarang
peminatnya, sebagian dari sekolah ini khusus disediakan bagi perempuan yang
mendapat tambahan pelajaran membuat kerajinan rumah tangga. Sekolah ini
didirikan di Genuaweg (sekarang Jl. Nilam Timur), memiliki 179 murid dan 4
guru Desa (Soeyarno, 1983: 41).
5. Hogere Burger School (HBS)
HBS (Hoogere Buger School) merupakan sekolah yang setara dengan SMA
sekarang, di Surabaya didirikan pada Tahun 1875. HBS ini pertama kali berada di
Institut Buys yang terletak di sudut Jalan Baliwerti dan alun-alun Cottong,
sekarang gedung ini ditempati oleh ITS Surabaya yaitu jalan Cokroaminoto. Pada
Tahun 1880 Sekolah ini terdiri dari 278 murid dan 5 guru, pendidikan HBS ini
disesuaikan dengan HBS di Negeri Belanda baik kurikulum maupun
ketentuannya. Pada Tahun 1912 sekolah HBS berada di Jl. Regenstraat atau Jl.
Kebon Rejo terdiri dari 209 murid terdiri 3 guru (Staatsblad, No. 7893: 189).

6. Schakelschool dan Holland Inlandse Kweekschool (HIK)

51
Schakelschool adalah sekolah Gurupada masa Pemerintah Hindia Belanda
dihasilkan dari sekolah yang bernama Kweekschool (Pendidikan Keguruan)
Pendidikan Keguruan ini mulai diatur pada Tahun 1871 setelah keluarnya
Peraturan Pemerintah yang menyatakan, bahwa pengadaan sekolah dasar
bumiputera harus didahului oleh pengadaan tenaga gurunya. Atas dasar peraturan
itulah Kweekschool diperbanyak. Jenis sekolah itu mengalami pasang-surut.
Karena adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, maka
beberapa sekolah guru ditutup dengan alasan penghematan keuangan negara
(Mestoko, 1917: 53).
Sekolah-sekolah tersebut sebagai contoh sekolah model barat yang berada di
Yogyakarta. Pada awalnya, para bangsawan adalah kelompok pertama yang
mendapat akses ke pendidikan Barat. Namun, seiring berjalannya waktu rakyat
biasa pun dapat mengenyam pendidikan Barat tersebut. Sebagian ada yang
berterimakasih dengan memandang Belanda sebagai contoh dari semua hal
modern karena telah mendirikan sejumlah sekolah bermutu tinggi sama dengan
yang ada di negeri Belanda. Dipilihnya Tahun 1800-1942 sebagai batasan
temporal penelitian karena pada Tahun tersebut pemerintah Hindia Belanda mulai
menaruh perhatian terhadap pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak bangsa
Indonesia khususnya keturunan priyayi.
Pada masa sebelumnya pendidikan Barat telah berlangsung di Indonesia,
namun awalnya hanya diperuntukkan bagi orang pribumi yang beragama Kristen
serta pengetahuan umum dan kecerdasan tidak dimasukkan dalam rencana
pembelajaran. Penelitian ini diakhiri pada Tahun 1942, karena terjadinya perang
pasifik yang mengakibatkan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda melemah dan
akhirnya berakhir dan diambil alih oleh pemerintah Jepang. Terpilihnya Kota
Yogyakarta sebagai lokasi penelitian karena merupakan daerah istimewa dan
merupakan pusat kerajaan. Salah satu faktor yang menyebabkan Kota Yogyakarta
mengalami problema pada Tahun 1800-an yaitu kedatangan para kolonial Belanda
yang membawa pengaruh bagi masyarakat Yogyakarta terutama dalam bidang
pendidikan. Hubungan yang intens antara pemerintah Hindia Belanda dengan
pihak Kesultanan Yogyakarta menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya
pendidikan Barat yang terselenggarakan di Yogyakarta (Latifa, 2016: 2).

52
B. Pada Masa Jepang
Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang pendidikan adalah
menghilangkan diskriminasi dalam mengenyam pendidikan. Pada masa Belanda,
yang dapat merasakan pendidikan formal hanya rakyat pribumi untuk kalangan
menengah ke atas, sementara rakyat kecil tidak bisa memiliki kesempatan.
Sehingga pada masa Jepang mulai menerapkan pola pendidikan semua rakyat dan
lapisan manapun berhak untuk mengenyam pendidikan formal. Jepang juga
menerapkan jenjang pendidikan formal seperti di negaranya yaitu: SD 6 Tahun,
SMP 3 Tahun dan SMA 3 Tahun, Sistem ini masih diterapkan oleh pemerintah
Indonesia sampai saat ini sebagai satu bentuk warisan Jepang. Satu hal yang
melemahkan dari aspek pendidikan adalah penerapan sistem pendidikan militer.
Karena sistem pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk kepentingan perang.
Sehingga siswa memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan
mampu menghafal lagu kebangsaan Jepang. Begitu pula dengan para gurunya,
diwajibkan untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai pengantar
di sekolah menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru wajib mengikuti
kursus bahasa Jepang yang diadakan. Selanjutnya, hal yang menarik adalah
sebuah pemaksaan yang dilakukan oleh Jepang terhadap rakyat Indonesia untuk
melakukan penghormatan kepada Dewa Matahari (Seikerei). Seikerei juga
bermakna memberi hormat kepada Kaisae Jepang Tenno Haika (Sufianto,
2014:54).
Penghormatan ini biasanya diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang (Kimigoyo). Jadi, tidak semua rakyat Indonesia menerima kebiasaan akan
hal ini terutama dari kalangan umat Islam. Sehingga penerapan Seikerei ini
ditentang oleh kalangan umat Islam, salah satunya perlawanan oleh KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Zainal Mustafa pengasuh Pesantren Sukamanah, Jawa Barat
(Kumalasari, 2019: 202).
Kebijakan pendidikan Jepang selama tiga setengah Tahun masa pendudukan
mereka ditandai dengan tiga prinsip pokok: (1) Pendidikan ditata kembali atas
dasar keseragaman dan kesamaan untuk seluruh kelompok etnis dan kelas sosial.
(2) Pengaruh Belanda dihapuskan secara sitematis dari sekolah-sekolah sedangkan
unsur kebudayaan Indonesia dijadikan landasan utama. (3) Semua lembaga

53
pendidikan dijadikan alat untuk mendoktrinisasikan gagasan kemakmuran
bersama Asia Tenggara di bawah pimpinan Jepang (Soemardjan, 1990: 286).
Perubahan mengenai sistem pendidikan yang dilancarkan oleh pemerintah
militer Jepang secara beruntun berhasil menanamkan pengaruh terhadap
masyarakat Jawa di Yogyakarta, terutama kalangan muda. Kondisi pendidikan
masyarakat Yogyakarta pada masa pendudukan Jepang pada awalnya lebih baik
dibandikan dengan pendidikan pada masa Belanda. Tetapi semakinlama
perkembangan pendidikan justru cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Pendidikan dikembangkanuntuk mencapai tujuan pelestarian
kekuasaan pendudukan Jepang di Yogyakarta (Poerwadarminta, 1976: 379).
Pendidikan mengambil peran penting dalam pencerdasan umat. Perkembangan
kemajuan manusia sangat ditentukan oleh maju tidaknya pendidikan. Peran
penting pendidikan yang sangat menentukan tersebut, merupakan salah satu
bagian yang ikut menentukan perkembangan agama yang dibawa oleh para
Nabi/penyebar agama agar mampu dipahami dan diamalkan oleh masyarakat.
Tersedianya lembaga-lembaga pendidikan yang cukup memadai akan menentukan
kapasitas dan kualitas pelayanan pendidikan bagi masyarakat, sehingga agama
dapat ikut berperan serta dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pendidikan. Potensi keagamaan masyarakat DIY pada bidang pendidikan
cukuplah memadai (Kumalasari, 2019: 203).
Pendidikan pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), Jepang menjajah
Indonesia dengan mobilisasi rakyat untuk menjadi pasukan perang sehingga
muncul Keibodan dan Heiho yang sebelumnya rakyat dididik militer terlebih
dahulu. Tujuan pendidikan yang di ajarkan Jepang adalah pemuda harus
membiasakan menjadi pemimpin yang sehat badan, sehat rohani dan sehat
bangsanya. Dampak penjajahan Jepang turut mewarnai dinamika sekolah-sekolah
yang lahir di Yogyakarta antara lain: Sekolah Guru Tahun 1942, Sekolah Teknik
Negeri, SMP Negeri Tahun 1942, Fakultas Teknik berdiri 7 Maret 1947
(Sugiyanto, 2004: 526).
C. Pada Masa Pasca Kemerdekaan
Pasca proklamasi kemerdekaan kehidupan bangsa Indonesia dalam situasi
penderitaaan mental, batin, miskin, bodoh, banyak rakyat yang menderita, sakit

54
dan cacat akibat perang dijajah Belanda dan Jepang. Dampak perang yang
berkepanjangan membangkitkan usaha pemerintah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa disambut masyarakat terdidik pada waktu itu dalam bentuk
mendirikan Lembaga pendidikan di Yogyakarta sebagai usaha swasta antara lain,
Badan Oesaha Kristen Republik Indonesia (BOPKRI), di bawah payung agama
Islam berdiri Yayasan Pendidikan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI), di
bawah paying agama Katholik berdiri berbagai Lembaga pendidikan seperti De
Brito dan Stella Duce (Sugiyanto, 2004: 526).
Pada 3 Maret 1946 Presiden Soekarno meresmikan Balai Perguruan Tinggi
Gajah Mada yang selanjutnya melalui PP No. 23 Tahun 1949 berubah nama
menjadi Universitas Gajah Mada pada tanggal 19 Desember 1949 sebagai
universitas pertama di Indonesia. Selanjutnya disusul lahirnya PTS dan PTN lain
seperti IKIP Negeri Yogyakarta sekarang menjadi Universitas Yogyakarta, UII,
IKIP Sanata Dharma yang sekarang menjadi Universitas Sanata Dharma,
Universitas Janabadra, STIPER, Akademi Pembangunan Masyarakat Desa dan
lain-lain sampai akhir Tahun 1960-an Yogyakarta memiliki kurang lebih 30
perguruan tinggi negeri dan swasta. Salah satu perguruan tinggi yang sangat
terkenal di Yogyakarta adalah Universitas Gajah Mada yang didirikan pada
tanggal 19 Desember 1949. Kampus UGM yang terletak di Yogyakarta
merupakan Universitas pertama yang didirikan oleh Pemerintah Republik
Indonesia setelah Indonesia merdeka. Pada saat didirikan UGM hanya memiliki 6
fakultas namun sekarang memiliki 18 fakultas dan dua sekolah yaitu Sekolah
Vokasi dan Sekolah Pascasarjana dan lebih dari 1000 program studi untuk S2, S3,
dan spesialis. Kegiatan Universitas Gajah Mada dituangkan dalam bentuk Tri
Dharma Perguruan Tinggi yang terdiri atas pendidikan dan pengajaran, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat. Dilihat dari sisi historisnya Universitas Gajah
Mada merupakan penggabungan dan pendirian kembali dari berbagai balai
pendidikan, sekolah tinggi, perguruan tinggi yang ada di Klaten dan Surakarta.
Fakultas yang terdapat di UGM meliputi Fakultas Biologi, Fakultas Ekonomika
dan Bisnis, Fakultas Farmasi, Fakultas Filsafat, Fakultas Geografi, Fakultas
Hukum, Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas
Kedokteran, kesehatan masyarakat dan keperawatan, Fakultas Kedokteran Gigi,

55
Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Kehutanan, Fakultas MIPA, Fakultas
Pertanian, Fakultas Peternakan, Fakultas Psikologi, Fakultas Teknik, dan Fakultas
Teknologi Pertanian (Sugiyanto, 2004: 527).
Yogyakarta sebagai kota pelajar dan pendidikan, memungkinkan masyarakat
mendapatkan pendidikan secara layak dan berkualitas. Kiprah agama di bidang
pendidikan dengan menyediakan lembaga pendidikan swasta tentu sangat
menunjang program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Di
samping lembaga pendidikan umum, organisasi-organisasi keagamaan di
Yogyakarta juga menyediakan lembaga pendidikan dengan ciri khas keagamaan.
Jika dilihat dari data potensi keagamaan yang dikeluarkan oleh Kantor
Departemen Agama Provinsi DIY, potensi di bidang pendidikan keagamaan di
Yogyakarta sangat di dominasi oleh lembaga pendidikan keagamaan Islam. Dari
3.272.278 umat Islam yang tersebar di seluruh wilayah Yogyakarta, masyarakat
Islam dapat menikmati 1366 lembaga pendidikan formal dan 3.492 lembaga
pendidikan nonformal seperti pesantren, madrasah diniyah dan Taman Pendidikan
Al-Qur’an (TPQ) (Hasim, 2009: 11).

D. Pada Masa Sekarang


Pengakuan publik terhadap Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan sangat kental
dan dipertahankan antar generasi, pernyataan Yogyakarta sebagai Kota
Pendidikan menjadi statement para Stakeholders seperti pendapat Sri Sultan
Hamengkubuwono X dalam Yogyakarta in corporrated menyatakan bahwa
Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya, dan kota pariwisata.
Yogyakarta sebagai kota pendidikan diperkuat dalam Peraturan Daerah Istimewa
Yogyakarta No. 6 Tahun 2003 Tentang rencana strategis daerah DIY 2004-2008
dalam visi dan misi kota Yogyakarta tersirat terwujudnya pembangunan regional
sebagai wahana menuju pada kondisi DIY pada Tahun 2020 sebagai pusat
pendidikan, pusat budaya, dan daerah tujuan pariwisata terkemuka.
Berdasarkan historis, kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sebagai jaminan
ke depan Yogyakarta setiap Tahun ajaran baru sejak pasca kemerdekaan RI
hingga saat ini dibanjiri oleh pemuda tamatan SLTP, SMU dan SMK yang
berkeinginan studi lanjut. Mulai dekade 90-an tidak terbatas tamatan SLTP, SMU,

56
dan SMK tetapi ditambah tamatan pendidikan program Sarjana yang berminat
studi lanjut pada program Pasca Sarjana bak dari dalam negeri dan luar negeri.
Menurut Argo (1999: 68) sebagian besar mantan pejuang RI dan keluarganya
melanjutkan studi di UGM Yogyakarta. Dalam perkembangannya para alumni
yang telah lulus dari UGM bekerja sebagai pegawai pemerintahan dan menduduki
jabatan kunci elit birokrasi pemerintahan yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia (Sugiyanto, 2004: 527-528).
Pendukung otentik Yogyakarta sebagai kota pendidikan saat ini memiliki
fasilitas atau institusi pendidikan formal yang jumlahnya cukup memadai.
Berdasarkan data Bps terdapat, 2128 Sekolah Dasar, 432 Sekolah Menegah
Pertama, 158 Sekolah Menengah Atas, 219 Sekolah Menengah Kejuruan, 50
Sekolah Luar Biasa, serta 10 Perguruan Tinggi Negeri, 105 Perguruan Tinggi
Swasta. Semua institusi pendidikan tersebut bernaung di bawah Departemen
Pendidikan Nasional. Disamping sekolah umum dan perguruan tinggi terdapat
pula lembaga pendidikan kejuruan, lembaga pelatihan kerja, lembaga pendidikan
non formal sejenis kursus-kursus dan lembaga yang bersifat pendidikan lainnya
(BPS Yogya, 2017: 126-161).

2.2.4 Bahasa
Sisi lain dari aspek kultural adalah bahasa, yang tidak kalah penting artinya
dalam berinteraksi dan mampu menunjukkan dari kelompok mana individu yang
bersangkutan itu berasal. Begitu rumit dan sangat ditentukan oleh derajat
seseorang baik dari hubungan darah maupun dari jabatannya. Secara garis besar
bahasa ini hanya dibedakan menjadi kromo dan ngoko. Meski dalam realisasi
pemakaiannya pengertian atas kromo sendiri masih terbagi dalam bentuk kromo
inggil, kromo madyo. Hal ini diterapkan dalam pergaulan sehari-hari sejak
seorang individu masih kecil dengan harapan agar individu yang bersangkutan
mengenal aturan sopan-santun sesuai dengan statusnya dalam masyarakat, karena
itu aspek kultural ini merupakan suatu lembaga kontrol sosial saat berinteraksi
bagi masyarakat. Kontrol sosial ini dalam waktu-waktu tertentu terasa sangat ketat
bagi seorang individu yang kurang memperhatikan dan berakibat tersingkirnya
dalam pergaulan masyarakat. Ajaran- ajaran yang merupakan sarana pendidikan

57
untuk hal-hal yang bersifat kultural ini dapat diketemukan dalam berbagai mainan
atau tembang-tembangan (nyanyian) kerakyatan khususnya dalam dunia kanak-
kanak masyarakat Jawa (Goenawan, 1993: 39).
Masyarakat Jawa menggunakan tutur kata yang tidak lepas dari unggah-
ungguh Bahasa Jawa yang memiliki kecenderungan untuk memberikan rasa
hormat berdasarkan kedudukan, derajat maupun pangkat yang dimiliki oleh suatu
elemen masyarakat. Mereka selalu memperhatikan keadaan dengan berhati-hati
ketika menempatkan diri agar tidak menimbulkan terjadinya konflik atau
permasalahan dengan orang lain. Bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang
selama ini dikenal secara luas oleh masyarakat Jawa adalah bentuk ngoko dan
bentuk krama. Bentuk krama sering disebut juga dengan kata basa maksudnya jika
ada seseorang yang tidak menggunakan bentuk krama dengan benar, maka orang
itu akan disebut sebagai orang yang tidak bisa menggunakan bahasa Jawa secara
halus (Ratnasari, 2018 :1).
Penuturan Bahasa Jawa yang tingkatannya tertinggi karena krama inggil
dipergunakan untuk memberikan penghormatan kepada lawan bicara yang lebih
tua dan layak untuk diberi penghormatan. Imbuhan krama inggil itu sendiri
merupakan imbuhan yang melekat pada kata-kata, yang menjadi ciri khas dari
krama inggil tersebut, bentuk imbuhan krama inggil yakni dipun, ipun dan aken.
Penggunaan bahasa untuk diri sendiri menggunakan kosakata madya pada krama
inggil dikarenakan tidak pantas apabila memberikan penghormatan untuk diri
sendiri dengan menggunakan kosakata krama inggil. Oleh karena itu, dengan
adanya kosakata madya terdapatlah sebuah jembatan penghubung antara kosakata
krama inggil dan ngoko. Selain itu, kosakata yang terdapat dalam krama inggil
tidak boleh digantikan oleh kosakata yang lain seperti kosakata yang ada di ngoko
(Ratnasari, 2018: 2).
Ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon
ngoko, atau yang menjadi Abstrak. Kata kunci: unggah-ungguh, tingkat sosial
unsur inti di dalam ragam ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain.
Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk ngoko (misalnya:
afiks di, e, dan ake), Contoh: Para miyarso, wonten ing giyaran punika kula badhe
ngaturaken rembag bab kasusastran Jawi artinya para pendengar, dalam

58
(kesempatan) siaran ini saya akan berbicara tentang kasusastraan Jawa. Ragam
ngoko boleh digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang
merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada mitra tuturnya. Ragam ngoko
mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Indrayanto,
2015: 3).
Ngoko Lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua
kosakatanya berbentuk ngoko dan netral tanpa terselip leksikon krama, krama
inggil, atau krama andhap, contoh: “Yen mung kaya ngana wae, aku mesthi ya
bisa!” Artinya “Jika cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!”. Ngoko Alus
adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon
ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama
andhap. Ngoko Alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan
hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas
leksikon krama inggil, krama andhap, contoh: “Mentri pendhidhikan sing anyar
iki asmane sapa?”. Artinya “Menteri pendidikan yang baru ini siapa namanya?”
(Indrayanto, 2015: 1-2).
2.2.5 Mata Pencaharian Dan Ekonomi
Kehidupan perekonomian masyarakat di era pemerintahan kerajaan Jawa
sepenuhnya diperuntukkan bagi Raja. Mereka yang tinggal di wilayah kesultanan
hanya bisa mengerjakan tanah atas persetujuan Sultan, lewat patuh. Di awal abad
20, di sekitar Yogyakarta terdapat 17 pabrik gula dan beberapa pabrik rokok.
Adanya kegiatan perkebunan gula dan tembakau tersebut telah membangkitkan
perekonomian di kota, yang ditandai dengan berkembangnya berbagai kegiatan,
seperti perhotelan, industri peralatan pertanian, pendidikan dan transportasi.
Infrastruktur tersebut sebagian besar untuk mendukung industri gula.
Perkembangan pabrik gula Tanjung Tirto Tahun 1905-1918 Hindia-Belanda
adalah negeri kaya raya yang dulu hasil alamnya menyumbang pundi-pundi untuk
bangsa Belanda. Kopi, tembakau, gula, karet, teh, indigo ditanam di wilayah-
wilayah subur di negeri ini untuk menjadi komoditas ekspor. Setelah Perjanjian
Giyanti Tahun 1755, Kerajaan Mataram terbagi dua yakni Kerajaan Yogyakarta
dan Surakarta. Dua kerajaan ini disebut Vorstenlanden, wilayahnya seluas
keresidenan Yogyakarta dan Surakarta bentukan Belanda. Pada masa

59
pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma daerah ini menjadi lumbung beras
dan bisa mengekspor beras, setelah perkebunan masuk areal persawahan di
Vorstenlanden juga ditanami indigo, kopi, tebu, dan tembakau. Sistem tanam
paksa yang dilakukan Belanda sebenarnya bukan barang baru bagi Vorstenlanden
karena sejak akhir abad ke-18, tanah-tanah para bangsawan sudah disewakan ke
orang-orang Cina, dan selanjutnya orang-orang Belanda. Mereka menyuruh para
petani menanam tanaman tertentu seperti model tanam paksa. Perkebunan
membuat pembangunan infrastruktur di Vorstenlanden sangat berkembang.
Transportasi utamanya menelusuri sungai bengawan Solo. Pada Tahun 1867 baru
dibuka jalur kereta api dari semarang ke Vorstenlanden untuk memperlancar
pengangkutan hasil perkebunan, maka pengangkutan gula tebu dari gudang ke
pelabuhan dilakukan dengan kereta api tidak lagi memakai angkutan gerobak sapi.
Pada Pabrik Gula Tanjung Tirto sendiri baru di bangun rel kereta api sejak 1929
sepanjang 96.346 km (Utama, 2017: 13).
Salah satu pabrik gula di Yogyakarta yang berdiri pada waktu itu adalah
Pabrik Gula Tanjung Tirto. Pabrik Gula Tanjung Tirto didirikan oleh
Internationale Crediet en Handelsvereeniging “Rotterdam” (Internatio) Tahun
1874. Internatio Internationale Crediet en Handelsvereeniging “Rotterdam”
(Internatio) merupakan perusahaan perbankan yang berdiri Tahun 1863 dan
berkedudukan di Rotterdam, Belanda. Di sekitar pabrik gula Tanjung Tirto,
Internationale Crediet en Handelsvereeniging “Rotterdam” (Internatio) juga
mendirikan bangunan-bangunan penunjang seperti kantor Administratuur (1923),
perumahan ziender dan pegawai pribumi (1923-1924), rumah sakit (hospital)
(1922), sekolah rakyat (schakelschool) 1930, sekolah pertukangan
(Ambachtschool) yang dibuka pada tanggal 14 Mei 1928, yang ditandai dengan
penanaman sebuah pohon beringin oleh Sultan Hamengku Buwana VIII yang
disaksikan oleh Paku Alam VII dan Residen Yogyakarta (Utama, 2017:14).
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki keistimewaan dibandingkan
provinsi yang lain dimana berdasarkan bentang alam, wilayah Yogyakarta di
kelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu satuan fisiografi Gunung
Merapi, satuan fisiografi pegunungan selatan atau pegunungan seribu, satuan
fisiografi pegunungan Kulon Progo dan satuan fisiografi dataran rendah. Luas

60
wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3.185,80 km persegi meski
luas wilayah kecil namun potensi daerah yang ada didalamnya sangat besar.
Potensi wisata alam berupa gunung dan lautan sangat menarik wisatawan dari
dalam dan luar Yogyakarta. Secara geografis, DIY diuntungkan dengan jarak
lokasi wisata obyek wisata yang mudah dijangkau oleh wisatawan menggunakan
sarana kendaraan bermotor. Selain itu Yogyakarta mempunyai banyak wisata
minat-minat khusus yang ditawarkan kepada wisatawan seperti wisata alam dan
wisata petualangan. Yogyakarta di ujung utara disuguhkan panorama Gunung
Merapi dengan ketinggian 9738 kaki dan masih aktif di dunia ini. Kemudian disisi
selatan wisatawan dapat menyaksikan bentangan laut selatan yang mempunyai
panorama yang indah tidak duanya. Kemudian sisi timur Yogyakarta mempunyai
potensi candicandi yang masih terpelihara dengan baik dan menjadi saksi sejarah
peradaban budaya pada jaman Mataram Hindu. Kompleks candi Prambanan dan
Ratu Boko sangat menarik wisatawan daerah dan nasional serta internasional
(Hadi, 2018: 74).
Sejak Tahun 2008 Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dicanangkan
sebagai kota Pariwisata berbasis budaya dimana pengembangan pariwisata
disesuaikan dengan potensi yang ada dan berpusat pada budaya yang selaras
dengan sejarah dan budaya Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Pemerintah
Yogyakarta telah melakukan rencana untuk mendukung pelaksanaan program ini
dari pengembangan dan peningkatan kuantitas serta kualitas fasilitas,
memperbanyak event-event wisata, seni dan budaya, sampai ke optimalisasi
pemasaran program. Potensi wisata yang dimiliki Provinsi Yogyakarta menjadi
daya tarik para pelajar atau siswa yang ingin belajar di Yogyakarta sehingga
predikat kota Pendidikan melekat di kota ini. Jumlah mahasiswa yang berjumlah
ribuan tentu menjadi potensi wisatawan daerah yang dapat mengunjungi daerah-
daerah wisata di seluruh wilayah Yogyakarta. Inilah yang perlu dikelola dengan
sebaik-baiknya agar mereka menjadi orang bisa menjadi pemasar atau marketing
ke saudara, teman-teman tempat daerah asal mereka kuliah/belajar (Hadi, 2018:
78).
Sebagai obyek wisata yang bersifat alam dan budaya membuat Provinsi
Yogyakarta banyak menjadi tujuan wisatawan luar daerah dan menjadikan

61
wilayah ini sebagai tempat untuk menimba ilmu karena kualitas pendidikan sudah
diakui oleh masyarakat. Melihat tabel diatas bahwa obyel wisata yang dikunjungi
oleh wisatawan yang berlatar belakang mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta
kebanyakan dari daerah Nusa Tenggara Barat sebanyak 17,7 % saat dilakukan
penelitian. Data 15,5% wisatawan dari Kalimantan Barat serta 13,3% dari
Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Dengan demikian mahasiswa yang
berasal dari luar Jawa yang sedang berkuliah di Yogyakarta merupakan potensi
orang yang berwisata diberbagai obyek wisata di wilayah Yogyakarta.
Obyek wisata yang menjadi favorit para mahasiswa yang sedang berkuliah di
Yogyakarta adalah wisata alam dan wisata belanja serta wisata pedestrian. Dalam
data tersebut Pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul masih menjadi incaran
wisatawan untuk berkujung adapun datanya sebanyak 40%. Kemudian kawasan
Malioboro juga menjadi favorit mahasiswa sebagai wisatawan belanja dan kuliner
yaitu sebanyak 37,7%. Dari data tersebut wajar kalau obyek wisata alam seperti
laut masih menjadi favorit wisatawan untuk berkunjung. Letak Pantai Parangtritis
yang tidak jauh dari kota Yogyakarta ditunjang fasilitas jalan beserta aksesnya
yang mudah dijangkau wajarlah menjadi obyek wisata yang selalu dikunjungi.
Kawasan Malioboro juga masih menjadi tempat berkunjung mahasiswa sebagai
wisatawan yang ingin jalan-jalan atau berbelanja serta kuliner karena akses
menuju relative dekat dengan tempat tinggal atau pondokkan sekitar kampus
mereka sedang belajar di Yogyakarta. Kawasan wisata alam yang baru dan masih
bersih serta sejuk adalah wisata alam Hutan Pinus Mangunan di Kecamatan
Dlingo Kabupaten Bantul. Kawasan yang ada didaerah pegunungan seribu itu
menjadi favorit mahasiswa sebagai wisatawan yang senang dengan kawasan alam
yang sejuk dan dingin (Hadi, 2018: 79).
A. Mata Pencaharian Penduduk Yogyakarta

1. Pada Masa Kolonial

Kehidupan perekonomian masyarakat di era pemerintahan kerajaan Jawa


sepenuhnya diperuntukkan bagi Raja. Mereka yang tinggal di wilayah kesultanan
hanya bisa mengerjakan tanah atas persetujuan Sultan, lewat patuh. Di awal abad
20, di sekitar Yogyakarta terdapat 17 pabrik gula dan beberapa pabrik rokok.
Adanya kegiatan perkebunan gula dan tembakau tersebut telah membangkitkan

62
perekonomian di kota, yang ditandai dengan berkembangnya berbagai kegiatan,
seperti perhotelan, industri peralatan pertanian, pendidikan dan transportasi.
Infrastruktur tersebut sebagian besar untuk mendukung industri gula.
Seiring dengan perkembangan masyarakat kolonial Belanda di Yogyakarta,
maka di bangunlah berbagai sarana seperti rumah tinggal, toko, tempat rekreasi,
sekolah, rumah sakit, hotel, bank, penjara, gereja, dan lain sebagainya. Selain
tinggal di Loji Kecil, orang-orang Belanda mulai tinggal menyebar pada kawasan
lain di kota Yogyakarta, mulai dari Bintaran, Kota Baru, Jetis, dan Lempuyangan.
Menariknya hampir tidak ada masyarakat barat yang tinggal di sebelah keraton.
Beberapa kampung di Yogyakarta ada yang namanya diambil dari nama orang
Eropa, misalnya kampung Kleringan yang namanya berasal dari nama Tuan
Klierens (Soekiman, 1986: 172).
Keberadaan bangsa Belanda semakin banyak setelah UU Agraria diterapkan
pada Tahun 1870 yang memperbolehkan para pengusaha dan investor dari Eropa
menanamkan sahamnya di Hindia Belanda. Sistem ekonomi Belanda antara
Tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Maksudnya
bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial, modal swasta
diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan di Indonesia, khususnya
perkebunan-perkebunan besar di Jawa maupun di daerah-daerah di luar pulau
Jawa. Selama pada masa ini pihak-pihak swasta Belanda maupun swasta Eropa
lainnya mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh, gula, dan kina. Pembukaan
perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan oleh Undang-Undang Agraria
(AgrarisscheI) yang dikeluarkan pada Tahun 1870 (Poesponegoro, 2011: 271).
Pada satu pihak undang-undang ini melindungi hak milik petani-petani
Indonesia atas tanah mereka. Di lain pihak, UU Agraria membuka peluang bagi
orang asing, orang-orang bukan Indonesia, untuk menyewa tanah untuk rakyat
Indonesia. Diterapkannya UU Agraria, menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang
pesat. Pembangunan jalur kereta api antara Semarang dengan Vostenlanden pada
Tahun 1873 membuat perekonomian di Yogyakarta semakin terbuka, sehingga
banyak orang Belanda yang tinggal di Yogyakarta. Jumlah kedatangan mereka
semakin bayak pada masa pemerintahan Sultan HB VII pada Tahun 1877-1921
(Poesponegoro, 2011: 271).

63
2. Pada Masa Jepang

Mulai dari masa pemerintahan Minamoto no Yoritomo yang mendirikan


pemerintahan bakufu di Kamakura (1192-1333) hingga Tokugawa Ieyasu
mendirikan pemerintahan bakufu di Edo (1603-1867), di Jepang berlaku
feodalisme. Masyarakat dibagi empat golongan berdasarkan kedudukan dan
pekerjaannya yang disingkat shinokosho yaitu bushi (militer), noomin (petani),
shokunin (buruh), dan shoonin (pedagang). menjadi golongan tertinggi dan
menguasai kaum petani dan masyarakat kota (petani tinggal di desa sedangkan
buruh dan pedagang tinggal di kota). Shokunin dan Shonin merupakan golongan
masyarakat yang dianggap paling rendah. Namun ketika perdagangan semakin
maju, golongan pedagang menjadi kaya dan kuat. Golongan petani, yang
jumlahnya sangat banyak (80% dari jumlah penduduk), menjadi golongan paling
miskin dan rendah karena dikenai pajak hasil pertanian yang sangat memberatkan.
Besarnya prosentase pajak yang ditetapkan pemilik tanah saat itu adalah 40%,
namun dalam prakteknya bisa mencapai 80% dan selalu ada kerja paksa yang
sangat membebani petani, karena itu kehidupan petani tetap miskin (Prasetiani,
2014: 32).

Menjelang kedatangan Jepang di Yogyakarta, banyak terjadi perampokan-


perampokan yang dilakukan oleh penduduk. Sasaran perampokan adalah toko-
toko, gudang-gudang, dan pabrik-pabrik. Keadaan ini menimbulkan kekacauan di
lapangan ekonomi, ditambah pada masa itu pegawai pemerintah tidak menerima
gaji dalam beberapa bulan. Banyak orang menjual barang-barang bekas di
sepanjang jalan. Harga-harga bahan makanan pokok seperti beras dan gula
membumbung tinggi. Orang-orang mulai memakan ketela sebagai pengganti
beras. Kenaikan harga ini kemudian ditindak tegas oleh tentara Jepang, tetapi
ternyata kenaikan harga tersebut sudah tidak dapat di kendalikan lagi. Kenaikan
harga ini di sebabkan jumlah barang-barang kebutuhan sangat terbatas, dan nilai
uang merosot. Tentara membeli barang-barang bahan makanan sendiri dengan
maksud untuk mempertahankan harga pasar dan menolong penduduk desa yang
sudah menjual hasil tanamannya.
Padi yang sudah terkumpul harus di jual ke pabrik beras dengan harga yang
sudah ditetapkan pemerintah. Keadaan ini hanya berlaku sementara, karena

64
pabrik-pabrik padi kemudian tidak mau membayar harga yang telah ditetapkan
oleh pemerintah tentara Jepang, sehingga hal ini sangat merugikan petani.
Memburuknya keadaan peperangan membuat tindakan Jepang bertambah kejam.
Petani di wajibkan menyerahkan padi kepada pemerintah tanpa ganti kerugian.
Tindakan pemerintah Jepang yang sangat kejam ditambah kurangnya bahan
makanan, pakaian dan barang-barang lainnya selama perang menimbulkan
ketidakpuasan dari semua kalangan penduduk terutama kalangan rakyat jelata.
Ketidakpuasan ini berangsur-angsur menjadi perasaan dendam terhadap
pemerintah Jepang seiring merosotnya keadaan ekonomi (Majkuri, dkk, 1977:
291-293).

3. Pada Masa Pasca Kemerdekaan Hingga Kini

1. Perdagangan
Pada awal abad ke-20 julukan kota ‘transit’ mulai melekat di kota ini karena
letaknya yang strategis di tengah-tengah jalur kereta api Pulau Jawa. Yogyakarta
merupakan pintu dari 3 jurusan yang menghubungkan kota-kota bandar besar di
Jawa (Semarang, Surabaya, dan Jakarta) dan menjadi satu-satunya jembatan
penghubung antara Jawa Timur dan Jawa Barat ketika perjalanan kereta api tidak
dapat ditempuh dalam waktu hanya satu hari sehingga baik perusahaan kereta api
swasta maupun milik pemerintah membuka kantor-kantornya dan menempatkan
para pegawainya di kota ini. Beberapa dari mereka yang bekerja di perusahaan
kereta api ini lalu membentuk sebuah lembaga swasta bernama Archaeologische
Vereeniging van Yogjakarta di Tahun 1885 dengan Ir. Jan Willem Ijzerman
sebagai ketuanya dan hingga Tahun 1902 berperan dalam pelestarian Candi
Borobudur dan candi-candi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Penemuan-
penemuan di bidang purbakala tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu faktor
utama pendorong pertumbuhan pariwisata di Yogyakarta, disamping faktor-
faktor lain seperti kekayaan seni dan budaya keraton serta kemudahan dalam
bidang transportasi. Minat kunjungan wisata ke Yogyakarta yang makin tinggi
pada awal abad ke-20 kemudian direspon oleh organisasi kepariwisataan
nasional, Vereeniging Touristen Verkeer (VTV), dengan membuka kantor cabang
Official Tourist Bureau di Malioboro No. 6.6 Sejumlah biro wisata atau

65
perjalanan juga membuka kantor cabangnya di kawasan yang berada di pusat
kota ini, diantaranya Eastern Travel Bureau di Malioboro No. 8B dan di
Toegoeweg No. 6. Pada Tahun 1937 didirikan sebuah organisasi swasta Jogja
Vooruit yang berperan dalam mempromosikan pariwisata Yogyakarta. Selain itu,
beberapa agen pelayaran dan penerbangan turut membuka kantornya di kawasan
ini, seperti N.V. Java-China-Japan. Malioboro pun kian ramai oleh para
wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara (Fauziah, 2018: 181).
Meningkatnya jumlah orang-orang yang datang maupun menetap di
Yogyakarta mendorong kebutuhan akan penginapan dan rumah-rumah, toko,
tempat rekreasi dan hiburan, serta sarana kesehatan dan olahraga. Pada awal abad
ke-20 Malioboro menjelma menjadi jalan pertokoan kolonial paling sibuk di
Yogyakarta. Warung-warung yang sebelumnya telah ada berkembang menjadi
toko-toko dengan bangunan permanen yang dibangun rapi di tepi jalan. Toko-toko
baru lainnya pun tumbuh di kedua sisi jalan. Sama halnya dengan Groote Postweg
(Jalan Raya Pos, sekarang Jalan Ahmad Yani) di Semarang, Bragaweg (Jalan
Braga) di Bandung, Jalan Pasar Baru di Weltevreden, Jalan Tunjungan di
Surabaya, Kayutangan (sekarang Jalan Basuki Rahmat) di Malang, atau jalan
pertokoan kolonial lainnya di Jawa, di kanan-kiri jalan juga terdapat rumah-
rumah, hotel, kantor, restoran, dan bioskop. Baik rumah, toko, kantor/biro,
restoran, maupun hotel ini dimiliki oleh orang-orang Tionghoa, Eropa, Pribumi,
Jepang, India, dan sebagainya dengan membeli tanah yang diiklankan di surat
kabar atau dengan menyewa tanah di Malioboro. Selama periode kolonial, jalan
yang mendapat julukan “De Broadway van Djokja” mencapai puncak
keemasannya pada 1920-an hingga 1930-an sebelum akhirnya terkena imbas dari
Depresi Ekonomi Global yang mengakibatkan harga-harga di Malioboro
cenderung tidak stabil dan beberapa toko terpaksa harus gulung tikar (Fauziah,
2018: 182).
Sektor informal mulai populer saat krisis moneter melanda Indonesia pada
Tahun 1998. Banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena sektor
industri mengalami collapse dan banyak perusahaan yang mengalami
kebangkrutan. Solusi untuk mengurangi beban dan tekanan adalah beralih ke
sektor informal. Sektor informal banyak dipilih dan digeluti karena lebih mampu

66
bertahan ditengah masa krisis dan lebih fleksibel mengingat pekerjaan di sektor
informal tidak terikat dengan kontrak perusahaan dan jam kerjanya pun ditentukan
sendiri oleh pelaku sektor informal. Menurut Hidayat (1983), sektor informal
merupakan suatu sistem antara desa dan kota yang belum mampu mandiri karena
belum mendapat bantuan ataupun proteksi dari pemerintah.

Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal yang paling
populer. Keberadaannya mulai merambah ke kota-kota besar di Indonesia, salah
satunya Kota Yogyakarta. Pedagang kaki lima di Kota Yogyakarta terkonsentrasi
di Kawasan Malioboro. Pedagang kaki lima ini sudah ada sejak Tahun 1981 dan
mampu bertahan hingga sekarang. Terdapat beberapa peraturan pemerintahdaerah
yang mengatur pedagang kaki lima di kawasan Malioboro, yaitu Peraturan Daerah
Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pedagang Kaki Lima, Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 93 Tahun 2009 tentang Pembentukan Lembaga
Pemberdayaan Komunitas Kawasan Malioboro Kota Yogyakarta, Peraturan
Walikota Nomor 37 Tahun 2010 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima Kawasan
Khusus Malioboro-A. Yani. Banyaknya pedagang kaki lima yang menghiasi Kota
Yogyakarta ditilik dari homogenitas produk dagangan yang dijajakan, otomatis
menciptakan suatu kompetisi atau persaingan atarpedagang, baik dari segi harga,
variasi produk, jumlah produksi, serta kualitas produk dagangan. Mereka tentunya
memiliki strategi penghidupan yang berbeda-beda untuk bertahan hidup sesuai
dengan kondisi masing-masing pedagang, terutama dalam mengatasi kerentanan
berupa perubahan musim (seasonality) yaitu saat low season dan peak season.
(Darojati, 2014: 2).

2. Pertaniaan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada 7º33’-8º12’ LS dan
110º00’-110º50’ BT dengan luas wilayah ± 3.185 km (0,319 juta ha) memiliki
bahan induk pembentuk tanah berupa bahan volkan, kapur maupun sedimen.
Provinsi DI Yogyakarta memiliki tipologi lahan dari dataran tinggi volkan sampai
lahan pantai pasir dengan tinggi tempat dari 0-2.910 m dpl. Lahan dataran tinggi
seluruhnya ada di Kabupaten Sleman berada di lereng G. Merapi yang merupakan
salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lahan dataran rendah banyak

67
digunakan untuk lahan sawah tersebar di Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulon
Progo. Khusus untuk lahan pantai pasir memiliki faktor pembatas utama tekstur
berpasir dan kesuburan tanah rendah. Tanaman yang mampu hidup sangat
terbatas, namun tanaman legum tahunan merambat Kerandang (Canavalia virosa)
dapat tumbuh subur secara alami di lahan pasir pantai selatan DI Yogyakarta. Biji
yang dihasilkan dari Kerandang ini dapat dibuat tempe atau tahu seperti halnya
kedelai. Sementara ini lahan pantai pasir banyak digunakan untuk budidaya cabe
dan bawang merah tersebar di pantai selatan Kabupaten Bantul dan Sleman
(Subowono G, 2009: 40)

Pertanian merupakan sektor hulu (primer) yang kegiatannya berbasis pada


sumber daya alam di mana sebagian besar produk akhirnya digunakan sebagai
bahan baku (input) utama di sektor industri pengolahan serta konsumsi rumah
tangga. Kegiatan ini tersebar merata hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan keragaman produk-produk unggulan yang dihasilkan oleh
setiap wilayah. Pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi
sebagian besar penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta. Peranan sektor pertanian
dalam penciptaan PDRB DIY selama lima Tahun terakhir sekitar 11 persen.
Sementara itu jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian sekitar 26
persen.
Pertanian merupakan salah satu sektor dominan dalam struktur perekonomian
di DIY. Sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan berperan besar terhadap
perekonomian DIY sebagai penyumbang PDRB terbesar ketiga pada Tahun
2017. Hal ini dikarenakan, sektor pertanian berkontribusi dalam pemenuhan
kebutuhan pangan dan penyediaan bahan baku industri. Selain itu, sektor
pertanian juga merupakan penyerap tenaga kerja dengan jumlah besar. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian menjadi salah satu
tumpuan sebagian besar masyarakat di DIY, terutama di daerah pedesaan.
Dominasi sektor pertanian tersebut juga menunjukkan bahwa sektor pertanian
perlu ditangani secara berkelanjutan berkaitan dengan pencapaian aspek
kesejahteraan masyarakat (Bawono, 2018: 13).
Pertanian di Yogyakarta berkembang cepat karena membentuk sebuah
kelompok pertanian yaitu Corporate farming. Corporate farming pada prinsipnya

68
merupakan upaya kerjasama antar petani dengan menggabungkan usaha-usaha
tani yang relatif kecil menjadi suatu usaha skala besar yang memenuhi skala
ekonomi dalam satu naungan manajemen kelembagaan usaha. Pengintegrasian
kekuatan teknologi pertanian Corporate farming, maka diperoleh produktivitas
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pasar, baik dari sisi kuantitas,
kualitas, maupun kontinuitas. Selain itu, corporate farming menjadikan usaha
tani menjadi lebih efisien, lebih berdaya saing, serta menghasilkan nilai tambah
yang diharapkan akan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Di sisi lain, penerapan corporate farming masih menghadapi beberapa kendala,
diantaranya terkait belum optimal dari bagian kelembagaan pengelola.
Akibatnya, tidak seluruh petani bersedia memercayakan pengelolaan lahan
kepada lembaga pengelola. Interaksi antar pihak-pihak dalam kelembagaan juga
sering mengalami hambatan ketika lembaga pengelola kurang mampu
menyinergikan anggotanya. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan kemitraan
tidak berjalan seperti yang diharapkan (Bawono, 2018: 14).
Corporate farming merupakan salah satu skema kemitraan kolektif dalam
usaha tani agribisnis untuk dapat bersaing dalam pasar modern dan global saat
ini. Kemitraan tersebut menggabungkan kekuatan dari para petani untuk
membentuk suatu kelompok yang memiliki visi dan tujuan bersama.
Penggabungan kekuatan ini, akan menyebabkan terbentuk sinergi produktifitas
yang mampu secara stabil memenuhi kebutuhan pasar, baik dari sisi jumlah,
kualitas maupun keberlangsungan (Bawono, 2018: 16).
Corporate farming secara mikro menerapkan azas Economies of scale yaitu
semakin luas pengelolaan usaha, maka akan semakin efisien biaya produksinya.
Hal ini mencakup pengelolaan tanaman, biaya sarana produksi, biaya
transportasi, dan biaya pemasaran hasil usaha tani. Selain itu, dengan corporate
farming akan dapat diperoleh kemudahan dalam hal akses informasi, akses
modal, dan penetrasi ke pasar. Konsolidasi pengelolaan lahan sawah dalam satu
manajemen pengelola diharapkan dapat memberikan berbagai alternatif peluang
usaha. Para petani pemilik lahan dapat bekerja di lahan dan mendapat insentif,
dapat memperoleh sewa tanah yang dimilikinya, maupun dapat menjadi penyedia
jasa tenaga kerja di luar usaha tani tetapi masih di dalam desa tersebut atau di luar

69
desa. Selain itu, lembaga pengelola juga dapat memperoleh bagian dari margin
keuntungan sebagai imbal balik atas jasa mereka (Bawono, 2018: 16).
3. Kehutanan

Hutan merupakan sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh


pepohonan dan tumbuhan lainnya. Luas hutan di DIY pada Tahun 2015 mencapai
95.397,31 hektar atau sekitar 30 persen dari luas wilayah DIY. Sebagian besar
kawasan hutan di DIY merupakan hutan rakyat yaitu seluas 76.680,48 hektar atau
mencakup sekitar 80 persen dari total kawasan hutan di DIY, dan sisanya
18.715,06 hektar (20 persen) merupakan hutan negara. Hutan rakyat adalah
hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada di atas
tanah milik atau tanah adat. Hutan rakyat ditanami dengan berbagai jenis
tanaman hutan, ada yang dikombinasikan dengan tanaman semusim. Sedangkan
hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah (Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004). Luas hutan rakyat selama
periode 2013-2015 cenderung mengalami kenaikan dari 75.120,3 hektar (2013)
menjadi 76.680,48 hektar (2015). Kenaikan ini terjadi di semua kabupaten dan
yang paling tinggi di Kabupaten Gunung Kidul yaitu seluas 616,03 hektar.
Kemudian diikuti oleh Kabupaten Kulon Progo dan Sleman masing-masing
seluas 581,72 hektar dan 337,42 hektar. Sementara di Kabupaten Bantul hanya
bertambah 25 hektar.

4. Peternakan

Pembangunan subsektor peternakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan


masyarakat akan pangan hewani, seperti daging, telur, dan susu yang bernilai gizi
tinggi. Daging, telur, dan susu merupakan sumber protein hewani yang sangat
dibutuhkan untuk proses perkembangan tubuh manusia. Protein hewani dari
daging dapat meningkatkan dan mempercepat penyerapan besi heme yang
merupakan pembentuk hemoglobin. Protein hewani juga sebagai sumber dari zat
besi heme pembentuk hemoglobin. Kebijakan di subsektor peternakan diarahkan
untuk membangun dan mengembangkan usaha peternakan agar mampu
meningkatkan produksi dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan peternak, serta

70
memperluas kesempatan kerja, dengan demikian usaha peternakan dapat
memberikan sumbangan terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Ternak besar
yang paling banyak diusahakan di DIY adalah sapi potong. Populasi ternak sapi
potong pada akhir Tahun 2015 tercatat 306,7 ribu ekor, sedikit meningkat
dibanding Tahun sebelumnya yang tercatat 302 ribu ekor. Sebagian besar ternak
sapi potong berada di Kabupaten Gunung Kidul.

5. Nelayan

Nelayan merupakan salah satu masyarakat marginal yang seringkali tersisih


dari akomodasi kebijakan pemerintah. Problem yang dihadapi masyarakat nelayan
sangatlah kompleks, mulai dari yang bermuara pada minimnya penghasilan
mereka. Seperti halnya masyarakat petani dan buruh (proletar), masyarakat
nelayan pun tercekik jerat kemiskinan yang menyerupai lingkaran setan. Wilayah
Desa Ponco Sari Kecamatan Srandakan, terletak di daerah pesisir/pantai yang
berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Pengembangan usaha dibidang
kelautan dan perikanan di Desa tersebut, baik budidaya maupun penangkapan ikan
secara ekonomis cukup menjanjikan, dan saat ini berada pada proses
pengembangan. Operasional penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan di
desa ini relatif sama dengan para nelayan dari desa lainnya di pesisir Kabupaten
Bantul, yaitu mencapai maksimal 3-4 mil laut dengan sarana perahu motor
tempel/PMT bertenaga 15 PK, dan lama operasional tangkap hanya satu trip. Para
nelayan tangkap dalam melakukan usahanya, menghimpun diri dalam wadah
organisasi nelayan, yaitu Fajar Arum dan Pandan Mino. Kelompok Nelayan Fajar
Arum didirikan pada Tahun 1990 dan telah berbadan hukum Koperasi Nelayan
Nomor:122/BH/KDK-12.1/VI/2000, Tanggal 28-6-2000. Kelompok ini beralamat
di Kuaru, dengan jumlah anggota 179 orang. Sementara Kelompok Nelayan
Pandan Mino didirikan pada Tahun 1998, dan telah berbadan hukum Koperasi
Nelayan Nomor: 080/BH/KDK-12.1/IX/99, Tanggal 9-9-1999 (Abdurrahman,
2008: 7).

71
2.2.6 Kesenian
Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya jawa. Seni dan budaya
menjadi hal tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta,
sejak masa kanak-kanak sampai dewasa, masyarakat Yogyakarta akan sangat
sering menyaksikan dan bahkan, mengikuti berbagai acara kesenian dan budaya di
kota Yogyakarta. Bagi masyarakat Yogyakarta dimana setiap kehidupan
mempunyai arti tersendiri. Kesenian yang dimiliki masyarakat Yogyakarta sangat
beragam. Kesenian yang sangat indah itu terangkai dalam upacara adat. Sehingga
bagi masyarakat Yogyakarta, seni dan budaya benar-benar menjadi suatu bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kesenian khas Yogyakarta antara
lain:
A. Ketoprak

Gambar 2.11: Pertunjukan Ketoprak


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Ketoprak, merupakan salah satu dari produk seni tradisional Jawa. Pertemuan
para seniman ketoprak se-DIY Tahun 1974 menghasilkan suatu rumusan tentang
ketoprak. Kesenian rakyat yang saat itu tumbuh subur di wilayah budaya Jawa,
dikonsepsikan sebagai drama rakyat Jawa Tengah Kesenian ini memiliki sejarah
kehidupan yang relatif panjang, dan hingga saat ini masih eksis, baik sebagai seni
tanggapan masyarakat di atas panggung, maupun menjadi acara andalan TVRI
dan TV swasta. Ketoprak dianggap layak untuk ditawarkan sebagai komoditas
nasional, bahkan internasional. Setidaknya kesempatan ketoprak terbuka lebar

72
untuk memasuki wilayah multikultural. Pada TVRI Yogyakarta, ketoprak sering
tampil dalam bentuk ketoprak sayembara. Pada ketoprak humor berbahasa
Indonesia, seperti namanya, menekankan bentuk humor dan tentu saja ingin
melebarkan sayap untuk dapat diterima oleh publik nasional (Nusantara, 1997:
54).
Ketoprak mencapai puncak perkembangannya pada Tahun 1950-an sampai
dengan Tahun 1970-an. Kini, masa-masa itu sudah terlewati dan ketoprak pun
mendapatkan tantangan yang berat karena harus berhadapan dengan berbagai
bentuk dan jenis hiburan yang jauh lebih murah, mudah, dan praktis. Tidak hanya
ketoprak saja, tetapi hampir semua kesenian tradisional mengalami keadaan yang
sama, yaitu harus bertahan di tengah gempuran budaya global yang tengah
merontokkan nilainilai tradisi. Budaya global dan budaya pop mau tidak mau
menuntut kesenian tradisional harus beradaptasi agar tidak semakin ditinggalkan.
Kesenian tradisional harus tetap ada sebagai benteng untuk menahan gempuran
kemerosotan nilai oleh budaya pragmatis yang diusung budaya global dan pop.
Perkembangan pun terjadi dalam ketoprak. Pertunjukan ketoprak mulai
dimodifikasi untuk kebutuhan menarik peminat. Awal munculnya ketoprak
memang berupa humor pelepas lelah setelah bekerja. Akan tetapi, di dalamnya
terdapat berbagai ajaran kebaikan, misalnya menghormati orang yang lebih tua,
berbakti kepada suami, keseimbangan alam, dan sebagainya. Hanya saja, hal-hal
tersebut disajikan dengan kemasan humor. Di tengah-tengah lingkungan yang
sedang sibuk seperti ini, humor pun dirasa menjadi satu kebutuhan yang penting.
Banyak orang memerlukan hiburan untuk mengusir kelelahan. Memang, salah
satu sifat menarik dalam ketoprak, ataupun teater tradisional yang lain adalah
fungsinya sebagai hiburan bagi penonton, selain tentunya berperan pula dalam
menyampaikan pesan kepada masyarakat (Ulya, 2011: 82).
Munculnya Ketoprak Humor dan Ketoprak Canda, serta beberapa kelompok
ketoprak lainnya, khususnya di Surakarta juga membawa aroma perubahan.
Ketoprak yang dibawa lebih cenderung bernuansa humor, atau didominasi oleh
unsur humor. Hal ini sebagai respons terhadap menurunnya tingkat apresiasi
masyarakat terhadap pertunjukan seni. Terjadi pergeseran dalam pertunjukan
ketoprak yang semula sebagai tontonan yang sarat tuntunan menjadi sekadar

73
tontonan untuk hiburan saja. Dominasi unsur hiburan merupakan upaya untuk
tetap memopulerkan ketoprak sebagai sebuah tontonan yang banyak mengandung
nilai dan ajaran baik tentang kehidupan. Perubahan-perubahan bentuk pertunjukan
ketoprak, baik dengan mengetengahkan unsur hiburan maupun teknologi bukan
merupakan ancaman dalam dunia ketoprak. Akan tetapi, fenomena tersebut justru
menarik karena ketoprak mampu beradaptasi dengan kebutuhan dan keadaan
Zaman sehingga mampu bersaing dengan berbagai tontonan yang lain. Ketoprak
tetap menjadi sebuah tontonan yang sarat tuntunan bagi masyarakat. Terobosan
lain yang patut diapresiasi berkaitan dengan upaya pelestarian terhadap kesenian
tradisional yaitu pemanfaatan media elektronik, seperti televisi, radio, VCD, dan
sebagainya. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa ada beberapa
kelompok yang mulai memprakarsai masuknya teater tradisional, dalam hal ini
ketoprak ke dalam televisi (Ulya, 2011: 83).
Aktor sekaligus sutradara Timbul membawa Ketoprak Humor ke layar kaca.
Demikian pula dengan Ketoprak Jampi Stress yang dikomandoi oleh Basuki, dan
lain sebagainya. Fenomena tersebut merupakan upaya yang sangat menarik untuk
melestarikan budaya lokal. Namun, media televisi bukannya tanpa cela dalam
memopulerkan kembali nilai-nilai tradisi. Sebuah pertunjukan yang seyogyanya
disaksikan secara langsung akan mengalami pergeseran nilai, meskipun dalam
kadar yang sangat kecil. Upaya positif lainnya dalam masa perkembangan
ketoprak yaitu bentuk adaptasi yang dilakukan oleh para seniman. Apabila
Ketoprak Humor mengganti bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia dengan tetap
mempertahankan esensi (pakem) ketoprak yang ada agar dapat dinikmati oleh
kalangan yang lebih luas, ada kelompok yang justru mempertahankan Bahasa
Jawa tetapi dengan mengadopsi ke dalam bentuk pertunjukan teater modern
(Ulya, 2011: 85).
B. Jathilan

74
Gambar 2.12: Pertunjukan Jatilan
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Lahirnya seni jatilan klasik di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dengan sejarah
Janggala dan Kadiri, dua kerajaan pecahan Kahuripan. Secara khusus, seni jatihan
berkaitan dengan kisah Panji Asmara Bangun dan Dewi Candrakirana. Namun
ketika seni jatilan digelar, kedua tokoh tersebut tidak pernah dimunculkan. Pada
awal sebelum masuk ke Daerah istimewa Yogyakarta, jathilan merupakan bagian
dari kesenian Reyog yang ada di Ponorogo. Dalam Reyog terdapat adegan jathil,
yang isinya penari putri naik kuda. Dari sinilah diambil dan dikembangkan masuk
ke jawa tengah menjadi seni menunggang kuda yang disebut dengan jathilan.
Mengenai jumlah personil penari, secara eksplisit sudah dijelaskan Pigeuad empat
orang. Namun pada awal kemunculannya jathilan bisa dibawakan dua orang
seperti dalam konsep barangfan (keliling). Masyarakat di wilayah kota
Yogyakarta mengenal kesenian jathilan sebagai bagian dari upacara ritual tertentu
yang menggunakan properti kuda képang. Penggunaan kuda képang dalam
kesenian jathilan ini didasarkan pada realitas bahwa kuda adalah binatang yang
diyakini memiliki kelebihan dalam hal kekuatan fisik Kuswarsantyo, 2014: 4).
Awal mula seni jatilan klasik digelar dengan sangat ugahari. Seluruh penari
menggunakan kostum dan rias yang sederhana. Koreografi nya pun sangat
sederhana. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi gerak penari hanya
terdiri: kendang, dua bende, kecrek, dan angklung. Tembang yang dibawakan
Bancak atau Doyok ketika para penari prajurit (berjumlah 6 atau 8) tengah
berlatih perang hanya berupa tembang Macapat. Kuda-kuda kepang yang

75
digunakan sebagai properti berukuran besar, berat, dan tidar lentur. Properti
senjata pedang yang digunakan para penari hanya terbuat dari bambu. Sebelum
seni jatilan klasik mengalami perkembangan, muncul seni jatilan oglek. Dikenal
jatilan oglek, karena suara bedug yang menjadikan tempo irama musik yang
semula terkesan lamban menjadi lebih sigrak. Koreografi nya pun lebih dinamis
ketimbang koregrafi seni jatilan klasik. Sewaktu jatilan oglek mulai populer,
muncul jatilan wayang wong. Di mana seluruh pemainnya yang mengenakan
kostum dan rias wayang wong memerankan tokoh-tokoh di dalam jagad
pakeliran, seperti: Werkudara, Gatotkaca, Kresna, Anoman, dan lain-lain. Karena
alat musik yang digunakan berupa gamelan, jatilah wayang wong memberi warna
tersendiri. Pasca jatilan wayang uwong dan ogleg, muncul jatilan yang mulai
mendapat sentuhan garapan baik pada bidang musik maupun koreografi.
Kemunculan jatilan ini cukup memiliki daya tarik. Karena tiga tokoh baru dalam
seni jatilan, semisal Anoman, anjing, dan celeng sangat menghibur penonton
(Kuswarsantyo, 2014: 5).
Sekitar Tahun 2000, seni jatilan di Yogyakarta mengalami gebrakan kreasi
yang luar biasa. Seluruh penari kuda yang masih remaja dan anak-anak berwajah
ganteng (tampan). Kostum dan riasnya bergaya gedhog. Koreografi nya mulai
dinamis. Alat musik yang digunakan berupa: tiga bende, dua bonang, kendang,
dua gong, dan satu set drum. Selain tembang, wiraswara (sindhen) melantunkan
lagu-lagu Jawa. Perkembangan selanjutnya, para penari kuda tidak hanya laki-
laki, namun pula gadis-gadis belia berwajah cantik. Degan kehadiran jatilan
wanita ini, masyarakat yang semula bosan menyaksikan seni jatilan klasik mulai
gandrung dengan seni jatilah garapan. Setiap pementasan jatilan, banyak penonton
memadati. Pertunjukan seni jatilan tidak berhenti sampai di situ. Beberapa grup
seni jatilan di Yogyakarta yang masih eksis hingga sekarang kembali melakukan
eksplorasi. Beberapa eksplorasi yang dilakukan yakni memasukkan beberapa jenis
alat musik lain, semisal: saron, seperangkat bonang, dan organ. Komposisi musik
dalam satu babak pun tidak terkesan monoton dan membosankan. Dikarenakan
komposer nya mampu menghadirkan suatu rangkaian musik jatilan yang
bernuansa Bali, Tulung Agung, Ponorogo, dan Yogyakarta (Kuswarsantyo, 2014:
6).

76
C. Wayang Kulit
Wayang kulit adalah satu dari berbagai warisan kebudayaan masa lampau di
Indonesia yang masih mampu bertahan dan masih mendapat tempat di hati orang
Jawa. Keberlangsungan tradisi pewayangan di Indonesia mendapat perhatian dari
PBB sehingga PBB mengeluarkan pengakuan bahwa wayang adalah karya agung
dunia). Keberlangsungan tradisi itulah yang menyebabkan pertunjukan wayang
masih merupakan bagian yang hidup di dalam kebudayaan Jawa (Groenendael,
1987: 1).

Gambar2.13: Pertunjukan Wayang Kulit


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Seni pertunjukan ini telah berusia lebih dari setengah millennium.
Kemunculannya terpicu dengan masuknya agama islam di Pulau Jawa. Sunan
Kalijaga menciptakannya dengan mengadopsi wayang beber yang berkembang
pada masa kejayaan Hindu-Budha. Hal itu dilakukan karena wayang terlanjur
lekat dengan orang jawa sehingga menjadi media yang cocok untuk berdakwah
menyebarkan islam, namun ada beberapa hal yang dilarang oleh agama Islam.
Maka wayang kulit hanya bisa dinikmati bayangannya oleh khalayak ramai.
Wayang dipandang bukan sebagai hiburan semata, namun juga kaya akan nilai
kehidupan luhur yang memberi suri tauladan. Wayang dianggap menunjukkan
gambaran tentang watak jiwa manusia. Tokoh wayang tertentu diidentifikasikan
sebagai gambaran diri seseorang sehingga menjadi cermin dan contoh dalam
kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini pagelaran wayang tetap berkembang di

77
berbagai lapisan masyarakat. Pagelaran wayang biasanya digelar di pedesaan yang
kental dengan adat-adat Jawa. Pagelaran wayang senantiasa mengandung nilai-
nilai luhur kehidupan, yang setiap akhir lakon dari pewayangan selalu
memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Hal itu mengandung sebuah
falsafah perilaku kebaikanlah yang akan selalu unggul, sedangkan perbuatan
buruk akan selalu terkalahkan (Purwanto, 2018: 2).
Cerita wayang mengadopsi dari beberapa kitab tua seperti Ramayana,
Mahabarata, dan Purwakanda. Diantara semua kitab tua yang dipakai, kitab
purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Keraton
Yogyakarta. Pagelaran wayang dimulai ditandai dengan adanya gunungan yang
keluar. Pagelaran wayang gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7
adegan biasa dan 7 adegan perang. Babak pertama disebut pathet lasem yaitu
dengan 3 adegan biasa dan 2 adegan perang. Pathet sanga menjadi sebutan babak
kedua dengan ditandai 2 adegan biasa dan 2 adegan perang, sementara Pathet
Manura menjadi babak ketiga yang mempunyai 2 adegan biasa dan 3 adegan
perang. Namun kebanyakan dari penonton menanti momen gara-gara atau
guyonan-guyonan khas jawa yang ditampilkan oleh dalang beserta sinden.
Biasanya di Yogyakarta pementasan wayang semalam suntuk, dilakukan setiap
minggu kedua dan keempat mulai pukul 21.00 WIB hingga pukul 03.00 bertempat
di Sasono Hinggil yang terletak di utara Alun-Alun Selatan. Tempat lain yang
juga menggelar pagelaran seni pertunjukan ini adalah Bangsal Sri Maganti yang
berada di Kasepuhan Keraton Yogyakarta. Pada mulanya pementasan ini tidak
dipungut biaya bagi pengunjung namun setelah bertambahnya jaman makan
ditarik biaya Rp 5.000 bagi para penonton (Purwanto, 2018: 3).
D. Batik

Sebagai kota budaya, Yogyakarta dikenal merupakan daerah penghasil


kerajinan batik. Produk yang dihasilkan oleh beberapa sentra kerajinan batik
merupakan batik yang bersumber dari Keraton Yogyakarta. Batik Keraton
Yogyakarta terdiri dari beberapa golongan motif, diantaranya golongan motif
geometrik dan golongan motif semen. Golongan motif batik tersebut memiliki

78
keunikan dan identitas lokal yang sangat menarik jika dapat dikembangkan atau
diterapkan dalam bentuk lain, misalnya dalam bentuk perhiasan.

Gambar 2. 14: Mencanting Batik Jogja


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Pengembangan dan penerapan motif batik dalam bentuk lain, maka diharapkan
dapat melestarikan dan merevitalisasi kekayaan budaya Nasional. Pengembangan
motif batik pada perhiasan juga dilakukan sebagai upaya kreatif dan inovatif
untuk mendorong produksi industri kreatif perhiasan yang telah ada di
Yogyakarta. Selain batik, Yogyakarta juga dikenal dengan kerajinan perhiasan
perak yaitu Kotagede. Sentra kerajinan perhiasan perak di Kotagede telah ada
sejak zaman Kerajaan Mataram. Produk yang dihasilkan oleh pengrajin Kotagede
tidak hanya dipasarkan untuk pasar lokal saja tetapi sudah merambah pasar Luar
Negeri. Meski begitu, akhir-akhir ini produksi kerajinan perhiasan Kotagede
mengalami kelesuan akibat resesi ekonomi di negara-negara barat, kenaikan harga
bahan baku perak, serta disain yang monoton. Berdasarkan hal tersebut diatas,
maka sangat penting penelitian yang bertema batik keraton Yogyakarta sebagai
sumber perhiasan Kotagede dilakukan, di samping untuk terus melestarikan motif
batik Keraton Yogyakarta, juga untuk membantu dan memotivasi para pengrajin
perhiasan di Kotagede untuk kreatif serta inovatif mengembangkan disain-disain
baru berdasarkan kekayaan budaya lokal Indonesia (Kusumo, 2003: 2).

E. Cabaret show

79
Gambar 2.15: Pentas Cabaret show
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Di Yogyakarta, tepatnya di pusat perbelanjaan Mirota Batik Malioboro
terdapat sebuah panggung yang khusus menampilkan pertunjukan seni yang
diperankan oleh kaum cross-gender dan waria. Pertunjukan seni tersebut sering
disebut “Cabaret Show”. Cabaret show merupakan adaptasi dari kebudayaan luar
negeri yang berasal dari Perancis (Eropa), namun juga marak diadakan di
Thailand (Asia Tenggara). Pertunjukan yang disajikan yaitu drama musikal, tari
dan lip-sync lagu-lagu yang populer. Memiliki hobi di bidang seni merupakan
salah satu faktor yang mendorong para talent untuk bergabung dengan Raminten
3 Cabaret Show dan juga menjadi crossgender dalam pertunjukan, dengan
kecintaannya terhadap seni, seseorang akan lebih sering untuk berkecimpung di
dunia seni tersebut (Rochman, 2015: 6).
Cabaret adalah penampilan musik, tari, dan drama yang disajikan di
restauran atau bar. Hal ini sejalan dengan Raminten Cabaret Show yang
diadakan di lantai 3, Hamzah Batik, Malioboro, yang awalnya adalah kafe yang
bernama Oyot Godhong. Namun akhirnya tempat ini semakin terkenal setelah
Raminten Cabaret Show menjadi primadona utama dalam menunya. epanjang
pertunjukan, para cabaretier atau pemain kabaret melakukan lip-sync atau
menirukan suara penyanyi dari musik yang diputar. Tentu mereka tidak hanya
meniru gerakan bibir saja, tetapi mereka juga berusaha untuk meniru ekspresi,
mimik, gerak tubuh, hingga melakukan tarian atau akrobat di atas panggung.
Mereka berusaha tampil mengikuti para artis besar, mulai dari Nicki Minaj,
Britney Spears, Celine Dion, hingga diva Indonesia seperti Krisdayanti. Tidak

80
hanya itu, tren yang sedang ada di masyarakat bisa menjadi salah satu inspirasi
penampilan mereka, salah satunya tokoh Ibu dari film “Pengabdi Setan”
menghantui panggung. Selama kurang 1,5 jam, pengunjung yang datang
disuguhkan penampilan atraktif dengan tata panggung yang meriah. Tak henti-
hentinya para penonton tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi para pemain yang
meriah. Untuk semakin mencairkan suasana, cabaretier tak segan untuk datang
ke kursi penonton maupun mengajak mereka naik ke atas panggung. Mulai dari
anak-anak hingga orang tua, tak bosan untuk terus menujukan mata mereka
menikmati penampilan (Rochman, 2015: 7).
2.2.7 Teknologi Dan Peralatan
A. Teknologi Yang Berkembang Pada Masa Belanda
Sebelum bangsa Belanda hadir, masyarakat Jawa sudah mengenal teknologi
dengan cukup baik. Mereka sudah mahir mengolah bahan-bahan kayu, batu,
logam, dan tanah liat. Hal tersebut tampak dari arsitektur rumah mereka yang
berelemen kayu, bangunan candi yang berelemen batu alam atau bata, alat-alat
rumah tangga dari gerabah, logam, dan kayu, serta alat upacara yang terbuat dari
kayu, batu, logam, perunggu, perak, dan emas. Bakat-bakat teknologi ini
kemudian mereka padukan dengan pengetahuan dari Eropa/Belanda. Setelah
terjadi akulturasi, mereka menghasilkan berbagai alat kelengkapan hidup seperti
pakaian, arsitektur, dan alat-alat produksi yang bergaya Indis (Soekiman, 2014:
29).
Teknologi yang berkembang pada masa Kolonial belanda di Yogyakarta adalah
Perkembangan kereta api di Indonesia, hal ini terkait dengan eksplorasi dan
eksploitasi Pemerintah Kolonial Belanda. Mode transportasi ini digunakan untuk
pengangkutan komoditas pertanian, sehingga menguat ketika diberlakukannya
politik tanam paksa. Perkeretaapian di Indonesia pertamakali di bangun oleh
Nederlands Indische spoorweg maatschappij (NIS) pada Tahun 1863 dengan di
bangunnya jalan kereta api yang menghubungkan Semarang Gudang (jurnatan) ke
Tanggung (Jurusan Semarang-Solo) Sepanjang ±14km, dengan lebar sepur 1435
milimeter. Pembangunan di lanjutkan sampai Solo (10 Februari 1870) dan
Yogyakarta (10 Juni 1872) dengan lebar sepur 1435mm dengan selesainya
pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Semarang-Solo–Yogyakarta.

81
Dibangun lah setasiun tugu pada 20 Mei 1842. Setasiun Tugu yang berada di
Yogyakarta merupakan setasiun ketiga yang di bangun di Jawa oleh Belanda
setelah Semarang dan Solo, dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran
pengangkutan hasil bumi di area Semarang, Kedu dan Yogyakarta berupa jalan
baja yang dapat di lalui kereta beroda besi ditarik oleh kerbau, sapi dan kuda
(Subarkah, 1992:4).

Gambar 2.16: Stasiun Tugu Yogyakarta


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Namun pada dua puluh Tahun kemudian (1872) diputuskan untuk penariknya
menggunakan kereta api. Maka dibangunlah stasiun Tugu dengan penampilan
arsitektur kolonial, konstruksi atap beton yang juga sebagai langitlangit, sedang
untuk bagian emplasemen menggunakan konstruksi baja profil, penutup atap
seng, dinding menggunakan pasangan bata 1,5-2 batu bata, ditengah ruangan di
dukung oleh tiang-tiang penyangga yang besar (10 Juni 1872), Hingga sekarang
penampilan dan bentuk bangunan secara keseluruhan hanya mengalami perubahan
kecil pada bagian-bagian tertentu saja Fungsi stasiun sejak awal didirikan hingga
sekarang masih tetap dipertahankan yaitu sebagai alat transportasi. Pada masa
penjajah Belanda di gunakan oleh para pembesar Belanda sebagai perantara
persinggahan dari perjalanan kereta api ke perjalanan darat, sedang pada masa
perjuangan kemerdekaan dan perang melawan penjajah stasiun Tugu memiliki
peran sebagai tempat pemberangkatan dan kedatangan pasukan pejuang

82
kemerdekaan dan setelah kemerdekaan di gunakan sebagai tempat
pemberangkatan dan penurunan pengguna jasa kereta api untuk melakukan
perjalanan dari atau ke suatu kota (Subarkah, 1992:5).
Pada abad ke-19 terjadi introduksi beberapa sistem teknologi besar yang
berdampak signifikan terhadap perkembangan sosial masyarakat Hindia Belanda,
terutama di pulau Jawa. Penduduk asli di Nusantara diperkirakan telah hidup
bercocok tanam padi serta telah lama telah ada bersamaan dengan perpindahan
bangsa Austronesia dari Taiwan ke kepulauan Nusantara. Kultur tersebut tentunya
berawal dari penanaman padi di daerah-daerah yang mudah digenangi air
terutama dimusim hujan yaitu di daerah-daerah yang rendah dan di rawa-rawa.
Cara bertani tersebut rupanya telah dapat mencukupi kebutuhan pangan penduduk
selama berabad-abad, serta dapat mendukung pertumbuhan jumlah penduduk
yang terjadi relatif cukup pesat dilaksanakan oleh VOC hingga pada awal
kekuasaan pemerintah kolonial. Pada kedua abad ke-19 di Hindia Belanda juga
diterapkan beberapa teknologi baru, mengikuti perkembangan di Eropa, yang
kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan sosial masyarakat
Jawa.
B. Teknologi Yang Berkembang Pada Masa Jepang

Gambar 2.17: Selokan Mataram


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/

83
Selokan Mataram merupakan sebuah aliran air atau kanal irigasi yang
membentang dari Kali Progo di sebelah barat Yogyakarta hingga Sungai Opak di
sebelah timur Yogyakarta. Keadaan daerah Yogyakarta sebelum dibangunnya
selokan mataram sangatlah kering dan tidak memadai untuk lahan–lahan
pertanian, maupun drainase bagi penduduk setempat. Selokan Mataram dibangun
pada masa Jepang merupakan prakarsa Raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat,
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sul-tan HB IX pada masa kependudukan
Jepang di Indonesia bermaksud membuat Selokan Mataram agar rakyat
Yogyakarta terhindar dari kerja paksa penjajah Jepang. Pada masa itu Jepang
membutuhkan banyak tenaga kerja untuk membangun di berbagai daerah. Proyek
tersebut terutama untuk memperkuat kedudukan mereka di Nusantara, terlebih
dalam menghadapi pihak sekutu yang sewaktu-waktu menyerang. Agar rakyat
Yogyakarta tidak dipekerjakan sebagai romusha di berbagai daerah, Sri Sultan
HB IX berinisiatif membuat selokan tersebut. Usaha itu membuahkan hasil
sehingga rakyat Yogyakarta terhindar dari kerja paksa (Kusumawati, 2019: 2-3).
Sekitar selokan mataram kini telah ramai oleh rumah-rumah penduduk, toko-
toko, bahkan industri pabrik kini mulai menghiasi wilayah sekitar Selokan
Mataram. Wilayah yang paling padat oleh penduduk berada di Kabupaten Sleman,
karena disana dahulunya merupakan lahan pertanian dan area persawahan, namun
kini daerah itu telah berubah menjadi area penduduk, pertokoan, dan perhotelan.
Akibatnya, Selokan Mataram bertambah fungsinya, bukan hanya sebagai saluran
irigasi, namun juga sebagai drainase bagi para penduduk kota. Kepadatan dan
aktivitas penduduk tentunya menyebabkan dampak positif maupun negatif
terhadap Selokan. Berdasarkan fakta yang ada, dampak negatif lebih dominan,
karena kian banyaknya sampah yang orang buang ke dalam aliran selokan
Mataram (Kusumawati, 2019: 3).
C. Teknologi Yang Berkembang Di Yogyakarta Pada Masa Sekarang
Perkembangan teknologi di Yogyakarta sangat pesat salah satunya masyarakat
menciptakan sebuah aplikasi untuk mempermudah kegiatan sehari hari yaitu
aplikasi Smart Province Jogja Istimewa. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
menyediakan aplikasi Smart Province “Jogja Istimewa” untuk mempermudah
masyarakat dalam memperoleh informasi terintegrasi. Aplikasi “Jogja Istimewa”

84
merupakan salah satu informasi pelayanan yang dapat digunakan sebagai sistem
informasi pelayanan pariwisata di DIY. Aplikasi “Jogja Istimewa” menggunakan
sistem layanan berbasis lokasi atau lebih dikenal dengan Location-Based Services
(LBS). Sistem pelayanan LBS menggabungkan antara proses dari layanan mobile
dengan posisi geografis dari penggunanya. Tipe layanan ini dilakukan dengan
menggunakan posisi pada GPS. Selain itu, tipe ini merupakan tipe layanan yang
akan selalu memberikan informasi kepada pengguna walaupun pengguna tidak
melakukan permintaan terhadap layanan (Rachmawati, 2018: 16).
Aplikasi “Jogja Istimewa” merupakan sebuah media informasi D.I. Yogyakarta
digital berbasis mobile application sebagai panduan masyarakat dan wisatawan
yang secara resmi di-launching oleh pemerintah daerah D.I. Yogyakarta sejak 21
September 2015. Aplikasi Jogja Istimewa ini menjadi media interaktif dan
mandiri sesuai dengan perkembangan teknologi terkini, tren, dan kebiasaan
masyarakat dalam penggunaan smartphone. Aplikasi “Jogja Istimewa” memiliki
desain yang menarik, ringkas, dan mudah digunakan. Aplikasi ini dapat
digunakan pada smartphone dengan platform android dan windows, serta iOS
yang dalam tahap pengembangan. Aplikasi “Jogja Istimewa” memberikan
kemudahan dengan menampilkan berbagai lokasi terdekat dari pengguna dengan
memanfaatkan GPS pada perangkat smartphone pengguna. Fitur pencarian lokasi
terdekat merupakan tampilan pertama atas aplikasi ini. Informasi lokasi terdekat
hanya muncul pada saat pengguna mengakses di D.I. Yogyakarta saja karena
memiliki batasan cakupan. Dari fitur ini, pengguna dapat mengetahui informasi
umum, lokasi, jarak, cara, dan waktu tempuh lokasi tersebut. Hal tersebut
mempermudah masyarakat dan wisatawan untuk mengakses lokasi wisata untuk
efisiensi waktu, jarak, dan biaya (Rachmawati, 2018: 17).
Keberadaan Aplikasi “Jogja Istimewa” tidak hanya diperuntukkan penduduk
D.I. Yogyakarta saja, tetapi diperuntukkan juga untuk wisatawan. D.I. Yogyakarta
sebagai salah satu daerah wisata membutuhkan teknologi informasi untuk
menunjang sektor wisata. Penggunaan TIK dalam dunia pariwisata sangat
bermanfaat dalam pengembangan bisnis wisata karena mampu melakukan
efisiensi waktu dan biaya. Kemajuan teknologi mampu memudahkan wisatawan
dalam mengetahui informasi tempat wisata (Rachmawati, 2018: 16).

85
Kualitas pelayanan aplikasi online harus dianalisis dan diperhitungkan dengan
maksud untuk memperkuat dan mengembangkan strategi dalam meningkatkan
layanan yang ditawarkan dan meningkatkan tingkat kepuasan pengguna. Aplikasi
“Jogja Istimewa” sebagai aplikasi penyedia informasi D.I Yogyakarta memiliki
beberapa keunggulan. Keunggulan pertama, penyampaian informasi pariwisata
dan budaya dapat dilakukan lebih mudah, akurat, dan terarsip dengan baik.
Keunggulan kedua, Aplikasi “Jogja Istimewa” sebagai media promosi daerah
untuk meningkatkan kunjungan wisata daerah. Keunggulan ketiga, aplikasi ini
dapat mengurangi penggunaan kertas dalam mempromosikan tempat tujuan
wisata dan budaya daerah. Keunggulan keempat, aplikasi dapat menjangkau
wisatawan di seluruh nusantara dan dunia karena dapat digunakan dimanapun
kecuali fitur pencarian lokasi terdekat. Keunggulan kelima, aplikasi mampu
mengikuti perkembangan perilaku dan kebiasaan pengguna seiring dengan
perkembangan tren teknologi. Keunggulan keenam, tersedianya gratis upgrade
sesuai dengan perkembangan teknologi terbaru. Kekurangan pada aplikasi ini,
fitur pencarian lokasi terdekat tidak akan muncul ketika pengguna berada jauh
dari Yogyakarta, tetapi fitur lainnya masih berfungsi (Rachmawati, 2018: 16).
Yogyakarta telah mengalami perkembangan pesat dalam tata unsur kota untuk
mengelola transportasi wisatawan yang ingin berkunjung atau berkeliling
Yogyakarta. Terdapat juga teknologi transportasi masal yang ramah lingkungan
untuk mengatasi permasalahan transportasi dengan menerapkan Gagasan Jogja
Eco2 Cities (JEEC). JEEC merupakan gagasan sebuah tata kota Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan segala potensi dari masing-masing wilayahnya dengan
memanfaatkan integrasi transportasi masal yang ramah lingkungan. Dimana Kota
Yogyakarta berperan sebagai pusat (center) dan terminal penghubung ke berbagai
daerah disekitarnya, seperti Gunung kidul, Sleman, Bantul, dan Kulon Progo
(Kunaryo, 2015: 85).
Desain transportasi Jogja Eco2 Cities (JEEC) adalah dengan memadukan
kearifan lokal Yogyakarta sebagai kota wisata dan kota budaya dengan
perkembangan teknologi yang ada saat ini. Jaringan jalan yang ada di daerah kota
akan didesain 3 (tiga) lajur. Dimana lajur utama akan digunakan untuk kendaraan
umum. Lajur kedua akan digunakan sebagai jalur trolleybus. Sementara lajur yang

86
berada di sisi paling luar akan digunakan sebagai jalur Delman, becak serta
pesepeda. Hal ini dengan tujuan agar ciri khas Yogyakarta yang masih
mempertahankan budaya tradisional tidak luntur seiring dengan perkembangan
jaman. Sementara untuk bus, akan kita golongkan bus tersebut sesuai daerah
tujuan. Penggolongan akan didasarkan pada warna bus. Misalnya Kota
Yogyakarta dengan bus warna biru, Gunung Kidul bus warna hijau, Sleman
dengan warna bus Kuning, dst. Sehingga hal itu akan memudahkan masyarakat
dalam menentukan bus mana yang akan menuju ke daerahnya (Kunaryo, 2015:
84).
Integrasi transportasi masal diharapkan dapat meningkatkan minat
masyarakat Yogyakarta untuk beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke
transportasi umum. Sehingga dapat mengurangi tingkat kemacetan dan kerusakan
lingkungan akibat emisi gas yang dihasilkan kendaraan juga dapat diminimalisir.
Adanya gagasan Jogja Economics and Ecology City. Daerah Istimewa Yogyakarta
diharapkan menjadi daerah yang maju secara ekonomi maupun ekologinya
(Kunaryo, 2015: 83).
Kemajuan fasilitas kota berbasis teknologi di Yogyakarta menjadikan kota
Yogyakarta semakin maju dalam bidang ekonomi masyarakatnya. Kota
Yogyakarta memiliki beberapa predikat, antara lain sebagai kota perjuangan, kota
pelajar, kota budaya, dan kota wisata. Apabila kota Yogyakarta dikembangkan
sesuai dengan predikat-predikat tersebut serta dikelola dengan baik, diharapkan
akan berdampak positif pada kesejahteraan masyarakatnya. Yogyakarta adalah
kota yang memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sampai saat ini masih
tetap hidup di tengah-tengah masyarakat. Pengembangan kepariwisataan di kota
Yogyakarta mengedepankan konsep pariwisata yang berbudaya mengingat begitu
besarnya potensi budaya. Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor: 557/Kep/2007
tentang Rencana Aksi Daerah Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya Kota
Yogyakarta Tahun 2007–2011. Maraknya event seni budaya bisa dilihat dari
semakin banyaknya event budaya yang dilaksanakan seperti festival, karnaval,
gelar budaya, pasar rakyat dan event-event lainnya baik yang bertaraf lokal,
nasional maupun internasional. Menarik untuk dicermati bahwa berbagai event ini
diselenggarakan baik oleh swasta, masyarakat maupun pemerintah. Beberapa

87
event budaya tersebut antara lain adalah sekaten, kirab budaya, fky, pekan budaya
Tionghoa, gelar budaya Jogja, bienalle, gelar ketoprak, Jogja fashion week,
festival adat istiadat, festival dalang anak (Kunaryo, 2015: 84).

2.3 Peninggalan Kota Yogyakarta


2.3.1. Candi Prambanan

Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang adalah kompleks candi hindu
terbesar di indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini
dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai
dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa
pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah
Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di
garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi
tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar
di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur
bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada
umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai
47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil.
Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi
daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia. Menurut prasasti Siwagrha,
candi ini mulai dibangun pada sekitar Tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan
terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, pada masa
kerajaan Medang Mataram (Wijayani, 2018:3).

Candi Prambanan terletak 13 km dari kota Klaten ke arah barat dan 17 km dari
Yogyakarta ke arah timur. Kata Prambanan berasal dari kata brahma, Brahman,
brahmana, dan atman, yang didirikan sebagai tempat beribadah umat Hindu dan
perabuan raja terbesar di Indonesia. Candi ini dibangun pada abad ke-9 oleh Rakai
Pikatan dari Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu untuk dipersembahkan kepada
istrinya Pramodawardhani yang beragama Budha. Dalam perkembangannya saat
ini Candi Prambanan difungsikan sebagai objek wisata sekaligus tempat ibadah
pemeluk Hindu. Pada awalnya masyarakat tidak setuju terhadap rencana

88
pemerintah untuk menjadikan Candi Prambanan sebagai objek wisata, karena
masyarakat menganggap Candi Prambanan sebagai candi keramat. Mereka
khawatir jika tempat suci tersebut dijadikan tempat wisata akan memengaruhi
kehidupan lingkungan sekitarnya yang nantinya akan mendatangkan malapetaka
dan kerugian bagi warganya. Bahkan pada awalnya sempat terjadi konflik terkait
dengan rencana penggusuran permukiman penduduk dan sekolah yang akan
dijadikan sebagai taman dan tempat parkir (Pinasti, 2012: 56).

Gambar 2.18: Candi Prambanan


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Namun pada akhirnya masyarakat menyetujui rencana pemerintah itu. Candi
Prambanan dijadikan sebagai objek wisata maka terjadi berbagai macam
perubahan. Proses sosial yang terjadi di kawasan wisata Candi Prambanan ini
dapat dilihat dari kerjasama antara masyarakat sekitar candi. Sebagian besar
karyawan Candi Prambanan merupakan masyarakat yang berasal dari sekitar
candi. Artinya kehadiran Candi Prambanan membuka lapangan kerja baru bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar candi. Untuk menarik pengunjung, pihak
pengelola Candi Prambanan bekerjasama dengan Dinas Pariwisata
menyelenggarakan sendratari Ramayana yang dipertunjukkan setiap bulan
purnama. Para penarinya meliputi para penari professional dan didukung oleh

89
masyarakat sekitar. Selain itu masyarakat sekitar juga memiliki mata pencaharian
baru misalnya sebagai pedagang yang menjual pernak-pernik dan oleh-oleh khas
candi, berjualan minuman dan makan ringan, dan lain-lain. Dibukanya Candi
Prambanan sebagai tempat wisata ternyata telah mengurangi tingkat
pengangguran dan menyumbang pada perekonomian bagi kas pemerintah daerah.
Dapat dikatakan kawasan wisata ini hamper tidak pernah kehabisan pengunjung.
Di kawasan Candi Prambanan, proses sosial yang berupa konflik dapat dikatakan
sangat jarang terjadi. Sebagaimana penuturan Ibu Maryati, seorang pedagang yang
telah berjualan selama 19 Tahun di kawasan ini, antara pedagang satu dengan
yang lainnya tidak ada persaingan yang tajam, sementara antara pedagang dengan
karyawan candi juga selalu terjalin hubungan yang baik, saling menghargai, dan
bersikap ramah (Pinasti, 2012: 57).

Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar Tahun 850 Masehi oleh Rakai
Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja
Lokapala dan raja Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha
berangka Tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun untuk memuliakan dewa
Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah Siwagrha
(Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: ‘Rumah Siwa’) atau Siwalaya
(Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: ‘Ranah Siwa’ atau ‘Alam Siwa’). Dalam
prasasti ini disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah
berlangsung, dilakukan juga pekerjaan umum perubahan tata air untuk
memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang dimaksud adalah
sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks
candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok
melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga
erosi sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan
dengan membuat sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan
poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran
sungai asli kemudian ditimbun untuk memberikan lahan yang lebih luas bagi
pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal atau candi pendamping).
Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama)
dalam candi Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung,

90
sebagai arca pedharmaan anumerta beliau. Kompleks bangunan ini secara berkala
terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram berikutnya, seperti raja
Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan candi-candi
tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan
berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai
upacara penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga
bahwa ratusan pendeta brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni
pelataran luar candi ini untuk mempelajari kitab Weda dan melaksanakan
berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton
kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran
Kewu (Wijayani, 2018:4).

2.3.2. Malioboro

Dalam bahasa Sansekerta, kata “malioboro” bermakna karangan bunga


dikarenakan tempat ini dulunya dipenuhi dengan karangan bunga setiap kali
keraton melaksanakan perayaan. Kata malioboro juga berasal dari nama seorang
kolonial Inggris yang bernama “Marlborough” yang pernah tinggal disana pada
Tahun 1811-1816 M. pendirian jalan malioboro bertepatan dengan pendirian
keraton Yogyakarta (Kediaman Sultan).

Gambar 2.19: Malioboro

91
Sumber: http://hotelmalioboro.we.id/hotel-murah-malioboro/
Perwujudan awal yang merupakan bagian dari konsep kota di Jawa, Jalan
malioboro ditata sebagai sumbu imaginer utara-selatan yang berkorelasi dengan
Keraton ke Gunung merapi di bagian utara dan laut Selatan sebagai simbol
supranatural. Di era kolonial (17901945) pola perkotaan itu terganggu oleh
Belanda yang membangun benteng Vredeburg (1790) di ujung selatan jalan
Malioboro. Selain membangun benteng belanda juga membangun Dutch Club
(1822), the Dutch Governor’s Residence (1830), Java Bank dan kantor Pos untuk
mempertahankan dominasi mereka di Yogyakarta (Isnaini, 2018 : 2).

Perkembangan pesat terjadi pada masa itu yang disebabkan oleh perdagangan
antara orang belanda dengan orang cina. Dan juga disebabkan adanya pembagian
tanah di sub-segmen Jalan Malioboro oleh Sultan kepada masyarakat cina dan
kemudian dikenal sebagai Distrik Cina. Perkembangan pada masa itu didominasi
oleh Belanda dalam membangun fasilitas untuk meningkatkan perekonomian dan
kekuatan mereka, Seperti pembangunan stasiun utama (1887) di Jalan Malioboro,
yang secara fisik berhasil membagi jalan menjadi dua bagian. Sementara itu, jalan
Malioboro memiliki peranan penting di era kemerdekaan (pasca-1945), sebagai
orang-orang Indonesia berjuang untuk membela kemerdekaan mereka dalam
pertempuran yang terjadi Utara-Selatan sepanjang jalan.

Malioboro yang awalnya berfungsi sebagai rajamarga untuk seremonial


kerajaan dan sebagai jalan hubung antara Keraton dan Tugu serta akses ke
Kompleks Kepatihan dan Pasar Gedhe lambat laun berkembang menjadi jalan
pertokoan kolonial paling modern dan paling ramai di Yogyakarta pada awal abad
ke- 20 dengan puncaknya Tahun 1920-30an. Hal tersebut setidaknya disebabkan
oleh beberapa faktor yakni lokasi Malioboro yang strategis; pembangunan sarana
transportasi; perkembangan di bidang pariwisata; kebijakan pemerintah yang
memudahkan para investor atau pengusaha swasta untuk membuka usaha; dan
kemajuan di bidang teknologi, seperti penerangan, dll. Seperti jalan pertokoan
kolonial lainnya di Jawa, di kanan-kiri Malioboro juga terdapat rumah-rumah,
hotel, kantor, restoran, dan bioskop. Secara karakteristik, bangunan di sisi barat
ruas Toegoeweg-Malioboro didominasi oleh pertokoan; sisi timur Toegoeweg-
Malioboro didominasi oleh perhotelan Dari dan perkantoran; kedua sisi ruas

92
Patjinan didominasi oleh pertokoan; dan kedua sisi Residentielaan-Kadasterstraat
didominasi oleh perkantoran dan fasilitas administrasi-politik kolonial (Fauziah,
2018: 18).
Sekarang ini merupakan jalan pusat kawasan wisatawan terbesar di
Yogyakarta, dengan sejarah arsitektur kolonial Belanda yang dicampur dengan
kawasan komersial Cina dan kontemporer. Trotoar di kedua sisi jalan penuh sesak
dengan warung-warung kecil yang menjual berbagai macam barang dagangan. Di
malam hari beberapa restoran terbuka, disebut lesehan, beroperasi sepanjang
jalan. Jalan itu selama bertahun-tahun menjadi jalan dua arah, tetapi pada 1980-an
telah menjadi jalan satu arah saja, dari jalur kereta api ke selatan sampai Pasar
Beringharjo. Hotel jaman Belanda terbesar dan tertua jaman itu, Hotel Garuda,
terletak di ujung utara jalan di sisi Timur, berdekatan dengan jalur kereta api. Juga
terdapat rumah kompleks bekas era Belanda, Perdana Menteri, kepatihan yang
kini telah menjadi kantor pemerintah provinsi. Hingga saat ini Malioboro tumbuh
menjadi pusat dinamika seni budaya Jogjakarta (Isnaini, 2018: 3).

2.3.3. Kotagede

Gambar 2.20: Kotagede

93
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Luas keseluruhan wilayah kecamatan Kotagede adalah 3,07 km2 . Dari area
ini, 3,02 km2 berada pada ketinggian di bawah 100 m/dpa dan 0,05 km2 berada
pada ketinggian 100 – 99 m/dpa. Wilayah kecamatan Kotagede adalah 9,45 %
dari seluruh luas wilayah kota Yogyakarta yang mempunyai luas 32,5 km.
Kotagede atau KuthoGede mengandung pengertian Kota besar, di tinjau dari
historisnya Kotagede sebagai pusat kerajaan waktu kerajaan Mataram Islam I dan
II yang kemudian keberadaannya di usung Sultan Agung kedaerahan Pleret.
Pariwisata berbasis Kemasyarakatan inilah yang sangat ingin ditonjolkan oleh
pemerintah karena dalam pariwisata inilah semua element dan kemampuan
masyarakat sangatlah dominan dalam menentukan kemajuan pariwisata berbasis
kemasyarakatan, di dalam Pariwisata berbasis kemasyarakatan inilah masyarakat
akan ikut dalam pelestarian kesenian dan budaya serta cagar budaya yang mereka
miliki (hakim, 2007: 11).

Kotagede Kotagede merupakan kota lama peninggalan kerajaan Mataram


Islam. Beberapa objek yang dapat dilihat di Kotagede antara lain makam Raja-raja
Mataram, sentra industri kerajinan perak, dan wisata kuliner. Industri seni
kerajinan perak yang memberikan identitas dan ciri khas Yogyakarta sampai saat
ini masih terkonsentrasi di kawasan sekitar Kotagede lama, bekas Kuthanegara
Kerajaan Mataram Islam abad ke-16 dan 17. Saat ini industri perak utamanya
menempati wilayah-wilayah Kelurahan Prenggan dan Kelurahan Purbayan, dan
Kelurahan Jagalan. Menurut catatan Kanwil Deperindag Propinsi DIY, terdapat
95 unit usaha industri kerajinan perak, 75 unit usaha di Kotagede dan 20 unit
usaha di Kabupaten Bantul yang mempekerjakan 1.269 tenaga kerja. Sejak Tahun
1970-an kerajinan perak produksi Kotagede telah diminati wisatawan
mancanegara baik yang berbentuk perhiasan, peralatan rumah tangga, ataupun
aksesoris penghias. Secara umum hasil kerajinan perak di kota ini terbagi dalam
empat jenis, yaitu aneka perhiasan (kalung, gelang, cincin, anting), miniatur
seperti kapal dan candi, dekorasi atau hiasan dinding, dan aneka kerajinan lainnya.
Saat ini usaha kerajinan perak mengalami penurunan karena generasi mudanya
cenderung tidak berminat pada kerajinan perak, mahalnya bahan baku,
berkurangnya wisatawan asing yang khawatir dengan situasi keamanan Indonesia,

94
belum berkembangnya desain kerajinan, dan masih buruknya manejemen
pemasaran. Sebagai objek wisata Kotagede memberikan berbagai dampak bagi
masyarakat. Dampak positifnya antara lain melestarikan kebudayaan, menambah
pemasukan daerah dan devisa negara, bertambahnya lowongan pekerjaan,
meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, dan dapat mengurangi pengangguran.

95
2.3.4. Keraton Yogyakarta

Gambar 2.21: Pintu Masuk Keraton Yogyakarta


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I
beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tardahulunya adalah bekas sebuah
pasanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk
istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang
akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan
sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum
menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di
Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Gamping Kabupaten Sleman. Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki
tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler
(Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan
Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan).
Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang
berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton
Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku
adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu
pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Untuk itulah pada Tahun 1995

96
Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah
satu Situs Warisan Dunia yaitu UNESCO (Elvandari,2018:3).

Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan
pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami
pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang
cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar
Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal Di belakang 3 atau di muka
setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau
Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa
tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti
Portugis, Belanda bahkan Cina. Bangunan ditiap kompleks biasanya berbentuk
Joglo atau turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan
Bangsal, sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain
itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang
disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang
besi (Elvandari,2018:4).

Lokasi keraton Yogyakarta dibuka sebagai objek wisata sejak masa


pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebagai aset kebudayaan dan
pusat kebudayaan Jawa, Keraton Yogyakarta selayaknya dibuka sebagai objek
wisata sehingga berbagai segi yang ada di keraton dan sekitarnya mendapatkan
pengaruh dan timbal balik dari hal tersebut. Dibukanya Keraton Yogyakarta
sebagai objek wisata memberikan pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat
dalam bidang perekonomian yaitu dengan terciptanya banyak lapangan kerja
seperti pemandu, penjual koran, penjual makanan, penjual minuman, souvenir,
dan lain-lain. Dalam waktu-waktu tertentu misalnya pada musim liburan
pendapatan masyarakat dapat meningkat dari biasanya. Hal ini tentu dapat
meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain
kekhawatiran muncul atas dibukanya Keraton Yogyakarta sebagai objek wisata.
Masyarakat sekitar merasa bahwa wibawa keraton sebagai pusat budaya dan
sebagai pusat pemerintahan justru semakin menurun. Keraton kehilangan

97
kesakralannya dan tata krama dalam lingkungan keraton mulai terabaikan (Pinasti,
2012: 58).

Adanya pembentukan dan pertumbuhan kampung-kampung di Yogyakarta,


menjadi pusat pembentukan Kota Yogyakarta secara keseluruhan. Kota
Yogyakarta berkembang dari Keraton yang dikelilingi benteng berbentuk kurang
lebih persegi. Kawasan Keraton yang dilindungi benteng tebal ini disebut sebagai
kuthanagara atau negari gung. Keraton ini menjadi titik pusat yang seolah-olah
dikepung oleh wilayah-wilayah yang terdiri dari beberapa lapisan. Wilayah di luar
benteng Keraton disebut mancanegara. Dalam perkembangan pembangunan
Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono 1 memerintahkan untuk
membangun kampung-kampung di sekeliling Keraton dalam wilayah yang
dilindungi oleh Benteng Baluwarti. Kampung-kampung di dalam wilayah Keraton
ini diperuntukkan sebagai tempat bermukim para Pangeran serta kerabat Keraton
dan penduduk yang memiliki hubungan kerja dengan Keraton atau lebih dikenal
sebagai abdi dalem, serta perumahan dan asrama para anak buah angkatan perang
dan perwira-perwiranya. Meskipun pada dasarnya Sri Sultan Hamengku Buwono
1 menghendaki semuanya dapat bertempat tinggal di dalam baluwarti Keraton,
tetapi luas wilayah dalam benteng tersebut tidak dapat menampungnya. Sehingga
hanya mereka yang penting sekali yang bertempat tinggal dalam wilayah Keraton,
termasuk para pangeran, para abdi dalem Keraton dan prajurit tertentu, jadi pada
masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia fungsi keraton adalah sebagai
tempat tinggal raja dan keluarganya, pusat pemerintahan, dan pusat kebudayaan
dan pengembangannya. Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia fungsi
keraton berubah menjadi obyek wisata dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
Sebagai Museum Perjuangan Bangsa (Subhekti, 2005: 86-87).

2.3.5 Tamansari

Pada tanggal 10 Juni 1867 terjadi gempa tektonik yang hebat di Yogyakarta
dan mengakibatkan kerusakan di tamansari dan menghilangnya air dari segara
buatan, sehingga pada akhirnya tamansari sama sekali tidak digunakan oleh
keraton. Adanya lahan tamansari yang masih cukup kosong maka pihak keraton
memperbolehkan masyarakat untuk mengajukan permohonan tinggal di tamansari

98
dengan sistem ngindung, yaitu dengan membayar sewa tanah. Disamping itu,
sebagai balas jasa Sultan pada pengabdian para abdi dalamnya maka apabila abdi
dalem atau pewarisnya mengajukan permohonan pemilikan tanah, maka tanah
yang semula dengan status magersari beralih menjadi hak milik, akibatnya
tamansari tumbuh semakin padat dan tidak teratur. Sesuai dengan statusnya yang
baru yaitu sebagai hak milik, maka tanah tersebut dapat diperjualbelikan pada
masyarakat luar. Sehingga saat ini status tanah di kampung tamansari ada tiga,
yaitu: hak milik dan magersari.

Gambar 2.22: Tamansari


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Pada tanggal 10 Juni 1867 terjadi gempa tektonik yang hebat di Yogyakarta
dan mengakibatkan kerusakan di tamansari dan menghilangnya air dari segara
buatan, sehingga pada akhirnya tamansari sama sekali tidak digunakan oleh
keraton. Adanya lahan tamansari yang masih cukup kosong maka pihak keraton
memperbolehkan masyarakat untuk mengajukan permohonan tinggal di tamansari
dengan sistem ngindung, yaitu dengan membayar sewa tanah. Disamping itu,
sebagai balas jasa Sultan pada pengabdian para abdi dalemnya maka apabila abdi

99
dalem atau pewarisnya mengajukan permohonan pemilikan tanah, maka tanah
yang semula dengan status magersari beralih menjadi hak milik, akibatnya
tamansari tumbuh semakin padat dan tidak teratur. Sesuai dengan statusnya yang
baru yaitu sebagai hak milik, maka tanah tersebut dapat diperjualbelikan pada
masyarakat luar. Sehingga saat ini status tanah di kampung tamansari ada tiga,
yaitu: hak milik dan magersari.

Tamansari pertama kali dijadikan objek wisata sekitar Tahun 1970-an.


Tamansari memiliki nilai seni bangunan yang sangat artistik dan unik serta
mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi. Pada awalnya tamansari merupakan
sebuah tempat untuk pemandian para puteri raja. Saat ini tamansari telah beralih
fungsi sebagai tempat wisata budaya. Dibukanya Tamansari sebagai objek wisata
terjadi perubahan yang sangat menonjol dalam bidang ekonomi penduduk sekitar
yang dulunya bermata pencaharian sebagai pedagang di pasar tradisional banyak
di antaranya yang kemudian beralih profesi sebagai pegawai di lokasi wisata,
antara lain sebagai guide Tamansari karena mengetahui seluk beluk dan sejarah
Tamansari. Namun demikian dampak lain yang merupakan penyimpangan sosial
juga terjadi di kawasan wisata Tamansari. Tamansari banyak digunakan oleh
anak-anak sekolah untuk tempat membolos dengan berbagai aktivitas mereka.
Mereka merokok, minum-minuman keras, corat-coret tembok, berpacaran di
lorong-lorong Tamansari tanpa mendapat pengawasan sama sekali. Lingkungan
fisik Tamansari dari waktu ke waktu juga semakin kotor karena ulah para
pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Banyak dari pengunjung yang
mengotori dan mencoret-coret tembok dengan tulisan-tulisan kotor. Hal ini tentu
merusak nilai budaya yang ada di Tamansari (Pinasti, 2012: 59).

Secara administratif Tamansari termasuk dalam Kelurahan Patehan,


Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta, lokasi tamansari berada di lingkungan
kawasan benteng keraton Yogyakarta. Tamansari mencakup area seluas ± 12,66
Ha. Tamansari terletak di dalam benteng tepatnya di sebelah barat daya komplek
inti Keraton Yogyakarta, Taman ini terletak di desa Pacethokan yang memiliki
sumber air di Hutan Beringin. Tamansari merupakan istana air (water castel)
sebagai tempat peristirahatan dan pesanggrahan keluarga raja. Pembangunan
Tamansari dilakukan secara bertahap, pembangunan I pada Tahun Ehe 1684 Jw

100
atau Tahun 1758 Masehi dan pembangunan selanjutnya pada Pasarean Ledoksari
pada Tahun 1687 Jw atau 1787 Masehi. Taman sari dibangun pada masa
pemerintahan Pangeran mangkubumi atau Hamengku Buwono I selama 25 Tahun
sampai dengan masa pemerintahan Hamengku Buwono II. Tamansari berarti
taman yang indah, taman ini memiliki luas ± 12,66 Ha berada ± 400 meter dari
komplek Keraton atau sekitar 10 meter dari halaman belakang Keraton yang
disebut Kemandungan Kidul atau Halaman Magangan. Tamansari merupakan
taman rekreasi bagi keluarga Sultan Yogyakarta yang juga berfungsi ganda
sebagai daerah pertahanan apabila sewaktu-waktu diserang musuh. Melalui
analisis visual hasil rekonstruksi lingkungan Tamansari secara keseluruhan dapat
diamati adanya beberapa fungsi lain yang selaras dengan fungsi utamanya.
Fungsi-fungsi Tamansari adalah: sebagai tempat rekreasi, daerah pertahanan,
tempat ibadah dan kebun fasilitator untuk keraton. Tamansari pada awal mulanya
dikelilingi tembok yang kokoh seperti halnya benteng yang mengelilingi Keraton
Yogyakarta. Di kanan kiri pintu gerbang utamanya yang terletak di sebelah utara
Pulau Kenanga ditempatkan dua buah meriam. Beberapa gua bawah tanah sebagai
tempat persembunyian dibangun pula. Sementara fasilitas beribadah terletak di
tiga tempat, yaitu Sumur Gumuling (mesjid bawah air dengan konstruksi dua
lantai berbentuk melingkar dan memiliki mihrab di bagian baratnya), Pulo Cemeti
(berbentuk segi empat terletak di sebelah selatan Pulo Kenanga), dan Pulo
Gedong (bangunan yang dikelilingi danau dan diperuntukkan khusus untuk
bersemedi dan beristirahat, terletak di segaran sebelah timur alun-alun (kini sudah
hilang). Selain bangunan fisik yang terdapat di Tamansari juga terdapat fasilitas
lainnya yaitu adanya kolam pemandian dan danau buatan (segaran) yang
terhubung dengan Segaran Pulo gedong di sebelah timur pesanggrahan sedangkan
di sebelah selatan-tenggara terdapat pondokan Abdi Dalem Hangga yang bertugas
mengurus tamansari (Subhekti, 2005: 84).

2.3.6. Museum Benteng Vredeburg

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta merupakan sebuah museum khusus


sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terletak di Yogyakarta, tepatnya di
Jalan Jenderal A. Yani 6 Yogyakarta. Museum menempati sebuah bangunan
bersejarah bekas benteng VOC di Yogyakarta yang bernama Vredeburg.

101
Keberadaan benteng Vredeburg tersebut tidak dapat dipisahkan dengan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia dalam merintis, mencapai, mempertahankan dan
mengisi kemerdekaan (Lakip, 2017: 11).

Gambar 2.23: Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Sebagai bangunan bersejarah, Benteng Vredeburg dibangun pertama kali
pada Tahun 1756, sejaman dengan berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Semula
bangunan tersebut bernama Rustenburg, yang kemudian pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Daendels, nama bangunan diganti menjadi Vredeburg. Dari
waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan politik yang terjadi di Indonesia
dan Yogyakarta khususnya, Benteng Vredeburg mengalami beberapa kali
peralihan pengelolaan. Meski demikian kepemilikan tetap berada di pihak
Kesultanan Yogyakarta hingga sekarang.
Sejak masa pendudukan Belanda, Inggris, Jepang dan masa perang
kemerdekaan, Benteng Vredeburg menjadi saksi jalannya sejarah. Banyak
peristiwa-peristiwa penting terkait dengan keberadaan Benteng Vredeburg
Yogyakarta. Karena merupakan bangunan peninggalan sejarah yang sarat akan
nilai-nilai luhur perjuangan maka Benteng Vredeburg dilestarikan menjadi tempat
pelestarian nilai-nilai luhur sejarah dan perjuangan. Secara resmi pada tanggal 23
November 1992, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Nomor: 0475/0/1992, Benteng Vredeburg dinyatakan sebagai UPT (Unit

102
Pelaksana Teknis) lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dengan nama Museum Benteng
Yogyakarta. Namun dalam perkembangannya nama yang populer dan dikenal
adalah Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Karena bangunan yang ada
merupakan bangunan bersejarah maka pada Benteng Vredeburg ditetapkan
sebagai BCB (Benda Cagar Budaya) (Lakip, 2017: 11).
Benteng Vredeburg merupakan bangunan peninggalan Zaman kolonial
Belanda yang kemudian oleh pemerintah Indonesia dilestarikan dengan
mempertahankan struktur bangunan kuno tersebut sebagai objek wisata budaya.
Keberadaan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta memiliki posisi yang sangat
strategis dalam proses pembangunan karakter generasi muda. Melalui museum
dan seluruh rangkaian kegiatannya, generasi muda dapat belajar dari sejarah.
Bukan saja untuk kebutuhan kognitif saja, namun juga efektif membentuk jiwa
dan karakter sebagai bangsa yang cinta dan bangga pada negerinya. Keberadaan
Benteng Vredeburg sebagai objek wisata budaya didukung oleh berbagai faktor,
antara lain: bangunan benteng yang sangat klasik, aksesibilitas yang relative
mudah, maupun pergelaran budaya yang sering dipertunjukkan di sekitar Benteng.
Misalnya pergelaran budaya etnik yang menampilkan tari-tarian tradisional dari
Sabang sampai Merauke, dan Harmonight Jogja Java Carnival. Hadirnya Benteng
Vredeburg sebagai kawasan wisata budaya menyebabkan terjadinya proses
perubahan sosial, antara lain: (Pinasti, 2012 :60).

1. Musisi jalanan dulunya mayoritas adalah mahasiswa, saat ini musisi jalanan
didominasi anak jalanan.
2. Munculnya berbagai macam pedagang di sekitar kawasan benteng.
2.3.7. Goa Selarong

Goa Selarong adalah kelurahan yang terletak di kecamatan Pajangan, Bantul,


Yogyakarta. Sebelah barat pusat Kota Bantul. Nama Guwosari sudah tidak asing
lagi terdengar dikalangan penduduk kabupaten Bantul. Karena kelurahan
Guwosari mempunyai beragam destinasi wisata mulai dari alam, budaya, adat
istiadat, kuliner hingga wisata sejarah. Obyek Wisata yang menjadi salah satu icon
kelurahan Guwosari adalah dengan adanya goa yang dulu digunakan markas
Pangeran Diponegoro semasa perang. Goa itu bernama Goa Selarong. Goa

103
Selarong terletak di Dusun Kembang Putihan, Desa Guwosari, Kecamatan
Pajangan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pertama sampai lokasi yang akan
dijumpai wisatawan yaitu, gapura besar bertuliskan Selamat Datang di Obyek
Wisata Goa Selarong beserta patung Pangeran Diponegoro dan kudanya (Hikmah,
2018: 3).

Gambar 2.24: Goa Selarong


Sumber: https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/
Terlihat sangat indah berdiri kokoh di antara pepohonan hijau dan jalan utama
masuk menuju penjualan tiket. Di sebuah pelataran luas area depan Goa Selarong
terdapat loket penjualan tiket masuk obyek wisata, penjaganya yang ramah dan
santun dengan seragam rapi menyapa setiap pengunjung yang datang.
Memberikan sebuah tiket masuk dengan harga Rp.3.750 per orang dan
mempersilahkan masuk, memarkirkan kendaraan di tempat yang telah disediakan.
Selain tempat parkir terdapat beberapa bangunan terbuka, toko souvenir dan
pohon beringin besar yang tumbuh subur di pelataran Goa Selarong. Berjalan di
ujung tempat parkir terdapat patung Pangeran Diponegoro dan kudanya lagi,
tetapi dengan ukuran yang jauh lebih besar dari patung yang pertama dekat gapura
pintu masuk. Bersebelahan dengan papan berisi denah area obyek wisata. Pada
denah terlihat di antara Goa Selarong terdapat ruang pamer, diorama, dan
bangunan pendopo (Hikmah, 2018: 4).

104
Goa Selarong sendiri terdiri dari Goa Kakung dan Goa Putri. Goa tersebut
saling berdampingan kanan dan kiri. Karena Goa Selarong merupakan area
perbukitan. Di atas goa terdapat beberapa buah makam, gardu pandang dan rumah
batu. Sedangkan disisi kiri bawah terdapat sungai, air terjun, area perkemahan,
umpak, taman bermain, serta dua buah sendang yang bernama Sumber Pintu dan
Sendang Malik Moyo. Berjalan dari arah parkiran menuju tempat inti terdapat
beberapa toko, warung, dan penjual oleh-oleh khas Goa Selarong yaitu sawo dan
jambu klutuk. Berdiri kokoh pendopo bangunan tua kental akan sejarahnya.
Berdampingan dengan diorama sebagai area museum dengan berbagai macam
isinya. Sesampai di area inti obyek wisata, menemui puluhan anak tangga. Tangga
ini adalah jalan utama menuju Goa, baik Goa Putri maupun Goa Kakung. Goa
Selarong terletak di deretan perbukitan gunung, ketika masuk di kawasan ini,
hawa sejuk akan di dapati, sebab obyek empat wisata sejarah ini ditumbuhi pohon
–pohon yang rindang dan besar.

Ketika mata memandang ke langit-langit atau dinding tebing sekitar kanan kiri
Goa Selarong, akar pohon yang tumbuh di atasnya juga tampak mengular panjang
melilit gunung tersebut. Sesampainya di ujung undakan anak tangga yang cukup
tinggi, di sebelah kanannya terdapat Goa Putri. Goa Putri yang lebih lebar dan
besar dipagari besi bercat hijau tua. Terlihat sangat kokoh dan mengesankan.
Karena di atasnya merupakan batu batuan besar berwarna hitam pekat. Goa Putri
ini memang terlihat seperti lengkungan di antara bebatuan di atasnya, dalam
bahasa jawa Goa Putri ini disebut Goa Buntet, karena beda dengan goa-goa yang
lainnya (Hikmah, 2018 :4).

Goa ini tidak bisa tembus dan di masuki oleh wisatawan. Potensi lain yang
dimiliki Obyek wisata ini di samping kanan terdapat air terjun kecil dan tangga
menuju gardu pandang dan rumah batu di atas pegunungan. Gardu pandang di
kawasan Goa Selarong berupa tempat dataran yang lebih tinggi. letaknya diatas
bukit, sekaligus area hutan yang ada di Goa Selarong. Dari gardu pandang
wisatawan bisa menikmati indahnya kota Bantul. Gardu pandang di Obyek Wisata
ini dilengkapi dengan bangunan gazebo sebagai tempat beristirahat. Sayangnya
keadaan gazebo ini terlihat kurang perawatan. Di samping kanan Goa Putri,
terdapat tebing padas tinggi dibalut akar-akar pohon tua. Karena pada dasarnya

105
atas goa merupakan pegunungan dengan beberapa pohon tua tumbuh subur.
Tebing itu sebagai pembatas antara Goa Putri dan Goa Kakung. Goa Kakung
ukuranya lebih kecil dari pada Goa Putri. Sama-sama dipagari besi, bedanya pagar
dari Goa Kakung tidak terkunci. Ketika berjalan kearah kanan lagi akan terdapat
sebuah empang atau sendang berukuran kecil. Berisi sumber mata air dari
pegunungan Selarong. Potretan keindahan masa lalu masih kental terlihat di objek
wisata Goa Selarong. Terutama di pelataran Goa Kakung dan Goa Putri. Ketika
memandang ke arah barat mata dimanjakan dengan air terjun yang begitu indah.
Goa ini memiliki 2 air terjun. Air terjun yang berada di sebelah barat memiliki
ukuran yang lebih tinggi dan besar. Apalagi wisatawan berkunjung pada musim
hujan debit air terjun ini sangat deras.

Air terjun menjulang tinggi pegunungan Selarong dan di bawah air terjun
terdapat batubatuan berukuran besar. Yang mengalir melewati aliran sungai
menuju sendang. Air terjun ini terkenal dengan sebutan Curug Selarong. Dan
ketika menuruni anak tangga ke arah selatan terdapat pendopo-pendopo tempat
beristirahat, taman bermain anak yang beraneka ragam. Taman bermain anak yang
berada di obyek ini seperti ayunan, perosotan, jungkat–jungkit, bola dunia,
mangkok putar, tangga majemuk dan lain sebagainnya. Serta memiliki 2 buah
sendang yaitu Sumber Pitu dan Sendang Malik Moyo. Air dari sendang ini
bersumber dari air terjun di obyek wisata Goa Selarong. Untuk fasilitas sebagai
penunjang jalannya operasional di obyek wisata Goa Selarong ini sangatlah
beragam. Fasilitas itu berupa kamar mandi / toilet umum, area parkir yang luas,
gazebo/pendopo sebagai tempat beristirahat, penjualan souvenir, warung–warung
penjual makanan dan minuman, bumi perkemahan, area outbound, dan pelataran
yang digunakan sebagai kegiatan ataupun berbagai macam event di kawasan
obyek wisata Goa Selarong (Hikmah, 2018: 5).

106
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Kota Yogyakarta adalah kota yang mempunyai berbagai keistimewaan dan
menyimpan sejarah yang panjang. Terbentuknya kota Yogyakarta diawali ketika
penandatanganan Perjanjian Giyanti yaitu pada tanggal 13 Februari 1755. Pada
Perjanjian Giyanti tersebut, Belanda membagi wilayah kerajaan Mataram menjadi
dua yaitu Surakarta yang tetap diperintah oleh Susuhunan dan Yogyakarta yang
diperintah oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi memakai nama
Hamengku Buwono serta hanya keturunan sahnya yang berhak menduduki tahta
kerajaan. Sultan yang baru kemudian menerima separuh dari Mataram dan
menamakan kerajaan serta ibukotanya yang baru Ngayogyakarta Hadiningrat atau
Yogyakarta. Kota Yogyakarta telah masuk dalam era kota kolonial. Salah satu ciri
utama dari kota kolonial di Indonesia adalah yang membangun kota bagi orang
Belanda sehingga bentuk fisiknya disesuaikan dengan kebutuhan, kepentingan,
dan selera orang Belanda yang berasal dari Eropa.
Yogyakarta adalah kota yang memiliki keanekaragaman seni dan budaya
yang sampai saat ini masih tetap hidup di tengah-tengah masyarakat. Kehadiran
belanda di yogyakarta juga ikut mempengaruhi aspek unsur kebudayaan yang
terdapat di yogyakarta. Adapun 7 unsur budaya yang etrdapat dalam kota
yogyakarta diantaranya:
Sistem religi yang berkmebang di kota Yogyakarta yaitu islam kejawen
dimana mayoritas masyarakat Yogyakarta menganut agama Islam dengan
presentase pada Tahun 2006/2007 islam mendominasi dengan 77%, sedangkan
13% nya beragama Katolik, 8,6% Protestan, Hindu sebanyak 0,57%, dan Budha
sebanyak 0,42%. Pada masa ini islam Kejawen berkembang karena adanya
dukungan dari pengaruh kekuasaan sultan yang begitu besar serta segala bentuk
mitos kekuatan supranatural yang yang ada ikut menguatkan posisi kebudayaan
jawa sebagai tradisi yang dijunjung tinggi.
Organisasi kemasyarakatan dan perkembangan sosial yang ada di kota
Yogyakarta yaitu dijumpai nya stratifikasi sosial atau pelapisan sosial dimana
perbedaan status kelompok masyarakat berbeda satu dengan lainnya, dengan

107
ukuran kekayaan, pendidikan, darah bangsawan, atau kekuasaan dan lain
sebagainnya. Paada masyarakat pedesaan di kota Yogyakarta, mereka yang
dianggap memiliki kedudukan yang tinggilah yang dianggap memiliki kelebihan.
Pada awal abad ke 20 sampai pemerintahan HB VII masyarakat Yogyakarta masih
berbudaya tradisional feodal dengan membentuk piramida kekuasaan dan
berorientasi memusat, dimana keraton sebagai pusat kekuasaanya. Disamping itu
di Yogyakarta juga terdapat kelas sosial lain yang sejajar yang dibentuk oleh
keberadaan oarang asing di yogya.
Pengetahuan dan pendidikan di Yogyakarta tak lepas dari pengaruh barat
yang mendorong berkembang nya pendidikan ala barat di Yogyakarta Tahun
1900-1942. Pada awalnya sistem pendidikan yang digunakan yaitu sistem
pendidikan zaman Mataram namun sejak 1900 pemerintah hindia belanda
mendirikan sekolah berorientasi barat seperti: Europeesche Lagere School (ELS),
Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Eerste Inlandsche School (EIS), Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Vervolg (Sekolah Kejuruan), Algemeene
Middelbare School (AMS), Hogere Burger School (HBS), Schakelschool dan
Holland Inlandse Kweekschool (HIK).
Bahasa yang digunakan di Yogyakarta secara garis besar dibedakan
menjandi kromo dan ngoko, kromo terbagi lagi menjadi kromo inggil dan kromo
madyo,sedangkan ngoko merupakan bentuk unggah-ungguh yang berintikan
leksikon ngoko yang di dalam nya terdapat ngoko lugu yaitu bnetuk unggah-
ungguh kosakata berbentuk ngoko dan netral tanpa terselip leksikon krama,
masyarakat Jawa juga menggunakan tutur kata yang tidak lepas dari unggah-
ungguh yang memberikan rasa hormat berdasarkan kedudukan, derajat maupun
pangkat yang dimiliki.
Mata pencaharian dan perekonomian masyarakat Yogyakarta di era
pemerintahan kerajaan sepenuhnya di peruntukkan raja, diawal abad 20 terdapat
17 pabrik gula dan rokok yang membangkitkan perekonomian Yogyakarta , pada
masa era kolonial mayoritas masyarakat bekerja sebgai petani dan perekonomian
yang berkembang yaitu sistem liberalisme, pada masa ini juga Belanda
membentuk UU Agraria dimana di satu pihak UU ini melindungi hak milik
petani Indonesia atas tanah mereka namun di lain pihak UU Agraria membuka

108
peluang bagi orang asing untuk menyewa tanah orang Indonesia. Adanya jalur
kereta api antara Semarang dan Vostenlanden pada Tahun 1873 membuat
perekonomian di Yogyakarta terbuka.
Kesenian Yogyakarta masih kental dengan budaya jawanya dan juga
beragam keseneian indah itu terangkai dalam upacara adat, adapun kesenian yang
berkembang di Yogyakarta seperti, ketoprak, jathilan, wayang kulit, batik, dan
juga cabaret show. Teknologi dan peralatan yang berkembang di kota Yogyakarta
awalnya sebelum kehadiran Belanda masyarakat Yogyakarta telah mahir
mengolah bahan-bahan kayu, batu, logam, dan tanah liat, dapat dilihat dari
arsitektur rumah mereka dan bangunan candi yang ada, bakat-bakat tersebut
kemudian di akulturasi dengan pengetahuan dari Eropa dan Belanda hingga
menghasilkan berbagai kelengkapan hidup seperti pakian, arsitektur, dan alat-alat
produksi yang bergaya hindis. Pada Tahun 1869 terusan suez diperjalanan kapal
laut dari batavia ke Belanda mulanya memerlukan waktu tiga bulan mengelilingi
Benua Afrika menjadi hanya lima minggu melewati Terusan Suez, sedangkan
sistem teknologi pengairan sawah masyarakat jawa telah berkembang khususnya
di kota Yogyakarta.

109
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER ARSIP:
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Derah Istimewa
Yogyakarta. 2014
Staatsblad van Nederlandsh-Indie, No. 7920. Tahun 1913, No. 7893. 1914.
Lakip. Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Yogyakarta: Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. 2017

SUMBER BUKU:
Aditya, Dhoni Cahya. Malioboro Sebagai Pusat Pariwisata Kota Yogyakarta
Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo. Yogyakarta. 2008.

BPS Kota Yogya. 2017. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka
2017. Yogyakrta: Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.

Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Ombak.


Goenawan, Ryadi, 1993. Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktur Jendral Kebudayaan
Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional.
Groenendael, Victoria M. Clara Van. 1987. Dalang Di Balik Wayang. Jakarta: PT
Pustaka Utama Grafiti.
Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional
Jamaludin, Ado Nasrullah. 2015. Sosiologi Perkotaan Memahami Masyarakat
Kota dan Problematikanya. Bandung: CV Pustaka Setia.

Kementerian Penerangan. 1953. Republik Indonesia : Kotapradja Djakarta Raja.


Jakarta : Kementerian Penerangan.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.


Kwartanada, Didi. 1996. Penguasa Ekonomi Dan Siasat Penguasa Tionghoa.
Yogyakarta: Kanisius.
Marihandono, Djoko Dan Juwono, Harto. 2008. Sultan Hamengku Buwono II:
Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Aji.

110
Masjkuri, dkk. 1977. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:
Depdikbud.
Moestoko, Soemarsono. 1979. Pendidikan Indonesia Tiga Zaman. Jakarta: Balai
Pustaka.
Murdiyatmoko, Janu. 2017. Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat.
Jakarta: Grafindo Media Pertama.
Mutijo. 2016. Analisis Informasi Statistik Pembangunan Daerah Yogyakarta.
Yogyakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Nas, PJM. 2007. Kota Kolonial Indonesia Bunga Rampai. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Nusantara, Bondan. 1997. Ketoprak Orde Baru. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Patari, Idris. 2015. Perspektif Daerah Yogyakarta. Makasar: De La Mocca.
Peck Yang, Twang. 2004. Elite Bisnis Cina Di Indonesia Dan Masa Transisi
Kemerdekaan 1940-1950. Yogyakarta: Niagara.

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Indoktrinasi Adalah Pemberian Ajaran Mengenai


Suatu Faham atau Doktrin. Jakarta: Balai Pustaka.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 2011. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta:


Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta.

Soekiman, Djoko, Dkk. 1986. Sejarah Kota Yogyakarta. Jakarta: Departemen


Pendidikan & Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisiaonal
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai
Revolusi. Depok: Komunitas Bambu.
Soemardjan, Selo. 1962. Social Changes in Jogjakarta. Ithaca, NY: Cornel
University Press.
Soemardjan, Selo. 1981. Perubahan Sosial Di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

111
Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial Di Yogyakarta. Jakarta : Komunitas
Bambu.
Sriartha, I Putu. 2004. Geografi Pedesaan Dan Perkotaan. Buku ajar. Fakultas
Pendidikan IPS. IKIP Negeri Singaraja.

Subarkah, Imam. 1992. Sekilas 125 tahun Kereta Api: 1867-1998. Bandung: Balai
Pustaka Cagar Budaya.
Sumanto, Wasty dan F X Suyarno. 1983. Landasan Historis Pendidikan
Sumarsono, Mestoko. 1917. Pendidikan di Indonesia, Dari Jaman ke Jaman.
Jakarta: Depdikbud.

Suyono, R. P. 2005. Seks Dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial. Jakarta:


Grasindo.
Suseno, Magnis Frans. 1996. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sylvia, dkk. 2017. Budaya Lokal Dalam Perkembangan Pariwisata Di
Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Ilmu Sejarah FIS UNY.
Tjahjono, G. 1988. Cosmos, Center, And Duality Ini Javanese Architectural
Tradition: The Symbolic Dimensions Of House Shapes In Kotagede And
Surroundings. Berkeley: University Of California.
Umar Priyono, Dkk. 2015. Buku Profil Yogyakarta “City Of Philosophy”.
Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

SUMBER JURNAL:
Abdurrahman, Agus dkk. 2008. Model Kebijakan Pemberdayaan Nelayan Bantul
Ditinjau dari Perspektif Ekonomi dan Hukum. Jurnal Fenomena. Vol. 6
No. 1. 2008.

Adhi, Rizky Pratama. Preferensi pemilihan moda dalam pergerakan penglaju


koridor bogor-jakarta terkait dengan pemilihan tempat tinggal. Jurnal
Perencanaan Wilayah Dan Kota. Vol. 23 No. 1. 2012.

Ayodiya, Natalia Riza Putri. Model Kebijakan Permukiman Kampung Code Utara
Di Tepi Sungai Code. Jurnal Pembangunan Wilayah Dan Kota. Vol. 10
No. 1. 2014.

112
Bawono, Antarikso Trisno. Peningkatan Efisiensi Usaha Tani Melalui Model
Konsolidasi Corporate Farming. Jurnal Perencanaan. Vol. 4 No. 2. 2018.
Carey, Peter. Jalan Maliabara (‘Garland Bearing Street’): The Etymology And
Historical Origins Of A Much Misunderstood Yogyakarta Street Name.
Jurnal Archipel. Vol. 27. 1984.
Darojati, Fauzia. Strategi Penghidupan Pedagang Kaki Lima di Kawasan
Malioboro, Kota Yogyakarta. Jurnal Bumi Indonesia. Vol 3 No 1. 2014.

Elvandari, Esdavina. Uniknya Keraton Ngayogyakarta Sebagai Daya Tarik Wisata


Sejarah di Yogyakarta. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pariwasata
Ambarrukmo Yogyakarta. 2018.

Fajriyanto, Dkk. Karakteristik Industri Besar Dan Sedang Di Kabupaten Bantul.


Jurnal Logika. Vol. 1 No. 2. 2004.

Fauziah, Siti Mahmudah Nur. Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan
Kolonial: Malioboro 1756-1941. Alumnus Program Studi S1 Departmen
Sejarah FIB UGM. Vol. 14 No. 2. 2018.
Hadi, Wisnu. Analisa Terhadap Pengembangangan Obyek Wisata Di Mata
Mahasiswa Luar Jawa Sebagai Wisatawan Di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Journal Of Indonesian Tourism and Recreation. Vol. 1. No.
2. 2018.
Hasim, Moh. Peta Potensi Keagamaan Masyarakat Daerah Yogyakarta. Jurnal
Andisa. Vol. 16. No. 1. 2009.
Haryati, Tri Astutik. Kosmologi Jawa Sebagai Landasan Filosofis Etika Dan
Lingkungan. Jurnal Religi. Vol. 20 No. 2. 2017.
Haryono, Azis Yon. Penanda Kawasan Sebagai Penguat Nilai Filosofis Sumbu
Utama Kota Yogyakarta. Jurnal Arsitektur. Vol. 1 No. 2. 2015.
Hasan, Moh. Peta Potensi Keagamaan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jurnal Pengkajian Masalah Sosial Keagamaan. Vol. 16. No. 1. 2009.
Hidrajat, Robby. Relasional Simbolis Desa Sungai Dan Pundhen Dengan
Pertunjukan Wayang Topeng Malang Di Dudun Kedungmonggo
Karangpandan. Jurnal Kejawen. Vol. 1 No. 2. 2006.

113
Hikmah, Nurul. Pesona Goa Selarong Dibantul Yogyakarta. Sekolah Pariwisata
Ambarrukmo. 2018.
Indrayanto, Bayu dan Yuliastuti, Kinasih. Fenomena Tingkat Tutur Dalam Bahasa
Jawa. Jurnal Magistra. Vol. 27 No. 91. 2015.
Isnaini, Nur. Malioboro Sebagai Daya Tarik Wisata Di Yogyakarta. Sekolah
Tinggi Pariwisata Ambarrukmo. 2018.
Juniarto. Konsep Macapat Macalima Dalam Struktur Kota Kerajaan Mataram
Islam. Jurnal Arsitektur. Volume 20. Nomer 2. 2019.
Kurnianto, Ery Agus. Refleksi Falsafah Ajaran Hidup Masyarakat Jawa Dalam
Prosa. Jurnal Madah. Vol. 6. No. 1. 2015.
Kusumawati, Pipin. Potensi Selokan Mataram: Ulasan Keadaan Fisik dan Kualitas
Airnya. Jurnal Pendidikan Geografi. Vol. 24 No 2. 2019.
Kusumo, Pandansari dan Irawani Titiana. Motif Batik Keraton Yogyakarta
Sebagai Sumber Inovasi Perhiasan Kotagede. Corak Jurnal Seni Kriya.
Vol. 2. No. 1. 2013.
Kuswarsantyo. Seni Jathilan Dalam Dimensi Ruang dan Waktu. Jurnal Kajian
Seni. Vol. 1. No. 01. 2014.
Latifa, Umi. Perkembangan Pendidikan Modern di Yogyakarta Masa Kolonial
Belanda Pada Tahun 1900-1942. Avatara, e-Journal Pendidikan Sejarah.
Vol. 4 No. 3. 2016.
Makello, Ilham Daeng. Menjadi Kota Modern Transformasi Kota Makassar Pada
Abad Ke-2. Jurnal Sejarah. Vol.1 No.2. 2018.

Martini, Elsa. Perkembangan Kota Menurut Parameter Kota Studi Kasus: Wilayah
Jakarta Pusat. Journal Planesa. Vol. 2 No. 2. 2012.
Octorio, Aditya dan Christanto, Jokochris. Fakor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pola Persebaran Perumahan di Kabupaten Sleman. Jurnal Bumi Indonesia.
Vol. 3 No.3. 2014.

Prasetiani, Dyah. Aspek Budaya Pada Minwa Sebagai Identitas Sosial Masyarakat
Jepang. Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol. 10 No.1. 2014.
Pinasti, Sri Indah V. Fenomena Sosiologi Objek Wisata Sejarah Di Yogyakarta.
Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora. Vol. 6 No.1. 2012.

114
Purwanto, Sigit. Pendidikan Nilai Dalam Pagelaran Wayang Kulit. Jurnal
Pendidikan Islam. Vol. 6. No 1. 2018.
Putri, Diana Kurnia. Kawasan Titiknol Kilometer Yogyakarta Sebagai Ruang
Public Dalam Perspektif Kritik Poskolonial. Jurnal Ilmu Pemerintahan.
Vol. 12 No.1. 2019.

Rachmawati, Rini, Dkk. Aplikasi Smart Province “Jogja Istimewa”: Penyediaan


Informasi Terintegrasi dan Pemanfaatannya. Jurnal Fakultas Geografi. Vol.
32. No. 1. 2018.
Ratnasari, Nimas Kiki dan Setyo, Jadmiko Rahmad. Analisis Penggunaan Bahasa
Krama Inggil Dari Orang Tua Terhadap Nilai Kesopanan Anak Di Desa
Rejotangan Tulungagung. Jurnal Pendidikan Karakter. Vol. 8 No. 2.
2018.
Rini, Rachmawati. Pengembangan Pusat Pelayanan Ekonomi Di Pinggiran Kota
Sebagai Alternative Penanganan Problematik Ruang Di Kota Yogyakarta.
Majalah Geografi Indonesia. Vol 22 No. 1. 2008.

Sarikumala, Indah. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Pendudukan


Jepang. Jurnal Historica. Vol. 13 No. 2. 2019.
Subowono, G. 2009. Potensi Pengembangan Komoditas PertanianI Bernilai
Ekonomi Tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Sumberdaya
Lahan. Vol. 3 No.1, Juli 2009.

Sugiyanto. Yogyakarta Kota Pendidikan dan EkonomiAlternatif. Cakrawala


Pendidikan. Vol. 23 No.3. 2004.

Sufianto, Kunto. Pada Masa Pemerintahan Jepang (1942-1945). Universitas


Padjajaran. Vol. 16. No. 1. 2014
Suryanto, Dkk. Aspek Budaya Dalam Keistimewaan Tata Ruang Kota
Yogyakarta. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol. 26. No. 3. 2015.
Susilo, Elson G.Budi dan Rijanta. Kajian Implementasi Bela-Beli Kulon Progo.
Jurnal Bumi Indonesia. Vol. 6 No. 3. 2017.

Triyana, Henni. Perpindahan Ibukota Ri Dari Jakarta Ke Yogyakarta Pada 4


Januari 1946. Avatara E-Journal Pendidikan Sejarah. Vol. 1. No 2. 2013.

115
Wibowo, Achmad Kunaryo. Jogja Eco2 Cities: Konsep Tata Kota Untuk
Mewujudkan Yogyakarta Sebagai Kota Ecologies dan Economics Melalui
Integrasi Transportasi Masal. Teknik Sipil Dan Lingkungan, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada. 2015
Wibowo, Kresno Budi. Peran Benteng Vredeburg Sebagai Basis Pertahanan Di
Yogyakarta Pada Tahun 1916-1949.Jurnal IlmuvSejarah. Vol. 4 No. 1.
2019.
Widiyati, Laksmi. Alun-Alun Selatan Keraton Yogyakarta. Jurnal Arsitektur
NALAR. Vol. 16 No. 1.2017.
Widya, Diatyka. Tradisi, Ekonomi Politik, dan Toleransi Masyarakat Yogyakarta.
Jurnal Sosiologi. Vol. 15. No. 2. 2010.

SUMBER KARYA ILMIAH


Antonius, Purwanto. Kajian Ilustrasi Bahan Ajar Masa Kolonial Watjan Botjah.
Program Studi S-1 Desain Komunikasi Visual Jurusan Desain Fakultas
Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. 2017.
Ilahi, Ridwan Januar. Analisis Pengaruh Penerapan Underpass Terhadap
Parameter Kemacetan Di Persimpangan Kentungan Jalan Kaliurang
Dengan Software Autodesk Infraworks 360. Skripsi S1 Teknik Industri.
2017.
Rochman, Muh. Muchibbur dan Pinasti, V. Indah. Fenomena Cross-Gender
Dalam Raminten 3 Cabaret Show Mirota Batik Yogyakarta. Skripsi
Universitas Negeri Yogyakarta. 2015.
Subhekti, Yoki Imam. Perkembangan Tamansari Sebagai Kawasan Konservasi
Dan Pariwisata Kota Yogyakarta. Program Pascasarjana Magister Tekni
Pembangunan Wilayah Dan Kota Universitas Diponegoro Semarang.
2005.
Suratmin. Gerakan Rakyat Yogyakarta Pada Masa Revolusi. Transkripsi.
Universitas Negri Yogyakarta. 2018.
Ulya, Chafit. Kajian Historis Dan Pembinaan Teater Tradisional Ketoprak (Studi
Kasus Di Kota Surakarta). Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011.
Utama, Danang Indra. Pemogokan Buruh Pabrik Gula Tanjung Tirto Tahun 1918.

116
Universitas Negeri Malang. 2017.
Wijayani, Lilan Candra. Candi Prambanan Sebagai Objek Wisata Unggulan Kota
Yogyakarta Kabupaten Sleman. Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo
Yogyakarta. 2018.

SUMBER GAMBAR:
Bappeda Kota Yogyakarta. 2013. Kajian Pengembangan Penanda Dan Media
Ruang Kota Budaya. Yogyakarta.
Soemardjan, Selo. 1962. Social Changes In Jogjakarta. Cornell University Press.
google maps
http://hotelmalioboro.web.id/hotel-murah-malioboro/
hhtps://dptr.bantulkab.go.id/hal/peta-tata-ruang
https://g.co/kgs/kMskuK

https://geoportal.kulonprogo.go.id/documents/18
https://id.pinterest.com/pin/714102084651288924/

https://solo.tribunnews.com/amp/2018/02/04/bikin-ingin-foto-terus-5-wisata-
kampung-paling -berwarna-di-dunia
https://www.reseacrhgate.net/figure/gambar-3-peta-potensi-desa-wisata-
kabupaten-sleman

117

Anda mungkin juga menyukai