Anda di halaman 1dari 4

ALLAH DAN KESEDIHAN KITA

Yohanes 14: 10 – 14

(Oleh: Pdt. Marko Mahin)

H ingga hari ini, sudah 8 minggu kita tidak beribadah bersama-sama di


gedung gereja. Wabah virus corona memaksa kita untuk sementara
waktu tidak bertemu. Tentu saja sepanjang 8 minggu ini ada banyak
perasaan bergejolak dalam batin kita. Pasti saudara-saudara akan setuju
kalau saya mengatakan bahwa perasaan yang paling dominan dalam relung
hati kita selama delapan minggu ini adalah KESEDIHAN.
Kenapa KESEDIHAN ? Karena kita kehilangan kehidupan kita “yang normal
seperti biasanya.” Virus corona yang kecil mungil telah menjungkirbalikkan
keseharian kita, membuat hampir semua bagian kehidupan kita berhenti,
terganggu, paling tidak tertunda. Virus yang mahakecil itu telah mengubah
kehidupan kita bahkan menjungkirbalik kebiasaan atau kebudayaan kita 180
derajat. Dunia sudah lain, berbeda, telah berubah, dan sudah tak seperti
biasa. Tidak normal sepertia biasanya.

KEHILANGAN DAN KETERPISAHAN


Kehilangan dan keterpisahan itulah permasalahan kita sekarang ini. Ada
banyak orang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Ada banyak orang yang
terpaksa tidak menjumpai orang yang dikasihi dan dihormati, bukan karena
jijik atau benci, tetapi justru karena menyayangi. Pada masa Paskah tahun
ini, saya sendiri terpaksa tidak berani mengunjungi ayah saya yang telah
berusia 89 tahun. Bukan karena tidak mencintainya, tetapi justru karena
menyayanginya. Saya tidak ingin menjadi penghantar atau pembawa virus
kematian bagi sang ayahnda tercinta.
Kita mengalami keterpisahan dan telah kehilangan kenyamanan dan
keamanan. Kita sudah tidak nyaman dan aman untuk saling bertemu dan
mengunjungi. Sampai-sampai ada ungkapan lucu karena kentut tidak
menyemburkan atau menyebarkan virus maka pada masa kini suara kentut
lebih merdu kedengarannya dari suara batuk atau bersin.
1
KESEDIHAN ANTISIPATIF
Kesedihan, perasaan kehilangan dan keterpisahan adalah sesuatu yang alami.
Tak bisa kita hindari, apalagi kita hardik atau usir atau tengking. Jangan
percaya dengan orang yang mengaku bisa mengusir atau menghardik “roh
kesedihan.” Kesedihan merupakan takdir abadi dalam kehidupan kita. Kita
tak dapat menghilangkan atau menghindarinya. Satu-satunya peluang kita
adalah mengelola atau bersahabat dengan kesedihan itu agar menjadi
teman bukan musuh, agar menjadi sumber kekuatan dan semangat hidup,
bukan racun yang mematikan kehidupan.
David Kessler, penulis buku The Five Stages of Grief, menyatakan bahaw
untuk mengatasi kesedihan kita harus memiliki kesadaran untuk
mengantisipasi kesedihan itu. Kesadaran bahwa akan ada perasaan yang
pahit, buruk dan mendukakan yang akan terjadi pada masa yang akan
datang. Ini adalah semacam persiapan batin menghadapi situasi terburuk,
agar setelah mengalaminya kita tidak langsung terpuruk, tetapi tetap bisa
bertahan dan bangkit kembali.
Sebagai ilustrasi dari persiapan batin menghadapi kedukaan, saya ingin
menceritakan kembali peristiwa duka yang dialami oleh keluarga besar
mendiang Bapak Nasir Nganen. Bagi saya ini adalah peristiwa kematian yang
sedih tetapi indah. Dengan melihat kondisi tubuhnya yang semakin merosot,
mendiang mengumpulkan semua anak, menantu dan para cucunya. Ia juga
memanggil para penatua diakon dan pendeta (ada 3 orang pendeta).
Dalam satu acara kebaktian singkat, yang nyaris seperti “farewell gathering”
(pertemuan perpisahan), ia melakukan doa penyerahan dan pengakuan dosa
yang kemudian disusul doa dari tiga pendeta. Tidak lama sesudah itu,
mendiang mengalami sakit, masuk rumah sakit hingga akhirnya berpulang
kepada sang pencipta.
Karena semua sudah dipersiapkan, semua sudah tahu, kendatipun
mengalami kedukaan dan kesedihan, keluarga yang ditinggalkan memang
bersedih dan berduka namun tidak terpuruk dan larut dalam kesedihan dan
kedukaan. Mereka cepat pulih dan bangkit untuk menjalani kehidupan
seperti biasanya namun dengan kenangan manis akan sang ayah yang telah
tiada.

2
YESUS DAN KESEDIHAN PARA MURID
Yesus sangat menyadari apa yang akan terjadi dengan para murid-Nya.
Mereka akan mengalami kehilangan dan keterpisahan. Dalam waktu yang
tidak lama lagi, mereka akan berduka dan bersedih hati. Dunia mereka akan
ambruk dan kacau-balau. Karena itu dalam Yohanes 14: 1- 14, Ia
menyampaikan kata-kata penguatan dan peneguhan sebagai antisipasi agar
nanti murid-murid tidak terpuruk dan larut dalam kesedihan dan kedukaan.
Dalam ayat 1, Ia mulai dengan seruan: “Janganlah gelisah hatimu.” Yang
disusul dengan seruan: “Percayalah kepada Allah, percayalah juga
kepadaKu”. Ia menghendaki agar murid-murid tetap tenang, tidak panik dan
percaya. Memang pada masa atau situasi tidak menentu kepanikan,
kecemasan dan kegelisahan tidak banyak membantu, bahkan akan
memperburuk keadaan. Ia meminta agar mereka tenang dan percaya.
Selanjutnya dalam ayat 2-4, Ia mengatakan bahwa kepergian-Nya bukanlah
kepergian yang sia-sia atau tanpa tujuan. Ia pergi untuk menyiapkan tempat
tinggal bagi para murid. Tidak hanya itu Ia berjanji akan menjemput para
murid untuk tinggal bersama-sama dengan-Nya di tempat yang telah
disediakan itu. Jadi Yesus tidak pergi begitu saja, kemudian hilang lenyap
tanpa berita. Ia pergi untuk kembali, menjemput kita semua.
Pada ayat 5 kita bertemu dengan Tomas, seorang murid yang bingung
dengan apa yang dikatakan Yesus. Dengan polos ia bertanya, "Tuhan, kami
tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?"
Menjawab pertanyaan itu Tuhan Yesus dalam ayat 6-7 menyebut dirinya
sebagai “jalan, kebenaran dan hidup.” Tak hanya itu dalam ayat 7 Ia
menegaskan diri-Nya sebagai Sang Bapa atau Allah itu sendiri. Penegasan diri
sebagai Allah itu dilanjutkan lagi dalam ayat 8-11.
Seorang teman dengan baik meringkas ayat-ayat ini sebagai pernyataan
seorang bule kepada seorang mahasiswa Indonesia. “Aku sahabatmu, kamu
sahabatku. Datanglah ke rumahku. Ini uang, tiket pesawat, ini passpor dan
visa, datanglah ke Washington, Amerika. Aku pergi duluan ya, nanti kamu
menyusul. Masalah tempat tinggal jangan kuatir ada banyak kamar kosong
di rumahku”. Dan orang bule itu adalah presiden Amerika Serikat, sehingga
mahasiswa itu tak akan meragukan atau menyebut perkataannya bukan
sebagai kebenaran.
3
KEYAKINAN PADA MASA KINI
Pun pada masa kini, Tuhan Yesus melalui kuat-kuasa Roh Kudus, terus
meneguhkan dan menguatkan kita. Seorang bapak setelah mengikuti ibadah
virtual via zoom yang ditayangkan melalui facebook mengirim pesan kepada
saya: “Terimakasih atas ibadah hari ini pak pendeta. Sangat menguatkan dan
meneguhkan. Saya tak gelisah lagi, walaupun besok langit runtuh dan bumi
ini luluh, saya siap dan tak takut lagi. Saya akan seperti Rasul Paulus yang
berkata HIDUP ADALAH KRISTUS, MATI ADALAH KEUNTUNGAN.”
Bapak ini telah tiba pada pengharapan iman yang sejati. Ia tidak
menyalahkan situasi dan tidak menyalahkan Tuhan. Karena Roh Kudus, Ia
siap secara rohani dan jasmani bila terjadi situasi terburuk, bahkan bila hari
kiamat tiba pun ia siap. Ia bisa melihat bahwa Allah “turut bekerja” dalam
segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya
(Roma 8:28). Ia hidup secara realis, tidak menyangkal bahwa ada situasi
buruk yang sedang terjadi, namun ia optimis dan berpengharapan, bahwa
telah tersedia yang terbaik, yang sudah Tuhan siapkan untuk dirinya.
Dalam Yohanes 14:1-14, Tuhan Yesus telah menyebutkan 4 hal yang esensial
yaitu rumah Bapa yang sudah disediakan, jalan (cara atau akses) menuju
pada rumah yang sudah disediakan, kebenaran yaitu kepastian atau
kejelasan bahwa itu semua bukanlah pengharapan palsu, dan hidup kekal
bila kita telah tiba pada tujuan yang disebutkan. Keempat hal yang
disebutkan itu sangat jelas, pasti dan terjamin, karena Ia sendiri sebagai
Allah sang pemiliki sorga yang mengatakannya.
Empat hal itu dapat menjadi kekayaan rohani yang membuat kita tidak
merasa sebagai gelandangan miskin yang terlunta-lunta tanpa rumah. Kita
memiliki rumah surgawi, sebab itu kita tegar dalam hidup ini, karena
kalaupun semuanya tumpas-punah kita masih memiliki empat hal tersebut.
Hal ini akan mempersiapkan hati kita menghadapi situasi dunia yang muram
karena wabah Covid-19. Kita bisa menerima dan tidak menyangkal apalagi
menganggap remeh dan enteng situasi ini. Kita tidak marah dan mencari-cari
orang yang bisa disalahkan berkaitan dengan situasi ini. Kita tidak depsresi
dan tertekan karenanya, tetapi tambah bersemangat untuk hidup dan
memperjuangkan kehidupan. Semuanya itu boleh terjadi, karena kita tahu
bahwa Allah hadir dalam kesedihan kita. Ia mengantisipasi kesedihan kita
dengan janji firman-Nya. [*MM*].
4

Anda mungkin juga menyukai