Anda di halaman 1dari 3

Gembala yang Baik: Eksposisi Reflektif Yohanes 

10:1-20
JULY 9, 2016 / CARMIA

Pernahkah Saudara berpikir, atau merasakan, bahwa menjalani kehidupan sebagai


orang Kristen dalam lingkungan gereja itu merupakan sesuatu yang sulit, berat,
dan menyakitkan?  Injil yang mula-mula bernada sukacita dan penuh anugerah,
lambat laun mulai berubah menjadi sepaket aturan do’s and don’ts yang
menggerayangi hati dan pikiran.  Salah sedikit, apa kata orang nanti?  Tentu
cercaan dan tudingan sudah menanti.  Masih masuk akal jika kesalahan yang kita
lakukan itu adalah dosa, pelanggaran akan hukum dan standar kekudusan Allah.
Tetapi jika kesalahan yang kita lakukan itu bukan sebuah dosa – atau malah bukan
sebuah kesalahan sama sekali – misalnya perbedaan interpretasi, ketidaksesuaian
selera, atau “kecelakaan-kecelakaan” kecil yang berasal dari natur manusiawi
(misalnya kesalahan menyebutkan tata liturgi atau …., ah, Saudara tentu bisa
mengisi sendiri karena lebih mengalami)? Membayangkannya saja dapat membuat
hati menjerit dan rasa aman di dalam diri pun perlahan sirna.

Untuk lebih dalam memahami hal ini, saya mengajak Saudara berkenalan dengan
orang yang buta sejak lahir, yang biografinya ditulis dalam Yohanes 9.  Orang buta
ini tiap-tiap hari duduk di tepi jalan dan mengemis (mungkin dialah yang
menginspirasikan ditulisnya sebuah lagu sekolah Minggu yang liriknya berbunyi,
“satu orang buta, duduk minta-minta….”).  Suatu ketika Tuhan Yesus dan murid-
murid melihatnya.  Murid-murid masih berpikir bahwa kebutaan orang ini
disebabkan oleh dosanya atau dosa orang tuanya.  Memang lazim bagi Yahudi
masa itu untuk mengasosiasikan penyakit sebagai hukuman dosa.  Anggapan ini
kemudian dijungkirbalikkan oleh Yesus yang berkata, “Bukan dia dan bukan juga
orangtuanya (yang berbuat dosa), tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus
dinyatakan di dalam Dia.”  Kejutan pertama: Yesus memandang si buta bukan
sebagai pesakitan atau pendosa, melainkan sebagai wahana pertunjukkan
kemuliaan Allah.

Melalui kuasa-Nya yang ajaib, Yesus menyembuhkan si buta.  Namun,


kesembuhan itu tidak semerta-merta menjadi kurnia bagi si buta.  Orang-orang
mempertanyakan identitasnya dan membawanya kepada orang Farisi dan ahli
Taurat, gembala-gembala umat masa itu.  Celakanya, gembala-gembala umat itu
malah semakin mempermasalahkan peristiwa penyembuhannya.  Mereka keberatan
dengan penyembuhan yang dilakukan di hari Sabat, juga mempersoalkan identitas
Yesus sebagai manusia yang tidak seharusnya melakukan penyembuhan.  Mereka
tidak merayakan kesembuhan si buta, tetapi mengutukinya.  Bahkan mereka
menutup pintu bait Allah bagi si buta yang mereka anggap sebagai domba yang
cacat dan hina.  Mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah
gembala yang baik.  Sebaliknya, diri mereka sungguh tepat merepresentasikan
karakteristik gembala-gembala yang jahat, yang tercatat pula dalam Yehezkiel
34:2-6,
“Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri!
Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala
itu?  Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk
kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan.  Yang
lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu
balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari,
melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman.  Dengan
demikian mereka berserak, oleh karena gembala tidak ada, dan mereka menjadi
makanan bagi segala binatang di hutan. Domba-domba-Ku berserak dan tersesat di
semua gunung dan di semua bukit yang tinggi; ya, di seluruh tanah itu domba-
domba-Ku berserak, tanpa seorang pun yang memperhatikan atau yang
mencarinya.”
Di tengah keadaan demikian, Yesus datang melawat si buta, potret setiap umat
yang sakit, terhilang, dan kelelahan, seperti saya dan Saudara.  Sebagai kontras
kepada para gembala jahat yang menghakimi umat, Yesus berkata bahwa Ia adalah
gembala yang baik, yang mengenal umat. Ketika gembala jahat menutup
pintu bait Allah bagi umat, Yesus menyatakan diri sebagai pintu bagi para
domba.  Ketika gembala jahat mempersoalkan kesembuhan domba cacat,  Yesus
bahkan datang untuk memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya.  Yesus
datang menjumpai si buta dalam kebutaannya, menjamahnya dalam
keterpurukkannya, dan menyelamatkannya dalam kebinasaannya.  Yesus hadir
agar si buta memperoleh kesembuhan fisik dan kebangkitan spiritual.  Lebih luas
lagi, Yesus datang agar semua umat-Nya “mempunyai hidup, dan mempunyainya
dalam segala kelimpahan…”

Ya, Yesus datang untuk mengaruniakan kita kehidupan yang berlimpah di dalam
Dia.  Di dalam keagungan Pribadi-Nya, segala kebutuhan kita dicukupkan dan
dipenuhi.  Kerinduan terdalam kita dipuaskan.  Pergumulan terbesar kita
dipecahkan.  Tidak perlu lagi kita mengembara dalam ketidakpastian dunia ini,
karena di dalam Dia sudah ada segala kelimpahan yang kita butuhkan.

Saudara-saudaraku, bagaimanakah rekam jejak pengembaraan rohanimu?  Adakah


hidupmu dikelilingi oleh serigala-serigala yang mengancam nyawamu dan engkau
tidak tahu kemana harus pergi?  Atau adakah engkau berada di dalam kandang,
tetapi dikelilingi oleh gembala-gembala jahat yang menyuapimu dengan pelbagai
asumsi, intimidasi, tradisi, atau legalisasi, yang tidak sesuai dengan Wahyu Kudus
yang tertulis?  Palingkanlah wajahmu dari itu semua dan pandanglah Sang
Gembala Baik yang siap merengkuhmu dengan tangan yang berlubang paku.  Jika
engkau pernah mengenalnya, tetapi kemudian engkau lari dari pelukannya, Dia
masih menunggu engkau di tempat yang sama.  Pulanglah bersama dan kepada
Dia.

Panggilan kedua ditujukan kepada rekan-rekanku para hamba Tuhan, gembala-


gembala umat Tuhan di masa kini.  Mau menjadi gembala seperti apakah kita?
Adakah seperti Farisi yang jahat, atau seperti Yesus Sang Gembala Baik yang
sudah terlebih dahulu dan akan selalu menggembalakan kita?  Aku pun bergumul
untuk mewarisi kelembutan, kesetiaan, kesucian, dan kasih-Nya yang kudus itu.

Di dalam lika-liku perjalanan kita sebagai umat Tuhan, yang terus berlari menuju
persatuan kekal dengan Gembala Agung itu,

Maupun dalam pergumulan panggilan kita sebagai gembala umat Tuhan, yang
berjuang menggiring mereka kepada gerbang kasih karunia,

Anda mungkin juga menyukai