Anda di halaman 1dari 11

A.

Latar Belakang Masalah


Era revolusi industri 4,0 pada abad 21 membuat sejumlah negara berbenah diri
meningkatkan kualitas berbagai sektor, diantaranya sektor pendidikan. Pendidikan harus
diberikan sejak dini karena bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dasar agar
mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang digunakan dalam kehidupan
seharihari (Permendiknas, 2006). Perbaikan sektor pendidikan di Indonesia dapat dilihat
dari berubahnya kurikulum ke arah yang lebih baik. Berlakunya kurikulum 2013
(kurtilas) merupakan jawaban bangsa Indonesia terhadap tantangan era revolusi industri
4,0 abad 21.
Salah satu komponen penting pendidikan abad 21 yaitu kemampuan pemecahan
masalah (Wismath et.al, 2014). Selain itu, amanat kurtilas dalam pendidikan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yaitu memasukkan keterampilan abad 21 dalam pembelajaran
dengan menerapkan 4C (communication, colaboration, critical and problem solving,
creative and innovation), serta mengasah kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS)
(Permendiknas nomor 103, 2014). Pada pembelajaran kurtilas, siswa tidak hanya
menerima transfer ilmu dari guru tetapi belajar menemukan konsep melalui tahap
menganalisis dan memecahkan masalah. Dengan demikian, salah satu kemampuan yang
perlu diasah dalam pendidikan SMP yaitu kemampuan pemecahan masalah.
Dewasa ini, kurikulum yang berlaku di Indonesia mengharuskan siswa memiliki
keterampilan yang dikenal dengan keterampilan abad 21. National Education Association
(NEA, 2012) menjelaskan bahwa terdapat 18 keterampilan Abad 21 yang perlu
dibekalkan kepada siswa, keterampilan tersebut salah satunya adalah learning and
innovation skills yang terdiri atas 4 aspek yang dikenal dengan 4C, yaitu critical
thinking, communication, collaboration dan creativity. Salah satu keterampilan yang
termasuk ke dalam aspek critical thinking adalah kemampuan memecahkan masalah.
Fungsi pendidikan nasional yang tercantum dalam UU RI No. 20 Tahun 2003
menjelaskan bahwa pendidikan berfungsi dalam mengembangkan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal tersebut berkaitan dengan mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh peserta
didik melalui Pendidikan, sehingga peserta didik dilatih agar memiliki pola pikir analitis
dan bukannya pola pikir mekanistis serta dapat bekerja sama dalam menyelesaikan
masalah.
Ketika siswa telah mampu menerapkan pengetahuan yang dimiliki ke dalam suatu
kondisi yang baru, maka siswa sudah dapat dinyatakan mampu menyelesaikan masalah.
Landasan berpikir dibutuhkan dalam pemecahan masalah untuk mendapatkan jawaban
atas masalah yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan kesempatan yang didapatkan siswa
saat pembelajaran yaitu dapat membangun ilmu pengetahuan dalam proses kognitif.
Siswa memerlukan motivasi agar berusaha memecahkan permasalahan, mendapatkan
segala sesuatu untuk dirinya, dan bekerja keras untuk mewujudkan idenya agar
memahami secara mendalam dan mampu menerapkan pengetahuannya (Permendikbud
81 A 2013).
Salah satu kompetensi yang diharapkan untuk dicapai dalam proses pendidikan adalah
kemampuan pemecahan masalah. Dalam ranah IPA, salah satu tujuan pendidikan adalah
untuk memperbaiki pemikiran kritis, respons logis, dan mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah (Dogru, 2008). Kurikulum 2013 memuat pentingnya kemampuan
pemecahan masalah yang terlihat pada kompetensi dasar pembelajaran IPA yang
menyebutkan bahwa “siswa diharapkan dapat memahami konsep dan prinsip IPA serta
saling keterkaitannya dan diterapkan dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan”
(Permendikbud No. 21 Tahun 2016). Berdasarkan pernyataan tersebut maka dalam
proses pembelajaran siswa harus terlatih agar dapat memecahkan masalah yang ditemui
(Nur, 2008).
Pemecahan masalah adalah sebuah proses yang memerlukan logika dalam rangka
mencari solusi dari suatu permasalahan. Kemampuan pemecahan masalah dapat dimiliki
oleh siswa apabila guru mengajarkannya dengan efektif. Kemampuan pemecahan
masalah ada 4 tahap diantaranya yaitu; (1) Understood the Problem (Memahami
masalah), (2) Device a Plan (Menyusun rencana pemecahan masalah), (3) Carry Out the
Plan (Melaksanakan rencana pemecahan masalah) (4) Look Back (Memeriksa kembali
hasil yang diperoleh) (Polya dalam Tambunan, 2014).
Pelatihan kemampuan analisis siswa dapat dicapai dengan menerapkan langkah-
langkah pemecahan masalah yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar suatu
permasalahan. Siswa dilibatkan dengan masalah penelitian yang nyata dengan
menghadapkan mereka pada tahapan penelitian, membimbing mereka mengenali
masalah konseptual atau metodologis dalam ranah penelitian, dan membimbing mereka
merencanakan cara menanggulangi masalah (Prayoga, 2015). Sehingga siswa diharapkan
dapat memahami kaitan antara fakta dan konsep dalam pembelajaran IPA serta mampu
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa melalui langkah-langkah penyelesaian
masalah. Pengembangan pemahaman dan kemampuan memanfaatkan fakta menjadi
sangat penting pada pembelajaran IPA, karena berguna dalam menghadapi masalah
sehari-hari (Trna, Josef et. al., 2012).
Kemampuan pemecahan masalah bertujuan memberikan jalan keluar dan solusi
terhadap suatu permasalahan dengan menggunakan kemampuan berpikir. Oleh karena
itu, guru harus memberikan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk melakukan
kegiatan berpikir. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengarahkan siswa untuk
berpikir tingkat tinggi yaitu model Problem Based Learning (PBL). Model PBL
bertujuan membantu siswa mempelajari dan menemukan konsep serta memecahkan
permasalahan dengan menghubungkan situasi masalah dalam dunia nyata (Wisudawati
& Eka, 2014).
Kemampuan pemecahan masalah adalah salah satu kemampuan penting yang harus
dimiliki siswa karena dalam kehidupan sehari-hari setiap orang selalu dihadapkan pada
berbagai masalah yang harus diselesaikan dan menuntut kreativitas agar mampu
menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya (Permatasari, 2014).
Kemampuan pemecahan masalah melatih siswa menemukan sendiri berbagai konsep
secara holistik, bermakna, otentik serta aplikatif (Hariawan, 2014). Gok dan Silay (2010)
menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah dipandang sangat fundamental
dalam pembelajaran sains. Sains (IPA) merupakan cabang ilmu yang mempelajari
tentang keteraturan alam, menguasai pengetahuan, baik fakta, konsep, prinsip, proses
penemuan dan sikap ilmiah (Gunawan, Harjono dan Sutrio, 2015). Belajar IPA tidak
hanya memahami konsep, namun menekankan pada pola berpikir siswa agar mampu
menguasai dan memecahkan masalah secara kritis, logis, cermat dan teliti (Darwanti,
2013). Kemampuan pemecahan masalah merupakan bagian yang sangat penting dalam
pembelajaran IPA, karena kegiatan memecahkan masalah menuntut siswa menemukan
sendiri konsep-konsep dalam pembelajaran sehingga proses pembelajaran lebih
bermakna. Mariawan (2013) juga menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah
merupakan aspek penting dalam pembelajaran sains, karena pemecahan masalah
digunakan untuk membelajarkan siswa dalam menerapkan pengetahuan sains dan
kemampuan yang diperoleh dalam pembelajaran
Namun kenyataannya, siswa Indonesia belum mempunyai kemampuan pemecahan
masalah dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari prestasi siswa Indonesia dalam penilaian
kemampuan literasi sains, matematika maupun membaca yang berada pada 10 urutan
terbawah (IEA, 2016; OECD, 2016). Berdasarkan penilaian literasi sains di kancah
internasional tersebut, diketahui bahwa kemampuan siswa Indonesia masih rendah. Hal
itu disebabkan karena kemampuan siswa Indonesia masih sekadar teoretis tetapi belum
bisa menganalisis dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dalam menyelesaikan
permasalahan, sedangkan soal-soal yang diberikan dalam penilaian tersebut bersifat
aplikatif dan konteksual untuk dicari solusi pemecahannya. Oleh karena itu,
pembelajaran yang diberikan untuk siswa bukan sekadar mentransfer ilmu tetapi siswa
dilibatkan secara langsung untuk menemukan konsep dan berpikir secara kritis dan
kreatif tentang bagaimana memecahkan permasalahan.
Kenyataan yang terjadi di lapangan, siswa masih mengalami kesulitan dalam
menentukan dan memecahkan masalah yang dialaminya yang berkaitan dengan materi
pembelajaran IPA. Ini dikarenakan masih banyak siswa yang hanya menghafal konsep
dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemukan masalah dalam
kehidupannya yang berkaitan dengan konsep yang dimiliki, bahkan siswa kurang mampu
menentukan masalah dan merumuskannya (Trianto, 2009). Selain itu, rendahnya
kemampuan pemecahan masalah siswa juga dibuktikan dari rendahnya skor yang
diperoleh siswa Indonesia dalam mengikuti tes TIMSS (Trends International
Mathematics and Science). Berdasarkan hasil penelitian TIMSS yang mengukur tingkat
pengetahuan siswa dari sekedar mengetahui fakta, konsep dan menggunakannya untuk
memecahkan masalah yang sederhana hingga masalah yang memerlukan penalaran
tinggi. Hasil dari penelitian TIMSS pada tahun 2011, skor yang diperoleh Indonesia
adalah 406 yang merupakan skor terkecil nomor lima, sedangkan pada tahun 2015
Indonesia memperoleh skor 397 yang merupakan terkecil nomor empat dari 64 negara.
Skor yang diperoleh menempatkan Indonesia pada predikat Low Science Benchmark
(Martin., et al, 2015). Berdasarkan predikat yang diperoleh Indonesia pada TIMSS 2011
dan 2015 siswa Indonesia hanya memiliki beberapa pengetahuan dasar mengenai biologi,
kimia, fisika dan IPA. Siswa belum mampu mendemonstrasikan dan menyampaikan
pengetahuan biologi, kimia, fisika dan IPA dalam berbagai konteks. Siswa juga kurang
mampu mengkomunikasikan dan menjelaskan konsep terkait dengan biologi, kimia,
fisika dan IPA dalam kehidupan sehari-hari baik secara praktis, abstrak maupun
eksperimen.
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah siswa dalam pelajaran IPA disebabkan
oleh banyak faktor. Faktor yang dapat memicu rendahnya kemampuan pemecahan
masalah siswa bisa berasal dari dalam diri siswa (internal) dan bisa dari lingkungan
(eksternal). Faktor internal yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan
masalah siswa seperti, sikap, bakat, minat dan motivasi diri siswa yang masih kurang,
sedangkan faktor eksternal yang dapat menyebabkan rendahnya kemampuan pemecahan
masalah siswa adalah peran pendidik (guru). Peran guru yang dapat mempengaruhi
kemampuan pemecahan masalah siswa adalah ketidak tepatan guru dalam memilih
model pembelajaran yang digunakan pada saat proses pembelajaran di kelas. Model
pembelajaran yang sering digunakan oleh guru pada saat pembelajaran adalah model
pembelajaran kooperatif tipe STAD. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD
merupakan suatu model pembelajaran yang sudah menerapkan student centered (Harjono
dalam Amalia, 2016). Kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa sehingga sulit mencapai kurikulum,
membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru dapat melakukan
pembelajaran kooperatif, dan menuntut sifat tertentu dari siswa misalnya sifat suka
bekerja sama (Budairi dalam Solihah, 2016). Ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan Chrisna dan Surya (2017) yang menyatakan bahwa model pembelajaran
kooperatif tipe STAD memiliki kelemahan dalam hal meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah siswa.
Solusi untuk menindaklanjuti masalah tersebut adalah dengan menerapkan model
pembelajaran yang mampu melibatkan peserta didik secara aktif dan berkontribusi dalam
proses pembelajaran di kelas sehingga kemampuan pemecahan masalah IPA siswa lebih
meningkat dan proses pembelajaran lebih bermakna. Salah satu model inovatif yang
dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa adalah model problem based
learning (PBL). Model PBL memiliki lima komponen, yaitu orientasi siswa pada
masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing menyelidiki individual
atau kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya dan menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah. Kelebihan dari model PBL adalah salah satu
model yang bisa menjembatani kesenjangan antara realita keseharian siswa dengan apa
yang terjadi di kelas (Delisle dalam Upayoga, 2013).
Model PBL yang digunakan untuk membantu kemampuan berpikir, pemecahan
masalah, dan keterampilan intelektual dan belajar menjadi pembelajar yang otonom.
Keuntungan pembelajaran berbasis masalah adalah mendorong kerja sama dalam
menyelesaikan tugas (Sudarman, 2007). Penggunaan masalah dunia nyata mendorong
peserta didik untuk menghubungkan pengetahuan mereka ketahui dengan konteks dunia
nyata. PBL dapat membuat peserta didik belajar dengan baik, mengerti apa yang mereka
pelajari, dan mengingat lebih lama pengetahuan yang mereka peroleh melalui kerja
kelompok secara kooperatif (Kelly, 2007). Tugas pendidik dalam pembelajaran model
PBL ini hanya mengatur strategi belajar, membantu menghubungkan pengetahuan lama
dengan pengetahuan baru yang dimiliki peserta didik, dan memfasilitasi belajar (Sumarji,
2009). Mereka pun diharapkan menjadi solusi dari beragam masalah yang mungkin
dihadapi lingkungan masyarakatnya. Banyak materi IPA yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh materi yang dapat dihubungkan dengan
kehidupan sehari-hari adalah konsep getaran, gelombang dan bunyi. Selain teori, materi
tersrbut juga identik dengan pemecahan masalah matematis,
Model pembelajaran Problem Based Learning juga merupakan model yang
merangsang peserta didik untuk menganalisis masalah, memperkirakan jawaban-
jawabannya, mencari data, menganalisis data, dan menyimpulkan jawaban terhadap
masalah. Dengan kata lain, model ini pada dasarnya melatih kemampuan pemecahan
masalah melalui langkah-langkah yang sistematis (Fathurrohman, 2015:113). Model
pembelajaran ini mempunyai potensi yang besar untuk membuat pengalaman belajar
yang lebih menarik dan bermakna. Hal tersebut dapat dilihat ketika proses pembelajaran
berlangsung, guru sebagai fasilitator banyak memancing peserta didik dengan
pertanyaan-pertanyaan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengungkapkan pendapatnya, dan memberikan bimbingan kepada peserta didik secara
pribadi ataupun kelompok. Selain itu, guru juga mengarahkan peserta didik untuk
melakukan kegiatan pengamatan guna memecahkan permasalahan yang diberikan.
Situasi tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning lebih
memusatkan pembelajaran pada peserta didik dan dapat mengembangkan keaktifan serta
motivasi peserta didik dalam pembelajaran. Peserta didik pun tidak akan cepat merasa
bosan atau kehilangan fokus ketika pembelajaran. Dengan demikian, model
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
Upaya dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dapat
dilakukan dengan pengembangan potensi serta menggunakan sarana pendukung
pembelajaran yaitu berupa media-media pendidikan yang mampu menunjang proses
pembelajaran peserta didik, yang lebih menarik, menyenangkan dan tidak membuat
peserta didik menjadi bosan, dan tentunya sesuai dengan karakter peserta didik, yaitu
belajar sambil bermain. Media pembelajaran peserta didik, Menurut Gerlach, dkk dalam
Arsyad (2011: 3), secara garis besar dapat berupa manusia, materi dan kejadian yang
membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,
ketrampilan atau sikap. Penggunaan media pembelajaran dapat memperjelas penyajian
pesan, mampu mempermudah pemahaman dan menjadikan pelajaran lebih hidup dan
menarik. Dengan demikian, proses belajar setiap siswa akan amat dimudahkan dengan
hadirnya media pembelajaran. Salah satu bentuk media pembelajaran adalah berupa
media pembelajaran game edukasi berbasis android.
Diperlukan upaya guru untuk menciptakan suasana belajar IPA yang variatif sehingga
peserta didik termotivasi untuk mempelajari IPA terutama pada materi getaran,
gelombang, dan bunyi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan
mengembangkan media pembelajaran yang kreatif. Hal ini bertujuan agar guru tidak lagi
hanya menggunakan bahan ajar yang monoton pada peserta didik. Menurut Fadar (2021)
bahwa pemanfaatan media pembelajaran dalam pelaksanaan pembelajaran bisa dilakukan
guna menumbuhkan motivasi belajar peserta didik dalam belajar. Salah satu media
pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru berupa media game edukasi.
Peserta didik tidak tertarik dengan pembelajaran, minat serta motivasi belajar peserta
didik sangat kurang. Peserta didik juga kesulitan memahami materi getaran, gelombang
dan bunyi. Hal ini diduga karena guru tidak menggunakan media pembelajaran yang bisa
meningkatkan minat dan motivasi belajar peserta didik seperti game edukasi. Hasil
observasi awal penelitian oleh Amroniyah (2015) didapatkan pembelajaran IPA di MTs
Muallimin Malebo Kandangan pada kelas VIII berjalan sangat monoton. Khususnya
akpada materi tentang getaran dan gelombang. Sehingga dalam mempelajari materi IPA
fisika peserta didik cenderung kurang semangat, malas, jenuh dan dianggap sebagai
pelajaran yang membosankan. Hal ini berdampak pada hasil belajar yang rendah
Media yang dikembangkan harus berpihak pada teori yang melandasinya. Teori
belajar yang melandasi pengembangan game edukasi ini adalah gabungan teori kognitif
dan behavioristik. Menurut C. Asri Budiningsih (2005:34), proses belajar terjadi antara
lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur
kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan
pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Game edukasi untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar peserta didik ini
akan membantu peserta didik memperjelas tentang beberapa pemahaman yang telah
dimilikinya tentang materi getaran, gelombang, dan bunyi. Dengan pemahaman
mengenai materi tersebut diharapkan peserta didik mampu menjelaskan teori, hukum-
hukum, rumus, dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bidang pendidikan, media pembelajaran berperan besar dalam kesuksesan
suatu informasi sampai pada peserta didik. Materi yang disampaikan harus disajikan
secara menarik agar siswa tidak bosan dalam mempelajari materi tersebut. Terlebih pada
materi yang sifatnya teori dan hafalan. Jika materi seperti itu tidak disampaikan secara
menarik dapat dipastikan peserta didik akan cepat jenuh dan bosan.
Game edukasi dapat menunjang proses pendidikan (Marsh, dkk, 2005; Clark, 2006).
Game edukasi unggul dalam beberapa aspek jika dibandingkan dengan metode
pembelajaran konvensional. Salah satu keunggulan yang signifikan adalah adanya
animasi yang dapat meningkatkan daya ingat sehingga anak dapat menyimpan materi
pelajaran dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan metode pengajaran
konvensional (Clark, 2006). Kemampuan kognitif akan cepat berkembang melalui
permainan menggunakan benda yang digemari anak.
Adang Ismail (2006) menyatakan bahwa game edukasi mampu merangsang
pengembangan daya pikir anak (kemampuan kognitif). Dengan demikian pembelajaran
menggunakan media pendukung berupa game edukasi yang diterapkan pada anak,
mampu berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan kognitif anak. Dari asumsi
tersebut perlu dibuktikan secara ilmiah untuk mendapatkan hasil yang pasti, dari
penelitian tersebut diharapkan mampu memperoleh gambaran mengenai pengaruh game
edukasi terhadap kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar peserta didik.
Pengembangan game berbasis android akhir-akhir ini diminati oleh pemerhati
pendidikan baik guru maupun dosen dalam upaya meningkatkan inovasi pembelajaran
yang bermuara pada peningkatakan kompetensi siswa dalam menerima materi
pembelajaran. Sebagai salah satu media pembelajaran, game edukasi mempunyai
beberapa kelebihan yaitu: permainan adalah suatu yang menyenangkan untuk di lakukan,
sesuatu yang menghibur dan menarik. Dengan adanya permainan memungkinkan siswa
untuk belajar lebih aktif. Permainan memungkinkan untuk siswa memecahkan masalah-
masalah nyata. Permainan-permainan memberikan pengalaman nyata dan dapat di ulangi
sebanyak yang di inginkan, kesalahankesalahan operasional dapat di perbaiki membantu
siswa untuk meningkatkan kemampuan pada dirinya. Membantu siswa yang sulit
memahami meteri yang di jelaskan oleh guru dengan menggunakan metode ceramah.
Permainan memiliki sifat menarik dan menyenangkan untuk dipergunakan dalam
pendidikan. Menurut Wolf (dalam Kusumaningrum, 2016: 17), game edukasi adalah
sebuah permainan yang memiliki tujuan untuk menyampaikan materi pembelajaran
dengan unsur pemberian nilai (scoring), waktu, dan suatu umpan balik didalamnya.
Dewasa ini banyak Game yang dapat dimainkan oleh berbagai kalangan masyarakat
baik dengan Personal Computer (PC) maupun mobile (Phone). Jenis Game yang dapat
dimainkan pun juga sangat banyak, mulai dari petualangan, strategi, fighting dan lainnya.
Di Indonesia sendiri, memainkan sebuah Game merupakan hal yang paling dominan
dilakukan oleh para pengguna smartphone dimana Game mobile pada masa sekarang ini
sudah banyak sekali jenisnya. Sejak bulan agustus 2015 hingga bulan mei 2016
pengguna android mengalami peningkatan. Bahkan android menempati urutan pertama
dengan persentase pengguna rata-rata adalah 80% dari jumlah pengguna ponsel di
Indonesia.
Hal ini menunjukan tingginya angka ketergantungan masyarakat terhadap
perkembangan teknologi informasi (Nur Hasanah dkk, 2016:140). Dari ke semua
pengguna android tersebut, Game merupakan konten yang paling banyak diunduh.
Terbukti dari hasi riset yang dilakukan SurveyMongkey, terungkap bahwa Game
merupakan konten yang paling banyak diunduh pengguna smartphone dengan persentase
mencapai 51,3 persen. Kategori kedua yang mendominasi adalah social and
communication dengan angka 26,6 persen dan aplikasi fotografi menempati peringkat
ketiga dengan besaran 15,8 persen.
Game yang ada sekarang ini memiliki berbagai jenis atau lebih sering dikenal dengan
genre. Dari sekian banyak genre Game yang ada, terdapat salah satu genre Game yang
bersifat edukatif, yaitu educational Games atau permainan edukasi. Banyak pengembang
Game yang membuat Game yang bersifat edukatif. Game semacam ini bertujuan untuk
memancing minat belajar anak terhadap materi pelajaran sambil bermain sehingga
dengan perasaan senang diharapkan anak bisa lebih memahami materi pelajaran yang
disajikan (Griffith, 2002:2). Sebagian besar orang tanpa terkecuali remaja saat ini suka
bermain Game dengan gadgetnya. Game yang dimainkannya beragam, namun hanya
sedikit yang memainkan Game dengan genre edukasi ini. Hal ini diakibatkan karena
Game dengan genre edukasi masih kurang menarik menurut sebagian orang serta pilihan
Game edukasi pada perangkat mobile masih terbatas. Berdasarkan data dari Appbrain
(2015) menunjukan bahwa jumlah Game pada Google Play yaitu Game Puzzle sejumlah
59.283, Game Casual 51.458, Game Arcade 47.283, Game Action 17.853, Game
Educational 14.180, Game Adventure 10.018. Hal ini menunjukan bahwa jenis Game
edukasi masih kurang dibandingkan dengan genre Game lain.
Pemilihan game berbasis smartphone ini karena ponsel cerdas (smartphone)
merupakan perangkat yang digemari oleh masyarakat di berbagai daerah saat ini.
Ponsel cerdas merupakan perangkat gerak yang memiliki kecanggihan lebih dari ponsel
biasa. Ponsel cerdas memuat sistem operasi seperti hal-nya perangkat komputer
lainnya. Beberapa sistem operasi yang digunakan pada pon-sel cerdas diantaranya
seperti Android, Blackberry, IOs, Windows phone, dll. Dari kesemuanya, Android
adalah yang paling banyak digunakan. Android populer juga karena dipakai beberapa
produsen interna-sional seperti Samsung, Lenovo, HTC, dan Sony. Produsen lokal
seperti Mito, Ever-cross, Advan, dan Smartfren juga turut me-manfaatkannya.
Android telah memimpin pasar ponsel cerdas dengan perbandingan jumlah pengguna
yang tinggi. Data yang dilansir International Data Corporation (2016) menunjukkan
bahwa Global Smartphone OS marketstore pada tahun 2012 sampai 2015 dikuasai
Android dengan persentase 79,2%, Apple/IOs 13,8%, WindowsPhone 2,9%,
Blackberry 2,1%, dan sistem operasi lain 2,1%. Lebih dari 30 juta perangkat Android
telah dimanfaatkan oleh pengguna ponsel cerdas, Android secara pasti menjadi tek
nologi ponsel perdas yang selangkah lebih maju (Finnegan, 2013, p. 10).
Telah terungkap bahwa 90% dari game digital yang beredar di pasar ternyata
memuat unsur dan tindakan kekerasan (Gunawardhana & Palaniappan, 2015,
p.1730). Patut diduga jika beberapa game ter-sebut justru dapat menjadi alat
pembodohan publik. Peraturan lunak pihak akuisisi Android (Google) membuat setiap
program-mer dan game developer dapat memasarkan produknya secara mudah.
Penggunaan dari game tidak dilarang, tetapi harus dikendalikan dan diseleksi oleh
pengguna agar game tersebut berkualitas sebagai mesin edukator. Pada tingkatan yang
luas, psikologi perkembangan dipengaruhi oleh situasi lingkungan, harus diakui
bahwa game digital telah menjadi aspek yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak-
anak dan remaja saat ini (Blumberg & Fisch, 2013, p. 2). Melaju dari tahun 2010,
ponsel cerdas telah menjadi bentuk baru era mobile gaming. Game-game ponsel
cerdas telah mampu bersaing dengan perangkat game konsol genggam seperti
Nintendo DS dan Playstation portabel (Zechner, 2011, pp. 1–2).
Game ponsel cerdas Android yang dikembangkan sebagai game edukasi digital
dapat memuat fitur-fitur yang berpotensi memberikan pengalaman permainan dan
pembelajaran secara menarik dan berkelanjutan. Blumberg & Fisch (2013, pp. 2–3)
meringkas beberapa fitur tersebut, diantaranya (1) membuat penasaran (curiosity), (2)
adanya tantangan (challenge), (3) menyertakan khayalan (fantasy), (5) adanya
timbal balik (interactivity), (6) adanya ken dali pengarahan (agency or control), (7)
adanya keterkaitan karakter dan pemain (identity), (8) adanya umpan balik dari aktivitas
(feedback), serta (9) adanya keterlibatan pribadi (immersion). Sehingga fitur-fitur
tersebut sesuai pada paradigma belajar abad 21.
Dalam mengembangkan produk game digital, dibutuhkan aplikasi pembangun
(game engine) yang sesuai dengan tujuan serta memiliki performansi handal. Dalam
penelitian ini, Unity adalah software yang terpilih. Unity merupakan aplikasi
pembangun pertama yang ideal untuk mengembangkan kreasi game dengan berbagai
fitur tinggi, serta memiliki kemampuan authoring beberapa platform yang berbeda.
(Blackman, 2013, p. 11). Unity merupakan aplikasi pembangun game 3D yang
memungkinkan pembuatan game bergaya 2D (Finnegan, 2013, p.196). Versi terakhir
telah mendukung pengembangan untuk platform iOs, Android, Windows, Blackberry 10,
OS X, Linux, peramban web, PlayStation, Xbox, serta Wii U (Sumpter, 2015, p.
1). Unity dan Android sangat berpotensi untuk dipadukan. Unity dapat menangani
projek dan aset-aset game dengan baik. Selain itu, sofware tersebut merupakan
salah satu teknologi representatif untuk aktivitas instruksional pengembangan game
interaktif (Spector, 2012, p. 46)
Hasil belajar melalui game digital tergantung pada ketepatan rumusan pedagogis,
mekanisme permainan, dan integrasi konten. (Ulicsak & Wright, 2010, p. 5). Untuk
menilai kualitas multimedia pembelajaran seperti game digital, diperlukan kri-teria
sebagai acuan terstandar. Alessi & Trollip (2001, pp. 414-431) menguraikan beberapa
aspek yang perlu dijadikan standar penilaian tersebut. Di antaranya (1) subjek materi,
(2) informasi tambahan, (3) pertim-bangan sikap, (4) tampilan antarmuka, (5)
navigasi, (6) pedagogi (pembelajaran), (7) fitur tersembunyi, (8) robustness, dan (9)
materi pendukung.
Berdasarkan penelusuran, tentang pengembangan game edukasi pada materi getaran,
gelombang dan bunyi dilakukan bahwa pengembangan tersebut masih belum banyak
dilakukan. Penelitian ini akan mengembangkan game edukasi pada materi getaran,
gelombang dan bunyi. Diharapkan dengan mengembangkan game edukasi sebagai media
pembelajaran bisa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar
peserta didik pada materi getaran, gelombang dan bunyi di kelas VIII SMP.

Anda mungkin juga menyukai